• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pola Asuh Orangtua Remaja Dalam Mengantisipasi Bahaya Penyalahgunaan Narkoba di Kampung Kubur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pola Asuh Orangtua Remaja Dalam Mengantisipasi Bahaya Penyalahgunaan Narkoba di Kampung Kubur"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Analisis

Analisis berasal dari bahasa inggris yaitu analysis, maknanya adalah uraian, ulasan, memilah. Artinya dalam hal ini analisis dapat berupa sikap atau perhatian terhadap suatu fakta, fenomena yang mampu menguraikan suatu informasi menjadi komponen-komponen yang lebih kecil sehingga lebih mudah dipahami (Joko, 2014.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian dari analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (perbuatan) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab, musabab, dan sebagainya), penguraian suatu pokok atau berbagai bagian dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Lubis, 2008:58).

Menurut Dwi Prastowo Darminto, analisis diartikan sebagai penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri, serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan (Kurniawan Maret 2016 pukul 11.10 WIB).

2.2Pengertian Pola Asuh Orangtua

2.2.1 Keluarga

(2)

yang umumnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Secara historis, keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan organisasi terbatas dan mempunyai ukuran yang minimum, terutama pihak-pihak yang pada awalnya mengadakan suatu ikatan. Disimpulkan bahwa keluarga tetap merupakan bagian dari masyarakat total yang lahir dan berada di dalamnya, yang secara berangsur-angsur akan melepaskan ciri-ciri tersebut karena tumbuhnya mereka ke arah pendewasaan.

Beberapa pengertian tentang keluarga, pada hakikatnya keluarga merupakan hubungan seketurunan maupun tambahan (adopsi) yang diatur melalui kehidupan perkawinan bersama searah dengan keturunannya yang merupakan satuan yang khusus. Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak dalam keluarga tersebut (Su’adah, 2005:22-23).

2.2.2 Ciri-ciri Keluarga

Selanjutnya Iver dan Page memberikan ciri-ciri umum keluarga yang meliputi:

1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

2. Berbentuk perkawinan atau susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara.

3. Suatu sistem tata-tata norma termasuk perhitungan garis keturunan.

(3)

5. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga yang walau bagaimana pun tidak mungkin menjadi terpisah terhadap kelompok keluarga (Su’adah, 2005:22).

2.2.3 Tugas dan Fungsi Keluarga

1. Tugas Keluarga

Pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut: 1. Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya.

2. Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga.

3. Pembagian tugas masing-masing anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing.

4. Sosialisasi antar anggota keluarga. 5. Pengaturan jumlah anggota keluarga.

6. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.

7. Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.

8. Membangkitkan dorongan dan semangat para anggotanya.

2. Fungsi Keluarga

Mengenai fungsi keluarga adalah sebagai suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan di dalam atau diluar keluarga. Adapun fungsi keluarga sebagai berikut:

1. Fungsi Sosialisasi Anak

(4)

selengkap-lengkapnya kepada anak dengan memperkenalkan pola tingkah laku, sikap keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan yang diharapkan akan dijalankan oleh mereka. Dengan demikian sosialisasi berarti melakukan proses pembelajaran terhadap seorang anak.

2. Fungsi Afeksi

Salah satu kebutuhan dasar manusia ialah kebutuhan kasih sayang atau rasa cinta. Pandangan psikiatri mengatakan bahwa penyebab utama gangguan emosional, perilaku dan bahkan kesehatan fisik adalah ketiadaan cinta, yakni tidak adanya kehangatan dan hubungan kasih sayang dalam suatu lingkungan yang intim. Banyak fakta menunjukkan bahwa kebutuhan persahabatan dan keintiman sangat penting bagi anak. Data-data menunjukan bahwa kenakalan anak serius adalah salah satu ciri khas dari anak yang tidak mendapatkan perhatian atau merasakan kasih sayang.

3. Fungsi Edukatif

(5)

4. Fungsi Religius

Bagaimana keluarga memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga lain melalui kepala keluarga menanamkan keyakinan yang mengatur kehidupan kini dan kehidupan lain setelah dunia.

5. Fungsi Protektif

Keluarga merupakan tempat yang nyaman bagi para anggotanya. Fungsi ini bertujuan agar para anggota keluarga dapat terhindar dari hal-hal yang negatif. Dalam setiap masyarakat, keluarga memberikan perlindungan fisik, ekonomis, dan psikologis bagi seluruh anggotanya.

6. Fungsi Rekreatif

Fungsi ini bertujuan untuk memberikan suasana yang menyenangkan dalam keluarga, seperti nonton TV bersama, bercerita tentang pengalaman masing-masing, dan lainnya.

7. Fungsi Ekonomis

Bagaimana kepala keluarga mencari penghasilan, mengatur penghasilan sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga. 8. Fungsi Biologis

Bagaimana keluarga meneruskan keturunan sebagai generasi selanjutnya (Permana, 2010. dodypp.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 22 Maret 2016 pukul 17.47 WIB).

