BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
bervariasi. Tingkat partisipasi berbeda berdasarkan kekumuhannya dan faktor-faktor yang signifikan mempengaruhi adalah frekuensi dilibatkan, keinginan untuk terlibat, frekuensi kehadiran dan jumlah jenis sumbangan yang diberikan masyarakat.
Cahya dan Juanda (2012) melakukan penelitian mengenai “ Penataan Kawasan Kumuh (Pulo Geulis) Kelurahan Babakan Pasar Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor”. Fenomena yang dikajia adalah meningkatnya kawasan kumuh perkotaan adalah dampak adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap konflik kemampuan dan kebutuhan akan hunian. Penanganan kawasan kumuh dengan menggusur penduduk seringkali memunculkan masalah baru yang sama peliknya, sehingga perlu dicari alternative penanganan dengan bantuan stakeholders dalam upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan. Masalah permukiman kumuh dikota-kota besar seperti di Kota Bogor belum bisa diatasi dengan baik, salh satunya adalah masalah permukiman kumuh di bantaran sungai, salah satunya adalah Pulo Geulis yang berada di Kelurahan Babakan Pasar Kecamatan Bogor Tengah Kota Bogor. Hasil analisis terhadap dapat disimpulkan bahwa: minimnya aksesibilitas menuju atau keluar wilayah, kekumuhan yang terjadi juga dikarenakan kondisi fasilitas dan utulitas yang di lokasi studi saat ini belum memenuhi standar yang layak dan belum mengakomodasikan kebutuhan fasilitas pendukung untuk kenyamana dan keamana masyarakat, ditambah rendahnya penghasilan masyarakat Pulo Geulis yang mengakibatkan ketidak mampuan dalam memperbaiki fisik lingkungan wilayah sendiri.
dan daerah sekitarnya. Hasil identifikasi tersebut dijadikan pedoman dalam penataan kawasan kumuh tersebut. Identifikasi kawasan kumuh tersebut dilakukan dengan beberapa kriteria yaitu vitalitas nonekonomi, vitalitas ekonomi, status tanah, kondisi prasarana, komitmen pemerintah daerah dan prioritas penanganan. Hasil dari penelitian ini merumuskan beberapa strategi perencanaan dalam penataan kawasan kumuh tersebut. Strategi tersebut yaitu strategi perencanaan fisik bangunan dan strategi perencanaan sarana dan prasarana. Strategi perencanaan fisik bangunan meliputi strategi pengaturan kepadatan bangunan, strategi pengaturan sempadan bangunan, strategi peningkatan kualitas fisik bangunan Strategi Perencanaan Sarana dan Prasarana meliputi perbaikan jalan, penyediaan akses jalan/jembatan penghubung, pembuatan saluran drainase, penyediaan sarana MCK umum, penyediaan air bersih dengan membuat jaringan air bersih, penyediaan bak-bak penampung air hujan, penyediaan spot-spot tempat pembuangan sampah.
Mulia (2008) melakukan penelitian mengenai “ Analisis Faktor-faktor
Tekanan Lingkungan pada Permukiman Kumuh (Studi Kasus Permukiman
Kampung Kubur, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan Petisah)”.
Penelitian ini mengidentifikasi faktor-faktor aspek ekonomi, aspek fisik, aspek
sosial dan budaya yang mempengaruhi tekanan lingkungan pada pemukiman
kumuh yang berada di Kampung Kubur, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan
Medan Petisah. Pengambilan sampel dengan purposive sampling menggunakan
metoda random dengan kriteria responden yang ditetapkan dalam penelitian ini
adalah kepala keluarga. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui
beberapa metoda, yaitu studi dokumentasi, observasi lapangan, kuesioner,
Analisis Faktor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemukiman Kampung
Kubur mengalami tekanan lingkungan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor dari
aspek ekonomi, sosial dan budaya, fisik lingkungan. Faktor-faktor yang dominan
mempengaruhi tekanan lingkungan pada pemukiman Kampung Kubur terdiri dari:
Faktor aspek ekonomi yang terdiri dari: pendapatan keluarga, pengeluaran
keluarga, kemampuan menabung keluarga. Faktor aspek fisik hunian yang terdiri
dari tidak terpenuhinya standard luasan lantai rumah, tidak terpenuhinya standard
kenyamanan rumah sehat, tidak terpenuhinya persyaratan teknis rumah yang
sehat. Faktor aspek sosial dan budaya terdiri dari wawasan yang kurang mengenai
lingkungan yang sehat.
Surtiani (2006) melakukan penelitian mengenai “ Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Terciptanya Kawasan Permukiman Kumuh Di Kawasan Pusat Kota (Studi Kasus: Kawasan Pancuran, Kota Salatiga). Fenomena yang dikaji adalah kawasan Permukiman Pancuran adalah kawasan permukiman yang terletak di pusat Kota Salatiga yang dikelilingi oleh kawasan pertokoan Jend. Sudirman, Pasar Raya I dan II, Pasar Gedhe dan Pasar Blauran. Dalam perkembangannya, kawasan permukiman Pancuran ini dipengaruhi oleh interaksi kawasan perdagangan tersebut. Analisis kuantitatif dilakukan dengan metode analisis regresi dan diperoleh hasil bahwa faktor yang mempunyai pengaruh kuat penyebab Kawasan Permukiman Pancuran menjadi kumuh adalah tingkat penghasilan, status kepemilikan hunian, dan lama tinggal. Hasil analisis studi dapat disimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan kawasan Pancuran menjadi kumuh adalah faktor tingkat penghasilan, status kepemilikan hunian, dan lama tinggal.
