• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemilihan Presiden dalam Islam dan Hukum (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemilihan Presiden dalam Islam dan Hukum (1)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Hukum Islam dalam Konstitusi di Iran dan Pakistan

Oleh : Abdurrahman Misno Bambang Prawiro

A. Pendahuluan

Islam adalah way of life yang bersifat universal, ia tidak tersekat oleh gunung-gunung batu di Jazirah Arabia, ia juga tidak tertahan oleh zaman di mana keledai dan onta menjadi tunggangan. Islam senantiasa selaras dengan segala tempat dan zaman, di mana masih ada manusia dan kehidupan di sana Islam akan senantiasa diamalkan. Ketika Islam dihadapkan pada masyarakat tradisional ia akan hadir dengan sisi ketradisionalannya, demikian juga ketika ia dihadapkan dengan masyarakat metropolitan maka Islam hadir elegan di tengah masyarakat yang memiliki ketinggian peradaban. Demikianlah Islam, ia adalah jalan hidup seluruh manusia yang bertakwa, Ia hadir di antara rimbunnya belantara, hingga di antara gempita gedung pencakar langit kota.

Islam dengan sistem hukumnya juga telah masuk ke dalam seluruh sendi kehidupan, dari masalah remeh-temeh semisal urusan buang hajat, hingga masalah besar semisal urusan negara dan pemerintahan. Hukum Islam ada pada masalah-masalah individual insan, ia juga ada pada masalah-masalah kenegaraan dan pemerintahan. Sistem hukum Islam mengatur seluruh sendi kehidupan manusia, termasuk dalam masalah pemerintahan dan kenegaraan. Sehingga ketika hukum Islam menjadi bagian tidak terpisahkan dalam sebuah undang-undang maka hal tersebut bukanlah suatu keanehan, bahkan sudah selayaknya sebagai sistem hukum yang syamil wa kamil, hukum Islam menjadi pedoman dalam permasalahan negara dan pemerintahan.

Realitas sejarah membuktikan bahwa hukum Islam telah mengatur permasalahan kenegaraan, disepakatinya Piagam Madinah adalah bukti nyata bagaimana hukum Islam menjadi basis bagi sebuah perundang-undangan sebuah negara berdaulat. Toleransi kepada setiap penganut kepercayaan, hingga rasa kebangsaan diatur begitu sempurna dalam hukum Islam. Hal ini menjadi pedoman bagi pemerintahan sesudahnya, dari mulai masa empat Khulafa Ar-Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Keempat khalifah tersebut telah menjadikan hukum Islam sebagai pedoman dalam menjalankan roda pemerintahan1. Demikian pula masa-masa kerajaan setelahnya dari Dinasti

Ummayah, Dinasti Abbasiyah hingga Dinasti Utsmaniyyah semuanya menjadikan Islam sebagai pedoman dalam mengurus negara dan pemerintahan. Mereka semuanya menjadikan

(2)

hukum Islam sebagai norma dan sistem konstitusi negara. Norma-norma Islam terkodifikasi dalam setiap rumusan perundang-undangan sebagaimana sistem hukum Islam menjadi pedoman dalam setiap pengambilan keputusan.

Mempelajari sejarah umat Islam dengan sistem kenegaraannya yang didasarkan kepada sistem hukum Islam memberikan satu hikmah yang sangat berharga, salah satu diantaranya adalah bahwa sistem hukum Islam mencakup aturan-aturan yang berkenaan dengan negara dan pemerintahan. Maka tidaklah mengherankan ketika umat Islam yang diwakili oleh para ulama-nya senantiasa memperjuangkan Islam sebagai pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Mereka mengorbankan harta, tenaga, pikiran dan nyawa untuk tegaknya pemerintahan yang berlandaskan hukum Islam. Mereka telah mewariskan sistem hukum Islam sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara, maka sudah selayaknya umat Islam menyambut dan mengaplikasikan hasil jerih payah perjuangan pada pendahulu kita yang shaleh dalam rangka menegakan izzul Islam wal muslimin.

Namun realitas yang terjadi adalah umat Islam tidaklah seluruhnya memahami dan menerapkan warisan ini. Bisa jadi pengalaman dijajah oleh bangsa kolonial telah menjadikan umat Islam merasa tidak nyaman, akibatnya banyak sekali negeri-negeri umat Islam yang tidak menjadikan hukum Islam sebagai dasar dalam berbangsa dan bernegara. Negeri-negeri ini lebih bangga dengan dasar negara yang digali dari nilai-nilai selain dari Islam, bahkan sebagiannya bangga dengan sistem demokrasi yang dipasarkan oleh negara-negara bukan Islam. Hanya beberapa negara di dunia ini yang berani dengan tegas mencantumkan hukum Islam sebagai dasar negara atau konstitusi pemerintahan.

