• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PENGAWETAN NIRA MENGGUNAKAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA TUBAGUS BAHTIAR RUSBANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PENGAWETAN NIRA MENGGUNAKAN ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA TUBAGUS BAHTIAR RUSBANA"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENGAWETAN NIRA MENGGUNAKAN

ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA

TUBAGUS BAHTIAR RUSBANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pengawetan Nira Menggunakan Asap Cair Tempurung Kelapa adalah karya saya dengan arahan komisi pembimibing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Tubagus Bahtiar Rusbana NRP F251070021

(3)

ABSTRACT

TUBAGUS BAHTIAR RUSBANA. Study of Palm Juice Preservation using Coconut Shell Liquid Smoke. Under direction of SLAMET BUDIJANTO and HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM.

Smoke is used traditionally as an alternative indirect way to preserve the palm juice. Preservation of palm juice using liquid smoke directly have never been conducted before. The aim of this study is to investigate the effects of redistilated liquid smoke to preserve the palm juice. The plam juice of Arenga pinnata was chose. Antimicrobial effect of crude liquid smoke was determinated. Concentration of crude liquid smoke at 0,50% until 3,00% gave the inhibitory effect of microbial growth in the palm juice, but it caused the colour of palm sugar getting dark. Redistilation was done to make the crude liquid smoke clearer. It also caused the change of total fenol. The method to measure the number of total fenol was AOAC 1995. Antimicrobial activity of redistilated liquid smoke was tested by suspension methode to determine the MIC. This test used concentrations 0,22% - 0,30%(v/v) for P.aeruginosa, 0,20% - 0,40%(v/v) for S.aureus, and 3,00% - 30,00%(v/v) for isolated lactic acid bacteria (LAB) from palm juice. When the redistilation liquid smoke applied in the nira, it used concentrations 0,50% - 3,00%(v/v). Total amount of microorganism and pH value were measured in this step. In conclusion, redistilation caused total fenol decrease 0,7%. The MIC value of P.aeruginosa S.aureus, and LAB isolate are 0,22%, 0,20% and 3,00% consecutively. The most preferable concentration of redestilated liquid smoke for application is 1,00 %. It is the smallest concentration that could prevent the decrease of pH by inhibit the microorganism growth until 12 hours.

(4)

RINGKASAN

TUBAGUS BAHTIAR RUSBANA. Kajian Pengawetan Nira menggunakan Asap Cair Tempurung Kelapa. Dibawah bimbingan SLAMET BUDIJANTO dan HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM.

Gula merah merupakan gula hasil pengolahan nira tanaman palma banyak digunakan sebagai ingredient pada industri pangan. Keunggulan dari gula merah adalah memiliki nilai indeks glisemik (IG) rendah serta komposisi asam-asam organik dan komponen volatil yang terdapt didalamnya dapat memberikan rasa khas yang disukai secara sensori yang tidak dapat digantikan oleh gula putih (tebu). Akan tetapi, nira sebagai bahan baku pembuatan gula merah merupakan bahan yang mudah mengalami perubahan fermentatif akibat aktivitas mikroorganisme yang mengkontaminasinya selama penyadapan. Teknik pengawetan nira secara tradisional yang selama ini dilakukan belum dapat mengatasi masalah tersebut. Penerapan hasil penelitian pengawetan menggunakan natrium bisulfit, natrium metabisulfit dan natrium benzoat, serta zat aditif berupa penambahan kapur di satu sisi dapat mengawetkan nira tetapi disisi lain dapat menurunkan kualitas gula merah. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengawetan lain yang lebih efektif dan lebih terjamin dari segi keamanan pangan.

Penggunaan asap sebagai pengawet nira secara tidak langsung telah lama dilakukan oleh penderes dengan mengasapi wadah penampung (lodong). Penggunaan asap cair sebagai pengawet nira secara langsung belum pernah dilakukan. Penelitian ini mengkaji potensi asap cair tempurung kelapa sebagai pengawet nira. Asap cair tempurung kelapa diperoleh dari CV Wulung Prima, Desa Cihideung Udik – Ciampea, Bogor. Nira aren segar diambil dari penderes di Desa Cibogo, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Uji aktivitas mikroba dilakukan dengan menentukan nilai MIC (Minimum Inhibitory Concentration) asap cair hasil destilasi ulang terhadap bakteri uji dengan metode kontak (suspension test). Kultur murni yang digunakan adalah Staphylococcus aureus,

Pseudomonas aeruginosa, serta bakteri asam laktat (BAL) yang diisolasi dari nira.

Uji aplikasi asap cair dilakukan dengan simulasi di laboratorium untuk menentukan konsentrasi berapa yang akan diujikan pada tahap simulasi penyadapan dengan melihat perubahan nilai pH, total mikroba, serta aplikasi langsung dalam pembuatan gula merah setelah penyadapan. Pengujian terakhir berupa uji organoleptik dan perubahan warna gula.

Hasil penelitian awal menunjukkan bahwa penggunaan asap cair hasil pengendapan tanpa destilasi ulang (asap cair kasar) berpotensi untuk digunkan sebagai pengawet nira, tetapi penggunaan asap cair tersebut mempengaruhi karakteristik gula terutama warna. Gula merah yang dihasilkan berwarna hitam sehingga asap cair yang digunakan untuk tahap selanjutnya adalah asap cair hasil destilasi ulang (redestilasi).

Asap cair redestilasi memiliki kandungan total fenol lebih rendah 0,7% dari asap cair kasar tetapi memiliki penampakan jernih yang lebih baik dibandingkan dengan asap cair kasar. Pengujian aktivtas antimikroba menunjukkan nilai MIC asap cair redestilasi terhadap P.aeruginosa dan S.aureus berturut-turut adalah 0,22% dan 0,20%v/v, sedangkan nilai MIC asap cair redestilasi terhadap isolat BAL asal nira adalah 3,00%%.

(5)

Uji aplikasi asap cair redestilasi pada konsentrasi 0,50%, 1,00%, 1,50%, 2,00%, dan 3,00% menunjukkan bahwa konsentrasi 1,00% dapat digunakan untuk pengawetan nira. Nira yang disadap selama 12 jam dengan penambahan asap cair redestilasi pada konsentrasi 1,00% memiliki pH lebih dari enam. Gula merah yang dihasilkan dari nira tersebut memiliki warna coklat cerah dengan rasa yang disukai panelis pada tingkat kesukaan 5 (suka).

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(7)

KAJIAN PENGAWETAN NIRA MENGGUNAKAN

ASAP CAIR TEMPURUNG KELAPA

TUBAGUS BAHTIAR RUSBANA

Tesis

sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009

(8)

Judul Tesis : Kajian Pengawetan Nira menggunakan Asap Cair Tempurung

Kelapa

Nama : Tubagus Bahtiar Rusbana NRP : F251070021

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr Ketua

Dr.Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Myor Ilmu Pangan

Dr. Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

(9)
(10)

PRAKATA

Alhamdulillahi rabbil ’aalamiin, sepenuh hati penulis ungkapkan rasa syukur atas selesainya penelitian bertema ”Kajian Pengawetan Nira menggunakan Asap Cair Tempurung Kelapa” yang diakhiri dengan penulisan tesis ini. Berangkat dari keprihatinan terhadap potensi besar yang dimiliki komoditi gula merah yang tersisihkan karena penggunaan pengawet yang tidak tepat dan proses pengolahan yang kurang baik, maka kajian ini dilakukan dengan harapan agar gula merah dari Indonesia dapat dikenal dan menjadi komoditi bernilai tinggi.

Penyelesaian tesis ini tidak dilakukan oleh penulis sendiri melainkan dengan bantuan beberapa pihak yang dengan penuh perhatian mendukung, mengarahkan, serta berjuang bersama penulis dalam rangka penyempurnaan kajian ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada :

1. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr yang telah memberi rekomendasi untuk kelanjutan studi S2 sekaligus menjadi pembimbing utama. Tidak ada penghargaan yang bisa saya berikan selain ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas jasanya selama ini.

2. Dr.Ir. Harsi Dewantari Kusumaningrum selaku anggota pembimbing yang senantiasa memberikan keluangan waktu dan curahan pemikiran ditengah kesibukan tugasnya.

3. Dr.Ir. Yadi hariyadi, M.Sc sebagai Dosen Penguji. Terima kasih atas waktu dan semua saran yang diberikan.

4. Ratri Hanindha Majid, S.P. Istri tercinta yang menjadi sumber motivasi, ilmuwan yang senantiasa memberikan solusi cerdas dalam setiap kesempitan, pendamping dengan segala curahan kasih sayang yang tidak ternilai tingginya bagi penulis, aca.

5. Ananda Tubagus Alifian Akhyar, kehadirannya memberi semangat dan ketenangan dalam kesibukan setiap hari.

6. Keluarga Semarang dan Keluarga Pandeglang yang memberikan doa dan dukungan baik moril maupun materil.

7. Rekan-rekan IPN 2007 terutama untuk Reski dan Zaim, serta Mbak Dwi dan keluarga.

8. Rekan-rekan satu laboratorium, Mbak Ari, Pak Taufik, Mbak Mar, Ibu Sofi, dan Ibu Sari; serta

9. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu dalam kesempatan ini.

Semoga apa yang kita lakukan senantiasa bermanfaat dan diberi balasan oleh Allah SWT sebagai tabungan amal kebajikan.

”Tak ada gading yang tak retak” merupakan pepatah yang tepat untuk karya ini sehingga penulis sangat mengharapkan saran dan kritik agar karya ini menjadi lebih baik. Semoga karya ini dapat memberi manfaat bagi yang membacanya.

