• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812 Pid.Sus 2010 Pn.Bjm)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umun Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 812 Pid.Sus 2010 Pn.Bjm)"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan peradaban dan budaya manusia, dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi terutama kecanggihan informasi, komunikasi dan transportasi sudah mendunia dan menjadikan planet bumi menjadi semakin kecil dan seolah-olah tak terbatas sehingga kejadian di suatu tempat dibumi ini dengan cepat dan dalam waktu yang singkat bahkan bersamaan dapat diketahui dibelahan bumi lainnya. Globalisasi disegala bidang berjalan ekstra cepat sehingga tidak mungkin satu negara mengisolasi diri secara politik, sosial budaya,ekonomi dan hukum dalam keterkaitan negara.4

Meningkatnya pembangunan dan perkembangan ekonomi yang begitu pesat saat ini, sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi disatu sisi telah membawa dampak yang positif bagi kehidupan masyarakat. Kemajuan pembangunan itu sendiri dari sisi lain juga telah membawa dampak yang negatif bagi masyarakat, antara lain dalam bentuk kejahatan ekonomi yang lebih canggih. Kemakmuran yang melimpah membuat orang semakin ingin melindungi hartanya, karena kemajuan teknologi juga berakibat munculnya kejahatan berbasis teknologi tinggi, seperti cyber crime, pemalsuan uang, pemalsuan kartu kredit dan tindak pidana korupsi yang cukup fenomenal. Tindak pidana ini tidak

4

(2)

hanyamerugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

Masalah korupsi bukan merupakan suatu kejahatan yang baru bagi suatu negara karena korupsi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, baik dinegara maju maupun negara-negara yang sedang berkembang.5 Jika pada masa lalu korupsi sering diidentikkan dengan pejabat atau pegawai negeri yang telah menyalah gunakan keuangan negara, dalam perkembangannya saat ini masalah korupsi juga telah melibatkan anggota legislatif dan yudikatif, para bankir dan konglomerat serta juga korporasi.

Berkenaan dengan masalah korupsi, maka menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Transparency International (TI) dalam situs resminya, pada tahun 2014 Corruption Perception Index (CPI) menempatkan Indonesia sebagai negara dengan level korupsi yang tinggi. Dalam CPI 2014 tersebut, Indonesia menempati posisi 117 dari 175 negara didunia dengan skor 34 dari skala 0-100 (0 berarti sangat korup dan 100 berarti sangat bersih).6

Pada tahun 2015 Survei Persepsi Korupsi 2015 dilakukan di 11 (sebelas) kota di Indonesia. Sebelas kota tersebut adalah Pekanbaru, Semarang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, Manado, Medan, Padang, Bandung, Surabaya dan Jakarta. Survey dilakukan serentak pada 20 Mei-17 Juni 2015 kepada 1.100 pengusaha. Pengambilan sampel menggunakan stratified

random sampling yang bersumber dari Direktori Perusahaan Industri 2014

yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Pengambilan data dilakukan melalui metode wawancara tatap muka dengan pengusaha dengan panduan kuesioner survei.7

Transparency International, Survei Persepsi Korupsi 2015

http://www.ti.or.id/index.php/press-release/2015/09/15/survei-persepsi-korupsi-2015diakses tanggal 20 Februari 2016 Pukul 12.30 WIB.

7

(3)

Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Transparency International (TI) diperoleh hasil kota yang memiliki skor tertinggi dalam Indeks Persepsi Korupsi 2015 adalah kota Banjarmasin dengan skor 68. Sementara itu, kota yang memiliki skor terendah adalah kota Bandung dengan skor 39.

Tabel 1. Indeks Persepsi Korupsi di 11 kota di Indonesia Pada Tahun 20158

Indeks Persepsi Korupsi Tahun 2015

Kota Skor

Banjarmasin 68

Surabaya 65

Semarang 60

Pontianak 58

Medan 57

Jakarta Utara 57

Manado 55

Padang 50

Makkasar 48

Pekanbaru 43

Bandung 39

Sumber Tabel: Transparancy Internasional

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia sebagai negara yang sangat rawan terjadinya tindak pidana korupsi. Padahal sejak Indonesia merdeka telah dilakukan upaya pecegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat terlihat dari pengaturan mengenai tindak pidana korupsi sudah ada sejak diberlakukannya KUHPidana

8

(4)

walaupun dalam pasal-pasalnya menyebutkan “kejahatan jabatan”. Kemudian dalam perkembangannya istilah korupsi baru ditemukan di Indonesia dalam Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM 1-06/1957 dan kemudian semakin dipertegas pemberantasannya dengan TAP MPR XI/MPR/1998 yang akhirnya menghasilkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 serta Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.9

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan babak baru dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Sebab dalam undang-undang ini tidak hanya mengatur individu (manusia) sebagai subjek hukum melainkan juga menjerat korporasi sebagai subjek hukum. Tetapi dalam prakteknya, penuntutan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum.10

Hal ini dapat terlihat dari keterlibatan perusahaan-perusahaan (korporasi) dalam tindak pidana korupsi. Misalnya PT Duta Graha Indah (DGI) terkait proyek wisma atlet atau PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya dalam kasus Hambalang supaya mendapat proyek tersebut, diduga PT Adhi Karya rela menggelontorkan uang miliaran kepada sejumlah pihak utamanya, ke pihak kementerian Pemuda

9

Edi Yunara, Pertanggungja waban Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi, Tesis, 2004, http://library.usu.ac.id/download/fh/05002125.pdf , diakses tanggal 23 Februari 2016 pukul 11.13 WIB, hal 2.

