• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

---RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 68/PUU-XII/2014

PERIHAL

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974

TENTANG PERKAWINAN

TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA

REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ACARA

PEMERIKSAAN PENDAHULUAN (I)

J A K A R T A

(2)

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

---RISALAH SIDANG

PERKARA NOMOR 68/PUU-XII/2014

PERIHAL

Pengujian Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan [Pasal 2 ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

PEMOHON

1. Damian Agata Yuvens 2. Rangga Sujud Widigda 3. Varita Megawati Simarmata 4. Anbar Jayadi

5. Luthfi Sahputra

ACARA

Pemeriksaan Pendahuluan (I)

Kamis, 4 September 2014, Pukul 14.05 – 14.47 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat

SUSUNAN PERSIDANGAN

1) Wahiduddin Adams (Ketua)

2) Arief Hidayat (Anggota)

3) Muhammad Alim (Anggota)

(3)

Pihak yang Hadir:

A. Pemohon Perkara Nomor68/PUU-XII/2014:

1. Damian Agata Yuvens 2. Anbar Jayadi

(4)

1. KETUA: WAHIDUDDIN ADAMS

Sidang Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum.

Pada siang ini, agenda kita adalah

pemeriksaan pendahuluan. Kami persilakan kepada Pemohon atau Kuasa yang hadir untuk memperkenalkan diri.

2. PEMOHON: DAMIAN AGATA YUVENS

Terima kasih, Majelis Hakim Konstitusi. Perkenalkan, kami adalah Pemohon Prinsipal dalam perkara ini. Saya Damian Agata Yuvens selaku Pemohon I, di sebelah kanan saya adalah Anbar Jayadi selaku Pemohon IV, dan di sebelah kanannya lagi adalah Luthfi Sahputra sebagai Pemohon V. Demikian, Majelis Hakim.

3. KETUA: WAHIDUDDIN ADAMS

Jadi, tiga semuanya Prinsipal?

4. PEMOHON: DAMIAN AGATA YUVENS

Betul, Majelis Hakim.

5. KETUA: WAHIDUDDIN ADAMS

Baik. Kami persilakan untuk menyampaikan pokok-pokok permohonannya, garis-garis besarnya karena pada dasarnya permohonan sudah kita terima.

Oleh sebab itu, kami persilakan untuk menyampaikan pokok-pokok permohonannya. Silakan.

6. PEMOHON: DAMIAN AGATA YUVENS

Terima kasih. Assalamualikum wr. wb. Selamat siang dan salam sejahtera untuk kita semua. Majelis Hakim Konstitusi yang terhormat, terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk menyampaikan ringkasan permohonan pengujian Pasal 2 ayat (1)

SIDANG DIBUKA PUKUL 14.05 WIB

(5)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk selanjutnya disebut sebagai UUD 1945.

Majelis hakim konstitusi Yang Mulia, pada dasarnya ada empat dalil yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan lima dalil yang menegaskan bahwa Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan seharusnya dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Empat dalil utama kami adalah:

1. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan memaksa setiap warga negara untuk melangsungkan perkawinan sesuai dengan agamanya dan kepercayaannya masing-masing yang mana hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak beragama yang dijamin dalam Pasal 28E ayat (1), 28E ayat (2), 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mengharuskan tiap perkawinan dilangsungkan berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Artinya pasal ini memaksa tiap warga negara untuk mematuhi hukum dari masing-masing agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan. Padahal hak beragama adalah bagian dari hak yang paling privat serta tidak dapat dipaksakan pelakasanaannya, bahkan termasuk sebagai bagian dari non derogable rights. Pemaksaan ini menyebabkan tiap warga negara tidak dapat memilih untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan ajaran agamanya dan kepercayaannya dalam hal hukum perkawinan karena tidak melaksanakan hukum ... hukum agama dan kepercayaan, berarti perkawinan dilangsungkan menjadi tidak sah.

2. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan membatasi hak untuk melangsungkan perkawinan yang dijamin berdasarkan Pasal 28B ayat (1) UUD 1945. Dengan menyerahkan keabsahan perkawinan kepada hukum masing-masing agama dan kepercayaan, artinya akan muncul perkawinan-perkawinan yang tidak sah karena agama dan kepercayaan. Dengan kata lain, seorang individu khususnya warga negara Indonesia menjadi tidak dapat melangsungkan perkawinan karena adanya pembatasan berdasarkan agama dan kepercayaan. Artinya, pengaturan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebabkan terjadinya pembatasan terhadap hak warga negara Indonesia untuk melangsungkan perkawinan yang merupakan bagian dari hak asasi manusia dengan didasarkan pada materi pembatasan yang secara internasional telah dilarang yaitu agama dan kepercayaan.

