• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Aborsi Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah salah satu parameter untuk mengukur keberhasilan

pembangunan manusia.2

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan menjadi salah satu unsur

dari kesejahteraan umum yang semestinya diwujudkan sesuai dengan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan tidak adanya kesehatan, manusia tidak akan

produktif untuk hidup layak baik secara ekonomi maupun pendidikan yang baik.

Tanpa ada ekonomi yang baik, manusia tidak akan mendapat pelayan ataupun

pendidikan yang baik, begitu pula sebaliknya. Ketiganya ini saling berhubungan

dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

3

Berkaitan dengan permasalahan kesehatan, kesehatan reproduksi menjadi

bagian yang penting untuk tetap dijaga oleh setiap insan. Kesehatan reproduksi

merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak Dalam

Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

(UUK), menyebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,

mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup

produktif secara sosial dan ekonomis.

2

Sri Siswati, Etika dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan, 2013, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 2.

3

(2)

semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem,

fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, kesehatan reproduksi

adalah suatu keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental, dan

kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta proses reproduksi yang

pemikiran kesehatan reproduksi bukannya kondisi yang bebas dari penyakit

melaikan bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan

memuaskan sebelum dan sesudah menikah.

Sesuai dengan definisi diatas, ruang lingkus kesehatan reproduksi

sangatlah luas, karena mencakup keseluruhan kehidupan manusia sejak lahir

hingga mati. Ruang lingkup kesehatan reproduksi, meliputi kesehatan ibu dan

bayi baru lahir, keluarga berencana, kesehatan reproduksi remaja, serta

pencegahan dan penanggulangan aborsi, dan lain sebagainya

Pasal 73 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

menyebutkan bahwa:

“Pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana

pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan terjangkau masyarakat,

termasuk keluarga berencana.”

Segala sesuatu yang bertentangan dengan upaya menjaga kesehatan

reproduksi adalah dilarang oleh hukum termasuk didalamnya ialah aborsi. Aborsi

atau bahasa ilmiahnya adalah Abortus Provocatus, merupakan cara yang paling

(3)

merupakan cara yang paling berbahaya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

aborsi /abor.si/ berarti pengguguran kandungan.4

Aborsi dalam Bahaasa Inggris disebut abortion dan dalam bahasa latin

disebut abortus, yang berarti keguguran kandungan. Dalam bahasa arab, aborsi

disebut isqat al-haml atau ijhad, yaitu pengguguran janin dalam rahim. Menurut

istilah kedokteran, aborsi berarti pengakhiran kehamilan sebelum gestasi (28

minggu) atau sebelum bayi mencapai berat 1000 gram.

Dalam arti kriminalis, aborsi

adalah tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja karena suatu alasan dan

bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.

5

Aborsi (pengguguran kandungan) berbeda dengan keguguran atau dalam

bahasa jawa disebut keluron. Aborsi atau pengguguran kandungan adalah

penghentian kehamilan yang diprovokasi dengan berbaga macam cara sehingga

terjadi pengguguran. Sedangkan keguguran adalah kehamilan berhenti karena

faktor-faktor alamiah. 6

Aborsi telah dikenal sejak lama, Aborsi memiliki sejarah panjang dan telah

dilakukan oleh berbagai metode termasuk natural atau herbal, penggunaan

alat-alat tajam, trauma fisik dan metode tradisional lainnya, yang dilakukan oleh

dokter, bidan maupun dukun beranak, baik di kota-kota besar maupun di daerah

terpencil.

4

Departemen Pendidikan Nasional, 2012, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal 3

5

Abdurrahman, Dinamika Masyarakat Islam Dalam Wawasan Fiqih, PT. Remaja Rosdakarya Offset : Bandung, 2006. Hal.54

6

(4)

Aborsi itu sendiri dapat terjadi baik akibat perbuatan manusia (abortus

provokatus) maupun karena sebab-sebab alamiah, yakni terjadi dengan sendirinya,

dalam arti bukan karena perbuatan manusia (aborsi spontanus). Aborsi yang

terjadi karena perbuatan manusia dapat terjadi baik karena didorong oleh alasan

medis, misalnya karena wanita yang hamil menderita suatu penyakit dan untuk

menyelamatkan nyawa wanita tersebut maka kandungannya harus digugurkan

(aborsi provokatus therapeutics atau bisa disebut aborsi therapeuticus). Di

samping itu karena alasan-alasan lain yang tidak dibenarkan oleh hukum (abortus

provokatus criminalis atau disebut aborsi criminalis).

