• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN ETIKA DAN ESTETIKA KESENIAN ON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERUBAHAN ETIKA DAN ESTETIKA KESENIAN ON"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN ETIKA DAN ESTETIKA KESENIAN ONDEL-ONDEL PADA MASYARAKAT BETAWI

Disusun untuk memenuhi syarat tugas mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif

Bernard Realino Danu Kristianto 44115110102

UNIVERSITAS MERCUBUANA JURUSAN BROADCASTING

(2)

DAFTAR ISI

JUDUL...1

DAFTAR ISI...2

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG...3

1.2. FOKUS PENELITIAN...5

1.3. PERTANYAAN PENELITIAN...7

1.4. TUJUAN PENELITIAN...7

1.5. MANFAAT PENELITIAN...8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. TEORI PEMBANGUNAN...9

2.2. TEORI KRITIS...13

2.3. DEFINISI BUDAYA DALAM KAJIAN BUDAYA...16

2.4. KONSEP ETIKA, ESTETIKA DAN SENI...18

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. PARADIGMA PENELITIAN...24

3.2. METODE PENELITIAN...24

3.3. TEKNIK PENGUMPULAN DATA...25

3.4. TEKNIK ANALISIS DATA...25

DAFTAR PUSTAKA...27

(3)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Di masa sekarang, arus modernisasi mempengaruhi segala aktivitas dan sektor bidang kehidupan. Terlebih kota metropolitan seperti Jakarta. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi turut mewarnai kehidupan masyarakat kota Jakarta yang sebagian besar adalah pendatang dari berbagai daerah di seluruh wilayah Indonesia. Modernisasi dan globalisasi tersebut tentunya juga memiliki dampak bagi budaya suatu masyarakat, secara khusus masyarakat Betawi.

Suku Betawi sebagai tuan rumah dan akar budaya kota Jakarta kini sudah semakin tidak jelas keberadaannya. Secara geografis, posisi suku Betawi semakin terpinggirkan. Meskipun masih terdapat suku Betawi yang tinggal di jantung kota Jakarta, mereka tidak memiliki peluang untuk dapat mengekspresikan dan melestarikan budaya mereka secara maksimal, termasuk salah satunya kesenian ondel-ondel.

Menurut sejarahnya, ondel-ondel sudah ada pada akhir abad ke-5 berdiri kerajaan Hindu Tarumanegara di tepi kali Citarum. Ada yang menganggap Tarumanagara merupakan kelanjutan kerajaan Salakanagara. Hanya saja ibukota kerajaan dipindahkan dari kaki gunung Salak ke tepi kali Citarum. Penduduk asli Betawi menjadi rakyat kerajaan Tarumanagara. Tepatnya letak ibukota kerajaan di tepi sungai Candrabagha, yang kemudian diidentifikasi dengan sungai Bekasi. Candra berarti bulan atau sasi, jadi ucapan lengkapnya Bhagasasi atau Bekasi, yang terletak di sebelah timur pinggiran Jakarta. Di sinilah letak istana kerajaan Tarumanengara yang termashur itu. Raja Hindu ini ternyata seorang ahli pengairan. Raja mendirikan bendungan di tepi kali Bekasi dan Kalimati. Maka sejak saat itu rakyat Tarumanegara mengenal persawahan menetap.

(4)

karena diyakini Dewi Sri menyayangi mereka. Dewi Sri, menurut mitologi Hindu, adalah dewi kemakmuran. Penduduk mengarak barongan yang dinamakan ondel-ondel untuk menyatakan merdeka punya kagoembiraan. Ondel-ondel-ondel pun diarak dengan membunyikan gamelan. Kebudayaan ondel-ondel tersebut kemudian dibawa dan juga menjadi bagian penting bagi orang-orang Betawi di wilayah tengah kota Jakarta.

Pada zaman kolonial Belanda tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.

Kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong. Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas, yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Husni Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Pemoeda Kaoem Betawi. Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.

Hingga beberapa waktu yang lalu penduduk asli Jakarta mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Melayu atau menurut lokasi tempat tinggal mereka, seperti orang Kwitang; orang Kemayoran; orang Tanahabang dan seterusnya. Setelah tahun 1970-an yang merupakan titik balik kebangkitan kebetawian di Jakarta telah terjadi pergeseran lebel dari Melayu ke Betawi. Orang yang dulu menyebut kelompoknya sebagai Melayu telah menyebut dirinya sebagai orang Betawi.

(5)

berlangsung dan melalui proses panjang itu pulalah salah satu caranya ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.

1.2. Fokus Penelitian

Menurut kepercayaan masyarakat Betawi pada zaman dulu fungsi ondel-ondel itu untuk menolak bala. Dengan cara diarak dijalan-jalan mengelilingi kampung.Oleh karena itu dalam pembuatannya pun tidak sembarangan. Ada ritual-ritual tertentu yang harus dilakukan oleh si pengrajin. Diantaranya menyiapkan sesaji, kemenyan, kembang tujuh rupa dan bubur sumsum. Tujuannya agar pembuatan ondel-ondel bisa berjalan lancar tanpa dirasuki roh jahat. Itulah mengapa wajah ondel-ondel terkadang nampak seram dan mistis. Konon, zaman dahulu, penduduk di sebuah kawasan Betawi terjangkit wabah penyakit. Kala itu, para penduduk meyakini penyakit tersebut adalah wujud serangan dari roh jahat. Untuk itu mereka memainkan ondel-ondel atau boneka besar guna mengusir roh jahat tersebut. Persembahan yang kerap mereka sajikan sebulum memulai pengusiran roh jahat biasanya berupa bunga tujuh rupa dan tujuh jenis makanan yang di satukan dalam sebuah bakul. Tujuannya memanggil roh halus untuk menumpas roh jahat. Namun, kebiasaan itu kian luntur sejalan perkembangan pembangunan. Upacara tersebut dianggap sudah tak sesuai dengan ajaran Islam, agama yang umumnya dianut warga Betawi. Kini, ondel-ondel menjadi figur nenek moyang yang menjaga kampung. Namun seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman yang semakin modern, fungsi ondel-ondel mulai bergeser. Apalagi pada era kepemimpinan Ali Sadikin sebagai gubernur DKI Jakarta periode tahun 1966-1977an, ondel-ondel dijadikan sebagai boneka khas Betawi. Sudah tidak ada lagi arak-arakan ondel-ondel untuk penolak bala. Tapi digunakan sebagai penyemarak suasana pesta rakyat Betawi. Mulai dari hajatan perkawinan dan khitanan sampai acara peresmian gedung-gedung pemerintah maupun swasta. Wajah ondel-ondel pun tidak lagi seseram dan semistis dulu.1

