• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keywords: Foreign Policy, National Interest, Alliance. Pendahuluan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keywords: Foreign Policy, National Interest, Alliance. Pendahuluan"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PENGGUNAAN HAK VETO RUSIA DI PBB TERHADAP KONFLIK SURIAH DI BAWAH VLADIMIR PUTIN TAHUN 2011-2015

Oleh: Dea Nilam Savitri

Email : deanilaam@gmail.com/ 085643425927

Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Jl. Lingkar Selatan, Kasihan, Tamantirto, Bantul, DIY 55183 Abstract

The Russia’s revival under Vladimir Putin is not only gives impact to its domestic but also causes some changes to its foreign policy decision. Under Vladimir Putin, Russia has used its veto rights toward Syria conflict four times in 2011 to 2015. Through its veto, Russia shows its supported to the Assad’s regime to maintain his power. More than protected Syria from the international sanctions, actually Russia tried to secure its national interests toward Syria and prevented the same incident in Libya. Syria is important alliance for Moskow in the Middle East region, they also already had bilateral cooperation since Syria hasn’t become independent state. The study founds that Russia’s policy using veto toward Syria conflict because of its national interest in political and military.

Keywords: Foreign Policy, National Interest, Alliance

Pendahuluan

Konflik Suriah yang pecah sejak tahun 2011 lalu ternyata kian hari makin menjatuhkan banyak korban, hal ini dipicu oleh kerapnya penggunaan kekerasan oleh Presiden Assad dalam meredam massa. Dengan pertimbangan konflik yang tidak kunjung mereda, PBB sebagai organisasi internasional turut memasukkan konflik Suriah dalam agenda pembahasan sidang Security Council. Rusia sebagai teman lama Suriah memiliki pandangan yang berbeda mengenai konflik tersebut bahkan banyak pihak menduga bahwa Rusia melindungi rezim Bashar Al Assad.

Dewan Keamanan PBB mengadakan sidang pada 4 Oktober 2011 yang membahas konflik Suriah. Draft resolusi PBB S/2011/612 yang berisi pemberlakuan sanksi pada pemerintah Suriah, perintah pemberhentian penggunaan kekerasan terhadap warga sipil dan

(2)

melaksanakan kebebasan berpendapat tersebut mendapat penolakan oleh Rusia dan China melalui penggunaan hak vetonya (UN Security Council, 2011). . Menurut Rusia, draft resolusi yang disponsori oleh Prancis, Jerman, Portugal dan Inggris tersebut bukan merupakan pendekatan politik yang tepat dalam mengakhiri sebuah konflik. Rusia secara tegas menolak intervensi militer yang menurutnya telah dipertimbangkan oleh Dewan Keamanan sebagai salah satu model action masa depan dalam melakukan intervensi dengan melibatkan North Atlantic Treaty Organization (NATO) di dalamnya seperti halnya yang terjadi di Libya.

Kegagalan PBB dalam mengadopsi draft resolution terkait konflik Suriah kembali terulang pada sidang Dewan Keamanan 4 Februari 2012. Sidang ini dilatarbelakangi terjadinya penyerangan oleh pemerintah Suriah terhadap pangkalan militer dan tentara oposisi yang terletak di pusat Suriah, Kota Homs. Draft resolusi S/2012/77 yang mendukung outline proposal Liga Arab tersebut meminta kedua belah pihak baik pemerintah Suriah dan kelompok oposisi militer untuk menghentikan semua kekerasan dan pembalasan serta mengakhirinya dengan negosiasi.

Dalam text tersebut pemerintah Suriah diminta untuk menghentikan semua kekerasan dan wajib melindungi warga sipilnya, membebaskan semua orang yang ditahan, menarik kekuatan militer dan menjamin hak kebebasan termasuk memperbolehkan aksi demonstrasi (UN Security Council, 2012). Selain itu draft resolusi Liga Arab tersebut menghimbau agar Suriah melakukan transformasi politik menuju sistem demokrasi serta melakukan pergantian pemimpin melalui pemilihan umum (BBC, 2012).

Namun meski menolak, Rusia menyatakan bahwa kekerasan dan tumpah darah harus segera dihentikan dan Rusia mengambil langkah dengan mengirimkan representatif resmi untuk bertemu Presiden Bashar Al-Assad pada 7 Februari 2012. Meski begitu, negara-negara besar lain memandang bahwa upaya perdamaian dengan mengadvokasi perubahan rezim yang diusahan Rusia tersebut tidak akan berhasil. Sementara Rusia dan China kembali menggunakan hak vetonya, 13 negara yang lain mendukung draft resolusi tersebut.

Dalam sidang Dewan Keamanan yang diadakan tanggal 19 Juli 2012 tersebut, Rusia dan China kembali menolak draft resolusi yang diajukan oleh Inggris sementara dua negara, Afrika Selatan dan Pakistan memilih abstain. Penggunaan hak veto Rusia ini adalah ketiga kalinya dalam kurun waktu sembilan bulan terakhir sejak konflik Suriah. Kegagalan dalam mengadopsi draft resolusi S/2012/538 menandakan tidak berhasilnya Dewan Keamanan memperpanjangan mandat United Nations Supervision Mission in Syria (UNSMIS) dan

(3)

menjatuhkan sanksi pada Suriah (UN Security Council, 2012). Bagi Rusia, draft resolusi tersebut sudah tentu akan ditolaknya karena Rusia menilai bahwa maksud draft resolusi tersebut akan membuka jalan selanjutnya ke intervensi militer di masa yang akan datang.

Kegagalan Dewan Keamanan mengadopsi draft resolusi untuk konflik Suriah berlanjut lagi, begitu juga konflik Suriah belum kunjung usai dan menemui kata perdamaian. Untuk keempat kalinya pada Sidang Dewan Keamanan tanggal 22 Mei 2014, Dewan Keamanan kembali gagal mengesahkan draft resolusi karena penggunaan hak veto Rusia dan China. Seperti halnya rutinitas yang dilakukan berulang kali, Rusia dan China kembali memveto draft resolusi sehingga PBB tidak dapat bertindak banyak dalam konflik Suriah sementara semakin banyak korban yang berjatuhan sejak Maret 2011 lalu.

Draft resolusi S/2014/348 yang disponsori oleh Prancis tersebut mendapatkan dukungan dari 13 negara anggota Dewan Keamanan sementara anggota tetap Dewan Keamanan, Rusia dan China menolak draft resolusi tersebut. Draft tersebut berisi penyerahan konflik Suriah pada International Criminal Court (ICC) mengingat konflik Suriah yang terus berlanjut dan makin banyak korban bahkan termasuk warga sipil. ICC tidak dapat melakukan investigasi terhadap konflik Suriah tanpa persetujuan ke-15 negara anggota Dewan Keamanan karena Suriah bukanlah anggota dari Rome Statute1 yang menerbitkan The-Hague Court (Nichols & Charbonneau, Russia, China Veto UN Bid to Refer Syria to International Court, 2014).

Penolakan Rusia terhadap draft resolusi konflik Suriah untuk kali keempatnya dinilai keterlaluan oleh negara-negara Barat. Rusia memandang bahwa penyelesaian terbaik konflik Suriah adalah melalui upaya perdamaian secara politik, melimpahkan konflik pada ICC hanya akan memperumit dan melukai upaya perdamaian yang dilakukan. Melalui penggunaan empat kali hak vetonya dan pemberian bantuan kepada Suriah seakan menegaskan posisi Rusia yang berdiri bersama aliansinya di Timur Tengah yaitu Suriah. Bagi Rusia, pemerintahan yang legal di Suriah masih berada di tangan Bashar Al-Assad, jadi upaya apapun dilakukan oleh Rusia untuk mendukung Bashar dalam mempertahankan rezimnya.

