• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Respon Masyarakat Terhadap Penerapan Nilai-Nilai Islam Pada Produk Bank Syari'ah Mandiri Cabang Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Respon Masyarakat Terhadap Penerapan Nilai-Nilai Islam Pada Produk Bank Syari'ah Mandiri Cabang Medan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ilmu Ekonomi Dalam Sudut Pandang Islam

Ekonomi dalam sudut pandang Islam adalah ilmu ekonomi yang diterapkan berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits. Ilmu ekonomi Islam juga disebut sebagai "Iqtishad" yang berasal dari kata "qashd" yang berarti "tengah/seimbang". Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi "alaikum haydan qashidan" yang artinya adalah "diwajibkan atas kamu memperoleh jalan yang benar (tengah) (Hendry, 1999:4).

Ilmu ekonomi pada dasarnya adalah bagaimana cara memenuhi kebutuhan ummat manusia dengan sumber daya yang tersedia baik sumber daya alam, ataupun sumber daya manusia. Bagaimana manusia memanfaatkan sarana yang ada untuk dapat memenuhi kebutuhannya secara optimal semua diatur dalam prinsip ilmu ekonomi. Namun, timbul permasalahan ekonomi pada ummat manusia yang bersumber dari kenyataan bahwa terbatasnya sarana sumber daya yang tersedia diikuti oleh keanekaragaman keinginan dan kebutuhan dari manusia itu sendiri, sehingga memaksa manusia harus memiliki prioritas dalam mengadakan pilihan diantara kebutuhan-kebutuhannya yang sesuai dengan ketersediaan alat pemuas yang ada untuk memenuhi kebutuhan secara optimal.

(2)

dalam memenuhi kebutuhannya sehingga menjadi persepsi yang bersebrangan dengan masalah ekonomi konvensional dimana manusia dihadapkan dengan tidak sesuainya sumber daya alam yang terbatas dengan kebutuhan manusia yang tidak terbatas (Hendry, 1999:6).

Adapun dalam pandangan Islam yang membatasi seseorang untuk memenuhi kebutuhannya adalah bukan dari keterbatasan sumber daya itu sendiri ataupun kebutuhannya yang tidak terbatas, melainkan adalah keterbatasan dari manusia itu sendiri. Dalam ajaran Islam sumber daya alam di bumi ini tidak terbatas, Allah menciptakan alam semesta dan isinya yang dipenuhi kekayaan yang berlimpah yang tidak terhitung jumlahnya. Untuk memperolehnya, ada yang dapat langsung dinikmati, dan ada juga yang memerlukan usaha tersendiri untuk mendapatkannya. Usaha yang perlu dilakukan manusia untuk memperolehnya adalah dengan ilmu yang dimiliknya sehingga dapat menikmati kekayaan yang telah disediakan oleh Allah. Kekayaan sumber daya yang ada di alam semesta ini tidak terbatas, melainkan kemampuan manusia itu sendiri yang memiliki keterbatasan sehingga manusia tidak mampu untuk mengambil semua harta yang telah tersedia di bumi (Ismail, 2008:6).

(3)

memiliki batasan-batasan tertentu dalam proses mencapai kesejahteraan itu tersendiri. Ummat muslim tidak diperbolehkan untuk mementingkan dirinya sendiri untuk mencapai hasrat dan nafsunya, jangan sampai ada pihak lain yang dirugikan akibat dari proses pencapaian keuntungan tersebut. (Hendry, 1999:7). Hal ini sesuai dengan terjemahan dari Hadits Nabi sebagai berikut :

"BarangSiapa yang mengumpulkan harta dengan tidak sewajarnya

(bathil) maka Allah akan memusnahkannya dengan air (banjir) dan tanah

(longsor)". (HR. Baihaqi).

Ada 2 hal pokok yang harus dipahami oleh manusia untuk melakukan kegiatan ekonomi yang berazaskan ekonomi Islam, yaitu (P3EI UII Yogyakarta, 2012:2) :

a. Falah sebagai tujuan hidup.

Falah berasal dari bahasa Arab dari kata kerja aflaha-yuflihu yang berarti kesuksesan, kemenangan, atau kemuliaan. Manusia mempunyai tujuan untuk mencapai kesejahteraan hidupnya sendiri, dan apabila seorang manusia sudah mencapai kesejahteraan hidup maka dia telah mencapai kemenangan dalam hidupnya. Istilah falah dalam Al-Qur'an sering dimaknai sebagai kemenangan atau keberuntungan jangka panjang, dimana tidak hanya memperhatikan kehidupan dunia semata, melainkan semua kegiatan yang dilakukan di dunia juga harus mengingat kehidupan setelahnya yaitu akhirat.

(4)

akhirat, falah mencakup pengertian kelangsungan hidup yang abadi, kesejahteraan yang abadi, kemuliaan abadi, dan pengetahuan abadi (bebas dari segala kebodohan).

b. Mashlahah sebagai cara mencapai Falah.

Manusia selalu berharap untuk mendapatkan manfaat dari setiap kegiatan yang dilakukannya. Istilah mashlahah berarti manfaat disertai berkah, dimana segala kegiatan yang dilakukan manusia tidak hanya bertuju kepada manfaat semata melainkan manfaat yang disertai berkah dari Allah SWT, dengan melakukan kegiatan yang halal, dan tidak memberikan

mudharat (akibat buruk) terhadap diri sendiri ataupun orang lain.

