BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara survei deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Setiap lansia yang menjadi subjek penelitian diobservasi hanya satu kali saja. Penggunaan obat-obatan dan penyakit sistemik yang diderita diketahui melalui data rekam medik serta terjadinya xerostomia diukur menurut keadaan atau status saat diobservasi.36
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai yang berlokasi di Jalan Perintis Kemerdekaan GG. Sasana No.2 Kel. Cengkehturi Binjai. Pemilihan panti jompo ini dikarenakan pada panti ini terdapat kelompok lansia sehingga akan memudahkan peneliti menemukan subjek penelitian lansia. Waktu penelitian adalah bulan Februari 2016 sampai seluruh jumlah sampel terpenuhi.
3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi
Populasi penelitian adalah para lansia yang menghuni UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016.
3.3.2 Sampel
Keterangan:
n : ukuran sampel yang diperlukan d : persisi relative 10% (0,1)
P : proporsi populasi diambil berdasarkan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Tumengkol dkk (2011) yaitu mengunakan persentase gambaran xerostomia pada lansia di Desa Kembuan Kecamatan Tondano Utara yaitu sebesar 45,45% (0,4545).
Z : nilai kepercayaan 0,95% = 1,96
n = Za2 d
x P x (1- P)
2
n = (1,96)2
(0,1)
x 0,4545 x (1-0,4545)
2
n = 95,24
Besar sampel minimum yang didapati adalah 95,24 atau 96 orang. Maka jumlah sampel yang diambil pada penelitian ini adalah 100 orang. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah metode non probability sampling
jenis purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang memenuhi persyaratan artinya, memenuhi kriteria yang dapat dijadikan sampel.36
3.3.3 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 3.3.3.1Kriteria Inklusi
1. Lansia berusia 60 tahun ke atas.
2. Lansia yang setuju menjadi subjek penelitian.
3.3.3.2Kriteria Eksklusi
3.4 Identifikasi Variabel Penelitian
1. Lansia adalah kelompok usia lanjut yang mengalami proses menua (60 tahun ke atas).
a. Usia adalah perhitungan ulang tahun responden yang dihitung sejak tahun lahir sampai ulang tahun terakhir saat dilakukan penelitian.
1
38
b. Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-laki dan perempuan sejak seseorang lahir.
Cara ukur adalah melihat identitas lansia dari daftar nama para lansia di UPT dan ditulis dalam lembar pemeriksaan dalam satuan tahun.
38
c. Penyakit sistemik adalah kondisi yang diderita oleh lansia seperti penyakit gastrointestinal, penyakit hipertensi, penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus, penyakit ginjal, penyakit neurologik, penyakit psikologik dan penyakit respiratori.
Cara ukur adalah melihat identitas lansia dari daftar nama para lansia di UPT dan ditulis dalam lembar pemeriksaan.
9
d. Obat-obatan adalah bahan atau paduan bahan yang digunakan oleh lansia dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dan peningkatan kesehatan seperti obat antihipertensi (contoh Captopril
Cara ukur adalah melalui data rekam medik.
®
), obat gastrointestinal (contoh Antasida®) dan obat respiratori (contoh Salbutamol®).39
2. Xerostomia adalah kondisi kekeringan pada rongga mulut lansia. Cara ukur adalah melalui data rekam medik.
genangan saliva pada dasar mulut tidak ada, kehilangan papila lidah, terjadi perubahan pada permukaan gingiva, mukosa oral berkilat seperti kaca terutama pada bagian palatal, lobul atau fisur pada lidah dan terdapat debris pada mukosa palatal.32
3.6 Sarana Penelitian 3.6.1 Alat
1. Alat tulis 2. Kaca mulut 3. Nerbeken 4. Lampu senter
5. Lembar pemeriksaan
3.6.2 Bahan
1. Sarung tangan 2. Masker 3. Tisu 4. Alkohol 5. Air
6. Povidon iodin
3.6.3 Formulir Pencatatan
Formulir pencatatan terdiri dari blanko lembar pemeriksaan yang mencakup data demografi (nama, umur, jenis kelamin), penyakit sistemik, obat-obatan dan pemeriksaan klinis xerostomia (pemeriksaan ekstraoral dan intraoral).
3.7 Metode Pengumpulan Data
didapatkan dari data rekam medik. Kemudian peneliti melakukan pemeriksaan klinis xerostomia yang mencakup pemeriksaan ekstraoral dan intraoral untuk membuktikan ada atau tidaknya xerostomia.