Penggunaan ke empat kalinya hak veto Rusia dalam kurun waktu 2011 sampai 2015 menunjukkan bahwa terjadinya pergeseran politik luar negeri Rusia yang kini mengalami

1 Rome Statute atau yang dikenal dengan The International Criminal Court Statute adalah perjanjian yang

ditetapkan oleh ICC dan diadopsi pada konferensi diplomasi 17 Juli 1998 di Roma. The Rome Statute

mengkategorikan kejahatan kriminal ke dalam empat bagian yaitu genosida, kejahatan kemanusian, kejahatan perang dan kejahatan agresi.

(4)

kebangkitan di bawah Vladimir Putin. Kebijakan penggunaan hak veto ini tentunya juga dilatarbelakangi oleh beberapa hal termasuk adanya kepentingan nasional Rusia terhadap Suriah.

Kerangka Teori

1. Teori Kebijakan Luar Negeri

Joshua Goldstein menjabarkan kebijakan luar negeri sebagai strategi-strategi yang diambil oleh pemerintah dalam menentukan aksi mereka di dunia internasional (Goldstein, 1994). Menurut K. J Holsti kebijakan luar negeri adalah tindakan atau gagasan yang dirancang untuk memecahkan masalah atau membuat perubahan dalam suatu lingkungan (Holsti, 1983). James Rosenau menyebutkan bahwa kebijakan luar negeri digunakan untuk menganalisa dan mengevakuasi kekuatan-kekuatan internal dan eksternal yang mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara terhadap negara lain.

Sedangkan menurut Hudson, kebijakan luar negeri adalah suatu perangkat formula, nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional dalam percaturan dunia internasional (Hudson, 2008). Kebijakan luar negeri menurut Kautiliya adalah tindakan setiap bangsa dalam bidang politik, ekonomi dan militer sesuai dengan kepentingannya untuk memaksimalkan power dan kepentingannya itu yang seringkali mengabaikan kewajiban atau prinsip moral dalam hubungan dengan bangsa lain .

Rosenau melihat bahwa tujuan dari kebijakan luar negeri sebenarnya merupakan fungsi dari proses dimana tujuan negara disusun. Tujuan tersebut dipengaruhi oleh sasaran yang dilihat dari masa lalu dan aspirasi yang akan datang (Rosenau, 1969). Setidaknya ada empat hal yang menjadi tujuan utama dari kebijakan luar negeri yaitu security (keamanan), otonomi, kesejahteraan dan status (prestige) (Holsti, 1983).

Security atau keamanan menjadi salah satu dari tujuan utama kebijakan luar negeri, menurut Holsti hal ini dikarenakan setiap negara menghadapi ancaman dan kerentanan yang dapat membahayakan keamanan negara, mulai dari ancaman terhadap jiwa warga negara, aktivitas privat negara, integritas wilayah negara, cara hidup negara bahkan kemerdekaan dan institusi negara tersebut . Hal ini juga diperkuat dengan asumsi tradisional kebijakan luar negeri yang menyatakan bahwa negara adalah actor utama dalam

(5)

Hubungan Internasional maka harus memperkuat security negara demi mempertahankan kedaulatan dan independensi negara tersebut (Webber & Smith, 2002).

Tujuan utama yang lain dari kebijakan luar negeri adalah otonomi yaitu kemampuan pemerintah untuk memformulasikan dan mengambil keputusan baik yang bersifat domestik maupun luar negeri sesuai dengan pemerintahan yang berjalan. Selanjutnya kebijakan luar negeri memiliki tujuan utama yaitu kesejahteraan yang dimaksudkan bahwa kebijakan luar negeri merupakan bentuk perpanjangan tugas domestik pemerintah yakni memenuhi kebutuhan dan memberikan pelayanan sosial pada warga negaranya serta mempromosikan pertumbuhan dan efisiensi dari ekonomi negara tersebut.

Tujuan utama lain dari kebijakan luar negeri adalah status atau prestige, hal ini penting dalam Hubungan Internasional karena dapat digunakan untuk mempromosikan negara dan kepentingan nasional yang seringkali lebih efektif dibandingkan cara lainnya. Selain itu pada kebijakan luar negeri, tiap-tiap negara memiliki perbedaan prioritas yang ingin dicapai dan hal ini membutuhkan pemahaman tentang bagaimana proses pembuatan kebijakan luar negeri. Proses pembuatan kebijakan luar negeri merujuk pada pilihan-pilihan yang dibuat oleh individu, kelompok dan kondisi yang mempengaruhi suatu negara di lingkungan internasional (Mintz & Jr, 2010). Terdapat tiga model dalam proses pembuatan foreign policy (Mintz & Jr, 2010) yaitu :

Model actor rasional adalah model yang meyakini bahwa pembuat keputusan telah menetapkan tujuan, mengevaluasi tingkat urgensi dan mempertimbangkan biaya dan manfaat dari setiap tindakan yang mungkin dilakukan serta memilih yang terbaik diantara manfaat paling tinggi dan biaya terendah (Goldstein, 1994).

Model yang kedua adalah model birokrasi politik yaitu model yang lahir untuk menghindari adanya kesalahan keputusan atau penyalahgunaan kekuasaan dari para pengambil keputusan utama foreign policy (Kolodziej, 1981). Model ini merupakan model yang tidak memiliki master plan yang telah disiapkan sebelumnya, sehingga murni dari perjuangan dari perjuangan dan tawar-menawar politik yang dilakukan oleh antar kelompok

Model terakhir adalah model teori prospek merupakan model yang berlawanan dengan model actor rasional dimana model ini meyakini bahwa pembuat keputusan tidak menggunakan rasionalitas dalam merumuskan sebuah foreign policy. Hal ini dipengaruhi

(6)

oleh kebutuhan dan ekspektasi mereka, ketika dihadapkan pada resiko merubah suatu kebijakan demi kebaikan. Pemikiran para pembuat foreign policy dibatasi oleh opini yang terbentuk sebelumnya, sehingga membuat keputusan yang diambil berdasarkan pilihan pada prospek yang sudah jelas (Kegley Jr & Wittkopf, 2001).

Dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri, factor psikologis seseorang sangat menentukan bentuk kebijakan yang diambil. Menurut Mintz dan Rouen Jr, ada tujuh komponen dari factor psikologis seorang pembuat keputusan yang perlu diperhatikan dalam merumuskan sebuah kebijakan luar negeri, diantaranya konsistensi kognitif, evoked set, emosi, pandangan atau stereotip, kepercayaan, analogi dan personalitas individu.

Selain faktor psikologis tersebut, faktor lain yang mempengaruhi perumusan kebijakan luar negeri adalah faktor internasional yang terdiri dari struktur dalam sistem internasional, kondisi perekonomian dunia, kebijakan dan tindakan negara lain serta permasalahan global dan regional.

2. Konsep Kepentingan Nasional

Menurut Hans Morgenthau, kepentingan nasional adalah kemampuan meminimun negara untuk melindungi dan mempertahankan identitas politik dan kultural dari gangguan negara lain, maka pemimpin negara harus menentukan kebijakan spesifik terhadap negara lain atau dengan kata lain adalah kekuatan yang menjadi pilar utama dalam politik nasional maupun internasional. Sedangkan menurut Donald E Nutcherlein, kepentingan nasional menjelaskan mengenai kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai suatu negara yang dipengaruhi oleh lingkungan eksternal.

