• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tenaga dalam Pengolahan Tanah Padi Sawah

Menurut Daywin, dkk (1999), pengolahan tanah adalah suatu usaha untuk mempersiapkan lahan bagi pertumbuhan tanaman dengan cara menciptakan kondisi tanah yang siap tanam, yang terbagi menjadi dua yaitu pengolahan tanah pertama dan pengolahan tanah kedua.

Disadur dari Siregar (1987), pengolahan tanah yang ideal pada padi sawah berlangsung dengan urutan sebagai berikut :

1. Lahan diairi terlebih dahulu, tujuan pertama dari pengairan ini adalah untuk melunakkan tanah sedemikian rupa sehingga untuk mudah diolah, tujuan keduanya adalah untuk memusnahkan rerumputan yang tumbuh denga subur di kotakan sawah. Penggenangan air berlangsung selama beberapa waktu.

2. Setelah tanahnya sudah cukup lunak, kotakan sawah dibajak. Pembajakan dilakukan untuk membentuk kontur petakan sawah agar bagian terendah sawah ada di tengah dan membenamkan rerumputan dari penanaman sebelumnya. Tujuan pembentukan kontur demikian adalah agar air lebih banyak tertampung dalam petakan sawah.

3. Setelah lahan dibiarkan selama 2 minggu, dilakukan penyisiran pertama dengan menggunakan garu, gumpalan-gumpalan tanah bajakan itu dipecahkan sedemikian rupa sehingga tanah itu betul-betul merupakan bubur yang sangat lunak.

Dalam pengolahan tanah padi sawah, dikenal 3 macam sumber tenaga; tenaga manusia, tenaga hewan ternak dan tenaga kerja mesin, menurut Akbar (2001) penggunaan ketiga jenis sumber tenaga pengolahan tanah itu bergantung pada beberapa kondisi :

- Kondisi topografi lahan - Ketersediaan sumber tenaga

(2)

- Luas lahan - Modal kerja

Penerapan mekanisasi pertanian dalam upaya meningkatkan produksi pertanian merupakan tuntutan yang tidak dapat dielakkan. Deptan (1993) menyatakan hal ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :

1. Langkanya tenaga kerja/buruh tani yang disebabkan oleh banyaknya tenaga kerja muda yang cenderung meninggalkan lapangan pertanian. 2. Terjadinya kelangkaan tenaga ternak karena populasinya semakin menurun

akibat pemeliharaan yang kurang intensif dan semakin meningkatnya kebutuhan daging potong.

3. Adanya perkembangan jaringan irigasi dan inovasi teknologi tanaman pangan sehingga harus dilakukan jadwal tanam yang ketat.

4. Peningkatan produktivitas menyebabkan meningkatnya kebutuhan alat-alat pertanian.

Adiratma (1977) menyatakan bahwa sampai saat ini masih banyak orang yang berpendapat bahwa mekanisasi pertanian adalah ”motorisasi” atau ”traktorisasi”. Pandangan ini sering menimbulkan pendapat yang ”pro” dan ”kontra” terhadap mekanisasi pertanian dan menganggap sebagai ”momok” yang mengkhawatirkan bagi perluasan kesempatan kerja.

Sampai sekarang masih terdapat kelompok yang setuju dan tidak setuju tentang adanya mekanisasi. Hamid (1973) menyebutkan alasan-alasan yang diajukan oleh para penerima dan penentang mekanisasi sebagai berikut :

Mekanisasi dianggap baik karena :

a. Dapat meningkatkan hasil karena perkerjaan lebih tepat dan efektif. b. Kemungkinan dilaksanakannya “multiple cropping”

c. Mengurangi ketergantungan terhadap ternak yang produktifitasnya rendah sedang biayanya mahal

d. Dapat meningkatkan produktifitas kerja e. Menurunkan biaya produksi

(3)

Mekanisasi dianggap tidak baik karena :

a. Di negara-negara berkembang modal adalah barang langka, karena itu sebaiknya tidak dipakai di sektor pertanian karena di sektor ini terdapat banyak tenaga kerja.

b. Mekanisasi menggantikan tenaga manusia

c. Mekanisasi dapat memperbesar perbedaan pendapatan.

