• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Kecepatan Aliran Darah Otak Pada Penderita Stroke Iskemik, Hipertensi Dan Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Menggunakan Transcranial Doppler

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Indeks Massa Tubuh Dengan Kecepatan Aliran Darah Otak Pada Penderita Stroke Iskemik, Hipertensi Dan Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Menggunakan Transcranial Doppler"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

1. INDEKS MASSA TUBUH

Berat badan ditentukan oleh keseimbangan kalori yang

dikonsumsi dalam makanan dengan kalori yang dikeluarkan untuk

kebutuhan istirahat fungsi seluler dan pekerjaan fisik (Kernan dkk,

2013).

Obesitas meningkatkan risiko stroke dengan beberapa

mekanisme seperti diabetes melitus, hipertensi, aterosklerosis, atrial

fibrilasi, dan obstructive sleep apnea. Hasil akhir dapat berupa

aterosklerosis yang progresif dan atau tromboembolisme yang dapat

menimbulkan oklusi atau ruptur arteri (Kernan dkk, 2013).

Indeks Massa Tubuh yaitu suatu pengukuran antropometrik

sederhana dimana berat badan dibagi dengan kuadrat tinggi badan,

yang merupakan suatu alat screening untuk overweight dan obesitas

yang paling sering digunakan. Indeks Massa Tubuh sering digunakan

karena berkaitan erat dengan kadar lemak tubuh. Pengukurannya

relatif mudah dan murah serta merupakan suatu metode yang non

invasif untuk menilai status gizi seseorang (Duncan dkk, 2009 ;

Bigaard dkk, 2005).

Indeks Massa Tubuh merupakan metode pengukuran yang

(2)

menilai massa lemak tubuh (Tabel 1) (Konsensus Pengendalian dan

Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia). Indeks Massa Tubuh

menghasilkan suatu pengukuran total lemak tubuh yang lebih akurat

bila dibandingkan dengan pengukuran berat badan saja (NHLBI,

2002).

Indeks Massa Tubuh dapat dinilai dari hasil berat badan (BB)

dalam kilogram (kg) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (TB) dalam

meter (m). Dapat disederhanakan dalam rumus berikut (NHLBI, 2002;

Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di

Indonesia. 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) :

Tabel 1. Klasifikasi IMT berdasarkan WHO dalam The Asia-Pacific Perspective : Redifining Obesity and Its Treatment

Klasifikasi IMT (Kg/m2)

BB Kurang <18.50

BB Normal 18.50 – 22.99

BB Berlebih ≥23.00

Dengan Risiko 23.00 – 24.90

Obes I 25.00 – 29.90

Obes II > 30

Dikutip dari : Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. 2011. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia

IMT = BB = (kg)

(3)

2. ALIRAN DARAH OTAK

Aliran darah otak, adalah suplai darah ke otak dalam waktu

tertentu. Jumlah aliran darah ke otak biasanya dinyatakan dalam

cc/menit/100 gram jaringan otak. Pada orang dewasa, normal CBF

adalah 750 cc/menit atau 15% dari curah jantung. Hal ini sama

dengan 50 – 54 cc darah per 100 gram jaringan otak/menit. Aliran

darah otak diatur untuk memenuhi tuntutan metabolisme otak. Terlalu

banyak darah (hiperemia) dapat menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial/ ICP), yang dapat menekan dan

merusak jaringan otak. Terlalu sedikit darah yang mengalir (iskemik)

bila aliran darah ke otak di bawah 18 – 20 cc/100 gram jaringan

otak/menit, dan kematian jaringan terjadi jika aliran darah di bawah 8

– 10 cc/100 gram jaringan otak/menit. Dalam jaringan otak, kaskade

biokimia yang dikenal sebagai kaskade iskemik dipicu saat jaringan

menjadi iskemik, yang berpotensi mengakibatkan kerusakan dan

kematian sel-sel otak (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009).

Aliran darah ke otak ditentukan oleh sejumlah faktor, seperti

viskositas darah, dilatasi pembuluh darah, dan tekanan aliran darah

ke otak, yang dikenal sebagai tekanan perfusi serebral, yang

ditentukan oleh tekanan darah tubuh. Pembuluh darah serebral

mampu mengubah aliran darah dengan mengubah diameter

pembuluh darah yang disebut autoregulasi, yaitu pembuluh darah

(4)

bila tekanan darah sistemik diturunkan. Arteriol juga berkonstriksi dan

berdilatasi terhadap konsentrasi kimia yang berbeda. Sebagai contoh,

pembuluh darah berdilatasi bila kadar karbondioksida lebih tinggi

dalam darah (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009).

Cerebral Blood Flow tergantung pada nilai tekanan perfusi

serebral (Cerebral Perfusion Pressure / CPP) dan resistensi

serebrovaskular (Cerebrovascular Resistance / CVR) :

Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistematik (Mean

Arterial Blood Pressure / MABP) dikurangi dengan ICP, sedangkan

komponen CVR ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Tonus pembuluh darah otak

2. Struktur dinding pembuluh darah

3. Viskositas darah yang melewati pembuluh darah otak

2.1 Anatomi Pembuluh Darah Otak

Sirkulasi darah ke otak ada sirkulasi anterior dan sirkulasi

posterior. Sirkulasi anterior adalah arteri karotis komunis dengan

cabang distalnya yaitu arteri karotis internal, arteri serebri media

dan arteri serebri anterior. Sirkulasi posterior adalah arteri

vertebrobasilar yang berasal dari arteri vertebralis kanan dan kiri

dan kemudian bersatu menjadi arteri basilaris dan seluruh

percabangannya termasuk cabang akhirnya yaitu arteri serebri

CBF = CPP = MABP – ICP

(5)

posterior kanan dan kiri (Gambar 1) (Modul Neurovaskular

PERDOSSI, 2009).

