• Tidak ada hasil yang ditemukan

Randa Akuntabilitas Kepemimpinan dalam O

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Randa Akuntabilitas Kepemimpinan dalam O"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

AKUNTABILITAS KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI KEAGAMAAN (Studi Etnografi Pada Sebuah

Gereja Katolik Di Tana Toraja) Oleh

Fransiskus Randa

(FE Universitas Atma Jaya Makassar)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap praktik akuntabilitas kepemimpinan pada organisasi Gereja Katolik dengan menggunakan paradigma interpretif dan metode etnograf pada sebuah komunitas Gereja lokal dengan informan utama adalah umat dan pemimpin Gereja setempat. Penelitian ini menemukan bahwa akuntabilitas kepemimpinan dalam organisasi Gereja adalah kepemimpinan yang melayani, namun di sisi lain organisasi Gereja yang sentralistik menjadi hambatan bagi pelaksanaan praktik tersebut, sehingga muncul desakan dari umat yang menginginkan kepemimpinan kolegial dan keterlibatan umat dalam proses pengambilan keputusan. Penelitian ini juga menemukan adanya perbedaan model pelayanan antara pemimpin pastor religius dan pemimpin pastor diosesan.

Kata Kunci: akuntabilitas, kepemimpinan, Gereja, Etnografi, Katolik, Tana Toraja

1. Pendahuluan

Menurut Sinclair (1995) akuntabilitas adalah tindakan individu atau

kelompok untuk menjelaskan dan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Hal itu berarti akuntabilitas menjadi tanggung jawab individu maupun kelompok

kepada para stakeholder. Desakan dari para stakeholder akan pentingnya pelaksanaan

akuntabilitas dengan menjalankan prinsip-prinsip good governance yang meliputi

transparansi, rasa keadilan di dalam setiap manajemen organisasi merupakan fenonema yang harus dicermati oleh setiap organisasi agar organisasi tersebut

dipercaya oleh para stakeholder. Dalam seminar akuntabilitas ORNOP1 menyimpulkan bahwa akuntabilitas kepada stakeholder menjadi kebutuhan bagi setiap

ORNOP jika ingin tetap mendapat kepercayaan dari mitranya.

1

(2)

Organasisi Gereja sebagai salah satu organisasi publik non pemerintah pada

bidang keagamaan, juga tidak luput dari berbagai kritik dan tuntutan agar Gereja

terbuka dan melaksanakan praktik akuntabilitas. Selama ini organisasi Gereja

dianggap tidak transparan dan tertutup terhadap praktik manajemen modern. Menurut Berry (2005), organisasi Gereja resisten terhadap praktik akuntabilitas karena kuatnya

pengaruh para pemimpin dan tradisi dalam organisasi Gereja. Kondisi tersebut

menyebabkan kasus-kasus penyelewengan dalam Gereja tidak banyak diketahui dan

cenderung ditutup rapat-rapat agar tidak menjadi komsumsi publik (Rahardi, 2007). Dengan demikian menarik untuk dikaji guna membuka selubung praktik akuntabilitas

kepemimpinan dalam Gereja Katolik.

Dalam Sejarah kepemimpinan Gereja Katolik ketika memasuki abad

pertengahan terjadi pergeseran makna akuntabilitas dalam Gereja dari komunitas religius menjadi komunitas negara. Para pimpinan Gereja turut menjadi pemimpin

negara sehingga pada setiap wilayah Gereja berdiri pusat-pusat teritorial Gereja yang

ditandai dengan berdirinya gedung Gereja yang megah sebagai simbol kekuasaan dan

kejayaan Gereja dan negara. Pimpinan Gereja lebih banyak sibuk mengurus aktivitas

duniawi dan meninggalkan karya perutusan Gereja sesungguhnya. Kondisi tersebut menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pimpinan Gereja sendiri sehingga timbul

gerakan reformasi yang dimotori oleh para pengikut Gereja Protestan.

Gerakan reformasi ini selanjutnya bagi Gereja Katolik juga menjadi

pelajaran yang berharga sehingga Gereja Katolik sadar akan perutusan sesungguhnya dan mencoba untuk memperbaiki diri dengan melakukan gerakan kontra reformasi.

Hasil dari kontra reformasi adalah Gereja Katolik tidak melibatkan diri dalam urusan

negara, namun hirarki dalam Gereja Katolik tidak runtuh dan tetap eksis sampai

sekarang. Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik universal membawahi para Uskup. Uskup kemudian menjadi pimpinan umat pada wilayah keuskupan tertentu yang

dibantu oleh para pastor (imam) sebagai pemimpin umat pada suatu Gereja lokal

(3)

sangat sentralistik sehingga dapat menjadi kekuatan dan sekaligus kelemahan dalam

proses akuntabilitas kepemimpinan.

Pada sisi lain seiring dengan adanya tuntuan kemandirian, maka peran

seluruh stakeholder dalam hidup menggereja harus ditingkatkan khususnya umat sebagai stakeholder utama. Peningkatan partispasi umat tersebut kemudian diikuti

oleh kuatnya desakan dari stakeholder agar para pemimpin lebih akuntabel dalam

mengelola organisasi Gereja.

Beberapa peneliti yang ingin memahami praktik akuntabiltas dan akuntasi dalam organisai Gereja seperti dilakukan oleh Laughlin (1988 &1990) yang mencoba

memahami praktik tersebut dalam organisasi Gereja-Gereja di Inggris dengan

menggunakan pendekatan strukturasi. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat praktik

akuntabilitas yang memadai antara jemaat, pemimpin Gereja (Imam), Dewan Gereja dan anggota kongregasi yang bernaung di bawah Gereja. Berbeda dengan penelitian

Booth (1993) yang lebih mendalami praktik akuntabilitas pada tataran pemaknaan kata-kata “suci” dan “kudus” dalam pengelolaan keuangan Gereja. Booth (1993) merumuskan tiga unsur utama yang mempengaruhi penerapan akuntansi dan

akuntabilitas dalam Gereja. Pertama, organisasi Gereja didominasi oleh doktrin suci dan konsep teologi yang berbeda-beda pada masing-masing aliran Gereja Protestan,

sehingga ada resistensi terhadap penggunaan akuntansi dalam Gereja. Kedua,

resistensi dilakukan oleh para pemimpin Gereja karena mereka mendominasi

manajemen Gereja. Ketiga, resistensi juga muncul karena akuntansi dianggap sebagai media komunikasi yang dapat mengungkap kondisi riil apa yang ada dalam organisasi

Gereja. Dalam konteks akuntabilitas dan pengendalian dalam Gereja, Berry (2005)

meneliti Gereja di Inggris sebagai salah satu organisasi yang expressive2. Penelitian

dilakukan dengan menjadi salah satu aktor yang terlibat langsung dalam proses penyusunan proposal pembiayaan bagi organisasi Gereja yang mengalami krisis

keuangan. Dalam proses penyusunan proposal dengan para pemimpin Gereja

(4)

ditemukan bahwa organisasi Gereja sebagai organisasi yang expressive sulit menerima

model akuntabilitas dari luar karena Gereja memiliki organisasi dan struktur yang

sangat kompleks serta berbenturan dengan nilai-nilai tradisi dalam Gereja.

Penelitian ini di lakukan pada organisasi Gereja Katolik di daerah pedesaan yang mempunyai struktur organisasi yang sentralistik dan pyramidal sehingga dapat

dibedakan dengan penelitian sebelumnya yang sebagian besar dilakukan pada

organisasi Gereja protestan yang mempunyai otonomi masing-masing dalam dalam

mengelola organisasi Gerejanya serta berlokasi di kota. Atas dasar tersebut, maka peneliti memilih salah satu Gereja Katolik di daerah Tana Toraja yaitu Paroki Makale.

Gereja tersebut menjadi Gereja Katolik pertama di daerah Tana Toraja yang banyak

berjuang dalam membangun organisasi khususnya karena hidup di tengah budaya

yang masih tetap eksis.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan;“Bagaimana pemaknaan akuntabilitas kepemimpinan dalam organisasi Gereja Katolik?” Tujuan penelitian adalah untuk menggambarkan dan memaknai praktik akuntabilitas kepemimpinan pada organisasi Gereja sehingga penelitian ini

diharapkan dapat memberikan kontribusi tentang konsep akuntabilitas kepemimpinan pada organisasi non profit khususnya lembaga keagamaan. Selain itu diharapkan

penelitian ini dapat memberikan kontribusi konseptual tentang mekanisme

akuntabilitas kepemimpinan dalam organisasi keagamaan.