10

(5)

dan Olahraga.11Dugaan korupsi korporasi lainnya, dilakukan anggota direksi PT Indoguna Utama menyuap seorang petinggi partai. Tujuannya agar petinggi partai itu bisa mengkondisikan kepada salah satu kementerian guna memberikan izin tambahan kuota impor sapi kepada perseroan terbatas tersebut.12 Selain itu, ada dugaan beberapa pejabat Kabupaten Bogor menerima suap dari petinggi PT Gerindo Perkasa agar mereka mau menyesuaikan peruntukan ribuan hektar tanah dengan keinginan si pengusaha. Sampai sejauh ini, diberitakan bahwa KPK hanya menetapkan beberapa pengurus korporasi sebagai tersangkanya.13 Padahal, dugaan tindak pidana korupsi itu dilakukan para pengurus korporasi untuk kepentingan dan keuntungan korporasi dalam lingkup operasionalnya.

Meskipun Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah menetapkan korporasi sebagai subjek hukum pidana tetapi penegak hukum masih sangat jarang menyentuh kejahatan yang dilakukan korporasi.

Penuntutan korporasi yang masih jarang dilakukan oleh aparat penegak hukum dipengaruhi oleh penempatan korporasi yang masih menuai pro dan kontra. Dimana menurut KUHP bahwa korporasi sebagai subjek hukum dalam hukum pidana belum mengatur korporasi sebagai subjek hukum

11

Marlen Sitompul, Pertaruhan BPK dalam Kasus Hambalang, Jakarta, 2012, Nasional Inilah, http://nasional.inilah.com/read/detail/2063880/ diakses tanggal 23 Februari 2016 pukul 12.04 WIB.

12

Kompas, Kasus Suap Impor Sapi, Dirut Indoguna Dituntut 4,5 Tahun,

http://nasional.kompas.com/read/2014/04/22/1148432/Kasus.Suap.Impor.Sapi.Dirut.Indoguna.Dit untut.4.5.Tahun.Penjara diakses tanggal 23 Maret 2016 Pukul 16.03 WIB.

13

(6)

pidana.14Pandangan ini dianut KUHP dalam Pasal 59, yang dipengaruhi asas

“societas deliquere non potest”, yaitu badan hukum tidak dapat melakukan delik.

Sementara Undang-Undang No 31 Tahun 1999 sebagaimana yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 sebagai lex spesialis. Dalam undang-undang ini mengemukakan subjek hukum adalah orang perorangan dan korporasi. Dalam hal penuntutan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi undang-undang ini mengatur lebih lanjut mengenai hukum acaranya berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Penempatan korporasi sebagai subjek hukum pidana atau pelaku tindak pidana dalam hukum pidana, tampaknya telah menjadi tuntutan zaman yang tidak terelakkan untuk meningkatkan tanggung jawab negara dalam mengelola kehidupan masyarakat yang semakin kompleks. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku saat ini, hanya mengenal tindak tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang perorangan. Tindak Pidana (criminal act), tidak hanya dapat dilakukan oleh manusia alamiah (naturlijk persoon), melainkan korporasi dapat juga melakukan tindak pidana. Bahkan perbuatan korporasi dapat mengakibatkan kerugian yang lebih parah bagi kehidupan masyarakat.15

Memperhatikan akibat negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi, maka wajar bila perhatian penegakan hukum ditujukan pada upaya penanggulangan kejahatan korporasi. Salah satu sarana penanggulangan yang masih dipermasalahkan adalah penggunaan sarana hukum pidana. Maka ajaran

14

Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungja waban Korporasi Dalam Hukum Pidana, STHB: Bandung, 1991, hal 42

15

(7)

atau teori pembenaran korporasi dapat bertanggung jawab dengan menempatkan korporasi sebagai subjek hukum pidana sehingga memiliki kesetaraan yang sama dengan manusia alamiah (naturlijk persoon) yakni dengan diadopsinya “doctrine

of strict liability16dan doctrine of vicarious liability.”17

Dalam menentukan tindak pidana korporasi haruslah ada dua hal yang diperhatikan yakni pertama, perbuatan pengurus yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan korporasi; kedua, menyangkut kesalahan pada korporasi.

Perkembangan pengakuan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana adalah sesuai dengan tujuan dan fungsi hukum untuk memberikan sarana perlindungan masyarakat dan kesejahteraan masyarakat, sebab kecenderungan korporasi melakukan pelanggaran hukum di dalam tujuan korporasi untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya telah menjadi realitas masyarakat.

Pengakuan korporasi sebagai subjek dari hukum pidana, tentunya akan menimbulkan pertanyaan baru kapan suatu korporasi dapat dikatakan sebagai pelaku tindak pidana? Bagaimana penuntutan korporasi? Bagaimana bentuk pertanggungjawaban korporasi apakah pengurus yang bertanggung jawab atau hanya koporasi saja yang bertanggung jawab? Selanjutnya bagaimana pembuktian korporasi sebagai pelaku tindak pidana?

16

Strict liability atau Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault liability or liability without fault), artinya seseorang sudah dapat dipertanggung jawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea) (Lihat buku Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, Ibid.)

17

(8)

Berdasarkan hal diatas, maka penulis mengambil judul yaitu Penuntutan Korporasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Dan Pembuktian Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan No.812/PID.SUS/2010/PN.BJM).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah:

1. Bagaimana penuntutan korporasi oleh Jaksa Penuntut Umum sebagai terdakwa tindak pidana korupsi?

2. Bagaimana pembuktian Korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dalam putusan pengadilan?

C. Tujuan dan Manfaat penulisan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui penuntutan korporasi oleh Jaksa Penuntut Umum Korporasi sebagai terdakwa dalam tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui pembuktian Korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dalam putusan pengadilan.

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah:

(9)

2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan khusus bagi Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penuntutan terhadap korporasi.