Bogor, September 2009

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 20 September 1981 sebagai putra bungsu dari pasangan Hj. Masku’ah dan H. Tubagus Entus Basuni. Tahun 2003 penulis menyelesaikan jenjang Strata Satu di Institut Pertanian Bogor pada jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Sejak tahun 2005 penulis diangkat menjadi staf pengajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan tahun 2007 penulis berkesempatan untuk melanjutkan studi Strata Dua di Institut Pertanian Bogor pada mayor Ilmu Pangan dengan dana beasiswa BPPS Dikti.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... v 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 2 1.3. Tujuan Penelitian ... 3 1.4. Manfaat Penelitian ... 4 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5 2.1. Gula Merah ... 5 2.2. Nira ... 9

2.3. Penyadapan Nira dan Sumber-Sumber Kontaminasi Nira... 10

2.4. Mikrobiologi Nira ... 14

2.5 Bakteri Asam Laktat dan Fermentasi Nira ... 17

2.6. Derajat Keasaman (pH) Nira dalam Pembuatan Gula Merah ... 19

2.7. Upaya-Upaya Pengawetan Nira ... 20

2.8. Aspek Keamanan Pangan dalam Penggunaan Zat Aditif ... 22

2.9. Asap Cair ... 23

2.10 Aktivitas Antimikroba Asap Cair... 24

2.11. Asap Cair Tempurung Kelapa... 25

2.12. Redestilasi Asap Cair ... 28

3. METODOLOGI ... 30

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 30

3.2. Bahan dan Alat ... 30

3.3. Tahapan Penelitian dan Prosedur Pengujian ... 30

3.3.1. Penelitian Pendahuluan ... 33

(13)

3.3.3. Uji Aktivitas Antimikroba Asap Cair Redestilasi ... 34

3.3.4. Aplikasi Asap Cair Redestilasi untuk Pengawetan Nira ... 36

3.3.5. Pembuatan Gula Merah dengan Menggunakan Konsentrasi Asap Cair Redestilasi Terpilih ... 38

3.3.6. Analisis Statistik ... 39

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1. Potensi Penggunaan Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai Pengawet Nira... 40

4.2. Kadar Fenol Asap Cair Redestilasi ... 43

4.3. Aktivitas Antimikroba Asap Cair Redestilasi ... 50

4.3.1. Uji Aktivitas Antibakteri Asap Cair Tempurung Kelapa Redestilasi 46 4.3.2. Uji Aktivitas Antibakteri Asap cair Tempurung Kelapa Redestilasi terhadap Isolat Bakteri Asal Nira ... 49

4.4. Aplikasi Asap Cair Redestilasi sebagai Pengawet Nira ... 51

4.4.1. Perubahan pH selama 12 Jam Penyimpanan ... 51

4.4.2. Perubahan Jumlah Mikroba selama 12 Jam Penyimpanan ... 53

4.4.3.. Aplikasi Penyadapan Selama 12 Jam ... 55

4.4.4. Simulasi Perubahan pH selama Penyadapan ... 56

4.5. Uji Organoleptik ... 57

4.6. Pengujian Warna ... 58

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 61

5.1.Simpulan ... 61 5.2. Saran ... 61 DAFTAR PUSTAKA ... 62

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Populasi Industri Gula Merah di Indonesia Tahun 2001 ... 5

Tabel 2 Komposisi Asam Organik yang terdapat pada Kecap (mg/100g) .... 6

Tabel 3 Jenis dan Persentase Area Komponen Volatil Kecap Manis dan Gula Merah ... 7

Tabel 4 Kategori Pangan Berdasarkan Indeks Glisemik ... 8

Tabel 5 Syarat Mutu Gula Palma berdasarkan SNI 01-3743-1995 ... 9

Tabel 6 Komposisi Nira dari Berbagai Tanaman Palmae ... 10

Tabel 7 Isolat Mikroorganisme dari Nira Lontar pada Berbagai Waktu Fermentasi ... 16

Tabel 8 Komponen-Komponen yang Teridentifikasi dari Fraksi terlarut Asap Cair Tempurung Kelapa dalam dichloromethane... 27

Tabel 9 Jumlah Mikroba setelah Dikontakkan selama 24 Jam dengan Asap Cair Kasar pada berbagai Konsentrasi ... 41

Tabel 10 Nilai L, a*, dan b* Gula Merah dari Nira yang Mengandung Asap Cair ... 59

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Proses Pengasapan Lodong menggunakan Pemuput ... 12

Gambar 2 Proses Penyadapan Nira : (A) Penyayatan Ujung Mayang dan (B) Pemasangan Penampung Nira dan Penutupnya ... 13

Gambar 3 Alat Destilasi Asap Cair ... 29

Gambar 4 Skema Alur Penelitian Kajian Pengawetan Nira Menggunakan Asap Cair Tempurung Kelapa... 32

Gambar 5 Deskripsi Nilai L, a, dan b pada Pembacaan Chromameter ... 38

Gambar 6 Asap Cair Kasar Tempurung Kelapa Hasil Pengendapan... 41

Gambar 7 Perubahan pH Nira setelah Diberi Perlakuan Penambahan Asap Cair (AC) pada Berbagai Konsentrasi selama 12 Jam ... 42

Gambar 8 Gula Merah dari Nira yang Mengandung Asap Cair 0,50% ... 43

Gambar 9 Total fenol Asap Cair Sebelum (A) dan Sesudah Destilasi (B) ... 44

Gambar 10 Asap Cair Sebelum (A) dan Sesudah Destilasi (B) ... 45

Gambar 11 Jumlah S.aureus setelah Diuji Kontak dengan Asap Cair (AC) pada Berbagai Konsentrasi selama 24 Jam ... 46

Gambar 12 Jumlah P.aeruginosa setelah Diuji Kontak dengan Asap Cair (AC) pada Berbagai Konsentrasi selama 24 Jam ... 47

Gambar 13 Isolat Bakteri Asam Laktat Asal Nira Hasil Pewarnaan Gram .... 50

Gambar 14 Jumlah BakteriAsam Laktat setelah Diuji Kontak dengan Asap Cair (AC) pada Berbagai Konsentrasi selama 24 Jam ... 51

Gambar 15 Grafik Perubahan pH Nira yang Diberi Asap Cair (AC) pada Berbagai Konsentrasi selama 12 Jam Penyimpanan ... 52

Gambar 16 Jumlah Total Mikroba pada Nira yang Diberi Asap Cair (AC) Redestilasi 1,00% selama 12 Jam Penyimpanan ... 53

Gambar 17 Jumlah Total BAL pada Nira yang Diberi Asap Cair Redestilasi 1,00% selama 12 Jam Penyimpanan ... 54

Gambar 18 Jumlah Total Khamir pada Nira yang Diberi Asap Cair Redestilasi 1% selama 12 Jam Penyimpanan ... 54

Gambar 19 Hubungan pH dan Jumlah Bakteri Asam Laktat pada Fermentasi Nira selama 12 Jam Penyimanan ... 55

Gambar 20 Perubahan pH selama Simulasi Penyadapan selama 12 Jam Menggunakan Asap Cair pada Konsentrasi 1,00% dan 3,00% .... 56

Gambar 21 Penilaian Panelis terhadap Kenormalan Rasa Gula Merah dengan Nira yang Mengandung Asap Cair 1,00% dan 3,00%... 58

Gambar 22. Warna Gula Merah dengan Asap Cair 1,00% (A) dan Gula Merah dengan Asap Cair 3,00% (B) ... 59

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Data Pengukuran Total Fenol Pada Asap Cair

Tempurung Kelapa ... 69

Lampiran 2. Hasil ANOVA Kadar Fenol Asap Cair Redestilasi ... 70

Lampiran 3. Uji Lanjut Duncan untuk Pengaruh Destilasi ... 71

Lampiran 4. Penentuan MIC Asap Cair Redestilasi Terhadap P.aeruginosa . 72 Lampiran 5. Hasil ANOVA Nilai MIC P.aeruginosa ... 73

Lampiran 6. Uji Lanjut Duncan untuk Nilai MIC P.aeruginosa ... 75

Lampiran 7. Data Penentuan MIC S.aureus... 76

Lampiran 8. Hasil ANOVA Nilai MIC S.aureus ... 77

Lampiran 9. Uji Lanjut Duncan untuk Nilai MIC S.aureus... 79

Lampiran 10. Data Penentuan MIC Isolat BAL ... 80

Lampiran 11. Hasil ANOVA Nilai MIC Isolat BAL ... 81

Lampiran 12. Uji Lanjut Duncan untuk Nilai MIC Isolat BAL ... 82

Lampiran 13. Perubahan pH Nira Selama 12 Jam Penyimpanan ... 83

Lampiran 14. Hasil ANOVA Perubahan pH Nira Selama 12 Jam Penyimpanan ... 84

Lampiran 15. Uji Lanjut Duncan untuk Konsentrasi ... 86

Lampiran 16. Uji Lanjut Duncan untuk Waktu ... 87

Lampiran 17. Data Simulasi Penyadapan Nira ... 89

Lampiran 18. Hasil ANOVA Perubahan pH Simulasi Penyadapan Nira ... 90

Lampiran 19. Uji Lanjut Duncan untuk Konsentrasi ... 92

Lampiran 20. Uji Lanjut Duncan untuk Waktu ... 93

Lampiran 21. Hasil Uji Organoleptik ... 95

Lampiran 22. Hasil ANOVA Uji Organoleptik ... 96

Lampiran 23. Uji Lanjut Duncan untuk Kesukaan ... 97

(17)

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gula merah merupakan gula yang diperoleh dari pengolahan nira tanaman palma seperti aren, kelapa, dan lontar (nipah). Di Indonesia, produksi gula aren tersebar hampir diseluruh pulau. Daerah yang paling banyak memproduksi gula merah adalah: Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Barat (Sulaeman, 2002).

Hasil penelusuran media massa menunjukkan bahwa pengembangan industri gula aren, salah satu jenis gula merah, mulai dilakukan pada tahun 2006 terutama di Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Pada tanggal 14 Januari 2007 dilakukan ekspor perdana gula aren sebanyak 12,5 ton dari Tomohon, Sulawesi Utara, ke Rotterdam, Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa gula merah memiliki pasar yang luas, tidak hanya dalam negeri tetapi juga luar negeri (ekspor).

Keunggulan yang dimiliki gula merah diantaranya adalah memiliki flavor dengan komposisi tertentu asam-asam organik dan komponen volatil yang dapat memberikan rasa dan aroma khas sehingga penggunaannya sebagai

ingredient pada industri pangan seperti kecap manis dan makanan tradisional

tidak dapat digantikan oleh gula putih. Keunggulan lain dari gula merah adalah memiliki nilai indeks glisemik (IG) sebesar 35 yang menggolongkannya sebagai bahan pangan dengan IG rendah sehingga lebih aman untuk dikonsumsi bagi para penderita diabetes karena tidak menyebabkan kadar gula darah meningkat tajam.