Ada tiga sirkulasi yang membentuk sirkulus Willisi di otak.

Ketiga sirkulasi tersebut adalah : 1) sirkulasi anterior terdiri dari

arteri serebri media, arteri serebri anterior dan arteri komunikans

anterior yang menghubungkan kedua arteri serebri anterior, 2)

sirkulasi posterior yang terdiri dari arteri serebri posterior, dan 3)

arteri komunikans posterior yang menghubungkan arteri serebri

media dengan arteri serebri posterior. Kegunaan dari sirkulus

Willisi ini adalah untuk proteksi terjaminnya pasokan darah ke

otak, apabila terjadi sumbatan di salah satu cabang. Contohnya

bila terjadi sumbatan parsial pada proksimal dari arteri serebri

anterior kanan, maka arteri serebri kanan ini akan menerima

darah dari arteri karotis komunis lewat arteri serebri anterior kiri

dan arteri komunikans anterior (Modul Neurovaskular PERDOSSI,

(6)

Gambar 1. Sirkulus Willisi.

Dikutip dari : Williams P.L.Gray’s Anatomy : The Anatomical Basis of Medicine and Surgery. Ed 40th. British Edition. 2008

Arteri serebri anterior memperdarahi daerah medial hemisfer

serebri, lobus frontal bagian superior dan lobus parietal bagian

superior. Arteri serebri media memperdarahi daerah frontal

inferior, parietal inferolateral dan lobus temporal bagian lateral.

Arteri serebri posterior memperdarahi lobus oksipital dan lobus

temporal bagian medial (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009).

Batang otak diperdarahi secara eksklusif dari sirkulasi

posterior. Medula oblongata menerima darah dari arteri vertebralis

melalui arteri perforating medial dan lateral, sedangkan pons dan

midbrain (mesensefalon) menerima darah dari arteri basilaris

lewat cabangnya yaitu arteri perforating lateral dan medial (Modul

(7)

Serebelum mendapat darah dari tiga pembuluh darah

serebelar, yaitu : 1) arteri serebelar posterior inferior (Posterior

Inferior Cerebellar Artery / PICA) yang merupakan akhir dari

cabang arteri vertebralis, 2) arteri serebelar anterior inferior

(Anterior Inferior Cerebellar Artery / AICA) yang merupakan

cabang pertama dari arteri basilaris, dan 3) arteri serebelar

superior (Superior Cerebellar Artery / SCA) yang merupakan

cabang akhir dari arteri basilaris (Modul Neurovaskular

PERDOSSI, 2009).

Basal ganglia diperdarahi oleh arteri lentikulostriata kecil

percabangan dari arteri serebri media. Talamus diperdarahi oleh

arteri perforating thalamogeniculata yang merupakan cabang dari

arteri serebri posterior. Genu kapsula internal diperdarahi oleh

arteri lenticulostriata anteromedial atau disebut juga rekuren arteri

Heubneur (Modul Neurovaskular PERDOSSI, 2009).

3. STROKE 3.1 Definisi

Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut yang

disebabkan oleh iskemik atau perdarahan berlangsung 24 jam atau

meninggal, tapi tidak memiliki bukti yang cukup untuk

(8)

Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis yang

disebabkan infark fokal serebral, spinal dan infark retinal. Dimana

infark Susunan Saraf Pusat (SSP) adalah kematian sel pada otak,

medulla spinalis, atau sel retina akibat iskemia, berdasarkan :

Patologi, imaging atau bukti objektif dari injury fokal iskemik

pada serebral, medula spinalis atau retina pada suatu

distribusi vaskular tertentu.

Atau bukti klinis dari injury fokal iskemik pada serebral,

medula spinalis atau retina berdasarkan simptom yang

bertahan ≥ 24 jam atau meninggal dan etiologis lainnya telah

dieksklusikan (Sacco dkk,2013).

Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologis yang

berkembang cepat yang disebabkan oleh kumpulan darah

setempat pada parenkim otak atau sistem ventrikular yang tidak

disebabkan oleh trauma (Sacco dkk,2013).

3.2 Epidemiologi

Insidens terjadinya stroke di Amerika Serikat lebih dari

700.000 jiwa per tahun, dimana 20% darinya akan mati pada

tahun pertama. Jumlah ini akan meningkat menjadi 1 juta jiwa per

tahun pada tahun 2050. Secara internasional insidens global dari

(9)

Di Indonesia, data nasional epidemiologi stroke belum ada.

Tetapi dari data sporadik di rumah sakit terlihat adanya tren

kenaikan angka morbiditas stroke, yang sering dengan semakin

panjangnya life expentancy dan gaya hidup yang berubah (Modul

Neurovaskular PERDOSSI, 2009).

Dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di

Indonesia dilaporkan bahwa proporsi stroke di rumah sakit antara

tahun 1984 sampai dengan tahun 1986 meningkat, yaitu 0,72 per

100 penderita pada tahun 1984 dan naik menjadi 0,89 per 100

penderita pada tahun 1985 dan 0,96 per 100 penderita pada

tahun 1986. Sedangkan di Jogyakarta pada penelitian Lamsudin

dkk (1998) dilaporkan bahwa proporsi morbiditas stroke di rumah

sakit di Jogyakarta tahun 1991 menunjukkan kecenderungan

meningkat hampir 2 kali lipat (1,79 per 100 penderita)

dibandingkan dengan laporan penelitian sebelumnya pada tahun

1989 (0,96 per 100 penderita) (Sjahrir, 2003).