Kini, ondel-ondel semakin mengalami pergeseran makna. Tidak jarang, ondel-ondel terlihat “mengemis” atau meminta-minta sambil diarak keliling kota. Makna ondel-ondel tidak lagi sebagai sarana dan media budaya Betawi yang

1

(6)

berhubungan dengan panen hasil bumi, kemeriahan, kebahagiaan. Ondel-ondel dijadikan media pelakon sebagai sarana mencari uang dengan meminta-minta di pinggiran jalanan, di depan toko-toko, juga mendatangi siapapun yang sedang berada di trotoar jalan.

Pemahaman dari si pelakon ondel-ondel mengenai budaya Betawi itu sendiri menjadi pertanyaan besar bagi banyak orang, secara khusus saya sebagai peneliti. Dalam budaya dan tradisi Betawi sendiri tampaknya sudah mengalami perubahan pola dan etika dalam berkesenian. Masyarakat Betawi tidak lagi mengagungkan kesenian gambang kromong, ondel-ondel, dan yang lainnya sebagai akar budaya mereka. Persoalan modernisasi dan migrasi penduduk yang masuk ke Jakarta mungkin bisa jadi salah satu aspek pengaruh perubahan pola dan etika berkesenian tersebut. Faktor utama dari modernisasi masyarakat itu sendiri nampaknya membuat tradisi lama luntur bahkan hilang sama sekali. Masyarakat Betawi era lama sangat menjunjung tinggi tradisi totemistik seperti halnya suku tradisional di wilayah lain di Indonesia. Sistem kepercayaan, bahasa, kebendaan yang diwariskan kepada generasi penerusnya menjadi tanda bahwa suku Betawi sangat menjunjung warisan budaya leluhurnya, termasuk tradisi boneka ondel-ondel.

Dengan masuknya modernisasi, terdapat sikap dan pemikiran dari masyarakat yang memiliki kecenderungan mencari hal yang baru daripada mempertahankan tradisi. Dampak dari pandangan modern tersebut adalah adanya sikap yang revolusioner karena munculnya keinginan untuk meninggalkan dan sekaligus mengganti adat istiadat dan tradisi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai rasionalitas dan menggantinya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkaitan dengan hal itu, masyarakat Betawi sendiri yang pada mulanya adalah pendatang dan percampuran budaya dari banyak suku di tanah air, dimana mulai terpinggirkan keberadaannya, tentunya memiliki perspektif yang unik mengenai modernisasi dan efek perubahan dari asimilasi budaya, mengingat pendatang di Jakarta selalu meningkat dari tahun ke tahun.

1.3. Pertanyaan Penelitian

(7)

1. Apakah terdapat perubahan etika dan estetika kesenian ondel-ondel pada masyarakat Betawi?

2. Apakah terdapat korelasi antara perubahan masyarakat tradisional ke masyarakat modern terhadap perubahan etika dan estetika kesenian ondel-ondel pada masyarakat Betawi?

3. Bagaimana perubahan etika dan estetika kesenian ondel-ondel pada masyarakat Betawi?

4. Mengapa bisa terjadi perubahan etika dan estetika kesenian ondel-ondel pada masyarakat Betawi?

5. Bagaimana yang seharusnya terjadi sehingga etika dan estetika kesenian ondel-ondel masyarakat Betawi tidak berubah?

1.4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui perubahan etika dan estetika kesenian ondel-ondel pada masyarakat Betawi.

2. Memahami persoalan masyarakat Betawi dalam melestarikan budayanya sendiri.

3. Mengkritisi hal-hal apa yang mendorong perubahan etika dan estetika kesenian ondel-ondel.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dilakukannya penelitian ini adalah untuk:

1. Masyarakat luas dapat mengetahui bahwa terdapat perubahan etika dan estetika kesenian ondel-ondel.

2. Masyarakat secara lebih khusus masyarakat Betawi dapat mengambil tindakan pelestarian kesenian ondel-ondel yang lebih maksimal.

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Pembangunan Walr Whitman Rostow

W. W. Rostow merupakan seorang ekonom Amerika Serikat yang menjadi Bapak Teori Pembangunan dan Pertumbuhan. Teorinya mempengaruhi model pembangunan dihampir semua Dunia Ketiga. Pikiran Rostow pada dasarnya dikembangkan dalam konteks perang dingin serta membendung pengaruh sosialisme. Itulah makanya, pikiran Rostow pertama dituangkan dalam makalah yang secara jelas sebagai manifesto non-komunis. Dalam tulisan yang berjudul The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, Rostow membentangkan pandangannya tentang modernisasi yang dianggapnya sebagai cara untuk membendung semangat sosialisme. Teori Rostow tentang pertumbuhan pada dasarnya merupakan sebuah versi dari teori modernisasi dan pembangunan, yaitu suatu teori yang meyakini bahwa faktor manusia (bukan struktur dan sistem) menjadi fokus utama perhatian mereka.

