6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Massa
Di era evolusi komunikasi massa terbagi menjadi empat, yakni era writing, era printing, era telecommunication, dan era komunikasi interaktif. Menurut Rogers (1986 dalam Nurudin,2013) Teknologi komunikasi dapat dijelaskan sebagai alat, struktur-struktur organisasional, dan nilai sosial yang dikumpulkan individu yang kemudian diolah dan bertukar informasi dengan individu lain. Berkembangnya teknologi mempengeruhi perkembangan teknologi komunikasi baru, kemunculan teknologi tersebut diawali dengan bertambahnya jumlah dan berbagai macam teknologi elektronik. Kebaruan dari teknologi komunikasi menjadikan para ahli komunikasi melakukan kajian baru dalam penelitian komunikasi dan merumuskan Kembali kemungkinan perubahan paradigma lama mengenai cara komunikasi “bermedia” yang interaktif. Perubahan yang terjadi dari fenomena dahulu dan saat ini adalah arus jumlah pesan atau informasi yang cepat karena besarnya audiens, segmentasi, muatan interaktivitas, muatan kemampuan menyimpan, isyarat nonverbal, privasi dan kontrol dari arus komunikasi. Teori komunikasi massa yang dikenal saat ini telah melewati perkembangan empat masa, dimana teknologi saat ini memudahkan manusia untuk mengirim ulang pesan yang diterima dari apapun itu medium teknologinya. Baran dan Davis mendefinisikan komunikasi massa sarat dengan media massa yang besar, dimana media besar itu bisa dikatakan sebagai pengertian media massa. (Baran & Davis, 2012)
Menurut Nurudin, Komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa. Sebab pada awalnya perkembangannya komunikasi masssa berasal dari pengembangan kata media of mass communication. Media disini adalah media yang dihasilkan teknologi modern (Nurudin, 2007). John Vivian Mendefinisikan komunikasi massa sebagai suatu proses penggunaan sebuah medium massa untuk mengirim pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan memberi informasi, menghibur atau membujuk (Vivian, 2008)
2.2 Media Online
Dalam teori konvergensi menyatakan perkembangan media massa seakan beriringnya waktu akan terus berkembang seiring dengan awal siklus penemuannya. Setiap model perkembangannya model media baru itu merupakan perpanjangan dari model-model terdahulu. Dalam konteks ini, internet merupakan medium baru yang mengkovergensi seluruh karakteristik dari bentuk-bentuk terdahulu. (Santana, 2005)
Ketitka membicarakan internet tentunya tidak bisa lepas dari efek yang dihasilkan. Efek yang dihasilkan adalah dalam mengkomunikasikan berita dan dampak yang terdai setelahnya.
7
Arsenault dan Castells (dalam Nugroho, Putri, & Laksmi, 2012) menjelaskan bahwa internet saat ini adalah komunikasi massa, namun internet juga bisa menjadi komunikasi pribadi dimana masing-masing individu berkemampuan untuk membuat kontennya sendiri dan mampu memilih platformnya sebagai medium penyebaran informasi.
Dalam perkembangannya kemunculan teknologi baru seperti internet mampu mempengaruhi aspek-aspek komunikasi. Salah satunya adalah kemunculan World Wide Web (WWW) dimana hasil perkawinan antara internet dengan jurnalisme menghasilkan sebuah momen dimana berkembangnya awal jurnalisme online saat berita mengenai Drudge Report dikirimkan lewat 50 ribu email pelanggannya (Santana, 2005). Internet saat ini telah mampu memutus batasan-batasan yang tercipta oleh media konvensional dalam banyak kasus yang beragam.
2.2.1 Karakteristik Jurnalistik Online
Jurnalistik online memiliki perbedaan karakteristik yang jelas jika dibandingkan dengan jurnalistik tradisional. Salah satu perbedaan itu adalah kecepatan, akses yang mudah di lokasi yang beragam, bisa di-update dan dihapus kapan saja, serta pembaca dapat melakukan interaksi dengan medianya. Kemampuan jurnalistik online yang real time mampu memutus batasan waktu karena hitungan pemberitaan tidak lagi menggunakan hari atau jam, bahkan detik setelah peristiwa berlangsung (Romli, 2018).