3.8 Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dari lembar hasil pemeriksaan kelompok lansia kemudian dianalisis secara manual dan ditabulasikan.
3.9 Analisis Data
Data yang sudah terkumpul ditabulasikan dan analisa data dilakukan dengan cara perhitungan persentase yang meliputi:
1. Distribusi dan frekuensi kelompok lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berdasarkan usia.
2. Distribusi dan frekuensi kelompok lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berdasarkan jenis kelamin.
3. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016.
4. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan usia. 5. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan jenis
kelamin.
6. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan penyebab. 7. Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan faktor
penyebab penyakit sistemik.
3.10 Etika Penelitian
Etika penelitian dalam penelitian ini mencakup hal sebagai berikut: 1. Ethical Clearance
Peneliti mengajukan persetujuan pelaksanaan penelitian kepada komisi etik penelitian kesehatan berdasarkan ketentuan etika yang bersifat internasional maupun nasional.
2. Lembar Persetujuan (Informed Consent)
Peneliti meminta secara sukarela subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan. Bagi subjek yang setuju, dimohon untuk menandatangani lembar persetujuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Data Demografi Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini terdiri dari 100 orang lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016. Berdasarkan usia, pada penelitian ini lansia dibagi atas 3 kelompok usia menurut World Health Organization (WHO) yaitu pada kelompok usia lanjut (60-74 tahun) sebanyak 56 orang (56%), kelompok usia tua (75-90 tahun) sebanyak 44 orang (44%) dan kelompok usia sangat tua (>(75-90 tahun) sebanyak 0 orang (0%) (Tabel 1).
Tabel 1: Distribusi dan frekuensi kelompok lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berdasarkan usia.
Usia Frekuensi (n) Persentase (%)
60 – 74 75 – 90 >90
56
44
0
56%
44%
0%
Jumlah 100 100%
Tabel 2: Distribusi dan frekuensi kelompok lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berdasarkan jenis kelamin.
Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%) Laki-laki
Perempuan
42
58
42%
58%
Jumlah 100 100%
4.2 Frekuensi Xerostomia
Hasil penelitian ini menunjukkan lansia yang mengalami xerostomia ketika dilakukan penelitian adalah sebanyak 53 orang (53%), sedangkan yang tidak mengalami xerostomia adalah sebanyak 47 orang (47%) (Tabel 3).
Tabel 3: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016.
Xerostomia Frekuensi (n) Persentase (%)
Xerostomia (+) 53 53%
Xerostomia (-) 47 47%
Jumlah 100 100%
Tabel 4: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan usia.
Usia
Xerostomia
Frekuensi (n) Persentase (%) 60 – 74
Penelitian menunjukkan dari 53 orang yang mengalami xerostomia, sebanyak 36 orang (67,92%) adalah perempuan dan 17 orang (32,07%) adalah laki-laki (Tabel 5).
Tabel 5: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan jenis kelamin.
Jenis Kelamin
Xerostomia
Frekuensi (n) Persentase (%) Laki-laki
Tabel 6: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan penyebab.
Faktor Penyebab
Xerostomia
Frekuensi (n) Persentase (%) a. Penyakit sistemik +
Obat-obatan
50 94,34%
b. Penyebab lain 3 5,66%
Jumlah 53 100%
Pada penelitian ini, dari 53 orang lansia yang xerostomia menunjukkan bahwa sebanyak 13 orang (24,53%) memiliki penyakit hipertensi, diikuti penyakit hipertensi + Rheumatoid arthritis sebanyak 10 orang (18,87%), penyakit respiratori sebanyak 7 orang (13,21%), penyakit rheumatoid arthritis sebanyak 6 orang (11,32%), penyakit gastrointestinal sebanyak 6 orang (11,32%), penyakit hipertensi + penyakit gastrointestinal sebanyak 3 orang (5,66%), penyakit diabetes mellitus sebanyak 3 orang (5,66%) dan penyakit diabetes mellitus + Rheumatoid arthritis
sebanyak 2 orang (3,77%). Sementara itu, 3 orang (5,66%) lansia yang xerostomia ditemukan tidak memiliki penyakit sistemik (Tabel 7).
Tabel 7: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan faktor penyebab penyakit sistemik.