Teori pertumbuhan adalah suatu bentuk teori modernisasi yang menggunakan metafora pertumbuhan, yakni tumbuh sebagai organisme. Rostow melihat perubahan sosial, yang disebut sebagai pembangunan, sebagai proses evolusi perjalanan dari tradisional ke modern. Pikiran teori pertumbuhan ini dijelaskan secara rinci oleh Rostow (1960) yang sangat terkenal yaitu The Five-Stage Scheme.2

2 Walt W. Rostow, The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto,

(9)

Asumsinya adalah bahwa semua masyarakat termasuk masyarakat Barat pernah mengalami “tradisional” dan akhirnya menjadi “modern”. Sikap manusia tradisional dianggap sebagai masalah. Seperti pandangan Rostow dan pengikutnya, development akan berjalan secara hampir otomatis melalui akumulasi modal (tabungan dan investasi) dengan tekanan dan bantuan luar negeri.

Pandangan Rostow tentang teori perubahan sosial tersebut diuraikan dalam bukunya yang berjudul The Stage of Economic Growth. Dalam buku tersebut Rostow menjelaskan bagaimana perubahan sosial dalam lima tahapan pembangunan ekonomi terjadi. Tahapan pertama adalah masyarakat tradisional, kemudian berkembang menjadi prakondisi tanggal landas, lantas diikuti masyarakat tanggal landas, kemudian masyarakat pematangnan pertumbuhan, dan akhirnya mencapai masyarakat modern yang dicita-citakan, yaitu masyarakat industri yang disebutnya sebagai masyarakat konsumsi masa tinggi (High Mass Consumption).

(10)

Lima tahap pembangunan menurut Rostow (1960) adalah:3

1. Masyarakat tradisional

Sistem ekonomi yang mendominasi masyarakat tradisional adalah pertanian, dengan cara-cara bertani yang tradisional. Produktivitas kerja manusia lebih rendah bila dibandingkan dengan tahapan pertumbuhan berikutnya. Masyarakat ini dicirikan oleh struktur hirarkis sehingga mobilitas sosial dan vertikal rendah.

2. Pra-kondisi tinggal landas

Selama tahapan ini, tingkat investasi menjadi lebih tinggi dan hal itu memulai sebuah pembangunan yang dinamis. Model perkembangan ini merupakan hasil revolusi industri. Konsekuensi perubahan ini, yang mencakup juga pada perkembangan pertanian, yaitu tekanan kerja pada sektor-sektor primer berlebihan.

Sebuah prasyarat untuk pra-kondisi tinggal landas adalah revolusi industri yang berlangsung dalam satu abad terakhir.

3. Tinggal landas

Tahapan ini dicirikan dengan pertumbuhan ekonomi yang dinamis. Karakteristik utama dari pertumbuhan ekonomi ini adalah pertumbuhan dari dalam yang berkelanjutan yang tidak membutuhkan dorongan dari luar. Seperti, industri tekstil di Inggris, beberapa industri dapat mendukung pembangunan. Secara umum “tinggal landas” terjadi dalam dua atau tiga dekade terakhir. Misalnya, di Inggris telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-17 atau di Jerman pada akhir abad ke-17.

3 Walt W. Rostow, The Stages of Economic Growth dalam Economic History

(11)

4. Menuju kedewasaan

Kedewasaan pembangunan ditandai oleh investasi yang terus-menerus antara 40 hingga 60 persen. Dalam tahap ini mulai bermunculan industri dengan teknologi baru, misalnya industri kimia atau industri listrik. Ini merupakan konsekuensi dari kemakmuran ekonomi dan sosial. Pada umumnya, tahapan ini dimulai sekitar 60 tahun setelah tinggal landas. Di Eropa, tahapan ini berlangsung sejak tahun 1900.

5. Era konsumsi tinggi

Ini merupakan tahapan terakhir dari lima tahap model pembangunan Rostow. Pada tahap ini, sebagian besar masyarakat hidup makmur. Orang-orang yang hidup di masyarakat itu mendapat kemakmuran dan keserbaragaman sekaligus. Menurut Rostow, saat ini masyarakat yang sedang berada dalam tahapan ini adalah masyarakat Barat atau Utara.

Teori Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi ini diklasifikan sebagai teori modernisasi. Walt Whitman Rostow mengembangkan ide tentang perspektif identifikasi dimensi ekonomi menjadi lima tahap tersebut dengan tujuan meluncurkan teorinya sebagai sebuah manifesto anti-komunis. Dalam hal prekondisi untuk meningkatkan ekonomi suatu negara, penekanannya terdapat pada keseluruhan proses di mana masyarakat berkembang dari suatu tahap ke tahap yang lain. Tahap-tahap yang berbeda ini ditujukan untuk mengidentifikasi variabel-variabel kritis atau strategis yang dianggap mengangkat kondisi-kondisi yang cukup dan perlu untuk perubahan dan transisi menuju tahapan baru yang berkualitas.

Teori ini secara mendasar bersifat unilinear dan universal, serta dianggap bersifat permanen. Pembangunan, dalam arti proses, diartikan sebagai modernisasi yakni pergerakan dari masyarakat pertanian berbudaya tradisional ke arah ekonomi yang berfokus pada rasional, industri, dan jasa. Untuk menekankan sifat alami “pembangunan sebagai sebuah proses, Rostow menggunakan analogi dari sebuah‟

(12)

lepas landas dan kemudian melayang di angkasa. Pembangunan, dalam arti tujuan, dianggap sebagai kondisi suatu negara yang ditandai dengan adanya: a) kemampuan konsumsi yang besar pada sebagian besar masyarakat, b) sebagian besar non-pertanian, dan c) sangat berbasis perkotaan. Sebagai bagian teori modernisasi, teori ini mengkonsepsikan pembangunan sebagai modernisasi yang dicapai dengan mengikuti model kesuksesan Barat. Para pakar ekonomi menganggap bahwa teori tahap-tahap pertumbuhan ekonomi ini merupakan contoh terbaik dari apa yang diistilahkan sebagai “teori modernisasi .‟4

2.2. Teori kritis

Sekitar pada tahun 1930-an, bersama Max Horkheimer, Theodor W. Adorno telah mempelopori munculnya sebuah Teori, yang kita kenal dengan sebutan Teori Kritis. Teori Kritis ini dimaksudkan sebagai pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis. Yang membedakan antara Teori Kritis dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional sebelumnya adalah bahwa pendekantan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Adorno juga keberatan terhadap filsafat sistematis dan meragukan apakah pemikiran yang sebenarnya dapat transparan. Hal ini berasal dari keberatannya terhadap berpikir metodologis. Filsafat sistematis dan pemikiran metodologis, menurutnya memiliki kecenderungan untuk sampai pada kesimpulan yang hanya mengkonfirmasi asumsi yang terkandung dalam premis-premisnya.

Melalui bukunya, Dialektika Pencerahan, Adorno dan Horkheimer sebenarnya tidak menolak adanya pencerahan, namun masalahnya adalah bahwa pencerahan yang sesungguhnya belum berhasil menghilangkan mitos. Bahkan pada titik tertentu, Pencerahan sendiri malah menjadi mitos. Ilmu pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya sendiri. Kebenaran

(13)

disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri.5 Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi.6

Objek sentral dalam Teori kritis Adorno adalah hubungan saling keterpengaruhan antara pertentangan-pertentangan dalam masyarakat sebagai sebuah totalitas dan bentuk kongkrit kehidupan subjek-subjek dalam masyarakat. Teori kritis diorientasikan pada ide tentang masyarakat sebagai subjek, dengan individu sebagai pusat. Sebuah Teori menjadi ”kritis” dengan menegaskan ketidakadilan, egoisme, dan alienasi yang dihasilkan oleh kondisi sosial dibawah ekonomi kapitalis.

Sebenarnya, di dunia filsafat, Teori Kritis ini bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Apa bila kita tengok lagi ke belakang sebelum Teori ini di suarakan oleh Horkheimer dan Adorno tersebut, telah menjadi tradisi di dunia filsafat yang ada di Jerman. Teori Kritis muncul dan mempengaruhi konsep rasionalitas dan tindakan masyarakat Jerman pasca industri. Teori Kritis ini bermula pada Filsafat Kritis yang yang dipelopori oleh Immanuel Kant. Kant berusaha menganalisa syarat-syarat, serta batas-batas kemampuan rasional dalam dimensi-dimensinya yang murni dan praktis-etis. Dengan demikian maka kritik ala Kant ini dijalankan menggunakan prinsip-prinsip rasio yang menurutnya secara transenden dan immanen.7

Pada dasarnya Teori Kritis adalah suatu gaya berpikir yang merentang ke berbagai bidang. Maka dari itu sangatlah sulit untuk menemukan satu kesatuan utuh di dalamnya. Namun menurut Honneth ada satu kesamaan yang mendasari seluruh pemikir di dalam ranah Teori kritis, yakni sikap negatifnya pada realitas faktual. Artinya mayoritas pemikir Teori kritis bersikap negatif dan mencurigai terhadap semua situasi sosial yang terjadi, bahkan yang tampak paling positif sekalipun. Honneth menyebut ini sebagai negativitas sosial (social negativism). Dengan kata

5 Max Horkheimer & Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, terj. Ahmad

Sahidah, Dialektika Pencerahan, Yogyakarta: IRCiSoD, 2002.

6 Marcuse, One Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced Industrial

Society, London: Routledge, 1964.

7 Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

(14)

lain, setiap kondisi sosial tidak pernah merupakan suatu situasi yang positif, karena selalu menyembunyikan ketidakadilan sosial. Di tangan Honneth Teori kritis tidak lagi hanya berfokus soal keadilan sosial, tetapi juga pada soal keadilan kultural (terkait dengan konsep hidup yang baik), yakni iklim yang menghambar perkembangan kultural suatu masyarakat.8

Secara umum, Teori Kritis yang di pelopori Horkheimer dan Adorno ini banyak menjadikan filsafat Hegel dan Freud sebagai dasar pemikiran mereka. Di dalam tradisi berpikir semacam itu, akal budi (reason) masih menjadi titik tolak untuk membaca dan memahami gerak sejarah. Akal budi dianggap sebagai kemampuan universal manusia untuk bersikap kritis terhadap dinamika masyarakat. Akan tetapi keyakinan besar pada kemampuan akal budi tersebut tampak tidak lagi relevan sekarang ini. Banyak filsuf dan intelektual pada umumnya sekarang ini sudah mulai sadar akan pluralitas budaya, sekaligus pluralitas konsep akal budi itu sendiri. Di dalam wacana postmodernisme, akal budi dianggap merupakan salah satu narasi besar yang mengklaim dirinya universal. Padahal sebenarnya kemampuan dan isi dari akal budi sangatlah tergantung pada kultur yang sifatnya lokal dan partikular.9

Dapatlah dikatakan bahwa secara umum pada zaman sekarang ini para filsuf telah melangkah lebih maju, bahwa masalah sosial yang perlu dikaji bukan sekedar membuka struktur sosial yang tidak adil, melainkan lebih memahami konsep keadilan yang memang seringkali sifatnya lokal dan partikular. Artinya bahwa dalam menilai sesuatu itu telah berlaku keadilan atau tidak, bukanlah sesuatu yang selalu bersifat universal, melainkan memiliki aspek lokal partikular yang harus dipahami terlebih dahulu sesuai dengan situasi dan kondisi kultur, budaya, dan masih banyak hal-hal lain yang bersifat lokal. Maka jelas, bahwa jika proses pencerahan dan pembebasan hendak dilakukan, terlebih dahulu kita harus memahami ketidakadilan lokal yang terjadi, dan kemudian berusaha memberikan pengertian pada orang-orang yang tertindas tersebut untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

2.3. Definisi Konsep Budaya dalam Kajian Budaya (Cultural Studies)

8 Axel Honneth, Cambridge Companion to Critical Theory, Cambridge: Cambridge

(15)

Kajian disiplin ilmu lain telah terlebih dahulu mendefinisikan istilah budaya (culture) yang dimasukkan ke dalam konsep masing-masing disiplin humaniora dan sosial, seperti antropologi, sosiologi, politik, ekonomi dan seterusnya. Koentjaraningrat memberikan definisi budaya sebagai sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar10. Dan, James Spradley nampaknya hampir sependapat dengan Koentjaraningrat. Ia mengatakan budaya merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh manusia melalui proses belajar, yang kemudian mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunia sekelilingnya, sekaligus untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi dunia sekitar. Lebih khusus, dalam terminologi disiplin Kajian Budaya (Cultural Studies) menyajikan bentuk kritis atas definisi budaya yang mengarah pada "the complex everyday world we all encounter and through which all move"11.

Budaya secara luas adalah proses kehidupan sehari-hari manusia dalam skala umum, mulai dari tindakan hingga cara berpikir, sebagaimana konsep budaya yang dijabarkan oleh Kluckhohn. Pengertian ini didukung juga oleh Clifford Geertz, kebudayaan didefinisikan serangkaian aturan-aturan, resep-resep, rencana-rencana dan petunjuk-petunjuk yang digunakan manusia untuk mengatur tingkah lakunya. Dalam kajian budaya atau Cultural Studies, konsep budaya dapat dipahami seiring dengan perubahan perilaku dan struktur masyarakat di Eropa pada abad ke-19. Perubahan ini atas dampak dari pengaruh teknologi yang berkembang pesat.

Istilah budaya sendiri merupakan kajian komprehensif dalam pengertiannya menganalisa suatu obyek kajian. Contohnya, selain ada antropologi budaya juga dikaji dalam studi Sosiologi, Sejarah, Etnografi, Kritik Sastra bahkan juga Sosiobiologi. Fokus studi kajian budaya ini adalah pada aspek relasi budaya dan kekuasaan yang dapat dilihat dalam budaya pop. Di dalam tradisi Kajian Budaya di Inggris yang diwarisi oleh Raymonds Williams, Hoggarts, dan Stuart Hall, menilai konsep budaya atau "culture" merupakan hal yang paling rumit diartikan sehingga bagi mereka konsep tersebut disebut sebuah alat bantu yang kurang lebih memiliki

10 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, 1990, hal 180.

11 Andrew Edgar and Peter Sedgwick (ed.), Cultural Theory The Key Concepts,

(16)

nilai guna. Williams mendefinisikan konsep budaya menggunakan pendekatan universal, yaitu konsep budaya mengacu pada makna-makna bersama. Makna ini terpusat pada makna sehari-hari: nilai, benda-benda material/simbolis, norma. Kebudayaan adalah pengalaman dalam hidup sehari-hari: berbagai teks, praktik, dan makna semua orang dalam menjalani hidup mereka12. Kebudayaan yang didefinisikan oleh Williams lebih dekat ‘budaya' sebagai keseluruhan cara hidup. Sebab ia menganjurkan agar kebudayaan diselidiki dalam beberapa term. Pertama, institusi-institusi yang memproduksi kesenian dan kebudayaan. Kedua, formasi-formasi pendidikan, gerakan, dan faksi-faksi dalam produksi kebudayaan. Ketiga, bentuk-bentuk produksi, termasuk segala manifestasinya. Keempat, identifikasi dan bentuk-bentuk kebudayaan, termasuk kekhususan produk-produk kebudayaan, tujuan-tujuan estetisnya. Kelima, reproduksinya dalam perjalanan ruang dan waktu. Dan keenam, cara pengorganisasiannya. Jika dibandingkan dengan pendapat John Storey, konsep budaya lebih diartikan sebagai secara politis ketimbang estetis. Storey beranggapan ‘budaya' yang dipakai dalam Culture Studies ini bukanlah konsep budaya seperti yang didefinisikan dalam kajian lain sebagai objek keadiluhungan estetis (‘seni tinggi') atau sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spritual, melainkan budaya sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari13. Dalam hal ini nampaknya Storey setuju dengan definisi ‘budaya' menurut Raymonds Williams. Dan, menurut Bennet istilah culture digunakan sebagai payung istilah (umbrella term) yang merujuk pada semua aktivitas dan praktek-praktek yang menghasilkan pemahaman (sense) atau makna (meaning). Baginya budaya berarti : "Kebiasaan dan ritual yang mengatur dan menetukan hubungan sosial kita berdasarkan kehidupan sehari-hari sebagaimana halnya dengan teks-teks tersebut-sastra, musik, televisi, dan film-dan melalui kebiasaan serta ritual tersebut dunia sosial dan natural ditampilkan kembali atau ditandai-dimaknai-dengan cara tertentu yang sesuai dengan konvensi tertentu."14

12 Chris Barker, Cultural Studies : Teori dan Praktik, Terj. Tim KUNCI Cultural

Studies Centre, Bentang, 2005, hal 50.

13 John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, terj. Laily Rahmawati,

Jalasutra, 2007, hal 2.

14 Tony Bennet, Popular Culture : A Teaching Object, Screen Education (1980)

(17)

2.4. Konsep Etika, Estetika dan Seni

Dalam setiap kehidupan (interaksi sosial kemasyarakatan) terdapat tata nilai yang saling berpengaruh, yaitu etika, logika dan estetika. Etika menentukan nilai baik atau buruk yang dikuasai oleh agama atau kepercayaan (moral), logika menetapkan nilai benar atau salah yang ditangani oleh ilmu (pengetahuan), sedangkan estetika berkaitan dengan nilai indah atau jelek yang diberikan oleh seni. Dalam suatu kebudayaan tatanan tersebut mewujud dalam suatu sistem yang secara bersamaan menyatu dengan gagasan (ide), tindakan (perilaku) dan hasil karya. Dengan demikian karya seni merupakan hasil perwujudan ide dan perilaku seniman dengan ketiga nilai yang melandasinya. Sesuatu yang indah di alam maupun karya seni akan menimbulkan perasaan yang menjadi pengalaman, ketika itulah seseorang mengalami penghayatan estetika. Berdasarkan pengertiannya estetika berasal dari aisthetis (Yunani) yang berarti pencerapan indra. Pencerapan atau persepsi tidak hanya melibatkan indra, tetapi juga proses psiko fisik seperti asosiasi, pemahaman, khayal, kehendak, dan emosi.