Malau (2006) yang melakukan penelitian mengenai “Analisis Kehidupan
Tanjung Balai”. Fenomena yang dikaji adalah sebagian besar kawasan kumuh
merupakan permukiman penduduk yang menempati lahan marginal, dimana tidak
berkembang sama sekali dan di bawah standard layak, yaitu di sepanjang
pinggiran sungai atau kali. Variabel yang diteliti adalah kondisi rumah dengan
prasarana dasar, kepadatan hunian, kualitas bangunan, prasarana lingkungan,
pekerjaan, pendidikan, dan pendapatan. Metode penelitian menggunakan analisis
secara non-parametrik dan analisis regresi berganda. Hasil penelitian
menyimpulkan bahwa tingkat kekumuhan kawasan Teluk Nibung dilihat dari
aspek kepadatan hubian sangat tinggi, kualitas bangunan umumnya rendah, dan
prasarana lingkungan tidak baik. Kehidupan sosial ekonomi masyarakat dilihat
dari aspek tingkat pendapatan tergolong rendah, jenis pekerjaan buruh dan
berpendidikan sekolah dasar. Faktor sosial ekonomi (pendapatan, pekerjaan dan
pendidikan) berpengaruh signifikan terhadap kepadatan hunian dan kualitas
bangunan di kawasan Teluk Nibung, sedangkan terhadap prasarana lingkungan
dasar, variabel yang berpengaruh signifikan adalah pendapatan dan pendidikan.
di sepanjang bantaran rel kereta api Kelurahan Sei Rengas I adalah akibat migrasi dan urban bias perkotaan. Tumbuhnya permukiman kumuh di sepanjang sungai Deli Kelurahan Labuhan Deli adalah akibat tuntutan pekerjaan sebagai nelayan. Faktor-faktor yang menyebabkan penduduk tinggal di daerah kumuh adalah legalitas kepemilikan lahan, tingkat pendidikan, dan pendapatan. Sikap responden di permukiman kumuh secara umum mendukung pengembangan wilayah dan juga merasakan akan pentingnya estetika perkotaan, tetapi kondisi ekonomi telah membuat mereka untuk tidak peduli terhadap program pemerintah yang ada.
Zulkarnaen (2004) melakukan penelitian mengenai “Permukiman Kumuh sebagai Dampak dari Urbanisasi di Kota Medan (Studi Kasus di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Medan Maimun Kota Medan)”. Fenomena yang dikaji adalah dampak urbanisasi di Kelurahan Kampung Baru Kecamatan Kota Medan. Variabel yang diteliti adalah karakteristik sosial dan ekonomi warga, faktor-faktor yang paling dominan yang menyebabkan warga memilih tinggal di lingkungan kumuh, dan kaitan antara kondisi ekonomi dan sosial warga terhadap munculnya lingkungan kumuh di Kelurahan Kampung Baru. Analisis data menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa karakteristik responden yang tinggal di lingkungan kumuh di Kelurahan Kampung Baru adalah warga kota yang hidup dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan relatif rendah. Mayoritas pekerjaan mereka adalah sebagai pekerja sektor informal dan mempunyai pendapatan secara umum belum memadai atau kurang bila melihat tingkat kebutuhan hidup di kota Medan yang relatif tinggi, sehingga mereka tetap tinggal di lingkungan kumuh ini.
IX Kelurahan Tanjung Rejo Kecamatan Medan Sunggal Kota Medan)”. Fenomena yang dikaji adalah kawasan perumahan lingkungan IX Kelurahan Tanjung Rejo yang tidak terencana dan lahan yang cukup kecil akan menghasilkan tata letak bangunan yang tidak beraturan dengan memanfaatkan seluruh lahan untuk bangunan perumahan tanpa memperhatikan kemampuan lahan dan kelengkapan fasilitas lingkungan. Variabel yang diteliti adalah pemanfaatan lahan, psikologis sosial ekonomi masyarakat, dan alternatif penanganan pada kawasan permukiman kumuh. Metode penelitian menggunakan metode analisis Chi-Square. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi penduduk bertempat tinggal di permukiman kumuh adalah faktor harga, keadaan lingkungan, pelayanan fasilitas dan jarak ke tempat kerja serta bagi penyewa faktor yang mempengaruhi adalah luas rumah, desain bangunan, ventilasi, fasilitas listrik dan beranda.
tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi cukup penting, kevuali pada kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan perumahan bertumpu pada kelompok masyarakat (P2BPK) Dinas Perumahan hanya memberi bantuan teknis saja. Hal ini sejalan dengan tujuan P2BPK yang ingin memberdayakan masyarakat dan menjadikannya peran utama dalam pembangunan.
2.2. Perencanaan Wilayah
Handayaningrat dalam Safi’i (2007) mendefinisikan perencanaan sebagai keputusan untuk waktu yang akan datang, apa yang akan dilakukan, bilamana yang akan dilakukan dan siapa yang akan melakukan. Menurut Safi’i (2007) definisi perencanaan adalah suatu proses untuk mempersiapkan secara sistematis dengan kesadaran penggunaan sumber daya yang terbatas akan tetapi diorientasikan untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien, di mana untuk mencapai tujuan diperlukan perumusan kebijakan yang akurat.
Etzioni
dalam Safi’i (2007) mengemukakan dalam teori perencanaan
terdapat beberapa tipologi, antara lain rational planning model; incremental
planning model; dan strategic planning model.
1.
Pendekatan komprehensif (rational planning model) merupakan suatu
kerangka pendekatan logis dan teratur, mulai dari diagnotis sampai kepada
tindakan berdasarkan kepada analisis fakta yang relevan, diagnosis masalah
yang dikaji melalui kerangka teori dan nilai-nilai, perumusan tujuan dan
sasaran untuk memecahkan masalah, merancang alternatif cara-cara untuk
mencapai tujuan, dan pengkajian efektivitas cara-cara tersebut. Pendekatan
untuk mendapatkan informasi yang lengkap dalam pengambilan keputusan
yang rasional.
2.
Pendekatan inkremental (incremental planning model). Memilih diantara
rentang alternatif yang terbatas yang berbeda sedikit dari kebijaksanaan
yang ada. Pengambilan keputusan dalam pendekatan ini dibatasi pada
kapasitas yang dimiliki oleh pengambil keputusan serta mengurangi lingkup
dan biaya dalam pengumpulan informasi. Pengambil keputusan hanya
berfokus terhadap kebijaksanaan yang memiliki perbedaan yang inkremental
dari kebijaksanaan yang telah ada.
