• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi kegiatan keagamaan pada program pendidikan inklusi dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus):studi multi kasus pada SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi kegiatan keagamaan pada program pendidikan inklusi dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus):studi multi kasus pada SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya."

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KEGIATAN KEAGAMAAN PADA

PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSI DALAM

MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA ABK

(ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS)

(Studi Multi Kasus pada SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya)

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Pendidikan Agama Islam

Oleh

Fani Fenti Fitriyanti

NIM.F02315055

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Fani Fenti Fitriyanti, Implementasi Kegiatan Keagamaan pada Program Pendidikan Inklusi dalam Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) (Studi Multi Kasus pada SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya). Tesis, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, tahun 2017.

Kata Kunci: Kegiatan Keagamaan, Percayaan Diri, ABK (Anak Berkebutuhan Khusus).

Penelitian Tesis ini memfokuskan pada implementasi kegiatan keagamaan pada program pendidikan inklusi dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) memang cenderung terlihat kurang percaya diri. Di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya, keduanya sama-sama Sekolah Negeri tetapi kegiatan didalam sekolah tersebut tidak meninggalkan kegiatan keagamaan, dan merupakan bagian dari sekolah yang turut membantu dalam perkembangan anak-anak yang berkebutuhan khusus, dengan arti lain ikut membantu dalam memenuhi hak seluruh warga Indonesia yakni memperoleh pendidikan yang layak.

Adapun tujuan penelitiannya adalah untuk memperoleh informasi tentang kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus), pelaksanaan kegiatan keagamaan pada program pendidikan inklusi dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus), dan tentang faktor pendukung, penghambat serta solusinya dari kegiatan keagamaan pada program pendidikan inklusi dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya.

Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologis, jenis penelitiannya adalah deskriptif. Sumber datanya adalah sumber data primer dan sekunder. Jenis datanya adalah kualitatif. Metode pengumpulkan datanya adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis datanya adalah analisis data kualitatif, mengikuti konsep Miles and Humberman yang meliputi reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Adapun pengecekan keabsahan data yang digunakan adalah dengan teknik triangulasi, yaitu triangulasi data dan triangulasi metodologis.

Hasil penelitian Tesis ini yang pertama adalah, kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya, memiliki tingkat kepercayaan diri yang berbeda-beda sesuai karakteristiknya.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 10

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Tujuan Penelitian ... 11

E. Kegunaan Penelitian ... 12

F. Penelitian Terdahulu ... 13

G. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kepercayaan Diri 1. Pengertian Kepercayaan Diri ... 20

(8)

2. Jenis-Jenis Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ... 24

C. Kegiatan Keagamaan di Sekolah ... 36

D. Program Pendidikan Inklusi 1. Pendidikan Inklusi ... 38

2. Program Pendidikan Inklusi ... 40

E. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)... 41

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 43

B. Sumber Data dan Jenis Data ... 45

C. Teknik Pengumpulan Data ... 47

D. Teknik Analisis Data ... 49

E. Pengecekan Keabsahan Data ... 51

BAB IV PAPARAN DATA PENELITIAN A. Profil SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya ... 54

B. Kepercayaan Diri Siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya ... 73

C. Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan pada Program Pendidikan Inklusi dalam Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya ... 80

D. Faktor Pendukung dan Penghambat dari Kegiatan

(9)

Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa ABK (Anak

Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36

Surabaya ... 90

BAB V ANALISIS DATA

A. Kepercayaan Diri Siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)

di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya ... 103

B. Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan pada Program Pendidikan

Inklusi dalam Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa ABK

(Anak Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan

SMPN 36 Surabaya ... 111

C. Faktor Pendukung, Penghambat, serta Solusinya dari

Kegiatan Keagamaan pada Program Pendidikan Inklusi

dalam Meningkatkan Kepercayaan Diri Siswa ABK (Anak

Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36

Surabaya ... 116

BAB VI PENUTUP

A. Kesimpulan ... 123

B. Saran-saran ... 129

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk paling mulia dan sempurna yang diciptakan

oleh Allah SWT. Dan manusia adalah sebaik-baik ciptaan dibandingkan

makhluk-makhluk Allah yang lain. Manusia dilengkapi akal yang

membedakannya dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Kedudukan akal

dalam Islam adalah suatu kelebihan yang diberikan Allah kepada manusia

dibanding dengan makhluk-makhluk Allah yang lain. Dengan akal, manusia

dapat berfikir, manusia mampu membedakan antara yang haq (benar) dengan

yang bathil (salah). Dengan akal pula, manusia mampu merenungkan dan

mengamalkan sesuatu yang benar. Dengan karunia akal, manusia diharapkan

dapat memilah dan memilih nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan.

Mengenai manusia yang diciptakan dengan sebaik-baik bentuk dan pentingnya

akal sebagai alat berfikir, Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS. At-Tiin : 4).1 kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada

1

(11)

2

Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir”. (QS. Al-Hasyr : 21).2

Akan tetapi di realita sosial kehidupan manusia, terdapat proses dan

usaha berfikir manusia yang berbeda-beda, cara bernalar, kemampuan berfikir,

kecerdasan budi, dan kenormalan berfikir logis. Perbedaan cara berfikir dan

kemampuan bernalar normal manusia tergantung tingkat kenormalan sebuah

akal. Manusia normal dan manusia kurang normal ataupun yang biasanya

diistilahkan manusia yang berkebutuhan khusus, semuanya juga dianugerahi

Allah akal sebagai alat berfikir. Hanya saja yang membedakannya adalah cara

mereka ketika berfikir dan memikirkan sesuatu. Maka dari sini telah

disepakati, bahwa dalam fenomena sosial, manusia dikelompokkan menjadi

dua jenis manusia pada umumnya, yang dinilai dari cara berfikir logis mereka,

yakni manusia normal yang bisa berfikir sesuai hukum logika dan manusia

kurang normal ataupun berkebutuhan khusus yang berfikir kurang sesuai

dengan hukum logika.

Problem yang terjadi di sosial masyarakat, dari berbedanya cara

berfikir antara manusia normal dan berkebutuhan khusus terkadang membuat

manusia yang berstatus berkebutuhan khusus dipandang sebelah mata,

dianggap tidak layak untuk mendapatkan hal yang sama, begitupula mereka

beranggapan dalam dunia pendidikan. Padahal pendidikan adalah cara yang

paling dasar untuk membentuk mental dan kepribadian seorang manusia.

Semua manusia berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Mereka

semua berhak mendapatkan pendidikan. Dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (1),

2

(12)

3

“Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran”. Dan didalam UUD

Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 5 ayat

1 dan 2 dinyatakan bahwa, “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama

untuk memperoleh pendidikan yang bermutu” dan “warga negara yang

memiliki kelainan fisik, mental, intelektual dan sosial berhak memperoleh

pendidikan khusus”.3 Hal itu berarti setiap warga negara yang berstatus normal

ataupun berkebutuhan khusus, semua berhak mendapatkan pengajaran, hanya

saja dalam proses pengajarannya antara anak normal dan anak berkebutuhan

khusus mempunyai perbedaan tersendiri. Normal ataupun berkebutuhan

khusus, mereka semua mendapat jaminan hak penuh dalam memperoleh

pendidikan.

Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia.

Hal ini berarti bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap untuk

selalu berkembang dalam pendidikan. Pendidikan secara umum mempunyai

arti suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk

dapat hidup dan melangsungkan kehidupan. Sehingga menjadi seorang yang

terdidik itu sangat penting.