Gula merah yang berkualitas diperoleh dari nira yang masih terjaga kesegarannya. Nira adalah bahan baku gula merah berupa cairan yang keluar dari mayang atau tandan bunga tanaman palma melalui proses penyadapan. Nira merupakan produk yang sangat rentan terhadap kerusakan akibat fermentasi oleh mikroorganisme yang mengkontaminasinya selama

(18)

penyadapan. Nira yang asam akibat proses fermentasi tidak dapat diolah menjadi gula cetak karena sukar mengeras.

Antispasi terhadap kerusakan nira dilakukan dengan pengawetan baik secara tradisional maupun dengan penambahan zat aditif. Teknik pengawetan nira secara tradisional yang selama ini dilakukan oleh para penderes adalah dengan melakukan pembersihan lodong (wadah penampung nira) dan melakukan pemuputan atau pengasapan lodong sebelum digunakan untuk menyadap. Ketika proses pemasakan nira menjadi gula merah dengan bahan bakar kayu berlangsung, lodong yang telah dibersihkan diletakkan di atas perapian. Dengan demikian lodong mengalami proses pengasapan dan mendapat efek antimikroba. Upaya lain yang dilakukan adalah menambahkan pengawet alami seperti kulit pohon manggis, kulit buah manggis muda, daun manggis, akar kawao, kulit kayu ralu, dan sebagainya.

Pengetahuan mengenai pengawet kimia (zat aditif) mendorong petani untuk menambahkan pengawet kimia seperti natrium bisulfit, natrium metabisulfit, serta natrium benzoat ketika penyadapan dan pengolahan nira. Penggunaan zat aditif seperti ini di satu sisi dapat mengawetkan nira tetapi disisi lain mendatangkan masalah baru dimana para penderes menggunakan zat aditif tersebut secara berlebihan sehingga dapat menurunkan kualitas gula merah. Efek yang paling umum terjadi akibat penggunaan pengawet secara berlebihan adalah timbulnya rasa (after taste) yang tidak enak. Efek lain penggunaan zat aditif seperti sulfit yang berasal dari zat aditif makanan dapat mengakibatkan serangan asma, rasa panas dan gangguan pada daerah abdomen (perut). Hal ini tentu akan menjadi hambatan dalam pemasaran gula merah sebagai komoditi ekspor.

1.2. Perumusan Masalah

Nira sebagai bahan baku gula merah memiliki sifat mudah mengalami perubahan sifat psikokimia terutama penurunan pH akibat fermentasi spontan oleh mikroorganisme. Kontaminasi mikroorganisme dalam nira bersumber dari perlengkapan menyadap yang kurang bersih, kondisi penyadapan yang terbuka, serta higiene penderes yang kurang baik ketika melakukan

(19)

penyadapan. Penurunan pH nira akibat fermentasi akan menghambat proses pengkristalan sukrosa sehingga gula yang dihasilkan tidak padat. Nira yang disadap tanpa disertai upaya pengawetan memiliki pH dibawah 5. Proses pengkristalan sukrosa agar menghasilkan gula yang padat harus dilakukan pada pH diatas 5,5. Penambahan pengawet sintetis seperti asam dan garam benzoat serta senyawa golongan sulfit yang biasa digunakan penderes mengakibatkan gula yang dihasilkan ditolak oleh konsumen khususnya konsumen luar negeri. Penambahan kapur untuk menetralkan keasaman nira yang sudah terlanjur asam mengakibatkan perubahan rasa pada gula yang dihasilkan. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu langkah pengawetan guna mencegah penurunan pH dengan menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang mengkontaminasi nira selama penyadapan menggunaan pengawet yang lebih efektif dan aman.

Pengasapan merupakan metode tradisional yang digunakan oleh petani penderes untuk membantu membunuh mikroorganisme pada peralatan penyadapan nira (lodong). Pengasapan tradisional ini belum dapat mengatasi masalah fermentasi nira karena prosesnya tidak terkontrol dan efek antimikroba yang didapatkan tidak seragam. Penggunaan asap cair secara langsung belum pernah dilakukan. Asap cair merupakan hasil kondensasi asap yang tidak mengandung zat karsinogenik dan memiliki aktivitas antimikroba, serta terbukti sebagai ingredient yang aman. Penggunaan asap cair diharapkan dapat menjadi pengawet alternatif nira yang aman dan lebih terkontrol proses penggunaannya.

1.3. Tujuan

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengkaji penggunaan asap cair tempurung kelapa sebagai pengawet nira yang lebih terkontrol dan lebih aman, sedangkan tujuan khususnya yaitu (1) Mengevaluasi potensi asap cair tempurung kelapa tanpa dan dengan destilasi ulang (redestilasi) sebagai pengawet nira, (2) Menguji aktivitas antimikroba dengan menentukan perubahan total fenol akibat destilasi ulang dan nilai MIC asap cair terhadap bakteri gram positif, bakteri gram negatif, serta bakteri asam laktat (BAL) asal

(20)

nira, dan (3) Menentukan konsentrasi asap cair untuk aplikasi dalam penyadapan nira yang mampu mempertahankan kesegaran nira (pH = 6 – 7) selama penyadapan (12 jam).

1.4. Manfaat penelitian

Kajian ini dapat menjadi salah satu alternatif solusi dalam pengawetan nira dan menjadi informasi ilmiah mengenai penggunaan asap cair sebagai pengawet untuk komoditi pangan lainnya.

(21)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gula Merah

Gula merah atau gula palma merupakan produk olahan yang diperoleh dari pengolahan nira segar tumbuhan palma. Agroindustri usaha gula merah umumnya terdapat di pedesaan pada skala rumah tangga dengan tingkat permodalan yang kecil tetapi berkontribusi besar dalam memberikan tambahan pendapatan bagi rumah tangga pengrajin. Gula merah diproduksi dalam skala rumah tangga dengan jumlah unit produksi sebanyak 147.362 unit (Sulaeman, 2002). Populasi industri gula merah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Populai Industri Gula Merah di Indonesia Tahun 2001 Daerah Penghasil Jumlah Unit Industri Jenis Gula

Sumatera Utara 454 Aren

Bengkulu 919 Aren

Jawa Barat dan Banten 11.809 Aren, Kelapa

Jawa Tengah 107.374 Aren, Kelapa, Tebu

Kalimantan Selatan 4.664 Aren, Kelapa

Bali 6.994 Aren

Nusa Tenggara Barat 404 Aren, Kelapa, Lontar

Sulawei Selatan 2.901 Aren, Kelapa, Lontar

Sulawesi Utara 1.792 Aren, Kelapa

Daerah lainnya 10.071 Aren, Kelapa, Lontar

Total 147.362 Sumber : Sulaeman (2002)

Hasil penelusuran mengenai perkembangan industri gula merah dari media massa menunjukkan bahwa pengembangan industri gula aren mulai dilakukan lagi pada tahun 2006 terutama di Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Pulau Muna di Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur (Tempointeraktif, 2006). Pada tanggal 14 Januari 2007 dilakukan ekspor perdana gula aren sebanyak 12,5 ton dari Tomohon, Sulawesi Utara, ke Rotterdam, Belanda (Humas Kementerian

(22)

Korbidkesra, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa gula merah memiliki pasar yang luas, tidak hanya dalam negeri tetapi juga luar negeri (ekspor).

Gula merah memiliki perbedaan sifat fungsional dengan gula putih (tebu) terutama pada rasa manis, warna, aroma, dan keempukan. Karena kekhasan yang dimilikinya, gula merah banyak digunakan sebagai ingredient (bahan tambahan pangan) dalam berbagai jenis makanan dan minuman tradisional. Gula merah dibedakan berdasarkan asal niranya. Gula kelapa, gula aren, dan gula nipah masing-masing secara berturut-turut berasal dari nira kelapa, nira aren, dan nira nipah. Soekarto et al. (1991) menjelaskan bahwa penggunaan gula merah di industri pangan (kecap, dodol, dan tauco) lebih banyak menggunakan gula kelapa dan gula aren.

Penelitian sensoris yang dilakukan oleh Apriyantono dan Wiratma (1997) memberi kesimpulan bahwa penggunaan gula merah (gula kelapa dan gula aren) sebagai ingredient pada kecap manis lebih disukai dari pada gula putih. Hal ini disebabkan karena gula merah memiliki kandungan flavor khas dengan komposisi tertentu asam-asam organik yang dapat memberikan rasa disukai secara sensori.

Tabel 2 Komposisi Asam Organik yang terdapat pada Kecap (mg/100g) Jenis Asam Organik Kecap Aren Kecap Kelapa Kecap Tebu

Asam Oksalat - 0,4 1,1 Asam Sitrat 7,3 3,5 - Asam Tartarat 2,2 4,2 - Asam Laktat 35,5 53,7 - Asam Format 8,6 13,1 21,1 Asam Fumarat 1,6 1,0 2,7 Asam Malat 54,8 71,2 35,6 Asam Suksinat 54,5 49,8 918,4 Asam Asetat 14,6 23,1 2,5 Total 179,0 219,9 981,4

Sumber : Apriyantono dan Wiratma (1997)

Penggunaan gula merah sebagai ingredient pada pengolahan pangan tradisonal lainnya, juga tidak dapat digantikan oleh gula putih. Hal ini

(23)

diperkuat oleh hasil penelitian Nurhayati (1996) yang menyimpulkan bahwa hampir semua komponen volatil yang terdeteksi pada gula merah juga terdeteksi pada kecap manis yang ingredientnya adalah gula merah (Tabel 3). Tabel 3. Jenis dan Persentase Area Komponen Volatile Kecap Manis dan Gula