3.
Pendekatan
mixed-scanning (strategic planning model). Kombinasi dari
elemen rasionalistik yang menekankan pada tugas analitik penelitian dan
pengumpulan data dengan elemen inkremental yang menitikberatkan pada
tugas interaksional untuk mencapai konsensus.
Proses yang tercakup dalam mixed scanning ini adalah strength, weakness,
opportunity
dan threat (SWOT) analisis yang hasilnya adalah berupa strategic
planning yaitu proses untuk menentukan komponen-komponen yang dianggap
prioritas atau utama dan yang tidak. Kemajuan yang diharapkan dalam proses ini
adalah terjadinya efek bergulir (snowballing) dari komponen yang diprioritaskan
tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam proyek akhir ini adalah pendekatan
perencanaan
mixed scanning dengan melakukan analisis SWOT sebagai
komponen strategis yang diharapkan dapat menimbulkan efek bergulir.
Perencanaan wilayah di berbagai negara tidak sama, tergantung kepada
kehidupan ekonomi dan masalah yang dihadapi. Secara historis setidaknya
1.
Perencanaan wilayah yang memusatkan perhatiannya kepada masalah kota
yang bersifat sosial. Pelaksanaannya meliputi perbaikan bagian kota yang
keadaan yang telah rusak dan tidak memenuhi standar, pemugaran kota,
pembuatan kota satelit untuk membantu meringankan kota industri yang
terlalu padat penduduknya. Titik berat perencanaan wilayah semacam ini
ditujukan pada kota yang besar dan wilayah sekelilingnya (hinterland) yang
dapat menunjang kota dalam perencanaan kota dan wilayah.
2.
Perencanaan wilayah yang memusatkan perhatiannya kepada wilayah yang
penduduknya banyak menganggur dan dalam keadaan stagnasi industri
(wilayah khusus). Dalam wilayah seperti ini, pemerintah perlu mengatur
intensif pembiayaan, pengaturan rangsangan untuk prasarana industri,
pengaturan konsesi pajak dan sebagainya, sehingga industri tertentu dapat
berlokasi di wilayah itu.
3.
Perencanaan wilayah yang memperhatikan wilayah pedesaan, dengan
pengembangan tanah bagi sektor pertanian dan rekreasi (perencanaan
pedesaan dan wilayah). Hal ini dilakukan untuk memperkecil perbedaan
kemakmuran antara pedesaan dan perkotaan.
Untuk meratakan pembangunan, harus digunakan pendekatan
perwilayahan atau regionalisasi, yaitu pembagian wilayah nasional dalam satuan
wilayah geografi, sehingga setiap bagian mempunyai sifat tertentu yang khas
(dapat juga menurut satuan daerah tata praja atau daerah administrasi). Di
samping itu, diperlukan desentralisasi yaitu kebijaksanaan yang diputuskan oleh
pemerintah regional dan lokal. Dalam desentralisasi itu harus terdapat koordinasi
2.3. Permukiman Kumuh
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan.
Kumuh dapat ditempatkan sebagai sebab dan dapat pula ditempatkan sebagai akibat. Kata kumuh menjurus pada sesuatu hal yang bersifat negatif. Clinard dalam Putro (2011) pemahaman kumuh dapat ditinjau dari :
1. Sebab Kumuh. Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari (1) segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam seperti air dan udara, (2) segi masyarakat/ sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh manusia sendiri seperti kepadatan lalu lintas, sampah.
2. Akibat Kumuh. Kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala antara lain (1) kondisi perumahan yang buruk; (2) penduduk yang terlalu padat; (3) fasilitas lingkungan yang kurang memadai; (4) tingkah laku menyimpang; (5) budaya kumuh; (6) apati dan isolasi.
Permukiman kumuh berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 1 ayat (13) adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Suparlan dalam Putro (2011) mengemukakan ciri-ciri permukiman kumuh, adalah:
1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2. Kondisi hunian rumah dan permukiman serta penggunaan ruang-ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas, yaitu terwujud sebagai: a) Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu dapat digolongkan sebagai hunian liar; b) Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah; c) RT atau sebuah RW; d) Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian liar.
6. Sebagian besar penghuni permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informil.
2.4.Faktor-faktor Penyebab Tumbuhnya Permukiman Kumuh
Pada dasarnya suatu permukiman kumuh terdiri dari beberapa aspek
penting, yaitu tanah/lahan, rumah/perumahan, komunitas, sarana dan prasarana
dasar, yang terajut dalam suatu sistem sosial, sistem ekonomi dan budaya baik
dalam suatu ekosistem lingkungan permukiman kumuh itu sendiri atau ekosistem
kota. Oleh karena itu permukiman kumuh harus senantiasa dipandang secara utuh
dan integral dalam dimensi yang lebih luas. Menurut Asrun (2009) beberapa
dimensi permukiman kumuh yang menjadi penyebab tumbuhnya permukiman
adalah sebagai berikut:
1.
Faktor Urbanisasi dan Migrasi Penduduk. Substansi tentang urbanisasi yaitu
proses modernisasi wilayah desa menjadi kota sebagai dampak dari tingkat
keurbanan (kekotaan) dalam suatu wilayah (region) atau negara.
Konsekuensinya adalah terjadi perpindahan penduduk (dengan aktifitas
ekonominya) secara individu atau kelompok yang berasal dari desa menuju
kota atau daerah hinterland lainnya. Hal ini perlu dibedakan dengan pengertian
tingkat pertumbuhan kota (urban growth) yang diartikan sebagai laju (rate)
kenaikan penduduk kota, baik skala mandiri maupun kebersamaan secara
nasional. Ukuran tingkat keurbanan, biasanya dalam konteks kependudukan
yaitu dengan memproporsikan antara jumlah penduduk perkotaan terhadap
jumlah penduduk nasional. Tetapi masalah urbanisasi tidak harus
diinterpretasikan dalam konteks kependudukan semata, kenyataannya harus
bahkan lebih jauh mencakup pula aspek budaya dan politik. Pada intinya
dalam aspek kegiatan ekonomi, pengertian urbanisasi merupakan substansi
pergeseran atau transformasi perubahan corak sosio-ekonomi masyarakat
perkotaan yang berbasis industri dan jasa-jasa.