2. Paradigma dan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan interpretif dan etnografi sebagai

metode risetnya. Meskipun etnografi pada awalnya merupakan metode yang

digunakan oleh antropologi yang terfokus pada pendeskripsian suatu budaya

masyarakat primitif, namun dalam perkembangannya tidak lagi terbatas pada upaya mengungkap budaya masa lalu kelompok suku tertentu pada suatu wilayah tetapi

berkembang masuk dalam bidang sosiologi dan dapat mengungkap kehidupan sosial

masa kini (Molinowski dalam Spradley, 1997). Etnografi baru ini kemudian

(5)

teman-temannya kemudian mengembangkan pendekatan baru tersebut yang disebut

generasi antropologi kognitif kedua.

Teknik pengumpulan data yang utama dalam hal ini adalah observasi partisipasi

dan wawancara terbuka dan mendalam yang dilakukan dalam jangka waktu yang relatif lama, bukan kunjungan singkat dengan daftar pertanyaan yang terstruktur

seperti pada 2kunjungan survei (Spradley, 1997: 157). Dengan demikian diharapkan

dapat memperoleh hasil natural culture, integratif holism, in-depth studies analysis

and chronology (Sarantakos, 1993; 264).

3. Hasil Penelitian

Memahami pelaksanaan tugas para pemimpin Gereja sebagai wujud

akuntabilitas kepemimpinan mereka dalam organisasi Gereja tidak terlepas dari tokoh

sentral yang dikagumi dan diteladani yaitu Yesus. Yesus dalam injilnya mengatakan: “Aku datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani”, yang kemudian sungguh melaksanakan apa yang dikatakanNya sepenuhnya selama melaksanakan tugas

perutusan dari Allah. Suatu slogan yang mudah diucapkan para pemimpin Gereja

sebagai penerus kepemimpinan Yesus namun sulit dipraktikkan.

Perkembangan model akuntabilitas kepemimpinan dalam organisasi keagamaan pada umumnya didasari oleh tokoh kharismatik sebagai pendiri, maupun

sebagai penerus suatu keyakinan yang diimani oleh para pengikutnya. Dalam bab ini

akan dikupas tentang bentuk-bentuk akuntabiltas kepemimpian yang muncul dari hasil

pemaknaan di lapangan baik oleh umat, para pemimpin Gereja maupun hasil elaborasi dari peneliti. Proses pemaknaan dimulai dengan dasar kepemimpinan kristiani yaitu

pelayanan, kemudian dilanjutkan dengan pelembagaan bentuk-bentuk kepemimpinan

dalam Gereja Katolik yang cenderung sentralistik, tuntutan pentingnya model kolegial

dan diakhiri dengan realitas kepemimpinan dalam diri para pemimpin Gereja yang menghayati panggilan mereka dalam bentuk cara hidup dan karya mereka di tengah

(6)

3.1. Kepemimpinan yang Melayani

Kung (1977: 19) mencoba merumuskan dengan baik hakikat pelayanan

Kristen :

“Faktor yang khas ialah bahwa kita tidak mencari kesenangan dalam jabatan di Gereja….melainkan kita menjadi seorang percaya yang murni dan sederhana; menjadi seorang yang percaya, mendengarkan, melayani, mengasihi dan berharap.”

Rangkaian kata kerja yang digunakan Kung untuk menjelaskan pelayanan dasar dari

semua orang Kristen tersebut merupakan ringkasan yang padat tentang pendampingan pastoral. Seorang pastor selayaknya dapat mengemban makna dari suatu pelayanan

yang diwariskan oleh sang tokoh Yesus. Pelayanan dalam bentuk pendampingan

pastoral tersebut oleh Niebuhr dalam Campbell (1994: 51) dirumuskan : “Menumbuhkan cinta pada Allah dan pada sesama” yang sebenarnya merupakan penjabaran dari tiga fungsi utama kehidupan gereja yaitu kerygma (pemberitaan

firman), koinonia (persekutuan) dan diakonia (pelayanan). Ketiga fungsi tersebut

hendaknya tidak dipisahkan satu sama lain karena jika dipisahkan, maka akan menjadi

superior di antara yang lain yang akhirnya akan mengakibatkan pemberitaan firman menjadi kemunafikan, persekutuan berubah menjadi perkumpulan eksklusif, dan

pelayanan berubah menjadi aktivisme tanpa refleksi. Jadi, ketiga fungsi ini harus

menjadi satu kesatuan dalam ikatan kreatif tapi bukan dalam artian bahwa harus

melekat pada diri satu orang tetapi secara bersama-sama membentuk kesatuan yang utuh dengan fungsi yang sepenuh-penuhnya dalam komunitas.

Dengan latar belakang pandangan demikian maka pelayanan dalam kasih yang

diwujudkan dalam pendampingan pastoral, tidak dapat disandarkan hanya pada satu

orang pemimpin Gereja karena dapat terjadi bahwa seorang awam atau umat biasa dapat melaksanakan tugas hidup menggereja tersebut sama baiknya dengan seorang

Pastor. Kepemimpinan dengan partisipatif perlu dikembangkan seperti membagi dua

tugas utama di paroki yaitu pelayanan sakramen dan pelayanan non sakramen yang

(7)

Amerika terhadap paroki menunjukkan bahwa paroki yang membagi tugas dengan

salah seorang staff yang disebut administrator paroki berhasil mengurangi tugas pastor

di bidang administratif dan sarana-prasarana paroki. Seperti dikatakan seorang Pastor Paroki dalam Sweeter (2005: 29): ”Aku tak tahu apa yang harus kulakukan apabila administrator itu, laki-laki atau perempuan tidak ada”. Peranan umat tidak tertahbis

juga dapat mengambil alih tugas pastor yang non sakramen seperti yang dilaksanakan

oleh informan 1

Tokoh Informan 1 pada awalnya tidak pernah bermimpi akan menjadi pengantar atau pemimpin ibadah selama tiga puluh tahun lebih seperti

diungkapkannya:

“Ya benar itu sebenarnya saya tidak menyangka pada awalnya kalau saya akan jadi pengantar terlama di Santung. Waktu itu ketika bapak Salempang yang menjadi pengantar terangkat sebagai guru di kabupaten Maros, maka sering tidak ada orang yang memimpin ibadah apalagi setelah menetap disana, Gereja sering ditutup pada hari Minggu karena tidak ada orang yang memimpin ibadah. Kemudian Bapak Salu (lebih akrab dipanggil Ne’ Salu) menghubungi saya dan meminta saya untuk belajar dan menggantikan pak Salempang untuk menjadi pengantar di Gereja. Saya kemudian menghadap Pastor Paroki dan diberikan kursus kilat untuk menjadi pemimipin ibadah. Kami mulai lagi melaksanakan ibadah setiap hari Minggu meskipun kadang jumlah umat yang hadir hanya empat orang. Lama-kelamaan keadaan menjadi hidup kembali. Jumlah umat yang datang ke Gereja mulai banyak kembali.”

Tokoh Informan 1 mampu menjadi pelayan umat yang dikagumi meskipun dia

tidak menjalani pendidikan formal sebagai seorang pelayan. Berbeda dengan para

pastor yang kadang kala justru mendapat banyak kritik dan penolakan dari umat dalam

proses pelayanan pastoralnya meskipun mereka dididik secara formal untuk pelayanan. Makna pelayanan yang harus dihayati oleh setiap pastor adalah kesejatian

dan ketulusan hati dan tidak melembaga sebagai sesuatu yang formal dan mekanistik.

(8)

cenderung diformalkan bahwa tuntuan keahlian dalam melayani sebenarnya

mempunyai bahaya inheren. Dia menyebutnya pada saat kita melembagakan suatu

peranan pertolongan, pada saat itu kita sebenarnya telah menciptakan perbedaan

derajat antar manusia, sehingga hubungan tersebut berbeda dengan hubungan bebas antar pribadi yang disebutnya “Aku dan Engkau”. Akibatnya adalah apabila pelayanan yang diberikan sebagi suatu kewajiban institusi maka tidak jarang

dilakukan sebagai hubungan timbal balik sehingga yang diberi pertolongan

mempunyai kewajiban yang tidak seimbang seperti yang dimaksudkan seperti hubungan “Aku dan Engkau” sebagai pribadi yang bebas.

Pelayanan kasih seorang gembala meskipun mendapat kritikan dari umat,

namun masih ada yang sungguh-sungguh melaksanakan tugas pelayanan dengan

penuh kasih. Salah seorang di antara mereka ialah informan 11, dia adalah Vikep Menurut salah seorang rekan kerjanya, dia mengagumi sang vikep sebagai pribadi

yang bijaksana melihat setiap persoalan yang dihadapi baik para pastor, maupun umat

dalam lingkup Kevikepan Tana Toraja. Dengan demikian para pastor jika

menghadapi masalah dalam tugas penggembalaan tidak sulit mengambil keputusan

karena Vikepnya siap untuk memberikan solusi secara cepat dan tepat.