Merah Komponen Volatil Kecap Kelapa Gula Kelapa Kecap Aren

Gula Aren Kecap Tebu Gula tebu

% Σ % Σ % Σ % Σ % Σ % Σ Aldehid 5,43 4 0,74 3 3,40 3 - - 7,08 1 1,35 2 Keton 3,27 9 12,62 13 2,56 10 3,31 12 2,91 12 2,74 11 Alkohol 4,22 5 4,28 6 2,90 5 2,0 3 3,20 7 3,27 2 Asam 40,07 12 63,88 8 49,89 13 45,31 14 36,66 13 15,0 12 Furan 21,49 12 5,12 5 13,92 6 7,81 5 21,29 12 31,83 9 Pirazin 4,77 11 5,93 11 8,87 12 24,95 16 3,63 6 28,83 12 Pirol 1,11 4 0,48 3 1,40 3 1,36 3 0,68 2 1,25 3 Tiazol 0,19 1 0,21 2 - - - - - - - -- Tur. Benzene 10,07 7 0,66 4 11,01 7 4,69 6 13,71 8 1,39 6 Ester 3,88 9 1,47 7 3,13 7 - - 1,86 5 4,30 6 Hidrokarbon 0,10 3 0,69 3 0,20 2 0,06 1 0,33 4 0,68 3 Piridin 0,34 3 - - 0,28 1 0,46 3 - - 0,20 2 Piran 0,07 2 0,04 1 0,12 1 - - 0,08 1 0,47 3 Fenol 0,25 2 0,36 1 1,56 5 3,39 9 2,48 6 2,52 6 Unknown 4,47 22 3,62 22 10,85 27 4,66 24 6,09 32 7,13 31 Total 100,00 106 100,00 89 100,00 102 100,00 104 100,00 109 100,00 108 Sumber : Nurhayati (1996)

Keunggulan lain yang dimiliki gula merah ditunjukkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Philippine Food and Nutrition Research

Institute (PFNRI) (2009) mengenai indeks glisemik gula merah. Indeks

glisemik (IG) merupakan angka yang menunjukkan tingkatan pangan berdasarkan besarnya efek (immediate effect) pengaruh konsumsi suatu jenis makanan terhadap kadar gula darah. Dengan mengetahui nilai IG suatu makanan, penderita diabetes khususnya dapat melakukan pemilihan makanan sendiri sehingga kadar gula darah dapat dikontrol. Makanan dengan nilai IG tinggi mengindikasikan bahwa kandungan karbohidrat yang berada

(24)

didalamnya dapat dengan cepat diubah menjadi gula sederhana (glukosa) yang menyebabkan kenaikan gula darah secara cepat. Kategori bahan pangan berdasarkan nilai IG dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Kategori Pangan Berdasarkan Indeks Glisemik Kategori Pangan Rentang Indeks Glisemik*

IG Rendah < 55

IG Sedang (intermediate) 56 – 69

IG Tinggi >70

*Pangan acuan yang digunakan adalah glukosa Sumber : Miller et al. (1996)

Miller (1996) diacu dalam Rimbawan dan Siagian (2004) menjelaskan bahwa gula pasir (sukrosa) memiliki IG sedang yaitu 65. Fruktosa murni memiliki IG sebesar 23 (rendah) karena untuk menjadi gula darah harus diubah dahulu dalam hati menjadi glukosa sehingga respon kenaikan gula darah pasca konsumsi fruktosa terjadi lebih lambat. Bahan pangan yang mengandung sukrosa tinggi ternyata memiliki IG mendekati nilai 60, lebih rendah dari IG sukrosa sendiri. Begitupun dengan madu yang terdiri dari beragam jenis gula, memiliki IG 58. Namun beberapa jenis madu yang telah dicampur sirup glukosa memiliki IG sangat tinggi yaitu 87. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh komposisi gula (yang secara alami terdapat didalam pangan seperti laktosa, sukrosa, glukosa, dan fruktosa dalam berbagai proporsi) terhadap respon gula darah sangat sulit diprediksi.

Hasil penelitian PNFRI (2009) menunjukkan bahwa gula merah dari nira kelapa (gula kelapa) memiliki indeks glisemik (IG) sebesar 35 sehingga gula merah ini digolongkan sebagai bahan pangan dengan IG rendah. Makanan dengan IG rendah dinilai lebih aman untuk dikonsumsi karena tidak menyebabkan kadar gula darah meningkat tajam setelah dikonsumsi terutama bagi para penderita diabetes.

Gula merah yang berkualitas diperoleh dari nira yang masih terjaga kesegarannya. Kualitas gula merah menurut Standar Nasional Indonesia memiliki syarat mutu seperti yang tercantum pada Tabel 5.

(25)

Tabel 5 Syarat Mutu Gula Palma berdasarkan SNI 01-3743-1995 Persyaratan No Kriteria Uji Satuan

Cetak Granula/Butiran 1 Keadaan

1.1 Bentuk Normal Normal

1.2 Rasa dan Aroma Normal, Khas Normal, Khas

1.3 Warna Kuning Kecoklatan

sampai Coklat

Kuning Kecoklatan sampai Coklat

2 Bagian yang tak larut air % b/b Maks. 1,0 Maks. 0,2 3 Air % b/b Maks. 10,0 Maks. 3,0 4 Abu % b/b Maks. 2,0 Maks 2,0 5 Gula Pereduksi % b/b Maks. 10,0 Min. 6,0 6 Jumlah gula sebagai

sakarosa

% b/b Maks. 77 Min. 90 7 Cemaran Logam

7.1 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0

7.2 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 2,0 Maks. 2,0

7.3 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10,0 Maks. 10,0

7.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03 Maks. 0,03

7.5 Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0

8 Arsen (As) mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0 Sumber : Dewan Standardisasi Nasional (1995)

2.2. Nira

Nira adalah cairan mengandung gula yang diperoleh dari tanaman tertentu seperti tebu dan tanaman palma. Nira tebu diperoleh dengan melakukan pemerasan batang tebu, sedangkan nira dari tanaman palma diperoleh dengan melakukan penyadapan. Tanaman palma yang umum disadap niranya adalah kelapa, aren, dan lontar. Cairan yang mengandung gula ini mempunyai pH netral sekitar 7 pada saat keluar dari mayang dengan kadar air sekitar 80-85% (Lalujan, 1995). Komposisi nira dari berbagai jenis tanaman palma disajikan pada Tabel 6.

Komposisi nira pada berbagai jenis tanaman palma tidak begitu berbeda jauh. Semua komponen tersebut merupakan faktor-faktor yang menentukan karakter dari produk olahan yang dihasilkan. Walaupun demikian, perbedaan kandungan komponen organik mikro seperti asam organik, gula perduksi, jumlah protein, serta kondisi nira ketika akan diolah dan penggunaan zat aditif pada akhirnya akan membedakan karakteristik gula yang dihasilkan (Apriyantono dan Wiratma, 1997; Nurhayati, 1996).

(26)

Tabel 6 Komposisi Nira dari Berbagai Tanaman Palma Kandungan (%) pada : Komposisi

Kelapa Siwalan/Lontar Aren

Air 87,78 87,00 85,00 Sukrosa 10,88 10,93 13,69 Gula Pereduksi 0,21 0,96 0,23 Protein 0,17 0,35 0,20 Lemak 0,37 0,02 0,11 Sumber : Lalujan (1995)

Putra (1990) dan Apriyantono et al. (2003) menyatakan bahwa komponen pada nira yang menjadi reaktan proses pencoklatan pada pembuatan gula merah adalah gula dan protein. Komponen gula yang berpengaruh pada pembentukan warna coklat dalam pembuatan gula merah adalah glukosa dan fruktosa (sebagai gula perduksi) dan reaksi Maillard memegang peranan penting dalam pembentukan warna coklat dari gula merah. Kemampuan nira untuk mengeras (mengkristal) ditentukan oleh kandungan sukrosa dan keasaman nira. Penggunaan kapur untuk menetralkan nira yang telah sedikit asam akan menyebabkan warna gula menjadi lebih gelap, sebaliknya penggunaan senyawa sulfit sebagai pengawet akan meningkatkan kecerahan warna gula merah karena sulfit menghambat terjadinya reaksi pencoklatan.

2.3. Penyadapan Nira dan Sumber-Sumber Kontaminasi Nira

Penyadapan nira dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pagi hari dan sore hari. Nira hasil penyadapan yang dimulai pada pagi hari dikumpulkan pada sore harinya, sedangkan yang disadap pada sore hari dikumpulkan pada pagi hari berikutnya. Proses penyadapan nira diawali dengan mempersiapkan lodong (wadah penmpung nira). Pembersihan lodong yang biasa dilakukan yaitu dengan membasuh lodong menggunakan air dingin, kemudian dibasuh dengan air panas sesaat sebelum lodong dibawa menuju tempat penyadapan. Pembersihan lodong juga dilakukan dengan pengasapan selama sepuluh menit menggunakan suatu alat khusus (pemuput). Penggunaan lodong saat ini mulai digantikan dengan ember plastik karena lebih praktis.

Lodong merupakan salah satu sumber kontaminasi silang terhadap nira yang akan disadap. Iskandar (1991) menjelaskan bahwa pembersihan

(27)

lodong dengan menggunakan air panas dan pengasapan pada bumbung yang masih baru tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap pH, kadar sukrosa, dan kadar gula pereduksi dari nira aren. Lodong yang telah digunakan berulang-ulang tidak cukup hanya dibasuh dengan air karena bumbung yang telah lama biasanya memiliki retakan-retakan yang sangat mungkin untuk ditumbuhi berbagai jenis mikroorganisme perusak nira dan tidak terbersihkan sewaktu dilakukan pencucian. Oleh karena itu bumbung sering juga disucihamakan dengan menggunakan kaporit atau dengan asap belerang (BBIHP, 1984; diacu dalam Iskandar, 1991).

Bakteri asam laktat, khamir, serta mikroorganisme lainnya dapat mengkontaminasi nira jika lodong yang digunakan dalam penyadapan nira tidak bersih. BAL diduga kuat merupakan mikroba awal yang menyebabkan kerusakan nira. Bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang dicirikan dengan hasil metabolisme terhadap karbohidrat yang membentuk asam laktat (sebagai produk utama) yang berdampak pada penurunan pH nira. BAL merupakan bakteri pembusuk berbentuk basil golongan gram positif sedangkan P.aeruginosa merupakan bakteri pembusuk berbentuk basil, termasuk dalam golongan bakteri gram negatif yang sering menimbulkan kerusakan pada berbagai jenis makanan (Fardiaz, 1992). .

Pengasapan yang dilakukan oleh petani penderes dilakukan dengan dua cara. Cara pertama dengan memanfaatkan asap pada saat pembuatan gula. Ketika proses pembuatan gula dilakukan, lodong diletakkan diatas perapian sehingga asap pembakaran melingkupinya. Proses pengasapan lainnya adalah dengan menggunakan alat khusus yang disebut pemuput atau alat untuk memuput (mengasapi). Proses pemuputan dilakukan kurang lebih sepuluh menit.

