• Tidak ada hasil yang ditemukan

Relasi Hukum dan Kekuasaan doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Relasi Hukum dan Kekuasaan doc"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Mencari Relasi Harmonis Antar Hukum dan Kekuasaan Oleh :

MIRZA SATRIA BUANA, S.H, M.H*

A man should take courage when about to die, and be of good hope, after leaving this life, he will attain to the greatest good yonder (Socrates)

Pendahuluan

Indonesia sebagai sebuah negara hukum sebagaimana yang diamanahkan dalam UUD 1945 yang berkedudukan sebagai hukum dasar negara (supreme law of state), menyatakan secara eksplisit bahwa negara dijalankan berdasarkan hukum1, hal ini mempertegas konsep kedaulatan

hukum dalam negara. Namun apa yang menjadi das sollen diatas masih terasa jauh panggang dari api. Terlebih bila kita mendengar, melihat dan membaca berita-berita yang mempertontonkan secara telanjang bobroknya supremasi hukum di Indonesia. negara yang seharusnya bermahkotakan hukum, pada prakteknya malah bermahkota politik kekuasaan semata, dan efek domino yang dirasakan warga negara adalah teralienasi-nya nilai-nilai keadilan dan kebenaran yang seolah hanya dapat ditakar oleh pundi-pundi uang semata. Sudah menjadi rahasia umum dimana produk hukum yang seharusnya bertujuan untuk menciptakan rasa keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat direkayasa menjadi produk politik semata yang hanya bertujuan untuk mengisi pundi-pundi uang para penguasa dan oligar-oligar rakus di parlemen; ini sungguh sebagai sebuah potret realitas penselingkuhan najis antara penguasa dengan pengusaha. Kenyataan empiris tersebutlah yang seakan menjadi justifikasi dari teori Prof. Mahfud MD yang menyatakan “hukum sebagai produk politik”. Sungguh tidak bisa dinafikkan bahwa keadaan Indonesia pada masa ini dapat dianalogikan seperti keadaan “Kandang-Kandang Sapi Raja Augeas”2 yang kotor dan bau.

*

1 UUD 1945 Pasal 1 Ayat 3 menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”

2 Istilah ini diambil dari mitos Yunani kuno, tentang tugas-tugas Hercules (The Labour of

(2)

Tulisan sederhana ini tidak berpandangan skeptis terhadap peranan hukum dalam negara, penulis berkeyakinan bahwa hukum merupakan satu-satunya alat untuk dapat memberikan rasa keadilan, kesejahteraan, kepastian hukum dan kebenaran bagi warga negara. Hukum adalah sebuah norma yang mau tidak mau, suka tidak suka harus ditaaati dan dipatuhi oleh warga negara tanpa terkecuali oleh para elit negara sendiri3. Namun dalam

prakteknya hukum yang berorientasi kepada nilai keadilan sering bertentangan secara diametral dengan kekuasan yang juga merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari negara, karena negara tanpa kekuasan merupakan suatu kesia-siaan belaka (powerless). Dikarenakan jalinan yang tidak dapat dinafikan antara nilai keadilan, negara dan kekuasaan inilah maka memunculkan suatu pertanyaan kritis. Manakah yang lebih penting dalam suatu negara; apakah nilai keadilan dalam hukum ataukah kekuasaan? Bagaimana jalinan ideal antara keadilan, negara dan kekuasaan? Tulisan sederhana ini akan coba untuk melacaknya

Esensi keadilan dalam negara hukum

Keadilan merupakan sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum, bahkan sering keduanya diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebagai sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool) namun juga berfungsi sebagai “cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat dalam suatu negara4. Hukum yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk

negara hukum (rechstaat atau rule of law) idealnya diciptakan untuk menciptakan ketertiban dan kesejahteraan sosial (to order and accomplish welfare)5, untuk mendapatkan semua tuntutan tersebut hukum wajib

mencipta keadilan di masyarakat, keadilan dalam konteks negara hukum dimaknai sebagai sebuah keadaan dimana tidak ada rasa diskriminasi ataupun perbedaan antara hal yang satu dengan hal yang lain, keadilan juga

tersebut. Dalam konteks Indonesia, siapakah yang mau dan rela menjadi seorang Hercules?

(3)

sering dimaknai sebagai sebuah keadaan yang sepatutnya dan selayaknya terjadi dalam pranata bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Hukum secara tataran filosofis terbagi dua, yaitu sebagai kaidah substansi yang merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai keadilan (ius) dan hukum sebagai kaidah formal yang berwujud peraturan per-undangan-undangan (lex) yang merupakan wujud artikulasi normatif dari ius6. Sebagai

bagian substansial dari hukum, jelas kedudukan keadilan dalam hukum menjadi sebuah keharusan dari suatu hukum, dan negara yang berdasarkan atas hukum sudah sepatutnya juga berorientasi kepada pencapaian nilai keadilan.

