• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman ibu menghadapi remaja dengan gejala premenstrual dysphoric disorder | Dewi | Berita Kedokteran Masyarakat 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengalaman ibu menghadapi remaja dengan gejala premenstrual dysphoric disorder | Dewi | Berita Kedokteran Masyarakat 1 PB"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN

MOTIVASI BELAJAR ANAK

SUDIRMAN ANWAR sudirman.anwar@gmail.com Dosen STIT Ar-Risalah Inhil – Riau

Abstrak

Orang Tua memegang peranan utama dan pertama bagi pendidikan anak, mengasuh, membesarkan dan mendidik anak.Motivasi sangat diperlukan dalam pelaksanaan

aktivitas manusia karena motivasi merupakan hal yang dapat menyebabkan, menyalurkan dan mendukung perilaku manusia supaya mau bekerja giat dan antusias untuk mencapai hasil yang optimal. Atas dasar pemahaman ini maka secara psikologis

pola pikir, mental dan sikap anak dalam tataran proses pendewasaan masih sangat memerlukan bantuan orang lain dan bersifat sensitivitas terhadap perilaku orang-orang terdekatnya. Maka orangtua perlu melakukan pendekatan dengan pola asuh yang

benar-benar sesuai terhadap anak dalam mendidiknya menjadi manusia yang sempurna.

Kata Kunci : Pola Asuh, Orang Tua, Motivasi, Anak

LATAR BELAKANG

Keluarga merupakan wadah pendidikan yang sangat besar pengaruhnya dalam perkembangan motivasi belajar anak, oleh karena itu pendidikan anak tidak dapat dipisahkan dari keluarganya, karena keluarga merupakan tempat pertama kali anak belajar menyatakan diri sebagai mahkluk sosial dalam berinteraksi dengan kelompoknya. Orang tua yaitu ayah dan ibu merupakan orang yang bertanggung jawab pada seluruh keluarga. Orang tua juga menentukan kemana keluarga akan dibawa dan apa yang harus diberikan sebelum anak-anak dapat bertanggung jawab pada dirinya sendiri, ia masih tergantung dan sangat memerlukan bekal pada orang tuanya sehingga orang tua harus mampu memberi bekal kepada anaknya tersebut.

Tujuan dalam membina kehidupan keluarga adalah agar dapat melahirkan generasi baru sebagai penerus perjuangan hidup orang tua.Untuk itulah orang tua mempunyai tanggung jawab dan kewajiban dalam pendidikan anak-anaknya.

Perhatian orang tua memiliki pengaruh psikologis yang besar terhadap kegiatan belajar anak. Dengan adanya perhatian dari orang tua, anak akan lebih giat dan lebih bersemangat dalam belajar karena

ia tahu bahwa bukan dirinya sendiri saja yang berkeinginan untuk maju, akan tetapi orang tuanya pun demikian. Sebab baik buruknya prestasi yang dicapai anak akan memberikan pengaruh kepadanya dalam perkembangan pendidikan selanjutnya.

Totalitas sikap orang tua dalam memperhatikan segala aktivitas anak selama menjalani rutinitasnya sebagai pelajar sangat diperlukan agar si anak mudah dalam mentransfer ilmu selama menjalani proses belajar, di samping itu juga agar ia dapat mencapai prestasi belajar yang maksimal. Perhatian orang tua dapat berupa pemberian bimbingan dan nasihat, pengawasan terhadap belajar, pemberian motivasi dan penghargaan, serta pemenuhan fasilitas belajar. Pemberian bimbingan dan nasihat menjadikan anak memiliki idealisme, pemberian pengawasan terhadap belajarnya adalah untuk melatih anak memiliki kedisiplinan, pemberian motivasi dan penghargaan agar anak terdorong untuk belajar dan berprestasi, sedangkan pemenuhan fasilitas yang dibutuhkan dalam belajar adalah agar anak semakin teguh pendiriannya pada suatu idealisme yang ingin dicapai dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.

(2)

A. Konsep Tentang Orang Tua 1. Hakekat Orang Tua

Orang tua adalah perantara bagi kehadiran kita di muka bumi ini. Yang pertama sekali mengasuh, mengajar dan mendidik anak(A. Mudjad Mahali, 1994:19). Apabila anak-anak mereka terlibat dalam kegiatan yang bodoh, mereka harus menghentikan anak-anak mereka dengan cara memberikan penjelasan tentang bahaya yang bisa terjadi. Dengan cara ini, anak-anak akan belajar dari pengalaman lampau orang tua mereka. Tentu saja, keterlibatan orang tua tidak boleh merusak kepribadian anak-anak mereka sendiri atau pada pembangunan rasa percaya diri mereka. Hal ini menjadi tanggung jawab bagi setiap orang tua dalam mendidik anaknya(Mohammad Taqi Hakim, tt:101). Sedangkan Pengertian orang tua yang dikemukakan oleh Hery Noer Aly (1999:88), adalah ibu dan ayah dan masing-masing mempunyai tanggung jawab yang sama dalam pendidikan anak. Hadist Nabi SAW, yang menyatakan bahwa “Ibu adalah pengembala di rumah tangga suaminya dan bertanggung jawab atas gembalaannya” Sesungguhnya mengisyaratkan kerja sama ibu dan ayah dalam pendidikan anak hanya saja ayah lebih banyak berada di luar rumah untuk mencari nafkah dan ibu lebih banyak di rumah, untuk mengatur urusan rumah, pengaruh pendidikan yang diberikan ibu lebih besar. Hal ini karena anak dalam proses tumbuh kembangnya sampai menjadi manusia yang mampu memikul kewajiban banyak dekat dengan ibunya.

Dari kedua definisi di atas maka penulis menyimpulkan bahwa orang tua adalah ayah dan ibu yang merupakan tempat atau perantara kehadiran kita dimuka bumi ini, keduanya mempunyai rasa cinta dan kasih sayang terhadap anaknya, perasaan inilah yang membuat orang tua mampu bersabar dalam memelihara, mengasuh, mendidik, dan memperhatikan segala kemaslahatannya. Ibu merupakan orang tua pertama di mata anak-anaknya, tetapi bukan berarti fungsi ayah menjadi skunder.Fungsi ayah tetap primer untuk kelangsungan hidup anak. Tetapi ibu adalah orang pertama yang dikenal oleh anaknya sejak ia mulai mengandung telah terjadi hubungan antara

anak dalam kandungan dengan ibunya. Juga proses pertumbuhan anak dalam kandungan salah satunya ditentukan oleh bagaimana pelayanan ibu yang sedang mengandung.Ibulah yang meletakan fondasi dasar atas prilaku dan karakter anak.Karena melalui air susunya dia memberikan makanan untuk tubuh, melalui ajarannya.Dia memperkuat jiwanya.Akibatnya anak tersebut mewarisi prilaku, kebiasaan, dan karakter lain ibunya.Para ayah tidak hanya bertanggung jawab menjamin pada tanggungan mereka dengan berbagai kebutuhan keuangan, tapi mereka juga diharuskan untuk memberikan pendidikan, disiplin, moral, serta tuntunan.Mereka harus menanamkan sifat-sifat luhur serta meluruskan tindakan buruk anak-anak mereka. Menurut Bagir Sharif al Qarashi di dalam Imam Zainal (tt:55) berkata, “Hak anakmu ialah bahwa engkau harus menyadari keberadaan mereka menjadi bagian dari dirimu dan merekat padamu dalam kebaikan dan keburukan, engkau bertanggung jawab memberikan sifat sifat mulia, mengenalkan mereka kepada Allah, serta mendorong mereka agar dengan ikhlas menyembah-Nya bersamamu.Selanjutnuya menurut Langeveld yang termasuk faktor pendidik itu bukan dari orang tua saja tetapi orang dewasa lain yang bertanggung jawab terhadap kedewasaan seorang anak, misalnya guru dan wakil-wakil dari orang tua yang diserahi mengasuh atau mendidik anak (M. Alisif Sabri, 1999:8). 2. Peran Orang Tua dalam Mendidikan

Anak

(3)

ketegangan, kesulitan penyesuaian diri dan kepribadian yang terganggu. Lebih jauh lagi bahkan tugas sebagai makhluk sosial untuk mengadakan hubungan antar manusia yang memuaskan baik untuk diri sendiri maupun untuk orang di lingkungannya akan gagal sama sekali.

Peran orang tua dalam hal pendidikan anak sudah seharusnya berada pada urutan pertama, para orang tualah yang paling mengerti benar akan sifat-sifat baik dan buruk anak-anaknya, apa saja yang mereka sukai dan apa saja yang mereka tidak sukai. Para orang tua adalah yang pertama kali tahu bagaimana perubahan dan perkembangan karakter dan kepribadian anak-anaknya, hal-hal apa saja yang membuat anaknya malu dan hal-hal apa saja yang membuat anaknya takut. Para orang tualah yang nantinya akan menjadikan anak-anak mereka seorang yang memiliki kepribadian baik ataukah buruk. Anak-anak pada masa peralihan lebih banyak membutuhkan perhatian dan kasih sayang, maka para orang tua tidak dapat menyerahkan kepercayaan seluruhnya kepada guru di sekolah, artinya orang tua harus banyak berkomunikasi dengan gurunya di sekolah begitu juga sebaliknya, hal penting dalam pendidikan adalah mendidik jiwa anak.Jiwa yang masih rapuh dan labil, kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua dapat mengakibatkan pengaruh lebih buruk lagi bagi jiwa anak. Banyaknya tindakan kriminal yang dilakukan generasi muda saat ini tidak terlepas dari kelengahan bahkan ketidak pedulian para orang tua dalam mendidik anak-anaknya (Denny Setiawan, 2009:1)

Orang tua dan sekolah merupakan dua unsur yang saling berkaitan dan memiliki keterkaitan yang kuat satu sama lain. Terlepas dari beragamnya asumsi masyarakat, ungkapan “Buah tak akan pernah jauh jatuh dari pohonnya” adalah sebuah gambaran bahwa betapa kuatnya pengaruh orang tua terhadap perkembangan anaknya.Supaya orang tua dan sekolah tidak salah dalam mendidik anak, oleh karena itu harus terjalin kerjasama yang baik diantara kedua belah pihak. Orang tua mendidik anaknya di rumah, dan di sekolah untuk mendidik anak diserahkan kepada pihak

sekolah atau guru, agar berjalan dengan baik kerja sama di antara orang tua dan sekolah maka harus ada dalam suatu rel yang sama supaya bisa seiring seirama dalam memperlakukan anak, baik di rumah ataupun di sekolah, sesuai dengan kesepahaman yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam memperlakukan anak. Kalau saja dalam mendidik anak berdasarkan kemauan salah satu pihak saja misalnya pihak keluarga saja taupun pihak sekolah saja yang mendidik anak, hal ini berdasarkan beberapa pengalaman tidak akan berjalan dengan baik atau dengan kata lain usaha yang dilakukan oleh orang tua atau sekolah akan mentah lagi-mentah lagi karena ada dua rel yang harus dilalui oleh anak dan akibatnya si anak menjadi pusing mana yang harus diturut, bahkan lebih jauhnya lagi dikhawatirkan akan membentuk anak berkarakter ganda. a. Fungsi dan Peranan Orang Tua.

Setiap orang tua mempunyai bermacam-macam peran dalam hidupnya, Misalnya seorang wanita yang bekerja penuh di kantor akan berbeda dengan perannya sebagai ibu daripada seorang wanita yang dapat mencurahkan perhatian sepenuhnya terhadap urusan rumah tangga dan keluarganya. Seorang istri diharapkan dapat mengurus rumah tangganya dan merawat suami serta anak-anaknya dengan baik di samping menjadi pendamping suaminya.Peran seorang suami terutama sebagai kepala keluarga dan sebagai pencari nafkah, disamping itu juga bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya.Kebudayaan telah menentukan peran-peran tertentu bagi seorang suami atau ayah dan seorang istri atau ibu.

(4)

bahtera kehidupan keluarga. Kemampuan yang telah mereka miliki, pendidikan yang telah mereka nikmati, materi dan biaya hidup yang menopang dan tersedia, keadaan perumahan, kesehatan dan lain sebagainya, akan menentukan pola bertindak yang akan diambilnya dalam mengarahkan pendidikan anak untuk masa depan.

b. Kewajiban Orang Tua dalam Pendidikan Anak

Setiap orang tua berkewajiban memberikan bimbingan kepada anak-anaknya. Bimbingan itulah yang akan memberikan pengaruh positif bahkan sebagai penentu bagi kepribadian anak dikemudian hari. Semua potensi yang terpendam dalam diri anak akan dapat diungkapkan, itu semua menjadi tanggung jawab orang tua dalam membimbing dan mendidik mereka. Namun demikian banyak orang tua yang beranggapan jika anak mereka telah diserahkan kepada guru di sekolah lepaslah kewajiban untuk memberikan pendidikan pada mereka, semua tanggung jawabnya telah beralih kepada guru di sekolah. Apakah anak itu akan menjadi seorang yang pintar, pendiam, pemberani, berbudi pekerti luhur, bahkan menjadi penjahat, semuanya menjadi urusan guru. Pandangan orang tua seperti ini sungguh keliru.Mereka tidak menyadari sampai di mana kewajiban dan tanggung jawab mereka sebagai orang tua.

Dalam melaksanakan tanggung jawab terhadap anak-anaknya menurut Zakia Dradjat orang tua berkewajiban:

1) Memelihara dan membesarkan anak. Ini adalah bentuk yang paling sederhana dari tanggung jawab setiap orang tua dan merupakan dorongan alami untuk mempertahankan kelangsungan hidup mereka.

2) Memberi pengajaran dalam arti yang luas sehingga anak memperoleh peluang untuk memiliki

pengetahuan dan kecakapan seluas dan setinggi mungkin yang dapat dicapainya.

3) Melindungi dan menjamin keselamatan, baik jasmaniah maupun rohaniah, dari berbagai gangguan penyakit dan dari penyelewengan kehidupan dari tujuan hidup yang sesuai dengan falsafat hidup dan agama yang dianutnya (Herry Noer Ali, :90).

B. Konsep Tentang Pola Asuh Otoriter dan Demokratis

1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua Pendidikan dalam keluarga merupakan bagian dari pendidikan informal, yakni pendidikan pertama bagi anak. Sebagai pendidikan pertama, maka orang tua mempunyai tugas yang mendasar dalam mempersiapkan peranannya di masa depan. Anak adalah sambungan hidup dari kedua orang tua, untuk melanjutkan cita-citanya yang tidak mungkin lagi dapat dicapai selama hidupnya.Demikian pula kepercayaan yang dianut dan budi pekerti yang luhur, sangat diharapkan mereka juga menganut dan memiliki sifat itu di kemudian hari. Hal ini sesuai dengan pendidikan Luqman kepada anaknya, yaitu dengan menanamkan agama yang benar dan budi pekerti luhur. Cara Luqman menyampaikan pesan itu wajib di contoh oleh setiap orang tua yang mengaku dirinya Islam.. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah (2003:124), menyebutkan tentang firman Allah dalam Surat luqman ayat 13 yaitu:

      )

(:

(5)

pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (QS. Luqman: 13).

Pendidikan yang ditanamkan orang tua tetap meninggalkan dasar yang paling dalam bagi kepribadiannya.Hal ini menunjukan bahwa tanggung jawab yang dipikul orang tua memerlukan pemikiran dan perhatian yang besar.Selain anak menjadi pewaris cita-cita orang tua di masa yang akan datang, mereka juga harus memperhatikan pendidikan yang diberikan orang tua terutama pendidikan agama Islam, tuntunan pendidikan agama Islam yang menjadi pelita, mana yang baik dan mana yang buruk. Pembentukan kepribadian ini tidak terlepas dari pengaruh lingkungan keluarga, sehingga perkembangannya mulai pada masa bayi dan kanak-kanak, remaja, dewasa, bahkan sampai mereka meninggal. Peran orang tua sangat penting dalam menentukan proses pembentukan kepribadian mereka selanjutnya.

Dalam pandangan di atas tergambar bahwa peranan orang tua sangat penting terhadap perkembangan pendidikan anak. Kesibukan orang tua terkadang dapat melalaikan kewajiban mereka dalam mendidik anak. Kelalaian ibu dan ayah ini akan menimbulkan masalah pada anak. Anak meskipun mempunyai orang tua, akan tumbuh seperti layaknya anak yatim yang tanpa perhatian bisa hidup dalam penyimpangan.

Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang anak memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-peraturan yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan hubungan sosial dengan lingkungan yang lebih luas. Namun dengan adanya perbedaan latar belakang, pengalaman, pendidikan dan kepentingan dari orang tua maka terjadilah cara mendidik anak.

Menurut Chabib Thoha (1996:109) yang mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu cara terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab

kepada anak. Peran keluarga menjadi penting untuk mendidik anak baik dalam sudut tinjauan agama, tinjauan sosial kemasyarakatan maupun tinjauan individu.Jika pendidikan keluarga dapat berlangsung dengan baik maka mampu menumbuhkan perkembangan kepribadian anak menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, kepribadian yang kuat dan mandiri, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pola asuh orang tua adalah cara mengasuh dan metode disiplin orang tua dalam berhubungan dengan anaknya dengan tujuan membentuk watak, kepribadian, dan memberikan nilainilai bagi anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dalam memberikan aturan-aturan atau nilai terhadap anak-anaknya tiap orang tua akan memberikan bentuk pola asuh yang berbeda berdasarkan latar belakang pengasuhan orang tua sendiri sehingga akan menghasilkan bermacam-macam polaasuh yang berbeda dari orang tua yang berbeda pula.

2. Pola Asuh Authoritarian (Otoriter) Pada pola pengasuhan ini, orang tua menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan oleh orang tua.Kebanyakan anak-anak dari pola pengasuhan otoriter ini memiliki kompetensi dan cukup bertanggung jawab, namun kebanyakan cenderung menarik diri secara sosial, kurang spontan dan tampak kurang percaya diri.Pola asuh ini ditandai dengan adanya aturan-aturan yang kaku dari orang tua.Kebebasan anak sangat dibatasi dan orang tua memaksa anak untuk berperilaku seperti yang diinginkan. Bila aturan-aturan ini dilanggar, orang tua akan menghukum anak dengan hukuman yang biasanya bersifat fisik. Tapi bila anak patuh maka orang tua tidak memberikan hadiah karena sudah dianggap sewajarnya bila anak menuruti kehendak orang tua.

(6)

guna dan alas an dibalik aturan tersebut, serta cenderung mengekang keinginan anak. Pola asuh otoriter dapat berdampak buruk pada anak, yaitu anak merasa tidak bahagia, ketakutan, tidak terlatih untuk berinisiatif (kurang berinisiatif), selalu tegang, cenderung ragu, tidak mampu menyelesaikan masalah, kemampuan komunikasinya buruk serta mudah gugup, akibat seringnya mendapat hukuman dari orang tua. Dengan pola asuh seperti ini, anak diharuskan untuk berdisiplin karena semua keputusan dan peraturan ada di tangan orang tua.

Menurut Hourlock dalam Chabib Thoha (1996:111-112) mengemukakan bahwa Pola asuh Authoritarian (otoriter) ditandai dengan cara mengasuh anak dengan aturan-aturan yang ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua menganggap bahwa semua sikapnya sudah benar sehingga tidak perlu dipertimbangkan dengan anak. Pola asuh yang bersifat otoriter juga ditandai dengan penggunaan hukuman yang keras, lebih banyak menggunakan hukuman badan, anak juga diatur segala keperluan dengan aturan yang ketat dan masih tetap diberlakukan meskipun sudah menginjak usia dewasa. Anak yang dibesarkan dalam suasana semacam ini akan besar dengan sifat yang ragu-ragu, lemah kepribadian dan tidak sanggup mengambil keputusan tentang apa saja.

Ciri-cri dari pola asuh ini, menekankan segala aturan orang tua harus ditaati oleh anak.Orang tua bertindak semena-mena, tanpa dapat dikontrol oleh anak. Anak harus menurut dan tidak boleh membantah terhadap apa yang diperintahkan oleh orang tua. Dalam hal ini, anak seolah-olah mejadi “robot”, sehingga ia kurang inisiatif, merasa takut tidak percaya diri, pencemas, rendah diri, minder dalam pergaulan tetapi disisi lain, anak bisa memberontak, nakal, atau melarikan diri dari kenyataan, misalnya dengan menggunakan narkoba. Dari segi positifnya, anak yang dididik dalam pola asuh ini, cenderung akan menjadi disiplin yakni mentaati peraturan. Akan tetapi bisa

jadi, ia hanya mau menunjukkan kedisiplinan di hadapan orang tua, padahal dalam hatinya berbicara lain, sehingga ketika di belakang orang tua, anak bersikap dan bertindak lain. Hal itu tujuannya semata hanya untuk menyenangkan hati orang tua.Jadi anak cenderung memiliki kedisiplinan dan kepatuhan yang semu.

Orang tua dengan pola asuh ini menilai tinggi sifat kepatuhan dan konformitas. Mereka cenderung lebih suka menggunakan perilaku yang bersifat punitif, absolut, dan memaksa dalam membangun disiplin anak. Orang tua dengan tipe pola asuh ini akan menuntut tanggung jawab anak tanpa melihat kemampuan dan kebutuhan anak. Anak dipaksa untuk menerima segala keputusan orang tua tanpa kompromi, tidak melibatkan anak dalam pembuatan keputusan, dan orang tua memegang kontrol penuh atas kehidupan si anak. Orang tua dengan tipe ini membatasi kebebasan dan kreativitas anak, dan memaksakan pandangan mereka terhadap anak.

Dampak pola asuh ini terhadap perkembangan anak adalah anak akan : a. Menjadi pribadi yang selalu tergantung

pada orang lain, pasif

b. Sulit untuk berinteraksi dengan orang lain, tidak ramah, kasar

c. Kurang rasa ingin tahu d. Penakut

e. Rentan terhadap stres

(7)

selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif.

Menurut Shochib (dalam Yuniyati, 2003), orang tua menerapkan pola asuh demokratis dengan banyak memberikan kesempatan kepada anak untuk berbuat keputusan secara bebas, berkomunikasi dengan lebih baik, mendukung anak untuk memiliki kebebasan sehingga anak mempunyai kepuasan sedikit menggunakan hukuman badan untuk mengembangkan disiplin.Pola asuh

authoritative dihubungkan dengan tingkah laku anak-anak yang memperlihatkan emosional positif, sosial, dan pengembangan kognitif.

Pada umumnya pola pengasuhan ini hampir sama dengan bentuk pola asuh demokratis oleh Agoes Dariyo (2004) dan Chabib Thoha (1996) namun hal yang membedakan pola asuh ini yaitu adanya tambahan mengenai pemahaman bahwa masa depan anak harus dilandasi oleh tindakan-tindakan masa kini. Orang tua memprioritaskan kepentingan anak dibandingkan dengan kepentingan dirinya, tidak ragu-ragu mengendalikan anak, berani menegur apabila anak berperilaku buruk. Orang tua juga mengarahkan perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak agar memiliki sikap, pengetahuan dan ketrampilan-ketrampilan yang akan mendasari anak untuk mengarungi hidup dan kehidupan di masa mendatang.

Kedudukan antara orang tua dan anak sejajar.Suatu keputusan diambil bersama dengan mempertimbangkan kedua belah pihak. Anak diberi kebebasan yang bertanggung jawab, artinya apa yang dilakukan oleh anak tetap harus dibawah pengawasan orang tua dan dapat dipertanggung jawabkan secara moral.Orang tua dan anak tidak dapat berbuat semena-mena. Anak diberi kepercayaan dan dilatih untuk mempertanggung jawabkan segala tindakannya. Akibat positif dari pola asuh ini, anak akan menjadi seorang individu yang mempercayai orang lain, bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakannya, tidak munafik, jujur.

Namun akibat negatif, anak akan cenderung merongrong kewibawaan otoritas orang tua, kalau segala sesuatu harus dipertimbangkan anak dan orang tua. Pola asuh demokratis

ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung pada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri.Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.

Orang tua dengan pola asuh ini menunjukkan kehangatan namun tidak lepas tangan dalam mengontrol anak. Orang tua akan menetapkan tuntutan standard yang masuk akal mengenai tanggung jawab anak sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan anak. Mereka menilai tinggi perkembangan

autonomy dan self-direction anak, tetapi tetap bertanggung jawab atas perilaku anaknya. Orang tua juga akan lebih terbuka dan akan melibatkan anak dalam pembuatan suatu keputusan. Mereka juga menghadapi anak dengan perilaku yang rasional dan sesuai dengan masalah yang sedang dihadapi pada saat itu.

Dampak pola asuh ini terhadap perkembangan anak adalah anak akan : a. Lebih bertanggung jawab dan mampu

mengontrol dirinya b. Lebih percaya diri

c. Lebih bersahabat, adaptif, dan periang d. Lebih termotivasi untuk berprestasi e. Jarang mengalami stres

4. Pola Asuh Permisif Indifferent (Tidak Peduli)

(8)

dan tindakan-tindakan kriminal lainnya. Hal tersebut dikarenakan orang tua sering mengabaikan keadaan anak dimana ia sering tidak peduli atau tidak tahu dimana anak-anaknya berada, dengan siapa anak-anak mereka bergaul, sedang apa anak tersebut. Dengan bentuk pola asuh penelantar tersebut anak merasa tidak diperhatikan oleh orang tua, sehingga ia melakukan segala sesuatu atas apa yang diinginkannya.

Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anaknya untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri.Orang tua tidak pernah memberi aturan dan pengarahan kepada anak.Semua keputusan diserahkan kepada anak tanpa pertimbangan dari orang tua.Anak tidak tahu apakah perilakunya benar atau salah karena orang tua tidak pernah membenarkan atau menyalahkan anak. Akibatnya anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, tidak peduli apakah hal itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak.

Dengan pola asuh seperti ini, anak mendapatkan kebebasan sebanyak mungkin dari orang tua.Pola asuh permisif memuat hubungan antara anak-anak dan orang tua penuh dengan kasih sayang, tapi menjadikan anak agresif dan suka menurutkan kata hatinya.Secara lebih luas, kelemahan orang tua dan tidak konsistennya disiplin yang diterapkan membuat anak-anak tidak terkendali, tidak patuh, dan tingkah laku agresif di luar lingkungan keluarga.

Orang tua dengan tipe pola asuh ini akan melakukan apapun yang dibutuhkan untuk meminimalisir waktu dan energi yang diperlukan untuk berinteraksi dengan anak. Dalam kasus yang ekstrim, orangtua dengan pola asuh indifferent juga bersifat neglectful. Mereka kurang menunjukkan sikap menerima terhadap anak, tidak perduli pada apa yang telah, sedang, atau akan dilakukan si anak. Mereka bahkan hanya mengetahui sedikit sekali mengenai perihal anak mereka. Mereka juga jarang berkomunikasi dengan anaknya. Kasarnya, orang tua dengan tipe ini menelantarkan anaknya sendiri. Mereka tidak membesarkan anak mereka dengan melihat hal-hal apa yang baik bagi perkembangan anaknya, tetapi lebih bersifat “parent-centered”, dimana mereka membangun

kehidupan rumah mereka untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri saja.

Dampak pola asuh ini terhadap perkembangan anak adalah anak akan : a. Mudah terjerat pergaulan yang salah b. Tidak matang dan tidak bertanggung

jawab

c. Kurang percaya diri

d. Agresi, tidak menurut, dan impulsif e. Kurang termotivasi untuk berprestasi 5. Pola Asuh Permisif Indulgent

(Memanjakan)

Pola pengasuhan ini, orang tua tidak mengendalikan perilaku anak sesuai dengan kebutuhan perkembangan kepribadian anak, tidak pernah menegur atau tidak berani menegur anak. Anak-anak dengan pola pengasuhan ini cenderung lebih energik dan responsif dibandingkan anak-anak dengan pola pengasuhan otoriter, namun mereka tampak kurang matang secara sosial (manja), impulsif, mementingkan diri sendiri dan kurang percaya diri (cengeng).

Orang tua dengan tipe pola asuh ini menunjukkan rasa sayang dan penerimaannya terhadap anak namun amat pasif dalam masalah disiplin. Mereka memberikan tuntutan yang rendah terhadap perilaku anaknya, sehingga mereka memiliki tingkat kebebasan yang tinggi untuk melakukan tindakan yang diinginkannya. Orang tua dengan tipe seperti ini biasanya percaya bahwa kontrol terhadap anak hanya akan membatasi kebebasan dan kreativitas anak dan akan mengganggu perkembangan anak yang semestinya. Dengan kata lain, orang tua tidak pernah menuntut tanggung jawab anak dan bahkan mungkin tidak pernah menghukum anak saat anak berbuat salah. Orangtua dengan pola asuh seperti ini tidak secara aktif membentuk perilaku anaknya, tetapi mereka lebih melihat diri mereka sebagai suatu sumber daya yang boleh (tidak wajib) digunakan oleh anak mereka.

Dampak pola asuh ini terhadap perkembangan anak adalah anak akan : a. Menjadi tidak matang, emosi mudah

berubah, dan kurang bertanggung jawab b. Kurang percaya diri

(9)

e. Manja dan ingin mendominasi

6. Faktor–Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh Orangtua

Banyak pemikiran yang melahirkan sikap yang mengakui otoritas orang tua hanya karena rasa takut dan anggapan bahwa orangtua adalah bagian dari kehidupannya.Akibatnya, tidak ada konformitas dan transaksional antara orang tua dengan anak sebagai panutan untuk mengembangkan nilai-nilai yang diharapkan.Menurut Nelson (Shochib, 1997), orangtua yang tidak dapat melakukan hubungan intim dan penuh keterbukaan akan melahirkan kepadaman pengakuan anak terhadap otoritasnya. Karena adanya pemikiran yang demikian, maka orangtua memberikan gagasan yang sulit untuk diterima oleh anak-anaknya dan sulit untuk dihilangkan, bahwa orangtua harus menggunakan kekuasaan dalam menghadapi anak-anaknya, penggunaan pola asuh seperti ini merupakan penghalang bagi terciptanya keharmonisan keluarga.

Selanjutnya menurut Shochib (1997), secara khusus perlakuan orangtua terhadap anak-anaknya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :

a. Pengalaman masa lalu, perlakuan orangtua terhadap anak-anaknya mencerminkan perlakuan mereka terima waktu kecil dulu. Bila perlakuan yang mereka terima keras dan kejam, maka perlakuan terhadap anak-anaknya juga keras seperti itu.

b. Kepribadian orangtua, kepribadian orangtua dapat mempengaruhi cara mengasuhnya. Orangtua yang berkepribadian tertutup dan konservatif cenderung memperlakukan anaknya dengan ketat dan otoriter.

c. Nilai-nilai yang dianut orangtua, ada sebagian orangtua yang menganut faham

aqualitarian yaitu kedudukan anak sama dengan kedudukan orangtua, ini di negara barat sedangkan di negara timur nampaknya orangtua masih cenderung menghargai keputusan anak.