Abortus Provocatus dibagi dalam dua jenis, yaitu Abortus Provocatus

Therapeuticus dan Abortus Provocatus Criminalis. Abortus Provocatus

Therapeuticus merupakan Abortus Provocatus yang dilakukan atas dasar

pertimbangan kedokteran dan dilakukan oleh tenaga yang mendapat pendidikan

khusus serta dapat bertindak secara profesional. Sementara Abortus Provocatus

Criminalis adalah Abortus Provokatus yang secara sembunyi-sembunyi dan

biasanya oleh tenaga yang tidak terdidik secara khusus, termasuk ibu hamil yang

menginginkan perbuatan Abortus Provocatus tersebut. Abortus Provocatus

Criminalis merupakan salah satu penyebab kematian wanita dalam masa subur di

negara-negara berkembang.

Membahas persoalan aborsi sudah bukan merupakan rahasia umum dan

hal yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini dikarenakan aborsi yang terjadi dewasa

(5)

dan bisa saja dilakukan oleh berbagai kalangan, baik itu dilakukan secara legal

ataupun dilakukan secara ilegal.

Pengaturan bagaimana kedudukan hukum aborsi di Indonesia sangat perlu

dilihat kembali apa yang menjadi tujuan dari perbuatan aborsi tersebut. Sejauh ini,

persoalan aborsi pada umumnya dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai

tindak pidana. Namun, dalam hukum positif di Indonesia, tindakan aborsi pada

sejumlah kasus tertentu dapat dibenarkan apabila merupkan Abortus Provocatus

Therapeuticus.Aborsi sering dilakukan oleh kalangan remaja dan wanita yang

beranjak dewasa. Hal ini disebabkan karena pergaulan yang semakin bebas

sehingga membuat mereka melakukan hubungan seks pra nikah dengan

pasangannya. Alasan non-medis yang biasanya timbul dari wanita-wanita tersebut

diantaranya yaitu malu karena hamil di luar nikah, khawatir dapat mengganggu

kehidupan karir dan sekolah, tidak memiliki cukup biaya untuk merawat dan

membesarkan anak tersebut serta takut anaknya lahir tanpa pertanggung jawaban

ayahnya. Terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan tersebut, maka para pelaku

mencari jalan agar janin tersebut tidak terlahir, jalan yang ditempuh tentunya

adalah aborsi.

Setiap orang pada prinsipnya dilarang melakukan aborsi, tetapi ada

beberapa alasan yang membolehkan bahwa aborsi tersebut dibolehkan. Tindakan

(6)

tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh phak

yang berkompeten dan berwenang.7

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pengaturan

mengenai aborsi lebih luas daripada undang-undang sebelumnya, karena ditambah

untuk korban perkosaan , dengan alasan menimbulkan dampak psikologis bagi si

korban. Dalam hal ini tenaga medis juga harus berhati-hati dalam menyikapinya,

karena dengan alasan perkosaan pelaku dapat melakukan tindakan aborsi padahal

belum tentu si pelaku merupakan korban perkosaan. Jika ini terjadi, maka tenaga

medis selain tela menyalahi aturan hukum, juga sudah melanggar sumpah jabatan

dank kode etik.8

7

Sri Siswati,Op.Cit, hal 72. 8

Ibid, hal 72.

Pada saat ini banyak tenaga medis yang terlibat secara langsung dalam

tidakan aborsi. Ada yang terlibat dengan perasaan ragu-ragu dan tetap membatasi

pada kasus-kasus sulit yang menyudutkan mereka untuk mendukung

pengguguran, namum ada pula yang melakukanya tanpa perasaan bersalah.

Menghadapi situasi seperti ini, tenaga medis tetap harus berusaha menyadari

tugasnya untuk membela kehidupan. Wanita yang mengalami kesulitan itu perlu

dibantu dengan melihat jalan keluar lain yang bukan pengguguran langsung.

