BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Stakeholder
Teori stakeholder merupakan teori yang menjelaskan bagaimana
manajemen perusahaan memenuhi atau mengelola harapan para stakeholder.
Menurut Ma’ruf Abdullah (2015:40) secara sederhana arti
stakeholders adalah
kelompok-kelompok yang memepengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh korporasi sebagai dampak dari aktivitasnya. Dalam hubungan aktivitas korporasi, maa pemenuhan kewajiban korporasi diberi predikat sesuai dengan level yang dapat dicapai, oleh masing-masing korporasi:
a) Level VI Economic Responsibilties disebut “be Profitable” b) Level III Legal Responsibilities disebut “obey the law” c) Level II Ethical Responsibilities disebut “be Ethical”
d) Level I Philan Tropic Responsibility disebut “be a good corporate citizen”
Stakeholder dalam korporasi kalau kita lakukan pemetaan ada dua kelompok: 1) stakeholders internal, masing-masing: owner, karyawan, dan pemegang saham. 2) stakeholders eksternal, masing-masing: pelanggan, investor, lembaga keuangan (perbankan), masyarakat, lingkungan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), Pers, dan pemerintah. Masing-masing stakeholder memiliki keinginan dan kebutuhannya, diantaranya:
a) Pelanggan
i) Berhak atas produk yang berkualitas ii) Berhak mendapatkan harga yang layak b) Masyarakat
i) Berhak mendapat perlindungan dari kejahatan bisnis
ii) Mendapatkan dampak hubungan yang baik dari keberadaan perusahaan
c) Karyawan
i) Mendapatkan jaminan keamanan dalam bekerja ii) Mendapatkan jaminan keselamatan
d) Pemegang saham
i) Berhak mendapatkan harga yang layak ii) Keuntungan atas saham
e) Investor
i) Berhak mendapat jaminan keamanan modal yang turut diinvestasikan
ii) Berhak mendapat laporan perkembangan usaha iii) Berhak pembagian keuntungan yang dijanjikan f) Lembaga keuangan (perbankan)
i) Berhak mendapat laporan studi kelayakan pada saat memulai hubungan kerja (menjadi nasabah)
ii) Berhak mendapatkan pemenuhan persyaratan-persyaratan kredit perbankan
iii) Dan hak-hak lain yng diatur dalam undang-undang perbankan g) Lingkungan
i) Mendapatkan jaminan perlindungan dari dampak operasi korporasi
ii) Mendapatkan hak rehabilitasi karena dampak dari operasi korporasi
h) Pemerintah
i) Mendapat laporan atas pemenuhan persyaratan ii) Menerima pembayaran pajak
i) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
i) Mendapat kesempatan memantau dan mengikuti pelaksanaan CSR
ii) Mendapat kesempatan melaksanakan fungsi melindungi masyarakat dari praktik CSR yang tidak benar
j) Pers
i) Mendapat informasi tentang perkembangan kegiatan korporasi ii) Berhak mempublikasikan kegiatan korporasi
iii) Berhak melakukan advokasi terhadap kepentingan masyarakat dan lingkungan
Dalam pelaksanaan CSR semua yang termasuk stakeholders ini wajib
dirangkul dan dilibatkan dalam tahap perencanaan, implementasi, dan evaluasi
kegiatan CSR korporasi.
Teori stakeholder menekankan mengenai akuntabilitas organisasi
jauhmelebihi kinerja keuangan atau ekonomi sederhana. Teori ini menyatakan
bahwa organisasi akan memilih secara sukarela mengungkapkan informasi
permintaan wajibnya, untuk memenuhi ekspektasi sesungguhnya atau yang diakui
oleh stakeholders. Salah satu bentuk pengungkapan sukarela yang berkembang
denganpesat saat ini yaitu publikasi CSR.