(3)

B. Pengertian Hukum Islam dan Konstitusi 1. Hukum Islam

Sebelum mengkaji mengenai hukum Islam dalam konstitusi, maka terlebih dahulu kita harus memahami apa yang dimaksud dengan hukum Islam. Hukum Islam dalam wujudnya terdiri dari syariah, fiqh dan qanun. Ketiganya memilik karakteristik masing-masing yang saling berdiri sendiri, walaupun demikian ketiga istilah ini tercakup dalam Hukum Islam yang dipahami saat ini. M. Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan “Istilah hukum Islam walaupun berlafadz Arab, namun telah dijadikan bahasa Indonesia, sebagai terjemahan dari Fiqh Islam atau Syariat Islam”.2 Dalam pandangan beliau, hukum Islam dipahami sebagai

fiqh dan syariah Islam. Tentu saja pemahaman ini tidaklah salah karena term hukum Islam memang tidak dikenal dalam khazanah Islam Timur Tengah.3

Bila merujuk kepada kata syariah maka menurut bahasa adalahدراولا (al-warid) yang berarti jalan, dikatakan pulaءاااااام لا ااااوااح ن yaitu tempat keluarnya (mata) air.4 Al-Raghib

menyatakan syariah adalah metode atau jalan yang jelas dan terang. Dikatakan : هل تعرش اجهن (aku mensyariatkan padanya sebuah jalan),ةعيرشلا al-syari'ah bisa pula bermakna sebuah tempat di tepi pantai. Manna' Khalil Al-Qathan mencatat bahwa syariat pada asalnya menurut bahasa adalah sumber air yang digunakan untuk minum, kemudian digunakan oleh orang-orang Arab dengan arti jalan yang lurus (al-syirath al-mustaqim) yang demikian itu karena tempat keluarnya air adalah sumber kehidupan dan keselamatan/kesehatan badan, demikian juga arah dari jalan yang lurus yang mengarahkankan manusia kepada kebaikan, padanya ada kehidupan jiwa dan pengoptimalan akal mereka5 Lafadz "syariah" terdapat dalam beberapa

ayat Al-Qur'an yaitu QS Al-Jatsiyah: 18, QS Asy-Syura: 13, dan QS Al-Syura: 21

Secara terminologi/istilah, syariat adalah “Seperangkat norma yang mengatur masalah-masalah bagaimana tata cara beribadah kepada Allah ta'ala, serta bermuamalah dengan sesama manusia”. Al-Fairuz Abady menyebutkan bahwa syariat adalah apa-apa yang disyariatkan Allah kepada para hambaNya.6 Pendapat ini selaras dengan yang disampaikan

oleh Ibnu Mandzur:

ررربلا لامعأأ رئاسو ةاكزلاو جحلاو ةلصلاو موصلاك هب رمأأأو نيدررلا نم هللا نرأس ام ةةعررشررلاو ةةعيرشلاو

2 M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah hukum Islam, Jakarta : PT Bulan Bintang, 1986. hlm. 44.

3 Fathurrahman Jamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999. hlm. 11. 4 Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz VII, hlm. 86

5 Manna' Khalil Al-Qatan, At-Tasyri' Wa Al-Fiqhi fi Al-Islam Tarikhan wa Manhajan, Mesir : Maktabah Wahbah, 2001, hlm. 13.

(4)

Segala sesuatu yang ditetapkan Allah dari dien (agama) dan diperintahkanya seperti puasa, shalat, haji, zakat dan amal kebaikan lainnya.7

Definisi ini seperti yang disebutkan oleh Manna' Al-Qathan yang menyebutkan bahwa syariat secara istilah adalah “Setiap sesuatu yang datang dari Allah ta'ala yang disampaikan oleh utusan/RasulNya kepada para hambanya, dan Dia adalah pembuat syariat yang awal, hukumNya dinamakan syar'an.8 Mahmud Syalthut mendefinisikan syariah dengan "Sebuah

nama untuk tata peraturan dan hukum yang diturunkan oleh Allah ta'ala dalam bentuk ushulnya dan menjadi kewajiban setiap muslim sebagai pedoman dalam berhubungan dengan Allah dan antar sesama manusia."9

Dari sini dapat disimpulkan bahwa hukum Islam dalam literatur klasik adalah syariah Islam, yaitu "Seluruh peraturan dan tata cara kehidupan dalam Islam yang diperintahkan oleh Allah ta'ala yang termaktub di dalam Al-Qur'an dan Al-Sunnah". Kemudian seiring dengan perkembangan zaman ia juga bermakna fiqh Islam yang berarti bagian-bagian Islam yang mengkaji mengenai peribadahan hamba kepada Allah ta’ala. Selanjutnya seiring penerimaan negeri-negeri muslim terhadap konsep pemerintahan Eropa maka munculah istilah qanun (perundang-undangan), sehingga saat ini hukum Islam juga mencakup perundang-undangan yang mengandung nilai-nilai Islam (Qanun Al-Islami).