Tenaga medis hanya berani menolak pengguguran langsung dengan indikasi

ekonomi. Kesulitan ekonomi semestinya diperhatikan secara

(7)

Kode etik merupakan pola aturan atau tata cara sebagi pedoman

berperilaku, dalam kaitannya dengan profesi. Suatu kode etik menggambarkan

nilai-nilai professional yang diterjemahkan kedalam standart perilaku

anggotanya.9

Praktik aborsi yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak

bertanggungjawab adalah aborsi yang dilakukan dengan paksaan dan tanpa

persetujuan perempuan yang bersangkutan, yang dilakukan oleh tenaga medis

yang tidak professional, tanpa mengikuti standar profesi dan pelayanan yang

berlaku, diskriminatif, atau lebih mengutamakan imbalan materi daripada indikasi

medis.

LSDI (Lafal Sumpah Dokter Indonesia) dan KODEKI (Kode Etik

Kedokteran Indonesia) telah tercantum secara garis besar perilaku atau

tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak dilakukan seorang dokter dalam menjalankan

profesinya, tetapi ada beberapa dokter yang melakukan pelanggaran kode etik

bahkan pelanggaran etik sekaligus hukum (etikolegal). Disamping hal tersebut

diatas, dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan, menyebutkan:

“Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi yang

tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab serta bertentangan dengan

norma agama dan ketentuan peraturan perundang-undangan”

10

9

D. Veronica Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989), hal 68.

10

(8)

Tindak pidana aborsi sebagai suatu perbuatan terlarang, sudah sepantasnya

pelaku tindak pidana aborsi ini mempertanggungjawabkan perbuatannya. Tetapi

biarpun kasus ini sering terjadi, tidak diketahui bagaimana pertanggungjawaban

dokter atau pelaku terhadap pasien yang menjadi korban aborsi. Ketidakterbukaan

dokter ataupun pihak rumah sakit terhadap umum menjadi tanda tanya besar

mengenai pertanggungjawaban apa saja yang didapat oleh pasien. Kasus-kasus

mengenai aborsi memang banyak terjadi disekitar masyarakat, namun sulit untuk

membuktikannya karena ketidakterbukaan dokter dan tenaga medis lainnya

terhadap masyarakat umum.

D.Berdasarkan pemaparan diatas, penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan

judul: “Pertanggungjawaban Pidana terhadap Tindak Pidana Aborsi

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana ketentuan aborsi menurut hukum di Indonesia?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana aborsi?

C. Manfaat dan Tujuan Penelitan

Tujuan Penulisan yaitu:

1. Untuk mengkaji ketentuan aborsi yang legal menurut hukum di

Indonesia.

2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidanaterhadap tindak

pidana aborsi.

(9)

1. Secara teoritis dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan bagi

penulis, sehingga dapat memperluas pengetahuan dibidang ilmu

hukum dan dapat memperluas khazanah perbendaharaan keputusan

bidang ilmu hukum khususnya hukum pidana pada perpustakaan

Universitas Sumatera Utara.

2. Secara praktis

b. Untuk mengetahui tentang pertanggungjawaban pidana terhadap

tindak pidana aborsi.

c. Untuk mengetahui aturan tentang aborsi dalam hukum di Indonesia

dalam menanggulangi tindak pidana aborsi oleh dokter sudah tepat

pemberlakuaanya.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah

penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Universitas Sumatera

Utara (USU) Medan sejauh yang diketahui, ditemukan judul penelitian yang

menyangkut denganPertanggungjawaban Rumah Sakit dan Dokter Terhadap

Tindak Pidana Aborsi Ditinju Dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan, antara lain :

1. Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif Di Indonesia

Dan Hukum Islam.

Rumusan Masalahnya :

a. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Positif

(10)

b. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum Islam

c. Bagaimana Perbandingan Tindak Pidana Aborsi Menurut Hukum

positif di Indonesia dan Hukum Islam.

2. Tindakan Aborsi Dengan Alasan Indikasi Medis Karena Terjadinya

Kehamilan Akibat Perkosaan.

Rumusan Masalahnya :

a. Bagaimana ketentuan pidana aborsi menurut KUHP dan UU No. 36

tahun 2009 tentang kesehatan

b. Bagaimana bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah kepada

korban perkosaan

c. Bagaimana kehamilan Akibat Perkosaaan Bisa Dikatakan Sebagai

Alasan Indikasi Medis?

Dilihat dari permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai melalui

penulisan skripsi ini yang berjudul “Pertanggungjawaban Rumah Sakit dan

Dokter Terhadap Tindak Pidana Aborsi Ditinju Dari Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan”, maka dapat dikatakan bahwa judul skripsi ini

belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal ini

sejalan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh Departemen Hukum Pidana

mengenai keaslian judul penulisan skripsi ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi

(11)

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Dokter dan Rumah Sakit

Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan pengertian Dokter ialah

lulusan pendidikan kedokteran dalam hal penyakit dan pengobatannya.