Menurut Mike Ward (dalam Romli, 2018) dalam Journalism Online membagi beberapa karakteristik media online menjadi beberapa hal sesuai dengan keunggulannya dibanding media konvensional, yaitu:
a. Immediacy, Kecepatan informasi yang mana hitungan waktu yang digunakan tidak lagi menggunakan hari, jam, ataupun menit, melainkan detik.
b. Multiple Pagination, Memiliki kemampuan ratusan halam yang saling terkait. c. Multimedia, Dapat menyajikan, teks, grafis, gambar, video dan audio sekaligus
dalam penyajiannya.
d. Flexibility Deliver Platform, Wartawan bisa menyajikan beritanya dimanapun. e. Archieving, Pengguna dapat mengakses dalam kurun waktu lama karena
pengarsipan serta kategorisasi yang mudah.
f. Relationship With Reader, Antara pembaca dan redaksi dapat terhubung secara real time dalam fitur komentar.
8
Menurut James C. Foust (dalam Romli, 2018) tentang keunggulan jurnalistik online dalam Journalism: Principles and Practices of News For The Web membagi karakteristik jurnalisme online menjadi berikut:
a. Audience Control, Pembaca lebih mudah dalam memilih berita yang dipilih dengan menggerakkan jari, tetikus, atau mengklik judul tertentu.
b. Nonlienarity, Berita yang dibuat dapat berdiri sendiri tanpa ada kaitan dari berita yang lain.
c. Storage and Retrieval, Berita mudah diakses karena tersimpan dan terarsipkan dengan mudah.
d. Unlimited Space, Jumlah berita memungkinkan lebih lengkap jika dibandingkan dengan media lainnya, seperti radio atau televisi.
e. Immediacy, real time, cepat, dan langsung.
f. Multimedia Capabilty, Teks, suara, gambar, video, dan komponennya bisa disajikan dalam satu berita.
g. Interactivity, Adanya fitur untuk pembaca berbagi dan berkomentar dalam partisipasi pemberitaan.
2.3 Industri Media di Indonesia
Dalam melakukan penelitian ini, membahas industri media di Indonesia menjadi penting dan wajib. Sejak akhir tahun 1980 di Indonesia telah tumbuh industri media. Berkembangnya bisnis media di Indonesia mulai terlihat jelas pada Era Reformasi. Indonesia menyusun program “Nusantara-21” yang merupakan sebuah visi dan kebijakan nasional untuk menghantarkan Indonesia ke era informasi. Melalui masuknya teknologi internet ke Indonesia perkembangan industri media di Indonesia telah berubah menuju online. (Nugroho, 2010). Industri media didorong oleh kepentingan modal yang memiliki tujuan lain yaitu bentuk oligopoli dan kepentingan kepemilikan. Pemusatan diindustri media adalah konsekuensi dari adanya kepentingan dari modal. Oligopoli media memiliki potensi membahayakan hak warga negara atas informasi. Hal ini disebabkan dengan adanya industri media yang berorientasi pada keuntungan dan mengakibatkan gambaran bisnis yang diciptakan oleh kepentingan pemilik (Eriyanto, 2015).
Globalisasi merupakan fenomena dimana dunia sebagai satu pasar global. Ciri-ciri globalisasi yang muncul adalah pergerakan bebas, informasi, uang, tenaga kerja, produk budaya, produk barang, dan jasa ditingkat global, dan makin tipisnya batas-batas antar territorial negara. Globalisasi juga mempengaruhi sector industri media, salah satunya adalah
9
masuknya pemodal asing dalam insutri media Nasional salah satunya pembelian saham ANTV oleh Star TV. (Muslimin, 2011)
Di dewasa ini, di Indonesia terdapat dua belas kelompok media besar yang mengendalikan hampir semua kanal termasuk media online. Kedua belas media besar itu adalah MNC Group, Kelompok Kompas Gramedia, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Grup Jawa Pos, Mahaka Media, CT Group, BeritaSatu Media Holdings, Grup Media, MRA Media, Femina Group dan Tempo Inti Media. Republika merupakan merupakan surat kabar pertama yang tersedia dalam bentuk online di Indonesia pada tahun 1995, kemudian disusul tempointeraktif.com masih ditahun yang sama. Paska reformasi 1998 pertumbuhan media online semakin pesat disusulnya pembentukan detik.com yang dalam perkembangannya menjadi penerbit online terbesar di Indonesia.