Dalam Islam, pelaksanaan pendidikan tidak hanya penting dan

dibutuhkan, akan tetapi telah menjadi sebuah perintah yang wajib hukumnya.

ملْسم لـك ىلـع ٌةـ ـْي رـف مْلـعـْلا بلــ

ةملْسمو

”Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim

perempuan”. (Muttafaqun „Alaih).4

3

Undang-Undang Republik Indonesia. No 22 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Bandung: Citra Umbara, 2006), 72.

4

Jalaluddin Abdurrahman Ibnu Abi Bakar As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir fi Ahadits Al-Basyir

(13)

4

هـْيـلـعـفايــْندـلا دا را ْنم

را ْنم و مْلـعـْلاـب هـْيــلـعـف ة رخأا دا را ْنمو مْلـعـْلاـب

مـــْلـعـْل اـب هــْيــلــعــف اـمـه دا

“Barangsiapa yang menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan urusan dunia wajib ia memiliki ilmunya. Dan barangsiapa yang ingin (bahagia) di akhirat, wajib ia memiliki ilmunya. Dan barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, wajib pula ia memiliki ilmu kedua-duanya”. (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).5

Agama Islam sangat menegaskan, bahwa untuk mencapai derajat

kebahagian dalam hidup baik di dunia sampai akhirat, manusia harus

mempunyai ilmunya, sedangkan untuk mencapai sebuah ilmu tersebut

manusia harus melakukannya melalui pendidikan, khususnya pendidikan

agama Islam. Sehingga secara umun akan terwujud kehidupan manusia sesuai

dengan tujuan yang dicita-citakan.

Menurut Ahmad D Marimba dalam bukunya yang berjudul Pengantar

Filsafat Pendidikan Islam menjelaskan bahwa pendidikan dimaknai sebagai

bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap

perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya

kepribadian yang utama.6

Hal itu berarti Pendidikan Agama Islam tidak hanya diberikan kepada

anak normal saja, tetapi juga diberikan kepada anak yang mempunyai

kebutuhan khusus (ABK) dan kekurangan fisik atau mental. Karena manusia

mempunyai hak yang sama dihadapan Allah SWT. Pendidikan Agama Islam

merupakan pendidikan dengan melalui ajaran-ajaran agama Islam, yaitu

berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah

5

(14)

5

selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan

ajaran-ajaran agama Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta

menjadikan ajaran agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi

keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.7

Dikarenakan pendidikan Islam disini berlaku untuk semua umat manusia,

maka setiap orang berhak untuk mendapatkan pendidikan tersebut, baik itu

melalui pendidikan formal ataupun nonformal, baik itu normal ataupun

berkelainan. Semua berhak atas pendidikan sesuai dengan bakat dan potensi

yang dimilikinya.

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak dengan karakteristik

khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya.8 Anak Berkebutuhan

Khusus (ABK) merupakan anak yang memerlukan pelayanan secara khusus

dari anak-anak lainnya dikarenakan adanya kelainan khusus. Setiap anak

mempunyai kekurangan dan kelebihan tersendiri. Kekurangan anak tidak bisa

dianggap sepenuhnya tidak mempunyai kelebihan, dia mempunyai

kekurangan dan kelebihan tersendiri.

Adapun dalam permendiknas NO 70 Tahun 2009 pasal 3 ayat 1, yang

disebutkan anak berkebutuhan khusus antara lain: tunanetra, tunarungu,

tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban

belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan

6

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1962), cet. Ke-10, 31.

7

Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), cet. Ke-9, jilid 1, 86.

8

(15)

6

narkoba, obat terlarang dan zat adaptif lainnya, anak tunaganda dan anak yang

memiliki kelainan lainnya.9

Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan bagian

Pendidikan Luar Biasa (PLB), pendidikan yang secara keseluruhan berbeda

dari pendidikan pada umumnya, sehingga diperlukan metode dan strategi

pembelajaran serta pendekatan belajar yang khusus pula yang disesuaikan

dengan kondisi anak tersebut, khususnya pada pembelajaran Pendidikan

Agama Islam (PAI).

Diluar pembelajaran di kelas, anak berkebutuhan khusus juga

memerlukan kegiatan diluar kelas yang menunjang pendidikannya, disamping

itu juga agar bermanfaat untuk kehidupan sehari-harinya. Kegiatan-kegiatan

keagamaan tersebut beraneka ragam, seperti halnya kegiatan yang akan

dibahas pada Tesis ini yaitu tentang kegiatan keagamaan pada program

pendidikan Inklusi dimana dalam kegiatan-kegiatan tersebut berisikan

kegiatan yang bersifat religious.

Pengertian Keagamaan secara etimologi, istilah keagamaan itu berasal

dari kata “Agama” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” sehingga

menjadi keagamaan. Kaitannya dengan hal ini, arti keagamaan sebagai

berikut: Keagamaan adalah sifat-sifat yang terdapat dalam agama atau segala

sesuatu mengenai agama, misalnya perasaan keagamaan, atau soal-soal

keagamaan.10 Adapun secara istilah pengertian “Agama” dapat dilihat dari 2

9

Dedy Kustawan, Pendidikan Inklusif dan Upaya Implementasinya (Bandung: PT Luxima Metro Media, 2012), cet.Ke-1, jilid 1, 24-31.

10

(16)

7

aspek yaitu; pertama, Aspek Subyektif (pribadi manusia) dan kedua, Aspek

Objektif.11

Aspek subyektif agama mengandung pengertian tingkah laku manusia

yang dijiwai oleh nilai-nilai keagamaan yang berupa getaran batin yang dapat

mengatur dan mengarahkan tingkah laku tersebut kepada pola hubungan antar

manusia dengan Tuhannya dan pola hubungan dengan masyarakat serta alam

sekitarnya. Aspek objektif agama dalam pengertian ini mengandung nilai-nilai

ajaran Tuhan yang bersifat menuntun manusia kearah tujuan sesuai dengan

kehendak ajaran tersebut.

Keberhasilan dalam mencapai tujuan pembelajaran merupakan suatu

hal yang sangat diimpikan oleh setiap pengajar dalam setiap kegiatan belajar

mengajar. Apabila berbicara tentang keberhasilan, maka tidak terlepas dari

sebuah proses atau usaha yang dilakukan serta metode-metode yang

diterapkan dalam pembelajaran dan juga cara mengukur keberhasilan belajar

siswa yang harus disesuaikan dengan karakteristik anak tersebut.

Anak berkebutuhan khusus (ABK) memang cenderung terlihat kurang

percaya diri, mereka asyik dengan dunia mereka sendiri, tidak melihat

lingkungan sekitar, dan mengabaikan apa yang ada disekitarnya. Self

confidence atau rasa percaya diri ini penting dimiliki oleh setiap orang, tidak

hanya siswa reguler saja, anak berkebutuhan khusus pun juga penting

memiliki sifat ini. Self confidence merupakan adanya sikap individu yang

yakin akan kemampuannya sendiri untuk bertingkah laku sesuai dengan yang

11

(17)

8

diharapkannya sebagai suatu perasaan yang yakin pada tindakannya,

bertanggung jawab terhadap tindakannya dan tidak terpengaruh oleh orang

lain.12 Orang yang memiliki kepercayaan diri mempunyai ciri-ciri: toleransi,

tidak memerlukan dukungan orang lain dalam setiap mengambil keputusan

atau mengerjakan tugas, selalu bersikap optimis dan dinamis, serta memiliki

dorongan prestasi yang kuat.