Dari studi rumah sakit yang dilakukan di Medan pada tahun

2001, ternyata pada 12 rumah sakit di Medan dirawat 1.263 kasus

stroke yang terdiri dari 821 stroke iskemik dan 442 stroke

hemoragik, dimana meninggal sebanyak 201 orang (15,91%)

terdiri dari 98 orang (11,93%) stroke iskemik dan 103 orang

(10)

3.3 Faktor Risiko

Penelitian prospektif stroke telah mengidentifikasi berbagai

faktor-faktor yang dipertimbangkan sebagai faktor risiko yang kuat

terhadap timbulnya stroke. Faktor risiko timbulnya stroke,

diantaranya (Sjahrir, 2003; Nasution, 2007; Howard dkk, 2009) :

1. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi

a. Umur

b. Jenis kelamin

c. Ras dan suku bangsa

d. Faktor keturunan

e. Berat badan lahir rendah

2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi

a. Perilaku

1. Merokok

2. Diet tidak sehat : lemak, garam berlebihan, asam urat,

kolesterol, kurang asupan buah

3. Alkoholik

4. Obat-obatan : narkoba (kokain), anti koagulansia, anti

platelet, amfetamin, pil kontrasepsi

5. Kurang gerak badan

b. Fisiologis

1. Penyakit hipertensi

(11)

3. Diabetes melitus

4. Infeksi/ lues, arthritis, traumatik, AIDS, lupus

5. Gangguan ginjal

6. Kegemukan (obesitas)

7. Polisitemia, viskositas darah meninggi & penyakit

perdarahan

8. Kelainan anatomi pembuluh darah

9. Stenosis karotis asimtomatik

3.4 Klasifikasi

Dasar klasifikasi yang berbeda-beda diperlukan, sebab

setiap jenis stroke mempunyai cara pengobatan, preventif dan

prognosis yang berbeda, walaupun patogenesisnya serupa

(Misbach dkk, 2011).

3.4.1 Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya

1. Stroke iskemik

a. TIA

b. Thrombosis serebri

c. Emboli serebri

2. Stroke hemoragik

a. Perdarahan intraserebral

(12)

3.4.2 Berdasarkan stadium / pertimbangan waktu

1. TIA

2. Stroke in evolution

3. Completed stroke

3.4.3 Berdasarkan jenis tipe pembuluh darah

1. Sistem karotis

2. Sistem vertebro-basiler

3.4.4 Berdasarkan tipe infark (Sjahrir, 2003)

1. Total Anterior Circulation Infarction

2. Partial Anterior Circulation Infarction

3. Posterior Circulation Infarction

4. Lacunar Infarction

3.4.5 Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan kriteria kelompok

peneliti TOAST (Trial of Org 10172 in Acute Stroke

Treatment) (Sjahrir, 2003) :

1. Aterosklerosis arteri besar (embolus/trombosis)

2. Kardioembolisme (risiko tinggi/risiko sedang)

3. Oklusi pembuluh darah kecil (lakunar)

4. Stroke akibat dari penyebab lain yang menentukan

a. Non-aterosklerosis Vaskulopati

• Non inflamasi

• Inflamasi non infeksi

(13)

b. Kelainan Hematologi atau Koagulasi

5. Stroke akibat dari penyebab lain yang tidak dapat

ditentukan

3.5 Patofisiologi

Pada level makroskopik, stroke iskemik paling sering

disebabkan oleh emboli dari ekstrakranial atau trombosis di

intrakranial, tetapi dapat juga disebabkan oleh berkurangnya aliran

darah ke otak. Pada level seluler, setiap proses yang

mengganggu aliran darah ke otak dapat mencetuskan suatu

kaskade iskemik, yang akan mengakibatkan kematian sel-sel otak

dan infark otak (Becker dkk, 2010).

Secara umum daerah regional otak yang iskemik terdiri dari

bagian inti (core) dengan tingkat iskemik terberat dan berlokasi di

sentral. Daerah ini akan menjadi nekrotik dalam waktu singkat jika

tidak ada reperfusi. Di luar daerah core iskemik terdapat daerah

penumbra iskemik. Sel-sel otak dan jaringan pendukungnya belum

mati, akan tetapi sangat berkurang fungsi-fungsinya dan

menyebabkan juga defisit neurologis. Tingkat iskemiknya makin

ke perifer makin ringan. Daerah penumbra iskemik, diluarnya

dapat dikelilingi oleh suatu daerah hiperemik akibat adanya aliran

darah kolateral (luxury perfusion area). Daerah penumbra iskemik

inilah yang menjadi sasaran terapi stroke iskemik akut supaya

(14)

tergantung pada faktor waktu dan jika tidak terjadi reperfusi,

daerah penumbra dapat berangsur-angsur mengalami kematian

(Misbach, 2007).

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak

secara bertahap, yaitu (Sjahrir, 2003) :

1. Tahap 1

a. Penurunan aliran darah

b. Pengurangan O2

c. Kegagalan energi

d. Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion

2. Tahap 2

a. Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion

b. Spreading depresion

3. Tahap 3 : Inflamasi

4. Tahap 4 : Apoptosis

4. HIPERTENSI

4.1 Klasifikasi Tekanan Darah

Tabel 2 menunjukkan klasifikasi tekanan darah untuk orang

dewasa ≥18 tahun. Klasifikasi ini berdasarkan rata-rata dari dua

atau lebih pengukuran, saat duduk, tekanan darah dibaca pada

(15)

Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah pada dewasa.

Dikutip dari The Sevent Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7). 2004

4.2 Epidemiologi

Di Indonesia masalah hipertensi cenderung meningkat. Hasil

SKRT tahun 2001 menunjukkan bahwa 8,3% penduduk menderita

hipertensi dan meningkat menjadi 27,5% pada tahun 2004.