2.1.2 Legitimasi Theory
Legitimasi dapat memberikan mekanisme yang kuat dalam memahami
pengungkapan sukarela untuk lingkungan dan sosial yang dilakukan oleh
perusahaan,dan pemahaman ini yang nantinya akan mengarah ke debat public
yang kritis, lebih jauh lagi teori legitimasi menunjukan kepada peneliti dan
masyarakat luas jalan untuk lebih peka terhadap isi pengungkapan
perusahaan. Dengan adanya pengungkapan Corporate Social Responsibility
yang baik, maka diharapkan perusahaan akan mendapat legitimasi dari
masyarakat sehingga dapat meningkatkan kinerja yang bertujuan untuk
mencapai keuntungan perusahaan.
Norma perusahaan selalu berubah mengikuti perubahan dari waktu
kewaktu sehingga perusahaan harus mengikuti perkembangannya. Usaha
perusahaan mengikuti perubahan untuk mendapatkan legitimasi merupakan
suatu proses yang dilakukan secara berkesinambungan. Proses untuk
mendapatkan legitimasi berkaitan dengan kontrak sosial antara yang dibuat
oleh perusahaan dengan berbagai pihak dalam masyarakat.
Menurut Lako (2011) dalam Ma’ruf Abdullah (2015:105) dalam
perspektif teori legitimasi, perusahaan dan komunitas menyatakan bahwa
masyarakat. Dengan demikian adanya kontrak social secara tidak langsung antara korporasi dengan masyarakat dimana masyarakat memberi cost dan benefits untuk keberlanjutan suatu korporasi. Oleh karena itu, maka CSR merupakan suatu kewajiban asasi korporasi yang tidak bersifat sukarela.
Teori legitimasi memfokuskan terhadap interaksi antara perusahaan
dengan masyarakat. Legitimasi organisasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang
diinginkan atau dicari perusahaan dari masyarakat. Maka legitimasi dapat
dikatakan sebagai manfaat atau sumber potensial bagi perusahaan untuk
bertahan hidup. Perbedaan yang terjadi ini antara nilai-nilai perusahaan
dengan nilai-nilai sosial masyarakat sering dinamakan ”legitimacy gap” dan
dapatmempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melanjutkan kegiatan
usahanya.
Menurut Rosiana et al. (2013), menyatakan bahwa teori “legitimasi
juga berpendapat bahwa perusahaan harus melaksanakan dan
mengungkapkan aktivitas CSR semaksimal mungkin agar aktivitas
perusahaan dapat diterima oleh masyarakat”. Perusahaan berusaha memonitor
nilai-nilai perusahaan dan nilai-nilai sosial masyarakat dan mengidentifikasi
kemungkinan munculnya mengenai gap tersebut.Walaupun perlu diingat
keberadaan dan besarnya legitimacy gap bukanlah meupakan hal yang mudah
untuk ditentukan.Jadi untuk mengurangi legitimacy gap, perusahaan harus
mengidentifikasi aktivitas yang berada dalam kendalinya. Adapun cara atau
media yang efektif untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat yaitu
dengan mempublikasikan CSR yang lberusaha untuk memperoleh legitimasi
2.1.3 Corporate Social Responsibility
Menurut Putri (2007) dalam Hendrik Budi Untung (2008:1)
menyatakan bahwa “Corporate Social Resposibility adalah komitmen
perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan
ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial
perusahaan dan menitikbertakan dalam keseimbangan antara perhatian
terhadap aspek ekonomis sosial dan lingkungan”.
Secara konseptual, Nuryana (2005) dalam Fahmi (2013:293)
menyatakan bahwa
CSR adalah sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis mereka dan dalam interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan. Artinya pihak perusahaan harus melihat jika CSR bukan program pemaksaan tapi bentuk rasa kesetiakawanan terhadap sesama umat manusia yaitu membantu melepaskan pihak-pihak dari berbagai kesulitan yang mendera mereka dan efeknya nanti bagi perusahaan itu juga. Konsep tanggungjawab sosial perusahaan telah mulai dikenal sejak tahun 1979 yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktek yang berhubungan dengan stakeholder, nilai – nilai pemenuhan hukum, penghargaan masyarakat terhadap lingkungan serta komitmen dunia usaha. CSR bukan hanya kegiatan karikatif perusahaan dan kegiatannya tidak hanya bertujuan untuk memenuhi hukum dan aturan yang berlaku. Lebih dari itu CSR diharapkan memberikan manfaat dan nilai guna bagi pihak – pihak yang mempunyai kepentingan dengan perusahaan.