Gambar 1 menunjukkan proses pengasapan yang sedang dilakukan oleh penderes sebelum lodong digunakan untuk menyadap. Asap yang digunakan pada proses pengasapan berasal dari pembakaran berbagai macam kayu. Dengan demikian, proses pengasapan yang dilakukan secara tradisional ini tidak terkontrol dan setiap kali proses ini dilakukan efek antimikroba yang didapatkan tidak seragam.

(28)

LODONG

PEMUPUT

Gambar 1 Proses Pengasapan Lodong menggunakan Pemuput.

Setelah proses pembersihan dan pengasapan lodong selesai, selanjutnya dilakukan penyadapan. Petani menggunakan sigay, sejenis tangga dari sebatang bambu, untuk mencapai posisi tandan yang terdapat dibagian atas pohon aren. Panjang sigay mencapai 15 sampai 20 meter. Penyadapan pertama kali dilakukan dengan memotong tandan bunga atau mayang. Untuk mengawali proses penyadapan berikutnya dilakukan dengan menyayat permukaan mayang yang telah dipotong. Penyayatan yang dilakukan setiap kali akan menyadap mengakibatkan panjang mayang mengalami pengurangan sampai akhirnya tidak dapat disadap lagi.

Purnomo (1997) menjelaskan bahwa pemotongan atau pengirisan ujung mayang dilakukan untuk mempermudah proses keluarnya nira. Jika tidak dilakukan pengirisan, ujung mayang akan mengalami kebusukan dan pori-pori mayang tetutup sehingga nira yang dihasilkan jumlahnya sedikit dan terkontaminasi mikroba yang sudah tumbuh lama pada ujung mayang. Purnomo (1997) juga menjelaskan bahwa pada penyadapan nira kelapa yang baik, pengirisan batang mayang dilakukan ketika ujung mayang yang telah dipotong sebelumnya mengalami kebusukan. Tebal irisan tidak boleh terlalu tipis dan juga tidak boleh terlalu tebal. Pengirisan yang baik adalah pada permukaan mayang yang layu saja. Jika terlalu tebal akan merugikan petani karena masa penyadapan akan berkurang, sedangkan jika terlalu tipis akan

(29)

menyisakan bagian mayang yang layu dan telah terkontaminasi mikroorganisme.

Gambar 2 memperlihatkan proses penyadapan nira oleh penderes. Pada penyayatan mayang aren, pemotongan dan penyayatan mayang dilakukan dengan menggunakan golok yang tajam. Penyayatan mayang dilakukan dengan teknik khusus sehingga tetesan nira tepat masuk kedalam wadah penampung. Setelah penyayatan dilakukan, wadah penampung yang telah disiapkan dipasang dengan cara dikaitkan pada mayang sedemikian rupa sehingga tetesan nira dapat tertampung. Setelah wadah penampung dipasang, dilakukan penutupan dengan menggunakan penutup yang dibuat dari kulit pohon, kain atau plastik.

A B

Gambar 2 Proses Penyadapan Nira : (A) Penyayatan Ujung Mayang dan (B) Pemasangan Penampung Nira dan Penutupnya.

Pisau atau golok yang digunakan sebagai alat pengiris biasanya diasah menggunakan batu asah dan air terlebih dahulu. Golok dengan kondisi tidak bersih ini merupakan sumber kontaminasi terhadap nira yang disadap. Kondisi penampung yang terbuka merupakan sumber kontaminasi yang lain dimana dari udara bebas akan masuk kontaminan. Penutupan wadah penampung bertujuan untuk melindungi nira agar tidak terkena panas matahari langsung dan tidak terkena air hujan. Tetapi penutupan yang dilakukan tidak dapat menghindarkan nira dari jangkauan serangga seperti lebah, lalat, dan semut. Serangga-serangga ini merupakan agen sumber kontaminasi karena pada permukaan tubuhnya membawa mikroorganisme yang bisa mengkontaminasi dan memfermentasi nira.

(30)

Nira segar yang keluar dari tandan dan belum mengalami fermentasi mempunyai pH netral dengan kadar air sekitar 80-85% (Lalujan, 1995). Nira yang dihasilkan dari pohon aren dapat mencapai lima liter dari satu mayang untuk sekali penyadapan. Nira yang dihasilkan dari pohon kelapa volumenya lebih sedikit dalam satu kali penyadapan yaitu berkisar antara 1 sampai 1,5 liter (Purnomo, 1997). Hal inilah yang menyebabkan mengapa lodong yang digunakan untuk menampung nira aren berbentuk lebih besar dan lebih panjang dibandingkan dengan lodong untuk menampung nira kelapa yang betuknya lenih kecil dan lebih pendek. Volume nira yang dihasilkan semakin berkurang sampai akhirnya tidak ada lagi nira yang menetes dari mayang. Selain karena pengirisan mayang yang dilakukan setiap hari, berkurangnya volume nira juga dipengaruhi oleh musim. Pada musim kemarau, nira yang dihasilkan lebih sedikit sedangkan pada musim hujan sebaliknya, nira yang dihasilkan lebih banyak.

Proses penyadapan nira yang sepenuhnya dilakukan secara manual oleh penderes memungkinkan terjadinya kontaminasi silang. Staphylococcus

aureus merupakan salah satu bakteri patogen yang keberadaannya

berhubungan dengan higiene dari manusia yang mengelola bahan pangan (Sunen, 1998). S.aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk kokus yang tumbuh secara optimum pada suhu 350-370 C dengan pH 7,0 – 7,8. Kondisi higiene penderes yang kurang baik merupakan suatu peluang bagi S.aureus untuk tumbuh dengan baik pada nira.

2.4. Mikrobiologi Nira

Pengolahan cairan bergula alami seperti nira umumnya dilakukan masyarakat Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Penelitian-penelitian yang berkembang tentang nira umumnya dihubungkan dengan proses pengolahan fermentatif nira menjadi minuman beralkohol dan asam asetat. Hal inilah yang menyebabkan reaksi perubahan psikokimia seperti perubahan pH, kadar gula, total asam, dan kadar alkohol yang terjadi pada nira diidentikkan dengan hasil metabolisme khamir dan bakteri asam asetat.

(31)

Perubahan sifat nira akibat fermentasi mulai tampak satu sampai dua jam setelah dikumpulkan. Perubahan yang terjadi berupa penuruan pH dan peningkatan kadar alkohol. Organisme yang bertanggung jawab dalam perubahan nira adalah S.cerevisiae dan Schizosaccharomyces pombe dari golongan khamir dan Lactobacillus plantarum serta Leuconostoc

mesenteroides dari golongan bakteri. Jika fermentasi dibiarkan terus lebih dari

96 jam maka nira akan berubah menjadi cuka (vinegar). Selama 24 jam penyimpanan, pH nira akan berubah dari 7,4-6,8 menjadi 5,5 dan kandungan alkohol juga meningkat menjadi 1,5-2,1%. Selama 72 jam, kadar alkohol dapat mencapai 4,5%-5,2% dan pH 4,0. Senyawa asam organik yang biasanya terdapat pada nira asam ini adalah asam laktat, asam asetat, dan asam tartarat (Battcock dan Azam-Ali, 1998).

Fermentasi yang terjadi pada pembuatan minuman dari sari buah anggur juga tidak jauh berbeda. Fermentasi yang terjadi dapat bersifat spontan dengan menggunakan khamir yang berada pada kulit anggur atau menggunakan kultur starter berupa S.cerevisiae. Penggunaan khamir yang terdapat secara alami pada kulit buah anggur menyebabkan hasil akhir fermentasi tidak terkontrol. Fermentasi akan terhenti secara alami ketika gula yang dapat difermentasi telah habis atau ketika kadar alkohol mencapai kadar limit toleransi bagi pertumbuhan khamir. Penghentian proses fermentasi juga dapat dilakukan secara teknis dengan menambahkan alkohol atau dengan sentrifugasi dan filtrasi steril (Battcock dan Azam-Ali, 1998).

Sumanti et al. (2004) dan Okrafor (1978) menyatakan fermentasi spontan yang terjadi pada nira adalah fermentasi laktat-alkohol-asetat yang melibatkan bakteri asam laktat, khamir, dan bakteri asam asetat. Bakteri

Leuconostoc spp dan Lactobacillus spp merupakan mikroorganisme awal yang

diduga dominan terdapat dalam nira segar. Saccharomyces cereviceae adalah khamir yang biasa melakukan fermentasi alkohol. Bakteri asam laktat dan khamir bekerja secara bersama dalam proses fermentasi nira. Mikroorganisme terakhir yang berperan adalah bakteri pembentuk asam asetat, antara lain Acetobacter spp, C. mycoderma, dan S. pombe.

(32)

James dan Chen (1985) menyatakan bahwa nira memiliki kandungan gula yang tidak cukup untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme, bahkan merupakan media yang baik untuk petumbuhan mikroorganisme jika nira dibiarkan beberapa waktu. Cahyaningsih (2006) melakukan isolasi mikroorganisme pada beberapa waktu fermentasi (Tabel 7). Berdasarkan data ini maka dapat dinyatakan bahwa BAL merupakan mikroorganisme awal yang bertanggung jawab dalam fermentasi awal nira.

Tabel 7. Isolat Mikroorganisme dari Nira Lontar pada Berbagai Waktu Fermetasi

Jam ke- Nilai pH Jenis Mikroorganisme Total BAL (CFU/ml)

0 6,5 Khamir dan BAL 3,6 x 102

6 5,3 Bacillus, khamir dan BAL 6,8 x 107 12 4,8 Bacillus, khamir dan BAL 6,4 x 105 24 4,1 Bacillus, khamir dan BAL 7,1 x 103

36 3,6 Bacillus dan khamir -

48 3,6 Bacillus dan khamir -

Sumber : Cahyaningsih (2006)

Bakteri asam laktat yang berhasil diisolasi oleh Cahyaningsih (2006) diidentifikasi sebagai Lactobacillus plantarum dan Leuconostoc

mesenteroides. Kehadiran BAL didalam fermentasi nira berlangsung selama

24 jam. Setelah itu mikroorganisme yang tetap bertahan adalah khamir dan

Bacillus.