Kelompok Kerja Serebrokardiovaskuler FK UNPAD/RSHS tahun

1999, menemukan prevalensi hipertensi sebesar 17,6%, dan

MONICA Jakarta tahun 2000 melaporkan prevalensi hipertensi di

daerah urban adalah 31,7%. Sementara untuk daerah rural

(Sukabumi) FKUI menemukan prevalensi sebesar 38,7%. Hasil

SKRT 1995, 2001 dan 2004 menunjukkan penyakit kardiovaskuler

merupakan penyakit nomor satu penyebab kematian di Indonesia

dan sekitar 20–35% dari kematian tersebut disebabkan oleh

(16)

4.3 Patofisiologi

Patofisiologi hipertensi sangat kompleks, diantaranya adalah

mekanisme output jantung dan resistensi perifer, sistem renin

angiotensin, sistem saraf simpatik, remodeling vaskular, arterial

stiffness, dan disfungsi endotel (Beevers dkk, 2001; Oparil dkk,

2003).

5. DIABETES MELITUS 5.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010,

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi

insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Konsensus DM tipe 2

Indonesia 2011, PERKENI).

5.2 Epidemiologi

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya

kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM

tipe 2 di berbagai penjuru dunia. World Health Organization

memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes

yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. World Health

Organization memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di

Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta

pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes

(17)

penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta

pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi,

laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah

penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030

(Konsensus DM tipe 2 Indonesia 2011, PERKENI).

Laporan dari hasil penilitian di berbagai daerah di Indonesia

yang dilakukan pada dekade 1980-an menunjukkan sebaran

prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1%

yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada rentang tahun

1980-2000 menunjukkan peningkatan prevalensi yang sangat

tajam. Sebagai contoh, pada penelitian di Jakarta (daerah urban),

prevalensi DM dari 1,7% pada tahun 1982 naik menjadi 5,7%

pada tahun 1993 dan meroket lagi menjadi 12,8% pada tahun

2001 (Konsensus DM tipe 2 Indonesia 2011, PERKENI).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun

2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20

tahun sebanyak 133 juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar

14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah rural, maka

diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta

penyandang diabetes di daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural.

Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan penduduk,

diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk

(18)

pada urban (14,7%) dan rural (7,2%) maka diperkirakan terdapat

12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di

daerah rural (Konsensus DM tipe 2 Indonesia 2011, PERKENI).

Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 oleh

Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa prevalensi DM di

daerah urban Indonesia untuk usia diatas 15 tahun sebesar 5,7%.

Prevalensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan

terbesar di Propinsi Maluku Utara dan Kalimantan Barat yang

mencapai 11,1%. Sedangkan prevalensi toleransi glukosa

terganggu (TGT), berkisar antara 4,0% di Propinsi Jambi sampai

21,8% di Propinsi Papua Barat (Konsensus DM tipe 2 Indonesia

2011, PERKENI).

5.3 Klasifikasi

Klasifikasi DM dapat dilihat pada Tabel 3 (Konsensus DM

tipe 2 Indonesia 2011, PERKENI).

Tabel 3. Klasifikasi etiologis DM.

(19)

5.4 Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus Tipe 2 ditandai dengan resistensi insulin

perifer dan inadekuat sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

Resistensi insulin, berkaitkan dengan peningkatan kadar asam

lemak bebas dan sitokin proinflamasi dalam plasma,

menyebabkan penurunan transportasi glukosa ke dalam sel-sel

otot, peningkatan produksi glukosa hepatik dan peningkatan

pemecahan lemak (Kaku, 2010; D’Adamo dkk, 2011).

5.5 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar

glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar

adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan

glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa

secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan

bahan darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria

diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.

Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat

dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah

kapiler dengan glukometer (Konsensus DM tipe 2 Indonesia 2011,

PERKENI).

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang

(20)

keluhan klasik DM seperti di bawah ini (Konsensus DM tipe 2

Indonesia 2011, PERKENI) :

- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus

vulvae pada wanita

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara (Konsensus DM

tipe 2 Indonesia 2011, PERKENI) :

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa

plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan

diagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan

adanya keluhan klasik.

3. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan

beban 75 g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding

dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun

pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. Tes

Toleransi Glukosa Oral sulit untuk dilakukan berulang-ulang

dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena

(21)

Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi

glukosa dapat dilihat pada Bagan 1. Kriteria diagnosis DM untuk

dewasa tidak hamil dapat dilihat pada Tabel 4. Apabila hasil

pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung

pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam

kelompok Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Glukosa

Darah Puasa Terganggu (GDPT) (Konsensus DM tipe 2 Indonesia

2011, PERKENI).

1. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) : Diagnosis TGT

ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan

glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL

(7,8-11,0 mmol/L).

2. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT) : Diagnosis GDPT

ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa

didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan

pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.

Tabel 4. Kriteria diagnosis DM.

(22)

Bagan 1. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa.

Dikutip dari : Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. PERKENI

5.6 Kriteria Pengendalian DM

Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik,

diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran

terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah

mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga

mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan

tekanan darah. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat

dilihat pada Tabel 5 (Konsensus DM tipe 2 Indonesia 2011,

(23)

Tabel 5. Target pengendalian DM.

Dikutip dari : Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. PERKENI

6. TRANSCRANIAL DOPPLER

Transcranial doppler merupakan suatu alat diagnostik yang

non-invasif yang dapat digunakan untuk mengevaluasi karakteristik aliran

darah pembuluh darah intraserebral melalui regio tulang kranium yang

tipis. Suatu transduser dari gelombang yang digetarkan memancarkan

gelombang-gelombang dan kemudian menerima pemantulannya dari

permukaan sel darah merah di dalam pembuluh darah intrakranial.

Informasi ini akan dianalisa oleh suatu komputer untuk menghasilkan

output numerik dan visual, yang berguna untuk menilai karakteristik

aliran dalam pembuluh darah (Sarkar dkk, 2007). Transcranial doppler

pertama sekali diperkenalkan oleh Aaslid dkk pada tahun 1982,

(24)

ultrasound. Untuk dapat mentransmisikan melewati tulang kranium

digunakan transducer dengan frekuensi rendah yaitu probe dengan

frekuensi 2 MHz (Demirkaya dkk, 2008).