Dalam wawancara dengan beliau, peneliti melihat tokoh ini sebagai pastor

yang sungguh-sunguh menggembalakan umatnya, dia dengan mudah bisa ditemui

oleh setiap orang yang membutuhkan beliau sejauh ada waktu dan tidak sibuk. Ketika

ditanya tentang adanya perilaku para pastor yang tidak menghayati panggilannya secara baik dalam melayani umat, dia mengatakan :

(9)

menjalankan tugas mereka. Tetapi ada juga yang seakan-akan tuan besar yang ingin dilayani oleh umatnya.”

Pengakuan informan 11 tersebut membenarkan perilaku para pastor yang

kurang menghayati panggilan mereka dalam kerangka pelayanan pastoral. Kegusaran pastor informan 11 ini menunjukkan bahwa perilaku para anak buahnya dalam

pelaksanaan tugas mereka, masih perlu refleksi kembali makna panggilan yang

sesungguhnya bagi para pastor. Terlebih jika dikaitkan dengan sang tokoh yang

menjadi panutan, guru para pastor dan inspiratori model kepemimpinan yaitu Yesus yang mengatakan: “Aku datang bukan untuk dilayani tetapi untuk melayani.”

3.2. Kepemimpinan yang Sentralistik

Kehadiran Dewan Gereja Keuskupan sebagai Gereja partikular yang di

dalamnya dan darinya terwujud Gereja katolik yang satu dan satu-satunya yang meliputi keuskupan-keuskupan, vikaris apostolik, perfektur apostolik dan administrasi

apostolik yang didirikan secara tetap. Dengan demikian keuskupan adalah bagian dari

umat Allah, yang dipercayakan kepada seorang Uskup untuk digembalakan dengan

kerjasama para imam, sedemikian sehingga dengan mengikuti gembalanya dan

dipimpin olehnya, Injil serta Ekaristi dalam Roh Kudus, membentuk Gereja Partikular, dalam mana sungguh-sunguh terwujud dan berkarya Gereja Kristus yang satu, kudus,

katolik dan apostolik (kanon 368 dan 369 dalam KWI 2006).

Dewan Gereja Keuskupan terdiri dari lembaga-lembaga dan orang-orang yang membantu Uskup dalam memimpin seluruh keuskupan, terutama dalam mengarahkan karya pastoral, melaksanakan administrasi keuskupan dan juga menjalankan kuasa yudisial. Tata kelola keuskupan yang menyerupai suatu negara dan Uskup menjadi kepalanya, di satu sisi memperkokoh kewenangan pemimpin dalam menata umat dan harta benda, namun juga dengan kekuasaan yang besar demikian akan menjadikan seorang Uskup dapat bertindak otoriter. Hal itu diakui oleh informan 13 (M41)3:

“Gereja sebenarnya adalah di bawah tanggung jawab pemimpinnya yaitu bapak Uskup. Sehingga harta benda Gereja dimanfaatkan dalam konteks Gereja lokal dimana Uskup menjadi penanggung jawab. Meskipun demikian

(10)

Uskup tidak bekerja sendiri. dia dilengkapi dengan perangkat yang meliputi Kuria dan pengawas yaitu Dewan Keuangan dan dewan konsultor. Kuria meliputi Sekretaris, Ekonom dan Vikjen. Mereka ini bekerja mengatasnamakan Gereja lokal termasuk lembaga-lembaga lain yang mengatasnamakan Gereja Katolik di bawah kewenangan Uskup dan tunduk pada ketentuan keuskupan.”

Kekuasaan yang yang terfokus pada seorang Uskup yang dianggap wakil

Kristus di dunia oleh sebagian pendapat umat diakui sebagai suatu kekuatan Gereja

Katolik, namun jika Uskupnya tidak mempunyai kharisma yang cukup sebagai seorang pemimpin organisasi, maka akan semakin terjerumus dalam praktik organisasi

keuskupan yang tidak terarah dan tidak akuntabel. Hal ini dapat menimbulkan

akuntabilitas kepemimpinan dalam organisasi keuskupan tidak berjalan dengan baik.

Seperti dalam Randa (2008) mengatakan bahwa meskipun organisasi keuskupan sebagian telah dilengkapi oleh perangkat struktur yang memadai namun korupsi dan

penyelewengan tetap terjadi karena ketidakmampuan top manajemen dalam

mengorganisir keuskupan.

Dengan demikian dibutuhkan seorang Uskup yang lebih arif dan bijaksana

namun tegas, jika tidak, maka akan menimbulkan ketidakpuasan pada arus bawah yang dapat berdampak pada hilangnya semangat kolegialitas dalam kepemimpinan

dan jika kurang dikontrol dari Uskup, maka seorang pastor paroki dengan kewenangan

yang diterimanya juga menjadi pemimpin yang sedikit otoriter terhadap jemaat yang

digembalakan. Seperti yang diakui oleh Informan 8 (M334):

“Uskup kita lemah dalam kepemimpinan akibatnya pastor paroki kadang merasa frustasi jika ada suatu masalah yang seharusnya diputuskan cepat, namun oleh bapak Uskup kadang lambat dan kadang membiarkan masalah tersebut terlupakan namun menimbulkan ketidakpuasan yang terpendam sehingga umat kurang bergairah dalam mengambil bagian dalam karya perutusan Gereja.”

(11)

Hal yang sama disampaikan oleh Informan 7 tentang gaya kepemimpinan Uskup,

bahwa ketegasan seorang pemimpin dibutuhkan guna dapat menciptakan wibawa

kepemimpinan yang selanjutnya mendorong dipatuhinya aturan main yang telah

disepakati, agar konflik internal dalam organisasi dapat diperkecil. Lebih informan 7(M295) mengatakan:

“Saya melihat tidak ada ketegasan bapak Uskup. Semua masalah tidak diputuskan secara tuntas. Sebagian dibiarkan mengambang. Maka wajar kalau ada sebagian pastor yang tidak puas terhadap kepemimpinan beliau. Bagi pastor ada istilah tempat yang kering dan basah. Ada pastor yang tidak mau dipindahkan sehingga jurang antara pastor di paroki kaya dengan pastor di paroki miskin semakin lebar. Kaul-kaul yang diucapkan mereka ketika ditabiskan seakan tidak dilaksanakan lagi. Kaul selibat misalnya sudah banyak pastor yang meninggalkan imamat karena faktor ini. Kaul kemiskinan, ada pilih kasih di antara para umat. Kaul ketaatan lebih banyak pastor tidak lagi taat kepada Uskup sebagai atasan mereka.”

Usaha untuk menata organisasi Gereja, secara konsep telah memadai hal itu

dilihat dari adanya sejumlah konsep tata kelola organisasi yang diterbitkan oleh

KAMS. Konsep-konsep tersebut telah dibuat dan disahkan oleh Uskup untuk diberlakukan. Namun dalam pelaksanaannya tidak berjalan dengan baik seperti yang

disampaikan oleh informan 7(M29) bahwa :

“Semuanya yang dibuat serba experimentum dan tidak ada tindak lanjutnya. Salah satu contoh pelaksanaan keputusan tentang pengelolaan Pastoral (dewan Pastoral). Saat ini kami tidak pernah rapat sudah lama sekali. Kita lebih banyak menunggu keputusan pastor selaku ketua Depas. Pastor lebih banyak jalan sendiri mungkin dengan asumsi bahwa telah ada pembagian tugas dalam struktur depas. Namun saya kira itupun tetap membutuhkan koordinasi lintas bagian. Saya melihat bahwa organisasi Gereja Katolik merupakan organisasi keagamaan yang kuat dan akuntabel dengan adanya struktur struktur yang berjenjang. Bahkan banyak ditiru oleh organisasi Gereja protestan dan organisasi

(12)

keagamaan yang lain. Namun yang menjadi masalah adalah pelaksana organisasi kurang akuntabel dan cenderung tidak transparan meskipun organisasi secara keseluruhan dirancang transparan. Meskipun demikian tidak semua paroki seperti itu, saya pernah berbincang-bincang dengan pastor Hendrik Nyiolah dan Maris Marannu, mereka dengan konsep depas yang ada sudah menjalankan transparansi dengan baik di paroki masing-masing.”