Menurut Ananto (1990), secara umum mekanisasi pertanian dapat diartikan sebagai penggunaan semua alat mesin pertanian yang digerakkan oleh tanaga manusia, ternak, mekanis/motor dan alam, untuk melaksanakan semua kegiatan yang berhubungan dengan budidaya pertanian, panen dan penanganan pasca panen.

Untuk mengefisienkan usahatani pertanian, penggunaan teknik/mekanisasi merupakan salah satu pemecahan masalah untuk meningkatkan keuntungan. Penggunaan traktor dapat mengolah lahan dengan cepat, sehingga dalam satu musim tanam petani dapat menanam komoditas pertanian cukup banyak. Namun demikian banyak kendala yang membatasi penggunaan traktor. Kendala-kendala itu antara lain : relatif sempitnya penguasaan lahan oleh sebagian besar petani di Indonesia, tingkat ekonomi petani masih banyak yang belum “mampu”, teknologi perawatan masih kurang memadai, disamping masalah topografi dan biaya perawatan yang cukup tinggi. Usaha efisiensi usahatani di Indonesia dapat ditingkatkan dengan teknologi madya. Salah satu teknologi madya ini diantaranya dengan menggunakan bajak yang ditarik sapi/kerbau untuk mengolah lahan usahatani. Keuntungan penggunaan sapi/kerbau sebagai tenaga kerja diantaranya : modal yang diperlukan masih dapat dijangkau oleh petani, dapat berkembang biak, biaya produksi relatif rendah, penghasil pupuk kandang. Secara umum dapat dikatakan bahwa dengan membudidayakan ternak kerja (sapi/kerbau) tidak ada nilai penyusutan, bahkan yang dihasilkan adalah nilai tambah yang cukup berarti untuk peningkatan pendapatan petani peternak.(Setiadi, 1994)

Jusuf Maamun (1983) mengadakan penelitian di Sulawesi Selatan, dengan memakai data dari penelitian “The Consequences of Small Ricefarm Mechanization on Income, Rural Employment and Production in Asia”. Dengan 149 traktor contoh, ia memperoleh kesimpulan bahwa tidak satupun dari traktor yang dioperasikan petani

(4)

menguntungkan. Dalam analisis ini traktor dibagi dua kelompok yaitu kelompok traktor model 1975 dan kelompok trakor model 1976.

Penelitian Sinaga (1978) dan M. Husen Sawit, dkk (1979) yang mengambil kasus di Jawa Barat melihat belum adanya gejala kekurangan tenaga kerja, malah ada kecenderungan kesempatan kerja yang semakin memburuk. Walaupun kekurangan itu terjadi, tetapi sifatnya sangat lokal dan tidak perlu harus dipecahkan dengan traktor. Demikian pula pendapatan jam kerja di luar sektor pertanian di pedesaan masih rendah dan upah buruh tani tidak menunjukkan kenaikan yang cukup meyakinkan dan malahan turun dalam tiga tahun terakhir. Data empiris maupun pandangan teoritis, traktor tidak akan memecahkan masalah peningkatan produksi di daerah padat penduduk seperti pulau Jawa dan Bali.

Penelitian lain yang mengambil lokasi di Jawa Barat, memperoleh kesimpulan bahwa pengusahaan traktor oleh petani tidak menguntungkan (Sugianto, dkk, 1981). Dengan mengambil 60 petani pemilik traktor sebagai contoh, petani pemilik traktor ini tidak bisa mengembalikan angsuran yang diwajibkan selama enam musim. Hal ini disebabkan karena jumlah angsuran jauh melebihi pendapatan yang diperoleh dari penyewaan traktor. Petani pemilik traktor hanya mampu mengembalikan sebanyak 82,5 persen dari nilai angsuran tanpa bunga.

Kesimpulan penelitian di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat tadi, dikuatkan pula dengan hasil penelitian Sinaga (1977) dan Sutawan, dkk. (1980) yang dilakukan di Bali. Kedua peneliti berkesimpulan bahwa pengusahaan traktor di Bali tidak menguntungkan.

Suatu hasil yang kontradiktif dengan hasil penelitian di atas diperoleh beberapa peneliti. Bunasor (1981) meneliti penggunaan traktor di Jawa Barat dengan memakai data IRRI dan dengan contoh 61 pemilik traktor menyimpulkan bahwa pengusahaan traktor yang memakai solar akan menguntungkan sedangkan yang memakai premium tidak menguntungkan. Penelitian Simatupang (1980) juga mendukung hasil yang diperoleh Bunasor. Soedjatmiko (1976), Hamid (1980), dan Colter, dkk. (1982) mempunyai kesimpulan yang sama dengan Bunasor untuk daerah penelitian di Bali.