D. Keaslian Penulisan

Mengenai keaslian penulisan skripsi ini dibuat sendiri oleh penulis dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur maupun pengumpulan data-data yang dihimpun dari berbagai sumber seperti buku-buku, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan judul skripsi ini serta melalui media elektronik seperti internet, sekaligus dari hasil pemikiran penulis sendiri.

Sepenjang penulusuran di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dilakukan oleh penulis belum terdapat judul yang sama dengan judul yang ditulis oleh penulis dalam skripsi ini. Dengan kata lain, skripsi ini belum pernah ada yang membuat, kalaupun ada subtansi pembahasannya berbeda, sehingga skripsi ini benar-benar merupakan tulisan yang berbeda dengan tulisan lain. Dengan demikian, keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan.

E. Tinjauan Pustaka

1. Korupsi dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi a. Pengertian Tindak Pidana

(10)

menggunakan istilah strafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai strafbaarfeit tersebut.18

Dalam bahasa Belanda strafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata, yaitu strafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedangkanstrafbaar berarti dihukum, sehingga secara harfiah perkataan strafbaarfeit berarti sebagian dari kenyataan yang dapat dihukum.19

Adami Chazawi telah menginventarisasi sejumlah istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit, yaitu sebagai berikut:20

1. Tindak Pidana, dapat dikatakan berupa istilah resmi dalam undangan pidana kita. Dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001.

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum, misalnya: Mr.R Tresna dalam Bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana” Mrs. Drs.H. J van

Schravendijk dalam buku pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia, Prof. A. Zainal Abidin, S.H dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk

18

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika: Semarang,2005, hal 5.

19Ibid. 20

(11)

Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu dalam UUD’S 1950 [baca Pasal 14 ayat (1)];

3. Delik, yang sebenarnya berasal dari bahasa latin “delictum” juga digunakan untuk menggambarkan tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit. Istilah ini dapat dijumpai dalam berbagai literatur, misalnya

Prof.Drs. E.Utrecht, S.H, walaupun juga beliau menggunakan istilah lain yakni peristiwa pidana (dalam buku Hukum Pidana I);

4. Pelanggaran Pidana, dapat dijumpai dalam buku Mr. M.H Tirtaadmidjaja yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Pidana;

5. Perbuatan yang boleh dihukum, istilah ini digunakan oleh M.Karni dalam buku beliau “Ringkasan tentang Hukum Pidana” begitu juga Schravendijk

dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”;

6. Perbuatan yang dapat dihukum, digunakan oleh Pembentuk Undang-Undang di dalam UU No.12/Drt/1951 tentang senjata Api dan Bahan Peledak (Pasal 3);

7. Perbuatan Pidana, digunakan oleh Prof. Mr. Moeljatno dalam berbagai tulisan beliau, misalnya dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana.

Istilah yang dipergunakan oleh Konsep KUHP Baru sebagai terjemahan dari istilah strafbaarfeit adalah tindak pidana.

b. Pengertian Korupsi

(12)

dari kata “corrumpere” adalah suatu kata dari bahasa latin.21 Kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis “corruption”, dalam bahasa Belanda

“korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan “korupsi”.

Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk. Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.22

Hal seperti itu dikemukakan pula oleh Henry Campbell Black, yang mengartikan korupsi sebagai:“an act done with an intent to give some advantage

inconsistent with official duty and the rights of others”. (Terjemahan bebas: suatu

perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak lain).

A.S Hornby dan kawan-kawan mengartikan istilah korupsi sebagai suatu pemberian atau penawaran dan penerimaan hadiah berupa suap (the offering and

accepting of bribes), serta kebusukan atau keburukan (decay). Sedangkan David

M. Chalmer menguraikan pengertian korupsi dalam berbagai bidang, antara lain menyangkut masalah penyuapan yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi, dan menyangkut bidang kepentingan umum.23

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia24, dimuat pengertian korupsi sebagai berikut:“penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dan

sebagainya untuk keuntungan pribadi atau orang lain”.

21

H.Juni Sjafrien Jahja, Say No To Korupsi, Visi Media: Jakarta, 2012, hal 7.

22

Darwin Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, PT. Citra Aditya Bakti: Medan, 2000, hal 1.

23

H. Elwi Danil, Korupsi Konsep, Tindak Pidana da n Pemberantasannya, PT.RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2011, hal 3.

24

(13)

Keanekaragaman pengertian istilah korupsi seperti tergambar diatas, dapat mengakibatkan timbulnya kesulitan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tentang apa yang dimaksud dengan korupsi sebagai konsep. Atau dengan kata lain, keanekaragaman pengertian istilah korupsi dapat menimbulkan kesulitan dalam menarik suatu batasan mencakup tentang makna korupsi.

Dalam sejarah kehidupan hukum pidana Indonesia, istilah korupsi pertama kali digunakan di dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi menjadi suatu istilah hukum. Penggunaan istilah korupsi dalam peraturan tersebut terdapat pada bagian konsideranya, yang antara lain menyebutkan, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi.25

Secara yuridis pengertian korupsi jenisnya tercantum di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubahkan dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Dalam undang-undang ini pengertian korupsi tidak hanya bersangkut paut dengan perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian negara saja, tetapi juga menyangkut pengertian lain, seperti penyuapan, penggelapan. Pemalsuan, merusak barang bukti atau pemerasan dalam jabatan, gratifikasi dari perbuatan tersebut tidak saja merugikan negara, tetapi merugikan masyarakat.

Mengenai pengertian korupsi secara yuridis di atas, penting artinya dan dengan memahami pengertian tersebut, diharapkan pemberantasan korupsi tidak lagi diarahkan semata-mata kepada penindakan (represif), tetapi seyogyanya lebih

25

(14)

mengedapankan pencegahan (preventif), sehingga pemberantasan korupsi diharapkan tidak hanya sekedar memberikan efek jera (deterrence effect), tetapi berfungsi sebagai daya tangkal (preventive effect).

c. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi

Menurut perspektif hukum, defenisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 (tiga belas) buah pasal dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara kerena korupsi.