Kegusaran informan 7 dilandasi pada beberapa fakta bahwa KAMS cukup banyak

menyusun konsep tentang tata kelola organisasi antara lain Pedoman Dasar Dewan Pastoral Paroki tahun 2004, Pedoman Dasar Dewan Keuangan Paroki tahun 2004 dan

Pedoman Umum Pengelolaan Keuangan Gereja Lokal KAMS, tahun 2005 yang

semuanya dinyatakan sebagai percobaan yang kemudian diharapkan dapat berlaku

tetap setelah masa percobaan. Namun dalam masa percobaan tersebut kurang disosialisasi dan ketika tiba waktu pelaksanaannya secara permanen tidak ditindak

lanjuti, yang akhirnya kembali kepada kondisi awal yang disebut informan 7 bahwa

bergantung pada keinginan pastor paroki (pastor sentries).

Pengukuhan kepemimpinan sentralistik demikian juga diperkuat oleh

perubahan konsep tata kelola paroki yang awalnya disebut Dewan Paroki (DEPA) kemudian diganti Dewan Pastoral Paroki (DEPAS) yang mana terdapat perbedaan

yang cukup signifikan dalam hal siapa yang boleh menjadi ketua Dewan Pastoral

Paroki. Dalam konsep DEPA, ketua DEPA dapat berasal umat dan bukan pastor,

sehingga pastor paroki hanya menjalankan tugas pelayanan sakramen. Di sisi lain perubahan ke konsep DEPAS bahwa Pastor Paroki secara ex officio menjadi ketua

DEPAS, oleh sebagian umat ditafsirkan sebagai pemberian kewenangan yang terlalu

besar dan mengukuhkan organisasi Gereja sebagai organisasi yang sentralistik

piramidal.

Hal itu dilakukan oleh keuskupan untuk memperkuat posisi struktur Gereja

dimana para pastor menjadi perpanjangan tangan Uskup. Namun di sisi lain

kewenangan yang terlalu besar pada diri pastor tersebut kemudian juga dapat menjadi

(13)

pastor kemudian menjadi penguasa Gereja-Gereja lokal yang lambat laun akan

menjadikan Gereja tidak sesuai dengan arah dan tujuan semula tetapi dominan demi

kepentingan masing-masing pemimpin paroki. Bukan lagi Allah yang dimuliakan

tetapi aku sebagai pemimpinlah yang kemudian dihormati.

Salah satu praktik yang diobservasi ialah adanya beberapa pastor paroki yang

tidak bersedia menyetor dana solidaritas dan tidak membuat laporan keuangan

tahunan yang diminta keuskupan. Keengganan untuk mematuhi permintaan Uskup

juga banyak ditentukan oleh karakter Pastor Paroki. Ada pastor paroki yang sangat taat tetapi ada juga yang tidak bersedia mematuhi permintaan Uskup. Maka karakter

dan style masing-masing Pastor Paroki juga menjadi kendala bagi keuskupan dalam

menata organisasi keuskupan khususnya dalam membagun praktik akuntabilitas

kepemimpinan. Seperti diungkapkan oleh Uskup Palangkaraya, Sutrisnaatmaka (2010: 86):

“Setiap pastor memiliki pribadi yang unik. Ada yang keunikannya direspon positif oleh rekan kerja serta umatnya. Namun, beberapa pastor yang memiliki keunikan yang menjadi batu sandungan bagi yang lain. Memang tak jarang hubungan pribadi antara Uskup dan imamnya (pastornya) diwarnai dengan keunikan-keunikan tersebut. Hal ini memerlukan usaha ekstra dari dua belah pihak. Umumnya hubungan yang biasa-biasa dirasa cukup, pada pribadi yang unik dan khusus harus pula diperhatikan dan diperlakukan secara khusus pula.”

Pendapat Informan 7 (M36)6 dan informan 8 (M29)7 bahwa kelalaian dan ketidaktaatan paroki disinyalir juga disebabkan oleh ketidaktegasan Uskup sebagai

pemimpin keuskupan. Ketika ada paroki yang tidak taat kemudian dibiarkan tanpa

ada tindakan yang tegas, dapat menjadi contoh yang buruk bagi paroki lain untuk

melakukan hal yang sama. Faktor lain adalah adanya keangkuhan staff keuskupan yang berhubungan langsung dengan para pastor di lapangan. Perilaku yang pilih kasih

6 Manuskrip no 36.

(14)

dan kurang pendekatan sebagai sesama rekan kerja, menjadi dasar para pastor paroki

untuk tidak kooperatif.

Keuskupan haruslah menggali permasalahan konkret yang dihadapi para

pastor dalam hal ketidaksetiaan memenuhi apa yang diminta oleh keuskupan. Benarkah karena ada keinginan untuk tidak taat atau ketidaktaatan disebabkan oleh

faktor lain seperti ketidakfahaman atas teknik penyajian informasi yang diminta oleh

keuskupan.

Penyebab lain ketidaktaatan adalah ketidakpuasan para pastor di paroki akan kebijakan menyangkut diri mereka, seperti minimnya dana operasional yang diberikan

untuk kebutuhan sehari-hari bagi paroki yang miskin dibanding dengan para pastor

paroki kaya yang kebutuhannya melebihi dari yang cukup. Maka menarik bahwa apa

yang diyakini oleh informan 9(M37) tentang kondisi umat yang tidak merata dalam memenuhi kebutuhan para pastor mereka. Dia mengatakan:

“Tentang keadaan ekonomi umat yang sering pastor-pastor katakan tempat yang kering dan yang basah bagi saya tidak perlu. Kita hidup apa adanya dari kondisi yang ada suatu waktu kita bisa lagi pindah ke tempat lain yang mungkin basah atau lebih kering lagi. Karena faktor kemiskinan tidak perlu menjadi hambatan dalam pelaksanaan tugas. Para pastor mengikuti saja irama dinamika situasional yang berkembang dalam umat.”

Namun jika dicermati lebih dalam, mungkin itu adalah suatu ungkapan kekesalan atas

manajemen keuskupan yang tidak mampu memenuhi keinginan para pastor paroki di lapangan. Menurut Uskup Tanjung Selor, Harjususanto (2010: 95) bahwa seorang

Uskup harus memberi perhatian dan kepercayaan. Menurutnya:

(15)

Selain memberikan perhatian, lanjut Harjususanto bahwa seorang Uskup juga harus

memberikan kepercayaan kepada para pastornya. Memberikan kepercayaan tidak

berarti bahwa Uskupnya membiarkan para pastornya tetapi sedapat mungkin juga

melibatkan diri dalam tugas para pastornya. Keterlibatan dalam tugas penggembalaan itu tetap diperlukan meskipun bentuknya berbeda dari apa yang yang dilakukan para

imam. Menanyakan keadaan dan perkembangan karya, memberi tanggapan atas

laporan dan menyampaikan pandangan merupakan salah satu dari aneka bentuk

keterlibatan. Dengan demikian, tetap ada relasi antara Uskup dan pastor dalam keterlibatan karya penggembalaan.

3.3. Kepemimpinan yang Kolegial

Berbicara tentang akuntabilitas kepemimpinan dalam hidup menggereja tidak

terlepas dari keinginan unsur-unsur yang bukan pemimpin dalam organisasi Gereja

terlibat dalam hal pengambilan keputusan. Keterlibatan mereka yang menjadi bagian Gereja dapat dinyatakan lewat proses-proses pengambilan keputusan yang didukung

oleh terciptanya demokratisasi dalam hidup menggereja. Pertanyaannya adalah

mungkinkah demokratisasi dilaksanakan dalam Gereja? Adakah dasar teologis yang dapat digunakan untuk menjalankan praktik akuntabilitas dalam organisasi Gereja?

Untuk membangun akuntabilitas kepemimpinan dengan keterlibatan umat dalam

hidup menggereja, maka Gereja diperhadapkan pada dua dimensi yaitu dimensi

Pneumatologis.

Dalam dimensi pneumatologis, Gereja adalah karya Roh Kudus (Sunarko, 2005: 43). Hal itu sudah nampak dari awal terbentuknya Gereja sebagai umat perdana

yang menjadi pengikut Yesus Kristus. Kemudian selanjutnya dinyatakan dalam pengakuan iman atau syahadat yang menyatakan bahwa: “Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja Katolik yang kudus”. Roh Kuduslah perwujudan kasih Allah yang mempersatukan dan mengumpulkan manusia menjadi umat orang beriman.

Mempersatukan, memiliki arti kesatuan dalam kasih yaitu keunikan, kekhasan

(16)

Gereja ditata berdasarkan kehendak dan dipimpin dengan keanekaan yang

mengagumkan (LG 32).

