• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Percepatan Pembangun Industri Perikanan Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kebijakan Percepatan Pembangun Industri Perikanan Nasional"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Kebijakan Percepatan Pembangun

Industri Perikanan Nasional

Nazla Mariza, M.A.; Bambang Wicaksono, M.Si.; Joanna Octavia, M.Sc.

Ringkasan

Kondisi Perikanan Saat Ini

Industri perikanan nasional Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat signifikan di bawah kepemimpinan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sejak tahun 2014. Namun, industri tersebut masih menghadapi berbagai permasalahan dari segi ekonomi maupun tata kelola, seperti tingkat produksi yang belum maksimal, ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai, ekspor yang masih didominasi oleh bahan baku, serta tata kelola pemerintahan yang belum sepenuhnya terintegrasi. Ringkasan kebijakan ini merekomendasikan agar kelanjutan Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2016 menitikberatkan peninjauan atas kebijakan terkait industri perikanan lintas lembaga, diperkuatnya sistem rantai dingin, reformasi pelayanan usaha yang ramah investasi, dan mendorong investasi yang berkelanjutan.

Dengan luas laut yang mencapai 70% dari total luas wilayah indonesia, ternyata kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap produk domestik bruto masih kurang dari 3%. Padahal, industri perikanan sangat diharapkan menjadi

sektor yang mampu meningkatkan

pertumbuhan ekonomi negara setelah pariwisata. Oleh karena itu, keberadaan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional menjadi titik tolak upaya pemerintah guna mewujudkan sektor kelautan dan perikanan Indonesia yang mandiri, maju, kuat, dan berbasis kepentingan nasional. Kebijakan ini memiliki 3 (tiga) tujuan mendasar,

yakni: (1) meningkatkan kesejahteraan nelayan, pembudidaya, pengolah, dan pemasar hasil perikanan; (2) menyerap tenaga kerja; dan (3) meningkatkan devisa negara.

Terdapat tujuh langkah percepatan yang diinstruksikan Presiden kepada 25 pejabat lintas kementerian, lembaga, pemerintah daerah dan institusi penegakan hukum untuk dilaksanakan secara terkoordinasi dan terintegrasi. Secara khusus, Presiden menginstruksikan 13 langkah percepatan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan,

termasuk mengevaluasi peraturan

perundang-undangan yang menghambat pengembangan perikanan tangkap,

(2)

Secara khusus, Presiden menginstruksikan 13 langkah percepatan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan, termasuk mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang menghambat pengembangan perikanan tangkap, budidaya, pengolahan, pemasaran dalam negeri, ekspor hasil perikanan, dan tambak garam nasional; serta menyusun peta jalan (road map) industri perikanan nasional.

Untuk menjawab instruksi tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menargetkan kenaikan nilai ekspor sebesar 11,79% per tahun, serta peningkatan volume produk olahan sebesar 4,85% per tahun. Dalam mencapai target tersebut, KKP menyasar 3 hal yaitu, 1) Perluasan Unit Pengolahan Ikan (UPI) skala mikro, kecil dan menengah; 2) Optimalisasi kapasitas terpasang industri perikanan; dan 3) Perluasan industri perikanan.

Permasalahan dan Tantangan

Setidaknya terdapat 4 (empat) permasalahan dan tantangan kebijakan industri perikanan nasional, yakni:

Pertama, masih rendahnya kualitas, kuantitas dan kontinuitas produksi. Kondisi ini sebagai akibat dari masih dominannya skala usaha UMKM yang berkecimpung dalam industri perikanan. Misalnya, menurut data KKP (2016) sebanyak 88% usaha perikanan tangkap dioperasikan dengan perahu tanpa motor, motor tempel, dan kapal motor dibawah 30 GT. Kemudian, sebanyak 54,3% rumah tangga pembudidaya mengusa hakan lahan 0,1 ha, dan 83,5% budidaya tambak

masih menerapkan teknologi sederhana, serta 97,5% pengolah ikan merupakan usaha mikro kecil. Sebagai ilustrasi, jumlah Unit Pengolahan Ikan (UPI) saat ini sebanyak 61.601 unit, meliputi UPI skala usaha besar sebanyak 718 unit (1%), dan UPI skala UMKM sebanyak 60.426 unit (99%). Total omzet per tahun UPI mencapai Rp. 300 juta Rp. 3 milyar (UPI skala kecil), kemudian UPI skala menengah (Rp. 3 - 50 milyar), dan UPI skala usaha besar mencapai lebih dari Rp. 50 milyar (KKP, 2016).