Keadilan merupakan tujuan utama dari negara hukum, hal ini dibuktikan oleh pengalaman empiris seorang tokoh fisfus kenamaan Yunani kuno yang bernama Socrates. Dikisahkan bahwa pada tahun 399 SM ketika beliau menginjak usia 70 tahun, Socrates dihadapkan pada sidang pengadilan Heliasts (Court of Heliasts) yang terdiri dari 501 warga Athena, yang serentak bertindak sebagai hakim tentang hukum, fakta dan bukti (judge of law, facts dan evidence). Para penuntut Socrates adalah Anytus, seorang politisi demokrat, Melitus, seorang penyair tragedi dan Lykon seorang ahli pidato, mereka bertiga mendakwa Socrates telah melakukan dua kejahatan. Pertama, Socrates dengan terang-terangan menolak menyembah dewa-dewa resmi Yunani (impiety). Kedua, Socrates dituduh telah meracuni pikiran-pikiran anak muda Athena dengan pemikiran-pemikiran filsafati yang kritis dan rasional (corrupting the youth)7.

Hakim Athena, yang kebanyakan adalah musuh-musuh Socrates dengan suara bulat menjatuhi hukuman mati kepada Socrates dengan cara dipaksa meminum segelas anggur cemara beracun. Hakim beralasan inilah keadilan dan kebenaran karena keputusan merupakan hasil dari suara terbanyak dari sidang majelis, dengan kata lain hakim Athena menggunakan hukum yang diambil dari keputusan suara terbanyak sebagai tameng kejahatan mereka. Hukum yang lalim telah dengan terang benderang tidak

6 Andre Ata Ujan, Filsafat hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009, hlm.17

(4)

hanya membunuh Socrates namun juga telah membunuh rasa keadilan dan kebenaran itu sendiri.

Berdasarkan pengalaman Socrates inilah, Plato (427-347 SM) meninggalkan Athena untuk mengembara mencari dan berkontemplasi tentang hukum dan keadilan yang menurut Plato merupakan satu paket yang tidak dapat ditawar harus ada dalam satu negara dan harus menempati posisi sentral dalam politik negara8. Plato dalam sebuah karya

besarnya Republic, menyebut negara idealnya dengan nama “ The City of Justice”. Dalam negara ini setiap kelompok masyarakat harus berkontribusi bagi tegaknya republik keadilan dengan menjalankan tugas masing-masing secara konsekuen dan dengan penuh disiplin9.

Membicarakan hukum tidak terlepas dengan kaitannya dengan cita hukum yang senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula. Menurut Plato, kekuatan moral adalah unsur hakikat dari hukum, sebab tanpa adanya moralitas, maka hukum akan kehilangan supremasi dan independensinya. Keadilan atau ketidakadilan menurut hukum akan diukur oleh nilai moralitas yang mengacu pada harkat dan martabat manusia10.

Moral tidak lain merupakan anasir yang memungkinkan hukum memiliki sifat universal dan karena hukum dimengerti sebagai yang menghubungkan hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, kesejahteraan bersama dan keadilan sosial 11. Jadi hakikat hukum pada dasarnya berpijak pada

hubungan antar manusia dalam dinamika masyarakat, yang terwujud sebagai proses sosial pengaturan cara bertingkah laku. Hakikat hukum bertumpu pula pada idea keadilan dan kekuatan moral12.

8 Andre Ata Ujan, Op. cit, Ibid, hlm. 38

9 Plato membagi warga negara menjadi (3) tiga kelas yaitu :

1. Rakyat biasa; 2. Kaum serdadu;

3. Dan, golongan pemimpin (filsuf), Plato menyatakan hanya golongan ini yang memilki kekuasaan politik

Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hlm. 147

10 W. Poespoprodjo, Filsafat moral kesusilaan dan teori dan praktek, Remadja karya,

Bandung, 1986, hlm. 134

11 Moralitas dianggap universal, misalnya : “Hendaklah hukum bersifat adil!” atau

“Janganlah merugikan orang lain”. Haryarmoko, Etika Politik dan Keuasaan, Kompas, Jakarta, 2003, hlm. 193

(5)

Hukum negara bagi Plato, menjadi hal yang sangat penting guna menegakkan keadilan, karena hanya dengan instrument hukum (per-undang-undangan) yang didapat dari persetujuan atau hasil kontrak sosial antara rakyat dengan penguasalah hukum baru dapat ditransformasikan kedalam jiwa masyarakat sehingga hukum akan dihormati dan dipatuhi oleh masyarakat dan bukan sekedar dipaksakan dari luar.

