• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Suhu

Salah satu parameter yang mencirikan massa air di lautan ialah suhu. Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang (heat) yang terkandung dalam suatu benda. Secara alamiah sumber bahang utama adalah sinar matahari. Pada umumnya perairan yang banyak menerima bahang dari matahari adalah daerah yang terletak pada lintang rendah dan akan semakin berkurang bila letaknya semakin mendekati kutub (Weyl, 1970).

Pada lapisan permukaan penyebaran suhu ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya ialah jumlah bahang yang diterima oleh masing-masing tempat, arus-arus lautan yang membawa bahang dari khatulistiwa ke arah kutub-kutub serta pengaruh meteorologi seperti angin, penguapan, hujan dan lain-lain. Pada hakekatnya di daerah tropis terdapat amplitude suhu permukaan yang kecil. Oleh karena itu, perubahan pada penyebaran suhu vertikal juga kecil, hanya di daerah-daerah upwelling dapat ditemukan perbedaan yang cukup berarti (Illahude, 1999).

Menurut Ilahude (1999) berdasarkan lapisan kedalaman, penyebaran suhu di lapisan bawah paras laut (subsurface layer) menunjukkan bahwa adanya pelapisan yang terdiri atas:

a) Lapisan homogen

Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50-100 m dengan suhu berkisar 26-30°C dan gradien tidak lebih dari 0,03°C /m. Lapisan ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada Musim Timur, lapisan ini dapat mencapai 30-40 m dan bertambah dalam pada saat musim barat, yaitu mencapai 70-90 m sehingga mempengaruhi sirkulasi vertikal dari perairan.

b) Lapisan termoklin

Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas (main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan termoklin bawah, yaitu 27°C pada 100 m menjadi 8°C pada kedalaman 300 m atau rata-rata penurunan suhu dapat mencapai 9,5°C /100 m, sedangkan pada

(2)

termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8°C pada 300 m menjadi 4°C pada kedalaman 600 m atau rata-rata penurunan mencapai 1,3°C /100 m. c) Lapisan dalam

Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya mencapai 0,05°C /100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. Pada daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara 2-4°C.

d) Lapisan dasar

Di lapisan ini suhu biasanya tak berubah lagi hingga ke dasar perairan. Pada samudera-samudera lepas berarti dari kejelukan 3000 m sampai

5000 m.

Kondisi suhu permukaan umumnya dipengaruhi oleh arus permukaan, penguapan, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan intensitas radiasi matahari. Proses penyinaran dan pemanasan matahari pada musim barat lebih banyak berada di belahan bumi selatan sehingga suhu berkisar antara 29-30oC dan di bagian khatulistiwa suhu berkisar antara 27-28oC. Pada musim Timur, suhu perairan Indonesia bagian utara akan naik menjadi 28-30oC dan suhu permukaan di perairan sebelah selatan akan turun menjadi 27-28oC (Wyrtki, 1961).

Secara alami suhu air permukaan merupakan lapisan hangat karena mendapat radiasi siang hari. Karena pengaruh angin maka lapisan teratas antara 50–70 m terjadi pengadukan, sehingga di lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 280C) yang homogen. Oleh sebab itu lapisan ini sering disebut lapisan homogen. Namun, karena adanya pengaruh arus dan pasang surut, lapisan ini bisa menjadi lebih tebal lagi. Di perairan dangkal lapisan homogen bisa mencapai kedalaman hingga ke dasar. Lapisan permukaan laut yang hangat terpisah dari lapisan dalam yang dingin oleh lapisan tipis dengan perubahan suhu yang cepat disebut termoklin atau lapisan diskontinuitas suhu. Suhu pada lapisan permukaan adalah seragam karena percampuran oleh angin dan gelombang sehingga lapisan ini dikenal sebagai lapisan percampuran (mixed layer).