Adapun yang akan menjadi objek penelitian dalam kajian penulisan

Tesis ini adalah SMPN 5 Surabaya di jalan Rajawali, Krembangan Selatan

No.57 dan SMPN 36 Surabaya di jalan Kebonsari No.15. Keduanya

sama-sama Sekolah Negeri tetapi kegiatan didalam sekolah tersebut tidak

meninggalkan kegiatan keagamaan. Di SMPN 5 Surabaya untuk memulai

kegiatan belajar mengajar (KBM) siswa membaca tilawah Al-Quran, setiap

pagi ada sholat dhuha berjamaah, dan lain sebagainya. Di SMPN 36 Surabaya,

sebelum kegiatan belajar mengajar (KBM) dimulai siswa membaca Al-Quran

bersama-sama, sholat Jumat berjamaah bagi siswa laki-laki, bagi siswi

perempuan ada kelas keputrian dan sholat dhuhur berjamaah, hafalan doa

sehari-hari di ruang khusus ABK, dan lain sebagainya. Di SMPN 5 Surabaya,

siswa ABK turut serta dalam PENSI (pentas seni) yang diadakan setiap 1

tahun 4 kali dalam merayakan hari besar Islam maupun hari besar Nasional,

didalam kegiatan tersebut siswa ABK memperlihatkan keahlian

masing-masing. Ada beberapa keahlian siswa ABK seperti menari, bernyanyi, dan

lain-lain. Tetapi yang saya fokuskan adalah kegiatan keagamaan (ke-Islaman)

12

(18)

9

yaitu ada siswa ABK yang memperlihatkan Qiro‟ahnya, bersholawat, dan

membaca doa sehari-hari. Di SMPN 36 Surabaya, siswa ABK juga turut serta

dalam acara PENSI (pentas seni) di sekolah, seperti Qiro‟ah, hafalan doa-doa,

puisi Islami, pidato atau dakwah, dan lain sebagainya.

SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya yang berada di daerah

Surabaya adalah bagian dari sekolah yang turut membantu dalam

perkembangan anak-anak yang berkebutuhan khusus, sekolah ini adalah

sekolah menengah pertama negeri yang sekaligus menyelenggarakan sekolah

inklusi yang didalamnya terdapat siswa yang berkebutuhan khusus, bimbingan

khusus, dan pendidikan khusus.

SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya memberikan kebutuhan

yang diperlukan bagi mereka-mereka yang dianggap berkebutuhan khusus

(ABK) dalam kaca mata sosial bermasyarakat, dengan arti lain SMPN 5

Surabaya dan SMPN 36 Surabaya ini ikut membantu dalam memenuhi hak

seluruh warga Indonesia yakni memperoleh pendidikan yang layak. Karena

ketersediaan waktu yang sedikit bagi peneliti, maka penelitian ini hanya

difokuskan pada kegiatan keagamaan pada program pendidikan inklusi dalam

meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)

(studi multi kasus pada SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya).

Sesuai dengan pemaparan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti

implementasi kegiatan keagamaan pada program pendidikan inklusi dalam

meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)

(19)

10

itu menarik untuk dibicarakan dan diteliti lebih lanjut yang berguna untuk

lebih meningkatkan taraf pendidikan bangsa dan untuk mendapatkan

kebenaran yang jelas yang bisa dijadikan informasi kepada masyarakat. Maka

dari itu penulis mencoba mengangkat judul “IMPLEMENTASI KEGIATAN

KEAGAMAAN PADA PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSI DALAM

MENINGKATKAN KEPERCAYAAN DIRI SISWA ABK (ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS) (STUDI MULTI KASUS PADA SMPN 5

SURABAYA DAN SMPN 36 SURABAYA)”.

B. Identifikasi Dan Batasan Masalah

Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam pembahasan dan perluasan

pembahasan, maka dalam penulisan penelitian ini dibatasi pada implementasi

kegiatan keagamaan untuk siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di

SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya, yang mencakup semua kegiatan

keagamaan. Penelitian ini diteliti dari aspek kepercayaan diri siswa ABK

(Anak Berkebutuhan Khusus), pelaksanaan, faktor pendukung, penghambat

serta solusi tentang kegiatan keagamaan untuk siswa ABK (Anak

Berkebutuhan Khusus) dalam meningkatkan kepercayaan diri. Sehingga

penelitian ini mengarah kepada kegiatan keagamaan pada program pendidikan

inklusi dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak

Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya.

Pemilihan objek penelitian di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36

(20)

11

merupakan sekolah yang mempunyai program kegiatan keagamaan

didalamnya.

C. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang diatas dapatlah dirumuskan

permasalahannya yaitu:

1. Bagaimana kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di

SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya?

2. Bagaimana pelaksanaan kegiatan keagamaan pada program pendidikan

inklusi dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak

Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya?

3. Faktor apa yang menjadi pendukung dan penghambat dari kegiatan

keagamaan pada program pendidikan inklusi dalam meningkatkan

kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5

Surabaya dan SMPN 36 Surabaya?

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuannya adalah:

1. Untuk menemukan dan mendeskripsikan kepercayaan diri siswa ABK

(Anak Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36

Surabaya.

2. Untuk menemukan dan mendeskripsikan pelaksanaan kegiatan keagamaan

pada program pendidikan inklusi dalam meningkatkan kepercayaan diri

siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan

(21)

12

3. Untuk menemukan dan mendeskripsikan faktor pendukung dan

penghambat dari kegiatan keagamaan pada program pendidikan inklusi

dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan

Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya.

E. Kegunaan Penelitian

1. Secara akademis

Dengan adanya Tesis ini, diharapkan dapat menambah wawasan

dan hasanah keilmuan terutama dalam ilmu pendidikan dan pengajaran

Pendidikan Agama Islam khususnya dalam masalah pelaksanaan kegiatan

keagamaan pada program pendidikan inklusi dalam meningkatkan

kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) dan juga dapat

menjadikan sebagai alternatif jawaban dalam memecahkan masalah

berkenaan dengan proses implementasi kegiatan keagamaan pada program

pendidikan inklusi dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK

(Anak Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36

Surabaya.

Adapun disisi lain Tesis ini juga diharapkan dapat membangkitkan

semangat para guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan dapat memberikan

pengalaman bagi mereka tentang kegiatan keagamaan dan cara atau

metode yang efektif untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK

(Anak Berkebutuhan Khusus), karena mengingat bahwasannya peran guru

(22)

13

lingkungan pendidikan, baik itu pendidikan bagi anak yang berkebutuhan

khusus maupun pendidikan pada umumnya.

2. Secara praktisi

a. Penelitian ini dapat menunjang pengembangan informasi tentang

kegiatan keagamaan pada program pendidikan inklusi dalam

meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan

Khusus) khususnya di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya, dan

Lembaga Pendidikan Islam pada umumnya.

b. Dapat memberikan gambaran tentang proses pelaksanaan kegiatan

keagamaan pada program pendidikan inklusi dalam meningkatkan

kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5

Surabaya dan SMPN 36 Surabaya.

c. Memberikan sumbangan ilmiah bagi kalangan Akademisi yang

mengadakan penelitian berikutnya baik meneruskan maupun

mengadakan riset baru.

F. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelusuran terhadap penelitian terdahulu (the prior

research), penulis menemukan beberapa karya ilmiah yang relevan dengan

penelitian ini yaitu:

1. Tesis Hayyan Ahmad Ulul Albab, mahasiswa pascasarjana UIN Sunan

Ampel Surabaya tahun 2015. Tesisnya berjudul Problematika

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Bagi Siswa Autis (Studi Kasus di

(23)

14

pertama, bagaimana proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam bagi

siswa autis di SMA Galuh Handayani? Yang kedua, apa saja problematika

yang dihadapi oleh guru dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam

bagi siswa autis di SMA Galuh Handayani? Dan yang ketiga, apa

upaya-upaya yang dilakukan oleh guru untuk mengatasi problematika

pembelajaran Pendidikan Agama Islam bagi siswa autis di SMA Galuh

Handayani? Bentuk penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Adapun

hasil penelitiannya, proses pembelajarannya menggunakan model

pembelajaran kelas reguler penuh atau inklusi penuh. Sedangkan

problematika yang dihadapi oleh guru yaitu problem materi, problem

prilaku, problem ketercapaian tujuan pembelajaran, problem konsentrasi

dan problem motivasi. Upaya-upaya yang dilakukan oleh guru untuk

mengatasi problematika tersebut yang pertama tentang solusi problem

materi, guru menyederhanakan materi pembelajaran PAI yang terdapat di

buku pelajaran, kemudian ditulis ulang di papan tulis oleh guru dengan

bahasa sendiri, yang mana bahasa itu hasil dari rangkuman atau

kesimpulan dari materi pelajaran PAI, sehingga para siswa bisa lebih

mudah untuk memahami apa yang akan dijelaskan oleh gurunya saat

semua siswa telah selesai menulis. Kedua solusi problem prilaku, guru

lebih banyak melakukan kegiatan membimbing dengan pendekatan

interaksi antara siswa dan guru, sehingga guru PAI bisa mengidentifikasi

apa saja kekurangan yang dihadapi oleh siswa autis. Ketiga solusi problem

(24)

15

tenaga profesional melakukan kegiatan pelatihan dengan metode lesson

study atau bisa dinamakan dengan in house training dan guru melakukan

pemahaman dari hasil observasi, identifikasi dan assessment dari siswa

autis. Keempat solusi problem konsentrasi, dengan melakukan program

layanan pembelajaran dan program layanan kekhususan. Dan kelima solusi

problem motivasi, guru PAI harus bisa menanamkan sikap bahwa semua

siswa autis itu seperti siswa normal pada umumnya dengan menerima

semua kekurangannya, sehingga dengan kekurangannya itu para guru bisa

membimbing siswa autis kearah yang lebih baik.13

2. Disertasi Aimmatul Husna, mahasiswa pascasarjana UIN Sunan Ampel

Surabaya tahun 2011. Disertasinya berjudul Hubungan antara Kegiatan

Keagamaan dengan Kesiapan Siswa dalam Menghadapi Ujian Nasional

Siswa Kelas IX SMP Negeri 1 Wonoayu Sidoarjo. Dengan rumusan

masalah yang pertama, bagaimana kegiatan keagamaan yang dilaksanakan

di SMP Negeri 1 Wonoayu Sidoarjo? Yang kedua, bagaimana kesiapan

siswa dalam menghadapi Ujian Nasional? Dan yang ketiga, apakah

terdapat hubungan antara kegiatan keagamaaan dengan kesiapan siswa

dalam menghadapi Ujian Nasional siswa kelas IX SMP Negeri 1 Wonoayu

Sidoarjo? Bentuk penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Dengan

menggunakan teknik analisa data berupa rumus analisa korelasi spearman

rank. Adapun hasil penelitiannya dari perhitungan tabel koefisien korelasi

antara kegiatan keagamaaan dengan kesiapan siswa diperoleh harga

13

(25)

16

termasuk pada hubungan yang tinggi. Dari nilai r tabel (nilai-nilai rho)

untuk sampel sebanyak 56 siswa dengan taraf signifikan 0,05 dan taraf

signifikan 0,01 berturut-turut adalah 0,364 dan 0,478, maka nilai r yang

diperoleh dari perhitungan lebih besar dari r tabel, maka r hasil

perhitungan signifikan. Selanjutnya, uji signifikan koefisien korelasi

antara kegiatan keagamaaan dengan kesiapan siswa, dengan serta taraf

signifikan 0,05 diperoleh t hitung 10,892. Dari perhitungan uji statistik

diperoleh t hitung 10,892 dengan dk = 56-2 = 54 maka t tabel 1.671. Jadi, t

hitung lebih besar dari t tabel. Maka Ho ditolak dan dapat disimpulkan

bahwa terdapat korelasi positif antara kegiatan keagamaaan dengan

kesiapan siswa dalam menghadapi Ujian Nasional.14

3. Jurnal penelitian dari Supangat Rohani dan Hamli Syaifullah, Optimalisasi

Pendidikan Karakter Untuk Menumbuhkembangkan Kemandirian Anak

Berkebutuhan Khusus (ABK). Jurnal penelitian ini berisikan tentang

optimalisasi pendidikan karakter untuk menumbuh kembangkan

kemandirian anak berkebutuhan khusus, dengan cara; Pertama, pendidikan

mental; dalam keluarga, masyarakat, dan sekolah, yang isinya tentang tiga

macam lembaga atau lingkungan pendidikan yang biasa disebut dengan

Tripusat Pendidikan. Adapun Tripusat Pendidikan yaitu keluarga (

al-usratu), sekolah (al-madrasatu), dan masyarakat (al-mujtama’). Kedua,

pendidikan formal, yang isinya tentang sekolah untuk Anak Berkebutuhan

2015)

14

(26)

17

Khusus dengan siswa reguler. Sekolah yang terdapat siswa ABK dan

reguler ini biasanya disebut dengan sekolah inklusi. Ketiga, pendidikan

alternatif (non formal), yang isinya tentang pentingnya pendidikan non

formal bagi Anak Berkebutuhan Khusus. Selain pendidikan formal,

pendidikan non formal juga penting. Orang tua yang mempunyai anak

yang berkebutuhan khusus harus mengubah paradigma berfikir dirinya

(orang tua) dan juga mengikutsertaan semua elemen masyarakat,

pemerintah, kaum cendikiawan, pengusaha (pembisnis) untuk anaknya

yang berkebutuhan khusus. Keempat, menumbuhkan kemandirian, yang

isinya tentang tujuan Tripusat Pendidikan yaitu untuk menumbuhkan sikap

kemandirian pada Anak Berkebutuhan Khusus. Dimana sikap kemandirian

ini akan sangat membantu kelangsungan hidupnya kelak setelah dewasa,

khususnya setelah berkeluarga ataupun setelah kedua orang tuanya

beranjak senja. Maka sebagai orang tua harus menumbuh kembangkan

kreatifitas Anak Berkebutuhan Khusus dan memperluas networking.15

Berdasarkan penelitian sebelumnya, tidak terdapat pembahasan yang

sama dengan penelitian ini. Jika dibandingkan dengan judul penelitian

peneliti, terdapat perbedaan yaitu; Tesis dari Hayyan Ahmad Ulul Albab lebih

menitikberatkan pada problematika dan upaya untuk mengatasi problematika

pembelajaran Pendidikan Agama Islam bagi siswa autis di SMA Galuh

Handayani Surabaya. Disertasi dari Aimmatul Husna lebih menitikberatkan

pada hubungan yang terdapat antara kegiatan keagamaan dengan kesiapan

15

(27)

18

siswa dalam menghadapi Ujian Nasional siswa kelas IX SMP Wonoayu

Sidoarjo. Dan jurnal penelitian dari Supangat Rohani dan Hamli Syaifullah

lebih menitikberatkan pada pendidikan karakter untuk menumbuhkembangkan

kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Sedangkan dalam penelitian

peneliti lebih fokus kepada implementasi keagamaan pada program

pendidikan inklusi dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak

Berkebutuhan Khusus) (studi multi kasus pada SMPN 5 Surabaya dan SMPN

36 Surabaya).

G. Sistematika Pembahasan

Agar pembahasan dalam penelitian (Tesis) ini mengarah kepada

maksud yang sesuai dengan judul, maka pembahasan ini penulis susun

menjadi enam bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab pertama, Pendahuluan, yang terdiri dari tujuh sub bab, yaitu: latar

belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, dan sistematika

pembahasan.

Bab kedua, Kajian pustaka, yang terdiri dari empat sub bab, yaitu:

kepercayaan diri, Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), kegiatan keagamaan di

sekolah, dan program pendidikan inklusi.

Bab ketiga, Metode penelitian, yang terdiri dari lima sub bab, yaitu:

pendekatan dan jenis penelitian, sumber dan jenis data, teknik pengumpulan

data, teknik analisis data, dan pengecekan keabsahan data.

(28)

19

Bab keempat, Paparan data penelitian, yang terdiri dari empat sub bab,

yaitu: profil SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya, kepercayaan diri

siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36

Surabaya, pelaksanaan kegiatan keagamaan pada program pendidikan inklusi

dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak Berkebutuhan

Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya, serta faktor

pendukung dan penghambat dari kegiatan keagamaan pada program

pendidikan inklusi dalam meningkatkan kepercayaan diri siswa ABK (Anak

Berkebutuhan Khusus) di SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya.

Bab kelima, Analisis data. Dan Bab keenam, Penutup, yang terdiri dari

(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Kepercayaan Diri

1. Pengertian Kepercayaan Diri

Self confidence is belief in your ability to succeed. Lack of self

confidence stops you even trying. Don't let lack of self confidence hold you

back.1 Adapun pengertian yang lain, percaya diri adalah sebentuk

keyakinan kuat pada jiwa, kesepemahaman dengan jiwa, dan kemampuan

menguasai jiwa.2

Menurut American heritage Dictionary, rasa percaya diri adalah

“Consciouness of one’s our power and abilities” (kesadaran akan

kekuatan dan kemampuan diri sendiri). Sementara Webters new world

dictionary mendefinisikan sebagai “Relience on one’s own powers”

(bergantung pada kekuatan diri sendiri).3

Dalam mengembangkan kualitas diri berarti mengembangkan

bakat yang dimiliki, mewujudkan impian-impian, meningkatkan rasa

percaya diri, menjadi kuat dalam menghadapi cobaan dan menjalani

hubungan baik dengan sesamanya. Perkembangan tidak terjadi dengan

sendirinya melainkan dengan melalui hubungan dan pergaulan dengan

manusia, juga dengan pembinaan dan pendidikan.4

1

Elizabeth J Tucker, A Matter of Self Confidence (America Serikat: Shepherd Creative Learning, 2015), 17.

2

Yusuf al-Uqshari, Percaya Diri Pasti (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), 13-14.

3

Whisnu Broto, Sukses Membangun Rasa Percaya Diri (Jakarta: Grasindo Anggota IKAPI, 2005), 1.

4

(30)

21

Pendidikan diharapkan bisa menjadi lingkungan yang

memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan

kemampuannya secara optimal. Sehingga ia dapat mewujudkan dirinya

dan memfungsikan sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan pribadi dan

lingkungannya.5 Syarat utama supaya anak didik bisa mandiri dalam

segala tindakan yaitu jika anak didik percaya pada kemampuan dan

kekuatan dirinya. Tanpa ada kepercayaan diri maka akan timbul keraguan

dalam segala tindakan, bahkan kadang-kadang dapat menyebabkan tidak

berani berbuat apapun termasuk dalam menyelesaikan suatu masalah

(tugas) tanpa mengharapkan bantuan orang lain.6

Rasulullah SAW pernah meminta kepada para sahabat agar

menghilangkan perasaan tidak percaya diri, lemah dan takut, tetapi harus

menambahkan Izzah (harga diri yang mulia), berani mengungkapkan

pendapat serta mengekspresikan pikiran dan perasaan tanpa takut kepada

manusia. Sebab rasa percaya diri yang sebenarnya didasari oleh perasaan

positif akan harga diri kita.7

a. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepercayaan Diri

Menurut Frieda, faktor-faktor yang mempengaruhi percaya diri

adalah:8

5

Utami Munandar, Perkembangan Kreativitas Anak Berbakat (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 6.

6

Ibid.,101.

7

(31)

22

1) Keluarga

Kepercayaan diri sebenarnya terbangun melalui proses dari

hari kehari selama masa hidup sesorang. Disini keluarga yang

terdiri dari ayah, ibu, ataupun saudara adalah sebagai landasan

dasar yang membangun dan membentuk seseorang sebagai suatu

individu yang memiliki karakteristik tertentu.

2) Lingkungan

Perlakuan, anggapan dan penilaian yang diterima seseorang

terutama didalam sebuah lingkungan yang jauh lebih besar dari

keluarga, dalam hal ini adalah masyarakat akan membentuk kriteria

penilaian seseorang terhadap suatu masalah baik yang

bersangkutan dengan dirinya atau orang lain.

3) Kematangan emosi

Emosi adalah bagian yang terpenting didalam pertumbuhan

seseorang sebagai individu, dimana emosi inilah yang terkadang

sangat berperan dalam penegasan identitas diri, dan pembentukan

citra diri.

4) Pengalaman masa lalu

Pengalaman yang terjadi pada masa lalu dapat

mempengaruhi pola pikir dan pandangan individu tentang

bermacam-macam hal, baik yang berasal dari diri sendiri

(mengalami sendiri) atau juga yang berasal dari orang lain.

8

(32)

23

5) Penerimaan diri

Orang yang dapat menerima keadaan dirinya biasanya akan

cenderung mempunyai kepercayaan diri (self confidence), karena ia

merasa yakin bahwa ia cukup andal atau bisa menerima apapun

tentang pandangan orang kepadanya, sehingga tidak merasa

terganggu dengan kekurangan-kekurangan ataupun kelebihan yang

ada pada dirinya sehingga ia dapat menerima kelebihan dan

kekurangan tersebut sebagai bagian dari dirinya yang utuh.

B. Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

1. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Anak Berkebutuhan Khusus atau biasa disebut dengan ABK adalah

anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada

umumnya.9 Anak Berkebutuhan Khusus juga diartikan anak yang secara

signifikan (bermakna) mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik,

mental-intelektual, sosial, emosional) dalam proses pertumbuhan/

perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya

sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus.10

Adapun yang dimaksud peneliti dengan Anak Berkebutuhan

Khusus dalam penelitian ini adalah anak berkebutuhan khusus yang ada di

SMPN 5 Surabaya dan SMPN 36 Surabaya.