2. Konstitusi Negara

Konstitusi secara etimologis berasal dari bahasa perancis “Constituer” yang artinya membentuk. Dalam kaitan ini, konstitusi diartikan sebagai pembentuk negara. Dalam Bahasa Belanda Konstitusi disamakan dengan istilah Grundwet. Pengertian konstitusi juga bisa diartikan sebagai peraturan dasar yang mengikat. Kata ini dalam bahasa latin adalah gabungan dari dua kata, yaitu cume dan statuere. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti “bersama dengan...”,sedangkan Statuere berasal dari kata sta yang membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Atas dasar itu, kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”.Dengan demikian bentuk tunggal “contituio” berarti menetapkan sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak “constutisiones” berarti segala sesuatu yang telah ditetapkan.

Pengertian konstitusi, dalam praktek dapat berarti lebih luas daripada pengertian UUD, tetapi ada juga yang menyamakan dengan pengertian UUD. Bagi para sarjana ilmu politik istilah Contitution merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur secara mengikat

cara-7 Ibnu Mandzur, Lisan Al-‘Arab Juz V, hlm. 86.

(5)

cara bagaimana sesuatu pemerintah diselenggarakan dalam suatu masyarakat.10 Maka dapat

disimpulkan bahwa konstitusi adalah seperangkat peraturan yang bersifat mendasar yang diberlakukan dan dipedomani oleh seluruh warga negara tertentu.

C. Sejarah Republik Islam Iran

Bangsa Iran berasal dari Ras Arya yang merupakan salah satu ras Indo-European. Migrasi bangsa Arya ke berbagai belahan bumi seperti ke Asia kecil dan India dimulai pada 2.500 SM. Peradaban di dataran tinggi Iran dimulai 600 tahun SM, pada masa itu terdapat 2 kerajaan yakni Parsa di sebelah Selatan dan Medes di Timur Laut Iran. Pada abad 550, Cyrus the Great berhasil merebut dua kerajaan Persia tersebut, namun tidak berhasil memperpanjang kekuasaannya. Pada 521 SM Raja Darius mendirikan Dinasti Achaemenid hingga Darius III. Pada 323 SM, Alexander the Great menaklukkan Dinasti Achaemenid. Pada masa Dinasti Parthian (Raja Mirthridates II) menjalin hubungan dengan Cina dan Roma yang dikenal dengan perdagangan sutranya (Silk Road). Pada 220 SM, Dinasti Sassanid mengakhiri kejayaan Dinasti Parthian.

Setelah peperangan selama 4 abad, seiring dengan memudarnya Kerajaan Romawi, Kerajaan Persia hancur dan diinvasi oleh Kerajaan Mesir dan Arab lainnya dan berhasil menyebarkan agama Islam. Dari abad 7 hingga abad 16 Masehi, berbagai Dinasti keturunan Arab, Turks dan Mongol saling berkuasa yakni Dinasti Abbasid, Dinasti Saffarian, Dinasti Samanid. Pada abad ke 16 khususnya pada masa Kerajaan Savafid, tercapai masa kejayaan dalam bidang kerajinan dan pembuatan karpet.11

Pada abad 17 Dinasti Afshar berkuasa, namun kemudian digantikan oleh Karim Khan Zand yang mendirikan Dinasti Zand di Selatan. Di sebelah Utara, Suku Qajar berhasil mematahkan Dinasti Zand dan mendirikan Dinasti Qajar hingga abad 19 dengan Rajanya yang terakhir bernama Ahmad Shah. Pada tahun 1921, terjadi kudeta militer yang dipimpin oleh Reza Shah Pahlevi yang kemudian menjatuhkan Ahmad Shah dan mengangkat dirinya sebagai Raja Iran. Pada 1941, anaknya bernama Mohammad Reza Shah naik tahta hingga terjadi Revolusi Islam yang dipimpin oleh Ayatollah Imam Khomeini pada 1979. Sejak saat itulah Iran mendakwakan negaranya menggunakan konstitusi berdasarkan hukum Islam.

D. Hukum Islam dalam Konstitusi di Republik Islam Iran

10 Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, hal. 95.

(6)

Revolusi Iran yang dipimpin oleh Imam Khumaini pada tahun 1979 menjadi titik awal bagi penerapan hukum Islam di Iran. Munculnya ideologi negara berdasarkan Agama Islam Madzhab Syi’ah Imam 12 (Ja’fari) menjadi fenomena yang mendapat perhatian dunia internasional. Untuk melaksanakan hukum Islam secara kaafah diciptakan sistem Velayat-e Faqih atau Wilayatul Faqih (supremasi kaum ulama) di mana seorang pemimpin agama memiliki hak untuk memberikan fatwa keagamaan dan sekaligus memegang kekuasaan tertinggi dalam masalah ketatanegaraan. Marja-e Taqlid (ulama senior) memiliki wewenang untuk memberikan fatwa hukum kepada seluruh warga negara yang tersebar di berbagai wilayah. Jumlah Marja-e Taqlid di Iran sebanyak 8 orang, Imam Khomeini yang merupakan Pemimpin Revolusi Islam Iran 1979 kemudian dikukuhkan dalam Konstitusi sebagai Ayatollah Uzma yang berkedudukan sebagai Rahbar yang berkuasa di bidang politik sekaligus bidang keagamaan (sebagai Marja-e Taqlid). Hukum tertinggi adalah Konstitusi Republik Islam Iran yang disahkan pertama kali oleh Majelis Ahli tanggal 15 November 1979 dan diamandemen pada Juli 1989. Konstitusi inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan berbagai kebijakan kenegaraan Republik Islam Iran.