Illahude (1999) mengemukakan bahwa Suhu Permukaan Laut (SPL) di Selat Makassar selama musim timur berkisar 28,2-28,7oC dan pada musim barat naik sebesar 0,8oC dengan suhu sekitar 29,4oC. Lapisan termoklin utama ditemukan

(3)

pada 60-300 m dengan suhu menurun dari 27,0oC hingga 10,0oC dengan gradien mencapai 0,7oC/m.

2.2. Klorofil-a

Istilah klorofil berasal dari bahasa Yunani yaitu Chloros artinya hijau dan phyllos artinya daun. Ini diperkenalkan tahun 1818, dimana pigmen tersebut diekstrak dari tumbuhan dengan menggunakan pelarut organik. Hans Fischer peneliti klorofil yang memperoleh nobel prize winner pada tahun 1915 berasal dari Technishe Hochschule, Munich Germany.

Klorofil adalah pigmen pemberi warna hijau pada tumbuhan, alga dan bakteri fotosintetik. Senyawa ini yang berperan dalam proses fotosintesis tumbuhan dengan menyerap dan mengubah energi cahaya menjadi energi kimia.

Klorofil-a berkaitan erat dengan produktifitas yang ditunjukkan dengan besarnya biomassa fitoplankton yang menjadi rantai pertama makanan ikan pelagis. Menurut Valiela (1984), produktifitas primer perairan pantai melebihi 60% dari produktifitas yang ada di laut.

Laju produktifitas primer di laut juga dipengaruhi oleh sistem angin muson. Hal ini berhubungan dengan daerah asal dimana massa air diperoleh. Dari sebaran konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia diperoleh bahwa konsentrasi klorofil-a tertinggi dijumpai pada muson tenggara, dimana pada saat tersebut terjadi upwelling di beberapa perairan terutama di perairan Indonesia bagian timur. Sedangkan klorofil-a terendah dijumpai pada muson barat laut. Pada saat ini di perairan Indonesia tidak terjadi upwelling dalam skala yang besar sehingga nilai konsantrasi nutrien di perairan lebih kecil. Nontji (2005) menyatakan bahwa konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia rata-rata 0,19 mg/m3 selama musim barat sedangkan 0,21 mg/m3 selama musim timur. Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil mampu melaksanakan reaksi fotosintesis dimana air dan karbondioksida dengan adanya sinar surya dan garam-garam hara dan menghasilkan senyawa seperti karbohidrat. Karena adanya kemampuan untuk membentuk zat organik dari zat anorganik maka fitoplankton disebut sebagai produsen primer. Oleh karena itu kandungan korofil-a dalam perairan merupakan salah satu indikator tinggi rendahnya kelimpahan fitoplankton atau tingkat kesuburan suatu perairan (Yamaji, 1966).

(4)

Laju produktifitas primer lingkungan laut ditentukan oleh bebagai faktor fisika. Faktor utama yang mengontrol produksi fitoplankton di perairan eutrofik adalah pencampuran vertikal, penetrasi cahaya di kolom air dan laju tenggelam sel (fitoplankton) (Gabric and Parslow, 1989). Beberapa penelitian tentang produktifitas primer dan kaitannya dengan keberadaan massa air mendapatkan informasi bahwa kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a maksimum adalah bagian atas lapisan termoklin. Lapisan permukaan tercampur memiliki konsentrasi klorofil-a yang hampir homogen.

Menurut Nybakken (1992), produktifitas primer perairan pantai sepuluh kali lipat produktifitas perairan lepas pantai. Hal ini disebabkan oleh tingginya kadar zat hara dalam perairan pantai bila dibandingkan dengan perairan lepas pantai. Perairan pantai menerima sejumlah unsur-unsur kritis yaitu P dan N dalam bentuk PO4 dan NO3 melalui run off (aliran air) dari daratan. Zat-zat hara ini menjadi

sumber nutien bagi pertumbuhan dan kelimpahan fitoplankton. 2.3 Pola Angin dan Arus

Letak geografis sangat berperan dalam menentukan pergerakan arus di perairan Selat Makassar. Dengan letak selat yang memanjang dalam arah utara-selatan, maka sepanjang tahun arus permukaan tidak mengalami perubahan arah, yaitu dari utara ke selatan kecuali pada bagian selatan yakni pada daerah pertemuan antara massa air Laut Jawa, Laut Flores dan perairan Selat Makassar bagian Selatan.

Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa secara umum gerakan arus permukaan laut terutama disebabkan oleh adanya angin yang bertiup di atasnya. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi arus permukaan laut antara lain: (1) Bentuk topogafi dasar laut dan pulau-pulau yang ada disekitarnya; (2) Gaya Coriolis dan Arus Ekman; (3) Perbedaan tekanan air; (4) Arus musiman; (5)Upwelling dan sinking dan (6) Perbedaan densitas.

Terdapat tiga samudera di permukaan bumi memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan ini membentuk suatu sistem sirkulasi yang unik (Gambar 2). Sistem ini yang mengedarkan massa air dunia yang dikenal dengan sirkulasi massa air dunia (the great conveyor belt). Sirkulasi dimulai dari Samudera Atlantik Utara bagian utara. Adanya proses pendinginan (cooling) dan

(5)

penguapan (evaporation) menyebabkan densitas massa air ini tinggi sehingga tenggelam ke lapisan yang dalam membentuk North Atlantic Deep Water (NADW) atau Air Dalam Atlantik Utara (ADAU) yang mengalir ke Samudera Atlantik Selatan pada kedalaman 3000 – 4000 m. Ketika sampai di ujung selatan Samudera Atlantik Selatan, aliran massa air ini akan berbelok ke arah timur bergabung dengan Arus Antartika. Massa air ini kemudian terus bergerak memasuki ujung selatan Samudera Hindia kemudian ke timur memasuki ujung selatan Samudera Pasifik selatan. Pada ujung bagian selatan Samudera Hindia sebagian aliran berbelok ke utara sampai sekitar khatulistiwa dan naik ke permukaan. Demikian pula dengan aliran yang sampai ke ujung selatan Samudera Pasifik Selatan juga berbelok ke utara masuk ke Samudera Pasifik, melewati khatulistiwa dan naik ke permukaan (Broecker 1997).

Sirkulasi massa air ini disebut sirkulasi massa air dalam, sedangkan sistem peredaran massa air permukaan dimulai ketika kekosongan yang disebabkan oleh tenggelamnya massa air di Samudera Atlantik bagian utara diisi oleh massa air yang berasal dari Samudera Hindia bagian selatan. Selanjutnya kekosongan massa air di lapisan atas Samudera India akan menyebabkan massa air Samudera Pasifik mengalir ke Samudera Hindia melalui perairan Indonesia bagian timur yang dikenal dengan Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) atau biasa disebut Indonesian Seas Throughflow. ARLINDO dianggap sebagai “bocoran” dari massa air di bagian barat Pasifik tropis menuju ke bagian tenggara Samudera Hindia Tropis melalui perairan Indonesia.

Menurut Wyrtki (1987), arus-arus permukaan yang melintas di Indonesia sangat menarik, karena hal ini menunjukkan pertalian yang erat antar arah dan kekutan arus dan kekuatan dan peralihan musim (monson) di Indonesia. Selain itu, arus sangat erat dengan proses-proses oseanografi lainnya, antara lain terjadinya proses upwelling dan downwelling yang terjadi di Laut Banda dan tempat-tempat lainnya.

(6)

Gambar 2. Sirkulasi Massa Air (the great conveyor belt) (W. Broecker 1997).

ARLINDO merupakan suatu lintasan penting dalam mentransfer signal iklim dan anomalinya di seluruh samudera dunia. Sementara bahang dan massa air dengan salinitas rendah yang dibawa oleh ARLINDO diketahui mempengaruhi perimbangan kedua parameter pada basin di kedua samudera (Sprintall et al. 2004).