Undang-undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubahkan dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001, memberikan batasan yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasal, kemudian mengelompokkannya dalam beberapa delik.26 Jika dilihat dari kedua undang-undang di atas, dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Memperkaya diri sendiri/ orang lain dengan melawan hukum

Hal ini di atur dalam Pasal 2 UU No.31 Tahun 1999, yang bunyinya sebagai berikut:

(1) “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

26

(15)

(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu.”

Berdasarkan rumusan Pasal 2 tersebut yang dimaksud dengan melawan hukum adalah mencakup pengertian perbuatan melawan hukum secara formil maupun materil. Melawan hukum secara formil berarti perbuatan yang melanggar/ bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan melawan hukum secara materil berarti bahwa meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.27

Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, adapun perbuatan yang dilakukan menurut elemen ini apabila dengan perbuatan melawan hukum itu pelaku, orang lain, atau korporasi menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya. 28

“Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dijelaskan pada

penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagai berikut:

“Keuangan negara dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yag timbul karenanya:

a) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan mempertanggung-jawabkan pejabat lembaga negara baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah; b) Berada dalam penguasaan, pengurusan dan mempertaggungjawabkan

Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara.”

27

Darwin Prints, op.cit,. hal 29.

28

(16)

Sedangkan yang dimaksud dengan “perekonomian negara” adalah

kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara sendiri yang didasarkan pada kebijaksanaan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat kemakmuran dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.29

2. Penyalahgunaan kewenangan

Penyalahgunaan kewenangan diatur dalam Pasal 3 Undang-undang No 31 tahun 1999 yang menyatakan:

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu milyar rupiah)”

Perlu dipahami, bahwa pelaku tindak pidana menurut pasal ini adalah setiap orang yakni orang perorangan dan korporasi yang menyalahgunakan kewenangan yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Oleh karena itu, pelaku tindak pidana korupsi menurut pasal 3 haruslah seorang pejabat/Pegawai Negeri.30

Tujuan dari perbuatan itu adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat dihitung dengan uang karena akibat yang ditimbulkan berupa kerugian keuangan negara, meskipun akibat lebih jauh

29

Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi (Pemberantasan dan Pencegahan), Djambatan: Jakarta, 2001, hal 33.

30

(17)

lagi dapat berupa kerugian perekonomian negara tetapi karena pemakaian uang yang tidak jujur.31

Menyalagunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan kewenangan berarti kekuasaan/hak. Jadi, dalam hal ini yang disalahgunakan adalah kekuasaan atau hak yang ada pada pelaku.

Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara berarti mengganggu keuangan negara atau perekenomian negara. Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun juga, yang dipisahkan atau yang tidak terpisahkan. Termasuk didalamnya adalah segala seluruh kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat, lembaga negara baik di pusat maupun daerah.32

3. Suap menyuap

Tindak pidana korupsi suap berasal dari tindak pidana suap (omkoping) yang ada dalam KUHP. KUHP sendiri membedakan antara 2 (dua) kelompok tindak pidana suap, yakni tindak pidana memberi suap dan tindak pidana menerima suap. Kelompok pertama disebut dengan suap aktif (active omkoping), subjek hukumnya adalah pemberi suap. Dimuat dan menjadi bagian dari kejahatan terhadap penguasa umum (Bab VIII Buku II), yakni Pasal 209 dan Pasal 210. Kelompok kedua yang disebut dengan suap pasif (passive omkoping), subyek hukumnya adalah pegawai negeri yang menerima suap. Dimuat dan menjadi

31

Leden Marpaung, op.cit., hal 38.

32

(18)

bagian dari kejahatan jabatan (Bab XVIII Buku II), yakni Pasal 418, Pasal 419, dan Pasal 420. Jadi, tindak pidana suap dalam KUHP ada 5 (lima) pasal.33

Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 pasal-pasal suap dari KUHP ini juga ditarik kedalamnya sebagai bagian tindak pidana korupsi. Masuk ke dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12 dengan cara menarik pasal-pasal tersebut tanpa menyebut atau merumuskan kembali rumusan tindak pidananya.34 Namun kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yang diundangkan untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, menarik kejahatan-kejahatan suap menjadi tindak pidana korupsi tidak dilakukan lagi dengan cara sekedar menarik dengan menyebut pasal-pasal dalam KUHP. Akan tetapi menarik rumusannya dengan beberapa perubahan, baik dengan mengubah, mengurangi, atau menghilangkan maupun dengan menmbah rumusan, menjadi tidak sama persis bunyinya dengan rumusan aslinya. Namun secara subtantif tidaklah berbeda. Kemudian dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Pasal 209, Pasal 210, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420 dinyatakan tidak berlaku lagi.

4. Penggelapan dalam jabatan

Korupsi yang terkait dengan penggelapan jabatan yaitu, pegawai negeri menggelapkan uang, atau membiarkan penggelapan, pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi, pegawai negeri merusakkan bukti, pegawai

33

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, PT Alumni:Bandung, 2007, hal 169.

34

(19)

negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti, pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti.

Tindak pidana menyalahgunakan wewenang, jabatan atau amanah tersebut adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki jabatan atau kedudukan. Seseorang tersebut menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana padanya, karena jabatan atau kedudukan tersebut bertujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, atau korporasi.

Penggelapan dalam jabatan diatur dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang redaksional selengkapnya sebagai berikut: orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

Pasal 9

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

Pasal 10

(20)

puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:

a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau

b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau

c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.