Penyakit Sistemik
Xerostomia
Frekuensi (n) Persentase (%) Ada penyakit sistemik:
a. Penyakit hipertensi 13 24,53%
b. Penyakit hipertensi +
rheumatoid arthritis
Penyakit Sistemik
Xerostomia
Frekuensi (n) Persentase (%)
c. Penyakit respiratori 7 13,21%
d. Penyakit rheumatoid arthritis
6 11,32%
e. Penyakit gastrointestinal 6 11,32%
f. Penyakit hipertensi + Penyakit gastrointestinal
3 5,66%
g. Penyakit diabetes mellitus 3 5,66%
h. Penyakit diabetes mellitus +
rheumatoid arthritis
2 3,77%
Tidak memiliki penyakit sistemik 3 5,66%
Jumlah 53 100%
Tabel 8: Distribusi dan frekuensi xerostomia pada lansia berdasarkan faktor penyebab obat-obatan.
Obat-obatan
Xerostomia
Frekuensi (n) Persentase (%) Ada mengonsumsi obat-obatan:
a. Obat antihipertensi 13 24,53%
b. Obat antihipertensi +Obat
rheumatoid arthritis
10 18,87%
c. Obat respiratori 7 13,21%
d. Obat rheumatoid arthritis 6 11,32%
e. Obat gastrointestinal 6 11,32%
f. Obat antihipertensi + Obat gastrointestinal
3 5,66%
g. Obat antidiabetik 3 5,66%
h. Obat antidiabetik + Obat
rheumatoid arthritis
2 3,77%
Tidak mengonsumsi obat-obatan 3 5,66%
BAB 5 PEMBAHASAN
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menetapkan bahwa batasan usia lansia di Indonesia adalah 60 tahun ke atas. Usia harapan hidup dapat menunjukkan transisi epidemiologi dalam bidang kesehatan akibat meningkatnya jumlah angka kesakitan yang dihubungkan dengan penyakit degeneratif.40
Berdasarkan jenis kelamin, lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 paling banyak adalah perempuan (58%). Hal ini sesuai dengan pernyataan Badan Pusat Statistik RI, berdasarkan jenis kelamin, lansia yang paling banyak adalah perempuan.
Dengan demikian, pada penelitian ini lansia usia 75-90 tahun ditemukan lebih sedikit (44%) dibandingkan usia 60-74 tahun (56%). Sementara usia > 90 tahun dapat ditemukan pada pengumpulan data namun tidak memenuhi kriteria penelitian karena masalah kesehatan seperti stroke dan tidak dapat berkomunikasi.
40
perempuan yang memiliki 2 kromosom X sehingga dapat lebih tahan terhadap gejala-gejala penurunan fungsi tubuh daripada laki-laki.
Hasil penelitian ini menunjukkan sebanyak 53% lansia mengalami xerostomia. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Abdullah, ditemukan sebanyak 33,33% lansia mengalami xerostomia, sedangkan penelitian Tumengkol dkk ditemukan sebanyak 45,45% lansia mengalami xerostomia.
41
9-10
Penyebab perbedaan hasil ini dikarenakan variabilitas responden yang terlibat seperti perbedaan proporsi jumlah sampel dan usia. Pada penelitian ini, jumlah sampel penelitian adalah 100 orang dan hanya melibatkan lansia yang dikelompokkan menurut WHO yaitu 60 tahun ke atas. Berbeda dari penelitian yang dilakukan oleh Abdullah, jumlah sampel penelitian adalah 1132 orang yaitu antara usia 10-79 tahun sedangkan pada penelitian Tumengkol dkk, jumlah sampel penelitian adalah 83 orang yaitu antara usia 40-70 tahun.9-10
Berdasarkan kelompok usia subjek penelitian, lansia yang mengalami xerostomia paling banyak ditemukan pada usia 75-90 tahun (58,49%) sedangkan paling sedikit ditemukan pada usia 60-74 tahun (41,51%). Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi proses penuaan. Proses penuaan akan menyebabkan terjadinya perubahan dan kemunduran fungsi kelenjar saliva, dimana kelenjar parenkim hilang dan diganti oleh jaringan lemak dan penyambung serta terjadi atropi pada lapisan sel duktus intermediate. Keadaan ini menyebabkan pengurangan jumlah saliva dan perubahan komposisinya.