Selat Makassar merupakan perairan yang terletak antara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. Selat ini berbatasan dengan Laut Sulawesi di sebelah utara dan dengan Laut Jawa serta Laut Flores di sebelah selatan. Kondisi oseanografi Selat Makassar ini selain dipengaruhi oleh dinamika oseanografi dalam selat itu sendiri juga dipengaruhi oleh dinamika oseanografi di luar selat dan keadaan iklim. Perairan pantai Kalimantan dan perairan sepanjang pantai Sulawesi yang mengapit Selat Makassar juga berperan terhadap dinamika massa air selat tersebut (Illahude, 1978).

Pada bulan Mei-November dipengaruhi oleh angin musim dari tenggara, mencapai puncaknya pada bulan Juni-Agustus dan disebut sebagai musim timur karena angin bertiup dari timur ke barat. Pada bulan Desember-April dipengaruhi oleh angin musim dari barat laut, mencapai puncaknya pada bulan Desember-Februari dan disebut sebagi musim barat karena angin bertiup dari barat ke timur. Bulan Maret-Mei dan September-November disebut sebagai musim peralihan

(7)

dimana pada musim ini angin bertiup tidak menentu. Pada setiap awal periode musim ini, pengaruh angin musim sebelumnya masih kuat (Nontji, 2005).

Pergantian angin muson dari muson barat ke muson timur menimbulkan berbagai macam pengaruh terhadap sifat perairan Selat Makassar. Selama angin muson barat berhembus, curah hujan akan meningkat yang berakibat menurunnya nilai salinitas perairan. Sebaliknya pada muson timur, terjadi peningkatan salinitas akibat penguapan yang besar, ditambah dengan masuknya massa air yang bersalinitas tinggi dari Samudra Pasifik melalui Laut Sulawesi dan masuk ke perairan Selat Makassar (Wyrtki, 1961).

Selain tingkat salinitas, perubahan pada arus permukaanpun terjadi, hal ini dipengaruhi dengan adanya angin muson. Selama muson timur, massa air dari Laut Flores bertemu dengan air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir bersama ke Laut Jawa. Pada muson barat, massa air dari Laut Jawa bertemu dengan massa air yang keluar dari Selat Makassar dan mengalir bersama ke arah Laut Flores.

Variabilitas musiman maupun tahunan diakibatkan oleh arah angin yang berubah mengikuti sistem muson Australia-Asia (Australasia). Transpor maksimum pada berbagai lokasi seperti Selat Makassar, Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu dan dari Laut Banda ke Samudera India terjadi pada saat bertiupnya angin muson tenggara antara Juli–September dan minimum saat muson barat laut antara November–Februari (Meyers et al., 1995; Gordon et al., 1999; Hautala et al., 2001).

Pada Gambar 3 sistem arus lintas Indonesia menunjukkan adanya aliran massa air yang mengalir sepanjang tahun dari arah utara ke selatan perairan Selat Makassar dan juga arus permukaan yang mengalir dari laut Jawa masuk ke Selat Makassar dan sebagian ke Laut Flores.

(8)

Gambar 3. Sistem Arus Lintas Indonesia di Perairan Indonesia (Gordon et al. 1996)

2.4 Upwelling

Upwelling didefinisikan sebagai fenomena naiknya massa air yang dingin dan berat serta kaya zat hara dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan atas atau menuju permukaan. Massa air yang berasal dari lapisan dalam akan menggantikan kekosongan tempat aliran lapisan permukaan air yang menjauhi pantai (Hutabarat dan Evans, 1985).

Laut dikenal memiliki stratifikasi massa air secara vertikal yaitu air di lapisan dalam mempunyai suhu lebih rendah dan zat hara lebih tinggi dibandingkan di permukaan. Peristiwa upwelling menyebabkan suhu lebih rendah dan zat hara menjadi lebih tinggi di permukaan. Di daerah upwelling, lapisan termoklin akan naik, bahkan mungkin mencapai permukaan dan terjadi anomali suhu rendah di permukaan dibanding sekitarnya (Smith, 1968).