Aristoteles, murid Plato memiliki pandangan yang sedikit berbeda dengan Plato. Hukum menurut Aristoteles, merupakan sebuah “kandang” yang dapat menjinakkan (domesticate) manusia. Hukum negara bertujuan tidak hanya untuk memperolah keadilan namun juga untuk mendapatkan kebahagiaan (eudaimonia) bagi semua warga negara13. Aristoteles menolak

sebuah anggapan bahwa hukum hanya sekadar alat konvensi praktis semata, seperti sistem birokrasi prosedural-formil, pengatur lalu lintas, menghukum pelaku kejahatan, atau memaksa warga negara untuk membayar pajak. Pemenuhan tujuan hukum sebagai alat konvensi praktis tersebut tidak dapat membahagiakan masyarakat, malah membuat masyarakat menjadi “liar”.

Aristoteles berpendapat bahwa keadilan haruslah dibagikan oleh negara kepada setiap penduduk/ warga negara dan hukum yang baik adalah hukum yang menjaga agar keadilan sampai kepada semua orang tanpa terkecuali dan non-diskriminatif. Secara eksplisit beliau menyatakan;

“ Keadilan adalah suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak”.14

13 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar filsafat dan Teori hukum, PT. Cipta Aditya

Bakti, 2004, hlm. 79

14 Aristoteles mendekati masalah keadilan dari segi persamaan, hukum hendaknya menjaga

agar pembagian yang demikian senantiasa terjamin dan terlindungi dari perkosaan-perkosaan terhadap dirinya. Dalam hubungan ini ia membedakan antara:

 Keadilan distributif (yang mempersoalkan bagaimana negara atau masyarakat membagi-bagi sumber daya itu kepada orang-orang)

 Keadilan kolektif (yang menetapkan kriteria dalam melaksanakan hukum sehari-hari, kita harus mempunyai standar umum untuk memulihkan akibat tindakan yang dilakukan orang dalam hubungannya satu sama lain)

(6)

Dalam uraian tentang hakikat hukum kita telah melihat bahwa hukum berdasarkan kesamaan hakiki semua manusia sebagai manusia dan kesamaan semua warga negara sebagai warga negara. Hukum menjamin bahwa segenap anggota masyarakat diperlakukan menurut tolak ukur yang obyektif dan sama. Tolak ukur itu adalah hukum. Maka negara wajib bertindak menurut hukum. Tindakan yang tidak berdasarkan hukum selalu dan dengan sendirinya melanggar keadilan karena tidak lagi berdasarkan patokan obyektif yang sama bagi semua.

Mengutip pernyataan Huston Smith, tentang apa itu hukum dalam tulisannya Why Religion Matters; The Fate of The Human Spirit in an Age of Disbelief. Pertama, hukum merupakan keputusan penting yang selalu berubah dan memiliki keterkaitan dengan persoalan jiwa (rohani) manusia. Kedua, dikarenakan begitu beragamnya doktrin konstitusional sehingga perlunya perlindungan berbagai kepentingan maka oleh sebab itu hukum harus memiliki kemampuan untuk menyelesaikan problem baik kedalam (ilmu itu sendiri/teoritis) maupun keluar (praktik/pragmatis) dan dengan posisinya itu hukum menjadi wilayah yang bersifat terbuka dan peka, artinya hukum bukan semata-mata wilayah yang steril namun sebuah wilayah yang bersifat multi dan interdisipliner, sehingga perubahan yang terjadi harus bisa dicerna (dirasakan pengaruhnya) oleh hukum demikian pula sebaliknya15.

Hukum yang berkeadilan memang selayaknya menjadi kuasa atas negara, hukum negara yang kemudian diejawantahkan dalam bentuk kaidah-kaidah hukum positif berpretensi untuk merealisasikan cita-negara hukum, yaitu apa yang dipersepsikan dan dihayati sebagai hukum yang hidup dan dianut dalam suatu masyarakat tertentu, yang dalam garis besarnya berintikan keadilan, kepastian, ketertiban, prediktabilitas, dan sebagai alat kontrol sosial16.

Hukum dalam tataran implementasinya bercorak rigid dan responsive; hukum menjadi rigid ketika diposisikan sebagai sebuah sebuah norma yang agung dalam menjaga pranata ketertiban dan kepastian hukum di

15 Huston Smith dalam E. Sumaryono, Etik dan Hukum, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta,

2002, hlm. 56

(7)

masyarakat, namun disisi lain hukum juga harus mampu menjelma sebagai perwujudan dari cita-cita masyarakat disinilah dikedepankan hukum yang memiliki “rasa empati” terhadap rakyat (responsive). Ketegangan inilah yang sering menjadi paradox dari hukum yang cenderung menjadi sesuatu yang rigid dalam pelaksanaan negara karena lebih mengedepankan nilai kepastian hukum yang bercorak legalitas an sich semata, hal inilah yang menjadi trigger dari terpecahnya (dikotomi) konsep negara dengan masyarakat awam17. Semakin banyak keadilan dikorbankan atas nama logika kepastian

hukum dan alasan prosedural-formal, maka semakin lebar jarak antara hukum negara dengan sentimen awan tentang kebenaran. Akibatnya hukum kehidupan kehilangan kejernihannya, juga legitimasinya di mata kalangan masyarakat awam; masyarakat awam nantinya hanya akan mengenal hukum sebagai alat-alat ajaib yang digunakan oleh golongan terhormat (elit) tertentu.