Konsekuensi lain ialah bahwa umat secara keseluruhan adalah bait tempat

kediaman Roh Kudus (LG 7), pejabat Gereja pertama-tama adalah anggota umat dan karena itu juga harus bertindak sebagai pelayan bagi Gereja. Karena umat adalah bait

Roh Kudus, maka semua umat turut ambil bagian dalam perutusan Yesus Kristus

sebagi Raja, Nabi dan Imam (LG. 5-9). Hal itu juga telah ada dalam Gereja perdana

bahwa berkat inspirasi Roh Kudus, setiap umat memiliki otoritas dalam umat (Schillebeeckx dalam Sunarko, 2005: 45).

Dimensi ini kurang diberi tempat yang wajar dalam tata kelola Gereja paroki. Seperti dikatakan Informan 8 : “Sangat kental peran pastor dalam kehidupan organisasi Gereja”, sehingga sering terjadi bahwa apa yang telah dibangun bersama lewat partisipasi umat dalam menyusun program kerja bisa dimentahkan oleh seorang

Pastor Paroki yang baru. Kondisi demikian sering membuat umat apatis seperti diakui Informan 7 : “kami banyak menunggu dari Pastor Paroki baru dikerjakan”. Hal itu juga dinyatakan oleh Informan 8 : “Kami banyak bersikap pasif dan menunggu apa yang Pastor Paroki inginkan". Hal itu dapat terjadi manakala seorang pastor terlalu mengagungkan kharisma pada dirinya dan cenderung mengabaikan Roh Kudus yang

juga bertiup kepada seluruh umat. Akibat selanjutnya ialah mematikan Roh Kudus

dalam Umat (1Tes 5: 19) yang membawa akibat umat tidak lagi menjadi subjek iman

berkat Roh Kudus tetapi menjadi objek pelayanan pastoral para pejabat Gereja (Schillebeeckx dalam Sunarko, 2005; 45).

Pemahaman dimensi pneumatoligis ini mendukung suatu tata kelola organisasi

yang melibatkan umat, sebagai subjek yang digerakkan oleh Roh Kudus untuk

melakukan tugas perutusan Gereja tidak hanya pada mereka yang mendapat tahbisan imamat atau menempuh hidup bakti. Seorang pejabat Gereja yang diangkat harus

dimengerti bahwa peran Allah ada dalam dirinya yang memakai mereka namun tidak

berarti mereka menempatkan diri di luar umat Allah. Sehingga yang menjadi pusat

(17)

apostolisnya (Schillebeeckx dalam Sunarko, 2005: 45). Mereka dalam melaksanakan

tugas pengajaran, seorang pejabat Gereja tidak boleh lupa akan saluran Roh Kudus

yang tersebar di seluruh lapisan umat. Dalam mengajar, tidak dapat begitu saja

mengklaim bahwa yang diajarkan adalah berkat ilham dari Roh Kudus tetapi juga harus mendegarkan ilham Roh Kudus yang berkarya dalam umat.

Dimensi pneumatologi dan tata kelola organisasi yang akuntabel juga

berimplikasi pada pelaksanaan tugas pejabat Gereja secara kolegial. Pada semua tatanan

hirarki Gereja sebaiknya menjadi unsur sinodal yang memungkinkan banyaknya pihak

yang terlibat dalam pengambilan keputusan seharusnya dikembangkan. Semangat

kolegial tersebut hendaknya juga diterapkan dalam ruang lingkup paroki, dalam relasi

antara para imam dengan umatnya dan tidak mengabaikan jika ingin membangun

semangat demokratisasi (Sunarko, 2005: 49), yang kemudian dapat bermuara pada tata

kelola yang akuntabel di tingkat paroki.

Konsep demikian juga dinyatakan dalam Kanon 212 (KWI, 2006) . Kanon

mengharapkan partisapasi umat dalam pengambilan keputusan dan bahkan mempunyai

hak inisiatif untuk menyampaikan pendapat kepada para pastor dalam hal-hal yang

dianggap penting. Namun dalam pelaksanaannya sering diabaikan sehingga para pastor

selaku pejabat Gereja dan pemimpin umat di paroki berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan

style masing-masing. Seperti diungkapkan informan 7 : ” Kita lebih banyak menunggu

keputusan pastor selaku ketua Dewan Pastoral. Pastor lebih banyak jalan sendiri mungkin

dengan asumsi bahwa telah ada pembagian tugas dalam struktur Dewan Pastoral.”

Realitas demikian menegaskan betapa pentingnya pemahaman konsep

kepemimpinan bagi para Pastor Paroki. Para Pastor Paroki diperhadapkan pada dua

sistem apakah menggunakan sistem partisipatif dengan melibatkan semua stakeholders

dalam paroki atau sistem top down (hirarki piramidal). Hal ini penting di zaman modern

bahwa umat perlu berbicara dalam pengambilan keputusan yang menyentuh hidup mereka

(Sweetser, 2005). Jika tidak maka dapat terjadi keputusan-keputusan paroki yang tidak

melibatkan arus bawah tidak akan berjalan dengan baik. Para pengurus paroki lebih

banyak menunggu komando pastor. Di sisi lain pastor juga tidak mampu melaksanakan

(18)

diungkapkan informan 10: “ Kami lebih banyak terfokus pada pelayanan sakramen sehingga aktivitas lain relatif kurang “.

Menurut San (2010: 123) bahwa para pastor adalah Gembala yang baik. Setiap

gembala mengenal domba-dombanya dan domba-dombanya mengenal gembalanya (bdk

Yoh;1:10-15). Seorang gembala yang baik dituntut memiliki keutamaan-keutamaan

seperti: kejujuran, keterbukaan, rendah hati, sabar, murah hati, kasih, rela berkorban, tidak

pilih kasih, tegas, adil, bijaksana dan tidak plin-plan. Dengan keutamaan tersebut seorang

gembala akan mudah menyesuaikan diri dan diterima umat dan akan menjalankan praktik

akuntabilitas kepemimpinan dalam Gereja paroki kepada para stakeholder.

Pada sisi lain faktor keberhasilan manajemen kepemimpinan organisasi paroki

dari sudut keterlibatan umat secara menyeluruh juga ditentukan oleh seberapa besar beban

kerja yang dipikul masing-masing anggota Dewan Pastoral Paroki. Menurut Paul Wikes

dalam Sweetser (2005: 83) istilah sempurna dan sangat baik, tidak akan pernah ditemukan

dan hanya merupakan suatu retorika belaka dalam manajemen paroki. Untuk itu perlu

dilakukan perubahan sistem yang memberi tekanan bagaimana seorang pastor, pengurus

dewan pastoral paroki dan pengawai paroki yang cukup baik dan jangan mengunakan kata

sangat baik atau sempurna. Menurut Sweetser (2005: 84) jalan keluar adalah memberikan

beban kerja yang masuk akal bagi orang-orang yang harus melakukan karya

penggembalaan dan pelayanan. Dan memberikan kesempatan untuk terlibat dalam proses

kepemimpinan yang partisipatif.

Keberatan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dan tata kelola organisasi

yang akuntabel dalam organisasi Gereja kadang juga dibangun oleh para pemimpin gereja

dengan argumentasi dasar teologis lain yang memberikan tekanan pada dimensi

Kristologis. Aliran ini menegaskan bahwa otoritas Kristus sebagai kepala Gereja harus

selalu jelas. Mengutip surat Rasul Paulus kepada umat di Ibrani psl 23: 24: “ Gereja sendiri takluk kepada kepalaNya” dan umat sebagai murid sehingga kedudukan Gereja

terhadap Yesus Kristus adalah yang menerima. Gereja perdana memahami jati dirinya

bukan sebagai sumber dan pencipta credo tetapi menerimanya dari Tuhan (Sunarko, 2005:

(19)

Begitu sentralnya Yesus Kristus dalam Gereja hingga turut masuk dan diteruskan

dalam diri para pejabat hirarki Gereja. Pengakuan Petrus sebagai kepala Gereja pengganti

Yesus Kristus, telah menunjukkan dimensi Kristologis sangat kuat dalam kehidupan

organisasi Gereja dan menjadi dasar terbentuknya hirarki. Para Uskup sebagai pengganti

para rasul kemudian mengangkat imam atau Pastor Paroki lewat tahbisan imamat juga

turut mengalirkan dimensi tersebut sehingga menjadikan mereka sebagai pusat dalam

segala aktivitas hidup menggereja. Seperti diungkapkan oleh Informan 8 (M36):

“Saya sudah dua periode jadi ketua depas. Kesan saya bahwa meskipun struktur depas itu baik namun dalam praktik Pastor sentris masih berjalan. Sangat kental peran Pastor dalam kehidupan organisasi gereja. Meskipun demikian seharusnya depas harus lebih kritis terhadap organisasi Gereja.”