Sedangkan dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa dokter dan dokter gigi

adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan

pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar

negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Dokter merupakan sebuah profesi yang memiliki tugas untuk

menyembuhkan penyakit orang-orang. Tugas mulia ini dilakukan sebagai

bentuk kemanusiaan dan perwujudan dari Pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni memajukan kesejahteraan

umum.

Didalam Kode Etik Kedokteran terdapat 4 (empat) kewajiban yang

dimiliki oleh dokter, yaitu:

1) Kewajiban umum seorang dokter

2) Kewajiban dokter terhadap pasien

3) Kewajiban dokter terhadap teman sejawat

(12)

Seorang dokter memiliki hak dan kewajiban dalam melakukan

tindakan medis yang diatur dalam Pasal 50 dan 51 Undang-Undang Nomor 29

Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Dalam Pasal 50 disebutkan hak

dokter sebagai berikut:

“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai

hak:

1. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai

dengan standar profesi dan standar prosedur operasional;

2. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar

prosedur operasional;

3. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dan pasien atau

keluarganya;

4. menerima imbalan jasa.”

Pasal 51 kewajiban seorang dokter disebutkan sebagai berikut:

“Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran

mempunyaikewajiban:

1. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi

danstandar prosedur operasional serta kebutuhan pasien;

2. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang

mempunyaikeahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila

tidak mampumelakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;

3. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang

(13)

4. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan,

kecualibila Ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu

melakukannya;

5. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu

kedokteran atau kedokteran gigi.

Seorang dokter pasti tidakakan lepas dengan istilah rumah sakit.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia rumah sakit merupakan gedung tempat

menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi berbagai

masalah kesehatan.

Menurut World Health Organization, Pengertian Rumah Sakit adalah

suatu bagian dari organisasi medis dan sosial yang mempunyai fungsi untuk

memberikan pelayanan kesehatan lengkap kepada masyarakat, baik kuratif

maupun preventif pelayanan keluarnya menjangkau keluarga dan lingkungan

rumah. Rumah sakit juga merupakan pusat untuk latihan tenaga kesehatan dan

penelitian biologi, psikologi, sosial ekonomi dan budaya.

Berdasarkan keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonsia

No.983/Menkes/per/II/1992 tugas rumah sakit adalah melaksanakan upaya

kesehatan serta berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya

penyembuhan dan pemulihan yang di laksanakan secara serasi dan terpadu

dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan upaya

rujukan.

Tujuan dari rumah sakit adalah untuk menghasilkan produk, jasa atau

(14)

pasien dari berbagai aspek, yang menyangkut medis dan non medis, jenis

pelayanan, prosedur pelayanan, harga dan informasi yang dibutuhkan.11

2. Pengertian Tindak Pidana

Sedangkan fungsi dari rumah sakit antara lain, sebagai fungsi

perawatan, pendidikan, serta penelitian dan lain-lain

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.Tindak

pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan

jahat atau kejahatan.Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk

tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana. Oleh sebab itu setiap

perbuatan yang dilarang oleh undang-undang harus dihindari dan arang siapa

melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan

kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib

dicantumkan dalam undangundang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik

di tingkat pusat maupun daerah.12

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam

undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan

perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai

11

S. Supriyanto dan Ernawati, 2010, Pemasaran Industri Jasa Kesehatan. Penerbit CV Andi Offset : Yogyakarta., hal.32

12

(15)

kesalahanapabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat

menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.13

Menurut Moeljatno, pada dasarnya tindak pidana merupakan suatu

pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian

yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah

hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau

pengertian terhadap istilah tindak pidana.Pembahasan hukum pidana dimaksudkan

untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan

pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana serta

teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Perlu disampaikan di sini bahwa, pidana

adalah merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai

terjemahan dari bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan sebagai

”hukuman”.14

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah

“perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau misdaad) yang

diartikan secara kriminologis dan psikologis. Mengenai isi dari pengertian tindak