Kepentingan nasional memegang posisi yang sangat penting bagi sebuah negara karena berperan sebagai lapisan pertama dalam dunia internasional. Terdapat beberapa unsur-unsur yang terdapat dalam kepentingan nasional diantaranya kedaulatan, kelangsungan hidup bangsa dan negara, kemerdekaan, keutuhan wilayah, keamanan militer dan kesejahteraan ekonomi. Donald E Nuthcherlein membagi kepentingan nasional dalam beberapa kelompok sebagai berikut defence interest, economic interest, world order interest, ideology interest.

Defence interest yaitu melindungi negara dan warga negara dari ancaman luar juga pertahanan sistem konstitusional. Sedangkan economic interest yaitu meningkatkan kesejahteraan ekonomi melalui hubungan dengan negara lain dan

(7)

memperluas eksistensi ekonomi dengan mempromosikan produk-produk ke laur negeri (bilateral atau multilateral). World order interest yaitu kepentingan untuk membangun tata dunia khususnya bidang keamanan dan ekonomi serta ideology interest yaitu kepentingan untuk melindungi dan menyebarkan nilai-nilai yang diyakini pada pihak lain.

Pembahasan

1. Kerjasama Bilateral Rusia dan Suriah

Hubungan sejarah yang dimiliki oleh Rusia dan Suriah seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya menandakan bahwa keduanya memiliki ikatan yang kuat satu sama lain, bahkan hubungan yang terjalin sejak era Uni Soviet tersebut juga telah mengalami berbagai rintangan naik turun sebagai dinamika dalam sebuah hubungan. Hubungan antara Rusia dan Suriah mulai terjalin erat sekitar tahun 1960 dan 1970 an, ketika Uni Soviet kala itu mulai gencar memfokuskan kebijakan luar negeri di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara melalui pemberian bantuan luar negeri di negara-negara kawasan tersebut, termasuk Suriah (Harmer, Russian Naval Base Tartus, 2012).

Rusia juga melihat adanya potensi pengembangan sumber daya energi di Suriah, hal ini dilatarbelakangi karena Suriah memiliki wilayah yang kaya akan minyak dan gas namun belum dieksplorasi. Pada laporan tahun 2010, US Geological Survey mengestimasikan bahwa ada 1,7 bn barrrels persediaan minyak dan 122 ton3 feet gas alam di kawasan Levant Basin sepanjang Mediterania Timur (Daraghi & Froy, 2015). Pada tahun 2013, Suriah telah menyepakati kontrak selama 25 tahun (2013-2038) dengan perusahaan minyak dan gas Russian Soyuzneftegaz untuk pengeboran dan eksplorasi di lepas pantai Suriah, dari Tartus sampai kota Banyas sejauh 2.190 km2

(Stafford, 2013).

Bagi Rusia, melindungi Suriah sama artinya dengan melindungi assetnya dan akses pada wilayah regional Timur Tengah. Dalam konflik Suriah kali ini, Rusia gigih untuk membela aliansinya di forum internasional, penggunaan empat kali hak veto pada kurun waktu 2011 sampai dengan 2015 ini membuktikan bahwa Moskow melakukan semua upaya untuk mempertahankan pemerintah Suriah yang sah menurut Rusia. Sikap Rusia ini seakan efek traumatis yang dialaminya atas kegagalan Rusia dalam mempertahankan Muammar Gaddafi dari kursi kepemimpinan Libya.

(8)

Kepentingan Rusia di Suriah juga sangat dipengaruhi oleh gas alam yang tersedia di Suriah, Moskow diam-diam melakukan monitoring perkembangan penemuan sistem tranmisi gas di Israel dan Siprus (Ghiles, 2013). Rusia juga tahu betul bahwa Suriah memiliki lokasi yang memungkinkan sebagai jaringan minyak dan pipa gas di Eropa sama halnya seperti Turki.. Memang Rusia terkesan terburu-buru dalam investasi sektor energi di Suriah tetapi Rusia lebih memilih untuk berbagi dengan perkembangan energi daripada bersaing (Al-Saadi, 2015). Kerjasama bidang energi antara Rusia dan Suriah yang mulai terbuka di bawah kepemimpinan Assad mengisyaratkan kerjasama yang lebih menguntungkan di masa depan. Hal ini menjadi pertimbangan kembali bagi Rusia untuk mendukung Assad mempertahankan jabatannya sebagai Presiden Suriah.

Selama periode kepemimpinan Presiden Bashar Al-Assad, Rusia mendapatkan banyak keuntungan dari kerjasama bilateralnya dengan Suriah. Sebelum meletusnya konflik Suriah, Rusia telah menandatangi kerjasama bilateral dengan Damaskus. Pada tahun 2011 misalnya, kontrak antara Rusia dan Suriah bernilai sekitar $20 milyar dan nilai tersebut diprediksi akan terus meningkat (Post, 2016). Oleh karena itu Rusia memilih untuk mempertahankan Presiden Assad, hal ini dipicu kekhawatiran Moskow apabila kerjasama yang telah terjalin tidak akan diperpanjang oleh pemimpin yang baru. 2. War Against Terrorism

Terorisme bukanlah isu yang baru bagi Rusia, jauh sebelum dunia ramai melawan terorisme, negara beruang putih tersebut telah memiliki coretan sejarah dalam menghadapi kelompok muslim separatis. Konflik antara Rusia dengan Chechnya yang telah terjadi sejak abad ke 18 sejatinya melibatkan kelompok separatisme muslim. Sebagian besar penduduk Chechnya yang tergolong dalam aliran Islam Sunni menolak imperialisme Rusia atas Chechnya dan bersatu untuk melindungi diri dari invasi Rusia. Meskipun Rusia berhasil memperoleh kemenangan dan terdapat dukungann dari pihak pro Rusia, perselisihan antara Rusia dengan kelompok muslim Kaukasus sesungguhnya masih berlanjut.

Sebanyak 75% penduduk di Kaukasus Utara (Chechnya, Dagesthan, Ingushetia dan Kabardino-Balkaria) memeluk agama Islam, dimana sebagian besar adalah Islam Sunni. Selain itu terdapat pula Islam Salafi dan Wahhabi yang termasuk dalam Islam radikal. Para pemeluk Islam Salafi yang berada di Kaukasus Utara bersatu dan

(9)

mendeklarasikan diri sebagai kelompok jihad yang bersedia berjuang sampai mati untuk mendirikan negara Islam di Kaukasus Utara. Persamaan ideologi dan politik antara Kaukasus Emirat dan IS serta Al-Qaeda memberikan alarm peringatan bagi pemerintah Rusia. Para peneliti dan ilmuan tengah mempelajari bahwa mujahiddin yang terdapat di Kaukasus Utara dan IS mempunyai relasi yang baik (The Moscow Times, 2016), hal ini tentunya menjadi fokus perhatian bagi pemerintah Rusia untuk mencegah konflik yang tidak diinginkan.

Peristiwa pemboman di Moscow’s Metro yang menewaskan 40 orang pada tahun 2010 lalu tentunya memberikan sinyal bagi Rusia bahwa masih adanya ancaman terorisme dan separatis di negeri beruang putih tersebut (Kreutz, Syria: Russia's Best Asset in the Middle East, 2010). Dalam wawancara dengan Time Magazine, Perdana Menteri Rusia, Dmitry Medvedev menjelaskan bahwa “Rusia mengambil langkah untuk melakukan military campaign dalam konflik Suriah, hal ini ditujukan untuk melindungi kepentingan nasional kita artinya, kita harus melakukan pencegahan terhadap kelompok ekstrimis dan teroris internasional (Medvedev, Dmitry Medvedev interview with Euronews TV channel, 2016).