5. Pemerasan

Kelompok delik yang terkait dengan pemerasan yaitu, pegawai negeri memeras, pegawai negeri memeras pegawai negeri lainnya. Pemerasan diatur dalam Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang redaksional selengkapnya sebagai berikut:

Pasal 12 huruf e

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaanya memaksa seorang memberi sesuatu, membayar atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Pasal ini berasal dari Pasal 423 KUHP yang sehari-hari dikenal dengan “pungutan liar” (pungli).35

Pasal 12 huruf f

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai

35

(21)

negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersbut bukan merupakan utang.

Pasal ini diadopsi dari Pasal 425 ayat (1) KUHP. Pasal ini biasa disebut tindak pidana “pemerasan”.

Pasal 12 huruf g

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

Pasal ini diadopsi dari Pasal 425 ayat (2) KUHP.

6. Perbuatan curang

Korupsi yang terkait dengan perbuatan curang, yaitu pemborong berbuat curang; pengawas proyek membiarkan perbuatan curang; rekanan TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang; pengawas rekanan TNI/POLRI membiarkan perbuatan curang; pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain. Pasal mengenai perbuatan curang diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 12 huruf h Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yang redaksional selengkapnya sebagai berikut:

Pasal 7

(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

(22)

b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam hufuf a.

c. setiap orang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang.

d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Mencermati Pasal 7 tersebut perlu dibahas ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d. Pasal 7 ayat (1) huruf a36 terdapat unsur “pemborong atau ahli bangunan” dalam Bahasa Belanda disebut “aan-nemer” yang artinya menerima

atau setuju sehingga dapat diarikan seseorang yang telah menyatakan persetujuan untuk mengerjakan sesuatu pemberi kerja. dan ahli bangunan disebut “bouwmester” berarti seseorang yang bertanggung jawab atas pembangunan suatu

bangunan bagi pemberi kerja.

Pasal 7 ayat (2) ditujukan kepada pengawas proyek yang mebiarkan perbuatan curang. Unsur pertama dalam pasal ini adalah “orang yang bertugas

mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan”37

artinya, hanya mereka yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pekerjaan yang harus dilakukan para pemborong dan mengawasi penyerahan bahan bangunan yang dapat melakukan tindak pidana ini.

36

Leden Marpaung, Op.Cit., hal 57. 37

(23)

Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c ditujukan kepada rekann TNI/POLRI yang membiarkan perbuatan curang. Sementara itu, dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d yang dapat melakukan tindak pidana ini adalah pengawas rekanan TNI/POLRI yang mebiarkan perbuatan curang.

Pasal 12 huruf h

Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal ini berasal dari Pasal 425 yat (3) KUHP. Pada naskah asli Pasal 425 ayat (3), dipakai kata “beschikken” yang diterjemahkan sekarang dalam Pasal 12 huruf

h “menggunakan” arti sebenarnya dari “beschikken” adalah “menguasai”.38

7. Benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa

Korupsi yang terkait dengan benturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, yaitu pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya. Pasal yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadan barang dan jasa diatur dalam Pasal 12 huruf i Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Ketentuan pasal ini berasal dari Pasal 435 KUHP.39

38

Leden Marpaung, Op.Cit., hal 72.

39

(24)

8. Gratifikasi

Pasal mengenai gratifikasi diatur dalam Pasal 12B ayat (1) dan (2) jo Pasal 12C ayat (1), (2), (3) dan (4). Pemberian gratifikasi hanya dibatasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara. Pemberian gratifikasi kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara tidak melanggar hukum selama pemberian tersebut tidak berhubungan dengan jabatan atau bertentangan dengan kewajiban dan tugasnya.40

Pemberian gratifikasi memperbesar peluang munculnya konflik kepentingan (conflict of interst). Hal ini menjadikan pemberian gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak dapat hanya dianggap sebagai pemberian tanpa disertai kepentingan pemberiannya. Itulah mengapa rumusan dalam penjelasan Pasal 12B UUPTPK, gratifikasi yang dianggap suap dibatasi unsur-unsurnya, yaitu:

a) Gratifikasi tersebut berhubungan dengan jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerimanya.

b) Gratifikasi tersebut berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerimannya. Artinya, setelah menerima gratifikasi tersebut pegawai negeri atau penyelenggara negara itu melakukan perbuatan yang diharapkan dari pemberi, yang berlawanan dengan tugas dan kewajibannya.

40

(25)

2. Korporasi Sebagai Subjek Hukum Pidana

Berbicara mengenai Korporasi, tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang hukum perdata. Sebab korporasi merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan badan hukum (rechtpersoon) dan badan hukum itu sendiri merupakan terminologi yang erat kaitannya dengan bidang hukum perdata.41

Konsep “korporasi” pada mulanya dikembangkan pada hukum Romawi,

lebih dari seribu tahun yang lalu, tetapi sebegitu jauh hingga abad ke XVIII, tidak mengalami perkembangan.42

Secara etimologi tentang kata korporasi (Belanda: corporatie, Inggris:

corporation, Jerman: korporation) berasal dari kata “corporatio” dalam bahasa

Latin. Seperti halnya kata-kata lain yang berakhir dengan “tio”, maka corporatio sebagai kata benda, berasal dari kata corporare yang berasal dari kata “corpus” (Indonesia: badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, corporatio itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia, yang terjadi menurut alam.43

Saat ini sebutan korporasi terus berkembang dan banyak ditemui dan tersebar dalam berbagai buku karangan, Bahkan dalam beberapa ketentuan aturan hukum yang dikeluarkan pemerintah juga telah dicantumkan kata-kata korporasi44, misalnya dalam Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang

41

Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungja waba n Pidana Korpora si, Kencana Prenada Media Grup: Bandung,2009, hal. 23.

42

Edi Yunara, Korupsi...., op.cit., hal. 9

43

Ibid.

44

(26)

No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseoran Terbatas, serta berbagai aturan hukum lainnya.