3. Rumusan norma dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan membuka ruang penafsiran yang amat luas serta menimbulkan pertentangan antarnorma, sehingga tidak memenuhi hak atas

(6)

kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Syarat dari kepastian hukum adalah norma yang tidak multitafsir dan tidak saling bertentangan. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menggantungkan keabsahan perkawinan pada penafsiran setiap orang mengenai hukum agama dan kepercayaan yang mana dapat berbeda-beda bagi setiap orang. Dengan kata lain, tidak ada kepastian penafsiran mengenai keabsahan dari suatu perkawinan. Di sisi lain, dalam konteks perkawinan beda agama, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dapat dikatakan bertentangan dengan ketentuan perkawinan beda agama sebagaimana diatur dalam Pasal 75 ayat (1) HOCI dan Pasal 7 ayat (2) GHR yang berlaku berdasarkan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan. Sekali lagi karena pasal ini menyerahkan keabsahan perkawinan pada penafsiran tiap orang mengenai hukum agama dan kepercayaan yang dapat berbeda-beda.

4. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebabkan negara melalui aparaturnya memperlakukan warga negaranya secara bebeda, sehingga melanggar hak atas persamaan di hadapan hukum yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Penafsiran terhadap agama dan kepercayaan merupakan bagian dari hak setiap warga negara, maka perbedaan mengenai penafsiran terhadap hukum suatu agama atau kepercayaan antara warga negara yang hendak melangsungkan perkawinan dengan pegawai dari kantor catatan sipil atau kantor urusan agama akan sangat mungkin terjadi. Akibatnya adalah warga negara yang berurusan dengan kantor catatan sipil atau kantor urusan agama untuk urusan perkawinan yang sekali lagi keabsahanannya ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan dapat diperlakukan secara berbeda antara satu sama lain, padahal hal yang diatur adalah sama. Hal ini selain menunjukkan adanya limitasi terhadap hak warga negara untuk menafsirkan hukum agamanya dan kepercayaannya, juga telah menggambarkan adanya kemungkinan terjadinya perlakuan yang berbeda-beda terhadap satu warga negara dengan warga negara lainnya yang disebabkan pada limitasi yang terjadi.

Selanjutnya, akan dilanjutkan oleh rekan saya.

7. PEMOHON: ANBAR JAYADI

Sedangkan lima dalil tambahan kami. Pertama, pembatasan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak sejalan dengan pembatasan hak dan kebebasan yang ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Syarat pembatasan yang ditetapkan dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

(7)

tidak terpenuhi karena pembatasan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan, serta tidak didasarkan pada pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.

Kedua, keberlakuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebabkan banyak penyelundupan hukum di bidang hukum perkawinan. Masyarakat Indonesia khususnya yang hendak melangsungkan perkawinan tanpa mengikuti hukum, agama, dan kepercayaan telah beradaptasi secara negatif untuk dapat menghindari keberlakuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu dengan cara melakukan penyelundupan hukum yaitu dengan mengenyampingkan hukum nasional maupun mengenyampingkan hukum agama.

Pengenyampingan hukum nasional dilakukan dengan cara melangsungkan perkawinan di luar negeri dan dengan melangsungkan perkawinan secara adat, sedangkan pengenyampingan hukum agama dilakukan dengan cara menundukkan diri pada hukum perkawinan dari agama dan kepercayaan salah satu pihak, dan dengan berpindah agama dan kepercayaan untuk sesaat sebelum melangsungkan perkawinan.

Yang ketiga, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak memenuhi standar sebuah norma. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan bukannya menyelesaikan masalah mengenai perkawinan beda agama dan kepercayaan, namun justru menimbulkan permasalahan baru. Pasal ini bukannya melarang atau memperbolehkan perkawinan beda agama dan kepercayaan, namun justru menyerahkan kebolehannya kepada hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Sederhananya, ketika masyarakat bertanya kepada pemerintah apakah perkawinan beda agama dan kepercayaan diperbolehkan, alih-alih menjawab, melalui pasal ini pemerintah justru bertanya balik kepada masyarakat, apakah perkawinan beda agama dan kepercayaan boleh untuk dilakukan?