Mashlahah adalah dasar kehidupan manusia dengan segala bentuk keadaan, baik material maupun non-material, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Dimana dasar kehidupan manusia itu terdiri dari agama (diin), jiwa (nafs), intelektual ('aql), keturunan (nasl), serta material.

2.2. Sejarah Perbankan Islam

(5)

simpanan uang, meminjamkan uang dan memberikan jasa pengiriman uang (Karim, 2004:15).

Di dalam sejarah perekonomian umat Islam pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah (P3EI UII Yogyakarta, 2012:5). Praktek-praktek seperti ini menerima penitipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan juga untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah.

Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam bahkan sejak zaman Rasulullah SAW. Rasululah SAW yang dikenal dengan julukan Al-Amin, dipercaya oleh masyarakat Makkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali bin Abi Thalib untuk mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya. Dalam konsep ini, pihak yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan (Karim, 2004:18).

(6)

bentuk usaha yang baru dan tidak menyimpang dari ketentuan Al-Quran dan Hadis.

Awal berdirinya bank Islam di mulai di negara Mesir pada tahun 1963 dengan nama "Mit Ghamr". Agar dapat memperkuat peranan bank Islam, Mesir kembali membentuk "Samir Social Bank" pada tahun 1973. Tak lama kemudian Arab Saudi juga turut mengembangkan bank Islam serta membantu menggalang dana untuk membantu negara-negara Islam yang miskin pada tahun 1973. Kemudian disusul oleh Dubai Islamic Bank, di Kota Dubai pada tahun 1975 (Hendry, 1999:23).

Kemudian sejarah lainnya bagi perkembangan bank Islam yaitu dengan didirikannya Islamic Development Bank (IDB). Pendiriannya diawali dengan sidang menteri luar negeri negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan pada bulan Desember 1970, dimana Mesir mengajukan proposal untuk mendirikan bank syariah Internasional. Setelah melalui persetujuan negara-negara OKI lainnya dan tahapan-tahapan tertentu, maka pada tahun 1975 berdirilah Islamic Development Bank (IDB) yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri (Karim, 2004:9).

(7)

syariah bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, dan Turki (Sudarsono, 2007:4).

Di Indonesia, bank syariah yang pertama didirikan pada tahun 1992 adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Walaupun perkembangannya agak terlambat bila dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, perbankan syariah di Indonesia terus berkembang. Bank Muamalat Indonesia yang diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bila pada periode tahun 1992-1998 hanya ada satu unit Bank Syariah, maka pada tahun 2005, jumlah bank syariah di Indonesia telah bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syariah dan 17 unit usaha syariah (Karim, 2004:25).

Bank Muamalat sempat terkena permasalahan oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an. Kemudian, Islamic Development Bank (IDB) memberikan pemasukan dana sehingga pada periode 1999-2002 dapat kembali bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan Bank Syariah di Indonesia telah diatur dalam Undang-undang yaitu UU No.10 Tahun 1998 tentang perubahan UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan serta lebih spesifiknya pada Peraturan Pemerintah No.72 tahun 1992 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil.

(8)

makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami, dan sebagainya, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.

2.3 Cakupan Nilai-Nilai Islam

Agama Islam memiliki tiga aspek utama, yaitu aqidah, syari'at, dan

akhlak. Aqidah juga disebut iman yang menunjukkan kebenaran Islam, dan syari'at sebagai Islam menunjukkan keadilan Islam, sedangkan akhlak disebut juga ihsan yang menunjukkan keindahan Islam (Karim, 2004:2).

2.3.1. Aspek Aqidah

Aspek aqidah adalah bagian dari ajaran agama Islam yang berhubungan dengan masalah-masalah keimanan dan dasar-dasar agama. Dimana dari aqidah inilah yang menunjukkan hakikat kehidupan manusia, apa yang harus dilakukan manusia dalam hidupnya, kemana hidup itu harus diarahkan, serta kemana pula segala hal dalam kehidupan itu akan berakhir.

Manusia dituntut untuk menjaga aqidahnya yang berarti pula mempertahankan keimanannya, sebagaimana dasar dari aqidah itu adalah kebenaran dari Islam itu sendiri. Dengan kata lain aqidah itu bisa disamakan dengan iman, sebenar-benarnya Islam seseorang dapat ditunjukkan dari keimanan dan aqidahnya. Pokok-pokok keimanan ataupun pedoman aqidah dalam Islam tercantum dalam rukun iman sebagai berikut :

(9)

5. Iman kepada Hari Akhir 6. Iman kepada Qadha dan Qadar

Sebagaimana terjemahan dari hadits Nabi SAW sebagai berikut :

"Hendaklah engkau beriman kepada Allah, malaikatNya, kitab-kitabNya,

rasul-rasulNya, hari akhir, dan beriman pula kepada qadar (takdir) yang baik ataupun

yang buruk". (HR. Muslim).