Generasi tua hidup di dalam kerangka kebijaksanaan prakmatis dan berdasarkan pengalaman di masa lalu, generasi remaja bertindak-tanduk selaras dengan idealisme

yang romantis namun dinamis, keduanya dipertemukan pada realita yang sama, yaitu kebutuhan untuk hidup berdampingan, bukan sebagai orang asing yang bertentangan, tetapi sebagai pribadi-pribadi yang saling mengindahkan memperdulikan dan memperhatikan. Dari generasi ke generasi berikutnya jelas ada perubahan dalam hubungan orangtua dan anak.Seseorang yang telah menjadi bapak dan ibu dari anaknya, menyadari bahwa pola hubungan antara dia dan anaknya berbeda dengan pola yang dia miliki dalam hubungan dengan arangtuanya. Perubahan-perubahan pola asuh ini Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pola asuh orangtua menurut Brouwer (1982), sebagai berikut : (a) keadaan masyarakat di mana keluarga itu hidup, (b) kesempatan yang diberikan oleh orangtua, (c) persepsi timbal balik antara orangtua dan anak.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orangtua yaitu : pengalaman masa lalu, kepribadian orangtua, nilai-nilai yang dianut orangtua, tempat tinggal, kesempatan yang diberikan oleh orangtua, dan persepsi timbal balik antara orangtua dan anak.

C. Konsep Tentang Motivasi dan Belajar 1. Pengertian Motivasi

Motivasi dipandang sebagai dorongan mental yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar (Dimyati, 1994:75).Thomas L. Good dan Jere B. Brophy dalam Elida Prayitno (1989:8), mendefinisikan motivasi sebagai suatu energi penggerak, pengarah dan memperkuat tingkah laku. Menurut Hasibuan (2003:95), motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan belajar seseorang, agar mau bekerja sama, belajar efektif dan terintegrasi.

(10)

pada diri seseorang, dalam hal ini siswa untuk melakukan kegiatan belajar guna mencapai tujuan yang berupa prestasi belajar. 2. Fungsi Motivasi

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa motivasi mendorong timbulnya tingkah laku dan mempengaruhi serta mengubah tingkah laku. Menurut Oemar Hamalik (1995:108), fungsi motivasi adalah:

a. Mendorong timbulnya tingkah laku atau perbuatan. Tanpa motivasi tidak akan timbul suatu perbuatan misalnya belajar. b. Motivasi berfungsi sebagai pengarah,

artinya mengarahkan perbuatan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

c. Motivasi berfungsi sebagai penggerak, artinya menggerakkan tingkah laku seseorang. Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat atau lambatnya suatu pekerjaan.

3. Ciri Motivasi

Motivasi yang ada pada diri setiap orang itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus-menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai). b. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas

putus asa). Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapainya).

c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah.

d. Lebih senang bekerja mandiri.

e. Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif).

f. Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu).

g. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu.

h. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.

Apabila seseorang memiliki ciri-ciri seperti di atas, berarti seseorang itu selalu memiliki motivasi yang cukup kuat. Ciri-ciri motivasi seperti itu akan sangat penting dalam kegiatan belajar mengajar (Sardiman, 2001:81-82).

4. Prinsip-Prinsip Motivasi

Menurut Djamarah (2002:118-121), ada beberapa prinsip motivasidalam belajar, antara lain sebagai berikut :

a. Motivasi sebagai dasar penggerak yang mendorong aktivitas belajar.

Seseorang melakukan aktivitas belajar

karena ada yang

mendorongnya.Motivasilah sebagai dasar penggeraknya yang mendorong seseorang untuk belajar. Bila seseorang sudah termotivasi belajar, maka dia akan melakukan aktivitas belajar dalam rentangan waktu tertentu.

b. Motivasi intrinsik lebih utama daripada motivasi ekstrinsik dalam belajar.

Anak didik yang belajar berdasarkan motivasi intrinsik sangat sedikit terpengaruh dari luar.Semangat belajarnya sangat kuat. Dia belajar karena ingin memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya, bukan ingin mendapatkan nilai tinggi, mengharapkan pujian orang lain ataumengharapkan hadiah berupa benda.

c. Motivasi berupa pujian lebih baik daripada hukuman.

Meski hukuman tetap diberlakukan dalam memicu semangat belajar anak didik, tetapi masih lebih baik penghargaan berupa pujian.

d. Motivasi berhubungan erat dengan kebutuhan belajar.

Kebutuhan anak didik adalah keinginannya untuk menguasai dan mendapatkan ilmu pengetahuan.Belajar adalah santapan utamanya.Perhatian, ketenaran, status, martabat dan sebagainya merupakan kebutuhan yang wajar bagi anak didik dan dapat memberikan motivasi dalam belajar. e. Motivasi dapat memupuk optimisme

dalam belajar.

Anak didik yang mempunyai motivasi dalam belajar selalu yakin dapat menyelesaikan setiap pekerjaan yang dilakukan.Dia yakin bahwa belajar bukanlah kegiatan yang sia-sia. Hasilnya pasti akan berguna tidak hanya kini, tetapi juga di hari-hari mendatang.

(11)

Dari berbagai hasil penelitian selalu menyimpulkan bahwa motivasi mempengaruhi prestasi belajar.Tinggi rendahnya motivasi selalu dijadikan indikator baik buruknya prestasi belajar seorang anak didik.

5. Belajar

Belajar adalah suatu kata yang sudah akrab dengan semua lapisan masyarakat, bagi para pelajar atau siswa kata “belajar” merupakan kata yang tidak asing.Bahkan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua kegiatan mereka dalam menuntut ilmu di lembaga pendidikan formal.Menurut Slameto dalam Syaiful Bahri (2002:13) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Slameto mengatakan bahwa suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur, yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditunjukkan harus sejalan dengan proses jiwa untuk mendapatkan perubahan, perubahan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah perubahan sebagai hasil dari proses belajar dan perubahan jiwa yang mempengaruhi tingkah laku seseorang. Menurut Hasan Basri (1994:92), mendefinisikan bahwa belajar adalah proses perubahan di dalam diri seseorang, setelah belajar seseorang mengalami perubahan dalam dirinya seperti mengetahui, memahami, lebih terampil, dapat melakukan sesuatu dan sebagainya.