Kehadiran BAL dalam proses fermentasi nira dan pengolahan sari anggur menjadi minuman beralkohol sangat tidak diharapkan karena hasil metabolisme BAL akan menyebabkan produk yang dihasilkan berasa asam. Kerusakan produk akhir pada minuman beralkohol juga disebabkan oleh kehadiran bakteri pembentuk asam asetat yang mengoksidasi alkohol menjadi asam asetat sehingga minuman beralkohol tersebut memiliki bau yang menyimpang dan rasa yang asam. Oleh karena itulah maka dalam tahap awal pembuatan minuman anggur beralkohol pada skala industri dilakukan penambahan potassium metabisulfit untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme yang tidak diinginkan (Jay et al., 2005).

(33)

2.5. Bakteri Asam Laktat (BAL) dan Fermentasi Nira

Penelitian Cahyaningsih (2006) mendukung pernyataan Okrafor (1978) dan Sumanti et al. (2004). Berdasarkan hasil penelitiannya, BAL diduga kuat merupakan mikroba awal yang menyebabkan fermentasi nira. Bakteri asam laktat adalah kelompok bakteri yang dicirikan dengan hasil metabolisme terhadap karbohidrat yang membentuk asam laktat (sebagai produk utama). Produksi asam oleh BAL sangat cepat sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Bakteri asam laktat merupakan bakteri gram positif, tidak membentuk spora, berbentuk bulat, katalase dan oksidase negatif, non motil atau sedikit motil, mikroaerofilik sampai anaerob, toleran terhadap asam, kemoorganotrofik, dan mesofilik (Salminen et al. 2004; Stamer, 1979).

Jenis bakteri yang termasuk kedalam BAL adalah family

Lactobacilliceae yaitu Lactobacillus, serta family Streptoceae yaitu Leuconostoc, Streptococus, dan Pediococus (Fardiaz, 1992). Nettless dan

Brefort (1993) menyatakan genus BAL antara lain Lactococcus, Pediococcus,

Leuconostoc, Lactobacillus dan Carnobacterium.

Bakteri asam laktat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan kemampuannya memetabolisme karbohidrat dan produk akhir yang dihasilkan, yaitu BAL homofermentatif dan heterofermentatif. Bakteri asam laktat homofermentatif memfermentasi glukosa menjadi asam laktat. Bakteri asam laktat heterofermentatif memetabolisme glukosa menjadi asam laktat, asam asetat, etanol, dan CO2 (Sharpe, 1979). Salminen et al. (2004) juga menerangkan bahwa BAL homofermentatif memetabolisme gula melalui jalur Embden-Meyerhoff-Parnass menghasilkan produk utama berupa asam laktat, sedangkan BAL heterofermentatif memetabolisme gula melalui jalur fosfoketolase menjadi asam laktat dan produk organik lainnya seperti alkohol, asam asetat, asam lemak bebas, asam format, amonia, diasetil, asetonin, dan CO2. Umumnya BAL bekerja pada kondisi mikroaerofilik dan anaerobic (Ayres et al. 1980).

Battcock dan Azam-Ali (1998) menjelaskan metabolisme BAL homofermentatif berjalan dengan reaksi kimia sebagai berikut :

(34)

C6H12O6 2 CH3CHOHCOOH

Glukosa Asam Laktat

Sedangkan pada BAL heterofermentatif berlangsung dengan reaksi kimia sebagai berikut :

C6H12O6 CH3CHOHCOOH+ C2H5OH+ CO2

Glukosa Asam Laktat Etanol Karbondioksida Goutara dan Wijandi (1985) menjelaskan kerusakan nira akibat aktivitas mikroorganisme ditandai dengan rasa asam pada nira, berbuih putih, dan berlendir. Perlengkapan menyadap yang kurang bersih, kondisi penyadapan yang terbuka, kebersihan tangan penderes serta waktu penyadapan yang cukup lama merupakan faktor-faktor yang menyebabkan nira terkontaminasi oleh mikroorganisme.Rasa asam yang timbul pada awal kerusakan nira merupakan efek dari asam laktat yang dihasilkan oleh BAL. Proses fermentasi selanjutnya dilakukan oleh BAL dan khamir secara bersama-sama menghasilkan asam laktat, etanol dan terbentuknya gas CO2 yang diindikasikan dengan terbentuknya buih pada nira. Kekeruhan dan penampakan pada nira yang lebih kental dan berlendir disebabkan oleh kerja

Saccharomyces spp. Keruskan nira diakhiri dengan terbentuknya asam asetat

dari proses oksidasi etanol oleh bakteri asam asetat. Reaksi yang umum terjadi pada proses fermentasi adalah sebagai berikut:

C6H12O6 Æ 2 C2H5OH + 2 CO2

Glukosa / Fruktosa Khamir Etanol Karbondioksida C2H5OH + O2 Æ CH3COOH + H2O

Etanol Bakteri asam asetat Asam Asetat Air

Turunnya pH akibat asam laktat meningkatkan laju pertumbuhan dan metabolisme BAL, menekan aktivitas bakteri tidak tahan asam, serta meningkatkan laju degradasi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa. Glukosa dan fruktosa yang terbentuk meningkatkan laju pertumbuhan dan metabolisme khamir menghasilkan etanol yang berkontribusi pada penghambatan

(35)

pertumbuhan BAL dan khamir itu sendiri. Etanol selanjutnya dioksidasi oleh bakteri asam asetat menjadi cuka.

2.6. Derajat Keasaman (pH) Nira dalam Pembuatan Gula Merah

Faktor utama yang menjadi kunci dalam pengolahan nira menjadi gula padat adalah derajat keasaman nira. Nira yang baik untuk menjadi gula merah adalah nira yang memiliki pH diatas 6. Jackson (1995) mengungkapkan bahwa sukrosa dapat mengkristal dengan baik pada kondisi pH diatas 5,5. Pada kondisi ini, reaksi degradasi sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa sangat sedikit sekali terjadi. pH nira akan dengan cepat mengalami penurunan karena adanya fermentasi oleh mikroorganisme yang mengkontaminasinya.

Sukrosa akan mengalami degradasi akibat lingkungan yang asam, panas, dan mineral tertentu melalui reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis (reaksi inversi) sukrosa dapat terjadi secara spontan pada kondisi asam (Wang, 2004). Sebagai contoh, sirup sukrosa dengan pH 3,2 yang disimpan pada suhu 200C selama tiga bulan akan mengalami inversi glukosa sebesar 10% dan hanya 0,1% pada pH 5,5 (Jackson, 1995). Banyaknya ion H+ pada kondisi asam menyebabkan sukrosa mengalami inversi menjadi fruktosa dan glukosa. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

C12H22O11+ H2O + H+ Æ C6H12O6 + C6H12O6+ H+ (sukrosa) air ion (fruktosa) (glukosa)

Reaksi hidrolisis ini dipercepat dengan adanya pemanasan, dikatalisis oleh enzim invertase, serta kehadiran mineral tertentu seperti mineral pada garam. Reaksi ini bersifat endotermik dan irreversible dengan energi aktivasi 25,9 kkal/mol. Jackson (1995) menjelaskan bahwa pada pH diatas 5,5 hanya terjadi sedikit inversi sukrosa. Jika dilakukan pemanasan pada nira yang memiliki pH 4 – 3,5 atau lebih rendah maka sukrosa yang terdegradasi bisa mencapai 50%.

Tingginya kadar keasaman (nilai pH rendah) serta kadar glukosa dan fruktosa dalam nira akan menghambat terjadinya proses pengkristalan sukrosa (Laos et al.,2007). Nilai pH yang rendah disertai proses pemanasan (pada pemasakan nira) menyebabkan proses degradasi sukrosa semakin tinggi.

(36)

Glukosa dan fruktosa sebagai hasil reaksi inversi memiliki kelarutan yang sangat tinggi dalam air sehingga sulit untuk dikristalkan bahkan menghambat proses kristalisasi (Winarno, 1992).

Laos et al. (2007) melakukan suatu simulasi kristalisasi supersaturasi sukrosa dengan kehadiran fruktosa dan glukosa. Secara umum, kehadiran kedua gula pereduksi tersebut akan memperlambat proses kristalisasi. Agar dapat terbentuk kristal, rasio minimal antara sukrosa dan glukosa adalah 80:20, sedangkan untuk rasio sukrosa dan fruktosa adalah 90:10. Hal ini menunjukkan bahwa proses kristalisasi gula lebih dipengaruhi oleh kehadiran fruktosa. Konsentrasi 10% fruktosa akan menghambat proses kristalisasi sukrosa. Pada pengolahan gula merah, hal ini diindikasikan dengan hasil akhir yang tidak bisa memadat.

2.7. Upaya-Upaya Pengawetan Nira

Penurunan pH nira akibat fermentasi menyebabkan kadar sukrosa menurun dan kandungan gula pereduksi meningkat. Perubahan psikokimia akibat fermentasi pada akhirnya mempengaruhi mutu gula yang dihasilkan. Nira yang telah asam karena fermentasi tidak dapat diolah menjadi gula merah yang padat. Hal ini mendorong petani penderes melakukan berbagai upaya pengawetan untuk menjaga mutu nira agar tetap terjaga kesegarannya. Selain pengawetan secara tidak langsung dengan mengasapi lodong, petani penderes juga melakukan upaya pengawetan yang sifatnya tradisional.

Pengawetan tradisional yang dilakukan diantaranya dengan menambahkan potongan atau irisan kulit batang kayu manggis, kayu ralu, kayu kesambi, akar kawao, kulit buah manggis muda, daun manggis, dan sebagainya. Penggunaan pengawet tradisional ini belum efektif karena setelah penyadapan, petani penderes biasa menambahkan air kapur untuk menetralkan nira yang sudah sedikit asam. Penambahan bahan tambahan ini akan menurunkan kualitas gula merah.