(6)

gambaran kepribadian yang terlihat dan diperlihatkan seorang remaja, banyak ditentukan oleh keadaan dan proses-proses yang ada dan terjadi sebelumnya jelas apa yang dialami dalam lingkungan keluarganya. Di lingkungan rumah khususnya orangtua menjadi teramat penting sebagai tempat persemaian dari benih-benih yang akan tumbuh dan berkembang lebih lanjut. Buruk dialami keluarga akan buruk pula diperlihatkan dalam lingkungannya. Perilaku negatif dengan berbagai coraknya adalah akibat suasana dan perlakuan negatif yang diperoleh dari keluarga.

2.2.4 Pola Asuh Orangtua

Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Anton Moeliono), bahwa kata pola memiliki arti sebagai sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap, sedangkan kata asuh memiliki arti sebagai menjaga (merawat dan mendidik), membimbing (membantu, melatih dan sebagainya) supaya dapat berdiri sendiri. Dapat dijabarkan bahwa pengertian pola asuh adalah suatu sistem atau cara pendidikan, pembinaan yang diberikan oleh

seseorang kepada orang lain (Definisi-pengertia

(7)

Orangtua merupakan orang pertama yang paling berperan dalam perkembangan anak. Anak berinteraksi dengan ibu dan ayah dalam kehidupan kesehariannya. Apa yang diberikan dan dilakukan oleh orangtua tersebut menjadi sumber perlakuan pertama yang akan mempengaruhi pembentukan karakteristik pribadi perilaku anak. Dalam keluarga, orangtua harus mampu menciptakan hubungan keluarga yang harmonis dan agamis. Karena sebagian besar waktu anak digunakan dalam lingkungan keluarga, maka hubungan dengan anggota keluarga menjadi landasan sikap anak dalam kehidupan sosial. Pergaulan anak dalam keluarga inilah yang akan membentuk sikap dari kepribadian anak.

Jadi pola asuh orangtua adalah interaksi antara orangtua dengan anaknya yang bermaksud menstimulasi anaknya dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang dianggap paling tepat oleh orangtua, agar anak dapat mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal selama mengadakan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orangtua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan dengan norma-norma yang ada di masyarakat.

Ada empat pola pengasuhan yang biasa diterapkan orangtua dalam mengasuh anak-anaknya, yaitu :

a. Pola Pengasuhan Autoritatif (demokratis)

(8)

keinginan dan kemampuannya. Anak-anak bebas bersosialisasi dengan orang-orang di sekelilingnya namun masih tetap berada di bawah pengawasan.

Disisi lain, orangtua menunjukkan sikap yang tegas dan konsisten dalam menerapkan disiplin, nilai-nilai, dan aturan-aturan, namun orangtua tetap mendengarkan keinginan dan pandangan anaknya sendiri. Orangtua juga mendidik anaknya untuk tidak meminta sesuatu secara berlebihan namun tetap memikirkan kondisi dan kesanggupan orangtua untuk menenuhi permintaan dan keinginannya. Orangtua bernegosiasi dan menghargai hak serta pendapat anak sehingga ikatan kekeluargaan bagaikan hubungan antar teman yang lebih erat dan akrab. Secara keseluruhan, pendekatan orangtua terhadap anaknya terkesan lebih hangat dan mesra. Dibawah ini beberapa indikator penerapan yang dilakukan dalam pola asuh demokratis menurut Beaumrind (1967):

1. Peraturan dari orangtua lebih luwes

(9)

2. Menggunakan penjelasan dan diskusi dalam berkomunikasi dengan anak Indikator dari pola asuh ini adalah orangtua menggunakan penjelasan dari diskusi dalam berkomunikasi dengan anak. Artinya ketika terjadi suatu masalah masalah dalam keluarga, maka orangtua dan anak mendiskusikannya serta mencari solusi dengan berdiskusi. Ketika sang anak berbuat salah maka orangtua tidak langsung menghukum anak tersebut akan tetapi menjelaskan terlebih dahulu bahwa apa yang dilakukannya itu salah dan menasehatinya supaya tidak mengulanginya lagi. Selain itu juga terjadi komunikasi yang baik dua arah yang baik sehingga antara orangtua dan anak menjadi terjadi keakraban.

3. Adanya sikap terbuka antara orangtua dan anak

Sikap terbuka antara orangtua dan anak adalah ketika orangtua melakukan sesuatu dalam keluarga secara musyawarah dan kalau terjadi sesuatu pada anggota keluarga selalu dicarikan jalan keluarnya (secara musyawarah), juga dihadapi dengan tenang, wajar, dan terbuka.

4. Adanya pengakuan orangtua terhadap kemampuan anak

(10)

keinginan anak yang positif dengan terus menerus memantau dan mengarahkan anak.