2.4 Realitas Media
Dalam mengkonstruksi realitas, media massa memiliki keleluasaan sepenuhnya. Hal yang dapat dilakukan satu - satunya yaitu menggunakan kebijakan dan patokan dari kewenangan masing-masing redaktur dari media. Kebijakan para redaksi sendiri memiliki kemungkinan dipengaruhi oleh kepentingan idealis, ideologis, politis, dan ekonomis. Namun perlu dipertimbangkan sebuah kepastian bahwa ada tidaknya sebuah realitas yang ditonjolkan, disamarkan, atau bahkan tidak diangkat sama sekali dalam setiap pengkonstruksian realitas. Terdapat teori yang dapat menjawab fenomena ini, yaitu Media Equation Theory atau teori persamaan media, teori tersebut ingin menjawab bagaimana khalayak publik secara tidak sadar telah merespon apa yang telah dikomunikasikan oleh media secara otomatis.
Media yang lebih ideologis kebanyakan muncul dalam menghadirkan konstruksi realitas yang bersifat membela beberapa kelompok dan melawan kelompok yang berbeda. Di sebuah sistem liberal, kecenderungan ini memunculkan peristiwa-peristiwa berupa media partisipan dan media non- partisipan. Faktor kepentingan dalam media telah memunculkan fenomena konglomerasi media, sehingga pemodal pun berkuasa dalam membentuk konstruksi realitas yang ada. Model ini kebanyakan digunakan karena pemodal tersebut merasa dirugikan oleh mereka (Hamad, 2004: 26).
Tentunya sebuah berita layak diberitakan jika telah memenuhi unsur nilai berita. Hal tersebut merupakan ketentuan yang tercantum dalam Kode Etik Jurnalistik, bahwa berita seharusnya memiliki unsur:
a. Menggunakan bahasa jurnalistik yang akurat, cermat, dan tepat. b. Berita harus lengkap, adil, dan berimbang.
10 d. Berita ringkas, detail, dan faktual.
2.4.1 Media dan Konstruksi Realitas
Media massa sebagai bagian dari pelaku komunikasi massa mempunyai tugas memproduksi atau upaya menceritakan “kembali peristiwa” atau berita untuk dibagikan kepada khalayak umum sebagai bentuk informasi. Dengan demikian informasi massa adalah milik publik, bukan untuk individu masing-masing (Tamburaka, 2012). Dalam proses menyampaikan berita tersebut media memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas yang akan disajikan. Dalam prosesnya media membentuk realitas dari beberapa peristiwa untuk dibigkai menjadi sebuah cerita yang menarik, oleh karenanya semua isi dari hasil media adalah hasil dari realitas yang dikonstruksi dalam bentuk wacana yang bermakna.
Media sebagai agen konstruksi. Dilihat dari pandangan konstruksionis, media dilihat sebagai bentuk saluran yang bebas, dimana media sebagai subjek yang mengkonstruksi sebuah realitas secara lengkap dengan pandangan, bias, dan keberpihakan. Fakta atau realitas pada dasarnya dikonstruksi. Manusia membentuk dunia mereka sendiri. Dalam prosesnya wartawan atau media tidak serta merta meliput kejadian peristiwa dengan netral begitu saja. Wartawan akan melihat bagaimana peristiwa tersebut dibungkus dengan bahasa, gambar, dan judul sedemikian rupa untuk menarik khalayak umum (Eriyanto, 2015:22).
Dalam pemberitaan ada kesepahaman antara ilmuwan media kalau cerminan kenyataan yang buat oleh media massa merupakan hasil dari konstruksi yang selektif, yang terbuat dari beberapa kenyataan. Setelah itu diberi pengertian atau makna lewat kerangka sudut pandang tertentu. Konstruksi sosial setelah itu dilihat kembali dari proses lokasi kejadian, orang, nilai, serta penafsirannya yang kemudian dilihat prioritasnya. Melalui proses tersebut framing digunakan sebagai perannya. (McQuail, 2011:110-111).
2.5.2 Latar Belakang Media Dalam Memproduksi Berita
Berita adalah hasil akhir dari proses yang didalamnya terjadi pemilahan suatu berita dan menentukan peristiwa dan tema-tema tertentu pada satu kategori tertentu. Jika dikutip dari MacDougall, menurutnya setiap hari pasti terdapat jutaan peristiwa yang secara potensial dapat dijadikan sebuah berita oleh media (Eriyanto, 2015:119). Berita tidak lain adalah hasil dari laporan atau pemberitahuan tentang peristiwa aktual yang menarik perhatian orang banyak.
