• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Nilai Interleukin-6 Setelah Pemberian Ringer Asetat Malat dan Ringer Laktat untuk EGDT Pasien Sepsis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbandingan Nilai Interleukin-6 Setelah Pemberian Ringer Asetat Malat dan Ringer Laktat untuk EGDT Pasien Sepsis"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sepsis 2.1.1. Defenisi

Sepsis didefinisikan sebagai adanya (suspek atau terbukti) infeksi bersama-sama dengan manifestasi dari infeksi sistemik. Sepsis yang berat didefinisikan sebagai sepsis plus, sepsis yang menginduksi disfungsi organ atau hipoperfusi jaringan (Dellinger et al. 2008; Crit Care Med 2013).

Sepsis merupakan keadaan disfungsi organ yang mengancam jiwa dimana terjadi disregulasi respon tubuh terhadap infeksi. Secara klinis dapat di jabarkan bahwa disfungsi organ terdapat peningkatan skor sequential organ failure assesment (SOFA) > 2 poin atau lebih yang berhubungan dengan peningkatan resiko kematian dirumah sakit >10% (Singer M, 2016).

2.1.2. Kriteria Sepsis

Menurut European Society of Intensive Care Medicine’s dan The Society of Critical Care Medicine’s pada tahun 2016, ditetapkan kriteria sepsis yang terdapat pada tabel dibawah ini.

(2)

Tabel 2.1 (Lanjutan)

Sepsis berat Sepsis + Disfungsi organ Laktat > 2 mmol/L

(3)

akibat berkembangnya sepsis pada pasien AIDS. Meluasnya penggunaan obat antimikroba, obat imunosupresif, pemakaian kateter jangka panjang dan ventilasi mekanik juga berperan.Infeksi bakteri invasif adalah penyebab kematian yang paling sering di seluruh dunia, terutama pada kalangan anak-anak (Munford, 2008).

Setiap tahunnya sekitar 750.000 kasus sepsis berlanjut menjadi sepsis berat atau syok septik di Amerika Serikat. Sepsis dapat menyebabkan kematian akibat miokard akut infark, syok septik dan komplikasi sepsis yang paling umum terjadi merupakan penyebab kematian di unit perawatan intensif (UPI) noncoronary. Terjadinya syok septik akan meningkat jika dokter melakukan tindakan operasi yang lebih agresif, organisme yang ada semakin resisten, dan penurunan daya tahan tubuh akibat penyakit dan penggunaan obat imunosupresan. Distrubusi sepsis proporsional atau sebanding menurut jenis kelamin (Widodo, 2004). Studi terbaru menunjukkan bahwa Amerika Afrika memiliki insiden yang lebih tinggi dari sepsis berat dibandingkan kulit putih (6 banding 3,6 per 1000 penduduk) dan angka kematian yang tinggi di UPI (32.1%) (Russell, 2012). 2.1.4 Patofisiologi Sepsis

2.1.4.1 Pengenalan Penjamu Terhadap Komponen Mikrobial

(4)

juga berperanan dalam aktivasi oleh komponen-komponen dinding sel gram positif, seperti peptidoglikan, memerantarai apoptosis makrofag dan penting dalam transfer LPS antara protein-protein serum yang mempunyai kemampuan mengikat LPS seperti LBP dan lipoprotein serum. (Hoffman.2003;Roberts HR 2006)

Meskipun penemuan CD14 mewakili suatu langkah ke depan signifikan dalam memahami respons pejamu terhadap LPS, fakta bahwa mCD14 tidak mempunyai ekor intraselular berarti bahwa masih belum jelas bagaimana ligasi kompleks LPS-LBP dapat menyebabkan aktivasi selular. Ketidakpastian ini dipecahkan dengan penemuan sekelompok reseptor serupa yaitu TLR.

(5)

Gambar 2.1 Lipopolisakarida, komponen dinding sel bakteri gram negatif dikenali oleh TLR4 dan CD14 pada permukaan sel imun. Hal ini akan mengaktivasi kaskade intraselular, yang menghasilkan aktivasi gen-gen dependen NFκB.