5. Memberi kesempatan untuk mandiri

Indikator dari pola asuh demokratis berikutnya adalah orangtua memberi kesempatan kepada anak untuk tidak selalu bergantung pada orangtua. Dengan kata lain orangtua melatih anak untuk mandiri yaitu dengan memberi anak kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit anak berlatih untuk tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Selain itu anak juga dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi mengatur hidupnya, sehingga anak dapat belajar secara aktif dalam mengembangkan dan mengajukan potensi bawaannya serta anak dapat kreatif dan inovatif. b. Pola Pengasuhan Otoriter

Orangtua menilai dan menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan sepihak oleh orangtua, memutlakkan kepatuhan, dan rasa hormat atau sopan santun. Orangtua merasa tidak pernah berbuat salah. Mereka membentuk atau memperlakukan anak-anak dengan keras dengan tujuan untuk menakut-nakuti anak atau pun agar anak patuh dan tidak berani melawan. Padahal tanpa disadari orangtua yang menerapkan pola asuh ini, anak tersebut sebenarnya membantah segala aturan dan perintah yang diterapkan tersebut, sehingga dengan cara kekerasan juga.

(11)

Komunikasi yang tercipta orangtua dan anak lebih bersifat satu arah yang segalanya ditentukan oleh orangtua tanpa mempertimbangkan pikiran dan perasaan anak.

Orangtua jenis otoriter ini cenderung menjaga jarak dengan anaknya dan jarang untuk mengajak anak berdiskusi tentang hal apapun. Biasanya orangtua berbicara kasar walaupun ingin meminta bantuan dari anak. Tidak ada keramahan atau kelemah-lembutan dalam berkomunikasi dengan anak. Anak juga berusaha menghindar untuk duduk satu ruangan atau pun makan bersama-sama dengan orangtuanya karena rasa tidak enak dan tidak tenang dengan situasi yang kaku tersebut.

Kebanyakan anak yang diasuh dengan pola ini (otoriter) cenderung menarik diri secara sosial, kurang spontan, dan tampak kurang percaya diri. Pola pengasuhan ini seringkali menjadi pola warisan yang berulang-ulang pada generasi keluarga yang berikutnya anak yang diasuh dengan cara kekerasan masalah cenderung untuk mendidik anaknya dengan cara yang sama pada masa yang akan datang.

Adapun indikator pola asuh ini menurut Furqon (2010) beberapa indikator dalam penerapan pola asuh otoriter :

1. Peraturan dan pengaturan yang keras (kaku)

(12)

sesuatu untuk anak sehingga maka hanya sebagai pelaksana. Dengan peraturan yang kaku anak merasa terkekang di rumah sehingga bisa bersifat agresif di luar rumah.

2. Pemegang semua kekuasaan adalah orangtua

Indikator dari pola asuh otoriter lainnya adalah pemegang semua kekuasaan adalah orangtua, yaitu orangtua menjadikan dirinya dalam keluarga sebagai seorang pemimpin absolut (mutlak). Orangtua cenderung menentukan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana. Semua kegiatan yang akan dilakukan anak ditentukan oleh orangtua, bahkan sampai hal-hal kecil misalnya selalu mengatur jadwal kegiatan anak, cara membelanjakan uang, teman-teman bermain dan sebagainya. Anak-anak yang dibesarkan dalam situasi seperti ini, jika mereka dewasa akan memiliki sifat rendah diri dan tidak bisa memikul tanggung jawab.

3. Anak tidak memiliki hak untuk berpendapat

(13)

4. Hukuman dijadikan alat jika anak tidak mau nurut

Salah satu ciri orangtua otoriter adalah selalu menghukum anaknya ketika anaknya berbuat salah bahkan hukuman tersebut terkadang keras dan mayoritas hukuman tersebut hukuman fisik. Orangtua sering mengancam dan menghukum anaknya ketika anak tersebut tidak menurut pada orangtuanya. 5. Seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya

Pola asuh ini orangtua sering memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya. Hal ini disebabkan karena orangtua merasa dirinya paling benar dan anak harus mencontoh segala perilaku yang dilakukan orangtua. Walaupun terkadang perilaku orangtua salah, akan tetapi orangtua merasa hal itu benar dan anak harus menurutinya.

c. Pola Pengasuhan Permisif (pemanja)

Pola asuh jenis ini bertolak belakang atau kebalikan dari pola asuh otoriter. Orangtua yang mendidik anak dengan cara ini justru memprioritaskan kebutuhan dan kepentingan anak di tempat yang paling utama. Semua harapan dan kemauan anak dituruti tanpa bertanya apa alasan dan tujuan anak tersebut menginginkan harapan dan kemauannya tersebut dipenuhi. Selain itu, orangtua juga tidak memikirkan apakah dengan memenuhi harapan dan kemauan anak tersebut akan memberi manfaat yang baik untuk anak. Orangtua lebih suka anaknya memperoleh sesuatu dengan cara yang mudah tanpa perlu mempersulit diri si anak.

(14)

pengasuhan ini, orangtua cenderung untuk bersikap melindungi anak dalam apapun situasi dan kondisi walaupun anaknya tersebut sebenarnya berada pada posisi yang salah. Bagi orangtua, anak mereka selalu berada pada posisi yang tepat dan benar walaupun pada situasi tertentu anak tersebut tahu yang dia melakukan kesalahan namun ragu karena orangtuanya tidak menegur atau menyatakan bahwa apa yang dilakukannya itu salah.