Catatan paling awal yang menceritakan penulisan rumusan UUD RII disebutkan oleh Sayyid Sadegh Thabathabai. Ia termasuk keluarga dekat Imam Khomeini dan salah seorang aktivis pergerakan mahasiswa di luar negeri. Ia menyebutkan: ”Pada akhir musim gugur dan pada awal musim dingin tahun 1358 H.S, pada malam yang dingin, Imam Khomeini memanggil saya, DR. Habibi dan Ayatullah Muhammad Baghir Thabathabai. Selain menyampaikan masalah penting dan keharusan penulisan UUD, Imam Khomeini juga memberikan perintah untuk menuliskan rumusannya. Untuk itu, penulisan ini dilimpahkan kepada DR. Habibi (karena pengetahuannya tentang hukum lebih dari yang lain) dan Ayatullah Muhammad Baghir Thabathabai dengan alasan pikiran-pikiran fikihnya dekat dengan cara pandang Imam”.

“Beberapa pekan setelah perintah tersebut, secara kontinyu siang dan malam, penulisan rumusan UUD akhirnya selesai. Dan setelah melakukan diskusi dan negosiasi dengan Imam dalam masalah rumusan UUD akhirnya pandangan umum Imam Khomeini termuat di dalamnya. Rumusan UUD kemudian diperlihatkan kepada sejumlah marja’ (mujtahid) di Iran. Naskah lainnya diberikan kepada para tokoh agama dan partai-partai politik yang ada. Diharapkan dari naskah yang ada, dilakukan pengkajian lebih lanjut.”

(7)

Dasar. Akhirnya di godoklah pembuatan konstitusi oleh ulama ahli hukum Islam dan intelektual yang ahli dalam hukum modern, sehingga selesailah lima buah draft UUD. Kelima buah draft tersebut masing-masing ditulis oleh Dewan Garda, oleh pemerintahan sementara Iran, oleh sekelompok ahli hukum yang dipimpin oleh DR. Naser Katuziyan, oleh Dewan Revolusi, dan terakhir oleh Dewan Pakar. Anehnya, kelima draft UUD tersebut tidak satupun yang memuat kata wilayah al-faqih, yang sejak awal merupakan cita-cita politik Imam Khumaini. Tetapi lebih anehnya lagi, Imam Khumaini yang dinobatkan sebagai penguasa tertinggi tidak memberikan komentar negatif atas fenomena tersebut, dan tidak menggunakan wewenangnya untuk mengebiri draft tersebut agar diarahkannya pada konsep wilayah al-faqih, padahal beliau mengkritisi hampir tiap bait susunan UUD tersebut yang menurut beliau tidak sesuai dengan cita-cita politik Islam. Bahkan, Dewan Revolusi (shura enqelabi) yang beranggotakan ulama pendukung teras Revolusi Islam, seperti Sayid Husaini Beheshti, Bahonar, Ali Akbar Rafsanjani, Sayid Ali Khamanei, juga tidak memberikan catatan untuk memasukkan Wilayatul Faqih sebagai fondasi Negara Iran. Hal itu berlanjut sampai tahap final perumusan draft untuk disahkan menjadi UUD.

Salah seorang penulis draft UUD tersebut, Sahabi, menginformasikan bahwa sebelum pembukaan sidang penetapan UUD RII pada Dewan Pakar penetapan UUD dan dalam pertemuan anggota Dewan Pakar dengan Imam Khomeini di Qom tidak ada disinggung tentang masalah wilayah al-faqih. Tidak dimasukkannya wilayat al-faqih pada kelima draft rancangan UUD RII menimbulkan asumsi di masyarakat luas bahwa Wilayatul Faqih bukanlah dasar dari Republik Islam Iran.

Fenomena itu sedikit mengalami perubahan setelah salah satu draft tesebut diumumkan di media cetak dan diedarkan untuk menampung berbagai komentar, kritikan, dan masukan dari para ulama, pakar, ataupun masyarakat luas yang peduli pada Revolusi Iran. Selama satu bulan pengumuman itu dimuat, ternyata menghasilkan tanggapan yang serius dari berbagai kalangan, sebagai wujud partisipasi politik mereka. Salah satu yang terpenting adalah komentar ulama besar Syiah, Ayatullah Golpaygani, yang menyayangkan tidak adanya pembahasan Wilayatul Faqih di dalam draft UUD. Untuk itu, sembari mengingatkan perjuangan Islam, ia menekankan pentingnya dimasukkan Wilayatul Faqih sebagai salah satu dasar Negara Iran yang dijamin dalam konstitusi (UUD).

