• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPERASIONALISASI LAM-PTKes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPERASIONALISASI LAM-PTKes"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

OPERASIONALISASI LAM-PTKes

1. JUSTIFIKASI LAM-PTKes

Selain tuntutan dari peraturan perundang-undangan, justifikasi berdirinya LAM-PTKes adalah : 1) Masalah pada Sistem Kesehatan; 2) Tantangan bagi Subsistem Pendidikan Profesi Kesehatan; 3) Orientasi Strategis Pengembangan Pendidikan Profesi Kesehatan di Tingkat Global.

1.1. MASALAH PADA SISTEM KESEHATAN

Gambar 1.1 di bawah menunjukkan bahwa masyarakat dengan keluhan sakit yang berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan formal (milik swasta maupun pemerintah) menurun dari sekitar 53 % di tahun 1993 menjadi sekitar 34 % di tahun 2005. Di lain pihak, dalam kurun waktu yang sama, masyarakat dengan keluhan sakit yang tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan formal meningkat dari sekitar 47 % di tahun 1993 menjadi sekitar 66 % di tahun 2005. Sebagian besar dari mereka melakukan pengobatan sendiri, sedangkan sisanya berobat ke dukun atau bahkan sama sekali tidak berobat. [1-5]

Gambar 1.1 : Pemanfaatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan oleh Masyarakat dari tahun 1993 sampai dengan 2005 [1-6]

Keterangan : kunjungan ke fasilitas kesehatan formal; pengobatan sendiri; tidak berobat

Biaya membeli obat merupakan komponen biaya yang terbesar dari biaya pelayanan medik. Harga obat dan barang habis pakai di Indonesia adalah 11 kali lebih mahal daripada tarif jasa medik. [1;6;7].

Bila harga obat dan barang habis pakai terus naik, maka ada kecenderungan pada pasien untuk hanya membeli obat dan barang habis pakainya saja tanpa membeli jasa mediknya

[8]. Oleh karena itu, kecenderungan Pemanfaatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan seperti pada Gambar 1.1 tidaklah mengherankan.

Dibanding dengan negara-negara lain dalam studi EQUITAP di tahun 2005, dari segi pelayanan kesehatan yang adil-merata, Indonesia menduduki peringkat terbawah dalam hal pemanfaatan rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan formal lain sebagaimana terlihat pada Gambar 1.2 di bawah [9-11].

Selain kesenjangan dan ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan di atas, berbagai penyakit infeksi baru (SARS, Flu Burung, Flu Babi dsb.), penyakit akibat pencemaran lingkungan

(2)

dan perilaku yang tidak sehat ditambah dengan transisi demografi dan transisi epidemiologi semakin mengancam sistem kesehatan nasional maupun global.

Gambar 1.2 : Peringkat Indonesia dalam Studi EQUITAP tahun 2005, dari Segi Pelayanan Kesehatan yang Adil-Merata [9-11]

Ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan juga tercermin pada kesenjangan pendapatan nasional antara negara kaya dan miskin yang sampai 100 kali lipat, namun kesenjangan dalam pelayanan kesehatan per kapita antara negara-negara tersebut adalah 1000 kali lipat

[12].

1.2. TANTANGAN BAGI SUBSISTEM PENDIDIKAN PROFESI

KESEHATAN

Dalam menghadapi permasalahan kesehatan yang telah diuraikan di atas, profesi kesehatan masih terbebani oleh berbagai hal berikut ini :

 Kompetensi tenaga kesehatan yang belum sesuai dengan kebutuhan individual pasien maupun populasi;

 Kerja sama antar profesi yang masih rendah;

 Paradigma yang lebih berorientasi kepada pelayanan medik / pengobatan – bukan Paradigma Sehat yang berorientasi pada manusia sebagai subyek;

 Pelayanan kepada pasien yang hanya bersifat episodik – bukan holistik yang berkelanjutan (continuous care);

 Orientasi yang lebih condong ke pelayanan rumah sakit dari pada pelayanan kesehatan dasar; ( (IInnddoonneessiiaahhaasstthheeLLaarrggeessttIInneeqquuiittiieessiinnIInnppaattiieennttHHoossppiittaallUUttiilliizzaattiioonnAAmmoonnggtthheeEEQQUUIITTAAPP S SttuuddyyCCoouunnttrriieess[[SSaammeeiissttrruueeffoorrPPuubblliiccOOuuttppaattiieennttHHoossppiittaallaannddNNoonn--HHoossppiittaallSSeerrvviicceess]]))

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

Bangladesh Hong Kong India Indonesia Malaysia Sri Lanka Thailand Vietnam

Poorest 20% Richest 20%

S

(3)

 Kebutuhan tenaga kesehatan yang belum terpenuhi baik dari segi kualitas maupun kuantitas;

Arogansi profesi (tribalism of the professions) dalam bentuk elitisme bahkan kompetisi antar profesi kesehatan.