Pengertian korporasi menurut Black’s Law Dictionary, yaitu:

“An Entity (usually a bussiness) having authority under law to act as a

single person distinct from the shareholders who own it and having rights to issue stock and exist indefinitely, a groupor succession of person established in accordance with legal rules into a legal or juristic persons who make it up, exist indefinitely apart from them, and has the legal powers that is

constitution give it”45

Berdasarkan perngertian korporasi menurut Black’s Law Dictionary, maka

penulis menerjemahkan sebagai berikut: Korporasi adalah sebuah badan yang menurut hukum berwenang untuk bertindak sebagai perseorangan dari para pemilik saham dan memiliki hak untuk mengeluarkannya tanpa terbatas, sebuah badan atau perorangan yang ditetapkan sesuai dengan aturan hukum dan memiliki kekuatan hukum.

Sehubungan dengan itu, berikut ini dapat dikemukakan pengertian korporasi yang dikemukakan oleh beberapa sarjana:46

1. Utrecht menyatakan bahwa badan hukum (korporasi) adalah badan yang menurut hukum berwenang menjadi pendukung hak, atau setiap pendukung hak yang tidak berjiwa..

2. Rachmat Soemitro: Badan hukum (korporasi) adalah suatu badan yang dapat mempunyai harta, hak, serta berkewajiban seperti orang pribadi.

3. Wirjono Prodjodikoro: Badan hukum (korporasi) adalah badan yang di samping manusia perseorangan juga dapat dianggap bertindak dalam hukum dan mempunyai hak-hak, kewajiban, dan berhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain.

Berdasarkan pada pendapat-pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa korporasi merupakan badan hukum. Badan hukum dianggap subjek hukum

45

Bryan A Garner, Black’s Law Dictionary, Nirth Edition, St Paul Minim West Publishing, Co, 2009, hal 391.

46

(27)

dikarenakan dianggap sebagai orang yang dapat menjalankan segala tindakan hukum dengan segala resiko yang timbul sehingga badan hukum tersebut dapat menuntut sebagai subjek hukum maupun dituntut oleh subjek hukum lainnya dimuka pengadilan.

Menurut David J.R, secara umum korporasi memiliki 5 (lima) ciri penting yaitu:47

1. Merupakan subjek hukum “buatan” yang memiliki kedudukan hukum

khusus;

2. Memiliki jangka waktu hidup tak terbatas;

3. Memperoleh kekuasaan (dari negara) untuk melakukan kegiatan bisnis tertentu;

4. Dimiliki oleh pemegang saham/modal/aset;

5. Tanggung jawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang dimiliki.

Bertitik tolak dari pandangan hukum perdata yang mengenal adanya dua macam subjek hukum dalam lalu-lintas hukum, tidaklah demikian dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengenal orang perseorangan sebagai subjek hukum pidana. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, baik dalam hukum pidana khusus pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana, sudah dikenal dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang Drt. No.7 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 15 Undang-undang Drt. No 7 Tahun 1955 tersebut menyatakan:

“jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perikatan orang atau yayasan, maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan hukum perseroan, perserikatan atau yayasan

47

(28)

itu baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-duanya.”

Dengan demikian, korporasi sebagai subjek hukum pidana di Indonesia hanya ditemukan dalam peraturan perundang-undangan khusus di luar KUHP, yang merupakan pelengkap KUHP, sebab untuk hukum pidana umum atau KUHAP itu sendiri masih menganut subjek hukum pidana secara umum yaitu manusia.48

Dalam perkembangan hukum pidana khususnya bidang korupsi sudah menetapkan korporasi sebagai subjek hukum disamping orang. Hal ini terlihat dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa “setiap orang

adalah orang perorangan atau termasuk korporasi”

Jika yang dimaksudkan orang perorangan itu termasuk korporasi, maka secara hipotesis bahwa setiap korporasi yang melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dapat dipidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK).49

Meskipun Korporasi telah ditentukan sebagai subjek hukum dalam berbagai ketentuan pidana khusus tetapi penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi masih sangat sulit dilaksanakan. Dalam delik korupsi terlihat banyak kesulitan untuk menjadikan korporasi sebagai subjek

48

Muladi dan Dwijda Priyatno,Pertanggungja waba n pidana....,op.cit., hal 13

49

(29)

hukum karena sulit membuktikan adanya kesalahan terutama dalam bentuk “sengaja” suatu korupsi.

Tentulah tidak semua dalam delik korupsi menempatkan korporasi sebagai subjek. Semua rumusan delik yang subjeknya mempunyai kualitas tertentu sebagai “pegawai negeri atau pejabat” tidak mungkin korporasi menjadi subjek

delik. Dengan ditetapkannya korporasi sebagai subjek hukum, juga mendapat tanggapan dari ahli hukum Muladi yang mengatakan bahwa dengan diterimanya korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana, hal ini menimbulkan permasalahan dalam hukum pidana di Indonesia, khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban korporasi.50

Masalah pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana korupsi adalah segi lain dari subjek tindak pidana korupsi. Pemahaman terhadap masalah subjek tindak pidana korupsi dapat meliputi dua hal, yaitu: Pertama, siapa yang melakukan tindak pidana (si pembuat). Kedua, siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.51

3. Penuntutan dan Jaksa Penuntut Umum

Pengertian Jaksa52 dan Kejaksaan berdasarkan Pasal 1 angka 6a dan 6b KUHAP sebagai berikut:53

50Ibid,

hal 6.

