9 2.1.1. Kebijakan Umum
Arah kebijakan umum pembangunan jangka menengah Desa Guyangan akan menentukan agenda, tujuan dan sasaran program pembangunan 5 (lima) Tahun kedepan. Sebagai upaya pencapaian pembangunan yang diharapkan maka dirumuskan kebijakan pembangunan sebagai dasar penetapan pokok-pokok pikiran dengan mengacu pada strategi, visi dan misi Desa Guayngan, sehingga dalam pelaksanaannya terdapat kesatuan arah yang jelas terhadap pemecahan masalah yang dihadapi oleh Desa Guyangan, sesuai dinamika masyarakat yang selalu berkembang.
Arah kebijakan umum Desa Guyangan juga dapat diartikan sebagai operasionalisasi dari visi dan misi Desa untuk jangka waktu tertentu. Oleh karena itu kebijakan umum Desa pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa ini tetap merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Kabupaten Jepara Tahun 2007-2012. Arah kebijakan umum Desa Guyangan Meliputi :
1. Peningkatan kinerja aparatur Desa melalui pelatihan dan sosialisasi tentang berbagai macam disiplin ilmu khususnya yang berkaitan dengan pemerintahan Desa.
2. Peningkatan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat disegala bidang.
3. Penataan regulasi diberbagai bidang, dengan menerbitkan Peraturan Desa yang diperlukan dan dirasa mendesak.
4. Peningkatan sumber daya manusia disemua elemen masyarakat yang berilmu, sehat dan religius melalui kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan ditingkat RT, RW, Desa, Kecamatan maupun Kabupaten.
5. Peningkatan peran wanita dalam proses pembangunan disegala bidang.
6. Peningkatan moralitas, etika, keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui ceramah-ceramah atau kegiatan keagamaan dan dialog interaktif dengan berbagai elemen masyarakat.
7. Peningkatan pentingnya toleransi antar umat beragama dengan menanamkan sikap saling menghormati dan saling menghargai antar umat beragama.
8. Peningkatan kesadaran mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan mengembangkan perpustakaan Desa.
9. Peningkatan kewaspadaan dan kemampuan semua elemen masyarakat Desa Guyangan untuk menghadapi atau menangani keadaan darurat atau bencana alam.
10. Peningkatan keamanan dan ketertiban diseluruh wilayah Desa Guyangan.
11. Peningkatan kerjasama antar Desa.
12. Peningkatan sarana dan prasaran kebersihan dan keindahan, transportasi, penerangan jalan, perumahan tidak layak huni, air bersih, irigasi, seni, olah raga dan yang lain.
13. Peningkatan kesadaran hukum dimasyarakat melalui sosialisasi-sosialisasi dan pendekatan-pendekatan kekeluargaan, sehingga menekan adanya konflik, menurunnya tingkat kriminalitas dimasyarakat yang berdampak pada persatuan dan kesatuan di Desa Guyangan, agar Desa Guyangan tetap terjaga dengan baik.
2.1.2. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 make, Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa harus disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 8 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Walaupun terjadi pergantian Undang-Undang namun prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan mengenai Desa tetap yaitu;
1. Keanekaragaman, yang memiliki makna bahwa istilah Desa dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini berarti pola penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan di Desa harus menghormati sistem nilai
yang berlaku pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat, hukum adat, beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Partisipasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Desa harus mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama, sebagai sesama warga Desa.
3. Otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan Desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam perspektif adiminstrasi pemerintahan Negara yang selalu mengiuti perkembangan jaman.
4. Demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga Kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintah Desa.
5. Pemberdayaan masyarakat, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengakui adanya otonomi yang dimiliki oleh Desa dan kepada Desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun Pemerintah Daerah untuk melaksanakan urusan Pemerintah tertentu. Sedang terhadap Desa diluar Desa gineologis yaitu Desa yang bersifat administratif seperti Desa yang dibentuk karena pemekaran Desa atau karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk ataupun heterogen, maka otonomi Desa yang merupakan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan Desa itu sendiri. Dengan demikian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten yang diserahkan pengaturannya kepada Desa, tugas pembantua dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan yang diserahkan kepada Desa.
Dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa dan untuk peningkatan pelayanan serta pemberdayaan masyarakat, Desa mempunyai sumber pendapatan yang terdiri atas pendapatan asli Desa, bagi hasil pajak Daerah dan retribusi Daerah Kabupaten/Kota, bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota, bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.
Sumber pendapatan yang berasal dari bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah diberikan kepada Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) diluar upah pungut, dan bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota diberikan kepada Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), sedangkan bantuan Pemerintah Provinsi kepada Desa diberikan sesuai dengan kemampuan dan perkembangan keuangan Provinsi bersangkutan. Bantuan tersebut
lebih diarahkan untuk percepatan atau akselerasi pembangunan Desa. Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh Desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar Desa, pengelolaan kawasan wisata skala Desa, pengeloaan galian C dengan tidak menggunakan alat berat dan sumber lainnya.
Kepala Desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk Desa, warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan dengan masa jabatan 6 (enam) Tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat, yang diterapkan dalam Peraturan Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Kepala Desa pada dasarnya bertanggungjawab kepada rakyat Desa yang prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati melalui Camat, Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya, namun tetap memberikan peluang kepada masyarakat melalui Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk menanyakan atau meminta keterangan lebih lanjut hal-hal yang berkaitan dengan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud.
Sekretaris Desa diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. Sekretaris Desa yang ada selama ini bukan PNS dan
memenuhi persyaratan secara bertahap diangkat menjadi PNS sesuai peraturan perundang-undangan.
Badan Permusyawaratan Desa (BPD), berfungsi menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dan disamping itu Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) mempunyai fungsi mengawasi pelaksanaan peraturan Desa dalam rangka pemantapan pelaksanaan kinerja pemerintah Desa. Keanggotaan BPD terdiri dari wakil penduduk Desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Yang dimaksud dengan wakil masyarakat dalam hal ini seperti Ketua Rukun Warga (RW), pemangku adat dan tokoh masyarakat. Masa jabatan Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Di Desa dapat dibentuk Lembaga Kemasyarakatan seperti Rukun Tetangga (RT), Rukuri Warga (RW), Karang Taruna dan lembaga pemberdayaan masyarakat lainnya. Lembaga kemasyarakatan bertugas membantu pemerintah Desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat. Lembaga masyarakat di Desa berfungsi sebagai wadah partisipasi dalam pengelolaan pembangunan agar terwujud demokratisasi dan transparansi pembangunan pada tingkat masyarakat serta untuk mendorong, memotivasi, menciptakan akses agar masyarakat lebih berperan aktif dalam kegiatan pembangunan.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa terdiri atas bagian pendapatan Desa, belanja Desa dan pembiayaan. Rancangan APB Desa dibahas dalam musyawarah perencanaan pembangunan Desa, Kepala Desa bersama dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) menetapkan APB Desa setiap Tahun dengan peraturan Desa. Pedoman penyusunan APB Desa, perubahan APB Desa, perhitungan APB Desa dan pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa ditetapkan dengan peraturan Bupati.
Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan Desa, dalam melaksanakan kekuasaannya Kepala Desa dapat melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan,. pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan kepada perangkat Desa.
2.1.3. Peraturan Bupati Jepara Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Sumber Pendapatan Desa, perlu menetapkan Peraturan Bupati tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa. (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Tengah; (2) Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah dan retribusi daerah (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685) yang telah dirubah
dengan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048); (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389); (4) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); (5) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); (6) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587); (7) Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa; (8) Peraturan Daerah Kabupaten Jepara Nomor 6 Tahun 2007 tentang Sumber Pendapatan Desa (lembaran daerah Kabupaten Jepara Tahun 2006 Nomor 6);.