Orangtua tidak pernah berpikir bahwa anak yang diperlakukan seperti itu suatu masa nanti akan cenderung menjadi impulsive (memerlukan dorongan dari orang lain), manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, egois, kurang percaya diri, sombong dan lain-lain. Dari segi hubungan dengan orang luar selain lingkungan keluarga, kebanyakan orang yang datang dari latar belakang pola pengasuhan permisif kurang matang secara sosial. Mereka tidak mau memikirkan hati dan perasaan orang lain serta hanya menuntut pemahaman dan pengertian dari orang-orang terhadap diri mereka. Hal yang paling utama, mereka harus menjadi yang pertama dalam segala-galanya dan dengan kata lain prioritas mereka hendaklah yang paling utama.

(15)

Indikator dari pola asuh permisif (pemanja) menurut Hurlock (2009): 1. Orangtua tidak memberikan aturan atau pengarahan kepada anak

Salah satu indikator pola asuh permisif adalah tidak memberikan aturan atau pengarahan kepada anak dengan membiarkan apa saja yang dilakukan anak. Dengan kata lain orangtua terlalu memberikan kebebasan kepada anak untuk mengatur diri sendiri tanpa ada peraturan, dan norma-norma yang digariskan orangtua.

2. Pengawasan orangtua sangat lemah

Orangtua membiarkan anak bertindak sendiri tanpa memonitor dan membimbingnya. Seperti orangtua membiarkan anak main sampai larut malam tanpa pengawasan. Sikap orangtua yang seperti ini sangat berbahaya dan menjadikan anak bersikap sesuka hati.

3. Mendidik secara terbatas

Pola asuh permisif ini juga ditandai dengan orangtua mendidik anaknya secara bebas yaitu dengan mendidik acuh tak acuh, bersifat pasif atau masa bodoh. Hal tersebut menyebabkan kurang sekali keakraban dan hubungan yang hangat dalam keluarga, sehingga anak merasa kurang menikmati kasih sayang orangtua.

4. Tidak memberikan bimbingan yang cukup

(16)

orangtuanya. Biasanya orangtua bersikap demikian karena orangtua terlalu sibuk dengan pekerjaan, karir, dan urusan sosial. Oleh karena itu walaupun sibuk, orangtua harus memberi perhatian dan bimbingan yang cukup kepada anak agar anak tersebut merasa mendapat kasih sayang dan tumbuh kembang menjadi anak yang baik.

5. Menganggap selalu benar

Indikator dari pola asuh permisif berikutnya adalah orangtua menganggap semua yang dilakukan anak sudah benar dan tidak perlu diberikan teguran. Biasanya orangtua bersikap demikian karena menganggap bahwa anak tersebut sudah dewasa sehingga sudah bisa memilih mana yang baik dan buruk. Akan tetapi sikap demikian tidak cocok diterapkan pada anak-anak, karena kalau diterapkan pada anak-anak atau remaja maka anak tersebut akan bertindak sesuka hati dan sangat berbahaya sekali terhadap perkembangan anak (Anisa, 2015. rahmaanisa17.blogspot.co.id, diakses pada tanggal 21 April 2016 pukul 22.16 WIB).

d. Pola Pengasuhan Penelantar

(17)

orangtuanya. Selain itu, tidak jarang juga ditemukan anak yang diterlantarkan oleh orangtuanya ini tidak mendapat pendidikan akademik ataupun agama yang memadai untuk menunjang kehidupannya dimasa yang akan datang.

Terdapat berbagai macam alasan yang menyebabkan orangtua menerapkan pola pengasuhan penelantar dan salah satunya adalah anak yang ditolak kehadirannya di dalam keluarga. Banyak kasus yang terjadi dalam kehidupan nyata, orangtua yang menolak kehadiran anaknya tersebut karena anak adopsi, anak tiri, anak dari hasil selingkuhan maupun anak yang kurang sempurna (cacat dari mental, fisik, maupun psikis) dan lain-lain. Anak yang tidak mampu untuk hidup sendiri dibiarkan terlantar tanpa diperhatikan. Orangtua menganggap bahwa memiliki anak dalam kondisi seperti itu malah memberikan kesusahan dan menambah beban dalam hidup mereka.

Selain itu, kemiskinan juga mengakibatkan banyak anak-anak yang terpaksa hidup dalam keadaan terlantar tanpa mendapat perhatian dari orangtuanya. Mereka masih belum mampu untuk melakukan pekerjaan lain atau tidak bisa mencari pekerjaan yang lebih baik karena tidak memiliki pendidikan. Pola asuh penelantar merupakan pengasuhan yang beresiko paling tinggi yang menyebabkan penyimpangan kepribadian dan perilaku anti sosial.

Indikator dari pola asuh penelantar menurut Prasetya (2003):

(18)

2. Anak-anak dibiarkan berkembang sendiri baik fisik maupun psikis

Dari hasil penelitian di Firlandia, ternyata anak dengan pola asuh orangtua penelantar berperilaku lebih agresif, impulsif, pemurung dan kurang konsentrasi pada suatu kegiatan penyimpangan kepribadian dan perilaku anti sosial lebih tampak pada pola asuh ditelantarkan. Pengasuhan penelantaran merupakan pengasuhan yang beresiko paling tinggi. Gejala-gejala perilaku negatif tersebut semakin tampak pada anak usia 8-12 tahun. Bahkan pada anak dengan pola asuh penelantar kecenderungan perilaku negatif seringkali mengarah pada perilaku negatif orang dewasa seperti merokok, minum-minuman beralkohol, seks bebas atau melacur dan tidak jarang terlibat tindakan kriminal (Prasetya, 2003:28).