Pada penelitian ini, diantara 100 orang lansia hanya 53 orang lansia yang ditemukan mengalami xerostomia karena sistem imun yang baik. Selain itu, nutrisi dan gaya hidup yang sehat misalnya banyak mengonsumsi makanan yang mengandung serat dan protein, bersosialisasi dengan orang lain, kurang stres dan lingkungan yang aman dapat mengurangi masalah xerostomia.
7,30
dihubungkan dengan menopause. Xerostomia pada perempuan menopause dipengaruhi oleh perubahan hormonal.9 Estrogen adalah salah satu steroid yang mempunyai reseptor di kelenjar saliva dan mukosa mulut. Reseptor estrogen di kelenjar saliva sangat berperan terhadap komposisi dan kecepatan sekresi saliva. Efek estrogen dimediasi oleh reseptor estrogen, yang terdiri dari dua subtipe yaitu reseptor estrogen alfa dan reseptor estrogen beta. Pertumbuhan sel pada epitel mukosa mulut, kelenjar saliva dan gingiva diatur oleh reseptor estrogen beta. Menurunnya kadar reseptor estrogen beta pada perempuan menopause mengakibatkan penurunan fungsi kelenjar saliva. Perempuan menopause akan mengalami mulut kering karena volume saliva berkurang yang ditandai dengan tidak ditemukannya genangan saliva di dasar mulut.
Berdasarkan dengan faktor penyebab, diantara 53 orang lansia yang mengalami xerostomia, didapati bahwa sebanyak 50 orang (94,34%) akibat menderita penyakit sistemik dan mengonsumsi obat-obatan sementara 3 orang (5,66%) karena penyebab lain. Faktor yang tergolong dalam penyebab lain dari xerostomia diduga karena faktor fisiologis yang terdiri dari riwayat kebiasaan bernafas melalui mulut, gangguan emosional dan proses penuaan. Selain itu, terdapat faktor lain seperti riwayat penyakit sistemik yang tidak diketahui.
9,23,43
6,23,30
penggunaan obat-obatan, menurut Abdullah prevalensi xerostomia terlihat paling tinggi pada penderita dengan penyakit psikologis (57,14%) dan pada pengguna obat antihistamin (66,66%).9 Sementara itu, menurut Tumengkol dkk, prevalensi xerostomia terlihat paling tinggi pada penderita dengan penyakit diabetes mellitus (78,57%) dan pada pengguna obat antihipertensi (38,46%).10 Hasil penelitian di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 berbeda dari penelitian yang dilakukan sebelumnya dimana prevalensi xerostomia yang paling tinggi ditemukan pada penderita dengan penyakit hipertensi (49,06%) dan penggunaan obat antihipertensi (49,06%). Menurut literatur, penyakit hipertensi tidak secara langsung menyebabkan xerostomia. Namun demikian, antihipertensi sebagai perawatan subjek yang menderita penyakit hipertensi diduga menimbulkan efek xerostomia.44 Golongan obat antihipertensi yang banyak digunakan oleh subjek penelitian ini adalah angiotensin converting enzymes (ACE) inhibitor yaitu captopril®. Pada penderita hipertensi, angiotensin converting enzyme dapat merubah angiotensin I menjadi angiotensin II yang bersifat aktif dan dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah serta mensekresi aldosteron dalam korteks adrenal. Peningkatan sekresi aldosteron akan mengakibatkan ginjal meretensi natrium dan cairan, serta mensekresi kalium yang merupakan penyebab hipertensi. Penggunaan ACE inhibitor
dapat menurunkan kadar angiotensin II plasma. Dalam kerjanya, ACE inhibitor akan menghambat kerja ACE, akibatnya pembentukan angiotensin II terhambat, timbul vasodilatasi pembuluh darah dengan mengaktifkan bradikinin, penurunan sekresi aldosteron sehingga ginjal mensekresi natrium dan cairan. Obat ini secara tidak langsung akan mempengaruhi saliva dengan mengubah keseimbangan cairan dan elektrolit.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit gastrointestinal merupakan penyakit sistemik yang dapat ditemukan pada 16,98% lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016. Obat yang digunakan untuk mengatasi rasa sakit maag adalah antasida
39,44
®
terjadinya dehidrasi dimana cairan yang disekresi lebih banyak daripada kapasitas absorpsi. Pada diare, terjadi kehilangan cairan, natrium dan klorida serta penekanan kalium sehingga akhirnya menimbulkan gejala haus dan lidah serta bibir terasa kering.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit respiratori merupakan penyakit sistemik yang dapat ditemukan pada 13,21% lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016. Obat bronkodilator yang digunakan untuk penyakit respiratori pada penelitian ini kebanyakan adalah salbutamol