Penelitian mengenai pengawetan nira telah banyak dilakukan. Kusumah (1992) dan Mansyur (1992) menggunakan natrium metabisulfit dan kapur. Penggunaan natrium metabisulfit dengan konsentrasi 70 sampai 100 ppm serta kapur 500 ppm dapat digunakan untuk mengawetkan nira aren dan

(37)

nipah. Widyaningsih et al. (1985) menggunakan natrium metabisulfit, kapur, dan toluene masing-masing sebanyak 0,10% sebagai pengawet. Natrium meta bisulfit efektif digunakan dalam pengawetan nira dan mampu menghambat reaksi pencoklatan. Penggunaan kapur lebih berpengaruh pada warna gula merah dimana warna gula yang dihasilkan menjadi lebih gelap. Penggunaan toluene efektif untuk pengawetan nira, namun hasil gula merah yang dihasilkan kurang baik dimana warna gula tidak sebaik gula yang diawetkan dengan natrium metabisulfit.

Yasni et al. (1999) mengkaji penggunaan ekstrak kayu ralu. Kayu ralu yang dapat digunakan untuk mengawetkan nira adalah 10 gram serbuk kayu untuk 2-3 liter nira aren. Ekstrak kayu ralu yang paling berpotensi untuk digunakan sebagai pengawet nira adalah ekstrak polar pertengahan dengan konsentrasi 300 ppm dan diduga mengandung senyawa fenol dan terpenoid.

Hamzah dan Hasbullah (1997) menggunakan pengawet alami untuk pengawetan nira aren. Pengawet yang digunakan berupa kulit buah manggis muda (3 g/l nira), kulit pohon rupih (3g/l nira), kulit pohon nangka (4g/l nira), dan daun manggis (4g/l nira). Pemberian pengawet alami ini mampu menghasilkan nira dengan pH 5,82 sampai 6,25 dan menghasilkan gula yang memenuhi standar mutu gula semut (SII No. 2043 – 87). Penggunaan kulit manggis muda memberikan hasil yang terbaik dalam menjaga pH, kadar gula pereduksi, dan mutu gula akhir.

Sunantyo (1997) menggunakan pengawet tatal kayu nangka (10g/l nira) ditambah susu kapur (10 ml 50Be/l nira) untuk menggantikan penggunaan SO2 pada pengawetan nira kelapa pada pembuatan gula semut. Azima (1997) melakukan pengawetan nira nipah dengan menggunakan kapur sebanyak 0,5 – 1,5g/l nira selama pengumpulan dan menunggu proses pengolahan. Penggunaan kapur dalam penelitian ini ditujukan untuk menetralisir nira yang telah asam. Hasil yang terbaik adalah penambahan kapur sebanyak 1,5g/l nira.

Lalujan (1995) dalam kajian pengawetan nira aren untuk industri kecil merekomendasikan penggunaan kapur (CaO) sebanyak 300-500 ppm, natrium benzoat 700 – 900 ppm, dan natrium metabisulfit 200-400 ppm.

(38)

Penggunaan kapur lebih dari 800 ppm menghasilkan rasa, warna, dan bau yang tidak disukai secara sensori.

Hasil penelitian ini telah banyak diadopsi oleh masyarakat termasuk penggunaan zat aditif. Namun ternyata menjadi bumerang ketika gula merah yang dihasilkan tertolak dari pasar (terutama ekspor) karena penggunaan zat aditif yang digunakan dalam penelitian diatas tidak disukai bahkan dihindari oleh konsumen luar negeri yang lebih memperhatikan aspek kemanan dan kesehatan. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pengawetan lain yang lebih efektif dan lebih terjamin dari segi keamanan pangan.

Pengasapan merupakan metode tradisional yang digunakan oleh petani penderes untuk membantu membunuh mikroorganisme pada peralatan penyadapan nira (lodong) dan merupakan pengawetan nira secara tidak langsung. Aliudin (2009) dan Iskandar (1997) menerangkan bahwa kegiatan pengasapan lodong atau memuput dilakukan oleh penderes untuk mengurangi atau membunuh mikroba. Proses pengasapan dapat juga dilakukan secara khusus dengan menggunakan alat puputan atau pamuput selama kurang lebih sepuluh menit.

2.8. Aspek Keamanan Pangan dalam Penggunaan Zat Aditif

Penggunaan zat pengawet harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku seperti batas maksimal yang boleh masuk ke dalam tubuh atau

acceptable daily intake (ADI). Setiap zat pengawet telah ditentukan jumlah

ADI-nya. CSPI (The Centre of Science in the Public Interest) mengkategorikan zat pengawet menjadi pengawet yang benar-benar aman, harus diperhatikan jumlahnya agar aman, harus diwaspadai karena belum diuji keamanannya, harus dihindari orang tertentu, serta kategori harus dihindari setiap konsumen (Syah et al., 2005).

Natrium benzoat dan asam benzoat merupakan bahan pengawet yang aman, tetapi jika jumlahnya berlebihan akan berpengaruh pada aftertaste yang menimbulkan gangguan secara sensori. Kelompok sulfit seperti sulfur dioksida, natrium bisulfit, natrium metabisulfit dan sejenisnya, dikategorikan sebagai zat pengawet yang harus dihindari oleh orang tertentu. Kelompok sulfit merupakan pengawet sekaligus pemutih yang biasa digunakan untuk

(39)

buah kering, anggur (wine), dan kentang olahan. Penggunaan sulfit lebih khusus lagi digunakan sebagai senyawa untuk mencegah terjadinya reaksi pencoklatan (Syah et al., 2005).

Mahakkapong (2004) merinci pengaruh penggunaan sulfit sebagai zat aditif dalam gula kelapa di negara Thailand. Sulfit digunakan untuk pengawet karena memiliki sifat antimikroba dengan cara berinteraksi dengan membran, berpenetrasi kedalam sel, dan menghambat kerja enzim ATPase dan bereaksi dengan komponen dalam sitoplasma sehingga terjadi gangguan pada mikroba yang berakhir dengan kematian sel. Sulfit juga digunakan untuk mencegah reaksi pencoklatan karena mampu menginhibisi kerja enzim pencoklatan dan membentuk sulfonat bersama senyawa karbonil intermediet pada reaksi pencoklatan non enzimatik. Dijelaskan pula bahwa penggunaan sulfit dapat menyebabkan gangguan bagi orang-orang tertentu. Sulfit dapat menginduksi terjadinya asma, menyebabkan timbulnya rasa panas dan gangguan pada bagian abdomen, serta dapat merusak thiamin dalam tubuh.

2.9. Asap Cair

Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan dispersi koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari hasil pirolisa kayu (Putnam et al., 1999). Kayu keras dan kayu lunak dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan asap cair. Asap diperoleh melalui pembakaran kayu keras dan kayu lunak yang banyak mengandung lignin, selulosa, dan hemiselulosa (Maga, 1988). Jaya et al. (1997) menyebutkan bahwa diantara kayu bakau, kesambi, jati dan tempurung kelapa, kadar lignin tertinggi terdapat pada tempurung kelapa dan terendah pada kayu bakau. Kadar selulosa tertinggi terdapat pada kayu jati sedangkan terendah pada tempurung kelapa.

Asap diproduksi melalui proses pirolisis dengan cara pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, dekomposisi, polimerisasi, dan kondensasi (Girrard, 1992). Reaksi yang terjadi berupa penghilangan air pada suhu 1200- 1500C. Pirolisis hemiselulosa (yang tersusun dari pentosan dan heksosan )

(40)

pada 2000-2500C menghasilkan furfural, furan, serta asam asetat dan homolognya. Pirolisis selulosa bersama dengan heksosan berlangsung pada 2800-3200C menghasilkan asam asetat dan homolognya. Lignin mengalami degradasi pada suhu 3000-4000C menghasilkan senyawa fenol, dan eter fenolik seperti guaiakol (2-metoksifenol) dan homolognya serta turunannya yang berperan dalan menghasilkan flavor asap.

Siskos et al. (2007) mengemukakan bahwa asap cair mengandung beberapa zat antimikroba yaitu asam dan turunannya (format, asetat, butirat, propionat, dan metil ester), alkohol (metil, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol), aldehid (formladehid, asetaldehid, furfural, dan metil furfural), hidrokarbon (silene, kumene, dan simene), keton (aseton, metil etil keton, metil propil keton, dan etil propil keton), fenol, piridin, dan metil piridin.

2.10. Aktivitas Antimikroba Asap Cair

Pelczar et al. (1988) menyatakan senyawa kimia utama yang memiliki sifat antibakteri adalah fenol dan senyawa fenolat, alkohol, halogen, logam berat dan persenyawaannya, detrejen, aldehid, dan kemosterilisator gas. Branen dan Davidson (1993) menjelaskan mekanisme senyawa antibakteri tersebut dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme ada beberapa cara, diantaranya :

1) Merusak struktur dinding sel dengan cara menghambat proses pembentukan atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk. Adanya perbedaan struktur dinding sel mikroba menyebabkan perbedaan resistensi terhadap senyawa antimikroba;

2) Mengubah permeabilitas membran sitoplasma. Komponen senyawa antimikroba mengganggu integritas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran. Fenol dapat mengakibatkan lisis sel dan menyebabkan denaturasi protein, menghambat pembentukan protein sitolpasma dan asam nukleat, serta menghambat ikatan ATP-ase pada membran;

3) Menghambat kerja enzim sehingga metabolisme sel terganggu. Dengan menghambat proses sintesis protein maka ketersediaan enzim intraseluler manjadi terganggu dan pada akhirnya menghambat proses metabolisme

(41)

sel. Senyawa fenol dapat bereaksi dengan enzim dehidrogenase sehingga aktivitas enzim tersebut menjadi hilang;

4) Menginaktivasi fungsi material genetik. Senyawa antibakteri dapat mengganggu kerja dari RNA dan DNA polimerase sehingga pembentukan asam nukleat dan transfer informasi genetik menjadi terganggu.

Aktivitas antimikroba asap cair terutama disebabkan oleh adanya senyawa kimia yang terkandung dalam asap seperti fenol, formaldehid, asam asetat, dan kreosat. Semua senyawa tersebut menghambat pembentukan spora dan pertumbuhan beberapa jenis jamur dan bakteri. Proses pemurnian asap cair dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan fraksi tar yang mengandung hidrokarbon aromatik. Benzo[a]pirene merupakan salah satu Policyclic

Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang bersifat karsinogenik, memiliki titik cair

179 0C dan titik didih 312 0C (Jaya, et al., 1997).