Hal ini sangat nyata, ada banyak ribuan militan dari Rusia dan Asia Tengah tengah berjuang di Suriah dan sewaktu-waktu dapat ke Rusia, ini merupakan ancaman nyata.” (Medvedev, Dmitry Medvedev interview with Euronews TV channel, 2016). Tahun 2015 lalu, menurut Vladimir Putin ada sekitar 7000 orang dari Rusia menuju ke Timur Tengah dan berjuang bersama ISIS, banyak dari mereka berasal dari Kaukasus Utara dimana tahun 1990an lalu terjadi konflik dengan kelompok Islam ekstrimis (The Moscow Times, 2016).

Selain itu Rusia juga merasa terancam, pada 23 Juni 2015 lalu seorang juru bicara ISIS, Abu Muhammad al-Adnani mengumumkan pembentukan wilayah kepemimpinan baru yang disebut Wilayat Qawqaz (Kaukasus) di wilayah Kaukasus Utara, Rusia. Hal yang sama juga terjadi pada 21 Juni 2015 lalu dimana melalui media twitter, partisan ISIS yang berada di Dagestan, Chechnya dan Ingushetia serta KBK (Kabarda, Balkaria dan Krachay) berkomitmen untuk membentuk aliansi yang kuat dengan pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Bagdadi (Ghambir, 2015).

Keterlibatan warga Rusia yang berpindah ke Timur Tengah demi menjadi simpatisan ISIS memberikan peringatan tersendiri bagi keamanan dalam negeri Rusia,

(10)

bukankah tidak mungkin suatu hari mereka kembali dan mengancam keamanan Rusia (Zvyagelskaya, 2015). Bagi Rusia yang merupakan negara Eropa dengan populasi muslim terbesar, trauma masa lalu akan pemberontakan Islam radikal membuatnya lebih berhati-hati dan melakukan tindakan pencegahan melalui intervensi Suriah.

3. Posisi Strategis Rusia di Timur Tengah

Timur Tengah sebagai kawasan pertempuran pengaruh berbagai negara besar membuat Rusia ikut andil di dalamnya. Keterlibatan Rusia di Timur Tengah khususnya konflik Suriah disebut-sebut dilatarbelakangi adanya motiv pada level global dan mencapai balance of power. Amerika Serikat yang telah menjadi pemeran utama selama bertahun-tahun di kawasan tersebut menimbulkan gelora persaingan untuk Rusia, tak jarang ada yang menyebut bahwa konflik Suriah menjadi cerminan belum berakhirnya perang dingin, persaingan antara Rusia dengan Amerika Serikat dan negara-negara aliansinya.

Kebijakan luar negeri Amerika yang cenderung berbeda pada era Presiden Barrack Obama membuat peluang sendiri bagi kebangkitan Rusia. Obama yang terlihat sebagai pemimpin yang ragu-ragu dan tidak dapat berdiri kokoh dalam krisis (Gregory, 2015) membuat peralihan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dimana AS telah lama memusatkan perhatiannya pada Timur Tengah menjadi bergeser ke wilayah Asia, kebijakannya ini dikenal sebagai “pivot to Asia”. Citra pemimpin duo rivalitas Perang Dingin tersebut jauh berbeda, Vladimir Putin yang dipotretkan sebagai pemimpin tegas dan kuat, tertarik untuk memperluas ekspansi pengaruh Rusia ke berbagai wilayah termasuk Timur Tengah.

Beberapa analisis juga menyatakan bahwa langkah Putin mengambil kebijakan untuk menurunkan pasukannya di Timur Tengah karena Putin ingin menaikkan kembali nama Rusia di kancah internasional serta mengisi kekosongan di Timur Tengah yang ditinggal selama era Presiden Obama. Selain itu penerjunan militer Rusia dalam konflik Suriah juga membuktikan bahwa pernyataan Presiden Obama terbukti salah, Obama menyatakan bahwa Rusia merupakan regional power, mengesampingkan peran Rusia di berbagai wilayah regional lain (Pakhomov, 2016).

(11)

4. Show of Force Militer Rusia

Konflik Suriah yang tidak kunjung berakhir membuat Presiden Bashar Al-Assad merasa kewalahan apabila hanya menggunakan kekuatannya sendiri. Dengan pertimbangan sebagai aliansi terdekat Suriah dan posisi yang jelas mendukung pemerintahannya, Assad meminta bantuan militer Rusia dalam konflik Suriah. Hal ini tentunya mendapat sambutan baik dari Rusia, meski harus menggelontorkan dana yang tidak sedikit dalam operasi militer di Suriah tetapi ini menjadi momentum bersejarah bagi militer Rusia yang kembali diterjunkan di luar batas negara sejak era Perang Dingin lalu (Quinn, 2016). Damaskus mengkonfirmasi kebenaran mengenai permintaan bantuan militer oleh Presiden Assad secara resmi kepada Rusia yang disampaikan melalui Presiden Vladimir Putin (Casagrande, 2016).

Permintaan bantuan militer dari Suriah tersebut tentu disetujui oleh Presiden Vladimir Putin, kemudian pada tanggal 30 September segera dilakukan serangan udara dibeberapa titik wilayah Suriah yang diyakini sebagai markas ISIS. Sehari setelah dilaksanakannya operasi militer Rusia di Suriah, Presiden Putin memberikan pernyataan di stasiun televisi nasional bahwa cara yang terbaik untuk melawan terorisme yaitu melalui tindakan pencegahan, melawan dan memusnahkan militan di markas atau wilayah yang mereka kuasai tanpa harus menunggu mereka memasuki wilayah negara kita (Akulov, 2016).

Rusia memang mampu melihat peluang emas dalam operasi militer di Suriah, hal ini terbukti dari laporan militer tahunan yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan Rusia, Sergey Shoigu yang memberikan pernyataan bahwa selama berlangsungnya operasi militer di Suriah, sebanyak 162 senjata termasuk senjata yang sedang dikembangkan telah diuji coba dan terbukti memiliki efisiensi yang tinggi (Reuters, 2016). Dari 162 senjata tersebut, sebanyak 10 senjata dinilai belum masih belum layak sehingga perlu dikembalikan lagi ke developer agar diperbaiki. Selain itu sistem yang juga diuji cobakan dalam operasi militer di Suriah antara lain pesawat jet tempur Su-30 SM, pesawat pembom Su-34 dan Su-24, pesawat penyerang Su-25, Mi-28 N, helikopter Ka-52 dan Mi-24P, Kalibr cruise missiles dan masih banyak lagi. Rusia juga meluncurkan serangan yang dikirim dari luar Suriah dengan Tu-22M3 dan Tu-160 strategic bombers dan peluru kendali melalui armada di Laut Kasipan dan kapal selam di Laut Hitam (Akulov, 2016).

(12)

Rusia memang mampu melihat peluang emas dalam operasi militer di Suriah, hal ini terbukti dari laporan militer tahunan yang disampaikan oleh Menteri Pertahanan Rusia, Sergey Shoigu yang memberikan pernyataan bahwa selama berlangsungnya operasi militer di Suriah, sebanyak 162 senjata termasuk senjata yang sedang dikembangkan telah diuji coba dan terbukti memiliki efisiensi yang tinggi (Reuters, 2016). Dari 162 senjata tersebut, sebanyak 10 senjata dinilai belum masih belum layak sehingga perlu dikembalikan lagi ke developer agar diperbaiki. Selain itu sistem yang juga diuji cobakan dalam operasi militer di Suriah antara lain pesawat jet tempur Su-30 SM, pesawat pembom Su-34 dan Su-24, pesawat penyerang Su-25, Mi-28 N, helikopter Ka-52 dan Mi-24P, Kalibr cruise missiles dan masih banyak lagi. Rusia juga meluncurkan serangan yang dikirim dari luar Suriah dengan Tu-22M3 dan Tu-160 strategic bombers dan peluru kendali melalui armada di Laut Kasipan dan kapal selam di Laut Hitam (Akulov, 2016).