Dengan demikian, aqidah adalah bersifat kekal, aspek aqidah tidak akan pernah mengalami perubahan sampai kapanpun, baik karena perubahan zaman ataupun perubahan tempat. Sejak zaman Nabi Adam a.s sampai sekarang, persoalan aqidah dalam Islam tetap sama, tidak akan ada perubahan ataupun modernisasi dalam aspek aqidah ini. Sebagaimana dalam terjemahan Al-Qur'an Surah Asy-Syura ayat 13 sebagai berikut :

"Dia telah mensyariatkan bagi kamu dalam agama apa yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan

apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu :

tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya..." (Terjemah QS. Asy-Syura:13)

2.3.2 Aspek Syari'ah

(10)

Kata syari'ah berasal dari bahasa Arab yang secara harfiah berarti jalan yang ditempuh atau garis yang harus dilalui. Menurut istilah, definisi syari'ah adalah peraturan-peraturan dan hukum yang telah digariskan pokok-pokoknya dan dibebankan kepada ummat muslim untuk mematuhinya, sebagai penghubung diantaranya dengan Allah dan diantaranya dengan manusia (Karim, 2004:7).

Sesuai dengan definisi diatas, syari'ah terbagi dua bagian, yaitu :

a. Bagian Ibadah, yaitu syari'at yang mengatur tentang hubungan antara manusia dengan Allah (hablum minAllah). Bagian ibadah terangkum dalam rukun Islam yang mencakup syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. b. Bagian Mu'amalah, yaitu bagian yang mengatur hubungan antara sesama

manusia (hamblum minannaas). Bagian muamalah mencakup semua aspek hidup manusia serta berbagai interaksi antara satu dengan lainnya seperti masalah pernikahan, perdagangan, ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.

Pada halnya pergantian zaman, bagian ibadah tidak akan terjadi perubahan, dikarenakan hubungan kejiwaan antara manusia dengan Allah tidak akan berbeda. Dengan demikian rukun Islam (syahadat, sholat, puasa, zakat, dan naik haji) tetap dilakukan dengan cara yang sama tanpa perlua menyesuaikan dengan perkembangan zaman/tempat.

(11)

petunjuk-petunjuk yang mendasar, hal yang lebih rinci tidak diatur, tetapi diserahkan kepada masing-masing manusia pada zamannya melalui proses ijtihad. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya sebagai berikut :

"Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian" (HR. Muslim).

Dengan demikian para ulama telah merumuskan suatu kaidah dalam syari'at Islam, yang disebut sebagai dua hukum asal sebagai berikut :

a. Hukum asal ibadat, dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan ibadah kepada Allah sudah berdasarkan petunjuk dari Al-Qur'an dan hadits, apa yang diperintahkanNya dikerjakan, dan segala hal yang dilarangNya tidak boleh dikerjakan.

b. Hukum asal mu'amalat, dimana masalah mu'amalah yang tidak diatur secara rinci dalam Al-Qur'an dan hadits sehingga segala sesuatunya diperbolehkan untuk dikerjakan, kecuali ada larangannya dalam Al-Qur'an dan hadits (Karim, 2004:9).

(12)

2.3.3 Aspek Akhlak

Setelah aspek syari'at yang menentukan yang mana yang benar ataupun yang salah, ajaran Islam mengatur juga dalam masalah indah (baik) atau jelek (buruk) dalam kelakuan manusia. Kadang sesuatu yang indah belum tentu baik, dan yang sepintas baik belum tentu benar, yang jelek belum tentu buruk. Persoalan baik-buruk dalam menyangkut perilaku dan sikap hidup manusia ini yang dibahas dalam aspek akhlak.

Akhlak (etika) sering juga disebut sebagai ihsan yang berasal dari kata

hasan dalam bahasa Arab yang berarti baik. Definisi ihsan dapat dilihat dari hadits Nabi yang artinya sebagai berikut :

"Ihsan adalah engkau beribadah kepada Tuhanmu seolah-olah engkau

melihatNya sendiri, kalaupun engkau tidak melihatNya, maka Ia melihatmu".

(HR. Muslim)

Melalui ihsan seseorang akan selalu merasa dirinya diawasi oleh Allah, karena Allah selalu mengetahui sekecil apapun perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, walaupun dikerjakan ditempat tersembunyi, bahkan Allah dapat mengetahui segala pikiran yang terlintas dan segala isi hati dari makhlukNya. Dengan kesadaran seperti ini seseorang pasti terdorong untuk selalu berperilaku baik, dan menjauhi perilaku buruk, baik terhadap Allah ataupun sesama manusia.

(13)

seharusnya seseorang berperilaku terhadap Allah, dan berperilaku baik terhadap sesama manusia.

Iman adalah fondasi dari keagamaan seseorang agar ia dapat berperilaku (berakhlak) mulia. Kuat lemahnya iman seseorang dapat diukur dari perilaku akhlaknya, karena iman yang kuat akan berpengaruh positif terhadap akhlak seseorang. Dan fondasi keagamaan ini tidak dapat tegak berdiri jika tidak diperkuat oleh tiang-tiang penyangga, yaitu Islam (syari'at). Dengan demikian, iman itu menuntut pengamalan, dan panduan pengamalan itu ada pada syari'at (Islam), yang apabila dilaksanakan dengan baik maka akan menghasilkan akhlak yang baik pula.

2.4. Islam dan Perbankan

(14)

Melihat dari sejarahnya, masalah ekonomi pada zaman Rasulullah dengan masalah ekonomi modern saat sekarang ini jelas berbeda. Walaupun pada zaman Rasul sudah ada kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat perbankan, namun pada masa itu kegiatan tersebut belum disebut dengan kegiatan perbankan.