2.
Faktor Lahan di Perkotaan. Pertumbuhan dan perkembangan kota yang sangat
pesat telah menyebabkan berbagai persoalan serius diantaranya adalah
permasalahan perumahan. Permasalahan perumahan sering disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara penyediaan unit hunian bagi kaum mampu dan
kaum tidak mampu di perkotaan. Di samping itu sebagian kaum tidak mampu
tidak menguasai sumber daya kunci untuk menopang kehidupannya, sehingga
kaum tidak mampu ini hanya mampu tinggal di unit-unit hunian sub standar di
permukiman yang tidak layak. Permasalahan perumahan di atas semakin
memberatkan kaum tidak mampu ketika kebijakan investasi pemanfaatan
lahan mengikuti arus mekenisme pasar tanpa mempertimbangkan secara serius
pentingnya keberadaan hunian yang layak bagi kaum miskin diperkotaan.
Investasi pemanfaatan lahan yang salah, semata-mata berpihak pada kaum
mampu pada akhirnya mendorong lingkungan permukiman kaum tidak
mampu yang tidak layak ini terus mengalami penurunan kualitas dan rentan
masalah sosial lainnya.
3.
Faktor Prasarana dan Sarana Dasar. Secara umum karakteristik permukiman
kumuh diwarnai juga oleh tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana
dasar seperti halnya suplai air bersih, jalan, drainase, jaringan sanitasi, listrik,
sekolah, pusat pelayanan kesehatan, ruang terbuka, pasar dan sebaginya.
kumuh ini mampunyai akses yang sangat terbatas terhadap pelayanan sarana
dan prasarana dasar tersebut. Rendahnya kemampuan pelayanan sarana dan
prasarana dasar ini pada umumnya disebabkan kemampuan pemerintah yang
sangat terbatas dalam pengadaan serta pengelolaan sarana dan prasarana
lingkungan permukiman, kemampuan dan kapasitas serta kesadaran
masyarakat juga terbatas pula. Bahkan juga disebabkan pula oleh terbatasnya
peran berbagai lembaga maupun individu atau pihak di luar pemerintah, baik
secara profesional atau sukarela dalam peningkatan permasalahan sarana dan
prasarana dasar.
4.
Faktor Sosial Ekonomi. Pada umumnya sebagian besar penghuni lingkungan
permukiman kumuh mempunyai tingkat pendapatan yang rendah karena
terbatasnya akses terhadap lapangan kerja yang ada. Tingkat pendapatan yang
rendah ini menyebabkan tingkat daya beli yang rendah pula atau terbatasnya
kemampuan untuk mengakses pelayanan sarana dan prasarana dasar. Di sisi
lain, pada kenyataannya penghuni lingkungan permukiman kumuh yang
sebagian besar berpenghasilan rendah itu memiliki potensi berupa tenaga kerja
kota yang memberikan konstribusi sangat signifikan terhadap kegiatan
perekonomian suatu kota. Aktivitas ekonomi di sektor informal terbukti telah
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap berlangsungnya kehidupan
produksi melalui sektor informal. Dengan demikian tingkat pendapatan
penghuni lingkungan permukiman kumuh yang rendah ini merupakan
permasalahan yang serius keberlangsungan produtivitas suatu kota.
Permasalahan sosial ekonomi merupakan salah satu pendorong meningkatnya
ekonomi sehingga menumbuhkan lingkungan permukiman kumuh baru.
Ketidakmampuan ekonomi bagi masyarakat berpenghasilan rendah juga
menjadi faktor penyebab munculnya permukiman kumuh di daerah perkotaan.
Keterbatasan penghasilan akibat dari semakin sulitya mencari pekerjaan
didaerah perkotaan membuat masyarakat yang berada di garis kemiskinan
semakin kesulitan untuk menyediakan perumahan yang layak huni bagi
mereka sendiri.
5.
Faktor Sosial Budaya. Permukiman kumuh juga sering ditandai oleh tingkat
pendidikan dan keterampilan yang sangat rendah. Pada umumnya tingkat
pendidikan dan keterampilan yang rendah ini sangat erat dengan rendahnya
tingkat pedapatan penduduk sehingga mambatasi akses terhadap peningkatan
kualitas sumber daya manusia. Di samping itu struktur sosial penghuni
lingkungan permukiman sangat majemuk dengan beragam norma-norma
sosialnya masing-masing. Keragaman ini kadang-kadang menimbulkan
kesalahpahaman, saling tidak percaya antar penghuni, yang menyebabkan
rendahnya tingkat kohesivitas komunitas. Masing-masing mengikuti struktur
hubungan antar sesama dan budaya yang beragam, yang mempengaruhi
bagaimana sebuah individu, keluarga dan tetangga dalam berinteraksi di
lingkungannya. Sehingga kadang-kadang menyulitkan upaya membentuk
suatu lembaga yang berbasis pada komunitas atau upaya-upaya peningkatan
kesejahteraan bersama. Konflik sosial antara warga kota dapat dilihat dari
konflik untuk mencari pekerjaan dan semakin tingginya angka kejahatan
6.
Faktor Tata Ruang. Dalam konstelasi tata ruang kota, permukiman kumuh
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsfigurasi struktur ruang
kota. oleh karena itu, perencanaan tata ruang kota perlu didasarkan pada
pemahaman bahwa pengembangan kota harus dilakukan sesuai dengan daya
dukunya termasuk daya dukung yang relatif rendah di lingkungan
permukiman kumuh. Investasi yang salah terhadap pemanfaatan ruang kota
akan menimbulkan dampak yang merusak lingkungan serta berpotensi
mendorong tumbuhkembangnya lingkungan permukiman kumuh atau
kantong-kantong lingkungan permukiman kumuh baru, bahkan bisa jadi akan
menghapus lingkungan permukiman lama atau kampung-kampung kota yang
mempunyai nilai warisan budaya tinggi yang kebetulan pada saat itu
lingkungan telah mengalami kemerosotan atau memburuk.