pidana tidak ada kesatuan pendapat di antara para sarjana. Sebagai gambaran

umum pengertian kejahatan atau tindak pidana yang dikemukakan oleh Djoko

Prakoso bahwa secara yuridis pengertian kejahatan atau tindak pidana adalah

“perbuatan yang dilarang oleh undangundang dan pelanggarannya dikenakan

sanksi”, selanjutnya Djoko Prakosomenyatakan bahwa secara kriminologis

13

Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia Jakarta. 2001. Hal. 22

14

(16)

kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan yang melanggar norma-norma

yang berlaku dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat,

dan secara psikologis kejahatan atau tindak pidana adalah “perbuatan manusia

yang abnormal yang bersifat melanggar hukum, yang disebabkan oleh

faktor-faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut.15

Hamel mengatakan bahwa : ”Strafbaarfeit adalah kelakuan orang

(menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan

hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan”.

Sedangkan pendapat Pompe mengenai Strafbaarfeit adalah sebagai berikut :

”Strafbaarfeit itu dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma yang

sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku”.

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan ”strafbaarfeit”

untuk mengganti istilah tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) tanpa memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan

perkataan strafbaarfeit, sehingga timbullah di dalam doktrin berbagai pendapat

tentang apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut, seperti

yang dikemukakan oleh Hamel dan Pompe.

16

Dikemukakan oleh Moeljatno bahwa istilah hukuman yang berasal dari

kata ”straf” ini dan istilah ”dihukum” yang berasal dari perkataan ”wordt

gestraft”, adalah merupakan istilah konvensional. Moeljatno tidaksetuju dengan

15

Djoko Prakoso dan Agus Imunarso, 1987. Hak Asasi Tersangka dan Peranan Psikologi dalam Konteks KUHAP. Bina Aksara, Jakarta. Hal. 137

16

(17)

istilah-istilah itu dan menggunakan istilah-istilah yang inkonvensional, yaitu

”pidana” untuk menggantikan kata ”wordt gestraft”. Jika ”straf” diartikan

”hukuman” maka strafrecht seharusnya diartikan dengan hukuman-hukuman.

Selanjutnya dikatakan oleh Moeljotno bahwa ”dihukum” berarti ”diterapi

hukuman” baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil

atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas daripada pidana,

sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata. Menurut

Sudarto, bahwa ”penghukuman” berasal dari kata ”hukum”, sehingga dapat

diartikan sebagai ”menetapkan hukum” atau ”memutuskan tentang hukum”

(berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut

bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata.17

3. Pengertian Pertanggungjawaban

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai

toerekenbaarheid, criminal responbility, criminal liability. Bahwa

pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang

tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang

terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau

dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu

bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan

tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan

17

(18)

atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela tertuduh menyadari tindakan yang

dilakukan tersebut.18

Roeslan Saleh menyatakan bahwa:19

Pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oleh

masyarakat yang harus dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya atas

perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggung jawabkan perbuatan yang

tercela itu pada si pembuatnya, apakah si pembuatnya juga dicela ataukah

sipembuatnya tidak dicela. Pada hal yang pertama maka si pembuatnya tentu

dipidana, sedangkan dalam hal yang kedua si pembuatnya tentu tidak dipidana. “Dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana, tidaklah

dapatdilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih jelas. Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat”.

20

18

Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian

pertangungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya terkandung makna dapat

dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, apabila dikatakan bahwa orang itu

bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela

atas perbuatanya.

Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana”

19

Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta : Ghalia Indonesia), 1982, hal. 10

20

(19)

Berdasarkan pasal-pasal KUHP, unsur-unsur delik dan unsur

pertanggungjawaban pidana bercampur aduk dalam buku II dan III, sehingga

dalam membedakannya dibutuhkan seorang ahli yang menentukan unsur

keduanya. Menurut pembuat KUHP syarat pemidanaan disamakan dengan delik,

oleh karena itu dalam pemuatan unsur-unsur delik dalam penuntutan haruslah

dapat dibuktikan juga dalam persidangan,

Pertanggungjawaban (pidana) menjurus kepada pemidanaan petindak, jika

telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah

ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan

yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas

tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan

tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechtsvaardigingsgrond atau alasan

pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka

hanya seseorang yang yang “mampu bertanggung-jawab yang dapat

dipertanggung-jawabkan.Dikatakan seseorang mampu bertanggung jawab

(toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya.