Apa yang disugukan media pada dasarnya merupakan kumpulan akumulasi dari pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese telah merangkum faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan di ruang pemberitaan. Mereka mendapati lima faktor yang mempengaruhi kebijakan redaksi yang menghasilkan teori hirarki pengaruh isi media diperkenalkan oleh Pamela J Shoemaker dan Stephen D. Reese.
11
Teori tersebut menjabarkan bahwa isi pemberitaan dari media dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal media tersebut.
Pertama, faktor Rutinitas Organisasi. Faktor ini melihat bagaimana aspek-aspek personal dari pengelola media dalam menjalankan organisasi media. Melalui pembagian dan kategorisasi wartawan, hal tersebut mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Latar belakang individu serta kategorisasi dalam peliputan berita mempengaruhi kecenderungan wartawan dalam memproses peristiwa yang akan ditampilkan pada media.
Kedua, Nilai berita. Nilai berita adalah produk dari konstruksi wartawan. Media memiliki kualifikasi terhadap mana berita yang baik. Dalam proses penerbitan berita nilai berita mempengaruhi bagaimana media massa menilai kerja wartawan dan keberhasilan kerja mereka. Nilai jurnalistik juga sebagai bentuk pertimbangan dalam media menangkap dan menentukan bagaimana peristiwa didefinisikan. Hal ini merupakan prosedur pertama bagaimana peristiwa dikonstruksi. Tidak semua peristiwa dilaporkan namun bagaimana peristiwa tersebut memiliki nilai berita tinggi.
Berita dikategorikan menjadi hard news, soft news, spot news, developing news, dan continuing news.Kategori tersebut digunakan media untuk membedakan jenis isi berita dan subjek peristiwa yang akan dijadikan berita. Kelima kategori tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 2.1 Kategori Berita
12 Sumber: (Eriyanto. 2015:130)
Ideologi Profesional/Objektivitas secara umum digambarkan dengan produksi berita secara umum tidak boleh mencampurkan antara fakta dengan opini. Karena adanya berita merupakan sebuah fakta. Maka dalam prosesnya, berita tidak boleh dituliskan dengan pendapat opini.
2.4.3 Nilai Berita
Berita memiliki nilai menarik jika disajikan dengan cara “membumbui” fakta atau peristiwa yang terjadi. Sehingga penyajian fakta dan kejadian perlu dirangkai sedemikian mungkin untuk menjadi bagus dan menjadi sebuah berita menarik. Menurut Fraser Bond (Dalam Tamburka, 2012: 139) menyatakan bahwa untuk menyajikan berita yang bernilai tinggi dan menarik perhatian tercatat ada empat faktor, yaitu:
a. Ketepatan waktu (timeless);
b. Kedekatan tempat kejadian (proximity); c. Besraanya (size);
13
Dalam berita terkadung unsur-unsur yang dapat dikategorikan menjadi nilai berita. Ada berita baik dan juga berita buruk. Dalam jurnalisme lama terdapat ungkapan “bad news is a good news”. Berita yang buruk membuat massa menjadi meningkatkan rasa ingin tahunya. Ashadi Siregar (1982 dalam Nurudin, 2007) memiliki pandangan mengenai nilai berita sebagai berikut; penting, besar, waktu, dekat, tenar, manusiawi. Berikut mengenai nilai berita dilihat dari a. Frekuensi b. Negatif c. Tak Terduga d. Tidak Mendua e. Personalisasi f. Kepenuhartian
g. Berkaitan dengan Pemimpin Negara h. Berkaitan dengan Individu
i. Konflik j. Prediksi k. Penting l. Besar m. Aktualitas n. Kedekatan o. Tenar p. Human Interest 2.5 Infodemik
Ketersediaan informasi yang melimpah selama terjadinya peristiwa pandemi merupakan hal yang perlu diperhatikan. Kecepatan informasi yang lebih cepat dari pada virus itu sendiri mampu memunculkan ketakutan kepada publik (The Royal Society, 2020). Epidemi informasi ini dimunculkan oleh David Rothkopf, menurutnya (dalam The Royal Society, 2020) dimana berita yang diproduksi oleh media mampu memunculkan krisis kesehatan, karena masyarakat menjadi sulit diperhatikan. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Gebreyesus (WHO, 2020) menyatakan bahwa di masa pandemic virus corona ini kita dituntut untuk tidak hanya memerangi pandemi virus, melainkan juga melawan bentuk infodemik. Karena infodemik mampu menghambat respon terkait kesehatan di masyarakat, dan juga menimbulkan kebingungan serta kekacauan di antara masyarakat.