Menurut Ma’ruf Abdullah (2015:119) dalam perspektif yang lain
“CSR adalah upaya pemberdayaan terhadap masyarakat, khususnya
masyarakat yang rentan terhadap dampak kehidupan ekonomi yang kurang
berpihak kepada mereka, seperti misalnya masyarakat miskin, terbelakang
“Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan bentuk tanggung
jawab perusahaan untuk memperbaiki masalah sosial dan lingkungan yang
terjadi akibat aktivitas operasional perusahaan, oleh sebab itu csr sangat
berperan untuk meningkatkan nilai perusahaan” (Gusti et al. (2013). Menurut
Harmoni dan Andriyani (2008), “CSR mengandung makna bahwa, seperti
halnya individu, perusahaan memiliki tugas moral untuk berprilaku jujur,
mematuhi hukum, menjunjung integritas, dan tidak korup”. Menurut
Sulistyawati et al. (2016), “Corporate Social Responsibility merupakan
bentuk kepedulian sosial perusahaan terhadap lingkungan masyarakat dan
sekitarnya. Hal ini mengandung makna bahwa meskipun secara umum tujuan
perusahaan adalah profit oriented, namun tidak bisa melepaskan diri dari
masyarakat”.
Dari berbagai pengertian CSR dapat diambil kesimpulan bahwa CSR
adalah operasi bisnis perusahaan yang tidak hanya untuk meningkatkan
keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan juga untuk pembangunan
sosial ekonomi kawasan yang menyeluruh, melembaga dan berkelanjutan.
Ditinjau dari motivasinya CSR dapat dibagi dalam empat kelompok yaitu
corporate giving, corporate philanthropy, corporate community dan
community development.
2.1.4 Tujuan Corporate Social Responsibility
Menurut Ma’ruf Abdullah (2015:36) menyatakan bahwa
memperhatikan kerusakan alam dan lingkungan di berbagai penjuru dunia, akibat oleh korporasi yang tidak bertanggung jawab karena hanya mengejar keuntungan semata, tanpa memperhatikan konsep “Sustainability Development”(pembangunan yang berkelanjtan) yang sudah menjadi program PBB melalui badan khususnya yang menangani hal tersebut, yaitu “United Nations Development Programme” (UNDP).
2.1.5 Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)
Laporan tanggung jawab sosial merupakan laporan aktivitas
tanggungjawab sosial yang telah dilakukan perusahaan baik berkaitan dengan
perhatian masalah dampak sosial maupun lingkungan. Laporan tersebut
menjadi bagian tak terpisahkan dengan laporan tahunan (annual report) yang
dipertanggungjawabkan direksi di depan sidang Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS). World Business Council for Sustainable Development
(WBCSD,1999) mendefinisikan “pelaporan tanggung jawab sosial dan
lingkunganperusahaan merupakan komitmen yang berlanjut dari bisnis
menjadiperilaku etis dan berkontribusi bagi perkembangan ekonomi, dan di
lainpihak sekaligus memperbaiki kualitas hidup pekerja dan
keluarganyasebagai bagian dari komunitas lokal dan social”.
Corporate Social Responsibility Disclosure mengacu
padapengungkapan informasi mengenai interaksi perusahaan
denganmasyarakat.Aktivitas perusahaan mempunyai dampak yang
signifikanterhadap isu-isu yang terkait dengan ketenagakerjaan,
keterlibatankomunitas, kepedulian lingkungan, dan isu-isu etis lainnya,
2.1.6 Manajemen Modal Kerja
2.1.6.1. Pengertian Manajemen
Menurut abdullah (2014) dalam Ma’ruf Abdullah (2015:1)
“Manajemen adalah keselurhan aktivitas yang berkenaan dengan
melaksakan pekerjaan organisasi melalui fungsi-fungsi perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan untuk mencapai
organisasi yang sudah ditetapkan dengan menggunakan sumber daya
organisasi yang meliputi man, money, material, mechine, and method
secara efisien dan efektif”. Dalam pengertian bidang studi manajemen,
manajemen (pengelolaan) adalah hal yang dilakukan oleh para
manajer. Manajemen melibatkan aktivitas – aktivitas koordinasi dan
pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga pekerjaan
tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Manajemen
melibatkan tanggungjawab memastikan pekerjaan – pekerjaan dapat
diselesaikan dengan cara yang efisien dan efektif oleh orang – orang
yang bertanggungjawab untuk melakukannya atau setidaknya, hal
inilah yang idealnya dijalankan oleh seorang manajer.