(8)

UUD. Memang, secara umum banyak ulama, terutama yang mendukung perjuangan Imam Khumaini, menganggap Wilayatul Faqih merupakan hal yang aksiomatik dan secara inheren menyatu dalam Republik Islam. Akan tetapi, tanpa landasan UUD, hal itu akan menjadi sia-sia dikarenakan tidak adanya pengakuan resmi yang memiliki kekuatan hukum yang legal dalam sebuah Negara.

Kondisi ini sama saja dengan masa-masa Syah, karena jika hanya mengharapkan pengakuan masyarakat akan kedudukan ulama sebagai pemimpin umat terutama dalam bidang keagamaan, sudah lazim dalam tradisi syiah meskipun mendapatkan tekanan dari setiap pemerintahan yang tiranik. Konsep marja’iyyah telah membuktikan hal itu. Namun hal itu tidaklah cukup, sebab marja’iyyah hanya berhubungan dengan persoalan fikih dan ritual peribadatan dalam Islam. Sedangkan Wilayatul Faqih menyangkut keseluruhan dimensi ajaran Islam yang bersifat individual maupun sosial-kemasyarakatan. Selain itu, marja’iyyah juga hanya berkaitan dengan keputusan mujtahid yang disebut fatwa yang hanya mengikat para muqallid-nya saja. Sedangkan Wilayatul Faqih berhubungan dengan persoalan hukum yang mengikat seluruh kaum muslimin (yang syiah). Untuk itu jaminan konstitusional mutlak diperlukan sebagai dasar hukum fundamental bagi Wilayatul Faqih yang mengikat semua elemen dalam Negara yang berdaulat.

Terdapat empat prinsip dasar yang harus ditegakkkan dalam konsep Wilayatul Faqih Pertama, Allah Ta’ala adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya. Kedua, kepemimpinan manusia (qiyadah basyariyah) yang mewujudkan kepemimpinan Allah Ta’ala di muka bumi ialah kenabian dengan peraturan Allah Ta’ala yang disampaikan kepada umat manusia melaui para Nabi. Ketiga, garis imamah menunjukan garis kelanjutan dari para Nabi dalam memimpin umat. Menurut paham Syi’ah terdapat dua belas Imam yang ma’shum atau terjaga dari kesalahan dan dosa. Dua belas imam tersebut sekarang dalam keadaan ghaib besar. Suatu saat akan hadir kembali sebagai imam Mahdi al-Muntazhar. Keempat, pada saat imam dalam keadaan ghaib besar, kepemimpinan nubuwah dilanjutkan oleh para faqih. Fuqaha adalah pengganti para imam, pada mereka dipercayakan kepemimpinan (wilayah) atas umat.

(9)

saja system pemerintahan tersebut berbeda dengan teokrasi yang diterapkan di Eropa. Noor Arif Maulana dalam buku Revolusi Islam Iran menyebutnya dengan istilah baru, yakni system pemerintahan demokratis yang bersifat ke-Tuhan-an, karena di bawah system “teo-demokratis” tersebut orang-orang melaksanakan kedaulatan rakyat yang dibatasi oleh kedaulatan Tuhan.

Jejak hukum Islam dalam konstitusi di Iran dapat dilihat pada bagian pembukaan konstitusi tersebut. Pada bagian Pembukaan dituliskan : “Rencana pemerintah Islam yang berdasarkan Wilayatul Faqih yang diwakili oleh Ayatullah Khomeini“. Selanjutnya ditulisakan “Berdasarkan prinsip-prinsip Wilayat Al-’Amr dan kepemimpinan yang terus menerus (imamah), maka konstitusi mempersiapkan lahan bagi terwujudnya kepemimpinan oleh faqih.”

Selanjutnya pada Pasal 2 konstitusi 1979 tertulis : “Republik Islam Iran sebagai suatu tatanan yang berdasarkan keyakinan pada (1) Tauhid, kemahakuasaan-Nya dan Syari’at-Nya hanyalah milik-Nya semata-mata serta kewajiban menaati perintahnya;(2) Imamah dan kelanjutan kepemimpinan, serta peranan fundamentalnya demi kelanggengan Republik Islam. Pasal 5 UUD Republik Islam Iran. “Selama ketidakhadiran imam yang keduabelas (semoga Allah mempercepat kedatangannya) dalam Republik Islam Iran, wilayat dan kepemimpinan umat merupakan tanggung jawab dari seorang faqih (ahli hukum agama) yang adil dan takwa, mengenal zaman, pemberani, giat, berinisiatif yang dikenal dan diterima oleh mayoritas umat sebagai imam (pemimpin) mereka. Apabila faqih semacam itu, suatu dewan pimpinan yang terdiri dari para fuqaha yang memenuhi syarat-syarat tersebut di atas akan memegang tanggung jawab itu”.

(10)

Islam. Di dalam Negara Islam, para wakil rakyat tidak berhak membuat undang-undang, karena undang-undang atas dasar hukum(Islam) diperoleh lagsung dari Tuhan yaitu al_Quran dan al-Hadist.