14
Selama masa pandemi berlangsung Kominfo mencatat semenjak 23 Januari hingga 23 September terdapat 1.725 hoaks dari 1.984 konten pemberitaan yang berkaitan dengan virus corona (Kominfo, 2020). Dengan sikap kominfo sebagai gatekeeper, harapan memerangi infodemik sesuai dengan pertemuan United Nations General Assembly High-Level Side Event on Infodemic Management yang menyatakan bahwa pentingnya manajemen infodemik untuk menyediakan informasi yang benar tentang virus corona serta langkah-langkah bagaimana mengatasi disinformasi yang terjadi.
2.6 Objektivitas
Pada umunya, sesuatu yang objektif berlandaskan dengan fakta. Fakta merupakan hasil dari apa yang diungkapkan oleh seseorang, apakah orang itu melihat secara langsung atau fakta yang ia dapatkan dari membaca media online atau cetak. Fakta ada; keberadaannya berdasarkan pada apa yang manusia lihat dan dengar, atau dengan kata lain didapatkan dari indra manusia sendiri. Dalam bahasa simpel, kenyataan ataupun lebih tepatnya mengatakan kenyataan, tidak dapat leluasa dari nilai- nilai yang dianut sang pengungkap. Apalagi sesuatu kenyataan“ terdapat” sehabis menemukan evaluasi dari sang pengungkap. Mursito (2003 dalam Nuruddin 2009:77) Westerstahl membagi objektivitas ke dalam dua kriteria, yakni faktualitas dan imparsialitas.
Gambar 2.1 Skema Objektivitas Westerstahl
Faktualitas ialah faktor kejadian yang memanglah benar terjadi. Kenyataan yang diartikan disini ialah kenyataan yang secara indrawi bisa dibuktikan kebenarannya lewat
15
manusia yang mengalaminya. Kebenaran dalam faktualitas menjadi penting bagimana keutuhan laporan, pas, serta akurat yang ditopang oleh pertimbangan independent serta tidak memusatkan khalayak.
Keseimbangan dan netralitas di dalam Imparsialitas, opini yang masuk dalam penulisan berita. Intepretasi wartawan dalam menyajikan data menjadi penting. Penelitian objektivitas media oleh profesor jurnalisme John Merril (1965 Dalam Tamburaka, 2012: 126) tentang bagaimana media membuat stereotip terhadap tiga Presiden AS (Truman, Eisenhower, Kennedy) terdapat bias negative terhadap Truman, bias positif terhadap Eisenhower, dan penggambaran seimbang terhadap Kennedy. Objektivitas menjadi sangan peting dalam penyampaian berita. Dalam hal ini khalayak umum tidak diberikan data telanjang namun diolah dengan penulisan yang baik dalam menjelaskan permasalahan. Pers bertugas memberikan interpretasi dengan penjelasan secara rinci atas suatu peristiwa dan melihat berbagai macam segi. Sehingga fakta yang disajikan di lapangan memiliki bobot nilai tinggi.
2.7 Analisis Framing Model William A. Gamson
Gamson memiliki pandangan tentang frame sebagai bentuk cara bercerita (story line) atau gugusan ide yang disusun sedemikian rupa dalam menimbulkan konstruksi makna atas peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Gamson melihat pandangan media terbagi menjadi sejumlah pengemasan, melalui pemahaman seseorang ketika mengkonstruksikan pesan-pesan yang ingin disampaikan, kemudian menafsirkan pesan yang diterima. (Eriyanto, 2015)
Gamson dan Modigliani menggambarkan perangkat framing sebagai berikut: Tabel 2.3
16 (Eriyanto, 2015:262)
Peneliti memilih model analisis William A. Gamson yang menganggap framing sebagai cara bercerita yang disusun dalam sedemikian rupa. Dua media Tirto.id dan Tribunnews.com memiliki gaya berceritanya masing-masing dalam membingkai sebuah isu.