Efisiensi merujuk pada maksud mendapatkan sebesar –
besarnya output dari sekecil – kecilnya input. Karena manajer
berhadapan dengan kelangkaan input termasuk sumber – sumber daya
semisal orang, uang, dan peralatan, maka mereka berkepentingan
untuk menggunakan sumber – sumber daya ini secara efisien. Akan
Manajemen juga berupaya menjadi efektif, dengan menyelesaikan
tugas-tugas demi terwujudnya sasaran-sasaran organisasi. Manajemen
yang buruk (yang menghasilkan kinerja yang buruk pula) biasanya
disertai oleh sifat kerja yang tidak efisien dan tidak efektif, atau efektif
namun tidak efisien. Menurut pendekatan dari sudut pandang fungsi,
seorang manajer menjalankan fungsi-fungsi atau aktivitas-aktivitas
tertentu dalam rangka mengelola pekerjaan orang lain secara efisien
dan efektif. Henri Fayol,seorang pengusaha Perancis, pertama kali
menggagas hal semacam ini di awal abad ke-20 yang lampau, ia
mengatakan bahwa setiap manajer menjalankan lima buah funsi,
perencanaan, penataan, penugasan, pengkoordinasian, dan
pengendalian. Dimasa kini, fungsi-fungsi itu telah dipadatkan menjadi
empat buah fungsi: perencanaan, penataan, kepemimpinan, dan
pengendalian.
2.1.6.2. Pengertian Modal
Perusahaan membutuhkan modal dalam menjalankan
aktifitasnya. Modal merupakan faktor yang sangat penting dalam
perusahaan. Terdapat tiga jenis badan usaha, yaitu perusahaan dagang,
perusahaan jasa, dan perusahaan manufaktur. Dari tiga jenis badan
usaha tersebut masing-masing membutuhkan modal dan perusahaan
memiliki modal yang berbeda-beda tergantung jenis usaha yang
dijalankan. “Modal digunakan perusahaan untuk membiayai operasi
dalam posisi sebelah kanan neraca, termasuk hutang jangka pendek,
hutang jangka panjang, preferredstock dan common equity” (Fatma
dan Putra, 2012:133).
2.1.6.3. Pengertian Modal Kerja
“Modal kerja perusahaan didefenisikan sebagai selisih
antara aktiva lancar dan hutng lancar” (Yuandi 2013). Modal kerja
dapat diperoleh baik dari dalam (laba ditahan dan modal sendiri),
maupun dari luar (pinjaman). Menurut (John Soeprihanto 1997:11)
pengertian modal kerja atau “working capital” adalah “bersangkutan
dengan keseluruhan dana yang digunakan selama periode akuntansi
tertentu yang dimaksudkan untuk menghasilkan pendapatan untuk
periode akuntansi yang bersangkutan (current income)”. Tetapi ini
tidak berarti bahwa semua dana yang digunakan yang menghasilkan
“curent income” adalah unsur modal kerja. Misalnya dana yang
ditanamkan dalm deposito berjangka dimana setiap bulannya
menghasilkan pendapatan dalam bentuk bunga.
“Modal kerja berhubungan dengan investasi perusahaan
dalam aset jangka pendek, seperti kas, saham (surat berharga jangka
pendek), piutang dan inventory perusahaan. Sedangkan net working
capital merupakan current assets – current liabilities” (Fatma dan
Putra, 2012:135).