7.
Faktor Aksesibilitas . Secara umum, salah satu penyebab munculnya
permukiman kumuh adalah terbatasnya akses penduduk miskin kepada kapital
komunitas (community capital). Kapital komunitas ini meliputi kapital
terbangun, individu dan sosial serta lingkungan alam. Kapital terbangun
meliputi informasi, jalan, sanitasi, drainase, jaringan listrik, ruang terbuka,
perumahan, pasar, bangunan-bangunan pelayanan publik, sekolah dan
sebagianya. Kapital individu, antara lain meliputi pendidikan, kesehatan
kemampuan dan keterampilan. Kapital sosial, antara lain meliputi koneksitas
dalam suatu komunitas-cara manusia berinteraksi dan berhubungan dengan
lainnya. Dalam skala lebih luas, sekelompok manusia membentuk organisasi,
baik organisasi sukarela, bisnis melalui perusahaan maupun pemerintah dan
pembangunan kota. Sedangkan kapital lingkungan alam meliputi sumber daya
alam, pelayanan ekosistem dan estetika alam. Sumber daya alam adalah apa
saja yang diambil dari alam sebagai bagian dari bahan dasar yang dipakai
untuk proses produksi. Pelayanan ekosistem antara lain berupa kemampuan
tanah untuk budidaya tanaman yang bisa memberikan bahan makanan, bahan
untuk pakaian dan sebagainya.
8.
Faktor Pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam hal
pencapaian pekerjaan dan pendapatan. Meskipun begitu, pendidikan sangat
ditentukan oleh pendidikan itu sendiri dan pekerjaan orang tua untuk mampu
menyekolahkan anak mereka pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal
ini berarti perbedaan latar belakang budaya dan sosial ekonomi (pendidikan
dan pekerjaan) orang tua tidak hanya berpengaruh terhadap pendidikan anak
tetapi juga untuk pencapaian pekerjaan dan pendapatan mereka. Sedangkan
faktor lain seperti : tempat tinggal, agama, status perkawinan dan status
migrasi, serta umur sangat kecil pengaruhnya terhadap pencapaian pekerjaan
dan pendapatan. Banyak kaum migran tidak bisa bekerja dengan
standar-standar yang tinggi. Sementara persaingan untuk mencari lapangan kerja
sangat tinggi dan kesemuanya dituntut dengan tingkat propesionalisme dan
tingkat pendidikan pula yang harus dapat bersaing dengan orang lain. Dilain
pihak kota-kota di Indonesia memiliki kelebihan jumlah tenaga kerja yang
belum dapat tersalurkan baik yang memiliki pendidikan tinggi maupun mereka
yang sama sekali tidak memiliki skill dan keterampilan yang tinggi untuk bisa
bertahan pada jalur formal. Elemen lain yang juga menentukan adalah tidak
akumulasi kejadian tersebut memunculkan angka pengangguran yang setiap
tahunnya semakin bertambah.
Menurut Suparlan dalam Putro (2011) penyebab adanya kawasan kumuh atau peningkatan jumlah kawasan kumuh yang ada di kota adalah :
1. Faktor ekonomi seperti kemiskinan dan krisis ekonomi. Faktor ekonomi atau kemiskinan mendorong bagi pendatang untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di kota-kota. Dengan keterbatasan pengetahuan, keterampilan, dan modal, maupun adanya persaingan yang sangat ketat di antara sesama pendatang maka pendatang-pendatang tersebut hanya dapat tinggal dan membangun rumah dengan kondisi yang sangat minim di kota-kota. Di sisi lain pertambahan jumlah pendatang yang sangat banyak mengakibatkan pemerintah tidak mampu menyediakan hunian yang layak.
2. Faktor bencana. Dapat pula menjadi salah satu pendorong perluasan kawasan kumuh. Adanya bencana, baik bencana alam seperti misalnya banjir, gempa, gunung meletus, longsor maupun bencana akibat perang atau pertikaian antar suku juga menjadi penyebab jumlah rumah kumuh meningkat dengan cepat.
Penghasilan rendah, pendidikan yang sangat kurang, dan kelangkaan waktu yang tersedia oleh pekerjaan, menyebabkan masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari lingkaran kemiskinan. Proses yang ditempuh masyarakat miskin untuk memperoleh perumahan seringkali berada di luar hukum. Menurut Mc Auslan dalam Hasanuddin (2014) ada lima konsekuensi yang berbahaya, antara lain :
kiri-kanan rel kereta api. Tanah yang demikian tidak mempunyai nilai komersial sehingga penghuniannya terhindar dari kemungkinan terkena operasi pembongkaran atau penggusuran.
2. Karena status yang tidak legal dan tidak menentu, mereka praktis tidak terjangkau prasarana yang dibuat pemerintah, seerti air ledeng, pembuangan sampah, jalan aspal, sekolah, dan puskesmas.
3. Kota itu sendiri berkembang secara serampangan, permukiman-permukiman liar bermunculan di bagian kota yang tidak diinginkan, sehingga seringkali ketersediaan pelayanan umum yang sangat dibutuhkan tersebut tidak memungkinkan.
4. Karena para penghuni liar ini berada dalam keadaan tidak menentu dan tidak mengetahui apakah akan digusur atau tidak, maka mereka tidak berani memperbaiki perumahan mereka.
5. Karena statusnya sebagai permukiman liar, perkampungan miskin itu lebih banyak mendapat tekanan dari oknum-oknum petugas, yang melakukan pembongkaran dan penggusuran.