2.1.4. Kebijakan Publik
Dewasa ini istilah kebijakan lebih sering dan secara luas dipergunakan dalam kaitannya dengan tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan Pemerintah serta perilaku Negara pada umumnya, atau seringkali diberikan makna sebagai tindakan politik. Hal ini semakin jelas dengan adanya konsep kebijakan dari Carl Freidrich ( Irfan Islami, 2001: 3 ) yang mendefinisikan kebijakan sebagai berikut: “serangkaian tindakan yang yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulam kebijakan untuk mencapai tujuan”.
James E. Anderson mendefinisikan kebijaksanaan itu adalah “serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu”. Sedangkan Amara Raksasataya menyebutkan bahwa kebijaksanaan adalah suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijaksanaan harus memuat 3 (tiga) elemen, yaitu :
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai.
2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
Sedangkan pemahaman mengenai kebijakan publik sendiri masih terjadi adanya silang pendapat dari para ahli. Namun dari beberapa pendapat mengenai kebijakan publik terdapat beberapa persamaan, diantaranya yang disampaikan oleh Thomas R. Dye (Irfan Islamy, 2001:18) yang mendifinisikan kebijakan publik sebagai “apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan”. Apabila pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu, maka harus ada tujuannnya (obyektifnya) dan kebijakan Negara itu harus meliputi semua tindakan pemerintah, jadi bukan semata-mata merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat pemerintah saja. Disamping itu, sesuatu yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah termasuk kebijaksanaan Negara. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai pengaruh atau dampak yang sama besarnya dengan seauatu yang dilakukan oleh pemerintah.
George C. Edward III dan Ira Sharkansky memiliki pendapat yang hampir sama dengan Thomas R. Dye mengenai kebijakan publik, yaitu “adalah apa yang dinyatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah, kebijakan publik itu berupa sasaran atau tujuan program-program pemerintah”. Namun dikatakan bahwa kebijakan publik itu dapat ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang-undangan atau dalam bentuk pidato pejabat pemerintah ataupun berupa program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah (Irfan Islamy, 2001: 19)
Oleh karenanya dalam terminology ini, kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan-persoalan riil yang muncul ditengah-tengah masyarakat untuk dicarikan jalan keluar baik melalui peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah, keputusan pejabat birokrasi dan keputusan lainnya termasuk peraturan daerah, keputusan pejabat politik dan sebagainya.
Dalam perannya untuk pemecahan masalah, Dunn (1994:30) berpendapat bahwa tahap penting dalam pemecahan masalah publik melalui kebijakan adalah :
a. Penetapan Agenda Kebijakan b. Formulasi Kebijakan
c. Adopsi Kebijakan d. Implementasi Kebijakan e. Penilaian Kebijakan
Setiap tahap dalam pengambilan kebijakan harus dilaksanakan dan dengan memperhatikan sisi ketergantungan masalah satu dengan yang lainnya.
Proses penetapan kebijakan menurut Shafrits dan Russel dalam Keban (2006:63). (1) Merupakan agenda penetapan dimana isu-isu kebijakan diidentifikasi, (2) keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan kebijakan, (3) tahap implementasi kebijakan, (4) evaluasi program dan analisa dampak, (5) memutuskan untuk merevisi atau
menghentikan. Proses kebijakan diatas bila diterapkan akan menyerupai sebuah siklus tahapan penetapan kebijakan.
Dengan demikian kebijakan publik adalah produk dari Pemerintah maupun aparatur Pemerintah yang hakekatnya berupa pilihan-pilihan yang dianggap paling baik, untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi publik dengan tujuan untuk dicarikan solusi pemecahannya secara tepat, cepat dan akurat, sehingga benar adanya apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan Pemerintah dapat saja dipandang sebagai sebuah pilihan kebijakan.