2.3 Remaja

Remaja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah mulai dewasa, sudah sampai umur untuk kawin muda (Lubis, 2008:1160), sedangkan WHO mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual. Ada beberapa kriteria dalam memahami remaja yaitu biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun, yang secara lengkap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut :

1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.

(19)

3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan menjadi relatif lebih mandiri (Hikmat, 2007: 34).

Sebenarnya anak remaja tidak mempunyai tempat yang jelas. Ia tidak termasuk golongan anak-anak, tapi tidak pula termasuk golongan orang dewasa atau golongan tua. Remaja ada di antara anak-anak dan orang dewasa. Remaja masih belum mampu menguasai fungsi-fungsi fisik dan psikisnya.

Remaja juga sedang mengalami perkembangan pesat dalam aspek intelektual. Transformasi intelektual dari cara berpikir remaja ini memungkinkan mereka tidak hanya mampu mengintegrasikan dirinya kedalam masyarakat dewasa, tetapi juga merupakan karakteristik yang paling menonjol dari semua periode perkembangan (Wirawan, 2002:20).

Pembagian masa perkembangan anak ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam mempelajari masa remaja. Padahal dikemukakan beberapa pendapat dan pembagian masa perkembangan anak dari beberapa ahli. Berikut ini adalah beberapa pembagian masa perkembangan anak sampai usia 21 tahun. Menurut Priyanto, masa perkembangan anak sampai usia 21 tahun dibagi ke dalam tiga tahap : Pertama, usia 0-7 tahun adalah tahap bermain (fase egosentris), kedua, usia 7-12 tahun adalah tahap sekolah dasar (fase realistis),ketiga, usia 12-21 tahun adalah tahap pubertas (fase idealistis) (Mappiare, 1982:25).

(20)

Pertama, masa pueral yakni usia 12-14 tahun, kedua, masa pra pubertas (awal remaja) dengan usia 14-15, ketiga, masa pubertas (remaja) dengan usia 15-18 tahun dan keempat, masa adolesensi dengan usia 18-21 tahun (Simanjuntak, 1979:65).

Menurut Zakiyah Darajat seorang ustadzah dan intelektual Muslimah kenamaan membagi masa perkembangan anak ke dalam empat masa yakni :

1. Masa bayi dengan usia 0-2 tahun. 2. Masa kanak-kanak usia 2-5 tahun. 3. Masa sekolah dengan usia 5-12 tahun. 4. Masa remaja usia 12-21 tahun.

Pendapat beberapa tokoh diatas dapat kita pahami bahwa yang dimaksud dengan usia masa remaja adalah mereka yang berusia antara 12 tahun sampai dengan 21 tahun. Pembatasan ini kelihatan dapat dipahami seluruh tokoh dalam membangun konsep remaja sebagai manusia yang penuh dengan gejolak dan pencarian identitas diri. Dalam konteks ini pula remaja tentu sangat dinamis dalam merespon setiap gejala sosial yang mengitarinya. Bila mereka salah asuh dan salah pola dalam mengarahkannya akan berdampak kepada pembinaan mental mereka sebelum sampai manusia usia matang (dewasa). Berikut ini adalah beberapa yang dapat ditangkap dari perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja :

a. Perubahan fisik

(21)

mempengaruhi pertumbuhan anak sehingga terjadi percepatan pertumbuhan. Dampak dari produksi hormon adalah :

1. Ukuran otot bertambah dan semakin kuat.

2. Menghasilkan sperma dan estrogen memproduksi sel telur sebagai tanda kemasakan.

3. Munculnyatanda-tanda kelamin sekunder seperti membesarnya payudara, berubahnya suara, ejakulasi pertama, tumbuhnya rambut-rambut halus disekitar kemaluan, ketiak, dan muka.

b. Perubahan emosional

Pola emosi pada remaja sama dengan pola emosi pada masa kanak-kanak. Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih, dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil pengalaman emosi yang ekstrim dan selalu merasa mendapatkan tekanan. Bila pada akhir masa remaja mampu menahan diri untuk tidak mengekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan dengan cara yang dapat diterima masyarakat, dengan kata lain remaja yang mencapai kematangan emosi pada masa remaja yang ditandai dengan sikap sebagaimana dicatat oleh (Hurlock, 1999:125) sebagai berikut:

1. Tidak bersifat kekanak-kanakan. 2. Bersikap rasional.

3. Bersikap objektif.

(22)

5. Bertanggung jawab terhadap yang dilakukan.

6. Mampu menghadapi masalah dan tantangan yang dihadapi. c. Perubahan sosial

Perubahan fisik dan emosi pada masa remaja juga mengakibatkan perubahan dan perkembangan remaja, menyebutkan dua bentuk perkembangan remaja yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju kearah teman sebaya. Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati diri. Remaja lebih banyak berada di luar rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan mengekspresikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap penampilan, dan perilaku.

Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan, dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya(Monks, 1999:277).

Menurut Hurlock, sebab-sebab umum pertentangan keluarga selama masa remaja adalah sebagai berikut :

1. Standarperilaku

Remaja sering menganggap standar perilaku orangtua yang kuno dan modern berbeda dan standar perilaku orangtua yang kuno harus menyesuaikan diri dengan yang modern.

2. Metode disiplin

(23)

yang terbesar terjadi dalam keluarga dimana salah satu orangtua lebih berkuasa dari yang lainnya, terutama bila ibu yang mempunyai kekuasaan terbesar.

3. Hubungan dengan saudara

Remaja mungkin menghina adik-adiknya dan membenci kakak-kakaknya sehingga menimbulkan pertentangan dengan mereka dan juga dengan orangtua yang dianggap bersikap “pilih kasih”.

4. Merasa menjadi korban

Remaja seorang merasa benci kalau status sosial/ekonomi keluarga tidak memungkinkannya mempunyai simbol-simbol status yang mana dengan yang dimiliki teman, seperti pakaian, mobil, dan sebagainya. Remaja tidak menyukai bila memikul tanggungjawab rumah tangga seperti merawat adik-adik, atau bila orangtua tiri masuk ke rumah dan mencoba “memerintah”. Hal ini tidak disukai orangtua dan menambah ketegangan hubungan antara orangtua remaja.

5. Sikap yang sangat kritis

Anggota keluarga tidak menyukai sikap remaja yang terlampau kritis terhadap diri mereka dan terhadap pola kehidupan keluarga pada umumnya. 6. Besarnya keluarga

(24)

7. Perilaku yang kurang matang

Orangtua yang sering mengembangkan sikap menghukum bila para remaja mengabaikan tugas-tugas sekolah, melalaikan tanggung jawab atau membelanjakan uang semaunya. Remaja membenci sikap kritis dan sikap menghukum ini.

8. Memberontak terhadap sanak saudara

Orangtua dansanak keluarga menjadi marah bila remaja mengungkapkan perasaannya secara terang-terangan bahwa pertemuan-pertemuan keluarga “membosankan” atau bila remaja menolak usul dan nasihat-nasihat mereka (Hurlock, 1999:127).

Penjelasan di atas dapat mengantar kepada kita bahwa remaja dengan segala keunikan dan permasalahannya tentu menjadi patokan bagi setiap orangtua dan masyarakat luas dalam menyikapi dan memperlakukan remaja. Orangtua yang gagal memahami anak remajanya akan salah dalam menerapkan pengasuhan yang baik dan elegan. Namun bila mereka mampu memahami anak remaja mereka akan menjadi suatu modal dalam membangun kepribadian seorang anak remaja sehingga berhasil dalam mencapai cita-citanya.

2.4 Mengantisipasi

(25)

2.5 Narkoba

Popularitas narkoba di tengah masyarakat sudah tidak diragukan lagi baik mereka yang menaruh perhatian maupun yang membencinya. Dalam dunia hukum, medis, sosial, dan dunia pendidikan, terlebih dunia remaja yang memang sangat rentan dalam hal tersebut. Narkoba adalah akronim dari narkotika, psikotropika, dan bahan-bahan adiktif lainnya. Istilah ini muncul pada tahun 1998 karena banyak terjadi peristiwa penggunaan narkoba atau pemakaian barang-barang yang termasuk narkotika dan obat-obat adiktif yang terlarang. Oleh karena itu, untuk memudahkan orang berkomunikasi dan tidak menyebut istilah yang tergolong panjang, maka kata-kata “narkotika, psikotropika, dan bahan-bahan adiktif lainnya” ini disingkat dengan kata “narkoba”.

Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN) narkoba adalah zat-zat kimiawi yang jika dimasukkan ke dalam tubuh manusia (baik secara oral dihirup maupun intravena dan suntik) yang dapat mengubah dan bahkan merusak pikiran, suasana hati, ataupun perasaan, perilaku seorang, dan organ tubuh (Nasution, 2013:1).

(26)

2.5.1 Narkotika

Narkotika berasal dari bahasa Yunani Narkoum yang berarti membuat lumpuh atau membuat mati rasa. Dalam bahasa inggris naecotics yang berarti obat yang menidurkan atau obat bius. Dalam pengertian lain, narkotika mempunyai arti obat yang berfungsi menenangkansyaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk atau rangsangan (opium, ganja, dan sebagainya) (Depdikbud, 1998:90). Dapat pula dipahami bahwa narkotika adalah zat-zat obat yang dapat mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral.

Menurut Undang-Undang narkotika No. 35 Tahun 2009 pasal 1 ayat 1 tentang narkotika, dijelaskan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi-sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Menurut organisasi kesehatan dunia WHO (World Health Organitation), pada pokoknya memberikan definisi tentang narkotika adalah “segala bahan bilamana dimasukkan ke dalam tubuh manusia maka ia bekerja pada susunan syaraf pusat yang mempunyai pengaruh terhadap badan, jiwa atau pikiran serta tingkah lakunya”.