Masalah ekonomi terutama perbankan, merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sesama manusia, dengan perubahan yang terus terjadi, baik dari perkembangan manusia yang terus melakukan inovasi, yang mengahasilkan perkembangan dari perbankan itu sendiri. Dengan demikian masalah yang dihadapi dalam perbankan jelas akan memiliki perbedaan dari zaman ke zaman. 2.4.1 Nilai-Nilai Islam dan Perbankan Syari'ah

Kegiatan ekonomi khususnya perbankan merupakan kegiatan yang dilakukan antara sesama manusia. Salah satu aspek nilai Islam yang mengatur hubungan antara sesama manusia ialah aspek syari'ah mu'amalah. Dengan demikian masalah ekonomi/perbankan ini termasuk dalam bab mu'amalah yang pedomannya berasal dari fiqh mu'amalah.

(15)

Perbankan merupakan kegiatan ekonomi yang didalamnya terdapat berbagai transaksi ekonomi yang dilakukan. Dalam bidang mu'amalah, semua transaksi diperbolehkan kecuali yang diharamkan. Penyebab terlarangnya sebuah transaksi disebabkan beberapa faktor sebagai berikut (Karim, 2004:30) :

a. Haram zatnya, dimana objek yang ditransaksikan merupakan barang yang haram dalam ajaran Islam seperti minuman keras, bangkai, daging babi, dan sebagainya.

b. Haram selain zatnya, ialah dimana pada transaksi tersebut terdapat kegiatan haram yang mengandung unsur yang dapat merugikan pihak-pihak yang bertransaksi, seperti :

1. Tadlis (Penipuan). Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara pihak-pihak yang bertransaksi. Dimana kedua belah pihak sama-sama memiliki informasi yang lengkap dari transaksi, sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi (ditipu) karena keadaan dimana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain. Tadlis dalam transaksi dapat terjadi dalam empat hal yaitu kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan.

(16)

pihak sudah mempunyai kualitas, kuantitas, harga, dan waktu penyerahan dari barang/jasa yang akan ditransaksikan.

3. Ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), ialah situasi dalam transaksi dimana seorang produsen mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara mengurangi supply produknya agar harga produk tersebut naik. Ikhtikar biasa dilakukan produsen dengan cara menimbun stock produknya sehingga menghambat produsen lain untuk masuk ke pasar, sehingga terjadi kelangkaan barang dan produsen penimbun bisa menaikkan harga dari produk tersebut lebih tinggi dari harga produk sebelum adanya kelangkaan barang.

4. Bai' Najasy (rekayasa pasar dalam demand), ialah situasi dimana seseorang (biasanya produsen ataupun utusannya) yang ingin mendapatkan keuntungan besar dari naiknya harga suatu produk dengan menciptakan permintaan palsu, seolah-olah ada banyak permintaan dari produk tersebut, agar memancing konsumen lain untuk ramai-ramai membeli produk tersebut sehingga permintaan akan benar-benar meningkat dan harga produk tersebut juga akan naik.

(17)

a. Riba Fadhl, yaitu riba yang timbul dari transaksi barang yang sejenis namun tidak memiliki kualitas, dan kuantitas yang sama. Sehingga pihak yang dirugikan adalah pihak yang menerima barang yang kualitas dan kuantitasnya lebih rendah.

b. Riba Nasi'ah, yaitu riba yang timbul dari utang piutang, dimana pemberi utang mendapat keuntungan lebih tanpa ada usaha, biaya, dan resiko dikarenakan kewajiban menanggung beban bagi si penerima utang. Syarat pengembalian utang yang melebihi dari jumlah pinjaman yang menjadikan beban bagi penerima utang, namun menjadi keuntungan bagi pemeberi utang.

c. Riba Jahiliyah, merupakan turunan dari riba nasi'ah, namun tetap memiliki perbedaan. Riba jahiliyah merupakan riba yang berhubungan dengan berjalannya waktu dari utang piutang, dimana utang yang dibayar melebihi melebihi dari pokok pinjaman dikarenakan si peminjam tidak mampu mengembalikan utang pada waktu jatuh tempo yang telah disyaratkan.

(18)

sebagai permainan yang keuntungannya menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban dari pihak lain.

7. Risywah (suap-menyuap), ialah kondisi dimana salah satu pihak memberikan sesuatu (hadiah) kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Dengan demikian, pihak yang melakukan risywah ialah pihak yang mengambil keuntungan yang merupakan hak pihak lain tanpa pengetahuan dan rasa sukarela dari pihak tersebut dengan memberikan sesuatu (hadiah) kepada pihak ketiga yang dapat melancarkan jalannya untuk mengambil keuntungan orang lain tersebut.

c. Tidak sah/lengkap akadnya, ialah transaksi yang mengandung salah satu (atau lebih) dari faktor-faktor sebagai berikut :

1. Rukun tidak terpenuhi. Rukun ialah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi, yaitu pelaku (penjual dan pembeli), objek (barang/jasa yang ditransaksikan), serta ijab-kabul (kesepakatan kedua belah pihak).

(19)

merupakan barang yang haram dalam Islam. Untuk ijab-kabul akan sah syaratnya apabila kedua belah pihak sudah menyatakan kesepakatan beri-terima dalam transaksi.