2.8 Teori Agenda Setting
Teori agenda setting pertama kali dibahas dan diungkapkan oleh Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw sekitar tahun 1973. Diikuti dengan publikasi pertama mereka yaitu “The Agenda Setting Function of The Mass Media” Public Opinion Quarterly No. 37.
Pada tahun 1968 ketika masa pemilihan Presiden Amerika Serikat, terdapat kaitan yang tinggi anatara penekanan dan cara berita itu diangkat dan dinilai oleh pemilih. Tingginya nilai penting suatu topik berita pada media massa menjadikan meningkatnya nilai penting topik tersebut bagi audiens. Lalu di tahun 1998 terdapat Myung Ho Yoon, seorang mahasiswa pascasarjana (S2) Universitas of Texas yang berkeinginan untuk melihat apakah ada pengaruh pemanfaatan situs-situs koran Korea oleh mahaisiswa di Universitas Texas memengaruhi
17
pemikiran mereka tentang isu ekonomi terpenting di Korea mendapati hipotesis agenda setting dengan hasil tes menunjukkan terdapat korelasi positif antara paparan media dengan agenda media para mahasiswa yang lebih banyak mendapat paparan koran-koran web menunjukkan kemiripan anatara agenda pribadi mereka dengan agenda koran-koran web oleh Severin dan Tankard, Jr, (Dalam Tamburaka 2012:66)
Teori agenda setting merupakan salah satu dari banyak teori yang mempengaruhi media massa. Asumsi teori ini adalah media massa memiliki kemampuan untuk menyeleksi dan mengalihkan perhatian masyarakat pada gagasan atau peristiwa tertentu (Nurudin, 2007)
Agenda media mampu mempengaruhi agenda publik, dengan kata lain saat ini media mengontrol agenda khalayak. Media dapat membicarakan sesuatu yang perlu dan tidak perlu, media dapat mengontrol tokoh khalayak, media menjadi alat untuk mengarahkan perhatian khalayak kepada gagasan atau peristiwa. Dalam hal ini peneliti menggunakan media online Tirto.id dan Tribunnews.com tentang pemberitaan coronavirus untuk melihat agenda setting. Menurut Chaffe and Berger (dalam Nurudin, 2007:197) ada catatan untuk memperjelas teori yaitu :
a. Teori tersebut memiliki kekuatan dalam memperjelas mengapa khalayak sama-sama menganggap penting suatu isu.
b. Teori tersebut mampu memprediksikan suatu penyebab, bahwa jika orang-orang mengungkapkan pada satu media yang sama, makan mereka akan merasa isu tersebut ialah penting.
c. Teori tersebut dapat membuktikan salah jika orang-orang tidak menganggap penting media yang sama maka mereka tidak akan mempunyai pandangan yang sama bahwa isu media itu penting.
Fenomena ini sebelumnya telah diakui diakui sejak lama oleh Sosiolog Robert Park, ia menulis pada 1920, bahwa terdapat teori yang menolah pemikiran popular tentang bagaimana media memberitakan apa yang dipikirkan oleh khalayak. Media lebih banyak menciptakan kesadaran tentang isu, bukan menciptakan ilmu atau isu.
Robert Park dalam (Vivian, 2008) membagi agenda setting menjadi beberapa level, diantaranya yaitu:
a. Penciptaan Kesadaran, Jika individu menyadari suatu isu, maka individu tersebut baru akan memperhatikan isu.
b. Menentukan Prioritas, Khalayak akan mengurutkan isu berdasarkan arti pentingnya. Baru kemudian khalayak mempercayainya.
18
c. Mempertahankan Isu, Liputan yang terus menerus akan membuat isu menjadi terlihat penting. Apabila gatekeeper dari media beralih ke isu yang lain, maka isu yang panas akan segera menghilang dan dilupakan.
Hal ini juga diperdalam dengan tiga agenda (agenda media, agenda khalayak, dan agenda kebijakan), teori agenda setting terdapat beberapa dimensi yang dikemukakan oleh Manngeim (Severin dan Tankard Jr,1992) sebagai berikut:
1. Agenda Media, agenda wajib diformat karena dalam prosesnya dapat memunculkan suatu masalah mengenai agenda media sejak pertama terkait agenda yang berkaitan.
a. Visibilitas, merupakan jumlah serta tingkat mencoloknya dari sebuah berita. b. Audience Silence (tingkat mencolok bagi khalayak), merupakan relevansi berita
dengan kebutuhan dari khalayak melalui isi berita.
c. Valence (valensi), tone pemberitaan terhadap suatu peristiwa.