Yang keempat, keberadaan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menyebabkan terlanggarnya hukum agama dan kepercayaan yang paling dasar. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan didesain agar tiap warga negara melaksanakan hukum dari masing-masing agamanya dan kepercayaannya ketika melangsungkan perkawinan.

Namun dampak dari keberlakuan pasal ini, justru menyebabkan warga negara yang hendak melangsungkan perkawinan menjadi terpaksa berpindah agama dan kepercayaan. Dengan kata lain, untuk menghindari pelanggaran terhadap hukum agama dan kepercayaan dalam bidang perkawinan, justru terjadi pelanggaran terberat dari masing-masing hukum agama dan kepercayaan.

Dan yang kelima, Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menimbulkan permasalahan dalam hubungan suami-istri dan orang tua-anak. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menetapkan, “Dalam

(8)

hal perkawinan tidak didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan, maka perkawinan menjadi tidak sah.” Jika perkawinan tidak sah, maka seluruh akibat hukum termasuk hak dan kewajiban hukum yang timbul dari perkawinan menjadi tidak ada pula. Dengan kata lain, kewajiban suami terhadap istrinya tidak ada, kewajiban istri kepada suaminya tidak ada pula, dan tentu saja kewajiban orang tua kepada anak menjadi tidak ada.

Meskipun telah ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tertanggal 17 Februari 2012 tentang Anak Luar Kawin, sehingga kerugian yang terjadi pada anak bisa diminimalisir, namun kewajiban suami terhadap istri dan kewajiban istri terhadap suami tetaplah tidak ada, sehingga jika suami memutuskan untuk menelantarkan istrinya, bahkan dalam keadaan sedang hamil sekalipun, tidak ada perlindungan dari hukum yang diberikan kepada istri yang ditelantarkan. Selanjutnya, akan dilanjutkan oleh rekan saya.

8. PEMOHON: LUTHFI SAHPUTRA

Berdasarkan seluruh uraian di atas dan dikuatkan dengan bukti-bukti yang terlampir, maka kami memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut.

Yang pertama, menerima dan mengabulkan uji materiil terhadap ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan oleh Para Pemohon untuk seluruhnya.

Yang kedua, menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1), Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Yang ketiga, menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dan yang keempat, memerintahkan pemuatan isi putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya, atau apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya atau ex aequo et bono.

(9)

9. KETUA: WAHIDUDDIN ADAMS

Baik, sudah disampaikan pokok-pokok permohonan pada sidang ini, Majelis pada sidang pendahuluan akan memberikan nasihat dan masukan untuk permohonan ini.

Dari saya nanti, kemudian Prof. Arief dan Pak Dr. Muhammad Alim. Ada beberapa hal yang kami sampaikan. Pertama, ini Pemohon statusnya belum kawin semua, ya? Ya, ya saya lihat di kopi KTP-nya, semuanya belum kawin dari yang berlima, ya. Kemudian yang melampirkan fotokopi NPWP dua atau tiga, ya? Dua, ya. Baik, itu nanti.

Pertama, tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, mungkin nanti bisa dipertajam lagi, dilihat pola atau format dari permohonan yang ada selama ini.

Kemudian, mengenai legal standing-nya. Ya, selain merujuk pada Undang-Undang MK juga putusan dari MK mengenai lima syarat yang harus dipenuhi, ya. Saya lihat juga di sini juga sudah dielaborasi mengenai ada hak atau kewenangan konstitusi yang diberikan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Kemudian, hak atau kewenangan dianggap dirugikan, ya, tadi bahkan sempat dibacakan.

Kemudian, kerugian dan hak atau kewenangan konstitusional bersifat spesifik dan aktual atau setidaknya potensial yang menurut pandangan akan wajar dapat dipastikan akan terjadi.

Ya, di sini saya melihat juga bahwa hal-hal kemungkinan akan terjadi pada Pemohon yang menyebutkan bahwa ya, ketika suatu hari hendak melangsungkan perkawinan, khususnya kemungkinan beda agama dan kepercayaan, jadi potensial ya, akan terjadi.

Kemudian, ada dua fakta bahwa Indonesia negara plural yang suku, agama, dan kepercayaan yang ada di dalamnya.

Kemudian, mobilitas penduduk Indonesia yang tinggi, coba nanti dipertajam lagi apa hal-hal yang akan menjadi fakta bahwa ya, potensial, ya. Kalau aktual kan, tidak, maka saya tanya tadi dalam fotokopi KTP-nya semuaKTP-nya belum menikah, ya, belum faktual terjadi, tapi potensial, ya semuanya ya, ingin melaksanakan pernikahan, ya.

