• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEREMPUAN BALI MERAWAT BUMI TAMAN GUMI B (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEREMPUAN BALI MERAWAT BUMI TAMAN GUMI B (1)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PEREMPUAN BALI MERAWAT BUMI: “TAMAN GUMI BANTEN” DALAM

PERSPEKTIF EKOFEMINISME DAN

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

(I Gede Bagus Gigih Ferdian Baskara & Andita Melyana )

Kitab Manawa Dharmasastra I.32

Dwidha krtwatmano deham

Ardhena puruso ‘bhawat

Ardhena nari tasyam sa

Wirayama smrjat prabhuh

Artinya

Dengan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian perempuan (ardha nari),

ia ciptakan wiraja dari wanita itu.

Latar Belakang Persoalan

Indonesia merupakan negara berkembang di dunia dengan sumber daya dan potensi

alam yang berlimpah. Untuk melestarikan dan melindungi sumber daya yang dimiliki,

diperlukan langkah strategis guna mencapai hal tersebut. Salah satu tindakan yang dilakukan

Indonesia saat ini adalah mengoptimalkan sumber daya beserta potensi-potensi alam melalui

program pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987),

pembangunan berkelanjutan1 adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, yaitu sustainable

development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan

berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan

kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Berdasarkan hal tersebut, maka

keberhasilan pembangunan suatu negara terletak pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan

pembangunan sosial serta lingkungan yang baik. Hal ini tentunya akan memberikan manfaat

yang nyata kedepannya, yaitu meningkatkan kesejahteraan warga negara Indonesia.

Pada September tahun 2000, pemerintah Indonesia menetapkan program pembangunan

dengan menyatakan komitmennya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan

pembangunan masyarakat melalui penandatanganan deklarasi millennium MDGs

(Millennium Development Goals) yang dilakukan oleh 189 negara-negara PBB. Deklarasi

1

(2)

tersebut saat ini dikenal sebagai SDGs (Sustainable Development Goals) yang diberlakukan

hingga tahun 2030. Kesepakatan ini berisikan 17 tujuan pembangunan berkelanjutan dengan

169 capaian terukur dengan menyeimbangkan tiga dimensi pembangunan berkelanjutan,

yakni lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Untuk mencapai keberhasilan tersebut, dilakukan langkah konkrit oleh pemerintah

melalui salah satu program pembangunan berkelanjutan yang telah dirancang, yaitu

pemberdayaan sumber daya manusia2. Pemberdayaan sumber daya manusia ini dilakukan

dengan tujuan agar masyarakat di Indonesia dapat memanfaatkan potensi-potensi yang ada di

daerahnya masing-masing sehingga mampu membebaskan masyarakat dari keterbelakangan

dan kemiskinan. Akan tetapi, upaya pemerintah melalui program pemberdayaan sumber daya

manusia ini sering kali mengalami beberapa permasalahan yang tentunya dapat menghambat

perkembangan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah

masalah perbedaan gender, yaitu antara laki-laki dan perempuan. Perempuan cenderung pasif

untuk berpartisipasi dalam program pemberdayaan karena masyarakat mayoritas menganut

budaya patriarki3. Dalam hal ini, laki-laki memegang peranan penting dalam setiap program

pemberdayaan sehingga sangat sulit bagi kaum perempuan untuk mengembangkan pola pikir,

kinerja dalam masyarakat, dan beberapa faktor perkembangan sumber daya yang seharusnya

dapat dikembangkan dan berguna di masyarakat.

Budaya patriarki di Indonesia memang masih sangat kental. Dengan adanya budaya

tersebut, maka kondisi yang sangat timpang antara perempuan dan laki-laki, serta

ketidakadilan terhadap kaum perempuan terlihat sangat jelas. Berdasarkan kondisi ini, proses

marjinalisasi4 dan eksploitasi terhadap perempuan terjadi dan kaum perempuan akan

kehilangan otonomi atas dirinya sendiri. Meskipun dalam UUD 1945 disebutkan bahwa hak

laki-laki dan perempuan dinyatakan tidak ada perbedaan serta dikeluarkannya Instruksi

Presiden No. 9 Tahun 2000 yang menyatakan tentang Pengarusutamaan Gender dalam

Pembangunan Nasional, akan tetapi kenyataannya jelas berbeda dan menyimpang dari

aturan-aturan yang ada. Dengan demikian, maka ketidaksetaraan dan diskriminasi terhadap

adanya perbedaan gender tumbuh dengan suburnya dalam kehidupan masyarakat.

2 Suatu proses menyiapkan masyarakat dengan berbagai sumber daya, kesempatan, dan keahlian untuk

meningkatkan kapasitas diri masyarakat di dalam menentukan masa depan mereka, serta berpartisipasi dan memengaruhi kehidupan dalam komunitas masyarakat itu sendiri (Martono, 2011).

3 Sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam

organisasi sosial (Charles E, Bressler, 2007).

4 Menempatkan atau menggeser ke pinggiran. Proses pengabaian hak-hak yang seharusnya didapat oleh

(3)

Menilik pada permasalahan di atas, muncullah solusi, yaitu dengan adanya

pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan perempuan dalam pembangunan berkelanjutan

dilaksanakan guna menantang ideologi patriarki, kemudian merubah struktur dan pranata

yang selama ini memperkuat dan melestarikan diskriminasi gender serta ketidakadilan sosial.

Pendekatan pemberdayaan ini diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi perempuan

untuk meningkatkan kualitas diri dalam berbagai kegiatan sektor dan subsektor serta

memperoleh keadilan gender dari seluruh masyarakat.

Selain permasalahan gender, hubungan antara manusia dengan lingkungan juga

merupakan hal yang menjadi sorotan tersendiri dalam mewujudkan pembangunan

berkelanjutan. Selama ini, manusia telah memandang alam sebagai hal yang sangat berharga

dalam memenuhi kebutuhan serta dalam proses menyelenggarakan kehidupan. Namun pada

kenyataannya, manusia saat ini semakin hari semakin jauh dari alam. Alam tidak lagi

dipandang sebagai penyelenggara kehidupan bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya di

muka bumi, melainkan alam kini dipandang sebagai sumber daya. Manusia modern berusaha

mengeksplorasi segenap kemampuan untuk memaksimalisasi profit yang dapat diperoleh,

sekalipun harus menguras alam sampai titik terdalam. Keterhubungan manusia dengan alam

yang sejatinya berada dalam sebuah jejaring kehidupan yang saling berkaitan, pada akhirnya

harus terpisah akibat dominasi serta tekanan yang dilakukan oleh manusia atas alam demi

meraup keuntungan dari segi ekonomi. Alam sebagai sumber primer segala kebutuhan vital

manusia seakan tersingkir demi produktivitas yang semata-mata hanya mengejar jumlah

kuantitas tertentu.

Ekofeminisme: Relasi Alam dan Perempuan

Francois d’Eaubonne pada awal tahun 1970 dalam tulisannya yang berjudul Le

Feminisme mengungkapkan bahwa sesungguhnya terdapat keterkaitan antara dominasi

manusia terhadap alam dan eksploitasi yang dilakukan oleh kaum patriarki terhadap

perempuan. Berbagai kerusakan atas alam yang terjadi sebagai efek pembangunan dipandang

terjadi karena paradigma penyelenggaraan pembangunan yang bersifat androsentris5. Opresi6

yang dilakukan oleh kaum laki-laki terhadap kualitas atau sifat feminisme, seperti cinta,

pengasuhan dan pemeliharaan berbanding lurus dengan tingkat kerusakan alam serta

5 Laki-laki menjadi pusat dalam memandang dunia sehingga apa yang dilakukan oleh laki-laki dinilai

positif, sedangkan perilaku perempuan dinilai negatif (Simpson, 1993:161).