2. Agenda Khalayak, publik membutuhkan kepentingan isu tertentu sehingga pasti berhubungan dengan agenda media. Pernyataan tersebut terlihat bagaimana media memiliki kekuatan dalam mempengaruhi agenda publik yang dianggap penting bagi tiap indinvidunya.
a. Familiarity (keakraban), merupakan besaran paparan khalayak terhadap suatu topik. b. Personal Silence (penonjolan pribadi), hubungan kepentingan antar individu dengan
ciri pribadi.
c. Favorability (kesenangan), pertimbangan oleh publik terkait senang dan tidak senangnya sebuah topik.
d. Agenda Kebijakan. Agenda publik memengaruhi atau berinterkasi ke dalam agenda kebijakan. Karena oleh individu kebijakan publik dianggap penting.
e. Support (dukungan), merupakan suatu hal yang menyenangkan bagi posisi suatu berita tertentu.
f. Likelihood of Action (kemungkinan kegiatan), kemungkinan pemerintah mengerjakan apa yang diibiratkan.
g. Freedom of Action (kebebasan bertindak), merupakan bentuk kegiatan yang akan dilakukan terhadap pemerintah.
Peneliti menggunakan agenda setting untuk menggambarkan bagaimana media online Tirto.id dan Tribunnews.com memberitakan peristiwa coronavirus. Melalui proses ini maka akan diketahui bagaimana agenda kedua media tersebut memunculkan pemberitaan kepada masyarakat dan bagaimana media online ini ingin menunjukan kepada masyarakat ciri khas
19
media tersebut. Pandangan ini menimbulkan pertanyaan, seberapa kuat media dapat mempengaruhi agenda publik dan bagaimana publik melakukannya.
2.9 Penelitian Terdahulu
Salah satu instrumen penting dalam penelitian adalah penelitian terdahulu, melalui penelitian terdahulu peneliti mampu membuat pertimbangan terhadap penelitian ini. Dengan mengkaji dan memahami berbagai literasi, peneiliti menemukan penelitian yang serupa namun memiliki perbedaan dalam meneliti objeknya.
Penelitian yang pertama terkait pemberitaan Covid-19 sebelumnya pernah dilakukan oleh David Fritz Michael (2020) dalam menyelesaikan Master Thesis dengan mengangkat judul “Analisis Framing Terhadap Berita Penangan Covid-19 di Indonesia dalam Okezone.com dan Tribunnews.com”. Pembahasan yang dilakukan oleh peneliti terdahulu adalah untuk mengetahui bagaimana Okezone.com dan Tribunnews.com membingkai berita penanggulangan Covid-19 di Indonesia. Dengan menggunakan teknik dokumentasi dalam mengumpulkan data dan menggunakan analisis framing model Robert Entman.
Perbedaan dalam penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah objek yang digunakan berbeda. Jika objek penelitian terdahulu adalah Okezone.com dan Tribunnews.com maka penelitian ini menggunakan objek Tirto.id dan Tribunnews.com. Kemudian analisis yang digunakan peneliti adalah model William A. Gamson. Adapun relevansi penelitian terdahulu dengan penelitian ini yaitu sebagai rujukan penelitian.
Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Ilham Fahreza pada tahun 2020 dengan judul “Jurnalisme Bencana Berdasarkan Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Covid-19 di Tempo.com pada tanggal 2-31 Maret 2020”. Peneliti terdahulu menggunakan teknik dokumentasi dengan menggunakan model analisis framing Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki.
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini dipaparkan oleh peneliti yaitu terletak pada objek penelitiannya. Jika peneliti terdahulu memakai objek penelitiannya tunggal yaitu media Tempo.co, maka penelitian ini menggunakan dua objek penelitian yaitu Tirto.id dan Tribunnews.com untuk membandingkan bagaimana konstruksi pemberitaan terkait virus corona masing-masing media. Relevansi penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah sebagai rujukan penelitian, serta memberikan gambaran bagaimana media mengkonstruksi sebuah pemberitaan khususnya mengenai virus corona atau Covid-19.
20
Untuk membantu penelitian ini, maka peneliti membuat kerangka berpikir dalam memahami penelitian ini. Sehingga hasil dari penelitian ini menjadi lebih terukur. Berikut skema penelitian yang dibuat: