• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dan Wajah Liberalisme di PTAIN s

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah dan Wajah Liberalisme di PTAIN s"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH LIBERALISME DI

INDONESIA DAN MARAKNYA

LIBERALISME DI PERGURUAN

TINGGI ISLAM

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Metodologi Penelitian Dosen Pengampu :

Drs. Mustari, M.Hum

Oleh :

Mohammad Irfan Anas / 13110080

Bahasa dan Sastra Arab

Fakultas Adab dan Ilmu Budaya

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fenomena liberalisme di Indonesia kini semakin menggejala, nahkan menjangkiti kalangan intelektual terlebih di Perguruan Tinggi Agama Islam yang seharusnya merupakan lembaga pendidikan tinggi islam yang mengajarkan para mahasiswanya mengenai ke-islamam-an secara benar dan jauh dari penyimpangan dan penodaan terhadap islam itu sendiri.

Fenomena liberalisme ini terus bersusaha menghancurkan dan memecah belah pertahanan iman umat islam. Dengan kalimat dan retorika yang indah dan menyilaukan setiap pembaca ataupun pendengarnya yang notabene pemahaman ke-islam-annya dangkal, mereka para agen liberalisme mencoba untuk mendekonstruksi dasra-dasar islam. Dengan itulah umat islam terkhusus para mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam yang terpedaya, digiring ke arah sinkritisme agama, sadar atau tidak sadar. Ayat-ayat al-qur‟an yang merupakan wahyu Allah yang sudah ajeg, berusaha mereka otak-atik, na‟udzubillah

Perkembangan dan pertumbuhan virus ini di tengah kaum intelektual memang sungguh ironis, lembaga dan generasi islam yang seharusnya menyebarkan dan mendakwahkan islam dengan benar justru merusak islam itu sendiri. Beberapa contoh aktual penyebarannya ialah gerakan homoseksual di sebuah Perguruan Tinggi Islam di Jawa Tengah atau kampanye lesbianisme oleh seorang dosen doktor bidang keislaman.

(3)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah sejarah lahir dan perkembangan liberalisme di Indonesia?

2. Bahagimana wajah Liberalisme Islam di Indonesia terkhusus di Perguruan Tinggi Islam?

(4)

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui sejarah lahir dan perkembangan paham liberalisme islam di Indonesia.

2. Mengetahui wajah liberalisme di Perguruan Tinggi Islam

3. Mengetahui langkah untuk membentengi diri dan setiap muslim dari setiap terjangan virus liberalisme

D. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Dalam pendekatan ini saya menggunakan penelitian deskriptif. Deskriptif dimaksud untuk mendeskripsikan suatu situasi. Pendekatan deskriptif juga berarti untuk menjelaskan fenomena atau karakteristik individual, situasi, atau kelompok sosial secara akurat.

2. Penentuan Populasi dan Sampel

Objek penelitian saya ini adalah mahasiswa atau dosen dan pemikiran-pemikiran yang menyebar luas di Perguruan Tinggi Islam. Dari sini saya akan membuat satu kesimpulan berdasarkan hasil penelitian saya yang bersumber dari buku-buku yang terkait dengan masalah yang saya teliti maupun berdasarkan data yang saya dapat dari lapangan.

3. Metode Pengumpulan Data

(5)

E. Landasan Teori

Mengenal SEPILIS (Sekulerisme – Pluralisme – Liberalisme) Agama

1. Sekulerisme Agama

Sekulerisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan antar sesama manusia diatur hanya dengan kesepakatan sosial.

Ideologi ini meyakini bahwa peran agama harus terpisah dari kekuasaan negara dan pengelolaan negara tidak boleh diatur oleh agama.sekulerisasi adalah proses membatasi peran agama di ranah sosial-politik agar agama hanya menjadi ritual pribadi dan urusan masing-masing individu.

2. Pluralisme Agama

Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya saja yang benar dan agama lain salah.

Dalam prakteknya, pluralisme jadi suatu ideologi lintas agama yang mencampur adukkan ajaran dari semua agama. Pluralisme agama ini mengajarkan bahwa umat semua agama akan berdampingan di surga.

(6)

perdamaian. Namun bila pergaulan tersebut mengarah pada pluralisme, maka itu menjadi haram bagi umat islam untuk mengikutinya.

3. Liberalisme Agama

Liberalisme agama adalah memahami nash-nash al-qur‟an dengan menggunakan akal pikiran bebas; dan hanya menerima doktrin-doktrin agama sesuai dengan akal pikiran semata. Menurut paham ini, al-qur‟an dan as-sunnah harus tunduk pada akal dan manusia memiliki kebebasan mutlak, sehingga Tuhan-pun tak berhak untuk mewajibkan atau mengharamkan sesuatu atas manusia karena ketentuan wajib dan haram adalah pemasungan terhadap kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM).1

4. Fatwa MUI atas paham SEPILIS

Fatwa majelis Ulama Indonesia No. 7/Munas VII/MUI/11/2005

1. Pluralisme, Sekulerisme, dan Liberalisme agama adalah paham yang bertentangan dengan dengan ajaran agama islam.

2. Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme, Sekulerisme, dan Liberalisme agama.

1

(7)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Lahir dan Perkembangan Liberalisme Islam di Indonesia

Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde Baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan Muslim mencoba memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang "Pembaharuan Pemikiran Islam". Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya secara tekstual tetapi justru lebih ke penafsiran kontekstual. Mereka dapat digolongkan sebagai Islam liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan ijtihad, serta menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu yang berhak menafsirkan ajaran Islam.

(8)

samar-samar terlihat pada pemikiran Jalaluddin Rahmat, M. Amien Rais, A.M. Saefuddin, Endang Saefudin Anshari dan mungkin juga Imaduddin Abdul Rahim.

Pola pemikiran sosialisme–demokrasi menganggap bahwa kehadiran Islam harus memberi makna pada manusia. Untuk mencapai tujuan ini, Islam harus menjadi kekuatan yang mampu menjadi motivator secara terus menerus dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Para pendukung sosialis-demokrasi melihat bahwa struktur sosial politik dan, terutama, ekonomi di beberapa negara Islam termasuk Indonesia, masih belum mencerminkan makna kemanusiaan, sehingga dapat dikatakan belum Islami. Proses Islamisasi, dengan demikian, bukanlah sesuatu yang formalistik. Islamisasi dalam refleksi pemikiran mereka adalah karya-karya produktif yang berorientasi kepada perubahan-perubahan sosial ekonomi dan politik menuju terciptanya masyarakat yang adil dan demokratis. Adi Sasono, M. Dawam Rahardjo, serta Kuntowidjojo dapat dimasukkan dalam pola pemikiran ini.

Sedangkan neo-modernisme mempunyai asumsi dasar bahwa Islam harus dilibatkan dalam proses pergulatan modernisme. Bahkan kalau mungkin, Islam diharapkan menjadi leading ism (ajaran-ajaran yang memimpin) di masa depan. Namun demikian, hal itu tidak berarti menghilangkan tradisi keislaman yang telah mapan. Hal ini melahirkan postulat (dalil)

al-muhâfazhat „alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîd alashlah (memelihara tradisi

lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Pada sisi lain, pendukung neo modernisme cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks atau lingkup nasional. Ada dua tokoh intelektual yang menjadi pendukung utama neo modernisme ini adalah Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.

(9)

Sedang pemikiran neo modernisme Abdurrahman Wahid telah dibentuk sejak awal karena ia dibesarkan dalam kultur ahlussunnah wal jama‟ah versi Indonesia, kalangan NU. Karena itu,

ide-ide keislamannya tampak jauh lebih empiris, terutama dalam pemikirannya tentang hubungan Islam dan politik. (Prisma, Nomor ekstra, 1984: 3-9; dan Prisma, 4 April 1984: 31-38).

Sejak akhir tahun 1990an muncul kelompok-kelompok anak muda yang menamakan diri kelompok "Islam Liberal" yang mencoba memberikan respon terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul pada akhir abad ke- 20. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melihat betapa bahayanya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh kelompok ini, sehingga pada Munasnya yang ke-7 pada tanggal 25-29 Juli 2005 mengeluarkan fatwa bahwa pluralisme, sekularisme dan liberalism merupakan paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Oleh sebab itu umat Islam haram hukumnya mengikuti paham pluralisme, sekularisme dan liberalisme agama (Adian Husaini, t.th: 2-4). Dalam Keputusan MUI No. 7/MUNAS VII/11/2005 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan liberalisme adalah memahami nash-nash agama (Al Qur‟an dan As-Sunnah) menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.

(10)

Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Muzani, Hamid Basyaib, Ade Armando dan Luthfi Assaukanie. Tentu tidak semua orang yang hadir diskusi berarti mendukung ide-ide JIL.

Diskusi awal yang diangkat oleh JIL adalah seputar definisi dan sikap Islam Liberal seputar isu-isu Islam, negara dan isu-isu kemasyarakatan. Pendefinisian Islam Liberal diawali dengan kajian terhadap buku Kurzman yang memilah tradisi keislaman dalam tiga kategori yakni, customary Islam, fundamentalis atau Wahabis atau Salafis, dan liberal Islam. Kategori ketiga diklaim sebagai koreksi dan respon terhadap dua kategori yang disebut pertama. Pertanyaan yang muncul dalam diskusi awal itu adalah apakah Islam Liberal di Indonesia akan bersifat elitis dan sekedar membangun wacana atau Islam Liberal yang menyediakan refleksi empiris, dan memiliki apresiasi terhadap realitas? Kalau Islam Liberal itu paralel dengan civicculture (pro pluralisme, equal opportunity, moderasi, trust, tolerance, memiliki sence of community yang nasional, lalu di mana Islamnya? Atau Islam Liberal adalah skeptisisme dan agnostisme yang hidup dalam masyarakat Islam? Diskusi dalam milis yang panjang akhirnya tidak menyepakati sebuah definisi tentang Islam Liberal. Tetapi mereka menandai sebuah gerakan dan pemikiran yang mencoba memberikan respon terhadap kaum modernis, tradisional, dan fundamentalis.

(11)

pro dan kontra JIL, memuncak setelah keluarnya Fatwa MUI tentang haramnya liberalisme, sekularisme dan pluralisme pada tahun 2005. Ketegangan sedikit menurun setelah salah seorang contributor dan sekaligus kordinator JIL, Ulil Abshar-Abdalla pergi ke luar negeri, belajar ke Amerika Serikat.

Ulil melalui bukunya Menjadi Muslim Liberal menolak jenis-jenis tafsir keagamaan yang hegemonik, tidak pluralis, antidemokrasi, yang menurutnya potensial menggerogoti persendian Islam sendiri. Pemikiran Ulil tidak bebas seratus persen. Sebagai alumni pesantren, ia tetap apresiatif terhadap keilmuan pesantren. Melalui kolomnya On Being Muslim kita tahu bahwa Ulil ternyata mendapatkan akar-akar liberalism pemikiran keislamannya juga dari ilmu-ilmu tradisional seperti ushûl alfiqh, qawâ„id al-fiqhiyah yang dahulu diajarkan oleh para ustadznya di pesantren. Ilmu-ilmu pesantren semacam balaghah dan mantiq (logika) tampaknya turut melatih Ulil perihal bagaimana menstrukturkan kata dan kalimat, mensistematisasikan argumen serta mengukuhkan kekuatan dalam bernalar.2

2

(12)

B. Wajah Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam

“Di Freedom Istitute dan Jaringan Islam Liberal, kita semua dekat seperti saudara. Yang

menyatukan kita adalah, kita benar-benar menjadi liberal yang kaffah. Kita merasa satu ide,

satu perjuangan” Ujar Nong Darol Mahmada (salah satu aktivis liberal)3

Universitas Islam negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 24 Mei 2002. Ruang aula tempat

terselenggaranya dialog publik bertajuk “Jilbab Yes or No : Problematika Perwajiban

berjilbab di UIN Jakarta” hari itu penuh sesak. Mahasiswa yang pro dan kontra dengan

kewajibab jilbab di lingkungan kampus UIN hadir untuk mendengarkan dialog tersebut. Tak terkecuali, Saidiman, aktifis Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) yang kontra terhadap kewajiban berjilbab. Saat diberi kesempatan berbicara, Saidiman dengan lantang mengatakan, “Saya Saidiman, Mahasiswa Akidah Filsafat Fakultas Ushuluddin, hari ini juga

kelyar dari Islam....”4

Ucapan saidiman itu tentu membuat kaget peserta yang hadir. Betapa beraninya, di tengah-tengah civitas akademika kampus islam, Saidiman mendeklarasikan dirinya murtad dari Islam. Namun, bagi mereka yang tahu kiprah Formaci, tempat Saidiman berorganisasi, yang tak hanya liberal akan tetapi juga berbau kekiri-kirian, ucapan itu tak mengagetkan. Dalam forum dialog itu, Saidiman juga mengatakan, “seandainya saya mempunyai keyakinan bahwa

orang yang tidak memakai jilbab akan membuat ia masuk neraka, tetap saja saya tidak bisa memaksanya untuk masuk ke surga,” tegasnya.

Formaci adalah wadah tempat berdiskusi mahasiswa kiri dan Liberal di UIN Jakarta, yang kebanyakan adalah anak-anak muda jebolan pesantren, namun terbawa dalam euphoria pemikiran barat sekuler. Mereka juga terjangkit cultural shock (gegar budaya) dalam

3

Arta Wijaya, Indonesia Tanpa Liberal, Jakarta; Putaka Al-Kautsar, Juni 2012.

4

(13)

menghadapi modernitas. Sehingga tidak percaya diri pada identitas keislamannya dan merasa peradaban barat modern lebih unggul dari peradaban islam. Meraka yang pada awalnya terkukung pada lingkungan tradisionalis yang terkadang feodal, kemudian keluar menuju alam bebas yang penuh tantangan dan ide-ide. Inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya gegar budaya, merasa kaget, dan akhirnya terjerembab dalam modernitas, na‟udzubillah.

Saidiman si mahasiswa ushuluddin UIN Jakarta, kini telah benar-benar menjadi aktifis liberal dan dipekerjakan di Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) serta Yayasan Wakaf Paramadina, ia sering membuat tulisan-tulisan yang berbau penyimpangan terhadap islam di situs resmi Jaringan Islam Liberal. Pada 26 oktober 2011 ia pernah menulis sebuah pernyataan di salah satu akun media sosialnya, “Aacapkali saya berfikir, memuja matahari itu

jauh lebih penting dari memuja selainnya, ia selalu memberikan pagi yang indah ini...”

ujarnya.

Di UIN/IAIN/STAIN yang merupakan Perguruan Tinggi Islam sudah banyak bermunculan berbagai penerbitan yang secara terbuka menyerang al-Qur‟an dengan baju “studi kritis”. Sebagai contoh, Jurnal Justicia Fakultas Syari‟ah IAIN Semarang (kini UIN Walisongo),

edisi23 Th XI 2003 menulis editorial sebagai berikut :

“Dalam studi kritik al-qur‟an, pertama kali yang perlu dilakukan adalah kritik historisitas

qur‟an. Bahwa kini qur‟an sudah berupa teks yang ketika hadir bukan bebas dari nilai dan

(14)

Muhammad. Dari sekian banyak daftar ketidak kreatifan generasi pasca Muhammad, yang

paling mencelakan ialah pembukuan qur‟an dengan dialek Quraisy oleh Usman...”