6 Suatu tindakan dengan kekuatan yang dimilikinya dapat membuat seseorang yang berada di bawah

(4)

penurunan solidaritas sosial. Cara pandang yang ditawarkan oleh Francois ini kemudian

dikenal luas sebagai ekofeminisme.

Ekofeminisme menawarkan sebuah pendekatan baru dalam memandang relasi antara

manusia dan alam dengan melibatkan non-human nature untuk lebih seksama menganalisis

dualisme7 nature-culture yang dianggap sebagai pembenaran dominasi manusia atas alam

dari aliran feminisme lainnya. Hal tersebut dijelaskan lebih lengkap oleh Colleen

Mack-Canty, yaitu “From ecology, it learns to value the interdependence and diversity of all life

forms; form feminism, it gains the insight of a social analysis of women’s oppression that intersects with other oppression such as racism, colonialism, classim, and heterosexim”.

Arti penting berdasarkan kutipan di atas adalah apabila dilihat dari perspektif ekologis,

ekofeminisme belajar untuk menghargai keadaan saling bergantung dan keberagaman atas

segala bentuk kehidupan. Sedangkan, dari perspektif feminisme, ekofeminisme mempertajam

pemahamannya atas analisis sosial mengenai penindasan terhadap perempuan yang

bersinggungan dengan bentuk penindasan lainnya. Ekofeminisme menekankan pada

pentingnya pengakuan atas keadaan yang saling ketergantungan antara manusia dengan

seluruh elemen semesta dalam satu jejaring kehidupan tanpa menuntut adanya tatanan

hierarki. Keadaan ini dianggap sebagai kondisi fundamental yang tidak dapat diingkari oleh

manusia, sehingga ekofeminisme melihat hal ini sebagai bentuk perlawanan atas cara berpikir

hirarkis yang memposisikan alam lebih rendah dari manusia, perempuan lebih rendah dari

laki-laki.

Vandana Shiva dalam bukunya Staying Alive; Women, Ecology, and Survial in India

menyatakan bahwa gambaran ideal yang diproyeksikan ekofeminisme sebagai bentuk

humanisme8 adalah (1) terciptanya kesadaran akan kondisi keterhubungan antar setiap entitas

dalam sebuah ekosistem yang besar, (2) penghargaan terhadap diversitas atau keberagaman

manusia maupun alam, serta (3) kesadaran akan alam semesta tanpa dibiasi oleh paham

seksisme9 maupun antroposentrisme10. Ketiga hal tersebut merupakan prinsip fundamental

dari humanisme ekofeminis.

7Dua keadaan yang berbeda dimana satu keadaan bersifat “superior” dan keadaan lainnya bersifat

“inferior” yang hidup berdampingan pada ruang dan waktu yang sama (Putri I.K., 2017). 8

Humanisme lebih melihat pada sisi perkembangan kepribadian manusia. Pendekatan ini melihat kejadian, yaitu bagaimana membangun dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif (Prakoso & Choir, 2009).

9 Suatu bentuk prasangka atau diskriminasi kepada kelompok lain hanya karena perbedaan gender atau

jenis kelamin (Salama, 2013).

10 Teori etika lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta

(5)

“Taman Gumi Banten”

Bali merupakan sebuah pulau kecil di Indonesia yang sangat dikenal karena pesona

alam serta kehidupan budaya masyarakat tradisional yang mampu mengisolasi dirinya dari

perubahan akibat modernitas. Masyarakat Bali dalam kehidupannya terikat dalam tatanan

norma adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun dan telah membatin dalam budaya

kehidupan masyarakat itu sendiri. Lebih daripada tempat lain di semenanjung Indonesia, Bali

memiliki hubungan yang rumit antara lingkungan binaan, pengaturan alam, dan kehidupan

sosial keagamaan.

Tri Hita Karana merupakan sebuah konsep radiks bagi kehidupan masyarakat Bali,

yang di dalamnya berisi tentang kesadaran manusia untuk menjaga suatu hubungan yang

harmonis antara Tuhan, manusia, dan alam. Sebagaimana bila dipandang lebih mendasar,

konsep ini menegaskan bahwa kebahagian, kedamaian, serta keharmonisan dalam kehidupan

hanya akan tercapai apabila hubungan antara Tuhan, manusia dan alam terjalin secara

harmonis. Konsep Tri Hita Karana ini terimplementasi secara nyata pada norma, adat istiadat

serta kebudayaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Bali. Hal ini terlihat

dalam kehidupan masyarakat Bali yang menata ruang mereka, memanfaatkan lahan, menata

pemukiman, arsitektur bangunan, karya seni, upacara dan ritual keagamaan, serta organisasi

sosial agar sesuai dengan konsep keharmonisan tersebut.

Kegiatan ritual keagamaan yang rutin dilakukan sehari-hari maupun pada hari-hari

tertentu oleh umat Hindu merupakan salah satu doktrin kosmologis11 yang telah membatin

pada masyarakat Bali. Dalam pelaksanaan ritual keagamaan tersebut, diperlukan beberapa

sarana dan prasarana yang digunakan sebagai persembahan dalam bentuk sesajian kepada

Tuhan. Sarana dan prasarana tersebut memiliki arti dan makna yang dalam serta merupakan

perwujudan tattwa12 Hindu (Sardiana & Kartha, 2010). Adapun sarana persembahyangan

yang digunakan dalam upacara keagamaan, yaitu berupa air, daun, bunga, buah, dan api.

Sarana yang telah disebutkan sebelumnya banyak berasal dari bagian tanaman yang tentunya

merupakan hasil alam. Melalui doktrin spiritual inilah leluhur Bali menitipkan pesan agar

masyarakat turut serta menjaga lingkungan.

Kebutuhan akan sarana persembahyangan yang sebagian besar berasal dari tanaman

yang seakan tidak pernah berhenti ini akan selalu mengundang perhatian kalangan

masyarakat Bali untuk melakukan suatu upaya guna memenuhi kebutuhan tersebut. Salah

11 Ajaran (tentang asas suatu aliran politik, keagamaan) yang bersifat atau berhubungan dengan

kosmologi, yaitu ilmu atau cabang astronomi yang menyelidiki asal-usul, struktur, dan hubungan ruang waktu dari alam semesta (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

12

(6)

satu upaya yang dilakukan oleh masyarakat adalah membuat Taman Gumi Banten (TGB)

yang terletak di Pura Dalem Desa Adat Renon, Denpasar. Gumi berarti bumi sedangkan

banten adalah sarana upacara keagamaan di Bali, sehingga Taman Gumi Banten memiliki

arti, yaitu taman yang terdiri dari tanaman (berasal dari alam) yang digunakan sebagai sarana

upacara keagamaan di Bali. Taman Gumi Banten ini merupakan program desa yang dikelola

oleh badan usaha milik Desa Renon. Dalam pengelolaan Taman Gumi Banten, badan usaha

di Desa Renon mengajak seluruh warga desa untuk turut serta berpartisipasi dalam upaya

menjaga dan merawat taman ini. Seluruh warga desa yang berpartisipasi merupakan

kumpulan warga laki-laki dan perempuan di Desa Renon. Mereka bekerja sama dalam

mengupayakan keberjalanan program desa tersebut.