Pemeriksaan TCD berdasarkan pada prinsip dasar yang sama

seperti doppler ekstrakranial. Suatu sinyal dipancarkan dari probe dan

dipantulkan ke objek yang bergerak (sel darah merah), dan frekuensi

dari sinyal yang dipantulkan dialihkan dalam proporsi langsung ke

kecepatan (velocity) dari objek yang bergerak (prinsip Doppler). Bila

pembuluh darah sempit, apapun penyebabnya, kecepatan aliran

darah meningkat agar darah dapat melewati lumen pembuluh darah

yang sempit tadi. Peningkatan kecepatan itu dideteksi oleh TCD.

Kecepatan juga meningkat bila ada peningkatan aliran darah

sehubungan dengan kontribusi kolateral terhadap teritori vaskular

yang lain atau suplai darah ke suatu arterio-venous malformation

(AVM) yang besar (Alexandrov dkk, 2004).

Ketepatan interpretasi data TCD bergantung pada pengetahuan,

skill dan pengalaman teknisi dan interpreter. Pemahaman terhadap

anatomi dan fisiologi sirkulasi serebral diperlukan untuk evaluasi yang

tepat (Kassab dkk, 2007).

Transcranial Doppler merupakan suatu prosedur diagnostik yang

canggih dan modern yang dapat memberikan visualisasi perubahan

hemodinamik (autoregulasi) pada arteri serebral sewaktu dan

(25)

fisiologik ataupun patofisiologik. Transcranial Doppler merupakan

metode yang sangat sensitif dan spesifik untuk penilaian cepat

hemodinamik sirkulasi serebrovaskular. Gangguan hemodinamik

memperberat autoregulasi arteri dalam otak dan mengganggu

perkembangan sirkulasi kolateral dan aliran kompensasinya.

Hemodinamik sirkulasi serebrovaskular yang dinilai adalah MFV dan

PI (Dikanovic dkk, 2005).

6.1 Pencarian Window

Probe daripada TCD diletakkan di atas ‘acoustic windows’

yang berbeda sesuai dengan spesifik area di tulang kranium yang

tipis. Pemeriksaan TCD yang lengkap terdiri dari 4 pendekatan

untuk mengakses arteri intrakranial sebagai berikut, yaitu (1)

Transtemporal, (2) Transorbital, (3) Suboccipital (transforaminal),

dan (4) Submandibular. Window transtemporal (temporal)

digunakan untuk insonasi arteri serebri media, arteri serebri

anterior, arteri serebri posterior dan bagian terminal dari arteri

karotid interna. Window transorbital (orbita) memberi akses pada

insonasi arteri oftalmika, juga arteri karotid interna pada level

siphon. Window transforaminal (oksipital) untuk insonasi arteri

vertebralis dan arteri basilaris. Yang terakhir window

submandibular memberikan insonasi distal dari arteri karotid

(26)

Gambar 2. Posisi transducer pada transcranial sonographic. TO, transorbital; TT, transtemporal; TF, transforaminal.

Dikutip dari : Lupetin AR, Davis DA, Beckman I, Dash N. Transcranial Doppler. Radiographics 1995; 15:179-191

6.2 Identifikasi Arteri

Untuk pemeriksaan TCD diagnostik, digunakan kecepatan

3-5 seconds sweep yang dapat memberikan gambaran detail dari

waveform (bentuk gelombang) dan spektrum. Untuk

memperpendek waktu yang diperlukan untuk mencari window dan

mengidentifikasi segmen arterial yang berbeda-beda dengan

single-gate spectral TCD, pemeriksaan harus dimulai dengan

power maksimum dan pengaturan gate (misalnya power 100%,

gate 10-15 mm) untuk pendekatan transtemporal dan suboccipital.

Meskipun rekomendasi ini tampaknya melanggar peraturan

pemakaian power ultrasound ‘as low as reasonably achievable’,

namun memberikan waktu yang diperlukan untuk mencari window

(27)

sehingga mengurangi paparan pasien terhadap energi ultrasound

secara keseluruhan (Kassab dkk, 2007).

6.3 Indeks TCD

Perbedaan rata-rata kedalaman, arah aliran dan rata-rata

flow velocity dihubungkan dengan usia yang normal telah

ditetapkan pada setiap arteri. Pengukuran TCD dipengaruhi oleh

faktor fisiologik dan patologik serta obat-obat vasoaktif (Tabel 6

dan Tabel 7) (Kassab dkk, 2007).

Nilai sistolik, diastolik dan nilai rata-rata digunakan untuk

mendeskripsikan tekanan, aliran dan kecepatan aliran pada

sistem arterial. Dari nilai-nilai ini, nilai rata-rata memiliki signifikan

fisiologis yang tertinggi karena ia tidak bergantung pada faktor

kardiovaskular sentral seperti denyut jantung, kontraktilitas,

resistensi perifer total dan komplians aorta dibandingkan dengan

nilai sistolik dan diastolik. Selanjutnya nilai rata-rata kecepatan

lebih berkorelasi dengan perfusi dibandingkan dengan nilai peak

(Lupetin dkk, 1995).