Sebagai tindak lanjut Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 khususnya dalam pengaturan alokasi dana desa Pemerintah Kabupaten Jepara telah membuat kebijakan alokasi dana Desa melalui Peraturan Bupati Jepara Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa yang merupakan kebijakan publik yang berorientasi pada peningkatan pendapatan Desa, sehingga Desa dapat tumbuh dan berkembang mengikuti pertumbuhan dari Desa itu sendiri, berdasarkan keanekaragaman partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
2.1.5. Implementasi Kebijakan Publik
Kebijakan publik selalu mengandung setidak-tidaknya tiga komponen dasar, yaitu tujuan yang jelas, sasaran yang spesifik, dan cara mencapai sasaran tersebut. Komponen yang ketiga biasanya belum dijelaskan secara rinci dan birokrasi yang harus menerjemahkannya
sebagai program aksi dan proyek. Komponen cara berkaitan siapa pelaksananya, berapa besar dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program dilaksanakan atau bagaimana sistem manajemennya dan bagaimana keberhasilan atau kinerja kebijakan diukur. Komponen inilah yang disebut dengan implementasi.
Implementasi kebijakan, sesungguhnya bukanlah sekedar berhubungan dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari pada itu, ia menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Mengenai hal ini Wahab (2002: 59) menegaskan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek penting dari keseluruhan proses kebijakan. Oleh sebab itu tidak berlebihan jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Bahkan Udoji (dalam Wahab, 2002: 59) mengatakan bahwa “pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting, bahkan jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplemantasikan”.
Menurut Michael Howlett dan Ramesh (1995: 153) mengenai implementasi kebijakan, menerangkan bahwa : “Setelah masalah publik ditentukan, maka itu merupakan jalan menuju agenda kebijakan, bermacam pilihan telah ditentukan untuk memecahkannya, dan pemerintah telah membuat beberapa pilihan dari alternatif tersebut, yang
menempatkan keputusan menjadi pelaksanaan, implementasi kebijakan merupakan proses dari sebuah program atau kebijakan dilaksanakan, yang ditandai dengan terjemahan dari rencana menuju pelaksanaan”.
Senada dengan apa yang dikemukakan para ahli diatas, Winarno (2002: 29) mengemukakan bahwa ”suatu program kebijakan akan hanya menjadi catatan-catatan elit saja jika program tersebut tidak dimplementasikan”. Artinya, implementasi kebijakan merupakan tindak lanjut dari sebuah program atau kebijakan, oleh karena itu suatu program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah.
Metter dan Horn (1975: 6) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh publik maupun swasta baik secara individu maupun kelompok yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan. Definisi ini memperjelas adanya upaya mentransformasikan keputusan kedalam kegiatan operasional, serta mencapai perubahan seperti yang dirumuskan oleh keputusan kebijakan. Pandangan lain mengenai implementasi kebijakan dikemukakan oleh William dan Elmore sebagaimana dikutip Sunggono (1994: 139), didefinisikan sebagai “keseluruhan dari kegiatan yang berkaitan dengan pelaksanaan kebijakan”. Sementara Mazmanian dan Sabatier (Wibawa dkk, 1986: 21) menjelaskan bahwa mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa
yang ternyata terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan Negara, baik itu usaha untuk mengadministrasikannya maupun usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun peristiwa. Sedangkan Wibawa (1992:5), menyatakan bahwa “implementasi kebijakan berarti pelaksanaan dari suatu kebijakan atau program”.
Pandangan tersebut di atas menunjukkan bahwa proses implementasi kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku badan-badan administratif yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan ketaatan pada diri target golongan, melainkan menyangkut lingkaran kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan sosial yang langsung atau tidak dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat, dan pada akhirnya membawa konsekuensi nyata terhadap dampak baik yang diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat dijelaskan bahwa Implementasi kebijakan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah implementasi dari Peraturan Bupati Jepara Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa.