Pemahaman yang demikian menurut Sunarko (2005; 52) akan membawa Gereja

pada sikap otoriter para pejabat Gereja. Meskipun demikian dimensi kristologis juga

dalam hal kepemimpinan tidak dapat dieliminasi mengingat seorang pastor juga harus

bertindak untuk selalu mengingatkan umat untuk tidak bertindak atas dasar konsensus

semata, melainkan berdasarkan kehendak dan ajaran Yesus Kristus. Secara konkret

seorang pastor juga dituntut untuk melontarkan kritik kepada umatnya jika dia meyakini

umatnya salah melangkah. Pejabat gereja tidaklah semata-mata berperan sebagai

pendengar dari apa yang disampaikan umatnya, tetapi juga kadang-kadang mengingatkan

mereka, sebagaimana juga sebaliknya umat dapat menegur para pejabat Gereja

(Schillebeeckx dalam Sunarko, 2005: 52). Dengan demikian aspek kristologis dalam tata

kelola organisasi Gereja khususnya para pemimpin Gereja hendaknya tidak dipahami

secara mutlak. Tetapi dari sanalah dimensi ini akan menjadi jiwa dalam pelayanan bahwa

apa yang dilakukan semuanya berpusat pada pribadi Yesus Kristus sebagai kepala Gereja.

Dengan menjadikan Yesus Kristus sebagai pusat dan teladan mereka dalam melaksanakan

tugas pelayanan, maka mereka akan bertindak dan menyerahkan hidup sepenuhnya bagi

umat. Konsep Kristologis ini sejalan dengan salah satu teori kepemimpinan bahwa

seorang pemimpin akan berhasil jika mempunyai kharisma (Luthans, 2002).

Dalam konteks keteladanan kepemimpinan, Yesus Kristus membasuh kaki

murid-muridNya (Yoh.13-13-15) sebagai tanda kerendahan hati dan tidak otoriter. Karena itu

(20)

para beriman lainnya (LG 32). Demikian pula para pejabat atau gembala tidak seharusnya

seperti penguasa dunia lainnya yang memerintah rakyatnya dengan tangan besi dan

menjalankan kuasanya dengan kekerasan. Hal itu sejalan dengan sabda Yesus (Markus 10

: 42-44) :

“Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia

menjadi pelayanmu, dan barang siapa ingin menjadi terkemuka

di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.”

Jika hal ini diabaikan, maka akan terjadi ketimpangan, Gereja akan menjadi sangat

hirarkis dan aliran rahmat serta sabda Yesus hanya melalui satu saluran saja yaitu para

pejabat/pemimpin Gereja. Para umat hanya akan menjadi pendegar saja dan menemukan

hirarki sebagai berikut : Allah, Kristus, paus, para Uskup, para imam dan diakon, lalu

hirarki terendah adalah awam dimulai pertama para lelaki dan akhirnya perempuan serta

anak-anak (Schillebeeckx dalam Sunarko, 2005: 53).

Pandangan pastor sentries ini juga diakui oleh Banawiratma (2002: 13) bahwa

setelah konsili Vatikan II Gereja khususnya di Indonesia berusaha menyerap semangat

konsili vatikan II mengenai Gereja sebagai Umat Allah. Menurutnya hidup menggereja di

Indonesia nampaknya tidak berlebihan kalau dikatakan klerikal yaitu Gereja yang berpusat

pada dan ditentukan oleh hirarki. Hidup menggereja kurang diperkembangkan dari

bawah. Akibatnya, banyak kharisma yang dianugerahkan kepada umat, baik laki-laki

maupun perempuan, tidak seluruhya dibiarkan tumbuh dan berkembang sehingga dapat

merugikan komunitas umat Allah sendiri. Kondisi tersebut membuat umat tidak banyak

terlibat karena ada pembatasan yang dilakukan oleh para hirarki Gereja dengan kurang

tanggap terhadap dinamika umat yang ada sekarang ini.

Fakta lain yang diungkapkan oleh Informan 8 tentang keterpusatan aktivitas

organisasi Gereja pada hirarki adalah adanya kewenangan yang berpusat pada Pastor

Paroki. Lembaga Dewan Paroki tidak berfungsi sebagai wujud kepemimpinan kolegial

karena hanya bersifat konsultatif bagi ketua Dewan Paroki yakni Pastor Paroki sendiri.

Sebagai contoh lanjut Informan 8:

“…… dalam konteks paroki Makale, sebenarnya sudah sangat baik

pengelolaan organisasi yang diawali dengan kombongan semacam

(21)

diputuskan tentang program kerja lengkap dengan time schedul dan rencana anggaran masing-masing program kerja. Nampaknya program yang dibuat bersama Pastor Paroki mulai dijalankan bersama, namun setelah setahun, pastornya diganti. Dengan masuknya pastor baru yang relatif kurang bisa mengakomodir program yang telah ada sehingga dia mau merubahnya termasuk merubah struktur organisasi Dewan Pastoral. Kami berunding lama baru bisa memulai. Dalam pelaksanaan program banyak yang kembali mentah dan ditangani sendiri oleh Pastor Paroki sehingga

kami banyak yang pasif dan menunggu apa yang pastor inginkan.”

Betapa pentingnya style para pemimpin Gereja dalam menentukan keberhasilan

tata kelola organisasi keagamaan termasuk dalam Gereja Katolik. Seperti diakui oleh

informan 9(M378), beliau mengatakan:

“Ya itulah kembali kepada style para pengurus di stasi dan bukan hanya di stasi tetapi di paroki ada juga yang demikian. Tergantung

style para pastornya. Ada Pastor Paroki yang suka mengumpulkan uang dan dianggap berhasil jika kas paroki besar. Kemudian datang

pastor baru membelanjakannya semua. Sekali lagi tergantung style

pengurus stasi dan Pastor Paroki masing-masing. Suatu organisasi Gereja yang pengurusnya tidak beres akan mengakibatkan aktivitas

umatnya juga mandek.”

Pengakuan informan 9 tersebut seakan mengamini betapa style kepemimpinan seorang

pastor dalam mengelola organisasi Gereja sangat berperan. Pastor Paroki menyadari sepenuhnya bahwa keterlibatan umat dalam organisasi Gereja tidak dapat dipisahkan dari figur pastor dalam memimpin umat. Ada yang otoriter ada juga yang lebih akomodatif, ada yang mengukur keberhasilan organisasi dari aspek ketersediaan saldo kas Gereja dan ada pula yang tidak peduli sekedar hanya melaksanakan tugas rutin pelayanan sakramen. Seperti yang dikatakan informan 9(M37) :

”Saya tidak terlalu memaksakan kepada umat. Saya menjalani apa adanya saja dan partisipasi umat saya kembalikan kepada

mereka daripada memaksakan belum tentu diterima baik.”

Model demikian menciptakan akuntabiltias yang berpusat pada diri pemimpinnya yang

dapat disimpulkan sebagai model akuntabilitas sentralistik pada seorang pemimpin umat.

Perwujudan tugas dan tanggung jawab sebagai pelayan dan pemimpin dalam

organisasi Gereja, informan 9(M349) ketika ditanyakan tentang hal itu, dia menjawab :

8 Manuskrip no 37

(22)

”Tidak berbeda dengan umat yang lain hanya saja lebih berperan dan menentukan dalam

keberlangsungan organisasi Gereja.” Berbeda dengan pandangan informan 11(M3710 )

yang memahaminya secara mendalam :

“Kita harus memahami konsep Gereja sebagai umat Allah yang

lewat sakramen baptis masuk dalam komunitas. Sebagai perwujudannya tidak hanya dengan melaksanakan atau mengikuti sakramen tetapi menjiwai setiap diri orang sehingga menjadi Kristus yang hidup di tengah-tengah umat. Dalam konteks kepemimpinan, maka Yesus menjadi panutan bukan datang untuk dilayani tetapi untuk melayani. Hal ini kadang tidak dipahami secara baik oleh umat dan para Pastor di lapangan. Sebagai contoh:

Kasus di Gereja Batulampa’. Sebenarnya pada awalnya itu hanya

keakuan dari beberapa tokoh masyarakat setempat mungkin empat orang lalu mempengaruhi umat lain untuk mendirikan Gereja baru dan memisahkan diri dari Stasi Induk Tampo. Selain itu stasi Tampo dengan kebanggaan sejarah yang dimiliki yang pada awalnya lebih banyak dikawal oleh misionaris masih terpengaruh oleh sikap apatis ingin lebih banyak dilayani sehingga mereka tidak

mampu untuk mandiri dalam segala aspek.”