Pada awalnya estetika adalah bidang filsafat yang berurusan dengan pemahaman tentang keindahan alam dan seni. “Ilmu estetika adalah suatu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keindahan.”15 Dalam perkembangannya hingga kini estetika diartikan sebagai seni yang meliputi pemilihan dan penyusunan unsur unsur seni serta cara pengungkapannya. Bahasa logika umumnya digunakan untuk menerangkan kebenaran yang dipengaruhi oleh pikiran (akal) manusia. Pada realitas pengalaman ini dipakai metode ilmiah yang dianggap sebagai cara pendekatan terbenar. Di dalamnya dicari sebab-sebab tata cara rasional, logis, dan objektif terhadap berbagai hal. Dalam pengertian yang lebih luas lagi, kebenaran berkaitan dengan pertimbangan efisien dan efektif, perhitungan ekonomis dan pasar, serta kejujuran. Disamping itu hubungan dengan unsur pelayanan (penampilan), kelayakan, kenyamanan, dan kehandalan. Karena setiap

Muhammad Syukri, Kreasi Wacana dan Juxtapose, 2003, hal 82.

(18)

unsur memiliki karakteristik fisik dan psisis, kekhususan, dan bentuk sifat bawaan, sehingga dapat diterima oleh akal sehat masyarakat.

Secara umum etika merupakan aturan, ketentuan atau norma tentang apa yang baik dan buruk. Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik–buruk, yang diterima umum atau tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Etika bisa disamakan artinya dengan moral (mores dalam bahasa latin), akhlak, atau kesusilaan. Etika berkaitan dengan masalah nilai, karena etika pada pokoknya membicarakan masalah–masaah yang berkaitan dengan predikat nilai susila, atau tidak susila, baik dan buruk. Dalam hal ini, etika termasuk dalam kawasan nilai, sedangkan nilai etika itu sendiri berkaitan dengan baik–buruk perbuatan manusia.

Namun, etika memiliki makna yang bervariasi. Bertens menyebutkan ada tiga jenis makna etika sebagai berikut :

1. Etika dalam arti nilai–nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.

2. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral (yang dimaksud disini adalah kode etik)

3. Etika dalam arti ilmu atau ajaran tentang yang baik dan yang buruk . Disini etika sama artinya dengan filsafat moral.

Etika sebagai nilai dan norma etik atau moral berhubungan dengan makna etika yang pertama. Nilai–nilai etik adalah nilai tentang baik buruk kelakuan manusia. Nilai etik diwujudkan kedalam norma etik, norma moral, norma kesusilaan.

Norma etik berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan pribadi. Pendukung norma etik adalah nurani individu dan bukan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir. Norma ini dapat melengkapi ketidakseimbangan hidup pribadi dan mencegah kegelisahan diri sendiri.

(19)

(norma) kesusilaan dalam setiap hati nurani manusia. Norma etik hanya membebani manusia dengan kewajiban–kewajiban saja.

Asal atau sumber norma etik adalah dari manusia sendiri yang bersifat otonom dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin manusia. Batinnya sendirilah yang mengancam perbuatan yang melanggar norma kesusilaan dengan sanksi. Tidak ada kekuasaaan diluar dirinya yang memaksakan sanksi itu. Kalau terjadi pelanggaran norma etik, misalnya pencurian atau penipuan, maka akan timbullah dalam hati nurani si pelanggar itu rasa penyesalan, rasa malu, takut, dan merasa bersalah.

Daerah berlakunya norma etik relatif universal, meskipun tetap dipengaruhi oleh ideologi masyarakat pendukungya. Perilaku membunuh adalah perilaku yang amoral, asusila atau tidak etis. Pandangan itu bisa diterima oleh orang dimana saja atau universal. Namun, dalam hal tertentu, perilaku seks bebas bagi masyarakat penganut kebebasan kemungkinan bukan perilaku yang amoral. Etika masyarakat Timur mungkin berbeda dengan etika masyarakat barat.

Norma etik atau norma moral menjadi acuan manusia dalam berperilaku. Dengan norma etik, manusia bisa membedakan mana perilaku yang baik dan juga mana perilaku yang buruk. Norma etik menjadi semacam das sollen untuk berperilaku baik. Manusia yang beretika berarti perilaku manusia itu baik sesuai dengan norma–norma etik.

Budaya atau kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Manusia yang beretika akan menghasilkan budaya yang memiliki nilai–nilai etik pula. Etika berbudaya mengandung tuntutan atau keharusan bahwa budaya yang diciptakan manusia mengandung nilai–nilai etik yang kurang lebih bersifat universal atau diterima sebagian besar orang. Budaya yang memiliki nilai–nilai etik adalah budaya yang mampu menjaga, mempertahankan, bahakan mampu meningktkan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Sebaliknya, budaya yang beretika adalah kebudayaan yang akan merendahkan atau bahkan menghancurkan martabat kemanusiaan.

(20)

kebudayaan. Hal ini dikarenakan berlakunya nilai–nilai etik bersifat universal, namun amat dipengaruhi oleh ideologi masyarakatnya.

Di samping sebagai kewajiban moral atau kumpulan azas dan nilai-nilai tentang perilaku dari suatu komunitas termasuk profesi. Pengertian baik atau buruk tidak sekedar menurut perasaan seseorang, tetapi harus berpijak dari wawasan religiusitas (keyakinan agama). Meskipun perilaku perbuatan manusia beragam dan berbeda-beda, tetapi kemanusiaan (tabiat asli manusia) selalu sama, yaitu berpangkal dari kegiatan akal. Manakala akal telah mampu menyerap nilai-nilai religius, maka akan mengarahkan seseorang berperilaku sopan, santun, hormat, bijak, ulet dan kreatif. Dengan demikian melalui tata nilai etika dan logika, seseorang mampu memelihara kepribadian dan jati dirinya sebagai seorang yang bermoral.