3. Terjadi ta'alluq. Ta'alluq terjadi dimana dalam sebuah transaksi mengandung dua akad yang saling dikaitkan, sehingga akad yang satu tergantung dengan akad yang satunya. Dalam situasi ini transaksi tidak akan selesai dikarenakan akad pertama akan efektif apabila akad kedua dilaksanakan.

4. Terjadi dua akad dalam satu transaksi. Sebuah transaksi akan dikatakan haram apabila transaksi tersebut mengandung dua akad sekaligus dengan pelaku yang sama serta objek dan waktu yang sama pula, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan (berlaku).

Dari identifikasi transaksi yang diharamkan oleh Islam inilah yang kemudian diterapkan kedalam pelayanan dari perbankan syari'ah, dimana praktek-praktek transaksi yang dilarang tersebut masih dijalankan oleh perbankan konvensional. Salah satu yang paling menonjol adalah permasalahan riba yang menjadi perbedaan mendasar antara perbankan syari'ah dan perbankan konvensional.

(20)

jahiliyah yang dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tagihannya tidak dibayar penuh. (Karim, 2004:41)

2.5. Bank Berdasarkan Prinsip Syari'ah

Bank syariah berasal dari dua kata, yaitu bank dan syariah. Istilah lain yang digunakan untuk sebutan Bank Syariah adalah Bank Islam. Bank Islam adalah suatu lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya telah disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariat Islam. Bank Islam wajib mengikuti dan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang ada pada zaman Rasulullah, bentuk-bentuk yang sudah ada ataupun bentuk-bentuk usaha yang baru dan tidak menyimpang dari ketentuan Al-Quran dan Hadis.

Bank mempunyai makna suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara keuangan antara dua pihak, dimana dua pihak tersebut terdiri dari pihak yang bekelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Syariah apabila dilihat dari bank syariah Indonesia memiliki arti yaitu aturan perjanjian yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana atau untuk pembiayaan kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan hukum Islam.

Pengertian dari Bank Syariah adalah suatu lembaga keuangan yang berfungsi sebagai perantara bagi pihak yang berkelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana untuk kegiatan usaha dan kegiatan lainnya sesuai dengan ajaran hukum Islam. Bank syariah juga memiliki istilah lain yaitu Islamic banking atau

(21)

pelaksanaan operasional tidak menggunakan sistem bunga (riba), spekulasi dan ketidakpastian ataupun ketidakjelasan (Ismail, 2008:30).

Secara umum para ulama sepakat bahwa tujuan dari sistem perbankan syariah adalah untuk menghilangkan kezaliman dalam sistem ekonomi khususnya sistem perbankan. Salah satu bentuk kezaliman itu adalah adanya unsur eksploitasi atas yang lemah oleh yang kuat dalam interaksi ekonomi. Salah satu contoh yang sering ditampilkan oleh praktisi perbankan syariah adalah wujudnya praktek ribawi dalam sistem perbankan konvensional. Praktek disini adalah pemodal tidak mengetahui kepada pekerjaan apa bank memberikan modal dan apakah pekerja dalam pekerjaan tersebut untung atau rugi yang penting bagi pemilik modal adalah modal yang diberikan tidak hilang dan mendapat keuntungan yang banyak dari pekerjaan tersebut. Sedangkan dalam bentuk yang lainnya, praktek riba (bunga) masih menjadi sistem yang berlaku pada sistem perbankan konvensional (Nurdin, 2010:12).

2.5.1 Perbedaan Perbankan Syari'ah dengan Perbankan Konvensional Bank syari'ah merupakan bank yang dalam sistem operasionalnya, baik dari imbalan yang diberikan ataupun yang diterima, bank syari'ah tidak menggunakan sistem bunga, melainkan menggunakan prinsip dasar sesuai syari'ah Islam dengan menggunakan konsep imbalan sesuai dengan akad yang dijanjikan (bagi hasil).

(22)

2.5.1.1 Segi Investasi

Bank syari'ah lebih selektif dalam hal memilih pihak-pihak pengguna dana yang akan disalurkan. Bank syari'ah hanya boleh menyalurkan dananya dalam investasi yang halal. Perusahaan yang melakukan kerjasama usaha dengan bank syari'ah juga seharusnya adalah perusahaan yang memproduksi barang dan jasa yang halal.

Sebaliknya, bank konvensional tidak mempertimbangkan siapa pengguna dana atau apa jenis investasinya, selama penyaluran dana yang dilakukan untuk perusahaan memberikan keuntungan, bank konvensional tetap akan menyalurkan dananya meskipun investasi tersebut mengandung produk yang tidak halal dalam syari'ah Islam.

2.5.1.2 Segi Imbalan (Return)

Return yang diberikan baik dari penyaluran dana ataupun penghimpunan dana, bank syari'ah menggunakan sistem bagi hasil dimana imbalan sudah disepakati keduabelah pihak pada awal perjanjian.

Dari sisi penghimpunan dana, apabila bank syari'ah memperoleh pendapatan yang besar, maka nasabah juga akan menerima bagi hasil yang besar. Begitupun sebaliknya, bila hasil yang didapat bank syari'ah kecil, maka bagi hasil yang didapat nasabah pun akan menurun.