Baik, saya kira beberapa hal yang tambahan juga dari saya bahwa norma yang dimohon pengujian ini Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ya, tentang sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.

Kemudian batu ujinya ini ada tujuh, ya. Tapi tadi sempat disebut 28J juga, tapi tidak ada di dalam permohonan, ya. Waktu dibacakan ada Pasal 28J disebutkan ayat (2) bahwa itu diatur dalam peraturan perundang-undangan, tapi di sini tidak disebut di dalam permohonan tapi diungkapkan lisan, tadi disebut.

(10)

Secara umum, posita ya, sudah cukup menggambarkan, namun sebaiknya mengenai pertentangan norma yang dimohonkan dengan batu uji itu dijelaskan pertentangan normanya karena di permohonan itu lebih banyak contoh-contoh kasus yang dikemukakan ya, contoh-contoh kasusnya, ya. Bahkan ya, di bukti sepintas saya lihat sudah ada putusan-putusan pengadilan, baik yang tingkat pertama, banding, dan kasasi ya, mengenai … apa ... izin melangsungkan perkawinan yang berbeda agama. Tapi yang perlu dipertajam itu pertentangan norma, norma Pasal 2 ayat (1) itu dengan batu ujinya itu, dengan beberapa pasal yang sudah dikemukakan. Tapi termasuk tadi Pasal 28J yang tidak ada di dalam permohonan supaya dicantumkan, supaya jelas.

Ya, juga sedapat mungkin ada contoh perbandingan di negara lain, ya yang sudah menerapkan sistem atau pengaturan mengenai nikah beda agama karena di dalam permohonan itu lebih banyak pada pelaksanaannya yang mendapat kesulitan itu, ya. Harus melalui pengadilan, lalu istilahnya tadi ada ya, semacam boleh jadi perkawinan apa ... simulasi, semu, salah satu masuk, lalu kembali ke agamanya dan lain sebagainya, tapi ada enggak contoh-contoh di negara lain juga untuk dikemukakan yang kemudian justru Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974-nya belum dilampirkan, ya. Ya, nanti kita untuk bukti di daftar bukti itu bisa menyusul nanti, ya. Daftar alat bukti 1 sampai P-16 ini, Undang Dasar Tahun 1945-nya, kemudian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 mungkin juga berbagai ketentuan pelaksaan, ya bahkan Undang-Undang Adminduk, ya, yang lama dan yang baru ada perubahan, ya.

Itu dari saya. Kami persilakan Prof. Arief Yang Mulia.

10. HAKIM ANGGOTA: ARIEF HIDAYAT

Baik, terima kasih, Yang Mulia Ketua. Saudara Pemohon, kalau tidak salah, Saudara Pemohon ini mahasiswa UI, ya? Kemarin juara Mood Court, ya? Debat konstitusi? Betul, ya?

11. PEMOHON: ANBAR JAYADI

Ya, Yang Mulia.

12. HAKIM ANGGOTA: ARIEF HIDAYAT

Ya, saya hafal wajahnya soalnya, waktu itu saya jadi juri. Belum … pada belum lulus?

13. PEMOHON: ANBAR JAYADI

(11)

14. HAKIM ANGGOTA: ARIEF HIDAYAT

Yang duanya?

15. PEMOHON: ANBAR JAYADI

Sudah lulus.

16. HAKIM ANGGOTA: ARIEF HIDAYAT

Sudah lulus, baik. Komentar saya begini, ini permohonan ini sudah cukup baik, ya. Anda Prinsipal lulusan fakultas hukum, malah belum ada … ada yang belum lulus, tapi membuat permohonan saya anggap sudah cukup baik. Tetapi kewajiban kita untuk pada sidang yang pertama itu memberi nasihat atau saran supaya permohonan ini bisa lebih baik, sempurna, begitu ya, sehingga meyakinkan kita sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi bahwa ini permohonannya bagus dan bisa diperiksa, kemudian diputus, sehingga berhasil memenuhi apa yang Saudara inginkan, sehingga permohonan ini betul-betul harus mampu memberikan keyakinan pada Hakim bahwa apa yang Anda inginkan itu betul secara konstitusional. Jadi ini harus di … betul-betul harus disempurnakan. Tapi hak Saudara-Saudara menurut undang-undang, kewajiban kita memberi tahu, memberi saran, perbaikan, tetapi hak dari Anda. Kalau tidak diperbaiki juga enggak apa-apa, gitu, ya.