Padahal paradigma dari hukum tersebut seharusnya lebih dapat bersifat dinamis dan “cair” guna melayani masyarakat dan mengakomodir kebutuhan masyarakat. Negara yang berdasarkan hukum merupakan “pelayan” dari masyarakat, bukannya minta dilayani oleh masyarakat. Negara harus tampil sebagai manipulator kehidupan sosial, karena karakter dan aktifitas negara dalam arti yang lebih dalam ditentukan oleh hubungan-hubungan kekuasaan antar kelompok di dalam masyarakat18. Dalam konteks

Indonesia, tegangan antara rigid-nya hukum dan responsive-nya hukum juga sering kali terjadi, maka implementasi hukum tidak dapat lain harus berusaha mewujudkan kompromi antara “sifat-sifat bawaan” hukum tersebut. Prof Mahfud dalam sebuah pernyataannya pernah berujar tentang pentingnya pemahaman bahwa Indonesia merupakan negara prismatika hukum, dimana ini merupakan konsep negara yang mengambil semua anasir-anasir yang baik dan relevan dari semua mazhab hukum di dunia. Esensi Kekuasaan dalam negara

(8)

Dalam sub judul ini penulis akan merangkaikan definisi dan korelasi antara kekuasan dengan negara, yang mana para sarjana politik sebagian besar beranggapan bahwa hakikat politik adalah kekuasaan dan disepakati pula bahwa proses politik tidak lain adalah serangkaian peristiwa yang hubungannya satu sama lain didasarkan atas kekuasaan. Joseph Roucek dalam pernyataannya “The central problem of politics is that of the disrelationships are power realtionships, actual or potential”.19

Sedangkan, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan pelaku20

Pernyataan diatas memiliki makna sosiologis namun realistis, mengingat bahwa manusia hidup dalam kesadarannya memiliki berbagai macam keinginan dan tujuan yang ingin diraihnya. Dalam konteks ini begitu juga dengan kekuasaan yang dimiliki oleh negara tidak hanya terbatas pada kehidupan antar manusia dibidang politik semata, tetapi juga dibidang hukum pun kekuasaan senantiasa bergandengan.

Lassalle, bahkan mengungkapkan sebuah pendapat bahwa Hukum dan Kekuasaan sejatinya adalah identik. Hukum negara (dalam konteks ini Konstitusi) merupakan sebuah konkritisasi dari hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu negara. Dalam perspektif kekuasaan, aturan-aturan hukum yang teruang dalam konstitusi negara merupakan sebuah deskripsi struktur kekuasaan yang terdapat dalam negara tersebut dan hubungan-hubungan kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara21.

Konsep kekuasaan dalam kingkup negara dapat lebih mudah dipahami lewat tulisan-tulisan Karl Marx dan Engles yang berpandangan bahwa hukum hanya sebagai derivasi belaka dari kekuatan infrastruktur ekonomi, yang digunakan sebagai sarana penindasan dan alat tipu muslihat dari kelas yang berkuasa22. Karl Marx menyalahkan hubungan-hubungan kelas dalam negara

19 Cheppy Hari Cahyono, Ilmu Politik dan perspektifnya, Triawacana, Yogyakarta, 1986, hlm.

186

20 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1982, hlm.10 21 Salman Luthan, Bahan Kuliah Filsafat Hukum, Program PascaSarjana UII, Yogyakarta,

hlm.16

(9)

yang membatasi kebebasan masyarakat, sebab mereka (masyarakat kecil/menengah) tidak dapat meningkat di atas kekuasaan borjuis, dan mereka (borjuis) meletakkan pembatasan-pembatasan atas apa yang dapat dicapai dengan hukum. Hanya dalam masyarakat non-kelas (egaliter) hukum dapat menjadi suatu alat dari kehendak bebas masyarakat dan dapat memberikan kekuasaan kepada semua orangmengenai kondisi dari kehidupannya23. Pendapat Marx diatas didukung oleh Thrasimachus dan

Gumplowicz yang mengungkapkan bahwa hukum sejatinya merupakan apa yang berfaedah bagi orang yang lebih kuat dan bersandar pada penaklukan terhadap yang lemah; hukum merupakan susunan definisi yang dibuat oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan kekuasaannya24.