2.1.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Menurut Hogwood dan Gunn (Wahab, 1997 : 71-81), untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara sempurna maka diperlukan beberapa persyaratan, antara lain:
a. Kondisi eksternal yang dihadapi oleh Badan/Instansi pelaksana; b. Tersedia waktu dan sumber daya;
c. Keterpaduan sumber daya yang diperlukan;
d. Implementasi didasarkan pada hubungan kausalitas yang handal; e. Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai
penghubung;
f. Hubungan ketergantungan harus dapat diminimalkan; g. Kesamaan persepsi dan kesepakatan terhadap tujuan; h. Tugas-tugas diperinci dan diurutkan secara sistematis; i. Komunikasi dan koordinasi yang baik;
j. Pihak-pihak yang berwenang dapat menuntut kepatuhan pihak lain. Menurut Grindle (Wibawa, dkk., 1994) implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan berkaitan dengan kepentingan yang dipengaruhui oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, siapa pelaksana program, dan sumber daya yang dikerahkan. Sementara konteks implementasi berkaitan dengan kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, karakteristik lembaga dan penguasan dan kepatuhan serta daya tanggap pelaksana.
Sedangkan George C Edward III dalam Subarsono (2005;90) memberikan pandangan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni : (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi
(sikap), (4) stuktur birokrasi. Keempat variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain sebagaimana dapat digambarkan berikut ini:
Gambar 2.1.6.1.
Model Implementasi Menurut G. C. Edward III
Sumber: Subarsono, 2005;91
Dari bagan tersebut diatas, dapat diuraikan lebih lanjut sebagai berikut :
a. Variabel komunikasi yaitu proses informasi mengenai kebijaksanaan dari pelaksanaan tingkat atas kepada aparat pelaksana di tingkat bawahnya;
b. Variabel struktur birokrasi mencakup bagaimana struktur pemerintah, bagian tugas yang ada dan koordinasi yang dilakukan;
c. Variabel Sumber-sumber: manusia, informasi dan sarana prasarana yang tersedia dalam pelaksanaan kebijakan ;
Komunikasi
Sikap Sumber Daya
Implementasi
d. variabel kecenderungan-kecenderungan atau dapat dikatakan sikap atau disposisi aparat pelaksana.
Adapun Van Metter dan Van Horn (AG. Subarsono, 2005: 99) menyebutkan ada lima variabel yang mempengaruhi kinerja implemantasi, yaitu :
a. Standar dan sasaran kebijakan; b. Sumber daya;
c. Komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; d. Karakteristik agen pelaksana;
e. Kondisi-kondisi sosial, ekonomi, dan politik;
Model implementasi kebijakan dari Van Matter dan Van Horn dapat dilihat dalam gambar berikut:
Gambar 2.1.6.2.
Model Implementasi Kebijakan Van Matter dan Van Horn
Sumber:. Subarsono, 2005: 100 Komunikasi antar Organisasi dan Kegiatan Pelaksnaan Ukuran dan tujuan kebijakan Disposisi Pelaksana Lingkungan Ekonomi, sosial dan politik Karakteristik Badan pelaksana Sumber Daya Kinerja Kebijakan
Sedangkan G. Shabir Cheema dan Dennis A. Rondinelli (AG. Subarsono, 2005: 101) menyatakan bahwa ada empat variabel yang dapat mempengaruhi kinerja dampak suatu program, yaitu :
1. Kondisi lingkungan;
2. Hubungan antar organisasi;
3. Sumberdaya organisasi untuk implementasi program; 4. Karakteristik dan kemampuan agen pelaksana
Proses implementasi program dari G. Shabir Cheema dan Dennis A. Rondinelli sebagaimana gambar berikut :
Gambar 2.1.6.3.