9

(33)

24

2. Jenis-Jenis Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Ada bermacam-macam jenis Anak Berkebutuhan Khusus, namun

disini penulis hanya membahas tentang tunagrahita, tunadaksa, tunarungu,

tunawicara, down syndrome, autis, kemunduran mental (mental

retardation), AD/ HD (Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder), dan

kesulitan belajar. Adapun pengertiannya sebagai berikut:

a. Tunagrahita

Tunagrahita merupakan istilah yang digunakan untuk

menyebutkan anak atau orang yang memiliki kemampuan intelektual

dibawah rata-rata atau bisa juga disebut dengan retardasi mental,

tunagrahita ditandai dengan keterbatasan intelegensi dan

ketidakcakapan dalam interaksi sosial.11

Keterbatasan inilah yang membuat para tunagrahita sulit untuk

mengikuti program pendidikan seperti anak pada umumnya. Oleh

karena itu, anak-anak ini membutuhkan sekolah khusus dengan

pendidikan yang khusus pula. Adapun klasifikasi intelengensi

penyandang tunagrahita, sebagai berikut:12

1) Tunagrahita Ringan (Debil), intelegensinya adalah 50 – 60

2) Tunagrahita Sedang (Embisil), intelegensinya adalah 25 – 49

3) Tunagrahita Berat (Idiot), intelegensinya adalah < 25

10

Sri Budyartati, Problematika Pembelajaran (Yogyakarta: CV Budi Utama, 2014), 27.

11

Ibid.,49.

12

(34)

25

Pada penyandang tunagrahita, ciri-cirinya bisa dilihat jelas dari

fisik, antara lain:13

1) Penampilan fisik tidak seimbang (misalnya kepala terlalu kecil/

besar).

2) Pada masa pertumbuhannya dia tidak mampu mengurus dirinya.

3) Terlambat dalam perkembangan bicara dan bahasa

4) Cuek terhadap lingkungan.

5) Koordinasi gerakan kurang.

6) Sering keluar ludah dari mulut (ngeces).

b. Tunadaksa

Pada dasarnya kelainan pada peserta didik tunadaksa

dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu: kelainan pada sistem

serebral (cerebral system) dan, kelainan pada sistem otot dan rangka

(musculoskeletal system).14

Peserta didik tunadaksa mayoritas memiliki kecacatan fisik

sehingga mengalami gangguan pada; koordinasi gerak, persepsi dan

kognisi disamping adanya kerusakan syaraf tertentu. Sehingga dalam

memberikan layanan di sekolah memerlukan modifikasi dan adaptasi

yang diklasifikasikan dalam tiga kategori umum, yaitu; kerusakan

syaraf, kerusakan tulang, dan anak dengan gangguan kesehatan

lainnya.

13

Ibid.,52.

14

(35)

26

Kerusakan syaraf disebabkan karena pertumbuhan sel syaraf

yang kurang atau adanya luka pada sistem syaraf pusat. Kelainan

syaraf utama menyebabkan adanya cerebral palsy, epilepsi, spina

bifida, dan kerusakan otak lainnya.

Cerebral palsy, merupakan kelainan diakibatkan adanya

kesulitan gerak berasal dari disfungsi otak. Ada juga kelainan gerak

atau palsy yang diakibatkan bukan karena disfungsi otak, tetapi

disebabkan poliomyelitis disebut dengan spinal palsy, atau organ

palsy diakibatkan oleh distrophy muscular (kerusakan otot). Karena

adanya disfungsi otak, maka peserta didik penyandang cerebral palsy

menyebabkan mempunyai kesulitan bahasa, bicara, menulis, emosi,

belajar, dan gangguan-gangguan psikologis. Cerebral palsy

didefinisikan sebagai “Laterasi perpindahan yang abnormal atau

fungsi otak yang muncul karena kerusakan, luka, atau penyakit pada

jaringan syaraf yang terkandung dalam rongga tengkorak”.15

Pada penyandang tunadaksa, ciri-cirinya antara lain:16

1) Mengalami kelumpuhan fisik baik sebagian anggota gerak tubuh

atau semuanya.

2) Intelegensi rendah, sehingga lambat belajar dan memahami

sesuatu.

15

Ibid.,52.

16

(36)

27

3) Disfungsi motorik dapat berupa sulit menggerakkan bagian tubuh

secara normal, sulit berbicara, ekspresi tegang, wajah cemberut,

meneteskan air liur.

4) Kadang mengalami kekakuan otot secara tiba-tiba.

5) Kadang melakukan gerakan yang tidak terkontrol.

6) Gerakan tidak stabil dan mudah jatuh.

c. Tunarungu

Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian

daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu

berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan

pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan

pelayanan pendidikan khusus.17

Pada penyandang tunarungu, ciri-cirinya antara lain:18

1) Tidak mampu mendengar.

2) Terlambat perkembangan bahasa.

3) Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi.

4) Kurang/ tidak tanggap bila diajak bicara.

5) Ucapan kata tidak jelas.

6) Kualitas suara aneh/ monoton.

7) Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar.

8) Banyak perhatian terhadap getaran.

9) Keluar cairan (nanah) dari kedua telinga.

17

Ibid.,28.

18

(37)

28

d. Tunawicara

Tunawicara adalah seseorang yang bisu, atau juga bisa

dikatakan seseorang yang mengalami gangguan dalam berbicara, atau

ketidak mampuan untuk berbicara karena disebabkan oleh beberapa

faktor.19

Ciri-ciri seseorang yang mengalami gangguan berbicara antara

lain sebagai berikut:20

1) Memiliki gangguan audio sensoris atau tidak mampu memproses

input audio dengan baik.

2) Memiliki defisit dalam mengintegrasikan simbol audio dan visual.

3) Mengalami gangguan pendengaran, khususnya anak dengan

gangguan bahasa campuran reseptif - ekspresif.

4) Memiliki masalah dalam pengucapan yang berhubungan dengan

gangguan motorik, misalnya kemampuan untuk memproduksi

suara.

5) Sering mengalami pengulangan atau perpanjangan suara, kata, atau

suku kata.

6) Sering mengedipkan mata dan menggoyangkan kepala.

e. Down Syndrome

Down Syndrome merupakan salah satu bagian tunagrahita.

Down Syndrome merupakan kelainan kromosom, yakni terbentuknya

kromosom 21. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang

19

Ibid.,35.

20

(38)

29

kromosom saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan.

Sebenarnya, penyakit ini sudah dikenal sejak 1866 oleh Dr. John

Longdon Down. Namun, pada waktu itu kelainan ini belum terlalu

menjamur seperti sekarang.21

Pada penyandang down syndrome, ciri-cirinya antara lain:22

1) Tinggi badan yang relatif pendek.

2) Kepala mengecil.

3) Hidung yang datar menyerupai orang Mongolia (maka, anak Down

Syndrome ini juga dikenal dengan sebutan Mongoloid).

4) Lapisan kulit tampak keriput meskipun usianya masih muda.

f. Autis

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang yang

didapatkannya sejak lahir atau masa balita, yang membuat dirinya

tidak dapat berhubungan sosial atau komunikasi secara normal.

Ditinjau dari segi bahasa, autis berasal dari bahasa Yunani yang

berarti ‘sendiri’. Hal ini dilatar belakangi karena anak autis pada

umumnya hidup dengan dunianya sendiri, menikmati kesendirian, dan

tak ada seorangpun yang mau mendekatinya selain orang tuanya.23

Secara neurologis atau berhubungan dengan sistem

persyarafan, autis dapat diartikan anak yang mengalami hambatan

perkembangan otak, terutama pada area bahasa, sosial, dan fantasi.