(5)

Setelah membandingkan beberapa hasil penelitian tentang penggunaan traktor di beberapa negara, Binswanger (1978) menyimpulkan sebagai berikut :

a. Peneliti gagal membuktikan bahwa traktor dapat menaikkan intensitas penanaman, produksi, waktu senggang dan pendapatan kotor

b. Banyak peneliti yang memakai analisa cost benefit, menaksir nilai benefit terlalu tinggi

c. Walaupun pengusahaan traktor tidak menguntungkan tetapi tetap makin banyak petani yang menanamkan modalnya pada traktor. Hal ini disebabkan karena beberapa hal :

(i) Traktor dapat mempermudah pengolahan tanah dan meringankan pekerjaan

(ii) Memungkinkan untuk membuka lahan baru

(iii) Adanya subsidi yang diperoleh oleh pemilik traktor

(iv) Kenaikan tingkat upah buruh yang mencerminkan kelangkaan tenaga kerja manusia

B. Pendekatan Sistem

Sistem merupakan kesatuan yang utuh, yang mana mempunyai implikasi bahwa kajian terhadap bagian sistem secara terpisah tidak akan memberikan pengertian yang lengkap mengenai sistem tersebut, hal ini disebabkan karena adanya interaksi antar bagian-bagian tersebut di dalam sistem (Dent dan Anderson, 1971)

Analisis sistem didefinisikan sebagai sebuah usaha untuk membantu pengambil keputusan dalam memilih jalur tindakan yang diharapkan di masa depan dengan cara : 1. secara sistematik menguji dan menguji kembali (reexamining) tujuan yang

berhubungan dan kebijakan atau strategi alternatif untuk mencapainya.

2. membandingkan secara kuantitatif biaya ekonomis, keefektifan (keuntungan), dan resiko dari alternatif – alternatif yang ada ketika mungkin. Analisis sistem juga dianggap sebagai strategi riset daripada sebuah metode atau teknik, dan dalam tahap pengembangannya sekarang, analisis sistem masih lebih merupakan sebuah seni daripada suatu ilmu, meskipun menggunakan metode ilmiah ketika mungkin diperlukan. Secara keseluruhan, analisis sistem dapat dipandang sebagai suatu pendekatan, atau cara pandang, terhadap pemilihan dari bermacam –

(6)

macam alternatif yang rumit yang biasanya berada dalam keadaan ketidakpastian (Fisher, 1971).

Gambar 2. Tahapan Kerja dalam Pendekatan Sistem(Manetsch dan Park, 1977) Mulai Analisis Kebutuhan Perumusan Masalah Identifikasi Sistem :

1. Diagram Lingkar Sebab Akibat 2. Diagram Masukan Keluaran 3. Diagram Alir Pemodelan (Program) Validasi Model Evaluasi Periodik Implementasi Layak ? Tidak Ya

(7)

Dalam mempelajari sistem perlu ditentukan batas sistem (system boundaries) agar dapat membantu mengerti fungsi sistem tersebut, sebab dalam keadaan sesungguhnya sangat sulit untuk melihat batas sistem, tapi tanpa batas yang jelas sulit diharapkan hasil dari sistem(Dent dan Blackie, 1979).

Manetsch dan Park (1977) menyatakan pendekatan sistem adalah suatu metodologi pemecahan masalah yang dimulai dengan identifikasi serangkaian kebutuhan, perumusan masalah, identifikasi sistem dan pemodelan. Tahapan dalam pendekatan sistem dapat dilihat pada Gambar 2.

Menurut Sushil (1993), pemodelan dengan menggunakan sistem dinamik pada umumnya mengikuti suatu pola pendekatan. Ada beberapa pola pendekatan, skema pola-pola itu digambarkan seperti pada Gambar 3

Pola I Pola II

Pola III Pola IV

Pola V Pola VI

Gambar 3. Pola Pendekatan Pengembangan Sistem Dinamik (Sushil, 1993) Sub System Diagram

Causal Loop Diagram Policy Structure Diagram Flow Diagram

Equation Flow Diagram

Equation

Sub System Diagram Policy Structure Diagram

Flow Diagram Equation

Causal Loop Diagram Flow Diagram

Equation Causal Loop Diagram

Equation

Sub System Diagram Causal Loop Diagram

Flow Diagram Equation

(8)

Pemilihan pola pendekatan tergantung pada situasi permasalahan, pembuat model dan software yang digunakan untuk membuat modelnya.