Pada Pasal 110 mengenai wewenang faqih “Faqih berwenang mengangkat dan memberhentikan para fuqaha anggota Dewan Perwalian (Shunye Negahban), Pejabat Kehakiman Tertinggi Negara. Kepala Staf Gabungan dan Komandan Korps Garda Revolusi Islam Nasional, mengangkat Komandan Ketiga Angkatan Bersenjata atas usulan Dewan Tertinggi Pertahanan Nasional, menyatakan perang dan damai; dan mengesahkan serta pemberhentian Presiden”

Pasal 107 konstitusi 1979 : Pasal 107 konstitusi 1979 secara eksplisit mengesahkan Ayatullah Khomeini sebagai Wilayatul Faqih, Marja’i taqlid yang terkemuka dan kepemimpinan revolusi” ditambah lagi dengan penegasan dalam pasal 107 yang secara eksplisit menetapkan Khomeini sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala Negara”. Perkembangan Wilayatul Faqih selanjutnya mengalami interpretasi baru sesuai dengan perkembangan zaman. Khususnya, ketika pemerintan Iran jatuh di pihak golongan reformis (Khatami), konsep Wilayatul Faqih tidak sepenuhya dihapuskan meskipun pemikiran tersebut lahir dari golongan konservatif, golongan ulama. Wilayatul Faqih hanya mengalami reinterpretasi yang berbeda khususnya dalam bidang politik dan pemerintahan. Kekuasaan lebih menekankan kedaulatan rakyat daripada otoritas dan kekuasaan kaum ulama.

E. Sejarah Republik Islam Pakistan

(11)

Berdirinya Republik Islam Pakistan tidak lepas dari peran seorang pengacara muslim Muhammad Ali Jinnah. Pada awalnya, berdirirnya Pakistan merupakan problem tersendiri, terutama dalam mencari alasan atau raison d’etre Pakistan merdeka. Apakah The Founding Fathers Pakistan bermaksud mendirikan Negara Islam atau tengah berupaya membangun Tanah Air bagi orang Islam? Lebih dari itu, apakah kekhawatiran sebagai warga minoritas di India yang mayoritas Hindu dapat dijadikan alasan berdirinya Pakistan merdeka. Dasar pendirian "Republik Islam" ini, seperti terartikulasikan dalam gagasan pendiri-pendirinya adalah kehendak komunitas muslim --sebagai bangsa terpisah di anak benua India-- untuk membentuk negara di mana mereka mampu menerapkan ajaran Islam dan hidup selaras dengan petunjuknya.

Berbagai teori telah dimunculkan tentang alasan-alasan pokok berdirinya Pakistan sebagai sebuah negara dengan identitas Islam. Pada 23 Maret 1947 Liga Muslim India (All Indian Moslem League) mengeluarkan resolusi yang terkenal dengan nama Resolusi Pakistan. Dalam resolusi tersebut, kaum Muslim India dipimpin Muhammad Ali Jinnah, yang juga Bapak Negeri Pakistan, berjanji memperjuangkan terbentuknya negara muslim.

Pendirian Liga Muslim mengawali munculnya gerakan nasionalisme India, pada awalnya merupakan respon terhadap gerakan nasionalisme Hindu yang disuarakan Partai Kongres Nasional India. Liga Muslim didirikan oleh sekelompok intelektual Muslim India yang pada perkembangannya menuntut terbetuknya pemerintahan sendiri. Tokoh yang terkenal dari organisasi ini adalah Muhammad Ali Jinnah. Di bawah kepemimpinan Jinnah, ide negara Pakistan semakin berkembang dan pada tahun 1940 menjadikan pembentukan Pakistan sebagai tujuan perjuangan. Tujuan itu menjadi kenyataan saat Pakistan diproklamirkan sebagai negara merdeka pada 14 Agustus 1947, dan kenyataannya, Pakistan merdeka sehari lebih cepat dari India yang dimerdekakan 15 Agustus 1947. Berdirinya Pakistan didasarkan atas realitas bahwa masyarakat muslim yang meliputi wilayah Sind, Punjab, Baluchistan, provinsi di Barat Laut dan Benggala merupakan sebuah bangsa yang berhak atas wilayah mereka sendiri. Meskipun banyak yang meragukan klaimnya sebagai sebuah bangsa, namun sesuatu yang pantas diberi nilai adalah kenyataan geografis Pakistan yang merupakan anak benua India yang nyaris lepas dari peradaban induknya, yaitu India.

(12)

kaum muslim di Provinsi Kesatuan Barat Laut dan Bengal. Senada dengan Robinson, David Taylor mengesankan terbentuknya Pakistan sebagai ekspresi politik muslim kelas atas (elit) yang memahami kenyataan berbedanya identitas keagamaan dan sosial politik mereka dengan kekuatan-kekuatan lainnya di anak benua India.