Ada beberapa hal yang akan saya sampaikan. Tadi betul alat buktinya itu kurang undang-undang yang diujikan dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional pengujiannya, itu harus dilampirkan sebagai bukti utama itu, ya. Selain yang Anda sudah sampaikan ini, itu harus dilengkapi nanti. Kemudian yang berikutnya yang perlu saya sampaikan supaya lebih dipertajam dalam posita, kenapa kok, pilihan Undang-Undang Perkawinan khususnya Pasal 2 ayat (1) itu kok, tidak konstitusional menurut Anda? Itu kenapa kok, inkonstitusional?

Kalau inkonstitusional itu di mana letaknya? Reasoning ini harus mampu meyakinkan hakim itu harus masuk di posita, positanya harus lebih dipertajam. Saya melihat bisa dipertajam melalui upaya untuk lebih mengelaborasi dari aspek filosofinya, ya. Kebetulan Anda mahasiswa UI, ada buku-buku yang dikarang oleh dosen Saudara. Itu begini kan, Indonesia itu bukan negara atau konstitusi. Kita menganut bukan negara berdasar agama, tapi konstitusi kita juga bukan menganut negara sekuler, tapi konstitusi kita menganut sebagai negara yang berdasar pada Pancasila, kan itu. Artinya, di situ bisa diartikan sinar atau dasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu harus menjadi landasan dalam kehidupan

(12)

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Itu harus diuraikan dari situ landasan filosofinya.

Buku yang bisa dipakai itu bukunya Pak … siapa … Pak Prof. Tahir itu kan … Tahir Azhary itu bisa dipakai sebagai referensi untuk memperkuat posita Anda. Terus kemudian disertasinya Bu … siapa … yang sudah … sekarang sudah profesor juga? Bahwa hukum di Indonesia itu harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang universal netral berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, itu. Coba dari situ.

Kemudian, bisa juga uraian-uraian yang dibangun berdasarkan misalnya pidato Soekarno, original intent maksud pendirian Negara Republik Indonesia pada waktu Indonesia didirikan, sidang-sidang BPUPKI, PPKI, itu bisa diurai di situ, termasuk misalnya bukunya … disertasinya … yang menguraikan mengenai piagam Jakarta itu dari … mungkin Pak Alim masih ingat bukunya … Endang Saifuddin … Anshari, itu bisa dipakai referensi. Membandingkan secara akademik itu, tetapi yang muncul itu kan perdebatan-perdebatan filosofis. Nah, kemudian juga ada perdebatan-perdebatan sosiologis. Jadi, positanya itu bisa disusun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu, sehingga Anda bisa sampai kesimpulan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 174 itu bertentangan dengan konstitusi kita itu karena dimungkinkan misalnya, kenapa ya?

Tapi kemudian kalau di dalam petitum Saudara bahwa itu dinyatakan bertentangan dan tidak mengikat secara hukum, apakah itu juga jalan keluar? Nanti kalau itu kita batalkan, nanti perkawinan di Indonesia menurut apa nanti? Itu harus Anda pikirkan juga, ya kan?

Berarti kalau begitu tidak bertentangan, tetapi harus dimaknai, misalnya begitu supaya kalau ini kita batalkan misalnya, Pasal 2 ayat (1) itu dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, kemudian dinyatakan tidak ber … mempunyai kekuatan hukum mengikat, nah, nanti perkawinan di Indonesia bagaimana? Dasarnya apa? Apakah hanya sekadar dicatat? Gimana?

Nah, kalau begitu berarti sama saja dengan Undang-Undang perkawinan yang diatur di dalam KUH Perdata. KUH Perdata itu mengartikan perkawinan hanya sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan. Berarti, perkawinan menurut perdata itu sekuler, padahal kita tidak. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Kawin saja harus disinari oleh sinar Ketuhanan Yang Maha Esa, bisa dilakukan menurut agama atau kepercayaan.