Untuk menanggapi berbagai tantangan tersebut di atas, pada Januari 2010 dibentuklah Global Independent Commission on Education of Health Professionals for the 21st Century yang terdiri atas 20 pemuka profesi dan akademisi dari berbagai negara. Setelah bekerja satu tahun melakukan riset, konsultasi, pengumpulan dan analisis data maka Komisi tersebut menghasilkan kerangka pemikiran di bawah ini.

Kerangka pikir Komisi bertumpu pada keterkaitan antara Subsistem Pendidikan Profesi Kesehatan dengan Sistem Kesehatan sebagaimana terlihat pada Gambar 1.3 di bawah. Gambar 1.3 : Keterkaitan antara Subsistem Pendidikan Profesi Kesehatan dengan Sistem Kesehatan [12]

Masyarakat pada Gambar 1.3 merupakan landasan sekaligus penggerak untuk kedua sistem di atas. Kebutuhan masyarakat terhadap kesehatan dan pendidikan memicu permintaan (demand) pada kedua sistem tersebut. Selanjutnya Pendidikan Profesi Kesehatan menghasilkan tenaga kesehatan untuk memenuhi permintaan dari Sistem Kesehatan melalui bursa tenaga kesehatan. Jadi masyarakat bukan sekedar penerima layanan kesehatan dan pendidikan saja, tetapi juga merupakan produsen untuk kesehatan dan pendidikannya. Selain keterkaitan antara Subsistem Pendidikan Profesi Kesehatan dengan Sistem Kesehatan melalui masyarakat dan bursa tenaga kesehatan, kedua sistem tersebut juga berhubungan melalui fasilitas pelayanan kesehatan sebagai tempat kala-karya (in-service education) bagi tenaga kesehatan yang akan lulus sampai dengan pendidikan berkelanjutan mereka. Oleh karena itu, agar terwujud keseimbangan pada bursa tenaga kesehatan dan keselarasan di masyarakat, maka Subsistem Pendidikan Profesi Kesehatan perlu responsif terhadap kebutuhan Sistem Kesehatan. Agar bisa responsif, maka Subsistem Pendidikan Profesi Kesehatan perlu melakukan penataan dalam aspek instruksional maupun institusionalnya.

(4)

1.3. ORIENTASI STRATEGIS PENGEMBANGAN PENDIDIKAN

PROFESI KESEHATAN DI TINGKAT GLOBAL

Berdasarkan keterkaitan antara Subsistem Pendidikan Profesi Kesehatan dengan Sistem Kesehatan yang sudah diuraikan di atas, maka Komisi merumuskan Orientasi Strategis Pengembangan Pendidikan Profesi Kesehatan di tingkat internasional sebagaimana terlihat pada Tabel 1.1 di bawah.

Tabel 1.1 : Orientasi Strategis Pengembangan Pendidikan Profesi Kesehatan [12] MASUKAN PROSES

(STRATEGI) TUJUAN (LUARAN) MISI (HASIL AKHIR) VISI (DAMPAK)

(Man, Money, Material, Method, Management & Organization, Market, Moral, Mentality, Momentum) 1. Komitmen antar pemuka akademisi, profesi, pemerintah dan masyarakat; 2. Pendanaan berbasis Kinerja 3. Akreditasi berbasis kriteria Instruksional dan Institusional 4. Pembelajaran global dengan adaptasi lokal Reformasi Instruksional dan Institusional pendidikan profesi kesehatan Terbentuknya Fasilitator Perubahan (Change Agents) sebagai hasil dari pembelajaran yang bersifat transformatif dan inter-dependensi dalam pendidikan profesi kesehatan Tersedianya pelayanan kesehatan yang adil-merata dalam sistem kesehatan yang berfokus pada individu, keluarga dan masyarakat

1.3.1. MISI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PROFESI KESEHATAN

Pembelajaran yang bersifat Transformatif adalah tahap pembelajaran yang tertinggi setelah pembelajaran yang bersifat Informatif dan Formatif sebagaimana terlihat pada Tabel 1.2 di bawah.

Tabel 1.2 : Tahap-Tahap Pembelajaran [12]

Pembelajaran yang bersifat Informatif bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan – hasilnya adalah lulusan yang ahli. Pembelajaran yang bersifat Formatif bertujuan untuk mensosialisasikan nilai-nilai – hasilnya adalah lulusan yang memiliki profesionalisme. Sedangkan pembelajaran yang bersifat Transformatif bertujuan untuk menumbuhkan sifat-sifat kepemimpinan – hasilnya adalah Fasilitator Perubahan (Change Agents). Proses pendidikan yang efektif secara berjenjang melampaui tahap-tahap tersebut.[12]

Pembelajaran yang bersifat Transformatif menuntut 3 pergeseran paradigma sebagai berikut: [12]

(5)

informasi untuk pembuatan keputusan;

2) Pergeseran dari sekedar mencari kredensial profesi menuju ke perolehan kompetensi untuk kerja sama yang efektif dalam sistem kesehatan; dan

3) Pergeseran dari sekedar mengadopsi model-model pendidikan internasional secara testimonial menuju ke adaptasi secara kritis dan kreatif dari perkembangan global untuk mengatasi masalah-masalah lokal.