2.1.4.2 Amplifikasi Awal

Setelah terjadi interaksi awal antara pejamu dan mikroba, terjadi aktivasi respons imun alami luas yang mengkoordinasikan respons pertahanan, baik komponen humoral maupun selular. Sel-sel mononuklear melepaskan sitokin-sitokin pro-inflamasi klasik seperti IL-1, IL-6 dan TNFα, namun juga beberapa sitokin lainnya seperti IL-12, IL-15 dan IL-18 serta juga beberapa molekul- molekul kecil dilepaskan. TNFα dan IL-1 merupakan sitokin inflamasi prototipik yang memerantarai banyak fitur imunopatologis dari renjatan karena LPS. Sitokin-sitokin ini dilepaskan pada 30-90 menit setelah paparan terhadap LPS, mengaktifkan kaskade inflamasi derajat dua termasuk sitokin, mediator lipid dan spesies oksigen reaktif serta juga meningkatkan produksi molekul-molekul adhesi sel, yang kemudian menginisiasi migrasi sel inflamatorik ke dalam jaringan. (Hoffman M, 2003; Smith SA 2009)

(6)
(7)

Gambar 2.2Mekanisme Utama yang Menghubungkan Stres Oksidatif pada MSOF selama sepsis. (Salvemini, dkk 2002)

2.1.4.3 Respon Umpan Balik Inflamatorik

(8)

molekul-molekul adhesi dan pelepasan prostanoid serta faktor aktivasi trombosit (PAF-platelet activating factors). (Oliver JAet al 1999; Knoeb lP 2010)

Sisi lain dari regulasi menurun sistem imunitas yang timbul pada sepsis adalah timbulnya apoptosis limfosit; beberapa analisis otopsi jaringan telah menunjukkan adanya deplesi selektif limfosit B dan CD4+. Proses ini dan akibat fungsionalnya dipandang sebagai bagian dari keadaan imunosupresi yang lebih luas, dikarakteristikkan dengan hiporesponsif sel T dan anergi, yang timbul pada sebagian besar pasien sepsis dan dipandang sebagai respons keseimbangan (dan terkadang respons berlebihan) terhadap keadaan proinflamasi awal. Oleh karena respons berlebihan ini beberapa peneliti memandang respons inflamasi umpan balik sebagai penyebab perhatahan pejamu yang inadekuat terhadap infeksi dan merupakan sebagai mediator potensial sepsis serta kegagalan organ progresif. Beberapa peneliti telah berusaha membuktikan pendapat bahwa pembalikan keadaan imunosupresif ini mungkin mempunyai peranan terapeutik. (Bone rc et al, 1997; Nystrom PO,1998; spapen,2008)

2.1.5 Peran Sitokin IL-6 dalam Jalur Inflamasi

(9)

antiinflamasi. Sitokin inflamasi termasuk didalamnya IL-1, 2,6,7 dan TNF. Sitokin antiinflamasi termasuk IL-2, IL-10, IL-13, dan TGFβ (Oliveira et al, 2011).

Klasifikasi sitokin tidak mungkin dilakukan berdasarkan sel biologisnya atau fungsi biologisnya, sitokin dikelompokkan sebagai IL (diurutkan dari IL-1 sampai IL-35), TNF, kemokin (sitokin kemostatik), interferon (IFN) dan mesenchymal growth factors (Oliviera et al, 2011).

Beberapa peneliti beranggapan bahwa ekspresi sitokin proinflamasi berhubungan dengan aktivasi nuclear factor-kB (NF-kB). Jalur sinyal transduksi NF-kB ini akan memediasi ekspresi beberapa gen yang berperan dalam proses inflamasi dan imun, termasuk IL-1, IL-6, IL-8, TNF-α, dynorfin, dan lain-lain (Jun-Hua et al, 2006).

(10)

Sitokin proinflamasi ini berperan dalam maturitas dan aktifitas netrofil, maturitas makrofag, dan diferensiasi sitotoksik limfosit T dan natural killer cells. Selain itu juga mengaktifasi astrosit dan mikroglia (Oliviera et al, 2011).