Saat ini TCD dapat menunjukkan Gosling’s pulsatility index

yang didapat dari persamaan sebagai berikut :

dimana V = CBFV, yang diperoleh dari TCD. Pada vaskulatur

serebral, PI dapat menunjukkan tingginya resistensi pembuluh

darah perifer, yang seiring dengan peningatan ICP. Peningkatan

(28)

ICP mempengaruhi waveform TCD, menunjukkan dengan

meningkatnya PI dan selanjutnya bila ICP terus menekan perfusi,

terjadi penurunan pada CBFV. Pulsatility digambarkan dengan

bentuk dari waveform spektral dan normal bila Vs>Vd, abnormal

atau spiked (Vs>>Vd), atau menurun (Vd>50%Vs). Pulsatility

index dianggap normal bila nilainya 0,8 – 1,2. Peningkatan PI>1,2

biasanya terjadi karena peningkatan resistensi perifer serebral,

sekunder terhadap peningkatan tekanan intrakranial atau

hipokapnia, meskipun pada beberapa kasus bisa disebabkan oleh

abnormalitas kardiak, seperti insufisiensi aorta atau bradikardia.

Penurunan PI<0,8 tipikalnya ditunjukkan oleh pembuluh darah

yang mensuplai suatu AVM, dikarenakan penurunan resistensi

perifer atau downstream hingga high-grade stenoses, dikarenakan

aliran darah yang rendah (Lupetin dkk, 1995).

Resistance Index merupakan estimasi lain dari resistensi

vaskular, dimana resistensi vaskular yang rendah berhubungan

dengan peningkatan FVd, dan resistensi vaskular yang tinggi

dikarakteristikkan dengan penurunan FVd. Resistance Index of

Pourcelot didapat dari persamaan :

Baik PI maupun RI dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk

tekanan arterial sistemik, resistensi distal terhadap aliran, ICP,

vascular compliance, dan CO2, membatasi nilai diagnostiknya di

praktek klinis. Namun, hal ini mungkin memiliki peran kualitatif

(29)

dalam menilai perubahan dalam resistensi terhadap aliran pada

area spesifik dari sirkulasi serebral. Penting untuk diingat bahwa

TCD hanya mengukur kecepatan darah serebral dan aliran (flow).

Hubungan antara keduanya adalah sebagai berikut :

diameter

Oleh karenanya, bila flow masih konstan, sementara diameter

menurun, Flow Velocity (FV) akan meningkat (Alexandrov dkk,

2004).

Gambar 3. Tampilan pulsed-wave spectral waveform. Identifikasi arah aliran, skala kecepatan (velocity), kedalaman insonasi (depth), kecepatan sweep dan pengaturan power. Panah kecil menunjukkan pengukuran cardiac cycle untuk menghitung peak, mean dan end-diastolic (ED) flow velocities. PI, pulsality index; RI, resistance index.

(30)

Tabel 6. Nilai normal hasil pengukuran TCD pada setiap arteri.

Dikutip dari : Kassab M.Y., Majid A., Farooq M.U., Azhary H., Hershey L.A., Bednarczyk E.M., et al. 2007. Transcranial Doppler : An Introduction for Primary Care Physicians. J Am Board Fam Med;20:65-71

Tabel 7. Efek dari berbagai status fisiologik pada flow velocity

TCD

Dikutip dari : Kassab M.Y., Majid A., Farooq M.U., Azhary H., Hershey L.A., Bednarczyk E.M., et al. 2007. Transcranial Doppler : An Introduction for Primary Care Physicians. J Am Board Fam Med;20:65-71

6.4 Aplikasi Klinis TCD

The American Academy of Neurology mempublikasikan

guidelines aplikasi klinis TCD untuk para klinisi, untuk penyakit

sickle cell, intracranial vasospasm, oklusi dan stenosis arteri,

(31)

pada Patent Foramen Ovale (PFO), evaluasi brain death,

autoregulasi serebral (Kassab dkk, 2007).

A. Oklusi dan stenosis arteri

Pengukuran TCD berkorelasi dengan stenosis yang

dapat meningkatkan FV pada tempat stenosisnya (Kassab

dkk, 2007).

- Penurunan FV bagian distal dari tempat sumbatan

- Penurunan FV bagian proksimal dan peningkatan PI bagian proksimal tempat penyumbatan

- Peningkatan FV dan atau aliran balik pada pembuluh darah kolateral

Pada kasus oklusi total, seharusnya tidak ada sinyal

aliran dari tempat penyumbatan. Peningkatan velocity dan

atau aliran balik pada pembuluh darah kolateral dapat juga

ditemukan. Pembuluh darah lain pada window yang sama

harus dapat ditembus insonasi. Penurunan flow velocity darah

bagian proksimal ke tempat oklusi dapat juga terlihat (Kassab

dkk, 2007).

Gambaran aliran utama yang dihubungkan dengan

adanya oklusi secara langsung yang dapat dinilai dengan TCD

ialah suatu gelombang abnormal yang terletak pada lokasi

(32)

Jika suatu clot menyebabkan obstruksi komplit untuk

aliran darah, kemudian tidak ada perubahan frekuensi yang

terjadi sehingga tidak ada signal doppler yang dapat

terdeteksi, hal ini disebut sebagai tidak ada aliran darah

(absent). Akan tetapi aliran darah yang tidak ada secara

komplit pada letak clot tersebut cenderung jarang terjadi

karena pergerakan darah yang terdapat di sekitar clot sering

menghasilkan suara bunyi di sekitar garis dasar yang sering

disebut sebagai “minimal flow”. Aliran bergaung (reverberating

flow) merupakan suatu bentuk lain dari aliran minimal dan

kadang-kadang dapat dideteksi di bagian proksimal dari clot.