“Modal kerja memiliki sifat yang fleksibal, besar kecilnya
perusahaan. Besarnya modal kerja harus sesuai dengan kebutuhan
perusahaan, karena baik kelebihan atau kekurangan modal kerja
sama-sama membawa dampak negatif bagi perusahaan” (Sutopo et. Al
(2015).
Menurut Van Horne (Horne dan Wachowiez, 2007:214)
terdapat dua konsep utama modal kerja, yaitu:
a) Modal kerja bersih adalah perbedaan nilai mata uang antara aktiva
lancarn dengan kewajiban jangka pendek.
b) Modal kerja kotor adalah investasi perusahaan dalam aktiva lancar.
Menurut Niki Lukviarman (Niki Lukviarman, 2006:68) menyatakan bahwa
manajemen modal kerja yang efektif, akan menjadi penentu tingkat pertumbuhan dan kelangsungan hidup perusahaan untuk jangka panjang. Alasannya adalah karena investasi di dalam modal kerja akan melibatkan suatu proses yang berkelanjutan, selama perusahaan melakukan aktivitasnya. Melalui modal kerja yang cukup, perusahaan dengan mudah dapat meningkatkan kapasitas mesin masih mencukupi) disamping akan mampu membayar kewajiban jangka pendeknya secara tepat waktu tanpa menghadapi kesulitan likuiditas.
Indryani (2015) menyatakan bahwa
Manajemen modal kerja dalam suatu perusahaan diperlukan untuk mengetahui jumlah modal kerja optimal yang dibutuhkan. Manajemen modal kerja adalah kegiatan yang mencakup semua fungsi manajemen atas aktiva lancer dan kewajiban jangka pendek perusahaan. Sasaran yang ingin dicapai dari manajemen modal kerja adalah :
1) Memaksimalkan nilai perusahaan dengan mengelola aktiva lancar sehingga tingkat pengelolaan investasi marjinal adalah sama atau lebih besar dari biaya modal yang digunakan untuk membiayai aktiva-aktiva tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas , maka dapat disimpulkan
bahwa “manajemen terhadap modal kerja merupakan pekerjaan yang
berhubungan dengan faktor administrasi yang terdapat dalam current
assets dan current liabilities”
2.1.7. Kinerja Keuangan Perusahaan
Kinerja keuangan diartikan sebagai penetuan ukuran – ukuran tertentu
yang dapat mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam menghasilkan
laba. Dalam mengukur kinerja keuangan perlu dikaitkan antara perusahaan
dengan pusat pertanggungjawaban. Penelitian kinerja keuangan merupakan
salah satu cara yang dilakukan oleh pihak manajemen agar dapat memenuhi
kewajibannya kepada para pemilik perusahaan. Dalam evaluasi kinerja
keuangan tentunya memerlukan standar tertentu baik bersifat eksternal
maupun internal. Standar eksternal mengacu Competitive Beenchmarking
yang merupakan perbandingan perusahaan dengan pesaing utama dan
industri.
Alasan utama mengapa suatu pengungkapan diperlukan adalah agar
pihak investor dapat melakukan suatu informed decision dalam pengambilan
keputusan investasi. Berkaitan dengan keputusan investasi, investor
memerlukan tambahan informasi non keuangan. Kebutuhan itu didorong oleh
adanya perubahan manajerial yang menyebabkan terjadinya perluasan
kebutuhan investor akan informasi baru yang mampu menginformasikan
hal-hal yang bersifat kualitatif yang berkaitan dengan perusahaan. Informasi
fenomena yang terjadi, dan tindakan apa yang akan diambil oleh manajemen
terhadap fenomena tersebut. Informasi kualitatif ini dapat diungkapkan dalam
laporan tahunan (annual report) perusahaan.
Analisis kinerja perusahaan individual dengan menggunakan
pendekatan industri dinilai sangat relevan dengan persaingan industri. Hal ini
disebabkan karena kegiatan yang dilakukan perusahaan tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor internal perusahaan namun faktor eksternal
perusahaan. Salah satu faktor yang digunakan dalam persaingan industri
adalah daya tarik bisnis (bussinness attractiveness). Indikator dapat diukur
dengan rasio profitabilitas industri seperti Return On Asset dan Return on
Equity.