2.5.Penanganan Kawasan Kumuh
Kondisi kekumuhan pada kawasan perkotaan yang sulit dipertahankan baik sebagai hunian maupun kawasan fungsional lain. Jenis kekumuhan yang perlu dihapuskan atau dikurangi dengan prinsip didayagunakan (direvitalisasi atau di-refungsionalkan) adalah sebagai berikut:
1. Kawasan Kumuh Di Atas Tanah Legal
yang dalam RUTR diperuntukkan sebagai zona perumahan. Untuk model penanganannya dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu:
a. Model Land Sharing
Yaitu penataan ulang di atas tanah/lahan dengan tingkat kepemilikan masyarakat cukup tinggi. Dalam penataan kembali tersebut, masyarakat akan mendapatkan kembali lahannya dengan luasan yang sama sebagaimana yang selama ini dimiliki/dihuni secara sah, dengan memperhitungkan kebutuhan untuk prasarana umum (jalan, saluran dll). Beberapa prasyarat untuk penanganan ini antara lain : a) Tingkat pemilikan/penghunian secara sah (mempunyai bukti pemilikan/ penguasaan atas lahan yang ditempatinya) cukup tinggi dengan luasan yang terbatas, b) Tingkat kekumuhan tinggi dengan kesediaan lahan yang memadai untuk menempatkan prasarana dan sarana dasar, dan c) Tata letak permukiman tidak terpola.
b. Model Land Consolidation
2. Kawasan Kumuh Di Atas Tanah Tidak Legal
Yang dimaksudkan dengan tanah tidak legal ini adalah kawasan permukiman kumuh yang dalam RUTR berada pada peruntukan yang bukan perumahan. Disamping itu penghuniannya dilakukan secara tidak sah pada bidang tanah; baik milik negara, milik perorangan atau Badan Hukum. Contoh nyata dari kondisi ini antara lain: permukiman yang tumbuh di sekitar TPA (tempat pembuangan akhir persampahan), kantung-kantung kumuh sepanjang bantaran banjir, kantung kumuh yang berasal di belakang bangunan umum dalam suatu kawasan fungsional, dan lain-lain.
Penanganan kawasan permukiman kumuh ini antara lain melalui:
a. Resettlement/pemindahan penduduk pada suatu kawasan yang khusus disediakan, yang biasanya memakan waktu dan biaya sosial yang cukup besar, termasuk kemungkinan tumbuhnya kerusuhan atau keresahan masyarakat. Pemindahan ini apabila permukiman berada pada kawasan fungsional yang akan/perlu direvitalisasikan sehingga memberikan nilai ekonomi bagi Pemerintah Kota/Kabupaten.
b. Konsolidasi lahan apabila dalam kawasan tersebut akan dilakukan re-fungsionalisasi kawasan dengan catatan sebagian lahan disediakan bagi lahan hunian, guna menampung penduduk yang kehidupannya sangat bergantung pada kawasan sekitar ini, bagi penduduk yang masih ingin tinggal di kawasan ini dalam rumah sewa.
c. Program ini diprioritaskan bagi permukiman kumuh yang menempati tanah-tanah negara dengan melakukan perubahan atau review terhadap RUTR.
Menurut Ridlo dalam
Kumala dan Yusman (2014) terdapat usaha
Peremajaan Kota (Urban Renewal); b) Program Perbaikan Kampung (KIP); c)
Rumah Susun; d) Relokasi (Resettlement); e) Konsolidasi Lahan; f) Pembagian
Lahan (Land Sharing) dan g. Pengembangan Lahan Terarah (Guide Land
Development).
2.6. Persyaratan Suatu Perumahan dan Pemukiman
2.6.1. Persyaratan Dasar Perumahan
Kawasan perumahan harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut :
a. Aksesibilitas
Yaitu kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan. Aksesibilitas dalam
kenyataannya berwujud jalan dan transportasi.
b. Kompatibilitas
Yaitu keserasian dan keterpaduan antar kawasan yang menjadi
lingkungannya.
c. Fleksibilitas
Yaitu kemungkinan pertumbuhan fisik/pemekaran kawasan perumahan
dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana.
d. Ekologi
Yaitu keterpaduan antara tatanan kegiatan alam yang mewadahinya.
2.6.2. Persyaratan Dasar Pemukiman
Suatu bentuk permukiman yang ideal di kota merupakan pertanyaan yang
menghendaki jawaban yang bersifat komprehensif, sebab Perumahan dan
Permukiman menyangkut kehidupan manusia termasuk kebutuhan manusia yang
Sehingga dapat dirumuskan secara sederhana tentang ketentuan yang baik
untuk suatu permukiman yaitu harus memenuhi sebagai berikut:
a.
Lokasinya sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain seperti
pabrik, yang umumnya dapat memberikan dampak pada pencemaran udara
atau pencemaran lingkungan lainnya.
b.
Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan
pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan lain-lain.
c.
Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air hujan dengan cepat
dan tidak sampai menimbulkan genangan air walaupun hujan yang lebat
sekalipun.
d.
Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa jaringan distribusi yang
siap untuk disalurkan ke masing-masing rumah.
e.
Dilengkapi dengan fasilitas air kotor / tinja yang dapat dibuat dengan sistem
individual yaitu tanki septik dan lapangan rembesan, ataupun tanki septik
komunal.
f.
Permukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara teratur
agar lingkungan permukiman tetap nyaman.
g.
Dilengkapi dengan fasilitas umum seperti taman bermain bagi anak-anak,
lapangan atau taman, tempat beribadat, pendidikan dan kesehatan sesuai
dengan skala besarnya permukiman itu.
h.
Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon.
2.6.3. Maksud dan Tujuan Pembangunan Pemukiman
a.
Memperbaiki keadaan pemukiman dan lingkungannya untuk meningkatkan
kesejahteraan sosial masyarakat.
b.
Mengembangkan dan meningkatkan sarana, prasarana dan fasilitas
lingkungan.
c.
Meningkatkan dan memanfaatkan kembali fungsi-fungsi perkotaan dengan
lebih mengutamakan tata guna tanah.
Secara lebih khusus, menurut Undang-undang No.1 tahun 2011 tentang
Perumahan dan Pemukiman dijelaskan bahwa penataan perumahan dan
pemukiman bertujuan untuk :
a.
Memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia
dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.
b.
Mewujudkan pemukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman,
serasi dan teratur.
c.
Memberi arah pada pertumbuhan wilayah dan penyebaran penduduk yang
rasional.
d.
Menunjukkan pembangunan di bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang
lainnya.
2.7. Partisipasi Masyarakat dalam Penanganan Permukiman Kumuh
Dalam penyelengaraan peningkatan kualitas lingkungan permukiman
kumuh terdapat 3 pendekatan (Setijanti, 2010), yakni: (1). Pendekatan
partisipatori, yang mampu mengeksplorasi masukan dari komunitas, khususnya
kelompok sasaran, yang mefokuskan pada permintaan lokal, perubahan prilaku
operasional dan pemeliharaannya. (2). Pembangunan berkelanjutan, yang
dilaksanakan dengan menaruh perhatian utama pada pencapaian tujuan
pembangunan lingkungan yang terintegrasi dalam satu kesatuan sistem dengan
pencapaian tujuan pembangunan sosial dan ekonomi. Pendekatan ini dilakukan
dengan memadukan kegiatan-kegiatan penyiapan dan pemberdayaan masyarakat,
serta kegiatan pemberdayaan usaha ekonomi dan komunitas dengan kegiatan
pendayagunaan prasarana dan sarana dasar perumahan dan permukiman sebagai
satu kesatuan sitem yang tidak terpisahkan. (3). Pendekatan secara fisik dari sisi
tata ruang, pendekatan ini pada peningkatan kualitas lingkungan permukiman
kumuh merupakan bagian dari rencana umum tata ruang kota dan merupakan
suatu hal yang penting untuk meningkatkan fungsi dan manfaat ruang kota secara
integral. Bentuk-bentuk penanganan dengan pendekatan aspek keruangan
dibedakan menjadi 2 bagian, yakni : (1) Redefiasi merupakan penanganan
permukiman dengan melakukan intervensi program permukiman tanpa merubah
struktur ruang yang telah ada dan berjalan, yang terdiri dari kegiatan seperti : (a).
Revitalisasi (b). Rehabilitasi, (2) Restrukturisasi merupakan suatu proses
penstruktur kembali pola ruang atau struktur ruang yang telah ada, meliputi : (a).
Renewal (b). Redevelopment (c). Restorasi
2.7.1. Faktor yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat
Menurut Slamet (1993), faktor-faktor internal yang mempengaruhi
partisipasi masyarakat adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, tingkat
pendapatan, dan mata pencaharian. Faktor internal ini merupakan faktor yang
berasal dari individu itu sendiri. Secara teoritis, tingkah laku individu
1.
Jenis Kelamin, partisipasi yang diberikan oleh seorang pria dan wanita
dalam pembangunan akan berbeda, hal ini disebabkan oleh adanya sistem
pelapisan sosial yang terbentuk dalam masyarakat, yang menimbulkan
perbedaan hak dan kewajiban antara pria dan wanita. Golongan pria
memiliki hak istimewa dibandingkan golongan wanita. maka akan ada
kecenderungan dimana kelompok pria akan lebih banyak berpartisipasi.
2.
Usia, perbedaan usia juga mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat
karena dalam masyarakat terdapat pembedaan atas dasar senioritas yang
akan memunculkan golongan tua dan goongan muda, dimana dalam hal ini
golongan tua yang dianggap lebih berpengalaman dan akan lebih banyak
memberikan pendapat dalam hal menetapkan keputusan.
3.
Tingkat Pendidikan, semakin tinggi latar belakang pendidikan seseorang,
maka semakin tinggi pula pengetahuan yang luas tentang pembangunan dan
bentuk serta tata cara partisipasi yang dapat diberikan. Faktor pendidikan
dianggap penting karena dengan pendidikan yang diperoleh, seseorang lebih
mudah berkomunikasi dengan orang luar, dan cepat tanggap terhadap
inovasi.
4.
Tingkat Penghasilan, masyarakat yang berpenghasilan rendah cenderung
berpartisipasi dalam hal tenaga, sedangkan masyarakat berpenghasilan
tinggi lebih memilih berpartisipasi dalam hal uang. Besarnya tingkat
penghasilan akan memberi peluang lebih besar bagi masyarakat untuk
berpartisipasi. Tingkat penghasilan ini mempengaruhi kemampuan finansial
5.
Mata Pencaharian, hal ini berkaitan dengan tingkat penghasilan seseorang.
Hal ini disebabkan pekerjaan akan berpengaruh terhadap waktu luang
seseoarang untuk terlibat alam pembangunan, misalnya dalam hal
menghadiri pertemuan, kerja bakti dan sebagainya.
2.7.2. Bentuk-Bentuk Patisipasi Masyarakat
Menurut Holil (1980) meliputi: (1) Buah Pikiran; (2) Tenaga; (3) Sosial;
(4) Keahlian; (5) Barang; dan (6) Uang; (7) Pengambilan Keputusan; (8)
Partisipasi Representatif. Dari jenis-jenis partisipasi tersebut akan dijabarkan
sebagai berikut:
1.
Pikiran : pikiran merupakan jenis partisipasi yang menggunakan pikiran/ide
seseorang atau kelompok yang bertujuan untuk mencapai sesuatu yang
diinginkan, baik untuk menyusun program, memperlancar pelaksanaan
program.
2.
Tenaga : merupakan jenis partisipasi pada level kedua dimana partisipasi
tersebut dengan mendaya gunakan seluruh tenaga yang dimiliki secara
kelompok maupun individu untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.
3.
Partisipasi Sosial : merupakan jenis partisipasi yang dilakukan
bersama-sama dalam suatu kelompok sebagai tanda paguyuban dalam mencapai
tujuan yang sama.
4.
Keahlian : merupakan bentuk partisipasi dimana dalam hal tersebut keahlian
menjadi unsur yang paling diinginkan, memberikan bantuan melalui
keahlian yang dimilikinya untuk melakukan kegiatan yang dapat
5.