Interleukin-1β dan TNF-α adalah sitokin pertama yang terbentuk setelah kerusakan jaringan atau infeksi, pengaruh langsung pada reseptor spesifik pada neuron sensoris menyebabkan terbentuknya suatu kaskade terkait sitokin lain, kemokin, prostanoid, nurotropin, NO, kinin, lipid, adenosin triphosphat (ATP) dan jalur komplemen lain, yang nantinya elemen-elemen ini yang nantinya akan menyebabkan proliferasi sel glia, hipertrofi pada sistem saraf pusat dan pelepasan sitokin proinflamasi TNF-α, IL-1β, dan IL-6 yang membentuk suatu kompleks aktivasi independen (Oliviera et al, 2011).

Inflamasi perifer menyebabkan aktifasi jalur otak ke spinal cord, yang menuju hiperalgesia, hal ini tergantung dari aktifasi mikroglia dan astrosit di spinal cord. Secara anatomi astrosit dan mikroglia jelas diaktifasi oleh inflamasi perifer, hal ini terbukti dengan meningkatnya ekspresi dari aktifasi glia-spesific marker. Pelepasan sitokin IL-6 diduga terlibat dalam aktifasi mikroglia ini (Jun-Hua et al, 2006).

(11)

mengaktifasi kadar cAMP selanjutnya akan mengaktifasi NF-κβ dan akan meningkatkan sintesis IL-6 (gambar 2) (Jun-Hua et al, 2006).

Gambar 2.3 Perbandingan waktu dan kepekatan prokalsitonin disbanding dengan beberapa penanda sepsis lain. (Buchori, 2006)

PCT diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non-bakteri (virus) dan penyakit autoimun tidak menginduksi PCT. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam setelah rangsangan, puncaknya setelah 12 sampai 48 jam dan secara perlahan menurun dalam 48 sampai 72 jam, sedangkan CRP tidak terdapat dalam 6 jam, seperti terlihat pada Gambar 2.3 diatas (Buchori, 2006).

Pada keadaan normal kadar PCT meningkat pada kasus septikemia, meningitis, pneumonia dan infeksi saluran kemih dan sangat sensitif sebagai penanda infaksi bakteri. Pelepasan prokalsitonin ke dalam sirkulasi dalam kepekatan besar dalam berbagai keadaan penyakit tidak disertai dengan peningkatan kadar calcitonin secara bermakna (Sastre JBL, 2007).

(12)

(monitoring) dari terapi pada semua infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Peningkatan nilai PCT atau nilai yang tetap konsisten tinggi menunjukkan aktivitas penyakit yang berkelanjutan. Penurunan nilai PCT menunjukkan menurunnya reaksi inflamasi dan terjadi penyembuhan infeksi. (Buchori, 2006) 2.1.6 Peranan Cairan terhadap Faktor Inflamasi

HES merupakan jenis cairan koloid yang digunakan secara luas untuk resusitasi cairan di ruang perawatan intensif. HES memiliki keuntungan dalam meminimalisir volume resusitasi dan potensial untuk mempertahankan volume intravascular untuk waktu yang panjang. Didapati hasil dari penelitian Chen, dkk bahwa resusitasi cairan dengan HES pada fase awal SAP dapat merubah prognosis menjadi lebih baik. Sebagai tambahan juga, resusitasi dengan HES dapat mengurangi SIRS dengan cara penurunan regulasi dari sitokin pro-inflamatorik. Selain itu juga Feng, dkk melaporkan bahwa HES menghambat aktivasi dari nuclear factor-kB dan migrasi serta adhesi neutrofil. (Chen, dkk 2016)

(13)

Menurut Tian, dkk tahun 2003, bahwa HES dapat mensupresi aktivasi NF-kB yang diinduksi oleh LPS pada sel mononuclear darah perifer dan neutrofil, menghambat peningkatan konsentrasi plasma dari TNF-α dan CINC, mensupresi peningkatan ekspresi dari CD11b dari neutrofil, dan mereduksi sekuestrasi dari neutrofil di paru-paru, jantung, dan hati. Kebanyakan dari efek HES yang ditemukan pada konsentrasi 3.75 dan 7.5 ml/kg, tetapi tidak dijumpai pada konsentrasi 15 dan 30 ml/kg. Hasil ini mengarahkan pada efek anti-inflamatorik dari HES yang bukan merupakan dosis-dependant. ( Tian, dkk 2003).