Rusia memang tidak tanggung-tanggung dalam operasi militernya, tentara Suriah juga dibekali latihan dan skill militer ala Rusia. Selain itu Rusia juga membekali tentara Suriah dengan tank T-90 yang menjadi sering menjadi pertahanan dari tank-destroying missiles yang difasilitasi oleh Amerika Serikat ataupun Arab Saudi. Operasi militer di Suriah ini juga menggunakan pengawasan seksama baik senjata udara sampai laut. Dalam operasi militer Suriah ini, Rusia pertama kali menggunakan KAB-500S bom yang menggunakan pengawasan sistem satelit sama halnya dengan pesawat Su-30 SM, Su-34 dan Su-35S, peluru kendali dan senjata yang lain (Akulov, 2016).

Dari awal Rusia terlihat cermat dalam mengamati situasi yang sedang terjadi, ketidakstabilan di Timur Tengah mengindikasikan terbukanya pasar bagi produsen militer dan senjata termasuk Rusia yang berkesempatan menyaingi dominasi Amerika Serikat di regional tersebut (Kozhanov, 2016). Kesempatan Rusia juga makin melebar dengan adanya permintaan operasi militer oleh Assad, Kremlin menyatakan setidaknya telah menghabiskan kurang lebih $500 juta sejak 30 September 2015 lalu (Mirovalev, 2016). Meski telah menghabiskan banyak dana, akan tetapi dari operasi milter tersebut Rusia juga mendapatkan keuntungan yang jauh lebih banyak pasalnya operasi militer tersebut menarik minat banyak pembeli.

Operasi militer di Suriah bak iklan besar bagi produk-produk militer Rusia, ribuan para ahli dari berbagai perusahaan industri militer ikut serta dan mengujikan

(13)

sistemnya dalam arena konflik. Dari pertunjukkan tersebut Rusia mampu meraup keuntungan sekitar $10 Milyar dari kenaikan permintaan eskpor senjata ke berbagai negara, menurut Alexander Markov seorang analisis politik dan anggota Scurity Council on Foreign and Defense Politics Rusia (Mirovalev, 2016). Konflik Suriah membawa marketing effect yang besar bagi produk Rusia, bahkan diprediksikan mampu meningkatkan ekspor penjualan senjata sebesar $7 milyar.

Rusia diprediksikan akan menerima keuntungan mencapai $6-$7 milyar dari perdagangan senjata akibat operasi militer yang dilakukan di Suriah (Luch, 2016). Operasi militer di Suriah menjadi media iklan yang ampuh bagi industri militer Rusia, terbukti telah disepakati kontrak perdagangan senjata dengan beberapa negara yang tertarik membeli produk Rusia setelah melihatnya diuji coba di Suriah. Setelah melihat penggunaan senjata dalam operasi militer Suriah, Algeria mengirim permintaan ekspor sebanyak 12 unit Su-32 dan S-34 yang bernilai kontrak $500-$600 juta. Tak berhenti sampai disitu, Algeria juga meminta sebanyak 40 buah Mi-28 N Night Hunter yang merupakan seri terbaru helikopter penyerang yang digunakan di Suriah.

Adanya peningkatan nilai ekspor senjata Rusia pasca diluncurkannya operasi militer di Suriah membuktikannya keefektifan operasi militer tersebut sekaligus sebagai media periklanan bagi produk militer Rusia. Dalam operasi militer tersebut juga dimanfaatkan Rusia untuk mengetes keefektifan berbagai senjata dan peralatan militer yang telah diproduksi. Selain itu Rusia juga secara sengaja memamerkan beberapa produk yang tidak akan diperjual belikan dalam operasi militer di Suriah, hal ini hanya ditujukan untuk menuai pujian dan membuktikan kebangkitan industri militer Rusia di mata dunia khususnya Barat, contohnya adalah peluncuran empat kapal perang Rusia yang tergolong dalam long-range cruise missiles yang menyerang 11 target di Suriah dari jarak lebih dari 1.500 km dan kapal selam Rusia di Laut Mediterania yang meluncurkan missil dari jarak jauh.

5. Perdagangan Senjata di Suriah

Adanya peningkatan nilai ekspor senjata Rusia pasca diluncurkannya operasi militer di Suriah membuktikannya keefektifan operasi militer tersebut sekaligus sebagai media periklanan bagi produk militer Rusia. Dalam operasi militer tersebut juga dimanfaatkan Rusia untuk mengetes keefektifan berbagai senjata dan peralatan militer yang telah diproduksi. Selain itu Rusia juga secara sengaja memamerkan beberapa

(14)

produk yang tidak akan diperjual belikan dalam operasi militer di Suriah, hal ini hanya ditujukan untuk menuai pujian dan membuktikan kebangkitan industri militer Rusia di mata dunia khususnya Barat, contohnya adalah peluncuran empat kapal perang Rusia yang tergolong dalam long-range cruise missiles yang menyerang 11 target di Suriah dari jarak lebih dari 1.500 km dan kapal selam Rusia di Laut Mediterania yang meluncurkan missil dari jarak jauh.

Dengan meletusnya konflik Suriah pada tahun 2011 lalu juga menimbulkan efek peningkatan terhadap ekspor militer dan senjata ke negeri tersebut. Rusia yang cenderung pro terhadap rezim Assad menjadi satu-satunya suplier militer dan senjata bagi Suriah. Berdasarkan data dari SIPRI, sejak tahun 1991 sampai tahun 2012 eskport militer dan senjata ke Suriah bernilai $1,254 juta dan nilai tersebut mengalami peningkatan dimana ekspor militer dan senjata Rusia ke Suriah tahun 2008-2012 bernilai $1,075 juta (Research Centre of East European Studies, 2013).

Rusia menjadi importer utama bagi Suriah, pada tahun 2011 sendiri kontrak yang disepakati mencapai nilai $1.000.000.000. Selain itu kapal Rusia pengangkut senjata yang biasa berlabuh di Tartus juga dilaporkan mengubah rute tujuannya dengan alasan keamanan. Turkey’s Hurriyet Daily News melaporkan bahwa pada 12 Januari 2012 MV Chariot, kapal barang Rusia berlabuh di Latakia membawa 35-60 tons amunisi dan bahan peledak untuk pertahanan pemerintah Suriah. Sergei Lavrov, Menteri Luar Negeri Rusia menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan konvoi kemanusiaan, Rusia juga tidak akan mendukung pemberlakuan sanksi terhadap Suriah. Pernyataan Rusia ini kemudian diperkuat dengan penggunaan hak veto Rusia dan China terkait pemberlakuan sanksi pada Suriah pada sidang Security Council 4 Februari 2012. Sejak berlangsungnya konflik Suriah diketahui bahwa senjata yang digunakan oleh pendukung Assad merupakan pasokan senjata dari Rusia dan diperkirakan terjadinya kenaikan jumlah pengiriman senjata untuk Damaskus. Sejak Desember 2011 setidaknya empat kapal barang Rusia meninggalkan Pelabuhan Oktyabrsk, Black Sea yang diperkirakan digunakan oleh Rosoboronexport,salah satu eksporter senjata Rusia untuk mengirimkan senjata dan berlabuh di Pelabuhan Tartus, Suriah (Grove & Solomon, Russia boosts arms sales to Syria despite world pressure, 2012). Secara terpisah pada pertengahan Januari, MV Chairot yang kemudian berlabuh di Suriah diyakini membawa amunisi dan senapan seperti yang digunakan oleh pihak pro Assad.