Hasan Basri menekankan bahwa dengan belajar seseorang akan mengalami proses perubahan di dalam diri seseorang, setelah belajar seseorang mengalami perubahan dalam dirinya seperti mengetahui, memahami, lebih terampil, dapat melakukan sesuatu.Menurut James (dalam Syaiful Bahri, 2002:12) merumuskan belajar sebagai proses tingkah laku ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman. Sedangkan C.T Morgan dalam Singgih D. Gunarsa (2003:22) belajar adalah sesuatu perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat (hasil) pengalaman yang lalu.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan di dalam diri seseorang yang di sengaja dan terarah untuk menuju pada suatu tujuan kepribadian yang lebih utuh dan tangguh.

KESIMPULAN

Pola asuh yang dikaitkan dengan motivasi belajar siswa.Ada beberapa macam pola asuh menurut para ahli.Ada yang menyatakan 3 macam bahkan ada yang mengatakan lebih. Dalam kajian ini penulis mencoba untuk melihat hubungan 4 (empat) pola asuh yaitu Authoritarian, Authoritative, Permisif Indifferent dan Permisif Indulgent yang penulis kaitkan dengan motivasi belajar siswa. Motivasi sangat penting diberikan kepada siswa, dan peran ini dimainkan oleh orang dewasa baik di sekolah, masyarakat maupun keluarga (orang tua).

Orang tua sebagai orang terdekat bagi siswa, memiliki peranan penting dalam memberikan motivasi bagi siswa.Pola asuh yang sesuai memberikan pengaruh terhadap motivasi siswa sesuai dengan karakter anak.Pola asuh orang tua adalah cara mengasuh dan metode disiplin orang tua dalam berhubungan dengan anaknya dengan tujuan membentuk watak, kepribadian, dan memberikan nilainilai bagi anak untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Dalam memberikan aturan-aturan atau nilai terhadap anak-anaknya tiap orang tua akan memberikan bentuk pola asuh yang berbeda berdasarkan latar belakang pengasuhan orang tua sendiri sehingga akan menghasilkan bermacam-macam polaasuh yang berbeda dari orang tua yang berbeda pula.

REFERENSI

Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004)

(12)

A. Mudjad Mahali, Hubungan Timbal Balik Orang Tua dan Anak, Cet III, (Solo: Ramadhani, 1994).

Hery Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam. Cet.I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, l 999).

Bagir Sharif al Qarashi, Seni Mendidik Islami, (Jakarta: Pustaka Zahra , Tanpa Tahun).

M. Alisif Sabri, Ilmu Pendidikan, Cet.I, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1999) hal. 8

Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Gunarsa, Singgih D. 1995.Psikologi Perkembangan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Bahri, syaiful. 2002. Psikologi Belajar..Jakarta ; PT. Rineka Cipta

Thoha, chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam, Yogyakarta : Pustaka pelajar (IKAPI)

Prasetya, G. Tembong. 2003. Pola Pengasuhan Ideal. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Basri, Hasan. 2000. Remaja Berkualitas (Problematika Remaja dan Solusinya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Prayitno, Elida. 1989. Motivasi dalam Belajar. Jakarta : FKIP IKIP Padang

Hamalik, Oemar. 1995. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara

A.M, Sardiman. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.

Brouwer, MAW. 1982. Kepribadian dan Perubahannya. Jakarta : Gramedia Shochib. 1997. Pola Asuh Orang Tua :

Untuk Membantu Anak Mengembangkan Disiplin Diri. Jakarta : PT Rineka Cipta.

Iswantini.H. 2002.Hubungan antara Pola Asuh Otoriter dengan Locus of Control. Skripsi (tidak diterbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Gunarsa, S.D. 1995. Perkembangan Kepribadian Remaja. Jakarta : BPK Gunung Mulia.

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) perangkat pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini dikategorikan valid dan praktis; (2) dari hasil analisis

Alasan yang dapat dikemukakan bahwa pengadilan pajak bukan merupakan pengadilan yang berada dibawah lingkup Mahkamah Agung disebabkan karena dalam proses

Hasil analisis varians satu jalur untuk burnout ditinjau dari dukungan sosial pada atlet Women’s National Basketball League (WNBL) Indonesia, diperoleh F hitung > F tabel

Bagi anda yang melakukan trading, hal yang penting anda ketahui adalah mengenai bank sentral dari negara-negara yang mata uanganya diperdagangkan, mengingat

Berdasarkan hasil penelitian yang telah disampaikan sebelumnya, beberapa kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) Dukungan organisasi terhadap pegawai pada Puskesmas

Dari hasil tersebut kemudian dilakukan refleksi awal untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan dalam siklus 2 dari refleksi tersebut ditemukan masalah bahwa guru

yang menjadi tugas Sat Narkoba dalam lingkungan Polresta Medan.. Menyelenggarakan kegiatan penyelidikan/penyidikan tindak

Hasil penelitian menunjukan bahwa desa bandung baru menjadi sebuah model atau acuan dalam memecahkan masalah kebijakan pendidikan gratis, pemerintahan desa