Pada dasarnya bentuk ekspresi seni adalah suatu wadah yang berfungsi menampung semua muatan ide (gagasan) dan nilai-nilai. Bentuk tersebut sangat dinamis, berkembang dan terus bergerak, sehingga terbuka untuk semua perubahan. Namun karena estetika merupakan inti seni dan cerapan indra yang bebas dari batasan geografis dan ideologi, maka kerangka dasar bentuk estetika tidak seni, karena adanya perbedaan dalam elemennya. Friedrich Schiller memandang bahwa keindahan sebagai obyek bagi kita, karena renungan terhadapnya adalah kondisi yang dapat kita rasakan. Namun keindahan juga merupakan subyek, karena perasaan adalah kondisi yang memungkinkan kita memperoleh persepsi darinya. Ia juga berpendapat bahwa seni berhubungan dengan naluri bermain. Naluri bermain itu adalah mimesis/meniru alam. Dalam bermain terdapat suasana kebebasan tanpa tujuan praktis, bermain demi permainan itu sendiri, mengarah pada kesenangan relaksasi. Dalam bermain, manusia bersatu dan menjadi bagian dari alam. Naluri bermain itu kemudian berubah menjadi estetika ketika manusia mulai memisahkan dirinya dengan alam dan merenungkan alam itu bagi dirinya.

(21)

Collingwood membedakan antara seni murni dengan craft16 (kerajinan tangan). Keduanya memang bisa menghasilkan kepuasan estetik pada manusia. Perbedaannya ada pada tujuan masing-masing. Seni murni bertujuan komunikasi yang merupakan ekspresi, penuangan perasaan agar sampai kepada orang, sedangkan craft bertujuan untuk penggunaan praktis, bahwa seni dapat digunakan sebagai alat yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. Collingwood membagi lagi wilayah seni murni menjadi dua bagian, yaitu seni sejati (proper art) dan seni palsu atau seni hiburan (false art). Seni sejati merupakan karya-karya seni yang hanya mengekspresikan perasaan spontan si seniman. Dan semua karya-karya seni lain yang mengekspresikan sesuatu, digolongkan sebagai seni palsu (seperti kesenian hiburan yang bermaksud menggugat perasaan tertentu, atau kesenian sakral yang bermaksud spiritual).

Menurut pengertiannya agama adalah suatu sistem tata keimanan atau tata keyakinan atas adanya sesuatu Yang Mutlak di luar manusia, serta sistem kaidah yang mengatur hubungan sesama manusia dan dengan alam lainnya sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaksud. Agama yang diwahyukan Tuhan benihnya muncul dari pengenalan dan pengalaman manusia di bumi ketika menemukan keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Bagi seorang yang beragama akan senantiasa mencari dan mendapatkan yang benar melalui ilmu, yang baik melalui akhlak, dan yang indah melalui seni. Apabila pengertian seni dikaitkan dengan ungkapan perasaan, maka antara seni dan agama saling berhubungan, karena terdapat unsur emosional. Sebagai suatu manifestasi budaya (ide, rasa, karsa, karya) manusia, seni adalah bagian dan refleksi dan kehidupan manusia. Seni dan agama masing-masing berdiri sencliri, keduanya dapat saling berhubungan dalam arena kegiatan manusia. Akibat saling berhubungan tersebut dapat melahirkan seni tertentu yang dijiwai dan diwarnai agama tersebut. Hasil ekspresi atau karya seni yang dimaksud adalah hasil kreasi yang sejalan dengan nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Untuk mengekspresikan hubungan manusia dengan Tuhannya dalam agama terdapat wilayah yang disebut sendi etika. Setiap ajaran agama menghargai

(22)

segala kreasi manusia yang lahir dari penghayatan rasa terhadap semua wujud seni, selama tidak bertentangan dengan norma agama.

Seni adalah perkara rasa dan seni mesti dirasakan baik oleh seniman maupun kepada penanggapnya meminta ketajaman kepekaan. Pada hakikatnya rasa kagum dan pengalaman estetis terhadap alam jagat raya ciptaan Tuhan akan mampu menumbuhkan rasa iman dan pengalaman religius.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Paradigma Penelitian

Penelitian menggunakan paradigma kritis sebagai cara memahami pola komunikasi dan interaksi anggota masyarakat Betawi dalam kaitan dengan sistem kepercayaan dan berkesenian.

(23)

menempatkan rakyat sebagi subjek utama perubahan sosial dan rakyat haruslah diletakkan sebagaipusat proses perubahan dan penciptaan serta mengontrol pengetahuan itu sendiri. Jadi dalam hal ini,paradigma kritis boleh dikatakan memiliki dimensi aksi dan politis. Karena menurut paradigma ini tidakmungkin memisahkan antara teori sosial dan aksi politik, hal merupakan konsekuensi asumsi yangketiga dimilikinya. Di sinilah nantinya peran ilmu komunikasi seharusnya mampu memungkinkan setiaporang untuk memberikan partisipasi dan kontribusinya masing-masing dalam perubahan sosialkemasyarakatan baik tingkat lokal maupun global.