Demikian pula Inter-dependensi sebagai kunci dalam pendekatan sistem juga menuntut 3 pergeseran paradigma sebagai berikut: [12]

1) Pergeseran dari separatisme menuju ke harmonisasi antara Subsistem Pendidikan Profesi Kesehatan dengan Sistem Kesehatan;

2) Pergeseran dari isolasi institusi pendidikan menuju ke keanggotaan dalam jejaring, aliansi dan konsorsium; serta

3) Pergeseran dari sekedar terpaku pada sumber daya internal institusi menuju ke pemanfaatan akses global terhadap materi pendidikan dan inovasi.

1.3.2. TUJUAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN PROFESI KESEHATAN

Menurut Komisi, Pembelajaran yang bersifat Transformatif adalah hasil yang diharapkan dari Reformasi Instruksional melalui 3 pergeseran paradigma yang dituntutnya. Demikian pula Inter-dependensi adalah hasil yang diharapkan dari Reformasi Institusional juga melalui 3 pergeseran paradigma yang dituntutnya.

Secara historis sebelum reformasi yang disarankan oleh Komisi, telah terjadi 2 reformasi pendidikan profesi kesehatan pada abad terakhir sebagaimana terlihat pada Gambar 1.4 di bawah.

Gambar 1.4 : 3 Reformasi Pendidikan Profesi Kesehatan pada Abad Terakhir [12]

Berikut ini adalah saran dari Komisi untuk menjalankan masing-masing bentuk reformasi. IMPLEMENTASI REFORMASI INSTRUKSIONAL : [12]

1) Menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang cepat berubah. Kompetensi yang dikembangkan harus mampu melakukan adaptasi secara kritis dan kreatif dari perkembangan global untuk mengatasi masalah-masalah nasional dan lokal spesifik.

2) Mendukung pendidikan inter-profesi dan trans-profesi yang dapat mengurangi arogansi profesi (tribalism of the professions) untuk menciptakan kerja sama yang efektif dalam sistem kesehatan (lihat Gambar 1.5).

(6)

Gambar 1.5 : Pendidikan Inter-Profesi dan Trans-Profesi [12]

3) Memanfaatkan Teknologi Informasi untuk memfasilitasi Pembelajaran

Transformatif melalui Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management) dalam melakukan eksplorasi, analisis dan sintesis informasi untuk pembuatan keputusan.

4) Memanfaatkan sumber daya global untuk memenuhi kebutuhan nasional dan lokal melalui program pertukaran internasional dalam hal pengetahuan dan pengalaman

global, termasuk pengembangan tenaga pengajar, kurikulum, bahan ajaran dan mahasiswa.

5) Meningkatkan sumber daya pendidikan untuk memperoleh kompetensi yang dibutuhkan termasuk infrastruktur, jenjang karir pengajar dan sistem insentifnya. 6) Mengembangkan profesionalisme dengan kompetensi sebagai kriteria obyektif untuk klasifikasi profesi kesehatan berdasarkan sikap, tata nilai dan perilaku yang diharapkan dalam peran sebagai Fasilitator Perubahan (Change Agents) yang memiliki akuntabilitas.

IMPLEMENTASI REFORMASI INSTITUSIONAL : [12]

1) Mengembangkan mekanisme perencanaan terpadu antara Kementerian Pendidikan, Kementerian Kesehatan, organisasi profesi dan asosiasi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

2) Mengembangkan lebih lanjut Pusat-pusat Pendidikan Profesi Kesehatan

(Academic Centers) menjadi Subsistem Pendidikan Profesi Kesehatan yang terkait dengan Sistem Kesehatan (lihat Gambar 1.4) agar lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

3) Menghubungkan institusi-institusi pendidikan sedunia dengan pemerintah, masyarakat madani (civil society), dan usaha/industri di tingkat global melalui jejaring, aliansi dan konsorsium dalam iklim kebersamaan yang non-eksploitatif dan non-paternalistik secara akuntabel.

4) Mengembangkan budaya berpikir kritis (critical thinking) sebagai fungsi utama pendidikan profesi kesehatan untuk memicu transformasi sosial.