(27)

pembangunan ilmu pengetahuan, pengobatan dan penelitian. Demikian juga dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, narkotika digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu :

1. Narkotika Golongan I

Narkotika golongan satu hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmupengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggimengakibatkan ketergantungan. Contoh: Heroin, Kokain, Daun Kokain, Opium, Ganja, Jicing, Katinon, MDMDA/Ekstasi, dan lebih dari 65 macam jenis lainnya.

2. Narkotika Golongan II

Narkotika golongan dua berkhasiat untuk pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: Morfin, Petidin, Fentanil, Metadon, dan lain-lain.

3. Narkotika Golongan III

(28)

2.5.2 Penyalahgunaan Narkoba

Penyalahgunaan narkoba sungguh sangat marak walau para pelaku sesungguhnya tahu dampak negatif dan bahaya yang ditimbulkannya. Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba di luar keperluan medis, tanpa pengawasan dokter dan merupakan perbuatan melanggar hukum.

Dalam khazanah intelektual Widjono, penyalahgunaan berarti pemakaian narkoba secara terus menerus atau sekali-kali atau kadang-kadang dan berlebihan serta tidak merujuk kepada petunjuk dokter dan praktek kedokteran. Penyalahgunaan narkoba dapat menimbulkan gangguan-gangguan tertentu pada badan dan jiwa seseorang dengan akibat sosial yang merugikan.

Sebagaimana diketahui bahwa ada banyak sekali dampak buruk yang dialami jika narkoba dikonsumsi, diantaranya:

1. Dampak narkoba terhadap fisik dan kesehatan

(29)

dan HIV. Bahaya narkoba bisa berakibat fatal ketika terjadi over dosis yaitu konsumsi narkoba melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian.

2. Dampak narkoba terhadap psikologi

Pada psikologi juga adanya dampak yang signifikan seperti kerja lamban dan ceroboh, sering tegang, dan gelisah. Hilang rasa percaya diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal, Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan dan cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri.

3. Dampak narkoba terhadap lingkungan sosial

Dalam tataran sosial dampak buruk narkoba dapat kita lihat seperti gangguan mental, anti-sosial, dan asusila. Dikucilkan oleh lingkungan, merepotkan dan menjadi beban keluargaserta pendidikan menjadi terganggu dan masa depan suram. Terakhir yang paling berbahaya bila suatu saat si pecandu narkoba ingin tobat memakai narkoba, sayang sekali tapi efek dari pemakaian narkoba tidak bisa sembuh total. Jadi, si pemakai tetap akan terkontaminasi dengan berbagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan, seperti HIV. Bila dilihat dari segi dampak buruk narkoba menurut jenisnya sebagai berikut:

1. Opioid

a. Depresi berat.

b. Apatis, gugup dan gelisah.

c. Banyak tidur, rasa lelah berlebihan.

(30)

f. Banyak bicara namun cadel, pupil mata mengecil. g. Tekanan darah meningkat, berkeringat dingin. h. Mual hingga muntah.

i. luka pada sekat rongga hidung.

j. Kehilangan nafsu makan, turunnya berat badan.

2. Kokain

a. Denyut jantung bertambah cepat. b. Gelisah, banyak bicara.

c. Rasa gembira berlebihan, rasa harga diri meningkat. d. Kejang-kejang, pupil mata melebar.

e. Berkeringat dingin, mual hingga muntah. f. Mudah berkelahi.

g. Pendarahan pada otak.

h. Penyumbatan pembuluh darah. i. Pergerakan mata tidak terkendali. j. Kekakuan otot leher.

3. Ganja

a. Mata sembab, kantung mata terlihat bengkak, merah, dan berair. b. Sering melamun, pendengaran terganggu, selalu tertawa.

c. Terkadang cepat marah. d. Tidak bergairah, gelisah. e. Dehidrasi, liver.

f. Tulang dan gigi keropos.

(31)

h. Skizofrenia.

4. Ekstasi

a. Enerjik tapi matanya sayu dan wajahnya pucat, berkeringat. b. Sulit tidur.

c. Kerusakan syaraf otak. d. Dehidrasi.

e. Gangguan liver.

f. Tulang dan gigi keropos. g. Tidak nafsu makan. h. Syaraf mata rusak.

5. Shabu-shabu

a. Enerjik. b. Paranoid. c. Sulit tidur. d. Sulit berfikir.

e. Kerusakan syaraf otak, terutama syaraf pengendali pernafasan hingga merasa sesak nafas.

f. Banyak bicara.

g. Denyut jantung bertambah cepat. h. Pendarahan otak.

i. Shock pada pembuluh darah jantung yang akan berujung pada kematian. 6. Benzodiazepin

(32)

c. Banyak bicara tapi cadel. d. Mudah marah.

e. Konsentrasi terganggu.

f. Kerusakan organ-organ tubuh terutama otak (Iman, 2015. 22.25 WIB).