Masalah pertanggung jawaban pidana berkaitan erat dengan dengan unsur

kesalahan. Dalam Undang-undang no. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman

Pasal 6 ayat (2) disebutkan: “tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali

pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undangmendapat

keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah

(20)

Berdasarkan ketentuan Pasal tersebut dapat jelas bahwa unsur kesalahan

sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, yaitu, berupa penjatuhan

pidana. Walaupun unsur kesalahan telah diterima sebagai unsur yang menentukan

sebuah pertanggungjawaban dari pembuat tindak pidana, tetapi dalam hal

mendefinisikan kesalahan oleh para ahli masih terdapat perbedaan pendapat,

“Pengertian tentang kesalahan dengan sendirinya menentukan ruang lingkup

pertanggungjawaban pembuat tindak pidana”.21

a) Mezger memberikan definisi kesalahan sebagai “keseluruhan syarat yang

memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat

pidana.

Adanya pandangan yang berbeda mengenai definisi kesalahan maka

mengakibatkan adanya perbedaan penerapan. Berikut beberapa pendapat dari para

ahli mengenai definisi kesalahan:

b) Simons mengartikan kesalahan sebagai “dasar untuk

pertanggungjawaban dalam hukum pidana yang berupa keadaan psikis

dari si pembuat dan hubungan terhadap perbuatannya, berdasarkan psikis

itu perbuatannya dicelakakan kepada pembuat.

c) Van Hamel mengatakan bahwa “kesalahan dalam suatu delik merupakan

pengertian psikologis, perhubungan antara keadaan jiwa si pembuat

dengan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan

adalah pertanggungan jawab dalam hukum.

21

(21)

d) Pompe berpendapat, “pada pelanggaran norma yang dilakukan karena

kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi

luarnya. Yang bersifat melawan hukum adalah perbuatannya. Segi

dalamnya yang bertalian dengan kehendak si pembuat adalah

kesalahan.22

Dari beberapa pengertian para ahli di atas, kesalahan dapat dibagi dalam

pengertian berikut:

a) Kesalahan psikologis: menurut sudarto pada kesalahan psikologis,

“kesalahan hanya dipandang sebagai hukum psikologis (batin) antara si

pembuat dengan perbuatannya.” Yang dilihat dalam kesalahan psikologis

ini adalah batin dari pelaku, berupa kehendak atas perbuatannya. 23

b) Kesalahan normatif: pada kesalahan normatif kesalahan seseorang tidak

ditentukan berdasarkan batin si pembuat saja, disamping itu terdapat

penilaian normatif perbuatannya. Penilaian normatif adalah “penilaian

dari luar mengenai hubungan antara pembuat dan perbuatannya.”5

Penilaian dari luar tersebut merupakan penilaian yang terdapat dalam

masyarakat.24

Berdasarkan pendapat diatas dapat dikatakan bahwa, Kesalahan

mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak

pidana. Pencelaan yang dimaksud adalah pencelaan berdasarkan hukum yang

22

Muladi dan Dwidja priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana, Jakarta, hal. 70

23

Sudarto, 1983, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, hal. 72 24

(22)

berlaku. Untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi

beberapa unsur, yaitu:

1. adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat,

2. hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut sebagai bentuk

kesalahan

3. tidak ada alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.25

F. Metode Penelitian

Penelitian ini difokuskan terhadap substansi hukum yang berkaitan dengan

bentuk pertanggungjawaban dokter terhadap tindak pidana aborsi.

1. Jenis penelitian

Penulis sangat memerlukan data dan keterangan yang akan dijadikan

bahan analisis dalam menyelesaikan masalah.Metode yuridis normatif26

25

Ibid

26

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum. (Jakarta: Raja Grafindo Persada. Cetakan Keempat, 2002), hal. 43.

yaitu

dalam menjawab permasalahan digunakan sudut pandang hukum berdasarkan

peraturan hukum yang berlaku, untuk selanjutnya dihubungkan dengan kenyataan

di lapangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Serta

mencari bahan dan informasi yang berhubungan dengan materi penelitian ini

(23)

makalah, skripsi, buku-buku, koran, majalah, situs internet yang menyajikan

informasi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.27

Metode penelitian hukum empiris adalah suatu metode penelitian hukum

yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti bagaimana

bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam penelitian ini

meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat maka metode penelitian

hukum empiris dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat

dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di

dalam suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah.28

2. Sumber data

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skrispsi ini

adalah metode yuridis normatif.