Tuntutan kaum elit ini menurutnya selain mewakili permasalahan kaum elit Pakistan, juga didukung oleh kesadaran komunal akan pentingnya negara bagi komunitas Muslim. Selain itu ia juga menemukan fakta dalam kasus-kasus tertentu yang melibatkan massa yang menuntut pemenuhan kebutuhan asasinya sebagai orang Islam juga tidak bisa disepelekan. Artinya, dalam waktu-waktu tertentu, tuntutan elit bisa senada dengan tuntutan arus bawah muslim.

Pada tahun 1971, sebuah perang sipil terjadi di negara bagian Pakistan Timur yang akhirnya membuat negara bagian tersebut berpisah menjadi negara baru bernama Bangladesh. Pakistan merupakan negara federal dengan sistem parlemen yang terdiri dari 4 provinsi dan 4 daerah federal. Dengan penduduk lebih dari 170 juta orang, Pakistan menjadi salah satu negara terpadat di dunia dan memiliki penduduk Muslim terbanyak di dunia setelah Indonesia. Pakistan juga merupakan negara yang memiliki multi-etnis dan memiliki variasi dari segi geografis. Di masa setelah kemerdekaan, Pakistan mengalami ketidakstabilan dalam pemerintah dan konflik yang terus terjadi dengan negara tetangga terdekatnya, India. Negara ini memiliki berbagai tantangan dan masalah, seperti kemiskinan, buta aksara, korupsi serta serangan teroris.

F. Hukum Islam dalam Konstitusi Republik Islam Pakistan

Konstitusi Pakistan berhasil dirumuskan pada tahun 1956 terhitung 9 tahun semenjak kemerdekannya pada tahun 1956, kemudian disusul dengan konstitusi kedua dan amandemennya. Dokumen konstitusi pertama Pakistan terdapat dalam “obyektivitas resolution” yang merupakan hasil perundingan antara sang perdana menteri Liqayat Ali Khan dengan Partai Liga Muslim pada tahun 1949. Hasil perundingan tersebut, di dalamnya berisi pernyataan bahwa “Kedaulatan hanyalah milik Tuhan”.

(13)

mengembangkan kebudayaan mereka. Garis-garis besar resolusi inilah, yang kemudian dirumuskan dalam konstitusi pada 1956.

Hukum Islam yang ada dalam konstitusi 1956 antara lain dinyatakan dalam beberapa bagiannya :

Pada Bab I Konstitusi Pakistan tertulis: “Nama negara adalah Republik Islam Pakistan”, jelas sekali bahwa nama negara Pakistan disandarkan kepada Islam yang berarti Pakistan adalah negara dengan prinsip dasar Islam. Hal ini ditegaskan dalam bagian Pendahuluan disebutkan : Bentuk negara demokrasi yang berdasarkan prinsip Islam. Walaupun bentuk negara Pakistan adalah demokrasi namun ia tetap didasarkan kepada nilai-nilai Islam, sehingga terjadi

Bukti adanya hukum Islam berikutnya terdapat dalam syarat-syarat seseorang menjadi kepala negara haruslah seorang muslim, hal ini tertulis dalam Pasal 32 : Kepala negara harus beragama Islam. Maka kemusliman seseorang menjadi pondasi pokok dalam konstitusi mereka.

Klimaks dari hukum Islam yang ada dalam konsitusi Pakistan adalah bahwa aturan-aturan dalam bentuk undang-undang yang tidak sesuai dengan hukum Islam maka aturan-aturan tersebut harus dibatalkan. Hal ini sebagaimana tertera dalam Pasal 198 : Repugnanci Clouse (kata penolakan), yakni “tidak boleh ada undang-undang yang bertentangan dengan al-Quran dan al-Sunnah.

Pada tahun 1962, term “al-Quran dan al-Sunnah” dalam Repugnanci Clouse diubah dengan term “Hukum Islam”, tetapi pada tahun 1963 term “al-Quran dan al-Sunnah” dalam Repugnanci Clouse diberlakukan kembali. Hal ini, terjadi pada zaman pemerintahan Ayyub Khan (1958-1969) yang kemudian tampil pemerintahan berikutnya, yakni Presiden Zia ul al-Haq (1977-1988). Pemerintahan yang terakhir ini, melancarkan program islamisasi, termasuk di dalamnya Islamisasi hukum di Pakistan.

Ketika agitasi anti pemerintah (dipimpin oleh Persekutuan Nasional Pakistan yang pemimpin-pemimpinnya menggunakan Islam untuk menggerakkan orang-orang melawan pemerintahan Bhutto) pecah di pusat-pusat pertokoan utama, pemerintah berusaha untuk mengakhiri keadaan ini dengan mengumumkan reformasi, “Islam” dengan menentukan Jum’at dan bukannya Minggu sebagai hari libur umum mingguan dan mengumumkan langkah-langkah yang melarang pemakaian alkohol, perjudian dan pacuan kuda. Manifesto pemilihan Partai Rakyat Pakistan tahun 1977 juga memasukkan persetujuan partai untuk:

(14)

2. Mengembalikan masjid ke tempat tradisionalnya selaku pusat terpenting masyarakat. 3. Mendirikan Akademi Ulama Negeri untuk mendidik Imam dan Khatib di

masjid-masjid.