Teori-teori diatas secara jelas menempatkan negara dan hukum dibawah bayang-bayang kekuasaan (baik politik maupun ekonomi) yang dipegang mutlak oleh sang penguasa. Sekilas nampak benar adanya dimana kekuasaan cenderung mengalienasi hukum negara dan keadilan, namun negara sebagai sebuah institusi penjamin keadilan juga memiliki kekuatan hukum baik yang bersifat artifisial; berupa penegakan hukum positif negara yang lahir dari konsep solidaritas mekanis, maupun dari kekuataan hukum otonom yang latern dalam masyarakat. Kekuatan dan semangat dari penegakan hukum dapat memaksa (represif) maupun melakukan pendekatan persuasif terhadap kekuasaan untuk dapat berjalan sesuai trek yang sudah disepakati oleh para pemimpin negara. Hal inilah yang disebut sebagai supremasi hukum (supreme of law), kekuasaan berada dibawah hukum, atau hukum berada di atas kekuasaan, dan hukumlah yang menentukan eksistensi dari kekuasaan.

Teori filsafat Marx tentang kekuasaan cenderung terlalu radikal dan naïf, hal ini ditentang keras oleh Habermas; beliau berpendapat bahwa hukum dapat menjadi sarana perekat keharmonisan sosial masyarakat majemuk. Syaratnya hukum harus dibentuk dalam komunikasi yang bebas

23 Jonathan Wolff, Mengapa masih relevan membaca MARX hari ini?, Mata Angin, Yogyakarta,

2002, hlm. 43

(10)

dengan melibatkan para subyek hukum. Hanya dengan cara ini setiap subyek hukum akan menyadari apa keuntungan yang akan ia miliki dan konsekwensi apa yang akan ia tanggung bila sebuah norma hukum diberlakukan25.

Teori komunikasinya Habermas menyatukan dan sekaligus mengatasi kelemahan teori Positivisme hukum, Marxis dan teori hukum Kodrat. Melalui teori komunikasi Habermas juga berhasil membedakan hukum dari kekuasaan. Kepatutan pada hukum yang dibentuk melalui praktek komunikasi merupakan tindakan rasional, dan bukan paksaan kekuasaan26.

Lewat teori Habermas dapat disimpulkan sebaiknya wujud kekuasaan menghindari dari keinginan-keinginan particulary, jika terus mengikutinya maka keinginan-keinginan itu senantiasa berwujud inkonstitusional, dan bahkan menimbulkan penderitaan bagi yang akan terkena dampaknya27. Hal

ini bukan berarti suatu penentangan terhadap demokratisasi dalam wujud yang heterogenitas, tetapi diperlukan adanya konsistensi dalam mempertahankan kekuasaan itu dalam koridor yang benar-benar konstitusional. Menghindari anggapan-anggapan bahwa bagian-bagian pendukung kekuasaan itu telah mengkeruhkan ruang hukum karena adanya niat-niat individual yang berkeinginan mencampurnya dengan ranah politik praktis semata.

Berhukum dengan benar demi tegaknya Keadilan

Apa yang telah dikemukakan diatas memberikan wacana bahwa kaidah hukum itu bukan hanya merupakan perintah atau bersifat larangan saja, melainkan juga mengandung nilai-nilai dan nalar tertentu (terutama nilai kekuasaan). Hakikat nilai dalam kaitannya dengan hukum dalam kajian filsafat hukum, menurut pendapat Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekamto bahwa para ahli filsafat didalam pekerjaannya mempelajari nilai-nilai yang diartikannya merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai hal-hal yang harus dianuti (dianggap baik), dan yang harus dihindari (dianggap

25 Donny Danardono, Telaah hukum Marxis, Habermasian dan Post-modernisme, Law,

Society, and Development, hlm.23

(11)

buruk). Ahli-ahli filsafat biasanya merenungkan tentang “nilai”, merumuskan tentang nilai-nilai dan juga menyerasikan nilai-nilai yang berpasangan, tetapi berbeda haluan. Oleh para ahli filsafat tersebut hukum diartikan sebagai jalinan nilai-nilai.28

Nalar dalam kaidah hukum terletak pada penilaian oleh masyarakat terhadap tingkah laku atau perilaku seorang dalam kehidupan sosial masyarakat. Sesungguhnya penilaian terhadap perilaku atau tingkah laku manusia tidaklah berdiri sendiri, melainkan juga merupakan bagian dari suatu ide yang lebih luas, yaitu kehidupan masyarakat yang teratur. Disinilah timbulnya ide, bahwa hukum sebagai sistem jaringan nilai-nilai pada hakikatnya membentuk tatanan masyarakat.