Bentuk lain dari aliran minimal juga dapat terlihat pada tempat

clot dimana aliran sistolik intensitas rendah dapat ditemukan

berkaitan dengan tahanan tinggi dengan tanpa adanya aliran

darah selama diastol. Dibagian distal dari clot, arteri akan

sepenuhnya mengalami vasodilatasi dan aliran darah akan

muncul, signal arteri ini memiliki pulsatility index, kecepatan

dan intensitas yang rendah. Hal ini disebut dengan istilah

“blunted flow” dan jika sedikit lebih berat disebut “dampened

flow”. kecepatan meningkat berkaitan dengan penyempitan

pembuluh darah, aliran darah tetap terbatas sehingga signal

yang timbul memiliki intensitas yang rendah. Dalam keadaan

(33)

dasar) dan kadang-kadang bruit juga dapat terdeteksi. Akan

tetapi bentuk gelombang ini tidak khas untuk stenosis dan

dapat ditemukan juga untuk spasme arteri yang berhubungan

dengan perdarahan subarakhnoid atau perdarahan

intraserebral ringan sampai sedang (Gambar 4) (Syme, 2006).

Signal TCD yang terlihat pada arteri yang lebih besar

pada bagian proksimal dari clot bervariasi tergantung dari

ukuran obstruksi di bagian distal dan dekatnya dengan clot.

Dengan oklusi cabang distal yang kecil, pembuluh darah

utama yang memberi nutrisi dapat terlihat normal secara

khusus dengan sirkulasi kolateral yang baik. Ketika oklusi

yang lebih besar terjadi, signal juga dapat menjadi

“dampened” dengan pengurangan intensitas, kecepatan dan

PI yang sangat kecil. Dengan adanya obstruksi yang lebih

berat di bagian distal, signal pada pembuluh darah nutrisi

(feeding vessel) yang ukurannya lebih besar menunjukkan

gambaran kasar “blunting” yang lebih jauh lagi (Gambar 4)

dengan perubahan yang kecil dalam intensitas tetapi

penurunan yang lebih jauh lagi dalam kecepatan dan

pulsatility. Penurunan pulsatility sepertinya berkaitan dengan

dilatasi bagian proksimal arteri dan mencerminkan elastisitas

dari arteri ini serta ketersediaan cabang-cabang pembuluh

(34)

melalui proksimal arteri berkaitan dengan oklusi tersebut

(Syme, 2006).

Transcranial doppler memiliki positive predictive value

yang tinggi >80% sehingga membuat TCD dijadikan sebagai

alat yang dapat menilai kejadian serebrovaskular pada pasien

dengan risiko stroke. Transcranial doppler juga dapat

digunakan untuk mengetahui efektivitas penanganan

trombolitik pada pasien stroke (Kassab dkk, 2007).

B. Menilai autoregulasi serebrovaskular

Autoregulasi serebral adalah kemampuan untuk

mempertahankan aliran darah serebral meskipun menit ke

menit berbeda rata-rata perfusi serebral. Pada status fisiologis

orang normal, hal ini dapat dicapai dengan kontrol arteriolar

melalui resistensi vaskular serebral perifer. Seseorang dengan

autoregulasi serebral yang terganggu memiliki gejala klinis

seperti nyeri kepala, dizziness, sinkop (Kassab dkk, 2007).

Pengukuran FV dan PI sebelum dan selama minum

obat-obatan atau manipulasi mekanikal autoregulasi dan

tekanan darah sistemik dapat digunakan untuk memonitor

reaktivitas vaskularisasi intrakranial. Breath holding dan

pemakaian acetazolamid adalah yang terbanyak digunakan

untuk memanipulasi autoregulasi serebral. Tehnik

(35)

asimptomatik stenosis arteri karotid internal yang diindikasikan

untuk bedah endarterectomy. Data terbaru menunjukkan TCD

dapat menilai gangguan autoregulasi peningkatan risiko stroke

iskemik pada pasien dengan stenosis karotid yang berat

(>70%). Transcranial doppler juga dapat menilai risiko

potensial iskemik serebral pada pasien dengan stenosis

karotid yang akan menjalani tindakan anastesi dan

pembedahan (Kassab dkk, 2007).

Gambar 4 : TIBI flow grading system

Dikutip dari : Mikulik R., Alexandrov A.V.2006. Acute Stroke: Therapeutic Transcranial Doppler Sonography. Handbook on Neurovascular

(36)

7. HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DENGAN KECEPATAN ALIRAN DARAH PADA PENDERITA STROKE ISKEMIK, HIPERTENSI DAN DM TIPE 2

Obesitas ditandai dengan lemak tubuh yang berlebih sehingga

menyebabkan masalah kesehatan. Baru-baru ini, rekomendasi the

National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III

(NCEP-ATPIII) dan the Seventh Report of the Joint National

Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of

High Blood Pressure (JNC 7) untuk mengidentifikasi dan mengobati

orang dewasa dengan sindrom metabolik menekankan perlunya

pengobatan agresif untuk mengurangi risiko yang berkaitan dengan

penyakit kardiovaskular (Smith dkk, 2012).

Jaringan adiposa tidak lagi dilihat sebagai sebuah repositori pasif

untuk penyimpanan triasilgliserol dan menjadi sumber asam lemak

bebas (Free Fatty Acids / FFAs). Pre-adiposit berkembang menjadi

adiposit matur. Adiposit matur merupakan organ parakrin dan endokrin

aktif yang mensekresi sejumlah mediator untuk proses metabolisme.

Senyawa yang mempengaruhi adipogenesis diantaranya lipoprotein

lipase, cholesterol ester transfer protein, angiotensinogen, faktor

komplemen, interleukin-6 (IL-6), prostaglandin, Tumor Necrosis

Factor-α (TNF-α), dan Nitric Oxide (NO) (Smith dkk, 2012).

Jaringan adiposa diakui sebagai sumber yang kaya mediator

(37)

vaskular, resistensi insulin dan aterogenesis. Yang termasuk

adipositokin pro-inflamasi atau adipokin diantaranya TNF-α, IL-6,

leptin, Plasminogen Activator Inhibitor-1 (PAI-1), angiotensinogen,

resistin, dan C-Reactive Protein (CRP) (Gambar 5). Di sisi lain, NO

dan adiponektin memberikan perlindungan terhadap inflamasi dan

resistensi insulin yang berkaitan dengan obesitas (obesity-linked

insulin resistance) (Gambar 5) (Smith dkk, 2012).