2.1.7 Diagnosis

Tindakan tes diagnostik pada pasien dengan sindrom sepsis atau dicurigai sindrom sepsis memiliki dua tujuan. Tes diagnostik digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan lokasi infeksi dan juga menentukan tingkat keparahan infeksi untuk membantu dalam memfokuskan terapi (Shapiro et.al,2010).

Bila pasien mengalami penurunan kesadaran, sebelum evaluasi diagnostik dimulai lakukan penilaian awal dari pasien yang sakit perhatikan jalan nafas (perlu untuk intubasi), pernapasan (laju pernafasan, gangguan pernapasan, denyut nadi), sirkulasi (denyut jantung, tekanan darah, tekanan vena jugularis, perfusi kulit), dan inisiasi cepat resusitasi.(Russell, 2012).

(14)

Menurut panduan SSC 2016, penegakan diagnosis sepsis berdasarkan skoring qSOFA (Sequential Organ Failure Assessment) yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.2 Tabel skoring qSOFA

2.1.8 Peranan Biomarker

Melihat sulitnya diagnosis sepsis dan pentingnya pengenalan dini supaya dapat diberikan terapi secara dini pula, maka perlu suatu biomarker untuk mendeteksi sepsis secara dini. Biomarker ideal untuk infeksi harus sensitif bahkan pada pasien tanpa respon imun, dan harus spesifik, yaitu bisa membedakan infeksi atau non infeksi, dapat diukur secara cepat dan mudah serta mempunyai nilai prognostik. Biomarker yang potensial antara lain protein fase akut seperti CRP atau PCT, sitokin seperti IL-6, IL-8, IL-10 dan kadar endotoksin, gelombang bifasik aPTT. Sayangnya biomarker tersebut tak memenuhi kriteria ideal sehingga, disarankan untuk menggunakan kombinasi dari biomarker.

(15)

Pada pasien sepsis juga dilakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis. Pada tabel dibawah dijelaskan hal-hal yang menjadi indikator laboratorium pada penderita sepsis.

Tabel 2.3 Indikator Laboratorium Penderita Sepsis (oliver et al, 1999)

Pemeriksaan

Laboratorium Temuan Uraian

Hitung

leukosit Leukositosis atau leukopenia Endotoxemia menyebabkan leukopenia

Hitung

trombosit Trombositosis atau trombositopenia Peningkatan jumlahnya diawal menunjukkan respon fase akut; penurunan

jumlah trombosit menunjukkan DIC Kaskade

koagulasi Defisiensi protein c; Defisiensi antitrombin; peningkatan D-dimer; pemanjangan PT dan PTT

Abnormalitas dapat diamati sebelum kegagalan organ dan tanpa pendarahan

Kreatinin Peningkatan kreatinin Indikasi gagal ginjal akut

Asam laktat As.laktat>4mmol/L(36mg/dl) Hipoksia jaringan

Enzim hati Peningkatan alkaline

phosphatase, AST, ALT, bilirubin

Gagal hepatoselular akut disebabkan hipoperfusi

Serum fosfat Hipofosfatemia Berhubungan dengan level

cytokin proinflammatory C-reaktif

protein (CRP) Meningkat Respon fase akut

Procalcitonin Meningkat Membedakan SIRS dengan

atau tanpa infeksi

(16)

penanda ini akan menyediakan pemeriksaan klinis yang dapat membantu mendiagnosis dan menatalaksana keseluruhan spektrum sepsis. (Watson, 2003)