Proses Implementasi Program menurut G. Shabir Cheema dan Dennis A. Rondinelli Sumber : Subarsono, 2005: 102 Hubungan Antar Organisasi : 1. Kejelasan dan konsistensi sasaran program 2. Pembagian fungsi antar instansi yang pantas 3. Standardisasi prosedur perencanaan, anggaran, implementasi dan evaluasi 4. Ketepatan, konsistensi dan kualitas komunikasi antar Instansi 5. Efektivitas jejaring untuk mendukung program Sumber Daya Organisasi : 1. Kontrol terhadap sumber dana. 2. Keseimbangan antara pembagian anggaran dan kegiatan program 3. Ketepatan alokasi anggaran 4. pendapatan yang cukup untuk pengeluaran 5. Dukungan pemimpin politik pusat 6. Dukungan pemimpin politik lokal 7. Komitmen birokrasi Kondisi Lingkungan :
1. Tipe sistem Politik 2. Struktur pembuat
kebijakan 3. Karakteristik
struktur politik lokal 4. Kendala sumber daya 5. Sosial kultural 6. Derajat keterlibatan para penerima program 7. Tersedianya infrastruktur fisik yang cukup Karakteristik dan Kapabilitas Instansi Pelaksana : 1. Ketrampilan teknis, manajerial dan politis petugas 2. Kemampuan untuk mengkoordinasi, mengontrol dan mengintegrasian keputusan 3. Dukungan dan
sumber daya politik Instansi
4. Sifat komunikasi internal 5. Hubungan yang
baik antara instansi dengan kelompok sasaran
6. Hubungan instansi dengan pihak luar 7. Kualitas pemimpin instansi yang bersangkutan 8. komitmen petugas terhadap program 9. kedudukan instansi
dalam hirarki sistem administrasi Kinerja dan Dampak : 1. Tingkat sejauh mana program dapat mencapai sasaran 2. Adanya perubahan kemampuan administrasi organisasi lokal 3. Berbagai keluaran dan hasil yang lain
Berdasarkan pendapat para ahli terkait dengan variabel yang mempengaruhi implemantasi kebijakan publik di atas dapat dijabarkan pada tabel 2.1.6.1. dibawah ini.
Tabel 2.1.6.1.
Taxonomi Variabel yang Berpengaruh Terhadap Implementasi Program
George C. Edward III Van Metter &
Van Horn Chema & Rondinelli
Disposisi (sikap) Pelaksana Karakteristik dan kapabilitas instansi pelaksana
Sumberdaya Sumberdaya Sumberdaya organisasi Komunikasi Komunikasi Hubungan antar
organisasi Struktur organisasi
Lingkungan Kondisi Lingkungan Standard dan
Sasaran
Berdasarkan taxonomi variabel yang berpengaruh terhadap implementasi program maka dapat disimpulkan faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan program, yaitu sikap pelaksana, sumberdaya, komunikasi, struktur organisasi, lingkungan dan standar serta sasaran.
2.2. Hasil Penelitian Terdahulu
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Agus Subroto Universitas Diponegoro Semarang yang berjudul “Akuntabilitas
Pengelolaan Dana Desa Studi Kasus Pengelolaan Alokasi Dana Desa Di Desa-Desa Dalam Wilayah Kecamatan Tlogomulyo Kabupaten Temanggung Tahun 2008”. Mendapatkan hasil sesuai dengan Peraturan
Dari kajian penelitian terdahulu diatas terdapat beberapa persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini yaitu :
Tabel 2.2.1
Persamaan dan perbedaan dengan penelitian terdahulu
No. Persamaan Perbedaan
1 Jenis Penelitian Kualitatif dengan pendekatan deskriptif.
Penelitian Terdahulu Dilakukan di Desa-Desa Dalam Wilayah Kecamatan Tlogomulyo Kabupaten Temanggung.
2 Kajian yang diteliti tentang Alokasi Dana Desa
Penelitian terdahulu dilakukan pada Tahun 2008.
2.3. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan berbagai uraian tersebut maka kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan dalam sebuah model berikut ini.
Gambar 2.3.1.
Model Kerangka Pikir Penelitian
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa
Peraturan Bupati Jepara Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Pedoman Pengelolaan Keangan Desa
Pelaksana ADD Tingkat Desa
Pelaksanaan ADD Perencanaan ADD Pertanggung -jawaban ADD