Selain itu pada kampus yang sama dan dalam jurnal yang sama yaitu Jurnal Justicia Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25 tahun XI 2004 pernah tertulis pengantar redaksi yang cukup mencengangkan, berikut kutipannya:

“Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinanan sesama jenis sebagai sesuatu yang

abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, umtuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhanpun sudah maklum bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan. Jika dulu Tuhan mengutus Luth untuk menumpas kaum homo karena mungkin bisa menggagalkan proyek Tuhan dalam menciptakan manusia (karena waktu itu masih sedikit), maka sekarang Tuhan perlu mengutus “nabi” untuk membolehkan kawin sejenis supaya mengurangi sedikit proyek Tuhan tersebut.

Itu kalau Tuhan masih peduli dengan alam-Nya. Bagi kami, jalankan terus kaum homoseks,

anda berada di jalan yang benar”.5

Kasus liberalisme ini kian marak danmenjadi trend di kalangan mahasiswa Perguruan Tinggi Islam, termasuk juga di kampus ini. Ketika saya mengikuti OPAK (Orientasi Pengenalan Akademik dan Kampus) tahun 2013, ada salah satu dari senioar dengan lantang dan bangga mengeluarkan argumen nyeleneh yang membuat sebagian peserta tertegun, dengan bangga si senior itu berkata “jangan bangga dengan Islam, jangan sombong jika kita

beragama Islam, karena Islam merupakan salah satu agama penjajah yang menghilangkan keyakinan asli bangsa kita”.

Beberapa tahun lalu juga terjadi hal yang sama saat OPAK di UIN Bandung, di acara OPAK fakultas Ushuluddin semua panitia OPAK fakultas dan peserta OPAK fakultas

5

(15)

dikumpulkan pada sebuah tempat. Disana majulah satu-persatu perwakilan jurusan untuk memperkenalkan jurusannya, ada banyak penistaan disana dari ucapan yang keluar dari mulut panitia tiap jurusan, salah satunya ialah disebutkan “ushuluddin adalah kawasan bebas

Tuhan”, lalu juga “Jurusan tafsir adalah jurusan untuk mentafsirkan Tuhan, dan fakultas ini

adalah fakultas bagi mereka para pencari Tuhan”.

Lalu yang masih cukup aktual ialah kejadian di OSCAR (sebutan OSPEK) di fakultas Ushuluddin UIN Surabaya yang mengambil tema “Tuhan telah membusuk” yang

menimbulkan banyak kontroversi di tenga-tengah umat islam.

C. Menjinakkan Virus Liberalisme dalam Islam

Meskipun sudah dinyatakan sebagai paham yang bertentangan dengan Islam oleh MUI melalui fatwanya tahun 2005, paham-paham liberalisme seperti pluralisme agama, relativisme, perenialisme, dan multikulturalisme agama masih terus disebar luaskan oleh para pemeluknya. Yang saat ini paling giat dikampanyekan ialah paham Pluralisme Agama, selain ada yang menganggap paham ini bermanfaat untuk meredam konflik antar umat beragama, paham ini memang sangat laku dijual. Sebab, paham ini memang sangat laku ditawarkan pada lembaga-lembaga swadaya masyarakat Barat. Karena itulah, bisa dipahami bahwa paham ini termasuk isu favorit di kalangan kaum liberal. Salah satu program utama liberalisasi Islam di Indonesia adalah penyebaran Pluralisme Agama.

(16)

kita diperintahkan supaya terhindar dari jalan yang dimurkai oleh Allah yaitu jalan orang-orang yang tersesat yang termasuk di dalamnya ialah orang-orang yang pada dasarnya paham ayat-ayat Allah, tetapi kemudian ayat-ayat-ayat-ayat itu dicampakan begitu saja. Setiap muslim hendaknya mengokohkan pemahaman aqidahnya agar tidak mudah terpedaya dengan paham-paham seperti ini. Dan bagi kalangan akademis islam di Perguruan Tinggi manapun termasuk di Perguruan Tinggi Islam hendaknya untuk menimba dan memantapkan ilmu pemahamannya tentang islam, dan berguru pada guru yang benar pemikirannya dan tidak keluar dari qur‟an

dan sunnah. Berfikir kritis terhadap setiap doktrin yang ada, jangan sampai terjebak pada doktrin yang menyesatkan dari ajaran Allah. “ihdina as-shirat al-mustaqim”.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

(17)

Dari latar belakang sejarah liberalisme yang telah dipaparkan di atas, kita dapat menilai bahwa liberalisme jelas sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Sejarah kemunculannya yang sangat dipengaruhi oleh situasi sosial-politik dan problem teologi Kristen ketika itu dapat kita jadikan alasan bahwa Islam tidak perlu, dan tidak akan perlu menerima liberalisme. Karena sepanjang sejarahnya, Islam tidak pernah mengalami problem sebagaimana yang dialami oleh agama Kristen. Oleh karena itu, tidak ada alasan mendasar bagi Islam untuk menerima konsep liberalisme dengan semua bentuknya.

Apalagi jika ditilik dari konsep pokoknya, pemikiran liberalisme sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Kebebasan mutlak ala liberalisme adalah kebebasan yang mencederai akidah Islam, ajaran paling pokok dalam agama ini. Liberalisme mengajarkan kebebasan menuruti semua keinginan manusia, sementara Islam mengajarkan untuk menahannya agar tidak keluar dari ketundukan kepada Allah. Hakikat kebebasan dalam ajaran Islam adalah, bahwa Islam membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama makhluk, kepada penghambaan kepada Rabb makhluk.

Begitu pun dengan otoritas akal sebagai sumber nilai dan kebenaran dalam „ajaran‟

liberalisme. Sumber kebenaran dalam Islam adalah wahyu, bukan akal manusia yang terbatas dalam mengetahui kebenaran. Dengan demikian, menerima liberalisme berarti menolak Islam, dan tunduk kepada Islam berkonsekwensi menanggalkan faham liberal.

B. Saran-Saran

(18)

C. Daftar Pustaka

Buletin Milad Intonesia Tanpa JIL, Februari 2014

Arta Wijaya, Indonesia Tanpa Liberal, Jakarta: Penerbit Alkautsar, 2012

Adian Husaini, Virus Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2009

Referensi

Dokumen terkait

Guru yang profesional menurut Fattah (2004) adalah: a) mampu menguasai substansi mata pelajaran secara sistematis, khususnya materi pelajaran yang secara khusus

Obat Penyakit ITP | Itulah kandungan dan khasiat jelly gamat gold g yang mampu mengobati, dan menyembuhkan penyakit itp sampai tuntas dan sembuh secara permanen, sudah banyak

Penelitian yang berjudul “AnalisisFaktor Risiko Penyakit Hipertensi Pada Tentara Nasional Indonesia (TNI)(Penelitian di Rumkital Dr. Perlakuan yang akan diterapkan pada subyek

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis Kesiapan Guru Dalam Melaksanakan Kurikulum 2013 di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Amlapura Tahun 2014. Penelitian ini

Buku Ajar ini merupakan buku ajar mata kuliah vocabulary 2 yang didedikasikan untuk mahasiswa program studi pendidikan Bahasa Inggris STKIP PGRI Trenggalek.. Buku

Sehubungan dengan proses Prakualifikasi yang akan dilakukan, Penyedia Barang/Jasa diminta mempersiapkan dan menyampaikan dokumen- dokumen kualifikasi yang dipersyaratkan

Hipotesis penelitian ini adalah: (1) terdapat perkembangan inti mikrospora yang berbeda pada berbagai ukuran bunga tanaman jeruk, (2) terdapat lama praperlakuan dingin

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor intrinsik dan ekstrinsik yaitu umur, paritas, pendidikan, pekerjaan dan keterlibatan keluarga berhubungan dengan kenaikan berat