Kinerja keuangan perusahaan merupakan suatu gambaran mengenai
kondisi dan keadaan dari suatu yang dianalisis dengan alat-alat analisis
keuangan, sehingga dapat diketahui baik dan buruknya kondisi keuangan dan
prestasi kerja sebuah perusahaan dalam waktu tertentu. Kinerja keuangan
untuk mengetahui hasil tindakan yang dilakukan dimasa lalu. Ukuran
keungan juga dilengakapi dengan ukuran – ukuran non keuangan yang
menunjukkan kepuasan pelanggan, produktivitas, dan cost efectiveness proses
bisnis dan produktuifitas serta komitmen serta komitmen dari tiap personal
untuk menentukan kinerja keuangan di masa yang akan datang.
2.1.8. ROE (Return on Equity)
ROE merupakan salah satu alat utama investor yang digunakan dalam
(Return on Equity) dihasilkan dari pembagian laba dengan ekuitas selam satu
tahun terakhir.
Menurut Indriyani (2015) “Return on equity adalah alat yang digunakan
untuk mengukur kemampuan perusahaan memperoleh laba yang tersedia bagi
pemegang saham perusahaan untuk mengetahui besarnya kembalian yang
diberikan perusahaan untuk setiap rupiah modal dari pemilik”. Formulasi dari
return on equity atau ROE adalahsebagai berikut:
Laba Bersih
X
100%
Ekuitas
Profit margin sendiri didapat dari laba dibagi dengan nilai
penjualan selam satu tahun. Profit margin merupakan nilai sisa dari dana
operasional yang digunakan oleh perusahaan. Semakin tinggi profit margin
suatu perusahaan maka akan semakin tinggi pula ROE perusahaan. Profit
margin juga merupakan suatu gambaran kompetisi yang terjadi di perusahaan.
Dalam industri yang memiliki tingkat persaingan tinggi memiliki nilai profit
margin yang rendah berbeda sekali dengan perusahaan-perusahaan yang
bersifat monopolistik.
Hal ini terjadi karna banyak perusahaan dalam suatu industri maka
akan memiliki pangsa pasar yang semakin kecil sehingga memiliki nilai profit
margin yang kecil sebaliknya sedikit perusahaan dalam satu industri maka
akan semakin besar pangsa pasarnya sehingga memiliki profit margin yang
posisi perusahaan yang lebih kuat di mata konsumen serta efisiensi
pengelolaan biaya yang lebih baik.
Unsur yang kedua dari ROE adalah aset manajemen. Aset manajemen
didapat dari jumlah penjualan di bagi aset total perusahaan. Besarnya aset
manajemen menunjukkan besarnya penjualan yang dihasilkan dari setiap
rupiah aset yang dimiliki perushaan. Perhitungan aset manajemen digunakan
sebagai angka pembanding relatif. Besar kecilnya angka aset manajemen
tidak langsung menunjukkan baik atau buruknya sebuah perusahaan. Untuk
menilai baik dan buruknya kinerja keuangan suatu perushaan aset manajemen
harus digunakan dalam kontek ROE karna dengan memperhatikan angka
efisiensi dari aset manajemen, profit margin, dan financial laverage barulah
dapat diketahui apakah perusahaan menjalankan bisnisnya dengan baik atau
tidak.