Maka tidak heran jika dalam tugas pelayanan para pastor ada yang sungguh melayani

dengan kasih, ada yang menjalankan sebatas profesi sehingga kritik dari umat tentang

pelayanan mereka juga bervariasi.

Disamping kekurangan yang ada namun dengan konsep kepemimpinan yang lebih

mengutamakan tugas pelayanan sebagai pemimpin Gereja dan menghindari keterlibatan

dalam politik praktis, menempatkan mereka pada posisi netral yang dapat mengayomi

seluruh umat beriman. Netralitas para pemimpin Gereja dalam politik praktis juga

menunjukkan bahwa organisasi Gereja Katolik memberikan kesempatan yang lebih luas

kepada umat untuk memilih bentuk dan partisipasi mereka dalam menyalurkan hak-hak

polilitik, sehingga dapat menajdi saksi Gereja yang hidup dalam komunitas yang plural

dan lebih luas.

3.4. Model Kepemimpinan Pastor Religius dan Pastor Diosesan

Seiring dengan kemandirian Gereja Lokal di Tana Toraja, maka kehadiran pastor

tarekat CICM mulai tergantikan oleh pastor diosesan (projo) yang dalam dekade terakhir

(23)

telah mengambil alih tugas dan pelayanan pastor-pastor CICM. Kehadiran para pastor

diosesan yang juga adalah putra-putra daerah sendiri, nampaknya kurang mendapat

simpati di kalangan umat yang mengalami dua periode penggembalaan pastor. Adanya

perbedaan model pelayanan dari dua kelompok pastor ini oleh informan 15 ditanggapi

lain sebagai sesuatu yang kontekstual dan temporer. Waktu itu model pelayanan seorang

pastor tuntutannya demikian, sehingga mungkin berbeda ketika pastor pribumi atau

diosesan yang menggantikan pastor religius karena konteks yang berbeda dan kondisi

geografis yang berbeda.

Pendapat informan 15 tersebut didasarkan pada beberapa fakta konkret bahwa

ketika Gereja dibangun oleh para misionaris, mereka tidak banyak mengharapkan

keterlibatan umat dalam aspek finansial. Para misionaris justru lebih banyak membantu

umat. Seperti yang diungkapkan informan 1 (M1311):

“Para pastor religious banyak membantu kami umat seperti

pengobatan bagi yang sakit, dan kadang-kadang dibagikan selimut sehingga menjadi kenangan tersendiri bagi umat pada

saat itu.”

Kondisi ini sering menjadi kendala bagi para pastor diosesan.ketika mereka menggantikan

pastor religius. Para pastor diosesan yang kebanyakan adalah putra daerah sendiri,

memiliki keterbatasan sumber dana sehingga menuntut kemandirian dari umat untuk karya

pelayanan dan pembiayaan organisasi.

Kondisi dan realitas tersebut menimbulkan reaksi penilaian umat terhadap para

pastornya berbeda antara pastor religius dengan pastor diosesan. Para pastor religius lebih

banyak dikagumi oleh umat dibanding pastor diosesan. Meskipun para pastor diosesan

sudah berasal dari putra daerah sendiri dan melayani masyarakatnya sendiri. Mungkin

itulah makna yang juga dialami oleh Yesus bahwa Dia ditolak oleh bangsanya sendiri.

Sedikit berbeda dengan pastor diosesan. Pastor diosesan adalah pastor yang

berkarya di Keuskupan masing-masing dan sepenuhnya di bawah kendali Uskup sebagai

atasan mereka. Kehadiran pastor diosesan yang menjadi tulang punggung organisasi

Gereja di suatu keuskupan dan mempunyai kewenangan yang cukup dominan serta rasa

(24)

memiliki sangat tinggi, sehingga kadang-kadang membawa dampak dalam perilaku yang

cenderung berkuasa, dan kurang komunikatif.

Hal lain yang membedakan adalah para pastor diosesan tidak terikat dengan

komunitas biara seperti para pastor religius. Mereka lebih leluasa dalam hal

melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya termasuk dalam hal komunitas hidup

bersama dengan rekan kerja lebih independen dan mandiri. Berbeda dengan para pastor

religius yang aspek komunitas dalam kehidupan biara sangat dijunjung tinggi sehingga

aspek kebersamaan dengan anggota biara lainnya sangat kental.

Dengan gambaran karakteristik kedua kelompok pastor dalam Gereja Katolik ini,

maka nilai-nilai yang dibangun masing-masing komunitas berbeda. Pemaknaan karya

pelayanan mereka juga akan berbeda, meskipun pada awalnya mereka sama-sama

menyatakan janji kesetiaan, hidup miskin dan hidup suci di depan Uskup yang

mentahbiskan mereka.

Janji ketataan adalah janji para pastor untuk taat kepada pemimpin mereka di

mana saja mereka ditugaskan, teristimewa kepada Uskup yang menjadi atasan langsung

ketika menjabat sebagai pastor paroki. Janji kemiskinan, yaitu janji yang dinyatakan

setiap pastor untuk bermati raga, tidak memiliki harta benda yang berlebihan selain untuk

menunjang karya mereka dalam masyarakat. Sedangkan janji kesucian yaitu janji setiap

pastor untuk tidak menikah, sehingga mereka sepenuhnya diharapkan dapat menjadikan

dirinya hanya untuk kepentingan Tuhan. Praktik ini bukan aturan Gereja perdana tetapi

muncul kemudian sebagai wujud spiritual seseorang dalam menanggapi panggilan Tuhan.

Pada sisi lain para pastor religius dalam berkarya diperhadapkan pada dua atasan

yaitu pimpinan kongregasi dan Uskup. Dalam pelaksanaan tugas seringkali pastor religius

lebih setia kepada pimpinan kongregasi dari pada kepada Uskup. Menyadari akan hal

tersebut, maka Konsili Vatikan II dalam dokumen Christus Dominus(CD)12 Bab II

paragraph 33-35 menghimbau para religius dalam karya kerasulannya agar selalu

menyatakan sikap patuh dan hormat bakti kepada para Uskup selaku pengganti para

Rasul. Selain itu, setiap kali mereka secara sah diundang untuk kegiatan merasul, mereka

wajib menunaikan tugas-tugas mereka sedemikian rupa sehingga mereka tetap bersedia

(25)

sebagai rekan sekerja dan taat kepada para Uskup. Bahkan para religius hendaknya siap

siaga dan dengan setia memenuhi permintaan dan keinginan para Uskup supaya semakin

nyatalah peran serta mereka dalam melayani keselamatan umat manusia, seraya

mengindahkan sifat khas lembaga dan menganut konstitusi mereka, yang bila perlu

hendaknya disesuaikan dengan tujuan itu, menurut kaidah-kaidah Konsili Vatikan II (KWI

2008: 244).

Pentingnya mengarahkan para imam religius untuk menjunjung ketaatan mereka

pada Uskup ditegaskan mengingat realitas demikian menjadi keluhan para Uskup dan

rekan-rekan kerja para pastor diosesan. Para Uskup sering terlambat dalam proses

pengambilan keputusan menyangkut para pastor religius karena Uskup harus

berkonsultasi dulu dengan pimpinan kongregasi mereka sebelum mengambil keputusan.

Pada sisi lain para pastor diosesan sering mengeluhkan para pastor religius sebagai

bermuka dua dan merasa lebih super dibanding dengan mereka. Dengan demikian

diharapkan ada sinergi yang baik antara para pastor religius dan pastor diosesan di bawah

kepemimpinan seorang Uskup.

Meskipun penilaian umat terhadap para pastor diosesan kurang memuaskan,

namun kehadiran pastor diosesan yang cukup adalah salah satu indikator kemandirian

suatu keuskupan. Hal itu harus dipahami oleh umat dan menerima mereka sebagai suatu

wujud kemandirian pemimpin Gereja dalam ruang lingkup keuskupan.

4. Kesimpulan

Dari hasil elaborasi tentang akuntabilitas kepemimpinan dalam organisasi Gereja

Katolik di atas, maka dapat dipahami bahwa dalam Gereja Katolik sebagai organisasi

keagamaan berkembang model kepemimpinan yang cenderung sentralistik yang oleh

sebagian umat dipandang sebagai model kepemimpinan yang kurang akuntabel dan ingin

diganti dengan model desentralisasi atau kolegial. Kedua model tersebut yang

berkembang dalam Gereja Katolik merupakan model kekuasaan dan kepemimpinan yang

pada umumnya ada dalam organisasi keagamaan. Menurut Schoenherr (1983 dalam

Cowan 1994) secara alamiah kelompok-kelompok keagamaan menggunakan pola-pola

(26)

tantangan dari gerakan-gerakan kekuatan sosial yang cenderung desentralisasi dan radikal.