(15)

Pengiriman senjata ke Suriah tetap berlanjut meski banyak pihak yang menentang tindakan Rusia tersebut. Pada 26 Mei 2012 lalu Barat mengkonfirmasi dari Human Right First bahwa pada hari Sabtu kapal Rusia menepi dan membawa senjata untuk Presiden Assad akan tetapi tidak diketahui secara pasti jenis senjata apa yang dibawa (Huffinington Post, 2012). Selain itu, perusahan Rusia khususnya yang bergerak di bidang militer dan pertahan seperti Rosoboronexpoer juga ikut andil dalam pengiriman senjata ke Suriah di tengah konflik yang terjadi. Sementara itu ditengah tuduhan Barat atas pengiriman senjata dari Rusiah ke Suriah, Duta Besar Rusia untuk PBB, Vitaly Churkin mengelak bahwa negaranya mempersenjatai militer Assad, menurutnya pengiriman senjata tersebut legal dan dilakukan untuk memenuhi kontrak yang telah disepakati.

Pada awal tahun 17 Januari 2013 lalu, kapal Rusia Kaliningrad berlayar dari Pelabuhan Novorossiisk di Black Sea untuk mengangkut amunisi yang diyakini akan diturunkan di Pelabuhan Suriah. Hal serupa juga terjadi pada The Alexander Shabalin yang mengangkut amunisi senjata ke Suriah meskipun tidak diketahui secara pasti jenis amunisinya (Grove, Russia Sends Arms To Syria: Ships On Their Way For Munitions Drop, Report Say, 2013). Dilakukanya pengiriman senjata terus menerus oleh Rusia ke Suriah menimbulkan banyak kritik, terlebih lagi setelah diklaim adanya warga sipil yang menjadi korban. Selama ini diyakini bahwa Rusialah yang menjadi pemasok utama senjata ke Damaskus, pada tahun 2011 lalu, nilai ekspor senjata Rusia ke Suriah bernilai $1 juta dolar sendiri.

Pengiriman senjata dari Rusia ke Suriah terus berlanjut, pada tahun 2015 Rusia diyakini terbukti mengirimkan tanks dan artillery ke Suriah sebagai bantuan militer untuk memperkuat Bashar Al-Assad. Rusia mengirim artillery unit dan tujuh tanks melalui Bandara dekat Latakia, tank tersebut bertipe T-90s yang merupakan modern service tank buatan Rusia (Luhn, 2015). Selain artillery dan tanks, Rusia juga mengirimkan ribuan tentara militer melalui Latakia. Moskow tidak berkomentar mengenai pengiriman militer dan peralatannya tersebut, akan tetapi Ambassador Suriah di Moskow, Riad Haddad mengelak bahwa Rusia memperkuat militernya di Suriah, menurutnya pengiriman pasukan dan senjata militer tersebut merupakan bagian dari kontrak yang telah terjalin selama 30-40 tahun antara Suriah dan Rusia (Luhn, 2015). 6. Kepentingan Rusia terhadap Pelabuhan Militer Tartus

(16)

Motivasi Rusia dalam intervensinya di Suriah masih menjadi perdebatan, akan tetapi tidak jarang pula yang menyebutkan bahwa upaya Suriah melindungi Presiden Assad sama halnya dengan usaha Moskow dalam menjaga kepentingan nasionalnya di wilayah tersebut. Pada salah satu wilayah Suriah yaitu Tartus, Rusia memiliki satu-satunya pelabuhan dan pangkalan militer di luar teritorialnya yang diwarisi sejak era Uni Soviet (Meyer & Carey, 2013).

Pemerintah Rusia menegaskan betapa pentingnya peran pangkalan militer tersebut bagi negaranya (Harmer, Russian Naval Base Tartus, 2012). Pelabuhan Tartus memegang peran penting dalam upaya pertahanan Rusia yaitu guna meraih kepentingan nasional politik Rusia di regional Timur Tengah. Selain itu, Presiden Putin menegaskan bahwa kehadiran militer Rusia di Pelabuhan Tartus juga merupakan upaya pencegahan konflik Suriah dengan menjaga wilayah kedaulatan Damaskus (Putin, Russia and the Changing World, 2012)

Pelabuhan Tartus terletak di Laut Mediterania, sekitar 25 km Utara perbatasan antara Suriah dan Lebanon. Pelabuhan Tartus termasuk dalam kategori pelabuhan full service, pelabuhan dagang yang dapat dipakai untuk bongkar muat kapal barang termasuk rolling stock, bulk cargo, sea-land container dan liquid porduct sampai minyak sebanyak 120.000 tons.

Pelabuhan Tartus tidak memiliki fasilitasi reparasi dalam skala besar seperti pangkalan militer Amerika Serikat di Yokosuka, Jepang atau Manama dan Bahrain, tapi Tartus memiliki tempat penyimpanan untuk spare part (Lowe, 2012), perbaikan dasar tersedia melalui kedatangan reguler kapal Rusia PM-138 (Brichevsky, 2011). Tartus juga menyediakan keamanan standar untuk bongkar muat kapal angkut Rusia (RusNavy Staff, 2012).

Dukungan Rusia terhadap pemerintah berkuasa Suriah juga tidak luput lantaran kepemilikan kepentingan nasional Rusia akan Laut Mediterania. Laut Mediterania adalah wilayah potensial yang menantang dimana terletak diantara dua kawasan Eropa dan Timur Tengah (Katz, 2016). Sedari awal Rusia telah menyadari kecilnya peluang menuju Laut Mediterania melalui negara-negara Eropa, sementara dengan Turki yang memiliki akses ke Mediterania, hubungan yang terjalin cenderung tidak baik. Pada kesempatan ini Suriah di bawah Presiden Assad menjanjikan penawaran bagi Rusia untuk hadir di Laut Mediterania melalui Pelabuhan Tartus. Vladimir Putin tidak ingin

(17)

menyia-nyiakan tawaran tersebut dan memilih untuk mengembangkan fungsi Pelabuhan Tartus tersebut. Berikut ini adalah peta Pelabuhan Tartus yang terletak di Suriah.

Kesimpulan

Rusia sebagai penerus Uni Soviet harus mengalami jalan yang terjal untuk mengembalikan kejayaannya, lebih dari itu kondisi ekonomi juga semakin mendesak Rusia untuk melakukan pembaharuan. Sejak kepemimpinan Presiden Vladimir Putin, Rusia bertekad untuk melakukan perubahan dan mencoba untuk membangkitkan kejayaannya seperti masa lampau, hal ini tercermin dalam dokumen National Security Concept tahun 2000. Didukung dengan kepemimpinan Putin yang kuat, tegas dan kompeten, Rusia mampu memperbaiki berbagai permasalahan dalam negerinya.

Perbaikan kondisi dalam negeri Rusia tidak hanya berdampak pada sektor domestik, akan tetapi hal ini juga membuat pergeseran dalam kebijakan luar negeri Rusia di dunia internasional. Kebijakan luar negeri Rusia berorientasi pada great power atau nilai kebesaran, domestic order dan multivector. Berdasarkan orientasi kebijakan luar negeri tersebut, Rusia terbukti kembali aktif menjadi pemain utama dalam dunia internasional, pergeseran kebijakan luar negeri Rusia berhasil membawa Rusia menjadi negara yang kembali diperhitungkan khususnya oleh mantan rivalitasnya pada Perang Dingin yaitu Amerika Serikat.