Program Taman Gumi Banten ini merupakan salah satu upaya yang berkaitan erat

dengan pembangunan keberlanjutan di Indonesia khususnya di Bali. Dilihat dari segi

pengelolaan, hasil panen dari taman ini akan dipasarkan yang dilakukan oleh ibu-ibu PKK

(Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Dalam hal ini, perempuan diberikan kesempatan untuk

memegang peranan penting guna mengembangkan kinerjanya dalam kehidupan sosial. Akan

tetapi, tidak hanya ibu-ibu PKK yang bertugas dalam mengelola Taman Gumi Banten,

melainkan warga desa laki-laki, dari remaja hingga dewasa juga turut serta dalam perawatan

taman. Mereka berkolaborasi dan saling mendukung satu sama lain dalam menjalankan

program desa.

Kemudian, jika dilihat dari tujuan dan realisasinya pada masyarakat, Taman Gumi

Banten dapat menjadi contoh dalam mengatasi permasalahan kesataraan gender di Indonesia

yang merupakan salah satu hambatan dalam program pembangunan berkelanjutan oleh

pemerintah Indonesia. Perbedaan gender, yaitu marjinalisasi dan eksploitasi terhadap kaum

perempuan tidak berlaku pada keberjalanan program desa ini, karena mereka

memberdayakan perempuan dalam mengelola pelaksanaan program. Perempuan memiliki

kesempatan untuk mengembangkan pola pikir dan kinerja yang sesuai dengan semangat

ekofeminisme dalam masyarakat. Dengan adanya Taman Gumi Banten ini, perempuan Bali

dapat merawat dan melestarikan lingkungan di Bali sekaligus mengembangkan potensi serta

partisipasi perempuan dalam kehidupan sosial.

Penutup

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semangat pelestarian lingkungan yang

diterapkan melalui kegiatan perekonomian Taman Gumi Banten sejalan dengan program

(7)

program Taman Gumi Banten yang berjalan atas dasar doktrin kosmologis masyarakat Hindu

Bali nyatanya memenuhi ketiga prinsip fundamental dari humanisme ekofeminisme; yaitu

dengan adanya keterlibatan perempuan untuk turut berkontribusi aktif dalam tatanan

kehidupan tingkat Desa Pekraman dengan semangat feminismenya, dan juga penolakan cara

berpikir antroposentris dengan menanamkan kesadaran atas diversitas alam yang dimana

setiap entitas di alam semesta berada pada sebuah jejaring kompleks kehidupan yang saling

terhubung satu sama lain. Penulis berharap bahwa dengan adanya kajian atas program ini,

pemerintah dapat mewujudkan program serupa dalam sekala yang lebih besar untuk

mewujudkan Bali yang ajeg, ajeg akan kearifan budaya lokalnya, ajeg akan kelestarian

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi jika ia mengetahui bahwa ayat ini turun bagi orang yang berpergian atau pun orang yang salat dengan hasil ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya salah

Kesebelas, guru memberikan memberikan pertanyaan kepada siswa terikait dengan diskusi yang sudah dilakukan, menurut observer pada pertemuan pertama didapat rata-rata

Makna yang terkandung dalam visi tersebut bahwa pemerintah desa Panggungharjo berkeinginan mewujudkan kehidupan mandiri dan berkesejahteraan dalam kehidupan yang

5 Perancangan pembangunanSolo Baru Sound Board Studio And Guitar Company, yang merupakan sebuah wadah bagi kegiatan perindustrian sebagai sarana dan fasilitas

Adalah informasi yang dimiliki konsumen mengenai berbagai macam produk dan jasa serta pengetahuan lainnya yang terkait dengan produk & jasa tersebut dan informasi yang

Pada Instalasi Rawat Jalan Pasien datang secara berkesinambungan, dan memperoleh layanan dari perawat hanya sementara waktu, dengan demikian ada beberapa softskills

Based on the above, the authors are interested in doing a scientific study on effect of hydrochloric acid concentration as chitosan solvent on mechanical properties of bioplastics

Setelah melihat hasil uraian pembahasan di bab 3 mengenai kegiatan belajar mengajar bahasa Mandarin dengan penggunaan metode permainan atau Ice Breaking di SD