3.2. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah pendekatan etnografi. Dengan istilah etnografi, secara sederhana kita dapat mengartikannya sebagai ilmu tentang etnos/’folk’ kelompok/bangsa/masyarakat/budaya). Etnografi adalah deskripsi tentang kelompok manusia, berkembang dari penelitian antropologis mengenai kelompok masyarakat ‘primitif’/’eksotis’.17

Etnografi kritis melibatkan diri terhadap kajian faktor-faktor sosial, seperti ketidakadilan, ketimpangan, kekuasaan, dan meneliti asumsi-asumsi akal sehat, seperti gender.18

Namun pada penelitian ini tidak menitikberatkan pada gender, karena fokusnya pada kesenian ondel-ondel masyarakat Betawi, apa yang akan dianalisa secara kritis mengenai pihak-pihak yang turut serta berpengaruh dalam perubahan etika dan estetika kesenian ondel-ondel. Menurut Kinchelue, etnografi kritis membolehkan metode yang tidak ditempuh oleh etnografi konvensional, hubungan antara pembebasan dengan sejarah, tetapi tugasnya adalah untuk mempertanyakan pengondisian sosial dan budaya terhadap aktivitas sosial manusia dan struktur-struktur sosiopolitik yang dominan.19

17 E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia,

LPSP3, Depok: 2007, hal 126.

18 Daymon dan Holloway 2008:205 dalam Nina W. Syam, Sosiologi sebagai Akar

Ilmu Komunikasi, Simbiosa Rekatama Media, Bandung: 2012, hal 51

19 Nina W. Syam, Sosiologi sebagai Akar Ilmu Komunikasi, Simbiosa Rekatama

(24)

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini merupakan proses gabungan integral dari banyak teknik pengumpulan data yang ada.

1. Kegiatan lapangan: pengumpulan data di lapangan melalui berbagai metode seperti penggabungan observasi, partisipasi dan wawancara, dengan peneliti tinggal di lapangan

2. Penelitan etno-historis: pengumpulan data lebih mendasarkan diri pada studi dokumen (surat, kisah hidup, catatan harian)

3.4. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari dokumen dan melalui wawancara mendalam diolah atau dianalisa dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif adalah data-data yang berbentuk kata-kata, kalimat dan narasi-narasi. Dalam analisis data pada penelitian kualitatif membutuhkan kepekaan teoritis, karena dalam keseluruhan proses penelitian khususnya saat menganalisis data, peneliti sesungguhnya sedang melakukan upaya mengembangkan teori atau berteori. Hal itu bertujuan supaya memungkinkan peneliti keluar dari keterbatasan pemikiran entah karena keterbatasan kepustakaan atau karena keterbatasan pengalaman personal yang dimiliki. Selain itu juga merangsang proses induktif, memungkinkan klarifikasi dan upaya mengungkap fakta di balik asumsi, menghindarkan peneliti dari kecenderungan terlalu cepat mengambil kesimpulan bahwa yang dicarinya telah ditemukan, serta memungkinkan dilakukannya eksplorasi dan klarifikasi terhadap dugaan dan kesimpulan yang dikembangkan.20

20 E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia,

(25)

DAFTAR PUSTAKA

A. M. Djelantik, A. Estetika: Sebuah Pengantar. Bandung: 1990.

Barker, Chris. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Terj. Tim KUNCI Cultural Studies Centre. Bentang: 2005.

Bennet, Tony. Popular Culture: A Teaching Object, Screen Education (1980) yang dikutip dalam buku Keith Tester. Media, Budaya dan Moralitas. terj. Muhammad Syukri. Kreasi Wacana dan Juxtapose. 2003.

Edgar, Andrew and Peter Sedgwick (ed.). Cultural Theory The Key Concepts, Routledge. 1999.

Honneth, Axel. Cambridge Companion to Critical Theory. Cambridge: Cambridge University Press. 2004.

Horkheimer, Max & Theodor W. Adorno. Dialectic of Enlightenment. terj. Ahmad Sahidah. Dialektika Pencerahan. Yogyakarta: IRCiSoD. 2002.

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. 1990.

Marcuse. One Dimensional Man: Studies in The Ideology of Advanced Industrial Society. London: Routledge. 1964.

Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, LPSP3, Depok: 2007.

Rostow, Walt W. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. Cambridge: University Press. 1960.

______________. The Stages of Economic Growth dalam Economic History Review, New Series. Vol. 12, No. 1. Cambridge: Blackwell Publishing. 1959.

(26)

Storey, John. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. terj. Laily Rahmawati, Jalasutra: 2007.

Syam, Nina W. Sosiologi sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Simbiosa Rekatama Media. Bandung: 2012.

Sztomka, Piotr. Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada, 2008.

http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/12/ondel-ondel-simbol-budaya-jakarta-yang-kian-menjadi-usang

Referensi

Dokumen terkait

dalil, (4) bersifat emik, penelitian tindakan kelas memandang pembelajaran menurut sudut pandang orang dalam yang tidak berjarak dengan peneliti, (5)

fraction tiles dapat menstimulasi siswa dalam menemukan dan menggambarkan nilai pecahan dengan model luasan, mengkaitkannya dengan konsep garis bilangan, menentukan hubungan antara

didapatkan rekapitulasi rata-rata bobot normalisasi untuk keseluruhan subkriteria tanpa mengikut sertakan alternatif yang nantinya akan digunakan sebagai inputan untuk proses

Melaksanakan kegiatan pengabdian pada masyarakat secara mandiri dalam rangka pendidikan dan pengajaran pada mahasiswa pada program sarjana strata satu (S1), atau

1) Setelah mengamati video pembelajaran tayangan power point di youtube/WA, siswa dapat menganalisis mean dalam sebuah data dengan tepat. 2) Melalui kegiatan diskusi

Berdasarkan data yang diperoleh ditemukan bahwa kegiatan pembelajaran menggunakan media papan ejaan dengan model pembelajaran NHT dapat menyebabkan: (1)aktivitas siswa

Pengujian efektivitas agens pengendali hayati pada buah cabai di laboratorium menunjukkan hasil yang terbaik pada formula BAE 36 dengan keparahan penyakit antraknosa sebesar

Dibutuhkan sebuah sistem pengendali untuk mengatur gerakan sudut pitch dan roll pada quadcopter, sehingga dapat bergerak dengan stabil dan mampu mengatasi gangguan dari