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti

peraturan perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Praktik

Kedokteran yang berkaitan dengan permasalahan

pertanggungjawaban dokter terhadap tindak aborsi.

b. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti makalah-makalah, jurnal-jurnal

27

Zaimul Bahri, Struktur dalam Metode Penelitian Hukum. (Bandung: Angkasa. 1996), hal. 68.

(24)

hukum, pendapat dari para ahli hukum pidanatentang

pertanggungjawaban dokter terhadap tindak pidana aborsi.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

seperti Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Inggris-Indonesia, Kamus

Hukum Kesehatan dan Kamus Hukum.

3. Metode pengumpulan data

Prosedur pengumpulan dan pengambilan data yang digunakan penulis

dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research),

yaitu dengan melakukan penelitian terhadap berbagi literatur yang relevan dengan

permasalahan skripsi ini seperti buku-buku, makalah, artikel dan berita yang

diperoleh penukis dari internet yang bertujuan untuk mencari atau memperoleh

teori-teori atau bahan-bahan yang berkenaan dengan pertanggungjawaban rumah

sakit dan dokter terhadap Tindak Pidana Aborsi.

4. Analisis Data

Ada dua teknik analisis data yaitu teknik analisis data kuantitatif dan teknik

analisis data kualitatif. Teknik analisis data kuantitatif merupakan suatu kegiatan

sesudah data dari seluruh responden atau sumber data-data lain semua terkumpul.

Teknik analisis data kuantitatif di dalam penelitian kuantitatif yaitu menggunakan

statistik. Statistik inferensial meliputi statistik parametris dan juga statistik non

parametris.29

(25)

Teknik analisis data kualitatif yaitu menganalisis melalui data lalu diolah

dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari

pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab

permasalahan dalam skripsi ini.Analisis data yang dilakukan penulis dalam

penulisan skripsi ini dengan cara kualitatif.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan dibahas

dalam bentuk sistematika sebagai berkut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang

penulisan skripsi ini yang berjudul “Pertanggungjawaban Rumah Sakit dan

Dokter Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan.”, kemudiaan menyebutkan apa yang menjadi rumusan masalah, tujuan

dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, seta bagaimana metode penelitian dan

sistematika penulisan skripsi ini.

BAB II KETENTUAN ABORSI YANG LEGAL MENURUT HUKUM DI

INDONESIA

Pada bagian ini akan membahas mengenai ketentuan-ketentuan yang

menjadikan aborsi tersebut menjadi legal menurut hukum di Indonesia yang

berupa Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Hukum Islam

(26)

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PIDANATERHADAP

TINDAKPIDANAABORSI BERDASARKANKITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PIDANADAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009

TENTANG KeESEHATAN

Pada bagian ini akan membahas mengenai hal-hl yang berkaitan dengan

bagaimana bentuk pertanggungjawaban dokter terhadap tindak pidana aborsi

BAB IV PENUTUP

Pada bagian ini akan membahas mengenai kesimpulan dan saran yang

Referensi

Dokumen terkait

“Jazzahummullahukhaira…” pada Nabiku Muhammad SAW dan semua sahabatnya… kalianlah yang selalu memperjuangkan hidayah Allah dan menuntunku kejalan

Audit laporan keuangan dilakukan untuk menentukan apakah laporan keuangan telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu dan pihak yang bertanggung jawab dalam mengaudit laporan

Konsumsi Bahan Bakar (FC) FC = Vgu.. Tekanan Efektif Rata-Rata (MEP) MEP =

Pada umumnya siswa menyatakan bahwa dengan belajar kelompok, siswa lebih mudah memahami materi pelajaran yang sedang dibahas, pada umumnya siswa menyatakan bahwa

Aktiva tetap dalam akuntansi adalah aktiva tidak lancar yang diperoleh untuk digunakan dalam operasi perusahaan yang memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun

Uji aktivitas Antimikroba dan Uji Sitotoksik Ekstrak etanol Akar Tanaman Akar Kucing-kucingan ( Achalipha Indica Linn ), daging Buah Mahkota dewa ( Phaleria macrocarpa

Berdasarkan hasil penelitian dan manfaat yang diperoleh, maka beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut 1) Perlu dilakukan penelitian lanjutan

Upaya pembangunan sumber daya pun masalah ini bukan masalah baru, tetapi alam (SDA) danlingkungan hidup tersebut benturan kepentingan antara pemanfaatan hendaknya