Asap cair komersial dapat menghambat pertumbuhan Vibrio

vulnivicus, Yersinia enterolitica, dan Lactococcus lactis dengan MIC

masing-masing <0,2%, 0,6%, dan 0,8% secara berturut-turut (Sunen, 1998). Munoz et

al. (1998) melaporkan bahwa asap cair komersial pada konsentrasi 8% dapat

menghambat pertumbuhan E.coli O157:H7 yang diinokulasikan pada daging. Milly et al. (2005) melaporkan bahwa konsentrasi 0,75% asap cair komersil merupakan MIC untuk Lactobacillus plantarum.

Sunen (1998) menunjukkan bahwa asap cair komersial memiliki efektivitas yang berbeda-beda dengan penghambatan terhadap mikroorganisme yang berbeda pula, tergantung dari komponen antimikroba yang dikandungnya. Rentang kisaran nilai MIC asap cair komersial mulai dari 0,4% sampai lebih dari 8% untuk menghambat satu jenis mikroorganisme yang sama. Catte et al. (1999) menunjukkan juga bahwa penggunaan asap cair komersial pada konsentrasi 0,33 ml – 4,33ml/l tidak mampu menghambat petumbuhan Lactobacillus plantarum ATCC 12315.

2.11. Asap Cair Tempurung Kelapa

Asap diperoleh melalui pembakaran kayu keras dan kayu lunak yang banyak mengandung lignin, selulosa, dan hemiselulosa (Maga, 1988).

(42)

Tempurung kelapa dikategorikan oleh Grimwood (1975) sebagai kayu keras tetapi mempunyai kadar lignin yang lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah.

Zuraida (2008) membuktikan bahwa pada asap cair tempurung kelapa tidak mengandung benzo[a]pirene. Keamanan asap cair tempurung kelapa juga telah diteliti Zuraida (2008) dimana asap cair dari tempurung kelapa dinyatakan aman untuk dikonsumsi karena berdasarkan uji toksisitas menunjukkan bahwa nilai LD50 (konsentrasi tunggal bahan sebagai ransum yang menyebabkan 50% populasi hewan percobaan mati) lebih besar dari 15.000 mg/kg berat badan mencit. Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 74 Tahun 2001, suatu dengan nilai LD50 lebih besar dari 15.000 mg/kg berat badan hewan uji, maka zat/ senyawa/ bahan kimia dikategorikan sebagai bahan yang tidak toksik dan aman untuk digunakan dalam pangan.

Zuraida (2008) melaporkan beberapa komponen yang terdapat dalam asap cair tempurung kelapa yang disajikan pada Tabel 8. Hasil identifikasi asap cair tempurung kelapa dengan GC-MS menunjukkan bahwa senyawa fenolik merupakan komponen utama. Guillen dan Ibargoitia (1998) menyatakan bahwa fenolik juga merupakan senyawa yang menjadi flavor dari asap cair. Senyawa guaiacol merupakan flavor rasa asap sedangkan syringol merupakan flavor aroma asap.

Komponen yang bersifat sebagai zat antimikroba dari asap cair tempurung kelapa adalah fenol dan turunannya (Munoz et al. 1998; dan Soldera et al. 2008). Selain itu, fenol juga memberikan efek antioksidan kepada makanan yang diawetkan. Yulistiani et al. (1997) melaporkan kandungan fenol dalam destilat asap tempurung kelapa sebesar 1,28%. Tranggono (1996) menyatakan bahwa kandungan fenol pada asap cair dari berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa berkisar antara 2,0 – 5,13% .

Karseno et al. (2002) menjelaskan bahwa fenol dan turunannya dapat bersifat bakteriostatik maupun bakterisidal karena mampu menginaktifkan enzim-enzim esensial, serta mengkoagulasikan SH grup dan NH grup pada protein. Davidson et al. (2005) menjelaskan bahwa mekanisme aktivitas antimikrobial fenol dan turunannya meliputi reaksi dengan membran sel yang

(43)

menyebabkan peningkatan permeabilitas membran sel yang berakibat pada keluarnya materi intraseluler, inaktivasi enzim, dan perusakan atau inaktivasi material genetik.

Tabel 8. Komponen-Komponen yang Teridentifikasi dari Fraksi Terlarut Asap Cair tempurung Kelapa dalam Dichloromethane

Golongan Nama Komponen

Keton 2-methyl-2cyclopentenone 3- methyl-2cyclopentenone 2-Hydroxy-1-methylcyclopenten-3-one 2,3-dimethylcyclopenten-3-one 2-Ethylcycloheptanone Furan dan Turunan Pyran 2-Acetylfuran 3 methyl furfural

Karbonil dan Asam 1-Cyclohexene-1-carboxaldehidyde 2,3-dihydroxy-benzoic acid

3-methoxybenzoic acid methyl ester 4-Hydroxy-benzioc acid methyl ester

Fenol dan turunannya Phenol

2-Methylphenol 3-Methylphenol 2,6-dimethylphenol 2,4-Dimethylphenol 3-Ethylphenol

Guaiakol dan Turunannya 2-Methoxyguaiacol

3- Methylguaiacol p- Methylguaiacol 2-Methoxy-4-Methylphenol 4-Ethyl-2-Methoxyphenol Eugenol Acetovanilline Methyl vanilate

Siringol dan Turunannya 2,6-Dimethoxyphenol 3,4- Dimethoxyphenol

4-(2-Propenyl)-2,6-Dimethoxyphenol Syringylaldehide

Acetosyringone

3,5-Dimethoxy-4-hydroxyphenylacetic acid

Alkil Aril eter 1,2-Dimethoxybenzene 2,3-Dimethoxytoluene 1,2,3-Trimethoxybenzene 1,2,4- Trimethoxybenzene 5-Methyl-1,2,3-trimethoxybenze Sumber : Zuraida (2008)

Asam-asam organik lemah yang terdapat dalam asap cair tempurung kelapa seperti 2,3-dihydroxy-benzoic acid, 3-methoxybenzoic acid methyl

ester, dan 4-hydroxy-benzoic acid methyl ester memiliki sifat antimikroba

(44)

bentuk tidak terdisosiasi lebih cepat berpenetrasi ke dalam membran sel mikroorganisme. Senyawa asam dapat menurunkan pH sitoplasma, mempengaruhi struktur dan fluiditas membran, serta mengkelat ion-ion dalam dinding sel bakteri. Penurunan pH sitoplasma akan mempengaruhi protein struktural sel, enzim-enzim, asam nukleat, dan fosfolipid membran (Davidson

et al. 2005).

Penggunaan asap cair kasar tempurung kelapa hasil pengendapan dalam produk pangan dilakukan oleh Zuraida (2008) pada produk bakso ikan serta Syabana dan Rusbana (2008) pada produk sate bandeng. Metode pencampuran asap cair kasar pada adonan produk pangan yang akan diawetkan menyebabkan warna, aroma dan rasa produk akhir terpengaruh. Pada konsentrasi diatas 2,5% aroma asap pada produk sate bandeng terasa sangat menyengat sehingga tidak disukai oleh panelis (Syabana dan Rusbana, 2008).

2.12. Redestilasi Asap Cair

Pemurnian asap cair yang dilakukan oleh produsen asap cair dilakukan dengan cara pengendapan. Senyawa-senyawa yang tidak larut dalam asap cair yang terkondensasi dari hasil pyrolisis ditampung dan diendapkan sehingga selama beberapa hari sehingga diperoleh asap cair yang lebih jernih. Asap cair yang diperoleh dari hasil pengendapan ini belum begitu murni walaupun penampakannya bening berwarna coklat kehitaman sampai coklat kekuningan. Jika disimpan dalam jangka waktu lama, senyawa berwarna hitam yang terdapat didalam asap cair yang belum sempurna pemurniannya tersebut akan kembali mengendap.

Council of Europe Comitee of Experts on Flavouring Substances

(CECEFS) (1992) menerangkan bahwa asap terdiri dari komponen gas, cairan, dan partikel padat. Pada saat kondensasi asap, partikel padat tercampur dalam asap cair kasar sehingga perlu dilakukan pemisahan karena partikel padat tersebut bersifat karsinogenik. Partikel-pertikel tersebut diantaranya adalah senyawa nitrogen oksida, polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs), senyawa fenolik, senyawa karbonil, furan, asam alifatik karboksilat, serta komponen tar dengan karakteristik yang sama yaitu memiliki titk didih yang tinggi. Guillen

Gambar

Tabel 1  Populai Industri Gula Merah di Indonesia Tahun 2001  Daerah Penghasil  Jumlah Unit Industri  Jenis Gula
Tabel 2  Komposisi Asam Organik yang terdapat pada Kecap (mg/100g)  Jenis Asam Organik  Kecap Aren  Kecap Kelapa  Kecap Tebu
Tabel 3. Jenis dan Persentase Area Komponen Volatile Kecap Manis dan Gula  Merah  Komponen  Volatil  Kecap  Kelapa  Gula  Kelapa  Kecap Aren
Tabel 4  Kategori Pangan Berdasarkan Indeks Glisemik  Kategori Pangan  Rentang Indeks Glisemik *
+7

Referensi

Dokumen terkait

a) guru penjasorkes tersebut kurang melaksanakan dalam penyusunan RPP b) kurang inisiatif dalam merancang sarana belajar yang ada. c) dalam member pelajaran kurang diminati

Terkait dengan partai politik, dalam kegiatan tarbiyah, diberikan materi saluran politik yang bertujuan agar peserta tarbiyah dapat mengetahui hak-hak sosialnya

(Bahkan, di Republik Plato tampaknya memiliki pandangan yang lebih canggih yang hal tertentu baik jika pusat kebaikan dari jenisnya, dan pusat kebaikan dari jenisnya sejauh ia

[r]

Penerapan Penyusunan Laporan Keuangan (PP No.71 tahun 2010) sangat penting untuk menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas, karena penerapan penyusunan laporan

Analisis (roots) yang dapat ditangkap dari teks berita tersebut yaitu pemerintah mengambil kebujakan yang salah yaitu melakukan barter petugas DKP yang ditahan Polisi

Dari perhitungan didapatkan hasil bahwa F hitung = 7,097 dan F tabel = 3,32 yang berarti bahwa F hitung &gt; F tabel sehingga diperoleh kesimpulan bahwa ada hubungan signifikan

The last part of this chapter, which also closes this study, contains some hints or suggestions from the writer, which may be useful for the teachers and the