51

H. Elwi Danil, op.cit., hal 111

52

Sejak berlakunya KUHAP maka Jaksa/Penuntut umum tidak berwenang melakukan penyidikan perkara oleh karena hal ini merupakan wewenang dari kepolisian dan pegawai negeri sipil tertentu yang diberi kewenwngan khusus oleh undang-undang. Oleh karena itu, Indonesia

menganut “sistem tertutup” artinya tertutup kemungkinan jaksa atau penuntut umum melakukan

(30)

a) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

b) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dari perumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntut umum adalah Jaksa, tetapi sebalikya jaksa belum tentu Penuntut Umum. Atau dengan kata lain tidak semua Jaksa adalah Penuntut Umum, tetapi semua penuntut umum adalah Jaksa. Karena menurut ketentuan tersebut hanya jaksalah yang dapat bertindak sebagai penuntut umum apabila ia menangani tugas penuntutan.54

Rumusan Pasal 1 angka 6a ini mengenai “jaksa” diperluas dalam Undang

-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pasal 1 angka 1 bagian ketentuan umum sebagai berikut:

a) Jaksa adalah pejabat funsional yang diberi wewenang oleh undang-undnag ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

b) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini melakukan penuntutan dan melaksankan penetapan hakim.

c) Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang

54

(31)

diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.

d) Jabatan Fungsional adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis dalam organisasi kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan kelancaran pelaksanaan tugas kejaksaan.

Dari pengertian tersebut dapat disebutkan bahwa pengertian Jaksa berkolerasi dengan aspek “jabatan” atau “pejabat fungsional”, sedangkan

pengertian “penuntut umum” berkolerasi dengan aspek “fungsi” dalam melakukan

penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim di depan persidangan.

Sedangkan yang dimaksud Kejaksaan menurut Undang-undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dalam Pasal 2 memberikan pengertian:

1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang-undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.

2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.

3) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.

(32)

terdakwa. Jika kewenangan penanganan perkara sudah ditangani oleh penunutut umum, maka tahapan penanganan tersebut dinamakan tahap penuntutan.

Secara global dan sistematis, mengenai pengertian “penuntutan” atau

“vervolging” dapat ditemukan dalam pandangan pembentuk undang-undang dan

visi para doktrin Ilmu Hukum Pidana. Menurut pandangan pembentuk undang-undang melalui dimensi Undang-undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia selaku Hukum Positif (ius contitutum) yang sekarang berlaku di Indonesia55, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 KUHAP tercantum defenisi penuntutan sebagai berikut: “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara

pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menuntut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”

Defenisi ini mirip dengan defenisi Wirjono Prodjodikoro, perbedaan ialah dalam defenisi Wirjono Prodjodikoro disebut dengan tegas “terdakwa” sedangkan

KUHAP tidak.56 Beliau merumuskan penuntutan adalah menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana ialah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.57

Setelah penuntut umum beranggapan bahwa penyidikan telah lengkap maka Penunutut Umum segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi

55

Lilik Mulyadi, Tindak....,op.cit, hal 175.

56

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Cv Sapta Artha Jaya: Jakarta, 1993, hal 164.

57

(33)

persyaratan untuk dapat atau tidaknya dilimpahkan ke pengadilan. Jika Penuntut Umum beranggapan bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan penunututan maka dibuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP).

Akan tetapi apabila Penunutut Umum berpendapat sesuai Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, bahwa: “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk

mengehentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.” Dalam perkara yang cukup bukti dilimpahkan ke pengadilan maka jaksa menentukan perkara itu diajukan dengan Acara Singkat atau acara biasa.

3. Pengertian Pembuktian dalam Perkara Pidana

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai pengertian hukum pembuktian, terlebih dahulu akan dibahas istilah dari pembuktian. Hal ini penting untuk memahami pengertian dari bukti, pembuktian dan hukum pembuktian. Berbagai istilah tersebut terdengar sama, tetapi ketiganya hal tersebut berbeda.

Dalam kosa kata Bahasa Inggris, ada dua kata yang sama diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sebagai “bukti”, namun sebenarnya kedua kata tersebut

memiliki perbedaan yang cukup prinsip. Pertama adalah kata “evidence” dan yang

(34)

Pengertian pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki defenisi masing-masing mengenai pembuktian. Ahli hukum banyak memberikan defenisi pembuktian ini melalui makna kata membuktikan. Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan disebut dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.58

Menurut M. Yahya Harahap pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.59

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian.60

Berdasarkan pendapat diatas, maka yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu kebenaran atau dalil yang diajukan ke muka persidangan. Dalil yang dimaksud itu dapat berupa alat bukti yang sah dan diajukan ke depan persidangan.

58

Hans. C Tangkau, Hukum Pembuktian Pidana, Jurnalhttp://repo.unsrat.ac.id/97/1/HUKUM_PEMBUKTIAN_PIDANA.pdf , diakses tanggal 25 Februari 2016 pukul 20.21 WIB ,hal 21

59

M. Yahya Harahap, Pembahasan Perma salahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Sinar Grafika: Jakarta, 2008, hal 73

60

(35)

Dengan demikian pembuktian merupakan suatu kebenaran dari alat bukti yang sah, untuk dinyatakan bersalah atau tidaknya terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan. Masalah pembuktian tentang benar tidaknya seorang terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian terpenting dari acara pidana, karena hak asasi manusia (terdakwa) akan dipertaruhkan. Dalam hal inilah hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materil, yang berbeda dengan hukum acara perdata yang hanya sebatas pada kebenaran formal.

KUHAP tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian, KUHAP hanya memuat jenis-jenis alat bukti yang sah menurut hakim, yang tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian mengenai pembuktian, akan tetapi banyak ahli hukum yang berusaha menjelaskan arti pembuktian.61

Dalam pembuktian perkara pidana pada umumnya dan khususnya delik korupsi, diterapkan KUHAP. Sedangkan dalam pemeriksaan delik korupsi selain diterapkan KUHAP, diterapkan juga sebagian Hukum Acara Pidana, yaitu BAB IV terdiri atas Pasal 25 sampai dengan Pasal 40 dari Undang-undang No. 31 Tahun 1999.