Kecenderungan ini tidak dimaksudkan bahwa yang satu lebih baik dari yang lain tetapi itu

dianggap sebagai kecenderungan yang penting sebagai daya hidup kelompok-kelompok

keagamaan yang bertumbuh terus-menerus dan merupakan pengalaman yang normal

dalam kehidupan organisasi keagamaan.

Dengan kecenderungan model akuntabilitas kepemimpinan yang sentralistik

tersebut, maka perilaku pemimpin cenderung kurang menerima perubahan karena terikat

dengan nilai yang telah lama dianut dan peranan pemimpin yang sangat dominan (Berry

2005), sehingga dapat menimbulkan benturan dengan kelompok yang lain yang cenderung

desentralistik dan radikal yang pada umumnya ada dalam organisasi keagamaan

(Whitehead dalam Cowan 1994). Hal demikian juga ditemukan peneliti dalam organisasi

Gereja Katolik bahwa ada kecenderungan pemimpin untuk mempertahankan suatu bentuk

akuntabilitas kepemimpinan yang sentralistik dengan dalil mengamankan Kekuasaan

Allah.dan mulai timbul ketidakpuasan dari kelompok-kelompok lain yang menginginkan

proses akuntabiltas kepemimpinan yang kolegial.. Untuk itu diperlukan kesucian pribadi

para pemimpin, kedewasaan kelompok, kecakapan pribadi akan manfaat bagi vitalitas

organisasi keagamaan, meskipun tidak ada satupun dari semuanya di atas yang dapat

menghilangkan ketegangan-ketegangan struktural yang menyertai pengalaman kekuasaan

dalam komunitas umat beriman.

DAFTAR PUSTAKA

Banawiratma J. B.2002. Agenda Pastoral Transformatif. Kanisius. Yogyakarta

Berry, A. J. 2005. Accountability and Control in a Cat’s Cradle, Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 18, No.2, pp. 255-297.

Booth, P. 1991. “The Sacred and The Secular: The Variable Significance of Accounting

in a Religious Organization” presented at The Accounting and Finance Seminars,

Macquarie University, September, pp.1-48.

Booth, P.1993. “Accounting in Churches: A Research Framework and Agenda”.

Campbell A. 1994. Professionalism and Pastoral Care. Kanisisius (penerjemah).

(27)

Chalmers A.F. 1983. Apa Itu yang Dinamakan Ilmu: Suatu Penilaian tentang Watak dan Status Ilmu serta Metodenya. Hasta Mitra. Jakarta

Harjosusanto Y. 2010. Perlunya Relasi untuk Bekerjasama.Himawan A.S.(penyunting).

Harapan dan Cinta dari Uskup untuk Imamnya. Obor.Jakarta Hal 91-98

Keuskupan Agung Makassar, 2001. Statuta Keuskupan Agung Makassar. Keuskupan

Agung Makassar, Makassar.

Keuskupan Agung Makassar, 2004a Pedoman Dasar Dewan Pastoral Paroki Keuskupan

Agung Makassar, Keuskupan Agung Makassar, Makassar.

Keuskupan Agung Makassar, 2004b. Pedoman Dasar Dewan Keuangan Paroki Keuskupan Agung Makassar, Keuskupan Agung Makassar, Makassar.

Keuskupan Agung Makassar, 2005. Pedoman Umum Pengelolaan Keunagan Gereja Lokal KAMS. Keuskupan Agung Makassar, Makassar.

Konferensi Waligereja Indonesia. 2005. Tata Perayaan Ekaristi Buku Umat, Konferensi

Wali Gereja Indonesia, Jakarta.

Konferensi Waligereja Indonesia. 2006. Kitab Hukum Kanonik ( Codex Iuris Canonici) Edisi Resmi Bahasa Indonesia, Konferensi Waligereja Indonesia, Jakarta

Konferensi Waligereja Indonesia. 2008. Dokumen Konsili Vatikan II, Cetakan

kesembilan, Konferensi Waligereja Indonesia, Jakarta.

Kristiyanto, E. 2004. Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern. Kanisius, Yogyakarta

Laughlin, R.C. 1988. Accounting in its Social Context: An Analysis of The Accounting

System of The Church in England, Accounting, Auditing & Accountability Journal,

Vol. 1, No. 2, pp. 19-42.

Laughlin, R.C. 1990. A Model of Financial Accountability and The Church of England,

Financial, Accountability &Management, Vol. 6, No. 2, pp. 93-114.

Lembaga Alkitab Indonesia. 2006. Alkitab Deutrokanonika, Jakarta.

Lightbody, M. 2000. Storing and Shielding: Financial Management Behaviour in a

Church Organisation, Accounting, Auditing & Accountability Journal, Vol. 13, No.

2, pp. 156-174.

(28)

Randa F. 2008. Pengelolaan Aset dan Keuangan Gereja. Hidup No. 62 30 November 2008. Jakarta

San S. 2010. Imam Rekan Uskup dalam Karya Pastoral. Himawan A.S.(penyunting).

Harapan dan Cinta dari Uskup untuk Imamnya. Obor. Jakarta Hal 123-134

Sarantakos, S. 1993. Social Research. Macmillan Education Australia PTY LTD. South

Melborne.

Sinclair, A. 1995. The Chamelon of Accountability; Forms and Discourses. Accounting,

Organization, and Society. Pp. 219-237.

Spradley J.P. 1997. The Ethnographic Intervew. Elisabeth M.Z. ( Penterjemah) Metode Etnografi. Tiara Wacana Yogya. Yogyakarta.

Sunarko. 2005. Gereja: Demokrasi atau Kristokrasi? Binawan A.A.L (penyunting)

Demokratisasi Dalam Paroki: Mungkinkah: Kanisius Yogyakarta

Sutrisnaatmaka A.M. 2010. Kerja sama Uskup dan Imam: meningkatkan Kinerja

Pelayanan Pastoraral bagi Umat. Himawan A.S.(penyunting). Harapan dan Cinta

dari Uskup untuk Imamnya. Obor.Jakarta Hal 91-98

Sweetser, T. 2005. The Parish as Covenant A Call to Pastoral Partnerhip. F.X

Hadisumarta, O.Carm.(penerjemah). Paroki Sebagai Perjanjian Undangan Berpastoral Bersama Mitra. Dioma. Malang

Whitehead J.D. 1994. Leadership Ministry in Community. Komisi Liturgi KWI

(Penterjemah) Kepemimpinan dalam Jemaat. Kanisius

DAFTAR PUSTAKA LAIN

Sejarah Gereja Katolik. www: gereja katolik.com

Biodata Penulis:

Fransiskus Randa. S-1 Akuntansi Universitas Hasanuddin. S-2 Magister Sains

Manajemen Keuangan Universitas Hasanuddin. S-3 Program Doktor Ilmu Akuntansi FE

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengelolaan PNBP untuk menandaklanjuti saran perbaikan dari Badan Pemeriksa Keuangan RI (2015) dalam temuan PNBP adalah dengan diterbitkannya Peraturan

Apotek Jombang Sari adalah sebuah apotek yang bergerak dalam bidang Penjualan Obat yang berlokasi di Jl. Jombang Raya No. Pada Apotek Jombang Sari, semua informasi penjualan obat

The anatomy and diameter of the ostium, the status of the mucous membrane of the frontal sinus and recess, and the nature of the pathology may have an impact on the outcome of

Dari pengamatan pada observasi awal, dilakukan penyebaran kuisioner untuk 5 orang operator pada masing-masing stasiun dan ditemukan beberapa stasiun kerja pada proses

Penelitian ini menjawab permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, yaitu “Bagaimana Pendapat Guru Terhadap Penerapan Kurikulum Fullday School di Sekolah Dasar

The variables such as leaflet number and area, stomata size and density, flower length, keel width, flag width and peduncle length, and pollen diameter and

Dari hasil evaluasi menggunakan analisis SWOT ke Sembilan elemen blok bangunan pada Business Model Canvas mengenai kekuatan dan kelemahan, peluang, serta ancaman

Membiarkan suatu pelanggaran yang telah diketahui dengan jelas secara berlarut-larut tanpa suatu ketegasan hukuman, maka akan menimbulkan suatu persepsi yang kurang