(23)

Dengan demikian, return yang diberikan/diterima oleh bank syari'ah tidak akan pernah tetap, tergantung hasil usaha yang dilakukan baik oleh nasabah ataupun bank syari'ah itu sendiri. Sebaliknya dalam bank konvensional, imbalan yang diberikan/diterima dihitung berdasarkan bunga, dimana bunga dihitung dengan megalikan antara persentase bunga dengan pokok pinjaman atau pokok penyaluran dana, sehingga hasilnya akan selalu tetap.

2.5.1.3 Segi Perjanjian

Perjanjian yang dibuat antara bank syari'ah dengan nasabah adalah perjanjian yang berdasarkan prinsip syari'ah Islam. Dengan demikian rukun dan syarat dari akad yang disepakati juga sesuai dengan syari'at Islam sehingga akad yang diperjanjikan sah untuk dilaksanakan. Sedangkan perjanjian pada bank konvensional dengan nasabahnya hanya berdasarkan hukum positif berdasarkan keuntungan.

2.5.1.4 Segi Orientasi

(24)

2.5.1.5 Segi Hubungan Bank dengan Nasabah

Hubungan bank syari'ah dengan nasabah pengguna dana merupakan hubungan kemitraan. Sebagaimana mitra kerja dalam usaha, kedua pihak memiliki kedudukan yang sama, sehingga hasil usaha atas kerjasama yang dilakukan oleh nasabah pengguna dana, akan dibagihasilkan dengan bank syari'ah dengan nisbah yang telah disepakati bersama dan tertuang dalam akad.

Sedangkan dalam hubungannya dengan nasabah pengguna, bank konvensional sebagai kreditor dengan pinjaman berbunga yang menjadikan keuntungan usaha dari nasabah pengguna harus dialokasikan sebaik mungkin agar dapat mengembalikan dana yang disalurkan oleh bank konvensional.

2.5.1.6 Segi Dewan Pengawas

Pada dasarnya dewan pengawas baik dari bank syaria'h ataupun bank konvensional adalah sama, yaitu Komisaris, Bank Indonesia, dan Bapepam. Namun pada bank syariah ada satu tambahan dewan pengawas yaitu Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Setiap dewan pengawas memiliki fungsinya masing-masing. Khusus Dewan Pengawas Syariah, tugasnya ialah mengawasi jalannya operasional bank syariah agar tidak terjadi penyimpangan pada produk dan jasa yang ditawarkan bank syariah. Dimana setiap produk atau jasa yang akan ditawarkan oleh bank syariah sudah diatur dalam undang-undang fatwa yang telah disahkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Dewan Pengawas Syari'ah diangkat oleh rapat umum pemegang saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia (MUI).

(25)

Permasalahan-permasalahan yang muncul pada bank syariah akan diselesaikan dengan cara musyawarah. Namun apabila musyawarah tidak dapat meyelesaikan masalah antara bank syariah dengan nasabah, permasalahan akan diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

Sedangkan bank konvensional akan menyelesaikan sengketa melalui negosiasi. Dan apabila negosiasi tidak dapat dilaksanakan, maka penyelesaiannya melalui pengadilan negeri setempat.

2.6. Penerapan Islam pada Pelayanan Bank Syariah

Untuk mengantisipasi pengembangan produk dan sesuai dengan beragamnya kebutuhan nasabah, maka bank yang berlandaskan prinsip syariah hendaknya menerapkan prinsip fiqh muamalah ke dalam produk perbankan.

Fiqh muamalah merupakan salah satu dari bagian hukum Islam yang mengatur semua kegiatan yang dilakukan antar sesama manusia, baik hukum ibadah, hukum pidana, hukum peradilan, hukum perdata, hukum jihad, hukum perang, hukum damai, hukum penggunaan harta, hukum pemerintahan, dan sebagainya. Semua bentuk persoalan yang tercantum dalam hukum fiqh merupakan pertanyaan yang dipertanyakan masyarakat atau persoalan yang muncul ditengah masyarakat, yang kemudian para ulama memberikan pendapatnya yang sesuai kaidah-kaidah yang berlaku dan kemudian pendapat tersebut dibukukan berdasarkan hasil fatwanya (Hendry, 1999:27).

(26)

berdasarkan kepada Al-qur'an dan Hadits, sehingga tidak lain yang menjadi pedoman bank syariah adalah fiqh muamalah itu sendiri.

Prinsip fiqh muamalah mengenai hak, milik, harta, dan tasarruf (transaksi yang mengandung konsekuensi dengan hukum) merupakan pembahasan yang berkaitan dengan akad-akad tertentu yang diterapkan dalam pelayanan perbankan syariah (Ismail, 2008:30).

Dalam kontrak pembiayaan pada perbankan konvensional, sering terjadi dimana kedudukan antara bank dan nasabah tidak seimbang. Adakalanya bank lebih kuat daripada nasabah apabila nasabah tersebut termasuk kedalam golongan ekonomi lemah. Sebaliknya apabila bank berhadapan dengan nasabah yang berpengaruh besar, maka kedudukan bank lemah (Hendry, 1999:29). Pembuatan akad yang hanya berlandaskan pada asas kebebasan kontrak semata, dapat menghasilkan isi atau klausul yang bisa berat sebelah pada kontrak tersebut.