Menurut Zevenbergen bahwa diri hukum itu mengandung dua hal : I. Patokan penilaian, yaitu hukum menilai kehidupan masyarakat dengan

menyatakan apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik. Dari penilaian ini, kemudian melahirkan petunjuk tentang tingkah laku mana yang termasuk dalam kategori yang harus dijalankan dan yang harus ditinggalkan.

II. Patokan tingkah laku, yaitu kaidah hukum merupakan patokan semestinya diikuti dan ditaati sebagai suatu patokan dalam bertingkah laku untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, teratur dan adil. 29

Berdasarkan patokan diatas, maka hukum mengadung norma penilaian (preskriftif), karena hukum melakukan penilaian terhadap tingkah laku warga masyarakat dan penguasa dalam hubungan intekasinya, artinya hukum itu memiliki patokan-patokan yang digunakan untuk melakukan penilaian. Patokan sebagai hasil penilaian itulah yang memberikan dasar bagi hukum untuk melahirkan petunjuk-petunjuk tingkah laku bagi masyarakat dan penguasa. Dengan demikian semakin menunjukkan indikasi hukum sebagai sistem jalinan nilai-nilai memberikan penilaian terhadap perilaku orang melalui norma-normanya, dan menjadi tolak ukur dalam bermasyarakat. Hal

28 Purnadi Purwacaraka, Ikhtisar Anatomi: Aliran Filsafat sebagai landasan Filsafat hukum,

CV.Rajawali. Jakarta, 1987, hlm.13

(12)

ini akan mendorong hukum untuk bergerak dan bekerja atas kekuatan sendiri.

Inti penilaian itu sendiri bukan hanya dari berbagai penilaian, melainkan juga satu kesatuan yang disebut sistem penilaian. Disinilah nanti hukum sebagai sistem jalinan nilai-nilai akan menunjukkan bahwa betapa eratnya hubungan antara sub sistem sosial, (tempat hukum berlaku) dengan sub sistem budaya dan nilai-nilai lainnya.

Hukum dimaknai sebagai salah satu dari sistem kontrol di masyarakat. Tidak hanya berfungsi sebagai kaidah-kaidah hukum an sich, namun dalam prakteknya juga harus di mobilisasi ke dalam jiwa masyarakat. Tidak dapat dinafikan memang bahwa hukum dimulai dari rangkaian kaidah-kaidah yang bersifat normatif dan memiliki sifat memaksa, tetapi suatu kaidah hukum itu tidak langsung diterapkan begitu saja. Ia perlu dimusyawarahkan (overleg) lebih dulu agar mencapai hasil yang baik30. Hukum yang dijalankan dengan

mekanisme musyawarah (overleg) jelas lebih ber-nurani dan mencitrakan keadilan bagi manusia.

Relasi Ideal Hukum dengan Kekuasaan

Sejak awal fase kehidupan manusia di bumi ini, mereka selalu berkelompok dengan sesamanya, dan sejak adanya kehidupan sosial itulah maka manusia menundukkan diri terhadap yang namanya kekuasaan. Kekuasaan disini berupa yang dapat mengusahakan dan menyelenggarakan kepentingan-kepentingan serta tujuan-tujuan bersama.

Kekuasaan supaya mantap, memerlukan legitimasi, antara lain legitimasi etis, etika politik menuntut agar kekuasaan sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas), disahkan secara demokratis (legitimasi demokratis), dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar moral (legitimasi moral). Ketiga tuntutan tersebut dapat disebut legitimasi normatif atau etis karena berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan hanya sah secara etis apabila sesuai dengan tuntutan tadi. Dalam kenyataannya, orang yang memiliki pengaruh politik atau keagamaan dapat lebih berkuasa daripada yang berwenang atau yang memiliki kekuatan fisik (senjata). Kekayaan

(13)

(uang) atau kekuatan ekonomi lainnya juga merupakan sumber-sumber kekuasaan yang penting sedangkan dalam keadaan tertentu, kejujuran, moral yang tinggi dan pengetahuanpun tidak dapat diabaikan sebagai sumber-sumber kekuasaan.31

Maksud dari legitimasi demokrasi disini adalah tuntutan agar penggunaan kekuasaan harus berdasarkan persetujuan dasar para warga negara dan senantiasa berada di bawah kontrol masyarakat. Hal ini mengandung tuntutan agar kekuasaan negara dijalankan berdasarkan dan dalam batas-batas hukum, Jadi dalam negara hukum merupakan satu prasyarat agar negara dapat betul-betul bersifat demokratis.

Apabila legalitas kekuasaan diperoleh secara konstitusional dan dipergunakan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, maka hukum memiliki wewenang tertinggi dan penguasa berada dibawah hukum, sehingga akan terbina hubungan yang berkeadilan antara hukum, penguasa dan masyarakat. Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor penting dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya itu sesuai dengan kehendak masyarakat. Artinya hukum harus menjaga kekuasaan agar tidak merusak sifat dasar harkat dan martabat manusia32

Kemampuan hukum dalam menjaga kekuasaan ini didukung terutama oleh kenyataan bahwa hukum merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan.