Beberapa sistem skoring telah dikembangkan untuk menentukan keberatan penyakit di rawat intensif dan memerkirakan risiko kematian pada populasi pasien-pasien kritis ini. Sistem ini termasuk the Acute Physiology and Chronic Health Score (APACHE) II dan III, Simplified Acute Physiology Score (SAPS), Sepsis-related Organ Failure Asssesment score (SOFA), Multiple Organ Dysfunction Score, Logistic Organ Dysfunction Score dan Mortality Probability Score. Saat ini akan dibahas salah satu sistem yang telah dikembangkan dan terbukti sahih serta dapat diandalkan untuk memprediksi mortalitas dan derajat keberatan penyakit pada sepsis, yakni sistem skoring SOFA. (Ferreira, 2001)

Dalam penggunaan SOFA untuk memprediksi hasil akhir, kemampuan untuk melakukan SOFA serial memungkinkan suatu representasi yang lebih efektif mengenai dinamika penyakit termasuk efek terapi yang diberikan, apabila dibandingkan dengan model prediksi tradisional pada saat awal rawat intensif. Meskipun beberapa peneliti menggunaan skor APACHE II selama beberapa waktu, proses ini belum pernah divalidasi.(Ferreira, 2001).

(17)

Skor SOFA merupakan alat yang berguna untuk menstratifikasi dan membandingkan pasien pada studi-studi klinis. Sebelum ini menunjukkan bahwa SOFA awal dapat digunakan untuk mengkuantifikasi derajat kerusakan atau kegagalan jaringan yang timbul pada awal rawat inap, mendemonstrasikan derajat disfungsi atau kegagalan yang mungkin terjadi pada saat perawatan dan juga skor SOFA total maksimum dapat mewakili disfungsi organ kumulatif yang dialami pasien. Mereka juga menunjukkan adanya korelasi kuat diantara semua parameter ini dengan hasil akhir mortalitas pasien. (Moreno et al 2007)

Skoring SOFA harus digunakan untuk menggambarkan respons pasien terhadap terapi strategi dan memungkinkan klinis untuk memantau kemajuan harian dan memberikan evaluasi obyektif mengenai respons pengobatan. Sebagai contoh, pengetahuan mengenai skor SOFA pada beberapa waktu dapat memfasilitasi pembuatan keputusan terkait pemberian dukungan organ. Pengetahuan bahwa skoring SOFA yang menurun dikaitan dengan perbaikan hasil akhir maka harus dilakukan terapi agresif, yang dapat menurunkan mortalitas. Penelitian lain menunjukkan bahwa terjadinya kegagalan organ dapat timbul pada awal rawat intensif, dan suatu sistem skoring yang memungkinkan pemantauan fungsi organ secara rutin sangat diperlukan. Kecenderungan skor SOFA selama 48 jam pertama rawat intensif dapat memberikan suatu sistem seperti di atas dan merupakan suatu indikator hasil akhir yang sensitif, sebagaimana fakta bahwa adanya penurunan nilai dikaitkan dengan penurunan mortalitas dari 50% menjadi 27% (Ferreira, 2001 ; minne, 2008).

(18)

dengan variabel turunan SOFA lainnya. Hal ini oleh karena pasien dengan disfungsi organ terbatas dan lama rawat intensif panjang tetap memiliki kemungkinan tinggi untuk bertahan hidup. Sebagai kesimpulan, evaluasi skoring SOFA selama rawat ICU merupakan suatu indikator prognostik yang baik (terutama skor SOFA rerata dan puncak). Nilai awal independen, peningkatan skor SOFA selama 48 jam pertama rawat intensif dapat memprediksikan laju mortalitas sebesar 50%. (Ferreira, 2001 ; minne, 2008)

2.1.9 Terapi

2.1.9.1 Resusitasi Cairan pada Sepsis (Volume Cairan Resusitasi)

Target pertama EGDT (early goal directed therapy) pada kasus sepsis adalah pemulihan volume intravaskular pasien. Terapi cairan intravena harus dimulai dengan bolus 500 cc secara cepat dan berulang baik cairan kristaloid ataupun koloid sampai tercapai volume cairan resusitasi 20-40 cc/kgBB, sehingga mencapai CVP 8-12 mmHg . (Wheeler, 2007)