30,42,45-46
®
. Menurut Haveles, salbutamol merupakan salah satu obat golongan agonis beta 2 yang dikategorikan dalam short-acting beta agonist. Penggunaan agonis beta 2 menyebabkan perubahan komposisi saliva dan berkurangnya sekresi saliva. Obat bronkodilator agonis beta 2 merupakan obat simpatomimetik yaitu obat yang bekerja pada saraf simpatis dan menyerupai kerja neurotransmitter adrenergik. Dengan adanya rangsangan simpatis, maka kelenjar submandibula dan kelenjar sublingual akan terstimulasi menghasilkan saliva mukus yang lebih kental, sementara itu kelenjar parotid yang tidak dipersarafi saraf simpatis tidak menghasilkan saliva yang kental. Dengan demikian, volume saliva yang dihasilkan akan lebih sedikit. Selain itu, obat golongan simpatomimetik menyebabkan vasokonstriksi sehingga terjadi penurunan aliran saliva dan akhirnya mengakibatkan xerostomia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rheumatoid arthritis merupakan penyakit sistemik yang dapat ditemukan pada 33,96% lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016. Berbeda dengan penyakit hipertensi, penyakit gastrointestinal dan penyakit respiratori yang secara tidak langsung menimbulkan xerostomia, rheumatoid arthritis diduga dapat menimbulkan efek xerostomia secara langsung.
48
terjadi aktivasi sel epitel yang melapisi sel asinar dan sel duktus pada kelenjar saliva. Pada fase kedua, terjadi inflamasi yang kronis disertai pelepasan limfosit, produksi antibodi dan menyebabkan destruksi pada kelenjar saliva. Selain kedua fase tersebut, disfungsi kelenjar saliva terkait rheumatoid arthritis, terjadi akibat meningkatnya degradasi matriks ekstraselular yang mengganggu komunikasi antara sel asinar pada kelenjar saliva dengan terminal saraf, sehingga mengurangi sekresi saliva dan akhirnya mengakibatkan xerostomia.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik RI, diabetes mellitus merupakan penyakit yang tertinggi di Indonesia.
50
40
Akan tetapi, di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 didapati bahwa diabetes mellitus merupakan penyakit sistemik yang paling sedikit diderita oleh lansia yaitu 9,43%. Ini karena pola makanan yang sehat yaitu lebih mengutamakan makanan yang berserat. Diabetes mellitus yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan aliran saliva, sehingga mulut terasa kering. Menurut literatur xerostomia dapat terjadi pada penderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol. Dehidrasi sebagai hasil dari hiperglikemia yang lama sebagai konsekuensi dari poliuria dan hipofungsi kelenjar saliva pada pasien dengan penyakit diabetes mellitus.51 Dehidrasi saja tidak dapat menyebabkan perubahan fungsi kelenjar saliva akan tetapi inflitrat limfositik yang terlihat pada jaringan kelenjar saliva labial mengindikasikan bahwa jaringan kelenjar saliva merupakan target suatu proses autoimun. Degenerasi yang terus menerus pada jaringan kelenjar saliva akan menyebabkan terjadinya hipofungsi kelenjar saliva dan gangguan komposisi saliva. Selain itu, pada diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 dapat menyebabkan pembesaran bilateral yang asimtomatik pada kelenjar parotis dan kadang-kadang pada kelenjar submandibularis.
Selain itu, pada penelitian ini ditemukan terdapat individu yang menderita lebih dari satu penyakit dan juga mengonsumsi lebih dari satu macam obat-obatan. Individu yang menggunakan lebih dari satu macam obat umumnya memiliki resiko lebih tinggi mengalami xerostomia.
26-27,51
30
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa prevalensi xerostomia pada lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai Tahun 2016 mencapai lebih dari separuh dari jumlah subjek penelitian yaitu 53%. Hal ini menunjukkan masalah kesehatan rongga mulut pada lansia harus diberikan perhatian serius.
Penelitian ini melihat xerostomia pada lansia berdasarkan faktor penyebab seluruh penyakit sistemik dan penggunaan obat-obatan. Diharapkan adanya penelitian lanjutan dengan memberikan edukasi pada lansia dengan mengadakan program penyuluhan untuk menangani masalah xerostomia pada lansia.