Selain UPI yang didominasi oleh usaha skala UMKM, utilisasi industri pengolahan ikan juga tergolong belum optimal. Menurut data KKP (2016), pada tahun 2015, kapasitas produksi industri pengolahan ikan skala besar mencapai 2,49 juta ton/tahun, namun volume produksi yang dihasilkan baru mencapai 1,80 juta ton/tahun.

Komposisi Unit Pengolahan Ikan (UPI)

Sumber: KKP, 2016

1%

99 %

UPI Skala Besar 718*

UPI Skala UMKM 60.883** * Berdasarkan SKP 2015

(3)

Demikian pula kinerja produksi industri pengolahan ikan skala mikro, kecil, dan menengah baru mampu mencapai volume produksi sebesar 3.742.401 ton/tahun dari total bahan baku sebanyak 5.207.000 ton/tahun.

Kedua, aksesibilitas serta ketersediaan infrastruktur masih belum memadai. Permasalahan ini disebabkan oleh lokasi produksi yang sebagian besar terletak di daerah terpencil. Penyediaan kebutuhan listrik secara mencukupi untuk pemenuhan sistem rantai dingin, seperti cold storage, air blast freezer, contact plate, ice flake machine, dan lain-lain. sebagai alat untuk menjaga mutu ikan yang memerlukan daya listrik yang relatif tinggi masih belum bisa dijamin sepenuhnya oleh pemerintah. Selain itu, ketersediaanlahan yang jelas dan sah untuk pembangunan kawasan industri ini masih terbatas.

Dilihat dari alur sistem logistik ikan nasional, yakni mulai dari pengadaan, penyimpanan, transportasi, dan distribusi, ketersediaan dan kebutuhan cold storage masih menjadi tantangan terbesar. Pada tahun 2015, ketersediaannya baru mencapai 200.000 ton/tahun, padahal kebutuhannya mencapai 1,32 juta ton/tahun, dan 1,7 juta ton/tahun di tahun 2017 mendatang. Sebagai perbandingan, di Jawa kebutuhannya mencapai 515.000 ton/tahun, namun baru tersedia sebanyak 118.000 ton/tahun. Demikian pula di wilayah Maluku dan Papua, dari kebutuhan mencapai 68.000 ton/tahun, baru tersedia sebanyak 14.000 ton/tahun (KKP, 2016).

Data tersebut menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara pasokan bahan baku dengan industri dan pasar. Selain itu, sekitar

53% produksi berada di wilayah timur Indonesia, sedangkan 67% usaha pengolahan berada di barat Indonesia (Kantor Staf Presiden, 2016).

Kebutuhan dan Ketersediaan Cold Storage

Rendahnya aksesibilitas, serta ketersediaan infrastruktur yang belum memadai, mengakibat kan biaya logistik yang tinggi. Sistem logistik nasional masih belum mampu menghubungkan antara sentra-sentra produksi perikanan dengan pasar secara efisien dan efektif. Kondisi ini semakin diperparah dengan terbatasnya sarana angkut baik di darat maupun laut, serta angkut baik di darat maupun laut, serta terbatasnya sarana sistem rantai dingin pada sarana angkut. Sehingga, jaminan mutu

dan keamanan, ketelusuran, dan

keberlanjutan bahan baku industri masih rendah. Kesulitan mengakses infrastruktur industri perikanan juga mengakibatkan ketimpangan konsumsi produk perikanan secara nasional, serta menyebabkan harga komoditas produk perikanan secara keseluruhan menjadi belum kompetitif di pasar domestik.

Sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa, yang terletak jauh dengan lokasi produksi di timur Indonesia. Menurut data KSP (2016), konsumsi produk perikanan di pulau Jawa hanya mencapai 26,2 kg perkapita per tahunnya, dibandingkan dengan wilayah timur Indonesia yang mencapai 40-50 kg per kapita per tahunnya. Sumber: KKP, 2016 0 100 200 300 400 500 600 220 23 515 118 84 11 61 4 117 31 68 14

Sumatera Jawa Bali &

Nusa TenggaraKalimantan Sulawesi

Maluku & Papua

Kebutuhan (ribu ton) Ketersediaan (ribu ton)

(4)

Sebaran Unit Pengolahan Ikan (UPI)

Ketiga, walaupun data nilai ekspor menunjuk kan adanya peningkatan dari tahun 2013 hingga 2015, pada saat ini ekspor perikanan masih didominasi oleh bahan baku. Permasalahan ekspor dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti adanya hambatan tarif dan non-tarif yang makin ketat, terutama untuk produk olahan, terbatasnya jumlah industri dan diversifikasi produk olahan, serta regulasi terkait hilirisasi produk perikanan masih terbatas.