Salah satu kebijakan Rusia yang paling fenomenal adalah kebijakan penggunaan hak veto Rusia di PBB terkait konflik Suriah, Rusia telah terhitung menggunakan hak vetonya sebanyak empat kali dalam kurun waktu 2011-2015. Dalam setiap penggunaan hak vetonya, Rusia selalu memiliki alasan dan perspektif tersendiri dalam memandang konflik Suriah. Penggunaan hak veto Rusia tersebut juga dilakukan serupa oleh China, akibatnya Suriah selalu berhasil terhindar dari sanksi yang dituntutkan kepadanya. Tindakan Rusia ini tentunya membuat berbagai negara geram, terlebih lagi Barat yang sangat mendukung penjatuhan sanksi dan revolusi di Suriah.

Posisi Rusia dalam konflik Suriah memang cenderung melindungi Suriah, hal ini tidak luput dari sejarah panjang yang dimiliki oleh Moskow dan Damaskus. Keduanya merupakan teman lama, bahkan hubungan keduanya telah terjalin sejak era Uni Soviet dan sebelum Suriah diakui sebagai negara yang merdeka. Uni Soviet yang kala itu menjadi negara pertama yang mengakui kemerdakaan Suriah mendapatkan tempat tersendiri di Damaskus, hubungan

(18)

kerjasamanya semakin erat dari tahun ke tahun. Meskipun begitu hubungan keduanya sempat menyurut pasca runtuhnya Uni Soviet dan adanya hutang Damaskus yang belum terbayarkan. Pasang surut hubungan Rusia dan Suriah tidak membuat keduanya menyerah, setelah Rusia memberikan keringanan hutang pada Suriah, kerjasama keduanya terus berlanjut. Suriah yang di kemudian hari diterpa fenomena Arab Spring seperti negara Timur Tengah yang lain membuat rezim berkuasa harus mempertahankan kedudukannya sekuat tenaga. Rusia sebagai aliansi terdekat Suriah memberikan bantuannya berupa dukungan melalui penggunaan hak vetonya dalam PBB. Penggunaan hak veto Rusia ini tidaklah semata-mata menunjukkan posisinya dalam konflik Suriah, hal ini juga mengisyaratkan bahwa Rusia telah kembali dalam arena politik internasional.

Penggunaan hak veto Rusia terhadap konflik Suriah juga dilatarbelakangi kepemilikan national interest Rusia terhadap Suriah. Keduanya menjalin kerjasama dalam berbagai bidang baik politik, ekonomi dan sosial budaya. Suriah yang merupakan aliansi terdekat Moskow menjadi bukti eksistensi Rusia di wilayah regional Timur Tengah, selain itu keduanya juga memiliki kerjasama ekonomi dan energi yang bernilai jutaan dolar US. Ketidakstabilan kondisi Suriah membuat kerjasama keduanya terancam, terlebih lagi apabila terjadi pergantian rezim bisa jadi kontrak yang telah terjalin tidak memiliki masa depan cerah. Ketakutan Rusia ini memiliki alasan kuat, Rusia takut terjadi hal yang sama untuk kedua kalinya seperti yang terjadi di Libya.

Selain kepemilikan kerjasama dengan Suriah, Rusia juga mempunyai komitmen tersendiri untuk turut serta dalam war on terrorism. Rusia yang pernah berhadapan dengan terorisme di masa lalu pada perang Chechnya mempunyai kekhawatiran tersendiri dengan adanya kelompok terrorisme di Suriah. Hal ini dipicu adanya keterkaitan antara ISIS dengan kelompok mujjahidin di Kauasus Utara. Selain itu sejak pecahnya konflik Suriah ribuan penduduk Rusia turut serta berpindah ke Timur Tengah untuk bergabung dengan ISIS. Pemerintah Rusia memiliki kekhawatiran adanya ancaman terroris dalam negerinya, maka dari itu dilakukan upaya pencegahan sejak dini.

Suriah juga menjadi arena tersendiri bagi Suriah untuk menunjukkan presensinya di Timur Tengah. Dominasi Rusia dalam konflik Suriah menunjukkan bahwa power Rusia telah kembali, hal ini didukung pula oleh kekosongan Amerika Serikat di Timur Tengah. Kebijakan pivot Asia di bawah Obama membuat Rusia mempunyai peluang yang besar sebagai pemain utama di regional yang kaya akan minyak dan gas tersebut. Keloyalan Rusia dalam membela

(19)

aliansinya bahkan membuka jalan bagi Rusia untuk menjalin kerjasama dengan negara-negara lain di kawasan tersebut.

Lebih jauh daripada itu, Rusia juga memiliki kepentingan ekonomi dan militer dalam konflik Suriah. Semakin bergejolaknya konflik Suriah membuat Presiden Assad membutuhkan bantuan dari aliansinya, Rusia. Moskow dengan senang hati memenuhi permintaan Assad dan mulai melancarkan operasi militer di Suriah. Dalam operasi militer tersebut berbagai kapabilitas militer dan persenjataan terbaru Rusia digunakan, hal ini menarik perhatian dunia internasional. Sama halnya dengan media periklanan, permintaan eksport senjata Rusia mengalami kenaikan pasca operasi militer di Suriah.

Selain itu berlangsungnya konflik Suriah juga memberikan dampak tersendiri bagi Rusia yang merupakan suplier utama senjata Suriah. Meskipun mendapat kecaman karena mempersenjatai Assad yang diduga mengakibatkan jatuhnya warga sipil sebagai korban, Moskow tetap melakukan pengiriman senjata ke Damaskus. Dengan dalih pemenuhan kontrak yang telah terjalin, Rusia kerapkali terlihat melakukan pengiriman senjata untuk Assad. Selain itu Rusia juga memiliki satu-satunya pangkalan militer di luar wilayahnya yang terletak di Suriah yakni Pelabuhan Tartus. Tidak hanya menunjukkan kapabilitas militernya, namun melalui pangkalan militernya di Tartus memperlihatkan power Rusia pada dunia internasional.

Daftar Pustaka

Akulov, A. (2016, Oktober 3). Russia Military Operation Syria: What It Accomplished in One Year. Retrieved April 12, 2017, from Strategic Culture Foundation Online Journal: www. strategic-culture.org

Al-Saadi, S. (2015, Oktober 5). Russia's Long Term Aims in Syria. Retrieved Maret 2, 2017, from Carnegie: http://carnegieedownment.org

BBC. (2012, Februari 4). Russia and China Veto Resolution Syria atUN. BBC. Retrieved Januari 11, 2017, from BBC News: www.bbc.co.uk

Brichevsky, A. (2011, Maret 2). Floating Workshop PM-138 Returned to Sevastopol from

Mediterranean Cruise. Retrieved Maret 13, 2017, from Russian Central Navy Portal:

http://rusnavy.com

Casagrande, G. (2016). Russian Airstrike in Syria. Institute for Study of War Journal, 4.

Daraghi, B., & Froy, H. (2015, Desember 26). Russia Tightens Links to Bashar Al-Assad with Syria

Energy Deal. Retrieved Maret 1, 2017, from Financial Times: www.ft.com

Ghambir, H. (2015, Juni 23). ISIS Declare Governorate in Russia's North Caucasus Region. Retrieved Maret 8, 2017, from Institute for The Study War: understandingwar.org

(20)

Goldstein, J. (1994). International Relations. New York: Longman.