Upwelling yang terjadi di laut lepas sering dijumpai di sepanjang khatulistiwa dimana angin pasat bertiup sepanjang tahun, menyebabkan daerah divergen berkembang begitu kuat, sehingga lapisan termoklin bergerak vertikal ke permukaan. Keadaan pada daerah divergen tersebut menimbulkan “kekosongan” pada lapisan permukaan yang diisi oleh massa air dari lapisan di bawahnya (Barnes and Hughes, 1988).

(9)

Terdapat tiga proses yang menyebabkan yang dapat menyebabkan terjadinya upwelling. Pertama, ketika terdapat tikungan yang tajam di garis pantai yang mengakibatkan arus bergerak menjauhi pantai, sehingga terjadi kekosongan massa air di dekat pantai yang kemudian massa air dalam akan naik mengisi kekosongan tersebut.

Gambar 4. Mekanisme terjadinya upwelling oleh tikungan tajam garis pantai (Thurman and Trujillo, 2004)

Kedua, ketika terjadi proses upwelling, dimana upwelling itu sendiri terjadi karena adanya angin yang berhembus terus menerus dengan kecepatan cukup besar dan dalam waktu yang cukup lama. Bila angin bertiup ke suatu arah sejajar dengan garis pantai atau benua, garis pantai berada di sebelah kiri dari angin untuk Belahan Bumi Utara atau di sebelah kanan dari angin untuk Belahan Bumi Selatan, maka akibat gaya coriolis (gaya yang timbul akibat perputaran bumi pada porosnya) massa air yang bergerak sejajar dengan garis pantai akan dibelokkan arahnya menjauhi garis pantai dengan arah tegak lurus angin ke laut lepas. Angin menyebabkan air laut menjauhi pantai. Peristiwa tersebut menyebabkan terbentuknya “ruang kosong” di daerah pantai yang kemudian diisi oleh massa air di bawahnya dengan cara bergerak vertikal ke permukaan (Wyrtki, 1961).

(10)

Gambar 5. Mekanisme terjadinya upwelling oleh offshore wind (Thurman and Trujillo, 2004)

Selain dua kejadian di atas, upwelling juga dapat terjadi bila arus dalam (deep current) membentur penghalang di dasar laut (mid-ridge ocean) yang kemudian arus tersebut dibelokkan ke atas menuju permukaan (Barnes dan Hughes, 1988).

Gambar 6. Mekanisme terjadinya upwelling oleh mid-ridge ocean (Thurman and Trujillo, 2004)

Upwelling pesisir adalah tipe upwelling yang paling umum diamati. Hal ini disebabkan oleh gesekan angin (kekuatan angin mendorong di permukaan air) dalam kombinasi dengan efek rotasi bumi (efek Coriolis). Kedua kekuatan menghasilkan transportasi air permukaan di arah lepas pantai. Penyimpangan air permukaan jauh bentuk pantai menyebabkan air permukaan lebih dingin daripada air bawah permukaan. Kekuatan upwelling tergantung pada karakteristik seperti kecepatan angin, durasi, fetch, dan arah. Arah angin sangat penting dalam menentukan apakah upwelling pesisir akan terjadi (Conway, 1997).

(11)

Menurut Wyrtki (1961), upwelling dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : 1. Tipe stationer, yaitu bila upwelling terjadi sepanjang tahun meskipun dengan

intensitas yang bervariasi, misalnya upwelling di pantai Peru.

2. Tipe periodic, yaitu bila upwelling yang terjadi hanya selama satu musim saja, contohnya upwelling di Selat Makassar bagian selatan (Illahude, 1971).

3. Tipe berganti, yaitu upwelling dan sinking terjadi bergantian dalam satu tahun. Pada satu musim (misalnya musim timur di Indonesia) terjadi upwelling dan musim berikutnya (musim barat) terjadi sinking. Tipe seperti ini terjadi di Laut Banda dan laut Arafura.