Sebagai bank yang berlandaskan syariah, isi dari perjanjian/akad seharusnya merupakan kesepakatan yang bersifat adil sebagaimana yang dianjurkan dalam agama Islam, sehingga nasabah maupun bank sepakat serta saling rela satu sama lain tanpa ada klausul yang merugikan salah satu pihak dan sama-sama mendapat keuntungan dalam menerima pembiayaan.

2.6.1 Akad dalam Perbankan Syariah

Akad dalam Islam berarti perikatan, perjanjian, dana kesepakatan. Adanya

(27)

ijab dan qabul itu memenuhi ketentuan syariah, maka muncullah segala akibat hukum dari akad yang disepakati tersebut (Hendry, 1999:30).

Beberapa akad dalam Islam yang secara tekhnis diterapakan dalam perbankan syariah pada umumnya ialah mudharabah, musyarakah, wadi'ah, dan rahn (Ismail, 2011:83).

2.6.1.1 Mudharabah

Salah satu bentuk pengelolaan uang/harta yang dibenarkan oleh Allah adalah menyalurkan dengan cara memberikan modal kepada seseorang atau lembaga kemudian dikelola dalam suatu usaha yang layak.

Banyak orang yang mempunyai dana berlebih namun tidak mampu memanfaatkan dana tersebut dikarenakan kurangnya pengalaman, usaha atau waktu. Sementara dilain pihak, ada orang yang mampu untuk melakukan sebuah usaha tetapi dibatasi dengan kekurangan dana yang diperlukan untuk usaha tersebut.

Secara muamalah mudharabah berarti pemilik modal menyerahkan modalnya kepada pekerja/pedagang untuk diperdagangkan/diusahakan, sedangkan keuntungan dagang itu dibagi menurut kesepakatan bersama (Hendry, 1999:70).

(28)

2.6.1.2 Syirkah/Musyarakah

Musyarakah yang dikenal di dunia perbankan adalah salah satu sistem dasar bagi Bank-bank Islam. Sistem ini melahirkan pemikiran bahwasanya eksistensi perbankan syariah bukan hanya sebatas penyuplai dana, tetapi juga sebagai partner bagi para nasabah. Hubungan yang terjalin antara bank dengan nasabah adalah hubungan berserikat (partnership), bukan hubungan kreditor dan debitor seperti halnya pada bank konvensional.

Syirkah menurut bahasa bermakna percampuran, yaitu penggabungan dua bagian atau lebih, yang tidak bisa dibedakan lagi antara satu bagian dengan bagian yang lain. Sedangkan menurut syariah, syirkah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang mana semua pihak yang bertransaksi telah sepakat untuk melakukan kerjasama yang bersifat finansial dengan tujuan mencari keuntungan.

Syirkah terbagi dua macam, yaitu syirkah amlak (berdasarkan hak milik) dan syirkah 'uqud (berdasarkan transaksi). Pada syrikah 'uqud terbagi atas tiga bagian yaitu syirkah inan, syirkah mufwadhah, dan syirkah wujuh. Dari bagian-bagian syirkah ini, transaksi yang diterapkan adalah syirkah inan (Ismail, 2008:89). Dimana syirkah inan mempunyai makna yaitu, dua orang yang berserikat dalam permodalan untuk melakukan perdagangan dengan bagi hasil untung rugi. Jadi, semua pihak yang bertransaksi sama-sama memeperoleh keuntungan, dan sama-sama menanggung resiko kerugian (Hendry, 1999:85).

(29)

(nisbah) yang jelas dan diketahui keduabelah pihak. Kerjasama tersebut dilakukan untuk perkembangan suatu usaha secara bersama-sama, yang kemudian keuntungan dari usaha itu dibagi sesuai harta/saham yang ditanam, begitu pula dengan resiko kerugiannya.

2.6.1.3 Wadi'ah

Menurut bahasa, wadi'ah bermakna meninggalkan/menitipkan. Dan dalam syariah, wadi'ah ialah suatu akad titipan dimana obyek yang dititipkan berbentuk harta atau barang berharga lainnya kepada orang yang dipercayainya, agar bisa dikembalikan lagi pada saat diminta (Hendry, 1999:120)

Konesp titip menitip ini sebenarnya sudah dilakukan sejak adanya manusia dan mulai bertransaksi, dan terus-menerus berkembang dengan metode yang berbeda-beda, yang kemudian konsep titip menitip ini dilakukan oleh sebuah lembaga yang ikut mempertanggungjawabkan obyek titipan tersebut (Karim, 2004:141).

(30)

2.6.1.4 Rahn

Menurut bahasa rahn berarti jaminan. Sedangkan menurut syariah rahn

ialah menjadikan nilai jaminan sebagai ganti rugi utang ketika tidak bisa melunasinya (Hendry, 1999:128).

Melihat dari definisi rahn menurut syariah dapat dinilai mempunyai makna yang sama dengan metode sistem gadai, tetapi berbeda dalam aplikasinya. Dimana dalam sistem gadai menggunakan sistem bunga dalam pembayarannya, sedangkan pada rahn dilakukan secara sukarela untuk saling tolong menolong tanpa mengambil keuntungan atas apapun (Ismail, 2008:101).

Dengan demikian, teknis perbankan dari akad rahn ialah penyerahan barang/harta dari nasabah peminjam sebagai barang jaminan yang ditahan sebagai alasan meminta pinjaman. Dengan memberikan barang/harta secara fisik kepada bank, kemudian bank mengeluarkan dana pinjaman tersebut kepada nasabah sesuai kesepakatan yang berlaku, baik dari jumlah dana pinjaman, jumlah fisik barang/harta, serta jangka waktu pengembalian.