Gambar 5. Adipokin Anti- dan Pro-Inflamatori. Jaringan adiposa kaya akan mediator pro-inflamator seperti TNF-α, IL-6, leptin, PAI-1, angiotensinogen, resistin dan CRP, yang memicu disfungsi endotel, resistensi insulin dan akhirnya aterosklerosis. Produksi adiposit lain seperti NO dan adiponektin merupakan proteksi, tetapi kemampuan ini menurun bila terjadi obesitas.

Diunduh dari : Smith, M., M., Minson, C., T., 2012. Obesity and Adipokines : Effect on Sympathetic Overactivity. J Physiol. 590(8);1787-1801

Aterosklerosis adalah proses inflamasi yang dimulai dengan

disfungsi endotel. Disfungsi endotel ditandai dengan

(38)

vasokonstriksi. Nitric oxide mempertahankan vasodilatasi endotel dan

melawan efek vasokonstriktor seperti Endotelin (ET)-1 dan

Angiotensin II (ANG II). Nitric oxide menginhibisi leukosit serta aktivasi

dan agregasi trombosit, bersama dengan prostasiklin, membantu

menjaga endotelium sebagai barrier non-trombotik. Respon terhadap

pemicu inflamasi seperti Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1)

dan Intercellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1), yang mengakibatkan

adhesi endotel dan permeabilitas meningkat sehingga leukosit masuk

dan ekspresi adhesi molekul di endotelium. Adiposit menghasilkan

Monocyte Chemoattractant Protein-1 (MCP-1) yang dapat membantu

perpindahan leukosit. Fagositosis dari partikel Low-Density Lipoprotein

(LDL) teroksidasi oleh monosit menimbulkan pembentukan sel-sel

busa (foam cells) dan pembentukan plak dan fatty streaks serta

proliferasi sel otot polos. Dengan demikian disfungsi endotel

merupakan gambaran utama berbagai tahapan aterogenesis, dari

perkembangan awal aterosklerotik dari fatty streaks hingga plak

ateromatous, plak yang rentan dan mudah ruptur, vasospasm,

pembentukan trombus, dan akhirnya oklusi pembuluh darah dan infark

(Smith dkk, 2012).

Levi dkk (2001) dalam penelitiannya menyatakan bahwa

penyebab terbanyak stroke iskemik adalah oklusi arteri besar, yang

berhubungan dengan trombosis dan emboli. Dan menurut Seo dkk

(39)

dan peningkatan RI pada penderita stroke iskemik diakibatkan oleh

kekakuan (stiffness), dilatasi dan lika-liku arteri.

Brown dkk (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa

disfungsi vaskular akibat terganggunya sintesis oksida nitrit (nitric

oxide synthase-dependent) di pembuluh darah otak cenderung

menurunkan aliran darah otak serta meningkatkan risiko komplikasi

(40)

STROKE

massa tubuh, serta lingkar pinggang dan panggul.

Brown dkk (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa disfungsi vaskular akibat terganggunya sintesis oksida nitrit (nitric oxide

synthase-dependent) di pada pasien dengan diabetes tipe 2.

Tekanan darah merupakan tekanan perfusi yang secara langsung mempengaruhi aliran darah serebral. Menurut penelitian Zhang dkk (2006) terhadap subyek dengan hipertensi awal (<5 tahun) dan hipertensi kronik (≥5 tahun) yang berusia 42 – 73 tahun mendapati pengaruh hipertensi terhadap aliran darah otak yaitu bahwa aliran darah di arteri serebri media berkorelasi positif terhadap tekanan darah sistolik dan sedikit berkorelasi negatif pada arteri karotis komunis. Seo dkk (2009) dalam

penelitiannya terhadap 38 orang penderita stroke iskemik dan 10 orang penderita Transient Ischemic blood flow velocity pada arteri

(41)

9. Kerangka Konsep

IMT

CBF

STROKE

ISKEMIK

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi IMT berdasarkan WHO dalam The Asia-Pacific Perspective : Redifining Obesity and Its Treatment
Gambar 1. Sirkulus Willisi.  Dikutip dari : Williams P.L.Gray’s Anatomy : The Anatomical Basis of Medicine and Surgery
Tabel 2. Klasifikasi tekanan darah pada dewasa.
Tabel 3. Klasifikasi etiologis DM.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian P2.7 faktor teman juga bisa, kadang mahasiswa yang tipikal butuh teman buat mengerjakan skripsi ketika temannya males, hal itu menjadi penghambat, kita jadi ikut-ikutan

Berdasarkan analisa dan perancangan ulang antarmuka hotspot mikrotik ini dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan desain aplikasi ini dapat memberikan kebebasan

sebagaimana dinyatakan dalam ayat tersebut, penentu jenis kelamin bayi adalah air mani, yang berasal dari ayah. Pengetahuan tentang hal ini, yang tak mungkin dapat diketahui di masa

Dengan adanya pemrograman Microsoft Visual Basic 6.0 pada sistem operasi windows, maka penulis mencoba membuat suatu program aplikasi pemesanan pada toko kue Esskani dengan

[r]

Perancangan aplikasi ini sangat membantu apotik dalam melakukan transaksi penjualan obat dengan menggunakan resep dokter ataupun tanpa resep dokter dan pembuatan laporan secara

Maksud dari penulisan ini adalah untuk membuat tampilan berupa form faktur penjualan, form cetak laporan penjualan yang dimana pihak apotik TRSM dapat mengakses data penjualan

Dalam konteks KTSP guru harus mampu mengintergrasikan metode pembelajaran yang lebih efektif seperti Contextual Teaching and Learning (CTL), Pembelajaran Aktif