Jika penguasa/pemerintah memiliki kesadaran akan makna hukum dan hakikat tentang hukum, maka kekuasaan tersebut akan menjadi sumber keadilan, kedamaian, kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah, yang merupakan juga tujuan dari hukum33.

Dengan demikian idealnya, kekuasaan (power) itu bersumber pada wewenang formal yang memberikan wewenang atau kekuasaan kepada seseorang atau lembaga tertentu. Ini berarti kekuasaan tersebut bersumber pada hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pemberian

31 Muchtar Kusumatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam pembangunan nasional,

Bina Cipta, Bandung, hlm. 6 -7

32 Lili Rasjidi, Op.cit, hlm.56

(14)

wewenang tadi. Seperti dijelaskan diatas sebabnya suatu kekuasaan perlu diberikan batasan adalah karena suatu kekuasaan tersebut, juga termasuk kekuasaan pemerintah negara selalu diselenggarakan oleh manusia tanpa kecuali, dan sudah barang tentu sebagai manusia ia mengidap banyak kelemahan, karena itu kekuasaan dimanapun memiliki kecenderungan untuk disalahgunakan (absolute power tends to corrupt), disinilah diperlukan hukum untuk memberikan pembatasan terhadap kekuasaan.

Hukum sebagai sistem jalinan nilai keadilan, moralitas dan kebenaran, melahirkan petunjuk mengenai tingkah laku, mana yang termasuk dalam kategori yang harus dijalankan dan yang harus di tinggalkan oleh para penguasa, sehingga dengan adanya hukum maka akan tercipta tatanan kekuasan negara yang terkendali dan dapat dikontrol setiap saat.

Salah satu pembatasan kekuasaan dalam suatu negara, biasanya ialah melalui konstitusi sebagai sumber-sumber formalnya, atau dinamakan juga sebagai undang-undang dasar, yang dirumuskan dalam bentuk tertulis. Ia mengandung berbagai hal yang berkenaan dengan aspek-aspek kehidupan ketatanegaraan yang bersifat fundamental. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 berlaku sebagai konstitusi Indonesia,walau harus jujur diakui bahwa UUD 1945 (sebelum amandemen), secara substansial masih sangat jauh dari “sempurna”. UUD 1945 adalah konstitusi yang relatif kolusif; konstitusi tanpa konstitusionalisme34. UUD 1945 tidak layak disebut sebagai konstitusi karena

tidak memiliki “dinding pembatas” untuk menahan syahwat korup penguasa negara. Konstitusi yang baik pastinya merupakan dokumen negara yang berisi dengan nilai-nilai falsafah negara, cita-cita, tujuan dan sebagai alat kontrol kekuasaan (asas konstitusionalisme). Sewajibnya, konstitusi memiliki dua unsur penting, yaitu: (1) berisi prinsip-prinsip saling-kontrol-saling imbang (check and balance system), (2) berisi prinsip-prinsip perlindungan Hak Asasi manusia35.

Lewat deskripsi singkat diatas dapat disimpulkan bahwa pertalian hukum dengan negara (kekuasaan) demikian eratnya layaknya ikan dengan

(15)

air. Dimana antara keduannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain dikarenakan adanya hubungan inter-dependensi antara keduanya. Tugas mulia seorang jurist adalah untuk mengharmonisasikan hubungan antara keduanya, sehingga akan tercipta jalinan harmonis antara hukum dan kekuasaan. Dimana hukum yang berperan sebagai Panglima.

Kesimpulan

Hukum dalam kompleksitas negara memiliki banyak tujuan dari dirinya. Tidak hanya sebagai alat pengatur masyarakat, namun juga sebagai pemberi rasa kepastian hukum, kemanfaatan bagi masyarakat dan yang terutama sebagai tonggak pedang keadilan bagi masyarakat. Nilai keadilan sebagaimana penulis uraikan di atas merupakan tujuan negara yang utama, hukum tanpa keadilan adalah sebuah kemandulan hukum, hukum tidak hanya dapat ditegakkan dengan aturan-aturan rigid semata, namun hukum bersemai dalam jiwa masyarakat yang secara harmoni menyatu dengan adat, kebiasaan masyarakat tersebut.

Hukum sebagai jalinan nilai keadilan pada hakikatnya membentuk tatanan masyarakat. Karena hukum melakukan penilaian terhadap tingkah laku para warga masyarkat dalam hubungan sosialnya, artinya hukum itu memiliki patokan-patokan yang digunakan untuk melakukan penilaian. Patokan sebagai hasil penilaian itulah yang memberikan dasar bagi hukum untuk melahirkan petunjuk-petunjuk tingkah laku.