Nilai Ekspor Perikanan Indonesia

Pemerintah saat ini telah mengeluarkan Perpres No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka

Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Regulasi ini mengatur usaha perikanan tangkap yang dilarang (negative list) bagi penanaman modal asing. Modal asing didorong untuk mengembangkan industri pengolahan ikan yang diharapkan dapat mendukung hilirisasi industri perikanan nasional yang berdaya saing dan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.

Keempat, kebijakan industri perikanan nasional belum mampu berkembang sesuai harapan karena dipengaruhi oleh rendahnya kualitas tata kelola kebijakan. Percepatan pembangunan industri perikanan nasional memerlukan adanya sinergi dan koordinasi kebijakan antar kemente rian/lembaga terkait. Sebanyak 25 kementerian/lembaga, baik di tingkat pusat maupun daerah, telah diidentifikasi akan berkontribusi pada berbagai upaya yang diperlukan untuk percepatan industri perikanan nasional. Namun upaya untuk mewujudkan sinergi kebijakan dan koordinasi antar kementerian/lembaga secara efektif masih merupakan suatu persoalan besar yang perlu mendapatkan perhatian ekstra serius. Secara umum, kebijakan perikanan di Indonesia saat ini belum memiliki arah yang jelas dan kurang sistematis guna mendukung percepatan industri perikanan nasional. Belum tersedianya suatu peta jalan (road map) terkait upaya tersebut semakin menyulitkan bagi kementerian/lembaga terkait untuk mampu saling bersinergi secara efektif dan efisien. Contohnya, UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dimana wewenang untuk menerbitkan perizinan terkait ukuran kapal perikanan berada di bawah Kementerian Perhubungan. 0 1 2 3 4 5 2010 2011 2012 2013 2014 2015 3.3 4.6 4.2 3.9 3.5 2.9 Milyar US$ Tahun

Sumber: KKP, 2015 (data tahun 2015 angka sementara hingga bulan Oktober 2015)

Sumber: KKP: 2016 <1.000 Units

1.000 - 5.000 Units >5.000 Units

(5)

Demikian pula kinerja produksi industri pengolahan ikan skala mikro, kecil, dan menengah baru mampu mencapai volume produksi sebesar 3.742.401 ton/tahun dari total bahan baku sebanyak 5.207.000 ton/tahun.

Kedua, aksesibilitas serta ketersediaan infrastruktur masih belum memadai. Permasalahan ini disebabkan oleh lokasi produksi yang sebagian besar terletak di daerah terpencil. Penyediaan kebutuhan listrik secara mencukupi untuk pemenuhan sistem rantai dingin, seperti cold storage, air blast freezer, contact plate, ice flake machine, dan lain-lain. sebagai alat untuk menjaga mutu ikan yang memerlukan daya listrik yang relatif tinggi masih belum bisa dijamin sepenuhnya oleh pemerintah. Selain itu, ketersediaanlahan yang jelas dan sah untuk pembangunan kawasan industri ini masih terbatas.

Dilihat dari alur sistem logistik ikan nasional, yakni mulai dari pengadaan, penyimpanan, transportasi, dan distribusi, ketersediaan dan kebutuhan cold storage masih menjadi tantangan terbesar. Pada tahun 2015, ketersediaannya baru mencapai 200.000 ton/tahun, padahal kebutuhannya mencapai 1,32 juta ton/tahun, dan 1,7 juta ton/tahun di tahun 2017 mendatang. Sebagai perbandingan, di Jawa kebutuhannya mencapai 515.000 ton/tahun, namun baru tersedia sebanyak 118.000 ton/tahun. Demikian pula di wilayah Maluku dan Papua, dari kebutuhan mencapai 68.000 ton/tahun, baru tersedia sebanyak 14.000 ton/tahun (KKP, 2016).

Data tersebut menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara pasokan bahan baku dengan industri dan pasar. Selain itu, sekitar

53% produksi berada di wilayah timur Indonesia, sedangkan 67% usaha pengolahan berada di barat Indonesia (Kantor Staf Presiden, 2016).