Melihat dampak negatif penyalahgunaan narkoba di atas sungguh sangat mengerikan. Dalam pengertian lain bahwa penyalahgunaan narkoba merupakan suatu proses yang makin meningkat dari coba-coba ke taraf ketergantungan. Oleh karena sifat narkoba yang mempunyai daya yang menimbulkan kerusakan dan ketergantungan yang tinggi, penyalahgunaan narkoba dapat dilakukan dengan cara ditelan, dihisap, dihirup dengan hidung disuntikkan ke dalam pembuluh darah balik (intravena), disuntikkan kedalam otot atau disuntikkan ke dalam lapisan lemak di bawah kulit. Banyak remaja yang terjerumus ke dalam narkoba dengan berbagai faktor baik keluarga, lingkungan sekolah atau kampus, lingkungan masyarakat, dan pengaruh media elektronik dan media massa (Parapat, 2002:5).

2.6 Kerangka Pemikiran

(33)

dan bimbingan orangtua dalam mengasuh anak-anak remaja mereka terdapat empat hal yakni autoritatif/demokratis, otoriter, permisif/pemanja, dan penelantar.

Keempat teori tersebut akan peneliti teliti mengenai hal yang lebih dominan dalam masyarakat Kampung Kubur. Penelitian ini akan dilihat berdasarkan pola asuh orangtua dan dampak perilaku anak remaja mereka. Kemudian akan menarik korelasi teori pola asuh orangtua terhadap penyalahgunaan narkoba di Kampung Kubur.

Penelusuran pola asuh yang digunakan keluarga Kampung Kubur dalam mendidik anak mereka untuk dapat melihat bagaimana mereka memberikan pendidikan, agama, bimbingan, sikap, dan termasuk cara mereka dalam memperlakukan anak-anak remaja mereka sehari-hari meliputi perilaku-perilaku yang disadari atau tidak olehnya. Perlakuan-perlakuan yang tampak itu juga bersifat sama dan terus menerus dari waktu ke waktu.

Pola asuh yang diberikan orangtua tentu ada di dalamnya yang cenderung untuk menjadikan anak kurang pertimbangan sehingga menjerumuskannya pada penyalahgunaan narkoba. Di antara kasus ini adalah anak yang ditolak orangtuanya sehingga sering diperlakukan keras dan kasar. Demikian juga anak yang terlalu sering diperhatikan kemudian membuat mereka manja atau dilindungi secara berlebihan sehingga pergaulannya sangat terbatas sehingga tidak bisa berinteraksi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, menuruti keinginan anak secara masif dan kasus-kasus lainnya.

(34)
(35)

Bagan Alur Pikir:

Mengantisipasi penyalahgunaan narkoba Pola Asuh Orangtua

Autoritatif/ Demokratis

Otoriter Permisif/

Pemanja

Penelantar

Fungsi Orangtua

Sosialisasi anak

Afeksi

Edukatif

Protektif

Ekonomis Rekreatif Religius

Biologis

(36)

2.7 Definisi Konsep

Konsep adalah bagian penting dari metodologi penelitian, karena apabila konsep penelitian dibangun secara asal-asalan maka akan mengacaukan bagian penting lainnya. Konsep merupakan istilah khusus yang digunakan para ahli dalam upaya menggambarkan secara cermat fenomena sosial yang akan dikaji. Konsep adalah proses dan upaya penegasan dan pembatas makna konsep dalam suatu penelitian. Cara untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep dalam suatu penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep-konsep yang diteliti (Siagian, 2011:136-138).

Penelitian ini akan dijelaskan dan dipertegas batasan konsep yang akan dijadikan kata kunci dan sekaligus menghindari kesalahan pemahaman. Di antara konsep yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pola asuh orangtua adalah model atau bentuk didikan atau bimbingan orangtua termasuk didalamnya sikap, cara, dan motode orangtua dalam memperlakukan anak remajanya sehari-hari baik disadari sepenuhnya atau tidak.

2. Remaja, remaja yang dimaksudkan disini adalah yang umum dipahami yakni secara konseptual dengan tiga kategori yakni biologis, psikologis, dan sosial ekonomi yang usia rata-ratanya adalah antara 10-21 tahun.

3. Mengantisipasi adalah membuat perhitungan tentang hal-hal yang akan (belum) terjadi.

Referensi

Dokumen terkait

Penyusunan Model Information Technology (IT) Governance di Perguruan Tinggi (Studi Kasus: Universitas Kristen Satya Wacana). 19 061001

DAFTAR PERGURUAN TINGGI NEGERI DAN KOPERTIS PESERTA PELATIHAN PENINGKATAN APLIKASI SIMLITABMAS. Yogyakarta, 13 - 14

Anda diminta mengidentifikasi dan menyebutkan jenis ritel yang dilihat dari sudut pandang lokasi ritel1.

[r]

Surat Tanda Registrasi Tenaga Kesehatan adalah bentuk formal dari pengakuan kompetensi dan kualitas dari Tenaga Kesehatan non medis, untuk melaksanakan profesinya secara

Memahami, menerapkan, menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingintahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora

konsep adaptasi mahluk hidup terhadap lingkungan. Kondisi ekosistem sungai Padang Guci, Air Nelenagau, dan Air Nipis sebagai habitat ikan Sicyopterus

vocabulary which is using word wall in teaching vocabulary in recount text. The topic is based on the students‟ English book of recount text “Holiday” at the eighth grade