1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah bagi kehidupan manusia memiliki arti yang sangat penting, karena sebagian besar dari kehidupannya tergantung pada tanah.1 Indonesia merupakan salah
satu negara agraris yang penduduknya sebagian besar bermata pencaharian di bidang pertanian baik sebagai petani pemilik tanah, petani penggarap tanah maupun sebagai
buruh tani.
Oleh sebab itu, tanah harus diusahakan, dimanfaatkan atau digunakan bagi
kebutuhan yang nyata dalam bentuk penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan agar terjamin kepastian hukum serta terselenggaranya perlindungan hukum bagi
rakyat, terutama golongan petani. Peningkatan volume pembangunan dalam suatu negara, mengikis pentingnya tanah untuk pertanian.
Pertambahan penduduk yang memerlukan areal yang luas, mengakibatkan mengecilnya atau berkurangnya persediaan tanah. Karena pentingnya tanah pertanian, maka tanah pertanian perlu diatur keberadaannya agar tidak dikuasai secara
2
besaran oleh sebagian pihak saja. Lahirnya UU No 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian (selanjutnya disebut UUPA) mengandung makna idiologis, dalam sejarahnya mencerminkan kehendak dan tekad seluruh bangsa
Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap penindasan hak-hak rakyat atas tanah yang dilakukan oleh penguasa penjajah (Kolonial Belanda). Perlawanan
tersebut baik dalam bentuk menyusun dan memberlakukan sistem atau sel-sel hukum baru, yaitu membentuk dan memberlakukan sistem hukum agraria nasional dengan mengganti sistem hukum agraria peninggalan penjajah (kolonial) maupun menghapus
praktek penghisapan dan pemerasan rakyat miskin oleh yang kaya.2
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar RI 1945 menentukan bahwa:
“bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”3. Untuk merealisasi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 maka
ditetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang juga disebut dengan singkatan UUPA. Perlindungan terhadap
tanah pertanian diatur lebih lanjut dalam Pasal 7, Pasal 10 ayat (1), dan Pasal 17 UUPA. Pengaturan tentang pemilikan tanah pertanian dapat dikelompokan
menjadi dua bagian yaitu Pasal 10 ayat(1) dan Pasal 7 dengan Pasal 17 UUPA.
1. Pengaturan berkaitan asas diwajibkan mengerjakan secara aktif , Pasal 10 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa:
2H. Muchsin, Imam Koeswahyono dan Soimin, 2007, Hukum Agraria Indonesia Dalam
Perspektif Sejarah, Refika Aditama, Bandung, hal. 2.
3
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas
tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara
pemerasan”.
2. Pengaturan berkaitan dengan batas maksimum dan minimum diatur
dalam Pasal 7 jo Pasal 17 UUPA yang berbunyi : bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan 4.
Untuk menghindari praktek tuan tanah dan menjamin kemakmuran rakyat perlu diatur batas maksimum pemilikan tanah. Pasal 17
UUPA menyatakan bahwa: “tanah yang merupakan kelebihan batas
maksimum diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian,
selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Kelebihan luas maksimum perlu diatur agar tercapainya pemerataan
pemilikan tanah oleh masyarakat”5.
Sebagai pelaksanaan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA telah diundangkannya
Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Untuk melaksanakan redistribusi tanah sebagaimana diamantkan Pasal 17 (3) UUPA jo Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut, telah
ditetapkan Peraturan Pemerintah No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Peraturan Pemerintah ini
4 Ibid hal 11
4
kemudian telah diubah dan ditambah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Pemberian Ganti Kerugian.
Sedangkan untuk Pasal 10 ayat (1) UUPA telah diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 Tentang
Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiun Pegawai Negeri
Pasal 10 ayat (1) UUPA yaitu dengan asasnya harus mengerjakan tanah
pertanian secara aktif. lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 yang menyatakan bahwa:
“Pemilik tanah yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak
tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau
pindah ke kecamatan letak tanah tersebut”6.
Apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan maka tanah pertanian itu akan diambil pemerintah dan selanjutnya dibagikan kepada para petani yang belum
memiliki tanah pertanian.