Kebutuhan dan Ketersediaan Cold Storage

Rendahnya aksesibilitas, serta ketersediaan infrastruktur yang belum memadai, mengakibat kan biaya logistik yang tinggi. Sistem logistik nasional masih belum mampu menghubungkan antara sentra-sentra produksi perikanan dengan pasar secara efisien dan efektif. Kondisi ini semakin diperparah dengan terbatasnya sarana angkut baik di darat maupun laut, serta angkut baik di darat maupun laut, serta terbatasnya sarana sistem rantai dingin pada sarana angkut. Sehingga, jaminan mutu

dan keamanan, ketelusuran, dan

keberlanjutan bahan baku industri masih rendah. Kesulitan mengakses infrastruktur industri perikanan juga mengakibatkan ketimpangan konsumsi produk perikanan secara nasional, serta menyebabkan harga komoditas produk perikanan secara keseluruhan menjadi belum kompetitif di pasar domestik.

Sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa, yang terletak jauh dengan lokasi produksi di timur Indonesia. Menurut data KSP (2016), konsumsi produk perikanan di pulau Jawa hanya mencapai 26,2 kg perkapita per tahunnya, dibandingkan dengan wilayah timur Indonesia yang mencapai 40-50 kg per kapita per tahunnya.

Sedangkan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, memberikan wewenang pada Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menerbitkan perizinan terhadap kapal penangkap ikan, terutama izin kapal perikanan. Persoalan muncul saat terjadi praktik maladministrasi berupa manipulasi ukuran kapal penangkap ikan sehingga berdampak terhadap maraknya praktik IUU fishing yang mengancam perikanan berkelanjutan.

Rekomendasi Kebijakan

Efektivitas pelaksanaan Inpres No.7 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Industri Perikanan Nasional akan terwujud bila pemerintah mampu mengkonsolidasikan sumber daya, terutama terkait regulasi, finansial, SDM, informasi dan teknologi untuk melakukan 6 (enam) kegiatan strategis, yakni: (1) peningkatan produksi; (2) perbaikan distribusi dan logistik; (3) penataan pengelolaan ruang laut; (4) penyediaan sarana dan prasarana; (5) pengembangan kompetensi SDM dan inovasi iptek; dan (6) perbaikan kualitas pelayanan perizinan.

Untuk melakukan upaya-upaya di atas, ada 4 (empat) opsi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah, yaitu :

1. Peninjauan Kebijakan

Evaluasi secara menyeluruh terhadap berbagai regulasi, seperti UU, PP, Perpres, atau Permen, perlu dilakukan guna menghilangkan hambatan kebijakan yang berpotensi menggagalkan upaya percepatan pembangunan industri perikanan nasional. Fokus evaluasi kebijakan terutama diarahkan pada: (a) harmonisasi regulasi, yakni menghilangkan tumpang tindih peraturan

perundang-undangan di tingkat pusat, khususnya antar kementerian/lembaga, maupun dengan peraturan di tingkat daerah; (b) merevisi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha Perikanan Tangkap, dan Usaha Pengolahan Ikan; (c) merevisi UU Perikanan, terutama yang berkaitan dengan penegakan hukum; (d) penyelesaian deregulasi paket kebijakan terkait perizinan usaha perikanan tangkap dan kapal perikanan, serta penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu di sektor kelautan dan perikanan; dan (e) meningkatkan kapasitas dan peran aktif pemerintah provinsi dalam menyusun seperangkat regulasi teknis dan program yang mendukung percepatan pembangunan industri perikanan dan memberdayakan nelayan.

2. Memperkuat Sistem Rantai Dingin

Sentra industri perikanan modern yang akan dikembangkan harus didukung dengan keberadaan sistem rantai dingin yang mampu berkontribusi terhadap percepatan industri perikanan nasional. Langkah-langkah untuk mewujudkan hal tersebut antara lain melalui; (a) pemberian kemudahan akses bagi para nelayan untuk memperoleh es dan air bersih; (b) penyediaan sarana prasarana yang dibutuhkan oleh industri perikanan, seperti Unit Pengolahan Ikan (UPI), listrik, cold storage, akses jalan ke pelabuhan, perumahan, telekomunikasi, dan sarana transportasi ikan berpendingin. Hal ini dapat dicapai melalui sinergi kebijakan antara kementerian dengan pemerintah daerah dalam penyediaan sarana prasarana yang mendukung kegiatan industri perikanan, seperti listrik, air bersih, cold storage, dan lain sebagainya.