Sebuah sistem dapat direpresentasikan dengan menggunakan cara analitik ataupun simulasi. Sangat baik untuk selalu menggunakan cara analitik, tetapi, kebanyakan sistem adalah hal yang kompleks, oleh karena itu terkadang digunakan simulasi. Menurut Law dan Kelton (1991), simulasi diklasifikasikan ke dalam tiga dimensi berbeda seperti berikut :

ƒ Model simulasi statik vs dinamik : model simulasi statik adalah gambaran dari sistem pada waktu tertentu, atau yang digunakan untuk menggambarkan sebuah sistem dimana waktu tidak memegang peranan; contoh simulasi statik adalah simulasi model Monte Carlo. Model simulasi dinamik menggambarkan sebuah sistem yang berubah seiring waktu, seperti sistem konveyor pabrik. ƒ Model simulasi deterministik vs stokastik : jika sebuah model simulasi tidak

mengandung komponen probabilistik, maka disebut deterministik; sebuah sistem rumit dari persamaan difrensial yang menjelaskan sebuah reaksi kimia merupakan model yang demikian. Dalam model deterministik, keluaran ’ditentukan’ setelah serangkaian jumlah masukan dan hubungan telah dijelaskan, meskipun akan memakan banyak waktu komputer untuk menguji apa itu. Kebanyakan sistem harus dimodelkan memiliki paling tidak beberapa komponen masukan acak, dan hal ini melahirkan model simulasi stokastik. Kebanyakan sistem antrian dan inventori dimodelkan secara stokastik. Model simulasi stokastik menghasilkan luaran yang acak juga, dan dengan demikian harus diperlakukan sebagai perkiraan dari karakteristik model sebenarnya. ƒ Model simulasi berkelanjutan (continuous) vs model simulasi terputus

(discrete) : model simulasi berkelanjutan dan terputus analog dengan sistem berkelanjutan dan terputus. Model terputus tidak selalu digunakan untuk memodelkan sistem terputus dan begitu pula sebaliknya. Keputusan untuk menggunakan model simulasi terputus atau berkelanjutan bergantung pada tujuan spesifik dari studi. Sebagai contoh, sebuah model aliran lalu lintas dalam sebuah jalan bebas hambatan akan menjadi model terputus apabila karakteristik dan pergerakan masing – masing mobil penting. Lain hal, jika

(9)

mobil – mobil diperlakukan sebagai pecahan, aliran lalu lintas dapat diuraikan dengan persamaan difrensial dalam sebuah model berkelanjutan.

C. Verifikasi dan Validasi

Agar dapat berguna, suatu model harus dinyatakan valid terlebih dahulu dengan melalui proses validasi. Menurut Sushil (1993), suatu model sistem dinamik divalidasi dalam beberapa tahap, seperti dapat dilihat dibawah :

1. validasi struktur model 2. validasi perilaku model 3. validasi implikasi kebijakan

Menurut Macal (2005), verifikasi model dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apakah model sudah berkerja seperti yang dimaksud?” dan validasi model dilakukan untuk menjawab pertanyaan “Apakah model sudah mewakili dan meniru dengan benar perilaku sistem dunia nyata?”. Dilakukannya verifikasi bertujuan untuk memastikan hal-hal berikut: (1) model telah diprogram dengan benar, (2) algoritme-algoritme telah diterapkan dengan sesuai, (3) model tidak mengandung galat, oversight, atau bugs (kesalahan pemrograman), sementara, dilakukannya validasi akan memastikan model memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam hal metode yang digunakan dan hasil yang dicapai. Tujuan akhir dari validasi adalah untuk membuat model berguna ketika model mengenali masalah yang benar, menyediakan informasi yang akurat mengenai sistem yang dimodelkan dan membuat model benar-benar digunakan.