4. Menjadikan tempat keramat orang suci yang terhormat sebagai pusat pengajaran Islam.

5. Meningkatkan fasilitas untuk orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji. 6. Memperkokoh Institut Penelitian Islam di Islamabad.

Akan tetapi program Islamisasi ini menurut Riaz Hassan tidak lebih hanya sekadar respon untuk menenangkan kelompok urban yang menentang kebijakan ekonominya. Program ini secara kasat mata tidak lebih pada pengakuan dan perbaikan aspek simbolis Islam sebagaimana awal pendiriannya.

G. Hukum Islam dalam Konstitusi di Iran dan Pakistan

Hukum Islam sebagai satu sistem hukum yang universal telah menjadi bagian tidak terpisahkan dalam konstitusi di Republik Islam Iran dan Republik Islam Pakistan. Hal ini terlihat dari pembukaan hingga penutupan konstitusi dua negara tersebut. Dalam pembukaan konstitusi Iran disebutkan :

N

o Hukum Islam Konstitusi Iran Konstitusi Pakistan

1 Nama negara Chapter I - Article 1

The form of government

(15)

3 Agama negara Chapter I Article 12

bertentangan dengan al-Quran dan al-Sunnah. no law shall be enacted which is repugnant to such Injunctions 5 Persyaratan kepala negara Chapter IX Article 115

The President must be elected from among religious and political personalities possessing

(16)

good past-record; trustworthiness and piety; convinced belief in the fundamental principles of the Islamic Republic of Iran and the official religion of the country.

National Assembly.

6 7 8 9 10

H. Kesimpulan

Kajian tentang hukum Islam dalam konstitusi yang ada di Iran dan di Pakistan dapat disimpulkan sebagai berikut :

Referensi :

Akhmad Satori, 2012, Sistem Pemerintahan Iran Modern (Konsep Wilayatul Faqih Imam Khomeini Sebagai Teologi Politik dalam Relasi Agama & Demokrasi), Yogyakarta : Rausan Fikr.

Budiharjo, Miriam, 2000. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Connolly. Peter, 2009. Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta : LKiS.

Hefner. Robert W., 1999. Islam Pasar Keadilan; Artikulasi Lokal, Kapitalisme, dan Demokrasi, Yogyakarta: LKiS.

Ibnu Taimiyah, 1989. Pedoman Islam Bernegara, Jakarta : Bulan Bintang.

Ishmatullah, Dedi dan Asep A. Sahid Gatara, 2007. Ilmu Negara dalam Multi Perspektif, Bandung : Pustaka Setia.

Koentjaraningrat, 2001. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT. Gramedia. Koentjaraningrat, 2002. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: Rineka Cipta

(17)

Moleong. Lexy J., 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nasution. Harun, 1998. Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran, Bandung: Mizan.

Roibin, 2009. Relasi Agama dan Budaya Masyarakat Kontemporer, Malang: UIN-Malang Press.

Ghufran A. Mas’adi, 1998. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, Cet. II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Suprayogo. Imam. Tobroni, 2001. Metodologi Penelitian Agama, Bandung: Remaja Rosdakarya.

http://indonesian.irib.ir/rahbar1 diakses 29 Nopember 2012

http://www.pakistani.org/pakistan/constitution/ diakses 29 Nopember 2012

Musthafa Abd. Rahman. 2003. Iran Pasca Reformasi. Jakarta : Kompas, 2003

Muhsin Labib,dkk. 2006. Ahmadinejad! David Di Tengah Angkara Goliath Dunia. Jakarta : Mizan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan power otot tungkai terhadap kemampuan tendangan T pada pesilat putra

Isolat L4 mengalami mutasi nukleotida G795A yang terletak pada kodon 265, TTG menjadi TTA, tetapi tidak menyebabkan perubahan asam amino sehingga dapat dipastikan bahwa

Majelis Pengawas Pusat (MPP) dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara ( Pasal 76 ayat [1] Undang-undang Jabatan Notaris. Penulis hendak mengamati peranan dan fungsi

Penelitian ini dilakukan untuk melihat gambaran histopatologik hati tikus wistar yang diinduksi monosodium glutamate dan diberikan sari air bawang daun dan efek

Dalam tesis ini yang menjadi permasalahan untuk diteliti adalah berkaitan dengan efektifitas pemberlakuan pajak penghasilan terhadap yayasan yang bergerak di bidang pendidikan

Lalu apa yang telah membuat anda [sabar atas penyakit anda sendiri], apa yang telah membuat anda [kukuh dalam petaka anda sendiri] dan apa telah melipur anda [dari menangisi diri

Oleh karena itu, kegiatan kemitraan yang dilakukan dalam pengelolaan wisata di Wana Wisata Kawah Putih Ciwidey dengan masyarakat desa hutan maupun berbagai pihak

Skrining aktivitas antifungi terhadap hidrolisat menunjukkan bahwa peptida yang diperoleh dari hasil hidrolisis susu kambing pada pH 7 pada waktu hidrolisis 30 maupun