Hambatan inilah yang kemudian membuat anak autis berbeda dengan

21

Ibid.,63.

22

(39)

30

anak lainnya. Dia seakan memiliki dunianya sendiri tanpa

memperhatikan lingkungan sekitarnya. Ironisnya, banyak orang yang

salah dalam memahami anak autis. Anak-anak autis dianggap gila,

tidak waras, dan sangat berbahaya sehingga mereka seperti terisolasi

dari kehidupan manusia lain dan tidak mendapatkan perhatian secara

penuh.24

Pada penyandang autis, ciri-cirinya antara lain:25

1) Sulit bersosialisasi dengan anak-anak lainnya.

2) Tertawa atau tergelak tidak pada tempatnya.

3) Tidak pernah atau jarang sekali kontak mata.

4) Tidak peka terhadap rasa sakit.

5) Lebih suka menyendiri (sifatnya agak menjauhkan diri).

6) Suka benda-benda yang berputar/ memutarkan benda.

7) Ketertarikan pada satu benda secara berlebihan.

8) Hiperaktif/ melakukan kegiatan fisik secara berlebihan atau malah

tidak melakukan apapun (terlalu pendiam).

9) Kesulitan dalam mengutarakan kebutuhannya (suka menggunakan

isyarat atau menunjuk dengan tangan dari pada kata-kata).

10) Menuntut hal yang sama (menentang perubahan atas hal-hal yang

bersifat rutin).

11) Tidak peduli bahaya.

12) Menekuni permainan dengan cara aneh dalam waktu lama

23

Ibid.,57.

24

(40)

31

13) Echolalia (mengulangi kata atau kalimat, tidak berbahasa biasa).

14) Tidak suka dipeluk (disayang) atau menyayangi.

15) Tidak tanggap terhadap isyarat kata-kata (bersikap seperti orang

tuli).

16) Tidak berminat terhadap metode pengajaran yang biasa.

17) Tantrums (suka mengamuk/ memperlihatkan kesedihan tanpa

alasan yang jelas).

18) Kecakapan motorik kasar/ motorik halus yang seimbang (seperti

tidak mau menendang bola, namun dapat menumpuk

balok-balok).

g. Kemunduran Mental (Mental Retardation)

Dalam bahasa medis, kemunduran mental disebut dengan

retardasi mental (mental retardation). Retardasi mental (mental

retardation) adalah keadaan ketika intelegensia individu mengalami

kemunduran atau tidak dapat berkembang dengan baik. Masa itu

terjadi sejak individu dilahirkan. Biasanya, terdapat perkembangan

mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama adalah

perkembangan mental yang sangat kurang. Retardasi mental disebut

juga oligofrenia (oligo artinya kurang atau sedikit, dan fren artinya

jiwa atau tuna-mental).26

25

Ibid.,59-60.

26

(41)

32

Tingkat retardasi mental menurut kesepakatan Asosiasi

Keterbelakangan Mental Amerika Serikat (American Association of

Mental Retardation) sebagai berikut:27

1) Retardasi mental lambat belajar (slow learner) – IQ = 85 – 90

Retardasi mental lambat belajar (slow learner) adalah

siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga dia

membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan dengan siswa lain

dengan potensi intelektual yang sama.28

2) Retardasi mental taraf perbatasan (borderline) – IQ = 70 – 84

Retardasi mental taraf perbatasan (borderline) adalah

gangguan kepribadian ambang. Pola berpikir dan perilaku menetap

yang fitur esensialnya adalah ketidakstabilan pervasif dalam

suasana perasaan, citra diri, dan hubungan interpersonal.29

3) Retardasi mental ringan (mild) – IQ = 55 – 69

Retardasi mental ringan (mild) merupakan level yang

umum. Anak dapat belajar keterampilan teoritis, dapat hidup

mandiri dengan latihan khusus misalnya belajar ilmu hitung.30

Karakteristik bagi penyandang retardasi mental ringan (mild) dapat

dilihat ketika anak beberapa kali gagal dalam naik kelas, dan

27

Sunaryo, M. Kes, Psikologi Untuk Keperawatan (Jakarta: EGC, 2004), 185

28

Ichsan Solihudin, Hypnosis for Parents (Jakarta: Mizan Pustaka, 2016), 40.

29

(42)

33

kelompok ini disebut dengan kelompok mampu didik dan dapat

dilatih untuk melakukan keterampilan mandiri dengan

membutuhkan bimbingan.31

4) Retardasi mental sedang (moderate) – IQ = 36 – 54

Penyandang retardasi mental sedang (moderate) dapat

dilatih dengan keterampilan tertentu, artinya hanya mampu dilatih.

Contohnya belajar keterampilan merawat diri, dan latihan sosial.32

5) Retardasi mental berat (severe) – IQ = 20 – 35

Penyandang retardasi mental berat (severe) sudah terjadi

gangguan penyerta, seperti perkembangan motorik dan bicara

sangat minim, keterampilan hanya dapat dilatih pada keterampilan

melakukan perawatan diri saja dan belum bisa mengambil manfaat

dan selalu diawasi.33

h. AD/ HD (Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder)

AD/HD (Attention Deficit/ Hyperactivity Disorder) adalah

gangguan pemusatan perhatian/ hiperaktivitas. Terutama terlihat di

sekolah, dan ditandai oleh in-atensi, overaktivitas, dan impulsivitas.34

Hyperactive bukan merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau

30

(43)

34

symptoms.35 Dimungkinkan terjadi bahwa seorang anak mempunyai

kelainan in-atensi disorder dengan hiperaktif (Attention Deficit

Disorder- with Hyperactivity) atau in-atensi disorder tanpa hiperaktif

(Attention Deficit Disorder). Symptoms terjadi disebabkan oleh

faktor-faktor: brain damage, an emotional disturbance, a hearing

deficit, or mental retardation. Banyak sebutan nama atau istilah

hiperaktif atau AD/ DH, antara lain; minimal cerebral dysfunction,

minimal brain damage (sekarang istilah ini tidak mempunyai nilai

atau tidak digunakan lagi bagi pendidik dan psikologis), minimal

cerebral palsy, hyperactive child syndrome, dan attention deficit

disorder- with hyperactivity.

Ciri-ciri yang sangat nyata berdasarkan definisi penyandang

AD/HD adalah:36

1) Selalu berjalan-jalan memutari ruang kelas dan tidak mau diam.

2) Sering mengganggu teman-teman di kelasnya.

3) Suka berpindah-pindah dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya dan

sangat jarang untuk tinggal diam menyelesaikan tugas sekolah,

paling lama bisa tinggal diam ditempat duduknya sekitar 5 sampai

10 menit.

4) Mempunyai kesulitan untuk berkonsentrasi dalam tugas-tugas di

sekolah.

5) Sangat mudah berperilaku untuk mengacau atau mengganggu.

35

(44)

35

6) Kurang memberi perhatian untuk mendengarkan orang lain

berbicara.

7) Selalu mengalami kegagalan dalam melaksanakan tugas-tugas di

sekolah.

8) Sulit mengikuti perintah atau suruhan lebih dari satu pada saat

yang bersamaan.

9) Mempunyai masalah belajar hampir diseluruh bidang studi.

10) Tidak mampu menulis surat, mengeja huruf dan berkesulitan

dalam surat menyurat.