Dalam hal pembuktian, Undang-undang ini menerapkan pembuktian terbalik, sebagaimana ternyata dalam penjelasannya. Sistem ini tidak sama dengan hukum pembuktian dalam KUHAP. Dalam hukum pembuktian, maka sistem KUHAP sama dengan sistem HIR. Keduanya memiliki persamaan dalam sistem

61

(36)

dan cara menggunakan alat bukti, yakni sistem pembuktian negatif62 menurut undang-undang (negatief wettelijk), yang tercermin dalam Pasal 183 KUHAP dan Pasal 294 ayat (1) HIR. Dikatakan dalam memori penjelasan, bahwa undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik, yang bersifat terbatas atau berimbang.63

F. Metode Penelitian

Suatu penelitian tidak dapat berjalan secara terarah apabila tidak ada metode yang digunakan didalamnya. Maka metode penelitian disini diperlukan, sekaligus sebagai pertanggungjawaban secara ilmiah. Dalam skripsi ini, metode yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Jenis penelitian

Skripsi ini merupakan penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah berbagai peraturan perundang-undangan tertulis dari berbagai literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam skripsi.

2. Jenis data dan sumber data

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang tidak didapat secara langsung dari objek penelitian. Data sekunder diperoleh dari:

62

Sistem pembuktian negative bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana, jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.

63

(37)

a) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, antara lain:

(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

(2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

(3) Undang-Undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

(4) Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

(5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi

(6) Undang-Undang No 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia;

(7) Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-028/ A/ JA/ 10/ 2014.

(8) Surat Edaran Jaksa Agung Nomor: B-036/Ft.1/06/2009 Tentang Korporasi Sebagai Terdakwa/Tersangka Dalam Tindak Pidana Korupsi.

(9) Putusan Nomor 812/PID.SUS/2010/PN.BJM

(38)

c) Bahan hukum tersier, merupakan bahan penunjang dalam memberikan informasi tentang bahan primer dan sekunder. Contohnya: ensiklopedi hukum, kamus hukum.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan

(library research) yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk

memperoleh data sekunder dengan cara menggali sumber-sumber tertulis, baik dari instansi yang terkait maupun dari literatur yang ada relevansinya dengan masalah penelitian yang digunakan sebagai kelengkapan penelitian

4. Analisis data

Metode analisis data yang dilakukan adalah analisis kualitatif, yaitu dengan:

a) Pengumpulan bahan hukum primer, sekunder,tersier yang relevan dengan permasalah yang akan dibahas;

b) Pemilahan terhadap bahan-bahan hukum yang relevan tersebut agar sesuai dengan masing-masing permasalahan;

c) Pengolahan dan penginterpretasian data untuk menarik kesimpulan dari permasalahan;

(39)

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan dan penyajian suatu penelitian harus teratur agar tercipta karya ilmiah yang baik. Skripsi ini dibagi dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu sama lain, karena isi dari skripsi ini berhubungan antara bab yang satu dengan bab yang lain.

Skripsi ini dibagi dalam 4 (empat) bab yang disusun secara sistematis untuk menguraikan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini dikemukakan tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II PENUNTUTAN KORPORASI OLEH JAKSA PENUNTUT SEBAGAI TERDAKWA TINDAK PIDANA KORUPSI

Pada bagian pertama bab ini dikemukakan bagaimana kewenangan Jaksa Penuntut Umum menurut Hukum Acara Pidana dalam melakukan penuntutan korporasi sebagai terdakwa dalam tindak pidana korupsi.

Pada bagian kedua bab ini dikemukakan bagaimana kewenangan penuntutan dalam Tindak Pidana Korupsi

(40)

BAB III PEMBUKTIAN KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK

PIDANA KORUPSI DALAM PUTUSAN PENGADILAN

(PUTUSAN NOMOR 812/PID.SUS/2010/PN.BJM)

Pada bagian pertama bab ini dikemukakan teori-teori yang berkaitan dengan hukum pembuktian serta pembuktian menurut Hukum Acara Pidana Indonesia menurut KUHAP maupun diluar KUHAP.

Pada bagian kedua bab ini dikemukakan bagaimana pembuktian Tindak Pidana Korupsi di Indonesia..

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Gambar

Tabel 1.  Indeks Persepsi Korupsi di 11 kota di Indonesia Pada Tahun 20158

Referensi

Dokumen terkait

Adanya konsentrasi uap pelarut yang melebihi batas ketentuan yang berlaku dapat mengakibatkan efek negatif pada kesehatan seperti iritasi pada membran mucous dan sistem

Dimana cara kerja alat ini adalah apabila salah satu dari tiga tombol ditekan maka LED yang terhubung dengan tombol tersebut akan menyala, dan apabila setelah itu terjadi

Pada pengujian ini menggunakan dua prosesor yang berbeda yaitu prosesor Intel Pentium-4 dan Prosesor AMD Sempron, untuk mengetahui perbandingan antara dua prosesor ini menggunakan

[r]

Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang digunakan sebagai upaya penyelenggaraan dan pembangunan kesehatan dituntut untuk terus meningkatkan dan

Pengembangan dan Validasi Tes Pilihan Ganda Berbasis Penalaran Untuk Mengukur Penguasaan Materi Kesetimbangan Kimia.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Pembangunan konstruksi dengan menggunakan beton bertulang merupakan jenis konstruksi yang paling banyak digunakan karena mudah dalam mendapatkan material dan

Program Lesson Study telah berhasil diidentifikasi dan dikembangkan melalui kegiatan Lesson Study di tiga LPTK (FPMIPA UPI, FMIPA UNY dan FMIPA UM) dan dirasa perlu