Meta-analisis untuk penelitian resusitasi sepsis telah mengindikasikan bahwa intervensi dini, yang timbul sebelum terjadinya disfungsi organ memberikan hasil yang lebih baik. Penelitian baru melibatkan pasien gawat darurat dengan sepsis berat atau syok sepsis untuk membandingkan resusitasi hemodinamik sampai parameter fisiologik dengan terapi dini berdasarkan target EGDT menunjukkan adanya reduksi mortalitas yang signifikan secara statistik (16,5%). (Balk, 2004)

(19)

gawat darurat. Strategi ini mentargetkan tercapainya hantaran oksigen adekuat dengan optimalisasi volume intravaskular (preload) dengan pemantauan tekanan vena sentral (CVP – central venous pressure), tekanan darah (afterload) dengan pemantauan tekanan arterial rerata (mean arterial pressure – MAP), kontraktilitas dengan pemantauan untuk menghindari takikardia dan pemulihan keseimbangan antara hantaran oksigen sistemik dan kebutuhan oksigen (dipandu dengan pengukuran SCVO2) untuk mengatasi hipoksia jaringan global. Komponen-komponen EGDT diturunkan dari rekomendasi yang dibuat oleh Society of Critical Care Medicine untuk dukungan hemodinamik pada sepsis. (Wheeler, 2007)

(20)

merupakan faktor prognostik perlunya resusitasi cairan, sehingga cukup prediktif digunakan sebagai alat untuk menilai adekuatnya terapi cairan yang diberikan pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik. (Dellinger RP, 2008).

Tabel 2.5 Surviving Sepsis Campaign(Dellinger RP, 2008)

2.1.9.2 Cairan Resusitasi

Secara umum, cairan isotonis cukup efektif, aman, dan efektif dibandingkan dengan koloid, sehingga disarankan sebagai cairan lini pertama pada resusitasi. Penelitian di India yang dilakukan oleh Upadhyay tahun 2005 dijumpai tidak adanya perbedaan outcome pasien syok septik yang diresusitasi dengan cairan kristaloid dibandingkan dengan koloid.

(21)

2.1.9.3 Ringer Laktat

Ringer laktat adalah cairan yang isotonis didalam darah yang merupakan cairan pengganti, ini tergolong larutan kristaloid. Pada umumnya digunakan untuk luka bakar, syok, dan cairan preload pada operasi. Cairan ini memiliki komposisi elektrolit mirip dengan plasma. Satu liter cairan ringer laktat memiliki kandungan 130 mEq ion natrium setara dengan 131 mmol/L, 111 mEq ion klorida setara dengan 109 mmol/L, 28 mq laktat setara dengan 29 mmol/L, 4 mEq ion kalium setara dengan 4 mmol/L, 3 mEq ion kalsium setara dengan 1,5 mmol/L. Anion laktat yang terdapat dalam ringer laktat akan dimetabolisme di hati dan diubah menjadi bikarbonat untuk mengkoreksi keadaan asidosis, sehingga ringer laktat baik untuk mengkoreksi asidosis. Laktat dalam ringer laktat sebagian besar dimetabolisme melalui proses glukoneogenesis. Setiap satu mol laktat akan menghasilkan satu mol bikarbonat. (B Braun,2013).