Menurut Diposaptono (2010), upwelling di bagian selatan perairan Selat Makassar terjadi pada waktu musim tenggara (Juni – September). Pada saat terjadi upwelling, salintas permukaan mencapai 34% dan suhu berkisar antara 26,4oC– 27,8oC, kadar plankton dan unsur-unsur fosfat, nitrat dan silikat naik dengan mencolok, sehingga tingkat produktivitas tinggi.

2.5 Sistem Penginderaan Jauh

Teknologi penginderaan jauh (inderaja) merupakan teknologi yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis menggunakan kaidah ilmiah terhadap data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1987).

Dalam kaitannya dengan teknologi inderaja, maka segala bentuk informasi tersebut akan direkam oleh sebuah alat yang dinamakan sensor. Pada sistem penginderaan jauh, warna air laut menjadi transfer radiasi dalam sistem sinar matahari ke perairan dan ke sensor satelit. Sensor pada satelit menerima pantulan radiasi sinar matahari dari permukaan dan kolom perairan. Radiasi sinar matahari pada saat menuju perairan akan diserap atau dihamburkan oleh awan, molekul udara, dan aerosol. Sinar matahari yang masuk ke dalam kolom perairan akan diserap atau dipantulkan oleh partikel-partikel yang ada pada perairan seperti fitoplankton (Sutrisno,2002).

Karakter utama dari suatu image (citra) dalam penginderaan jauh adalah adanya rentang panjang gelombang (wavelength band) yang dimilikinya. Beberapa radiasi yang bisa dideteksi dengan sistem penginderaan jarak jauh

(12)

seperti radiasi cahaya matahari atau panjang gelombang dari visible dan near sampai middle infrared, panas atau dari distribusi spasial energi panas yang dipantulkan permukaan bumi (thermal), serta refleksi gelombang mikro (Susilo, 1997).

2.7 Satelit MODIS

MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah salah satu instrumen utama yang dibawa Earth Observing System (EOS) Terra satellite, yang merupakan bagian dari program antariksa Amerika Serikat, National Aeronautics and Space Administration (NASA). Program ini merupakan program jangka panjang untuk mengamati, meneliti dan menganalisa lahan, lautan, atmosfir bumi dan interaksi diantara faktor-faktor ini. Satelit Terra berhasil diluncurkan pada Desember 1999 dan kemudian disempurnakan dengan satelit Aqua pada tahun 2002.

MODIS mengamati seluruh permukaan bumi setiap 1-2 hari dengan whisk-broom scanning imaging radiometer. MODIS dengan lebar view atau tampilan lebih dari 2300 km menyediakan citra radiasi matahari yang direfleksikan pada siang hari dan emisi termal 13 siang/malam di seluruh penjuru bumi. Resolusi spasial MODIS berkisar dari 250-1000 m (Janssen dan Huurneman, 2001).

MODIS mengorbit bumi secara polar (arah utara-selatan) pada ketinggian 705 km dan melewati garis khatulistiwa pada jam 10:30 waktu lokal. Lebar cakupan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km. Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS sebanyak 36 band (36 interval panjang gelombang), mulai dari 0,405 sampai 14,385 µm (1 µm=1/1.000.000 meter). Data terkirim dari satelit dengan kecepatan 11 mega byte setiap detik dengan resolusi radiometrik 12 bit, artinya obyek dapat dideteksi dan dibedakan sampai 212 (= 4.096) derajat keabuan (grey levels). Satu elemen citranya pixel (picture element) berukuran 250 m (band 1-2), 500 m (band 3-7) dan 1.000 m (band 8-36) dalam dunia penginderaan jauh (remote sensing), ini dikenal dengan resolusi spasial. MODIS dapat mengamati tempat yang sama di permukaan bumi setiap hari untuk kawasan di atas lintang 30, dan setiap 2 hari untuk kawasan di bawah lintang 30 termasuk Indonesia.