Unsur ketiga yang juga merupakan unsur terakhir dari ROE adalah
financial laverage. Financial laverage atau sering disebut dengan laverage
diartikan sebagai besarnya rasio total aset dalam setiap ekuitasnya. Besarnya
angka rasio laverage digunakan untuk melihat besarnya hutang dalam total
aset perusahaan. Seperti rasio-rasio lain rasio laverage juga tidak memiliki
angka yang dijadikan patokan. Penjelasannya di dapat dengan
membandingkan rasio yang samam dengan perusahaan lain pada industri
yang sejenis. Mempunyai laverage yang tinggi tidak selalu jelek. Pada tingkat
tertentu laverage dapat meningkatkan ROE namun laverage yang terlalu besar
Misalnya pada industri perkapalan yang memiliki nilai laverage yang
besar. Besarmnya nilai laverage ini belum tetntu menunjukkan jeleknya
kinerja keuangan dari perusahaan ini. Hal ini terjadi karna barang-barang
modal yang digunakan memiliki nilai yang sangat besar sehingga wajar saja
bila perusahaan ini juga laverage yang besar. Kemungkinan besarnya utang
yang dimiliki perusahaan ini nantinya juga akan mengahsilkan tingkat
penjualan yang tinggi. Hal yang perlu diperhatikan dalam rasio laverage
adalah rata-rata pada industri dimana perushaan yang akan dianalisa bergerak.
Tinggi rendahnya angka rasio laverage tidak didasarkan pada basis tertentu
namun pada relativitasnya terhadap industri perushaan yang dinilai.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Return
On Equity (ROE) adalah suatu pengukuran dari penghasilan atau income
yang tersedia bagi pemilik perusahaan atas modal yang mereka investasikan
di dalam perusahaan.
2.1.9. ROA (Return on Asset)
“ Return On Asset (ROA ) merupakan rasio yang digunakan
untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh
keuntungan (laba) secara keseluruhan dan menunjukkan tingkat efisiensi
kerja” (Tjondro dan Wilopo (2011).
Rasio ini menggambarkan perputaran aktiva diukur dari volume
penjualan. Semekin besar rasio ini semakin baik. Hal ini berarti bahwa aktiva
Return on assets (ROA) menunjukkan kemampuan perusahaan
menghasilkan laba dari aktiva yang dipergunakan. Dengan mengetahui rasio
ini, akan dapat diketahui apakah kinerja perusahaan efisien dalam
memanfaatkan aktivanya dalam kegiatan operasional perusahaan. Rasio ini
juga memberikan ukuran yang lebih baik atas profitabilitas perusahaan karena
menunjukkan efektivitas manajemen dalam menggunakan aktiva untuk
memperoleh pendapatan. Formulasi dari return on assets atau ROA adalah
sebagai berikut:
Net Income
X
100%
Total Assets
2.1.10.Penelitian Terdahulu
Tabel 2.1
Tinjauan penelitian terdahulu
Nama Peneliti
dan Tahun Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian
Yoshua CSR Dimensi Hubungan Karyawan dari
Pengungkapan CSR Dimensi Produk Yang Berpengaruh Secara Positif Dan Signifikan
Putri (2013)
Pengaruh Pengungkapan CSR Terhadap Harga Saham
Independen: Pengungkapan CSR
Dependen: Harga Saham
CSR Ekonomi, CSR Lingkungan, CSR-Sosial Tidak Berpengaruh Signifikan Terhadap Harga Saham, Namun CSR- Ekonomi dan CSR- Social Secara Bersamaan Berpengaruh Signifikan Terhadap Harga Saham
Tabel 2.1
Tinjauan penelitian terdahulu (Lanjutan)
Nama Peneliti
dan Tahun Judul Penelitian Variabel Penelitian Hasil Penelitian
Kurnianto (2011)
Pengaruh CSR Terhadap Kinerja Keuangan dan Abnormal Return
Husnan (2013)
Pengaruh CSR (CSR Discloure) Terhadap
Hasil Penelitian Ini Menunjukkan Bahwa CSR Berpengaruh Signifikan Terhadap Kinerja Keuangan (ROA Dan ROS), Tetapi Tidak Berpengaruh Signifikan Terhadap ROE dan Current Rasio Yang Merupakan Proksi dari Kinerja Keuangan Juga
Caroline (2013)
Pengaruh Manajemen Modal Kerja Terhadap Kinerja Perusahaan Kerja Terhadap Kinerja Perusahaan
2.2. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian
2.2.1. Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual dalam penelitian ini yaitu:
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual
Corporate Social
Responsibility (CSR)
Manajemen modal kerja( Agressive IV
dan Agressive FV)
Return On Equity (ROE)
Return On Asset
Perusahaan dengan pengungkapan CSR yang baik tentunya juga
memiliki tingkat pengungkapan yang lebih baik. Makin baiknya tingkat
pengungkapan oleh perusahaan merupakan sinyal positif yang diberikan
oleh Stakeholder maupun Shareholder. Respon positif yang diberikan oleh
stakeholder berupa kepercayaan dan diterimanya produk – produk yang
dihasilkan oleh perusahaan sehingga akan meningkatkan laba dan ROE
perusahaan. Respon psitif dari pemegang saham (shareholder) berupa
pergerakan harga saham ytang cenderung meningkat sehingga akan
mempengaruhi abnormal return perusahaan.