Gregory, P. R. (2015, November 23). Russia's Economic Stagnation. Retrieved from National Review. Grove, T. (2013, Januari 17). Russia Sends Arms To Syria: Ships On Their Way For Munitions Drop,

Report Say. Retrieved April 22, 2017, from Reuters: www.reuters.com

Grove, T., & Solomon, E. (2012, Februari 21). Russia boosts arms sales to Syria despite world

pressure. Retrieved April 22, 2017, from Reuters: www.reuters.com

Harmer, C. (2012, Juli 31). Russian Naval Base Tartus. Institute For The Study of War. Retrieved Maret 2017, 1, from www.understandingwar.org

Harmer, C. (2012, Juli 31). Russian Naval Base Tartus. Retrieved Maret 18, 2017, from Institute for Study of War: understandingwar.com

Holsti, K. J. (1983). International Politics: A Framework for Analysis. New Jersey: Prentice Hall. Hudson, V. M. (2008). The History and Evolution of Foreign Policy Analysis. Oxford: Oxford University

Press.

Huffinington Post. (2012, Mei 31). Russian Arms Shipment Reached Syria Says Right Group, US

Condemns Supplying Weapon. Retrieved April 22, 2017, from Huffington Post:

www.huffingtonpost.com

Katz, M. N. (2016, Januari 23). Russian GeopoliticalStrategy in the Mediterranean. IEMed Winter

2015/2016.

Kegley Jr, C. W., & Wittkopf, E. R. (2001). World Politics: Trend and Transformation . Boston: Macmillan Press LTD.

Kolodziej, A. E. (1981). Formulating Foreign Policy . Proceedings of The Academy of Political Science

Vol. 34 No. 2, The Power to Govern : Assesing Reform in United States, 174-189.

Kozhanov, N. (2016, Juli 20). Arms Exports Add to Russia's Tools of Influence in Middle East. Retrieved April 12, 2017, from Chatham House Website: www. chathamhouse.org Kreutz, A. (2010). Syria: Russia's Best Asset in the Middle East. Russie. Nei. Vision no 55, 5. Lowe, M. (2012). Russia to Defend Tartus. Maritime Security Review.

Luch, A. (2016, Maret 29). Russia's Campaign in Syria Leads to Arms Sale Windfall. Retrieved April 15, 2017, from The Guardian: www. theguardian.com

Luhn, A. (2015, September 14). Russia sends artillery and tanks to Syria as a part of continued

military buildup. Retrieved April 22, 2017, from The Guardian: www.theguardian.com

Medvedev, D. (2016, Februari 14). Dmitry Medvedev interview with Euronews TV channel. (I. Kumar, Interviewer) Retrieved Maret 7, 2017, from http://government.ru

Meyer, H., & Carey, G. (2013, September 22). Russia Reject US-Europe Plan to Enforce Syria UN

Measure. Retrieved Maret 13, 2017, from Bloomberg: www.bloomberg.com

Mintz, A., & Jr, K. (2010). Understanding Foreign Policy Decision Making. New York: Cambridge University .

(21)

Mirovalev, M. (2016, April 6). Syria War Showroom Russian Arms Sales. Retrieved April 11, 2017, from Aljazeera: www.aljazeera.com

Nichols, M., & Charbonneau. (2014). Russia, China Veto UN Bid to Refer Syria to International Court. Reuters. Retrieved Januari 13, 2017, from www.reuters.com

Pakhomov, N. (2016, Maret 15). The Strategy Behind Russia's Moves in Syria. Retrieved Maret 10, 2017, from The National Interest: nationalinterest.org

Post, G. (2016, Spetember 13). How (and why) Russia and China are supporting Syria's devastated

economy. Retrieved Maret 21, 2017, from Global Risk Insight: globalriskinsight.com

Putin, V. (2012, Februari 27). Russia and the Changing World. (R. Novosti, Interviewer) Retrieved Maret 13, 2017, from www.en.rian.ru

Quinn, B. (2016, Maret 14). Russia's Military Action in Syria Timeline. Retrieved April 6, 2017, from The Guardian: www.theguardian.com

Research Centre of East European Studies. (2013). Russian Arms Deliveries to Syria. Russian

Analytical Digest No.128, 8.

Reuters. (2016, Desember 22). Russia Tested Over 160 New Weapons in Syrian Operation- Defense

Minister. Retrieved April 12, 2017, from Reuters Website: www.rt.com

Rosenau, J. N. (1969). International Politics and Foreign Policy: A Reader in Research and Theory. New York: The Free Press.

RusNavy Staff. (2012, Juni 25). MV Alaed to Head for Syria Escorted and Flying Russian Flag. Retrieved Maret 4, 2017, from Russian Navy News: http://rusnavy.com

Stafford, J. (2013, Desember 23). Syria Signs First-Ever Offshore Oil Deal with Russia. Retrieved Maret 1, 2017, from Oil Price: http://oilprice.com

Syrian Company Oil Transport "Tarrus Oil Terminal Information Bookler". (2010). Tarrus Oil Terminal

Information Bookler. Retrieved from Scot Syria: www.scot-syria.com

The Moscow Times. (2016, Januari 29). Moscow Says It Thwarted IS Terror Attacks in Russia. Retrieved Maret 8, 2017, from The Moscow Times: themoscowtimes.com

UN Security Council. (2011). Security Council Fails to Adopt Draft Resolution Condemning Syria's Crackdown on Anti-Government Protestors, Owing to Veto by Russia Federation, China.

Security Council 6627th Meeting. New York: UN Meetings Coverage & Press Releases.

Retrieved Januari 11, 2017, from www.un.org

UN Security Council. (2012). Security Council Fails to Adopt Draft Resolution on Syria as Russian Federation, China Veto Text Supporting Arab League's Proposed Peace Plan. Security Council

6711th Meeting. New York: UN Meetings Coverage & Press Releases. Retrieved Januari 11,

2017, from www.un.org

UN Security Council. (2012). Security Council Fails to Adopt Draft Resolution on Syria That Would

Have Threatened Sanctions, Due to Negative Votes of China, Russian Federation. New York:

Meeting Coverage & Press Releases. Retrieved Januari 13, 2017, from www.un.org Webber, M., & Smith, M. (2002). Foreign Policy in A Transformed World. Edinburgh: Pearson

(22)

Zvyagelskaya, I. (2015). Russia's Strike in Syria: New Risks or a Window of Opportunity. Disrupting

Referensi

Dokumen terkait

Untuk hasil uji coba program fitur sudut dapat dilihat pada tabel 4.1. Sedangkan untuk hasil uji coba program fitur jarak dapat dilihat pada tabel 4.2. Ke dua

SIMPULAN yang didapat dari hasil penelitian adalah bahwa aplikasi ini dapat digunakan sebagai sarana pendukung terhadap sistem Binusmaya yang telah berjalan saat ini,

Hal senada juga dijelaskan pada penelitian Lestari dan Sugiharto (2007) yang menganalisis perbedaaan kinerja keuangan antara bank devisa dan bank non devisa setelah

Hasil penelitian menunjukkan ditemukan keragaman pada keragaan mutan- mutan ubi kayu generasi M1V2 yaitu pada peubah tinggi tanaman, tinggi ke cabang, jumlah cabang,

Toxic normal hydrocarbon (NH), nonadecane in the dichloromethane-hexane crude extract of the flesh of fish samples collected from the different districts of Bangladesh was analyzed

Peran moral dalam etika bisnis tersebut dalam praksis tidak hanya sekadar penerapan etika umum pada kegiatan bisnis, tetapi bisa berkembang sampai metaetika. Menurut

Alat ini memberikan panduan kepada pesawat yang akan mendarat di landasan, dengan menggunakan kombinasi sinyal radio, dan di banyak tempat, lampu- lampu

Setelah beberapa kali tes alat psikologi yang berbeda, dan menunjukkan kecenderungan yang berbeda, baru saya menyadari bahwa tipe kecenderungan saya bekerja,