(13)

Data yang merupakan produk MODIS untuk perairan mencakup tiga hal yakni warna perairan, suhu permukaan laut (SPL), dan produktifitas primer perairan melalui pendeteksian kandungan klorofil. Seluruh produk tersebut sangat berguna untuk membantu penelitian mengenai sirkulasi lautan, biologi laut, dan kimia laut termasuk siklus karbon di perairan.

Tabel 1. Spesifikasi Kanal-Kanal Satelit Pengamat Bumi MODIS

Kegunaan Utama Kanal Panjang Gelombang

(nm) Resolusi Spasial (m) Darat/Awan/Aerosols Boundaries 1 620-670 250 2 841-876 250 Darat/Awan/Aerosols Properties 3 459-479 500 4 545-565 500 5 1230-1250 500 6 1628-1652 500 7 2105-2155 500 Ocean Color/Fitoplankton/ Biogeokimia 8 405-420 1000 9 438-448 1000 10 483-493 1000 11 526-536 1000 12 546-556 1000 13 662-672 1000 14 673-683 1000 15 743-753 1000 16 862-877 1000 Atmospheric Water Vapor 17 890-920 1000 18 931-941 1000 19 915-965 1000 Surface/Cloud Temperature 20 3.660-3.840 1000 21 3.929-3.989 1000 22 3.929-3.989 1000 23 4.020-4.080 1000 Atmospheric Temperature 24 4.433-4.498 1000 25 4.482-4.549 1000

Cirrus Clouds Water Vapor 26 1.360-1.390 1000

27 6.535-6.895 1000 28 7.175-7.475 1000 Cloud Properties 29 8.400-8.700 1000 Ozone 30 9.580-9.880 1000 Surface/Cloud Temperature 31 10.780-11.280 1000 32 11.770-12.270 1000

Cloud Top Altitude 33 13.185-13.485 1000

34 13.485-13.785 1000

35 13.785-14.085 1000

36 14.085-14.385 1000

Gambar

Gambar  3.  Sistem  Arus  Lintas  Indonesia  di  Perairan  Indonesia  (Gordon  et  al
Gambar 4. Mekanisme terjadinya upwelling oleh tikungan tajam garis pantai  (Thurman and Trujillo, 2004)
Gambar 5. Mekanisme terjadinya upwelling oleh offshore wind (Thurman and  Trujillo, 2004)
Tabel 1. Spesifikasi Kanal-Kanal Satelit Pengamat Bumi MODIS

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (1) Karakteristik time domain (arah dan kecepatan) arus di Perairan Cilacap dan Selat Makassar serta tinggi paras laut di Selat Lombok

pada umumnya angin diatas wilayah perairan Indonesia sebelah Utara Khatulistiwa bertiup dari arah Utara sampai Timur Laut dan untuk wilayah selatan khatulistiwa bertiup dari

ARLINDO cenderung membawa massa air yang lebih dingin dari Samudera Pasifik yang mempengaruhi kondisi perairan Indonesia bagian timur termasuk Selat Makassar sehingga

Pada penelitian yang dilakukan terhadap kapal purse seine di Perairan Selat Malaka, Selat Sunda, Utara Jawa dan Pesisir Jawa - Selat Bali, menunjukkan bahwa kapal purse seine

Karaktristik massa air perairan timur laut Teluk Bontang merupakan bagian wilayah Selat Makassar dan merupakan bagian dari lintasan massa air Samudera Pasifik dan ditambah

Pada Musim Peralihan I, pergerakan arus di perairan sekitar Selat Madura hingga perairan utara Banyuwangi mengalami pembelokan menuju arah Timur, berawal dari arus dari

Garis yang membagi perairan Laut Jawa yang terletak di Selat Karimata saat ini, yang memisahkan dua daerah aliran sungai yang besar, yang pertama mengalirkan airnya ke arah utara,

• 2.0 - 3.0 m : Perairan utara dan timur Aceh, Samudera Hindia barat Sumatera Utara, Perairan barat Sumatera Barat hingga Lampung, Perairan selatan Bali hingga NTB, Selat