(6)

3. Reformasi Pelayanan Usaha yang Ramah Investasi

Salah satu persoalan besar yang dihadapi oleh industri perikanan nasional adalah prosedur pelayanan perizinan usaha yang dianggap ruwet sehingga menghambat investasi. Oleh karena itu, reformasi pelayanan publik di bidang perizinan usaha perikanan perlu dilakukan melalui strategi berikut:

(1) penyusunan dan penerapan standar pelayanan sesuai amanat UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Keberadaan standar pelayanan ini akan mengurangi secara sistematis praktik-praktik pemberian pelayanan yang tidak berkepastian, baik menyangkut biaya, waktu penyelesaian, prosedur, persyaratan, maupun cara melayani;

(2) optimalisasi fungsi BUMDes dimana keberadaan BUMDes sesuai amanat UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dapat dimanfaatkan sebagai buffer stock bagi penyediaan bahan baku industri perikanan nasional.

Dalam hal ini, diperlukan adanya sinergi kebijakan antar lembaga untuk memberdayakan potensi nelayan kecil dan kelompok usaha UMKM perikanan, terutama dari segi pembiayaan, kompetensi, pendampingan teknis dan akses terhadap pasar. Hal ini sangat penting mengingat karakteristik usaha perikanan di Indonesia yang sebagian besar dilakukan oleh segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (99% UPI).

4. Mendorong Investasi yang Berkelanjutan

Untuk mendukung kebijakan industri perikanan yang menguntungkan berbagai lapisan masyarakat, pemerintah juga perlu memberikan kemudahan akses bagi para nelayan, khususnya

bagi UMKM perikanan, agar dapat memperoleh fasilitas permodalan usaha yang berkelanjutan.

Dukungan pembiayaan perlu terus dikembangkan melalui pengembangan skema program JARING dengan pihak OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Pemerintah juga dapat membuat dan menyosialisasikan pedoman teknis tentang investasi yang berkelanjutan, bekerja sama dengan pelaku industri, penyedia jasa keuangan, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lainnya. Selain itu, perlu adanya insentif bagi pelaku usaha perikanan yang menjalankan usahanya secara produktif dan bertanggung jawab.

Tim Penulis:

Nazla Mariza, M.A., Direktur Program, Pusat Transformasi Kebijakan Publik

Bambang Wicaksono, M.Si., Penasihat Kebijakan, Pusat Transformasi Kebijakan Publik

Joanna Octavia, M.Sc., Peneliti, Pusat Transformasi Kebijakan Publik

Narasumber:

Dr. M. Azbas Taurusman, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Institut Pertanian Bogor

Dr. Tri Wiji Nurani, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Institut Pertanian Bogor

Transformasi Roundtable Series “Pembiayaan Usaha Perikanan

Berkelanjutan” 18 Oktober 2016, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia

Penerjemah dan Penyunting Bahasa:

Wicaksono Prayogie, B.Sc., Spesialis Ilmu Bahasa, Pusat Transformasi Kebijakan Publik

Produksi:

Buyung Yuliandri, Koordinator Program

Sumber Data:

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Karakterisasi meliputi tipe buah, bentuk buah, tekstur kulit busa, panjang buah, lebar buah, bobot buah, warna kulit buah, daging buah, warna daging buah, rasa daging buah,

Dalam hal ini pada situs PCMS user dapat melakukan pengiriman data laporan bulanan secara langsung dari informasi laporan bulanan yang disediakan sehingga user tidak perlu

Pada hasil analisa maksimum tension mooring lines dengan kondisi FPSO Brotojoyo dalam keadaan Full Load, nilai safety factor yang terkecil adalah 3.546 dengan nilai tension

Dalam pembuatan karya seni tentunya hal pertama yang dilakukan adalah memikirkan bagaimana dan seperti apa karya tersebut yang bisa direalisasikan dengan kemampuan

Permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah mengenai hasil analisis kritikalitas risiko dari sistem dan layanan TI yang digunakan oleh PT PLN

Datar Mengamati Membaca dan mencermati mengenai pengertian titik, garis, sudut, bidang dan sifat-sifat pada titik,garis, sudut, dan bidang dalam geometri bidang datar, dan

Informan adalah orang yang diwawancarai, diminta informasi oleh pewawancara. Informan adalah orang yang diperkirakan menguasai data, informasi ataupun fakta dari

3.2 Menerapkan gerak tari kreasi berdasarkan fungsi, teknik, bentuk, jenis dan nilai estetis sesuai iringan 4.2 Berkarya seni tari kreasi. melalui pengembangan gerak