Nah, ini coba Anda uraikan di dalam posita, sehingga betul-betul meyakinkan kita bersama bahwa Pasal 2 ayat (1) itu tidak bertentangan, tapi harus dimaknai, frasa itu harus dimaknai bagaimana karena kalau bertentangan nanti tidak ada dasar hukum yang melegalkan perkawinan di Indonesia. Apakah sekadar perjanjian perdata saja, laki-laki kawin sama perempuan, tidak ada perjanjian luhur. Padahal kan, perkawinan di Indonesia itu perjanjian luhur yang dilakukan antara laki-laki dan

(13)

perempuan untuk mengikatkan diri menjadi satu membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera. Kalau pakai orang Islam mengatakan, membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah, kan begitu. Nah, ini harus dipikirkan Anda di dalam posita, sehingga meyakinkan Hakim, itu. Ini yang dari sisi fiolosofis, sosiologis, itu bisa dikaji demikian. Kemudian, yang berikutnya, saya melihat di dalam permohonan ini ada Bab 5 itu, kesimpulan, dibuang saja. Tidak ada di dalam permohonan pengujian undang-undang … enggak ada kesimpulan, langsung … nanti kesimpulan itu Anda setelah ini sidang selesai, nanti Pemohon diminta untuk membuat kesimpulan, Pemerintah dan DPR juga membuat kesimpulan, kan gitu. Kesimpulannya tidak di dalam permohonan, tapi nanti di akhir setelah proses persidangan, yang terakhir diminta untuk membuat kesimpulan atas dasar perkembangan proses persidangan yang sudah berlangsung.

Langsung petitumnya, ya. Kemudian, di dalam petitum, tadi saya sudah katakan, apa betul kalau itu dinyatakan bertentangan? Tidak … apa tidak dimaknai frasa ini harus dimaknai demikian, sehingga tidak menghambat … perkawinan yang terjadi penyelundupan ini, ini, ini, macam, macam, macam, gitu. Itu harus diuraikan, begitu.

Kemudian, petitum angka satu, coba dilihat, menerima dan mengabulkan, menerima itu dicoret saja. Kalau menerima itu, kita Mahkamah pada waktu menguji legal standing, jadi tidak usah. Kalau Anda sudah dikabulkan, artinya legal standing Anda sudah diterima, enggak perlu dua kata ini disandingkan, nanti malah ambigu, ya. Cukup di petitum yang pertama itu mengabulkan uji materiil ini, itu.

Kemudian, yang kedua, kalau mau tetap Anda berpandangan ini tetap tidak konstitusional bersyarat tapi itu bertentangan, maka di sini di dalam petitum tidak perlu lagi dikatakan, “Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 174, bertentangan dengan pasal ini, ini, ini.” Cukup sudah di petitum itu hanya dikatakan, “Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” lebih pendek karena sudah diuraikan pada waktu Anda mengatakan pasal-pasal yang menjadi landasan konstitusional pengujiannya, itu.

Kemudian satu lagi … oh, bukti tadi sudah. Jadi, itu yang bisa saya sampaikan sehubungan dengan kewajiban Hakim pada sidang yang pertama untuk memberikan nasihat atau saran perbaikan permohonan.

Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Saya kembalikan.

17. KETUA: WAHIDUDDIN ADAMS

Yang Mulia, Prof. Arief. Kami persilakan Yang Mulia, Dr. Muhammad Alim untuk memberikan masukan, nasihat terhadap permohonan yang diajukan Pemohon.

(14)

18. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM

Terima kasih, Yang Mulia Ketua. Dari seperti yang dikatakan oleh Yang Mulia tadi Pak Prof. Arief, kita ini memberikan nasihat kalau diterima syukur, kalau tidak diterima enggak apa-apa juga karena itu hak Saudara.

Tadi oleh beliau dikatakan bahwa di dalam perkawinan itu harus disinari oleh di antaranya, Ketuhanan Yang Maha Esa. Sekadar saya tambah di dalam pengetahuan Saudara, di dalam putusan MK itu, “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Jadi, tidak berdasarkan apa-apa, justru berdasarkan … itu putusan, lho. Putusan pengadilan, peradilan umum, peradilan … semua pengadilan yang ada di Indonesia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, itu camkan baik-baik itu.

Nah, kemudian di dalam permohonan Saudara, banyak Saudara mengutip undang-undang … apa … ketentuan-ketentuan yang ada di luar negeri, misalnya ICCPR, dan lain-lain itu undang-undang … apa … Deklarasi Hak Asasi Manusia oleh PBB, 10 Desember 1948 itu yang kemudian beberapa di antaranya yang sudah diratifikasi. Harus Saudara ingat bahwa diratifikasinya suatu undang-undang … apa … peraturan atau perjanjian di luar negeri itu tidak bisa menganulir Undang-Undang Dasar Tahun 1945 di Indonesia. Jadi, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu adalah supreme constitution. Tidak bisa, yang lain kalau dia bertentangan, Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang harus dipertahankan, bukan ICCPR-nya misalnya. Jadi, itu harus … karena itu diratifikasi dengan undang-undang, tidak diratifikasi dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Jadi, Undang-Undang-Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu lebih tinggi daripada yang lainnya kalau di Indonesia. Harus ingat betul itu.

Kemudian, di sini di angka … di halaman 6 permohonan Saudara, itu angka 2 itu bahwa Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dan uraiannya ke bawah itu saya kira itu tidak perlu. Orang sudah tahu bahwa yang kita berhak itu hanya undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kalau di bawahnya itu lagi sudah tidak lagi kita itu Mahkamah Agung punya wewenang. Jadi, enggak usah disebutkan itu yang angka 2. Kalau saya sarankan dikeluarkan saja itu.

Kemudian, yang angka 3 masih halaman 6, ini istilah saja, “Kontrol terhadap lembaga dalam menerbitkan undang-undang.” Biasanya tidak menerbitkan, dipakai membentuk undang-undang, ya. Jadi, kalimat yang baku dipakai itu di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu adalah pembentuk undang-undang. Jadi, mungkin barangkali dipakai kata pembentuk.

(15)

Sebaliknya, di halaman 7 angka 4 itulah yang benar oleh karena yang diuji, yang dimohonkan pengujian konstitusionalnya adalah Undang-Undang Perkawinan, maka ini wewenang Mahkamah, ya itu betul, cuma kalau bahasa Indonesia permohonan ya, enggak usah huruf besarlah, kalau Pemohon, ya. Ini lho, kata permohonan yang ada di halaman 7 itu Saudara tulis huruf besar, enggak … janganlah huruf besar, Nak, huruf kecil saja, ya. Oke. Seperti juga para Pemohon, kalau para tidak usah besar, Pemohonnya yang besar. Para Pemohon ini ada di halaman 8 itu, b, hak konstitusional para Pemohon, itu dihapuskan saja.

Tadi sudah dikatakan oleh Yang Mulia mengenai … jadi begini, biasanya itu kalau menuliskan undang-undang … petitum ini, saya masuk ke petitum, tadi sudah dikatakan oleh Yang Mulia tidak usah disebutkan, dikatakan saja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan angka petitum ketiganya itu. Cuma begini, barangkali harus ditambah itu, Nak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan itu ditambah Lembaran Negaranya (Lembaran Negara Nomor …Tahun 1974, nomor berapa, tambahan Lembaran Negara nomor berapa). Baru dibalas kurung, ya.

Kemudian, di bawah itu juga angka ketiganya itu lho, jadi disebutkanlah ya, nomor … karena itu memang merupakan kelaziman yang harus diisi di dalam kelengkapan permohonan.

Di petitum ketiga juga begitu. Biasanya itu kata ex aequo et bono itu yang di bawah itu atau itu di huruf besar semua. Nah, karena atau titik dua, artinya kalau yang 1, 2, 3, 4 itu tidak dikabulkan, bagaimanalah yang seadil-adilnya. Insya Allah nanti Mahkamah Konstitusi akan menjatuhkan putusan seadil-adilnya, insya Allah.

Jadi, seperti kata Yang Mulia tadi, pertajamlah kembali anu … apa … permohonannya, mungkin dikeluarkan yang tidak terlalu perlu dan yang tidak perlu, dan kemudian di … disinkronkan dengan yang lain.

Terima kasih, Pak Ketua.

19. KETUA: WAHIDUDDIN ADAMS

Terima kasih, Pak Dr. Alim.

Jadi, untuk mempertajam isi permohonan ini tadi sudah disarankan ya, dan saya juga ingin menekankan lagi bahwa di Putusan MK mengenai legal standing itu sedapatnya menggambarkan kerugian konstitusional itu spesifik. Misalnya, ya bahwa Pemohon ini akan melakukan pernikahan beda agama, spesifik, ya. Yang di sini baru asumsi ya, walaupun logis ya, asumsi bahwa masyarakat kita plural, kemudian mobilitas penduduk ya, atau mungkin juga peristiwa-peristiwa yang lalu. Tapi kalau lebih spesifik misalnya bahwa Pemohon ini memang akan melakukan pernikahan dalam status beda agama misalnya, itu kan menjadi … apa … spesifik. Ada disebut dalam putusan MK itu kerugian konstitusionalnya spesifik.

(16)

Kemudian juga dipertajam tadi ini Pasal 2 ayat (1)-nya ya, padahal Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan itu dikatakan ya, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ke-Tuhanan yang Maha Esa.” Jadi, di dasar perkawinan itu ya, Ketuhanan Yang Maha Esa itu. Ya, coba dielaborasi hal-hal yang seperti itu.

Kemudian juga bahan-bahannya. Ini Undang-Undang Tahun 1974 ya, Undang-Undang Nomor 1 ada buku sejarah kelahirannya, itu di perpustakaan ada, Perpustakaan Kementerian Hukum dan HAM di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan ada karena dulu setiap undang-undang lahir itu ada sejarah kelahirannya. Jadi, rancangan dulu bagaimana, kemudian proses pembahasannya. Ya, bahkan keterangan-keterangan fraksi-fraksi pada waktu itu.

Ya, mungkin juga ketentuan Pasal 2 ayat (1) ini sudah dibahas bagaimana dengan konstitusi walaupun memang pasal-pasal yang batu uji ini ya, masih di undang-undang sebelum perubahan ya, Undang-Undang Dasar sebelum perubahan kan, belum ada itu. Tapi bisa dilihat di sana karena ini sudah persis 30 tahun ya, usia undang-undang, 1974, sekarang 2014. Ya, bisa … oh, 40 … 40 tahun, ya. Bagaimana undang-undang itu dulu lahir, kemudian perdebatan-perdebatannya juga. Nah, itu bisa dibaca, juga disertasi-disertasi sudah cukup banyak mengenai perka … Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan Berbeda Agama sudah ada. Doktor di UI juga saya ingat ada. Ya, ini supaya melengkapi dan tadi mempertajam, ya.

Jadi, penasihatan ini untuk memberikan masukan, nasihat agar permohonan ini lebih baik. Terserah nanti pada Pemohon apakah nasihat atau masukan ini akan dipertimbangkan, kami serahkan sepenuhnya kepada Pemohon, ya.

Waktu untuk perbaikan ini paling lama 14 hari. Jadi, apabila 14 hari tidak ada perbaikan, maka yang akan dipertimbangkan oleh Mahkamah atau Majelis adalah permohonan yang sekarang sudah kita terima ini, ya.

Saya kira itu saja. Ada hal-hal yang ditambahkan? Silakan.

20. PEMOHON: DAMIAN AGATA YUVENS

Tidak ada. Terima kasih, Yang Mulia, atas masukannya. Kami akan perbaiki permohonannya sesuai dengan arahan dan nasihat yang diberikan oleh Yang Mulia. Terima kasih.

(17)

21. KETUA: WAHIDUDDIN ADAMS

Dengan demikian, sidang hari ini selesai dan dinyatakan ditutup.

Jakarta, 4 September 2014 Kepala Sub Bagian Risalah,

t.t.d

Rudy Heryanto

NIP. 19730601 200604 1 004

SIDANG DITUTUP PUKUL 14.47 WIB KETUK PALU 3X

Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.

Referensi

Dokumen terkait

Tenaga Kesehatan dalam hal ini dokter yang diberikan kepercayaan penuh oleh pasien, haruslah memperhatikan baik buruknya tindakan dan selalu berhati- hati di dalam

Abstrak --Komandan Satuan dalam memimpin satuan dan prajuritnya harus bisa memerankan peran sebagai seorang pemimpin dan juga bisa memerankan sebagai seorang

Salah satu material yang berpotensi adalah komposit matriks keramik, keramik dipilih sebagai matriks karena ketahanan terhadap tekanan tinggi dan titik leleh

Sedangkan pada pemeriksaan rinoskopi anterior tampak kedua cavum nasi sempit, sekret bening, konka inferior berwarna livide , terdapat massa lunak, bertangkai, bulat,

Berdasarkan ide dasar diatas kaitannya dengan tinjauan tren fashion 2014 yang dipadukan dengan penggunaan serta karakteristik utama material serat wol serta proses

Penelitian ini menemukan hubungan yang bermakna dan korelasi yang positif antara fibrilasi atrium dengan gangguan kognitif yang dinilai dengan menggunakan salah

Cara kerja Beauty Magic Stick adalah elektron yang bebas terikat bersama dengan kelembaban kulit sehingga menjadi ion negatif, dan diserap kedalam kulit, peredaran darah

Eko Soponyono, SH.MH Praktek Pemidanaan Terhadap Tindak 2 Budhi Wisaksono, SH.MH Pidana Yang Dilakukan Oleh Pelajar Di Wilayah Kota Semarang (Studi Kasus Pengadilan