Hukum pada hakikatnya merupakan sistem kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara yang bertolak belakang dari masalah-masalah konflik sosial di lingkup masyarakat (grassroot). Kehadiran hukum dalam masyarakat diantaranya ialah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat atau setidak-tidaknya menekan benturan-benturan kepentingan tersebut menjadi sekecil mungkin

(16)

kepada kekuasaan agar tetap terkendali dan tidak sewenang-wenang, karena hukum sebagai jalinan nilai-nilai disini akan melahirkan petunjuk mengenai tingkah laku yang mana harus dijalankan dan tingkah laku mana yang harus ditinggalkan oleh para penguasa. Kekuasaan wajib tunduk kepada nilai keadilan dalam hukum negara, karena hanya negara yang memberikan rasa keadilanlah yang pantas disebut sebagai negara hukum.

Semoga para intelektual-intelektual muda, aktifis-aktifis revolusioner, birokrat-birokrat reformis, dan para legislator-legislator humanis di Indonesia, tidak akan pernah merasa lelah dan putus asa untuk menegakkan negara hukum dan keadilan. Tegakkan keadilan walaupun bumi bergetar dan langit runtuh!

DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta, 1982. Cahyono, Cheppy Hari, Ilmu Politik dan perspektifnya, Triawacana, Yogyakarta, 1986.

Danardono, Donny, Telaah hukum Marxis, Habermasian dan Post-modernisme, Law, Society, and Development,Volume II, 2007.

Fromm, Erich, Konsep Manusia menurut Marx, Pustaka Pelajar, 2001. Haryarmoko, Etika Politik dan Keuasaan, Kompas, Jakarta, 2003. Himawan, Charles, Hukum sebagai Panglima, Kompas, Jakarta, 2006. Indrayana, Denny, Negara antara ada dan tiada, Kompas, Jakarta, 2006. Kusumatmadja, Muchtar, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam

pembangunan nasional, Bina Cipta, Bandung, 1989.

Luthan, Salman, Bahan Hukum Filsafat Hukum, Program PascaSarjana UII, Yogyakarta, 2008.

Mahfud MD, Moh, Bahan kuliah Politik Hukum, Program PascaSarjana UII, Yogyakarta, 2008.

Poespoprodjo.W, Filsafat moral kesusilaan dan teori dan praktek, Remadja karya, Bandung, 1986.

Purwacaraka, Purnadi, Ikhtisar Anatomi: Aliran Filsafat sebagai landasan Filsafat Hukum, CV.Rajawali. Jakarta, 1987.

Rahardjo, Sajipto, Membedah hukum prograsif, Kompas, 2008. Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum. CV. Rajawali. Jakarta,1982.

(17)

Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar filsafat dan Teori hukum, PT. Cipta Aditya Bakti, 2004.

Sumaryono.E, Etik dan Hukum, Pustaka Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 2002. Sidharta, B. Arief, Struktur Ilmu hukum Indonesia, FH UNPAR, Bandung, 2008. Unger, Roberto M, Teori hukum kritis, Nusa Media, 2007.

Ujan, Andre Ata, Filsafat hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2009.

Referensi

Dokumen terkait

asam sulfat menunjukkan aktivitas katalis pada reaksi trans-esterifikasi minyak sawit dan etanol (2) Katalis gula-H 2 SO 4 menghasilkan etil ester dengan massa.. jenis

Peningkatan Pengawasan Peredaran barang dan jasa Peningkatan penyelenggaraan perlindungan 50 jenis Terlaksananya pengawasan barang dan jasa 500 pelaku pelaku usaha dan konsumen

2) KK. Barito Equator tidak melakukan pencegahan terhadap resiko pelanggaran secara dini, mengingat saat melihat kapal lain yang memotong di sisi kanan haluan

DIKLAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SERTIFIKASI JP2UPD 08 2005 360 S-1 IAIN RADEN PATAH PALEMBANG MAGISTER MANAJEMEN STIE NEGARA BELITANG OKU SUMSEL 1992 2014 S-1 S-2 48 THN DARI

Metode Bisho p’s menganggap bahwa gaya -gaya yang bekerja pada sisi irisan mempunyai resultan nol pada arah vertical dan Persamaan kuat geser dalam tinjauan

Setelah intervensi latihan fisik diperoleh p = 0.198, yang berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kemampuan kognitif kelompok perlakuan dan kontrol

Sebaliknya, proses pembelajaran ekonomi yang aktif sangat diharapkan akan dapat meningkatkan kreativitas sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi dan daya ingat

Dari hasil yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa Spirulina dapat digunakan sebagai immunostimulator, yang dapat membentuk/meningkatkan atau merangsang timbulnya