Jeanne (2013), menayatakan bahwa terdapat dua masalah pokok
dalam working capital management dari suatu prusahaan, yaitu:
a. Pengelolaan investasi perusahaan yang berupa aktiva lancar (
Aggressive Investing Variable ; CA / TA )
b. Pengelolaan penggunaan hutang lancar atau hutang jangka pendek
perusahaan ( Aggressive Financing Variable ; CL / TA ).
Laporan keuangan merupakan alat yang diguanakan investor untuk
menilai kinerja perusahaan. Dalam laporan keuangan terdapat indikator
informasi yang bersifat finansial maupun non finansial. Informasi finansial
ini antara lain adalah pelaporan, pengungkapan kegiatan CSR dan
Manajemen Modal Kerja yang dilakukan oleh perusahaan. Dalam
penelitian ini akan menggunakan ROE dan ROA sebagai proksi untuk
pelaporan CSR dan menganalisis manajemen modal kerja terhadap kinerja
keuangan perusahaan.
2.2.2. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pada landasan teori, penelitian terdahulu, dan
kerangka pemikiran teoritis, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Hubungan CSR terhadap ROE
Pengungkapan CSR menyangkut tentang bagaimana pengaruh kinerja
keuangan perusahaan dimasa lalu dan bagaimana prospek perusahaan
dimasa depan. Perusahaan dengan pengungkapan CSR yang baik
tentunya juga memiliki tingkat pengungkapan yang lebih baik. Makin
baiknya tingkat pengungkapan oleh perusahaan merupakan sinyal
positif yang diberikan oleh Stakeholder maupun Shareholder. Respon
positif yang diberikan stakeholder berupa kepercayaan dan diterimanya
produk-produk yang dihasilkan perusahaan sehingga akan
meningkatkan laba ROE perusahaan.
2. Hubungan CSR terhadap ROA
Pengungkapan CSR memberikan indikasi bagi investor tentang
bagaimana kinerja keuangan perusahaan di tahun sebelumnya dan
apakah besar atau kecil pengarunya terhadap prospek ditahun yang akan
mendatang .
Manajemen modal kerja akan menunjukkan bagaimana efisiensi dan
efektivitas suatu manajemen modal kerja terhadap kinerja keuangan
perusahaan. Modal kerja digunakan untuk membiayai operasional
perusahaan sehari-hari, terutama yang memiliki jangka waktu pendek.
Modal kerja yang diperoleh sebagai pinjaman jangka pendek dapat
dipakai sebagai penilaian kinerja keuangan perusahaan. modal kerja
dapat dibiayai dengan modal sendiri, hutang jangka pendek maupun
jangka panjang.
4. Hubungan Manajemen modal kerja terhadap ROA
Untuk memenuhi kebutuhan modal kerja, sebaiknya dibiayai dengan
modal yang seminimal mungkin. Modal kerja yang diperoleh sebagai
pinjaman jangka panjang dan jangka pendek dapat digunakan untuk
melihat pendapatan yang dinyatakan dalam presentasi dari modal
investastasi, kemampuan perusahaan menghasilkan laba (profitabilitas)
yang diukur dengan return on assets (ROA).
Dengan demikian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1: Pengungkapan CSR berpengaruh secara parsial terhadap ROE.
H2: Pengungkapan CSR berpengaruh secara parsial terhadap ROA.
H3: Manajemen modal kerja berpengaruh secara parsial terhadap ROE.