(22)

2.1.9.4 Ringer Asetat Malat

Saat ini berbagai penelitian tentang cairan pengganti dilakukan untuk menemukan cairan yang paling tepat. Cairan pengganti yang diberikan pada pasien harus memiliki kadar elektrolit yang mendekati kadar elektrolit plasma untuk mencegah terjadinya gangguan elektrolit dan gangguan metabolisme. Ringer asetat malat berbeda dengan ringer laktat. Cairan ini mengandung anion asetat dan malat yang dapat dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat. Asetat dan malat akan dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat, satu mol asetat akan diubah menjadi satu mol bikarbonat sedangkan satu mol malat akan dirubah menjadi dua mol bikarbonat. Malat bekerja dalam waktu lebih lama dibandingkan asetat, oleh karena itu kombinasi asetat dan malat merupakan pilihan yang baik dalam suatu cairan. B.Braun mengatakan bahwa ringer asetat malat lebih baik dari ringer laktat karena ringer asetat malat lebih isotonis. Ringer asetat malat memiliki kadar natrium, kalium dan magnesium yang hampir sama dengan plasma, sedangkan konsentrasi klorida memilki kadar yang sedikit lebih tinggi dalam rangka mencapai osmolaritas fisiologis. (Mc Farlene, 1994)

Ringer Asetat Malat menunjukkan fitur sebagai berikut: 1. Larutan elektrolit penuh

2. Isotonis

3. Berisi Asetat/ Malat bukan laktat

(23)

Tabel 2.7 Perbandingan komposisi elektrolit Ringer Asetat Malat dan

plasma (B’Braun, 2013)

Secara teoritis, larutan infus elektrolit penuh harus mengandung buffer fisiologis bikarbonat pada konsentrasi 24 mmol/ml. Ringer asetat malat memiliki bikarbonat dalam bentuk anion metabolisasi asetat dan malat yang akan melepaskan bikarbonat intravaskuler. Anion ini selain dimetabolisme di hati juga dimetabolisme di hampir setiap sel jaringan dengan mengambil H+ dan Oksigen dan membentuk bikarbonat. Asetat melepaskan satu mol bikarbonat tiap satu mol asetat, sedangkan malat melepaskan dua mol bikarbonat tiap satu mol malat. Berbeda dengan laktat yang menghasilkan satu mol bikarbonat tiap satu mol laktat. Ringer asetat malat mengandung asetat dan malat berbeda dengan laktat, laktat tidak selalu disarankan untuk digunakan dalam larutan infus, karena : (Mc Farlene, 1994 ; Dellinger, 2008)

(24)

2. Laktat tidak boleh digunakan dalam kasus syok dengan hiperlaktasidemia atau asidosis laktat. Hiperlaktasidemia dan asidosis laktat adalah tanda tanda dari ratio diprosporsional antara produksi asam laktat dan metabolime hepar yang terganggu. Konsumsi yang oksigen dipicu oleh laktat cukup besar dan tidak harus meningkat lebih lanjut apabila ada jaringan hipoksia.

3. Persediaan oksigen laktat meningkatkan risiko alkalosis rebound.

4. Konsentrasi serum laktat sering digunakan sebagai penanda hipoksia. Dengan demikian administrasi laktat eksogen akan menyebabkan kesalahan pembacaan penanda. (B Braun,2009)

Ringer asetat malat merupakan larutan elektrolit penuh yang mengandung kombinasi unik dari asetat dan malat. Cairan ini berisi 24 mmol/l asetat dan 5 mmol/l malat, dimana total asetat dan malat melepaskan 34 mmol/l bikarbonat. Asetat dan malat lebih disukai daripada laktat, karena metabolismenya tidak hanya terbatas pada hati tetapi juga dimetabolisme di seluruh jaringan. (B Braun,2009).

(25)

Tabel 2.9 Komposisi Ringer Asetat Malat

(26)

2.1.9.5 Terapi Anti Mikrobial Dini

Hubungan antara terapi antimikrobial yang tepat waktu dan sesuai dengan perbaikan morbiditas dan mortalitas telah banyak dibuktikan dalam keadaan rawat intensif. Penelitian observasional menunjukkan adanya penurunan mortalitas signifikan pada saat antibiotika diberikan dalam waktu 4 sampai 8 jam pertama (p<0,01). Rekomendasi Surviving Sepsis Campaign terkini adalah untuk memberikan antibiotika dalam waktu 1 jam setelah terjadi diagnosis sepsis. (Wheeler AP, 2007; Dellinger, 2008).