2.7. Respon Masyarakat

(31)

Terdapat 2 jenis yang mempengaruhi respon yaitu :

a) Variabel Struktural, yaitu faktor yang terkandung dalam ransangan fisik. b) Variabel fungsional, yaitu faktor-faktor yang terdapat dalam diri si

pengamat misalnya kebutuhan suasana hati, pengalaman masa lalu (Wirawan, 1991 :47)

Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi respon seseorang yaitu (Wirawan, 1991 :35) :

1) Diri orang yang bersangkutan yang melihat dan berusaha memberikan interprestasi tentang apa yang dilihatnya itu, ia dipengaruhi oleh sikap, motif, kepentingan dan harapannya.

2) Sasaran respon tersebut, berupa orang, benda atau pariwisata. Sifat-sifat sasaran itu biasanya berpengaruh terhadap respon orang yang melihatnya. Dengan kata lain gerakan, seuara, ukuran, tindak lanjut dan ciri-ciri lain dari sasaran respon turut menentukan cara pandang orang.

3) Faktor situasi, respon dapat dilihat secara kontekstual yang berarti dalam situasi mana respon itu timbul pula mendapatkan perhatian. Situasi merupakan faktor yang turut berperan dalam pembentukan atau tanggapan seseorang. Respon seseorang terhadap suatu objek juga dipengaruhi oleh sejauh mana pemahaman terhadap objek respon tersebut. Suatu objek respon yang belum jelas atau belum nampak sama sekali tidak mengkin akan memberikan makna.

(32)

informasi yang didengar atau perubahan suatu objek tidak mempengaruhi tindakanya, atau malah menghindar atau membenci objek tersebut. Respon merupakan tingkah laku balas atau sikap yang menjadi tingkah laku terwujud. Lebih lanjut respon merupakan proses pengorganisasian ransang, dimana dalam alam pikiran manusia, diorganisasikan dan kemudian ditimbulkan melalui interprestasi dari objek yang menerima ransang tersebut (Wirawan, 1991:36).

Bahasa memegang peranan penting dalam pembentukan respon masyarakat. Respon-respon tertentu terikat dengan kata-kata. Dan oleh karna itu ucapan dapt berfungsi sebagai mediator atau menetukan pikiran mana yang bekerja. Artinya sosialisasiyang mempengaruhi bahasa, baik lisan maupun tulisan merupakan media strategis dalam pembentukan respon masyarakat. Apakah respon tersebut terbentuk respon positif maupun negatif, sangat tergantung pada soisalisasi dari objek yng akan direspon (Wirawan, 1991:38).

2.8. Penelitian Terdahulu

Judul : Analisis Faktor-Faktor yang Menentukan Kepuasan Pelanggan dan Pengaruhnya Terhadap Loyalitas Pelanggan Bank Syari'ah di Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta.

(33)

tersebut dapat menjadi bahan masukan bagi penelitian ini bahwa kualitas layanan mempengaruhi kepuasan pelanggan.

Judul : Pengaruh Atribut Produk Islam, Komitmen Agama, Kualitas Jasa dan Kepercayaan terhadap Kepuasan dan Loyalitas Nasabah Bank Syariah pada Bank Muamalat kota Semarang.

Hasil Penelitian : Dimana variabel yang diteliti meliputi atribut produk Islam berpengaruh positif namun tidak signifikan terhadap kepuasan. Variabel komitmen agama berpengaruh positif terhadap kepuasan. Variabel kualitas layanan dan kepercayaan masing-masing berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan. Kepuasan pelanggan berpengaruh postif dan signifikan terhadap loyalitas pelanggan. Dari penelitian tersebut dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian ini bahwa atribut produk Islam berpengaruh terhadap kepuasan nasabah.

2.9. Kerangka Pemikiran

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

Respon Masyarakat (Y)

Implementasi Nilai Islam

pada Pelayanan Bank Syariah

Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.. Jakarta:

Kawasan budidaya adalah kawasan yang kondisi dan potensi sumber alamnya dapat dan perlu dimanfaatkan guna kepentingan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan

Prosentase Perbedaan Harga Satuan Pekerjaan Berdasarkan Tabel 6.3 di atas dapat dilihat bahwa perbedaan terbesar dalam hal Harga Satuan Pekerjaan antara Dokumen Kontrak dan Analisis

Asosiasi LPTK Indonesia (2006) menjabarkan kompetensi sebagai agen pembelajaran dalam kompetensi utuh dengan urutan: (1) mengenal secara mendalam peserta didik yang hendak

Mit dieser Methodik können Aussa- gen über Parameter nicht mehr nur als wahr oder falsch („0“ oder „1“) klassifiziert werden, diese können nun auch teilweise wahr bzw..

Sesuai dengan latar belakang maka rumusan tujuan penelitian ini adalah: (1) mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan lingkungan sekitar sebagai sumber

For the image that applied the perspective effect, ALBP and Chain code could. recognize the shape of alphabets if the perspective effect does not

Tumbuhan hutan pantai Ujung Genteng juga kaya akan jenis JA yaitu sebanyak 23 jenis (Puspitasari et al., 2011), dibandingkan dengan hutan dari dataran tinggi