Promosiana (1991) melakukan validasi dengan melakukan t test pada tingkat kepercayaan lima persen (5%). Data nyata dan hasil simulasi dicari persamaan liniernya berdasarkan persamaan berikut :

y = a + bx (1)

dimana :

y = nilai parameter pada waktu x x = waktu kejadian (event) a = intersept

(10)

apabila a (intersept) dan b (slope) antara data nyata dan hasil simulasi tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan lima persen, maka model tersebut dianggap valid (sah).

D. Simulasi dan Analisis Sensitifitas

Menurut Stoecker (1989), simulasi sistem berarti pengamatan terhadap sebuah sistem buatan yang meniru kinerja dari sistem asli. Simulasi tidak dilakukan pada saat desain. Biasanya dalam simulasi dilakukan keadaan – keadaan atau nilai – nilai diluar desain untuk melihat bagaimana model merespon perubahan tertentu.

Model simulasi menitik beratkan pada usaha meniru atau memodelkan sistem yang nyata setepat mungkin untuk kemudian melaksanaan percobaan dengan model tersebut secara sistematis, sehingga dapat dibandingkan berbagai macam alternatif untuk dapat memilih alternatif yang lebih baik (Winardi, 1980).

Macal (2005) menyatakan ada beberapa alasan mengapa model dan simulasi digunakan, yaitu (1) kita dibatasi oleh pemikiran linier sehingga kita tidak dapat memahami bagaimana bermacam-macam bagian sistem berinteraksi dan menyatu, (2) kita tidak dapat membayangkan seluruh kemungkinan yang dapat ditampilkan oleh sistem asli, (3) kita tidak dapat memperkirakan efek penuh dari kejadian-kejadian menggunakan model mental kita yang terbatas, (4) kita tidak dapat memperkirakan kejadian baru yang bahkan model mental kita saja tidak bisa membayangkannya. Macal juga menyatakan bahwa model digunakan untuk menghasilkan pemahaman, bukan angka karena model memberi kita “ruang pikir” untuk memahami variabel-variabel kunci berserta sebab dan akibatnya. Model pada akhirnya akan digunakan untuk membangun pendapat yang masuk akal mengenai mengapa sebuah kejadian mungkin atau tidak mungkin terjadi berdasarkan model.

Simulasi pertamakali akan dilakukan dengan parameter-parameter masukan alami dari sistem yang dikaji untuk melihat kecenderungan respon dari model sistem. Setelah dilakukan simulasi kemudian dilakukan analisis sensitifitas. Menurut Ananto (1990), analisis sensitifitas atau analisis kepekaan dimaksudkan untuk melihat parameter atau peubah keputusan mana yang mempunyai peranan penting di dalam sistem, sehingga dapat dilakukan kajian yang lebih teliti terhadap parameter sistem tersebut.

Gambar

Gambar 2. Tahapan Kerja dalam Pendekatan Sistem(Manetsch dan Park, 1977) Mulai Analisis Kebutuhan Perumusan Masalah Identifikasi Sistem :
Gambar 3. Pola Pendekatan Pengembangan Sistem Dinamik (Sushil, 1993)

Referensi

Dokumen terkait

Pertama , memberikan image negatif kepada muslim yang tidak setuju dengan gagasan inklusivisme dan pluralisme agama, seperti dengan memberi label eksklusivisme

Hal lain yang juga perlu dipertim- bangkan untuk dimasukkan dalam pertim- bangan kebijakan pengembangan perikan- an di Kabupaten Talaud adalah perikanan tangkap yang

Japanesse memiliki proporsi tertinggi yakni 5 jam/ minggu, lebih tinggi dari jam pelajaran Matematika yakni 4 jam/minggu, lalu pengetahuan sosial (social studies) dan pengetahuan

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA

Soyghurt merupakan produk fermentasi susu kedelai yang bernilai gizi. tinggi juga merupakan sumber protein yang berkualitas, karena

Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam roman Der Fürst spricht karya Jan Peter Bremer memiliki 1 tokoh berwatak pemimpin, 1 tokoh berwatak jahat, 1 tokoh

Guru B mampu menyusun penilaian tes uraian sebesar 55% dan penilaian proyek dengan kemampuan penyusunan 25%, sedangkan penilaian yang belum mampu disusun dalam

Hasil dilapangan menunjukkan bahwa sebesar (96,66%) responden atau sebanyak 29 orang petani selalu memilih menggunakan pupuk organik yang berasal dari kotoran sapi