2.1.9.6 Obat-obatan Vasoaktif

Obat-obatan vasopresor diberikan bila pasien tetap hipotensif (tekanan arterial rerata <65mmHg). Target tekanan arterial rerata 65 mmHg telah ditunjukkan secara fisiologis ekuivalen dengan tekanan yang lebih tinggi. Obat-obatan vasopresor termasuk dopamin (5-20 μg/kg/menit intravena), noradrenalin (2-20μg/menit), fenilefrin (40- 300μg/menit) dan vasopresin (0,01-0,04 unit/menit). Baik noradrenalin dan dopamin telah disarankan sebagai obat-obatan vasopresor lini pertama pada kasus-kasus sepsis. Oleh karena takikardia dapat dieksakserbasi oleh vasopresor β-agonis, obat-obatan dengan α-agonis yang lebih kuat (seperti noradrenalin dan penilefrin) dapat lebih dipilih pada pasien dengan takikardia atau penyakit koroner mendasar. (Wheeler AP, 2007)

2.1.9.10 Terapi Steroid

(27)

dipahami, namun nampaknya disebabkan sebagian oleh kaskade inflamasi yang menyebabkan pelepasan atau respons inadekuat terhadap adrenokortikotropin, dikombinasikan dengan resistensi steroid perifer pada tingkatan reseptor. RAI harus dipertimbangkan secara klinis berbeda dengan insufisiensi adrenal absolut, oleh karena RAI biasanya hilang seiring dengan perbaikan syok sepsis. Pasien dengan RAI oleh karenanya tidak memerlukan terapi penggantian steroid setelah perbaikan syok.(Wheeler AP, 2007)

2.2. Kerangka Konsep

Gambar 2.4. Kerangka Konsep Ringer Asetat

Malat Ringer Laktat

(28)

2.8 Kerangka Teori

SEPSIS

LPS (BAKTERI}

TLR4

AKTIVASI NFKB

NO ROS CYTOKINES

PRO-INFLAMASI ANTI-INFLAMASI

Il-6

LIPID PEROXYDATION INACTIVATION OF CATHECOLAMIN

MITOCHONDRIAL DYSFUNCTION VASCULAR DYSFUNCTION COAGULOPATHY

Multi System Organ

failure

RINGER LAKTAT RINGER ASETAT MALAT

Gambar

Tabel 2.1 Perbandingan Kriteria Diagnostik Sepsis (Dikutip dari Singer M, 2016)
Tabel 2.1 (Lanjutan)
Gambar 2.1 Lipopolisakarida, komponen dinding sel bakteri gram negatif dikenali oleh TLR4 dan CD14 pada permukaan sel imun
Gambar 2.2Mekanisme Utama yang Menghubungkan Stres Oksidatif pada MSOF selama sepsis. (Salvemini, dkk 2002)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Indriyani menjelaskan bahwa individu dikatakan memiliki subjective well- being tinggi jika mengalami kepuasan hidup, sering merasakan.. kegembiraan, dan jarang merasakan

[r]

protected void onCreate(Bundle savedInstanceState) { super .onCreate(savedInstanceState);. requestWindowFeature(Window.FEATURE_NO_TITLE);

Perbedaan yang mendasar dengan klasifikasi yang lain adalah jika dalam klasifikasi bersilang setiap tingkatan menyangkut satu faktor yang digunakan didalam

Dalam evaluasi belajar, untuk mengetahui proses pelaksanakan tindakan pem- belajaran menggunakan data yang diambil dari observer (guru matematika lain yang melakukan observasi) pada

Memperhatikan definisi dari gelanggang polinom miring dapat disimpulkan bahwa gelanggang polinom miring mengandung tiga unsur, yaitu gelanggang biasa, disimbol dengan R

Dari hasil perhitungan optimasi dengan program linier didapatkan bahwa Waduk Cimeta hanya mencapai optimum pada tahun 2010 karena release yang dihasilkan belum mampu

Dimana operasi join diperluas ini adalah suatu operasi yang dikembangkan dari operasi join yang dibangun dengan cara menggabungkan dua koteri-k mayoritas dan