(7)

Gambar 1.6 : Operasionalisasi LAM-PTKes

Peraturan Perundang-Undangan

Saran untuk Reformasi Instruksional dan Institusional dari Global Independent Commission on Education of

Health Professionals for the 21st Century

Kesepakatan 7 Organisasi Profesi dan 7 Asosiasi Institusi Pendidikan Survei Pasar HPEQ

LAM-PTKes Continuous Quality Improvement Quality Cascade Conceptulization – Production – Usability Trustworthy (Social Acountability) KEBIJAKAN STANDAR INSTRUMEN PROSEDUR AKREDITASI Manajemen LAM-PTKes Kriteria Asesor Biaya Satuan Paket Akreditasi Pendanaan Paket Akreditasi Tarif Paket Akreditasi

Anggaran Pendapatan & Belanja LAM-PTKes

(8)

REFERENSI

1. Soedarmono S, Asih Eka Putri, MW Manicki. Menuju Program Jaminan Kesehatan Nasional :

Analisa Kebijakan Pengembangan Jaminan Kesehatan Nasional. Jakarta. Kerjasama Kementerian

Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat – Departemen Kesehatan – GVG/GTZ, 2008. 2. SUSENAS 1995

3. SUSENAS 2000 4. SUSENAS 2003 5. SUSENAS 2005

6. World Bank. Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunities

(Indonesia Public Expenditure Review 2007). Jakarta. World Bank. 2007.

7. Griffin CC. Health Care in Asia : A comparative study of cost and financing. Washington, World Bank, 1992.

8. Soedarmono Soejitno, Ali Alkatiri, Emil Ibrahim. Reformasi Perumahsakitan Indonesia. Jakarta. Bagian Penyusunan Program dan Laporan, Ditjen Pelayanan Medik, Depkes– WHO. 2000.

9. Schieber G. Overview of Health Financing. Disampaikan pada Indonesia Senior Policy Seminar. Bali, Agustus 25-27, 2007.

10. O'Donnell O, Van Doorslaer E, Rannan-Eliya RP, Somanathan A, et al. Who Pays for Health Care in

Asia? EQUITAP Project Working Paper No.1, Erasmus University, Rotterdam and IPS, Colombo.

2005.

11. O'Donnell O, Van Doorslaer E, Rannan-Eliya RP, Somanathan A, et al. Who Benefits from Public

Spending on Health Care in Asia? EQUITAP Project Working Paper No.3, Erasmus University,

Rotterdam and IPS, Colombo. 2005.

12. Frenk J, Chen L, Bhutta ZA, Cohen J, Crisp N , Evans T , Fineberg H, et al. Health Professionals for a

New Century: Transforming education to strengthen health systems in an interdependent world.

Gambar

Gambar  1.1  di  bawah  menunjukkan  bahwa  masyarakat  dengan  keluhan  sakit  yang  berkunjung  ke  fasilitas  pelayanan  kesehatan  formal  (milik  swasta  maupun  pemerintah)  menurun  dari  sekitar  53  %  di  tahun  1993  menjadi  sekitar  34  %  di
Gambar 1.2 : Peringkat Indonesia dalam Studi EQUITAP tahun 2005, dari Segi                           Pelayanan Kesehatan yang Adil-Merata  [9-11]
Gambar 1.3 : Keterkaitan antara Subsistem Pendidikan Profesi Kesehatan dengan                            Sistem Kesehatan  [12]
Tabel 1.1 : Orientasi Strategis Pengembangan Pendidikan Profesi Kesehatan  [12]
+4

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui rata-rata hasil belajar matematika peserta didik yang menggunakan model pembelajaran kooperatif TAI dengan

Limbah batu onix yang mempunyai warna yang terang ,mempunyai porositas yang sangat kecil akan memberikan nilai tambah pada penampilan beton yang akan mempunyai

Menerapkan kebijaksanaan dari pemerintah kota agar setiap pendanaan, rancangan, desain, konstruksi, manjemen, renovasi, penjagaan dan perawartan terhadap fasilitas dan

Analisis data bivariat adalah analisa yang dilakukan lebih dari dua variabel (Notoadmodjo, 2005).Analisa ini digunakan untuk menguji pengaruh terapi akupresur dalam

o Clip, digunakan untuk ‘memotong’ dan ’menggunting’ suatu layer (layer yang bertindak sebagai objek) berdasarkan (batas- batas yang di miliki oleh) layer yang lain

Unit PT PLN (PERSERO) yang akan membangun SCADA harus mengacu pada SPLN S3.001: 2008 Peralatan SCADA Sistem Tenaga Listrik. Jumlah yang dijelaskan pada tabel 6 dan tabel 7

Pemahaman tentang pengaruh tidak langsung dari penangkapan terhadap hubungan mangsa-pemangsa diperlukan untuk pengembangan model multispesies yang valid dan untuk

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas ekstrak etanolik daun sendok (Plantago lanceolata L.) topikal terhadap re–epitelisasi penyembuhan ulkus traumatik mulut