Barang : merupakan bentuk partisipasi dimana partisipasi dilakukan dengan
menyumbang harta benda atau barang untuk membantu mencapai hasil yang
diinginkan.
6.
Uang : merupakan bentuk partisipasi dimana partisipasi tersebut
menggunakan uang sebagai alat untuk mencapai kebutuhan masyarakat
yang memerlukan bantuan. Biasanya tingkat partisipasi tersebut dilakukan
oleh orang-orang pada kalangan atas.
7.
Pengambilan Keputusan : dalam partisipasi ini masyarakat dilibatkan dalam
diskusi atau forum dalam rangka mengambil keputusan dalam suatu
program.
8.
Partisipasi Representatif : bentuk partisipasi yang dilakukan dengan cara
memberikan mandat kepada wakil yang duduk di suatu organisasi.
2.8. Pengembangan Wilayah.
Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menambah, meningkatkan, memperbaiki atau memperluas. Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses iteratif yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang bersifat dinamis (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010).
unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.
Pengembangan wilayah yaitu setiap tindakan pemerintah yang akan dilakukan bersama-sama dengan para pelakunya dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan yang menguntungkan bagi wilayah itu sendiri maupun bagi kesatuan administratif di mana wilayah itu menjadi bagiannya, dalam hal ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (Mulyanto, 2008). Di dalam sebuah wilayah terdapat berbagai unsur pembangunan yang dapat digerakkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Unsur dimaksud seperti sumber daya alam (natural resources), sumber daya manusia (human resources), infrastruktur (infrastructure), teknologi (technology) dan budaya (culture) (Miraza, 2005).
Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai arti peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah tertentu mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rata-rata banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis, intensitas, pelayanan maupun kualitasnya.
Perencanaan pembangunan wilayah semakin relevan dalam mengimplementasikan kebijakan ekonomi dalam aspek kewilayahan. Hoover dan Giarratani dalam Nugroho dan Dahuri (2004) menyimpulkan tiga pilar penting dalam proses pembangunan wilayah, yaitu :
disebabkan adanya faktor-faktor lokal (bersifat khas atau endemik, misalnya iklim dan budaya) yang mengikat mekanisme produksi sumber daya tersebut sehingga wilayah memiliki komparatif. Sejauh ini karakteristik tersebut senantiasa berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan, dan kelompok usaha sektor primer lainnya.
2. Aglomerasi (imperfect divisibility). Pilar aglomerasi merupakan fenomena eksternal yang berpengaruh terhadap pelaku ekonomi berupa meningkatnya keuntungan ekonomi secara spasial. Hal ini terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam pengangkutan bahan baku dan distribusi produk.
3. Biaya transpor (imperfect mobility of good and service). Pilar ini adalah yang paling kasat mata mempengaruhi aktivitas perekonomian. Implikasinya adalah biaya yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak dapat lagi diabaikan dalam proses produksi dan pembangunan wilayah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan wilayah antara lain dipengaruhi oleh aspek-aspek keputusan lokasional, terbentuknya sistem perkotaan, dan mekanisme aglomerasi. Istilah pertumbuhan wilayah dan perkembangan wilayah sesungguhnya tidak bermakna sama. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah merupakan suatu proses kontinu hasil dari berbagai pengambilan keputusan di dalam ataupun yang mempengaruhi suatu wilayah.
ruang, pemanfaatan ruang, serta pengendaliannya. Konsep dasar penataan ruang wilayah dan kota dengan pendekatan pengembangan wilayah pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan memperhatikan comparative advantage di suatu wilayah, serta mengeleminir kesenjangan pembangunan dengan mengurangi kawasan-kawasan yang miskin, kumuh dan tertinggal.
2.9. Kerangka Pemikiran
. Tumbuhnya kawasan permukiman yang kurang layak huni, bahkan yang terjadi pada berbagai kota cenderung berkembang menjadi kumuh dan tidak sesuai lagi dengan kondisi lingkungan permukiman yang sehat. Permukiman di Kota Tebing Tinggi dapat disebabkan : 1) kondisi kawasan kumuh; 2) sosial ekonomi masyarakat; 3) adanya faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat tinggal di kawasan kumuh; dan 4) tingkat partisipasi masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat di kawasan kumuh.
Tingkat sosial ekonomi masyarakat kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi adalah bermata pencaharian sebagai tukang becak, tukang bangunan, teknisi radio, pemulung, penjahit, pedagang, dan PNS, serta lahan yang ada di wilayah ini tidak seluruhnya berstatus hak milik, hal ini ditunjukkan bahwa jarak 2-3 meter dari sungai yang melintasi wilayah tersebut merupakan jalur hijau.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi keinginan masyarakat tinggal di kawasan kumuh Kota Tebing Tinggi adalah harga lahan, jarak ke tempat kerja, tingkat pendapatan, dan mata pencaharian.
Tingkat partisipasi masyarakat diukur melalui : 1) Kondisi pendukung partisipasi dengan tingkat partisipasi masyarakat. Kondisi pendukung partisipasi terdiri dari 5 variabel yaitu frekuensi dilibatkan, keinginan terlibat, penguasaan informasi, frekuensi kehadiran, jumlah jenis sumbangan; 2) Kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan tingkat partisipasinya. Kondisi sosial ekonomi terdiri dari 6 variabel yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, lama tinggal, jenis mata pencaharian, tingkat pendapatan penduduk; dan 3) Kondisi sosial ekonomi masyarakat dengan kondisi pendukung partisipasi.
Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Penelitian
2.10. Hipotesis
Harga lahan, jarak tempat kerja, tingkat pendapatan, dan tingkat pendidikan berpengaruh terhadap masyarakat tinggal di kawasan kumuh.
Kota Tebing Tinggi
Kawasan Kumuh
Kondisi Kawasan
Kumuh
Faktor-faktor tinggal di Kawasan
Kumuh
Penanganan Kawasan Kumuh Sosial
Ekonomi Masayarakat