Pemilikan tanah Absentee di larang karena mencegah penguasaan dan pemilikan tanah hanya pada sebagian orang. Dengan demikian ada beberapa esensi
dari ketentuan absentee:
5
a. tanah pertanian wajib di di kerjakan secara aktif,
b. pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di kecamatan tempat letak tanahnya,
c. wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak tanahnya tersebut,
d. Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar
Kecamatan tempat letak tanahnya. 7
Larangan untuk memiliki tanah secara absentee/guntai ini sebenarnya,
bertujuan agar tanah pertanian yang berada di kecamatan tersebut dikelola sendiri oleh petani yang berada di kecamatan letak tanah itu, sehingga hasilnya pun maksimal dan jika dibiarkan seseorang atau badan hukum memiliki tanah secara
absentee/guntai akan menyebabkan ketidakadilan karena yang bekerja bukan
pemilik tanah pertanian tersebut, Sehingga tidak sesuai dengan tujuan landreform
yang diselenggarakan di Indonesia.
Dalam kenyataannya, sekalipun larangan ini masih berlaku, pemilikan tanah pertanian secara absentee juga banyak dijumpai
di Desa Paslaten Kecamatan Tatapaan Kabupaten Minahasa Selatan. Fakta Di Desa Paslaten masih banyak terdapat tanah pertanian dan masih banyak
masyarakatnya yang menjadi petani, baik sebagai pemilik maupun sebagai petani penggarap. Di Desa Paslaten, terdapat pemilikan tanah pertanian secara absentee
6
dengan 45 pemilikan tanah pertanian secaraa absentee di mana domisili pemilik-pemilik tanah tersebut di pulau Jawa, Kalimantan, Papua, dan sebagian lainnya di kota Manado. Pemilikan tanah pertanian secara absentee ini karenakan adanya
pewarisan, jual beli tanah dimana pembeli berdomisili di luar daerah, pembelian melalui lembaga lelang negara (kredit macet) dimana pembeli berdomisili di luar
daerah serta banyaknya tanah-tanah yang belum terdaftar (bersertifikat) membuat
jangkauan pelaksanaan landreform dianggap tidak sampai kepada sasaran.8
Pemilik tanah mendapatkan tanah absentee disebabkan karena kelurahan dengan mudanya menerbitkan surat keterangan berdomisili sebagai pengganti
KTP. Selain itu aparat Kantor Pertanahan di Kabupaten tersebut kurang memiliki kesadaraan dalam menegakan aturan-aturan tentang pemilikan tanah pertanian secara absentee dengan meloloskan surat keterangan domisili, bahkan tanpa
identitas domisili juga dapat di proses pemberian hak atau peralihan hak. 9
Sehingga permasalahan ini terletak pada penegak hukum dalam hal ini adalah Kantor Pertanahan Kabupaten Minahasa Selatan sebagai pelaksana
kebijakan di bidang pertanahan sangat diharapkan dalam mensosialisasikan peraturan-peraturan yang ada mengenai larangan kepemilikan tanah absentee/guntai kepada masyarakat Desa Paslaten untuk menunjang terlaksananya
program Landreform di Indonesia.
8 Wawancara Dengan Ibu Yatie Sebagai Tokoh Masyarakat Di Desa Paslaten, Pada Tanggal
29 Desember 2015.
9 Wawancara Dengan Ibu Yatie Sebagai Tokoh Masyarakat Di Desa Paslaten, Pada Tanggal
7
Penelitian ini, berbeda dengan penelitian yang pernah dilakukan, hal ini dapat dijelaskan dalam table di bawah ini:
Tabel. 1.1 Perbandingan Fokus Penelitian
No Substansi Jessica Whenita Ariska
1. Judul Pemilikan Tanah Pertanian Absentee Di
Desa Paslaten
8
9
Penulis akan meneliti
kepemilikan tanah pertanian secara absentee di kecamatan
Tatapaan Kabupaten tanah pertanian secara
absentee.
Penulis akan meneliti
Mengenai larangan
Penulis akan meneliti
10
temukanadanya
kepemilikan tanah pertanian secara absentee khususnya
diwilayah Kabupaten Temanggung dan
Kabupaten Banyumas.
Sekalipun rumusan masalahnya sama dengan Ariska tentang Peran Badan Pertanahan Nasional dalam mengatasi atau menyelesaikan tanah-tanah absentee, tetapi teori yang digunakan berdeda. Penulis akan menganalisis teori Robert
Seidman dan Ariska penelitiannya memakai teori Soerjono Soekanto. Perbedaan antara teori Robert Seidman dan Soerjono soekanto ialah:
- Pada Teori Robert B. Seidman, untuk melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari tiga elemen, yaitu: 1) lembaga pembuat peraturan; 2) lembaga pelaksana peraturan; dan 3) pemangku peran. Tiga
elemen tersebut, disebut dengan proses pembuatan hukum; proses penegakan hukum; dan pemakai hukum, merupakan hal yang sangat
11
- Sedangkan pada teori Soejono Soekanto mengatakan bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu: faktor hukumnya sendiri (undang-undang), faktor penegakan hukum, faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, faktor kebudayaan.
Sehingga dalam perbandingan diatas tidak ditemukan kesamaan, sehingga
tingkat originalitas penulis dapat di pertanggung jawabkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis
merumuskan masalah yang ada, sebagai berikut :
Bagaimanakah Pemilikan Tanah Absentee Di Desa Paslaten
Kabupaten Minahasa ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Pemilikan Tanah Absentee Di Desa Paslaten Kabupaten Minahasa.
12
1) Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi ilmu pengetahuan hukum khususnya hukum pertanahan serta masyarakat umumnya mengenai pelaksanaan larangan pemilikan
tanah pertanian secara absentee.
2) Secara praktis, penelitian ini dapat berguna bagi pemerintahan dimana
dalam pembuatan kebijakan hukum agar menjadi masukan pada proses kebijakan hukum pertanahan selanjutnya.
E. Metode Penelitian
1) Jenis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka,
penelitian dilakukan adalah penelitian Empiris dan menggunakan metode Penelitian sosio legal. Metode ini memandang hukum dari
luar sebagai gejala sosial semata-mata dan mengaitkannya dengan masalah2 sosial, di dalam penelitian hukum yang diteliti adalah
kondisi hukum secara intrinsik, yaitu hukum sebagai sistem nilai dan hukum sebagai norma sosial.10 Oleh karenanya kajian
Sosio-Legal Dalam penelitian ini penting karna dilihat juga hubungan hukum di masyarakat, dengan budaya (kebiasaan) masyarakat,
dengan berkaitan mengenai pemilikan tanah secara absentee di Desa Paslaten.
13
2) Pendekatan
Pendekatan penelitian ini menggunakan adalah yuridis sosiologis, artinya suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata
masyarakat atau lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta (fact-finding), yang kemudian menuju
pada identifikasi (problem-identification) dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah (problem-solution).11 Dalam
penulisan ini dilihat tentang kenyataan yang terjadi di wilayah penelitian mengenai pemilikan tanah absentee di Desa Paslaten
akan dilihat dari sudut yuridis mengenai pengaturannya dalam undang-undang, penerapannya dalam masyarakat, serta bagaimana
Kantor Pertanahan Kabupaten Minahasa Selatan dalam mencegah 45 Pemilikan tanah absentee dan menyelesaikan masalah-masalah pemilikan tanah secara absentee.
3) Jenis Data
a. Data Primer
Data primer adalah data asli yang diperoleh secara langsung
dari responden dan narasumber sebagai data utama. Data primer dalam penelitian ini adalah keterangan dari hasil wawancara
dengan Kantor Badan Pertanahan Nasional Minahasa Selatan dan Tokoh masyarakat desa paslaten sebagai data utama.
b. Data Sekunder terdiri dari:
14 1) Bahan hukum Primer:
a) Undang-undang Dasar 1945;
b) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria;
c) Undang –undang Nomor 56 prp tahun 1960 tentang
Penetapan Luas Tanah Pertanian;
d) Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Gati
Kerugian;
e) Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 Tentang
Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pemberian Ganti Kerugian;
f) Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1977 tentang Pemilikan tanah Pertanian Secara Gutai/Absentee Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri;
g) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
h) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah
15
i) Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 Tentang Badan Pertanahan Nasional;
j) Ketetapan MPR RI Nomor IX Tahun 1999 tentang
Pembaharuan Agraria 2) Bahan hukum sekunder:
Bahan hukum sekunder adalah hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berupa pendapat hukum dari tulisan pakar hukum
agraria, yang dituangkan dalam bentuk buku, paper/makalah serta hasil dan studi kepustakaan yang berkaitan dengan
peran BPN dalam menyelesaikan pemilikan tanah absentee.
4) Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a. Penentuan Lokasi
Kabupaten Minahasa Selatan terdiri dari 17
kecamatan: Amurang, Amurang Barat, Amurang Timur, Kumelembuay, Maesaan, Mondoinding, Motoling,
Ranoyapo, Sinonsayang, Tareran, Suluun-Tareran, Tatapaan, Tenga, Tompaso Baru, Tumpaan, Motoling Timur, Motoling Barat.
16
yaitu di Desa Paslaten yang terindikasi jumlah kepemilikan tanah di Desa tidak seimbang dengan jumlah pemilik tanah
yang domisili 12.
Lokasi penelitian di Desa Paslaten Kecamatan
Tatapaan Kabupaten Minahasa Selatan. Dari sebelas desa yang ada di kecamatan Tatapaan diambil satu desa secara
purposive, dengan pertimbangan desa yang paling banyak
terdapat pemilikan tanah secara absentee ialah di Desa Paslaten dengan 45 kepemilikan Sedangkan di desa yang
lain seperti Desa Arakan memiliki 9 pemilikan dan Desa
Wawona memiliki 2 pemilikan tanah secara absentee. 13
b. Penentuan Responden
Wawancara dengan mengajukan pertanyaan kepada
narasumber yaitu Kepala Kantor Pertanahan di Kabupaten Minahasa Selatan untuk mengetahui jumlah luas tanah
pemilik dan Tokoh masyarakat yang telah memberikan data tentang pemilik tanah serta tempat.
Berdasarkan 45 orang yang memiliki tanah pertanian
secara absentee, hanya 4 orang pemilik tanah yang bisa
12 Wawancara Dengan Kepala Kantor Pertanahan Minahasa Selatan, Pada Tanggal
29 Desember 2015.
13 Keterangan Dari Kepala Bidang Pemetaan Kantor Pertanahan Kabupaten
17
diwawancarai penulis untuk mmendaptkan informasi untuk penelitian.
c. Responden
Adapun responden dalam penelitian ini adalah: 1. Ibu Vivi Sumajow
2. Ibu Sandra Johannis 3. Bapak Larry Katiandhago 4. Bapak Ferry Yoko
5) Unit Amatan
Menjadi unit amatan dalam penelitian ini adalah tokoh
masyarakat dan Kantor Badan Pertanahan Nasional tersebut dan penulis mengambil data pemilikan tanah dari responden untuk di kembangkan dalam bentuk analisis sesuai data yang diperoleh.
6) Unit Analisi
Menjadi unit analisa dalam penelitian ini adalah Peran Penegak Hukum dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dalam
kinerja kerjanya untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah tanah-tanah terutama tanah pertanian di desa Paslaten.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistem pembahasan penelitian yang akan disajikan dalam penelitian
18
Bab I: Bab ini memuat tentang Latar Belakang Permasalahan yang
menguraikan hal-hal yang menjadi dasar pertimbangan dibuatnya tulisan ini. Dalam bab ini juga dapat dibaca Pokok Permasalahan,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II: Hasil Penelitian di uraikan Tinjauan Pustaka Tentang Larangan
Pemilikan Tanah Pertanian Secara Absentee, Tinjauan Tentang Tugas dan Wewenang Badan Pertanahan Nasional, Tinjauan
Tentang Berkerjanya Hukum Dalam Masyarakat, Hasil Penelitian Meliputi tentang: gambaran wilayah penelitian dimana tanah
absentee itu berada, praktek-praktek absentee di wilayah penelitian,
Tindakan Badan Pertanahan Nasional terhadap praktek absentee dan Analisis Hasil Penelitian Menurut Teori Robert Seidman.
Bab III: Berisi tentang Kesimpulan dan saran-saran sebagai rekomendasi