11) Sering gagal di sekolah disebabkan oleh adanya in-atensi dan

masalah belajar karena persepsi visual dan auditory yang lemah.

i. Kesulitan Belajar

Anak yang berkesulitan belajar atau bisa juga disebut dengan

low average adalah anak yang secara nyata mengalami kesulitan

dalam tugas-tugas akademik khusus (terutama dalam hal kemampuan

membaca, menulis dan berhitung atau matematika), diduga

disebabkan karena faktor disfungsi neugologis, bukan disebabkan

karena faktor inteligensi (inteligensinya normal bahkan ada yang

diatas normal), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Anak berkesulitan belajar spesifik dapat berupa kesulitan belajar

membaca (disleksia), kesulitan belajar menulis (disgrafia) atau

36

(45)

36

kesulitan belajar berhitung (diskalkulia), sedangkan mata pelajaran

lain mereka tidak mengalami kesulitan yang signifikan (berarti).37

Pada anak yang berkesulitan belajar, ciri-cirinya antara lain:38

1) Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia);

perkembangan kemampuan membaca terlambat, kemampuan

memahami isi bacaan rendah, kalau membaca sering banyak

kesalahan.

2) Anak yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia); kalau

menyalin tulisan sering terlambat selesai, sering salah menulis

huruf (b dengan p, p dengan q, v dengan u, dan sebagainya), hasil

tulisannya jelek dan tidak terbaca, tulisannya banyak salah/

terbalik/ huruf hilang, sulit menulis dengan lurus pada kertas tak

bergaris.

3) Anak yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia);

sulit membedakan tanda-tanda (+, -, x, :, >, <, =), sulit

mengoperasikan hitungan/ bilangan, sering salah membilang

dengan urut, sering salah membedakan angka (angka 9 dengan 6,

17 dengan 71, 2 dengan 5, 3 dengan 8, dan sebagainya), sulit

membedakan bangun-bangun geometri.

C. Kegiatan Keagamaan di Sekolah

Pengertian Keagamaan secara etimologi, istilah keagamaan itu berasal

dari kata “Agama” yang mendapat awalan “ke” dan akhiran “an” sehingga

37

Ibid.,30.

38

(46)

37

menjadi keagamaan. Kaitannya dengan hal ini, arti keagamaan sebagai

berikut: Keagamaan adalah sifat-sifat yang terdapat dalam agama atau segala

sesuatu mengenai agama, misalnya perasaan keagamaan, atau soal-soal

keagamaan.39 Adapun secara istilah pengertian “Agama” dapat dilihat dari 2

aspek yaitu: Aspek Subyektif (pribadi manusia), dan Aspek Objektif.40

Aspek subyektif agama mengandung pengertian tingkah laku manusia

yang dijiwai oleh nilai-nilai keagamaan yang berupa getaran batin yang dapat

mengatur dan mengarahkan tingkah laku tersebut kepada pola hubungan antar

manusia dengan Tuhannya dan pola hubungan dengan masyarakat serta alam

sekitarnya. Aspek objektif agama dalam pengertian ini mengandung nilai-nilai

ajaran Tuhan yang bersifat menuntun manusia kearah tujuan sesuai dengan

kehendak ajaran tersebut.

Adapun beberapa bentuk kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di

sekolah:41

1. Sholat berjamaah

2. Tadarus

3. BTA

4. Kajian keputrian

5. Qiro’ah

6. PHBI

7. Hafalan juz ‘amma

39

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), 18.

40

(47)

38

8. Wisuda Al-Quran

Kegiatan-kegiatan pengembangan keagamaan tersebut dilaksanakan

secara rutin dan terprogram melalui perencanaan yang dilakukan oleh warga

sekolah, baik itu oleh guru PAI, guru mata pelajaran umum, maupun tenaga

pendidik lainnya sesuai dengan program yang dilaksanakan. Dan untuk

penilaiannya dapat dilakukan dengan mengamati atau mengobservasi perilaku

siswa sehari-hari dan pada waktu melaksanakan kegiatan. Materi kegiatan di

sekolah dapat dibedakan menjadi tiga bidang pokok, yaitu keimanan (tauhid),

keIslaman (syari’at), dan ihsan (akhlak).42

D. Program Pendidikan Inklusi

1. Pendidikan Inklusi

Sekolah Inklusif adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan

mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam

program yang sama.43 Sekolah Inklusi juga dapat diartikan sebagai sekolah

yang menerapkan sistem inklusi, yaitu menyertakan semua anak, baik

yang reguler atau berkebutuhan khusus kedalam satu sistem pendidikan.44

Adapun pengertian yang lain, Pendidikan Inklusi adalah dimana ada

sebagian anak yang memiliki kebutuhan khusus (special needs) yang

diintegrasikan kedalam kelas reguler.45

41 Aimmatul Husna, “Hubungan antara Kegiatan Keagamaan dengan Kesiapan Siswa dalam

Menghadapi Ujian Nasional Siswa Kelas IX SMP Negeri 1 Wonoayu Sidoarjo” (Disertasi--UIN Sunan Ampel Surabaya, 2011)

42

Zuhairi, Metodik Khusus Pendidikan Islam (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), 58.

43

Nunung Aprianto, Seluk Beluk Tunagrahita & Strategi Pembelajarannya (Jogjakarta: Javalitera, 2012), cet. Ke-1, jild 1, 82.

44

Rina Dewi Lina, Hemat Bisa Miskin Boros Pasti Kaya (Jakarta: Penebar Plus+, 2014), 173.

45

(48)

39

Sejalan dengan perkembangan layanan pendidikan untuk

anak-anak berkebutuhan khusus, sekolah inklusi memberikan pelayanan yang

berbeda dengan sekolah-sekolah khusus lainnya. Model yang diberikan

sekolah inklusif ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan

keterbatasan dengan menggunakan prinsip education for all. Layanan

pendidikan ini diselenggarakan pada sekolah-sekolah reguler. ABK (Anak

Berkebutuhan Khusus) belajar bersama dengan anak-anak normal lainnya

pada kelas reguler dengan kelas dan guru yang sama juga. Namun, yang

menjadi perbedaan adalah dalam kelas inklusif ini terdiri atas dua orang

guru dan satunya adalah guru khusus yang bertugas membantu anak-anak

berkebutuhan khusus yang merasa kesulitan dalam belajar. Semua anak

diperlakukan dan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan

anak-anak normal lainnya.46

Inklusif terjadi pada semua lingkungan sosial anak, keluarga,

kelompok teman sebaya, sekolah, dan institusi-institusi kemasyarakatan

lainnya. Pendidikan inklusif merupakan sebuah pendekatan yang berusaha

mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan

hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh

dalam pendidikan.

Inklusif merupakan perubahan praktis yang memberi peluang anak

dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda bisa berhasil dalam

belajar. Perubahan ini tidak hanya menguntungkan anak yang sering

46

(49)

40

tersisihkan, seperti anak berkebutuhan khusus, tetapi semua anak dan

orang tuanya, semua guru dan administrator sekolah, dan setiap anggota

masyarakat.47

2. Program Pendidikan Inklusi

Program adalah rencana atau acara atau agenda atau cadangan atau

kalender.48 Sedangkan program pendidikan inklusi adalah rencana

pendidikan untuk anak yang memiliki kebutuhan khusus (special needs)

yang diintegrasikan kedalam kelas reguler.49

Salah satu alasan orang tua menyekolahkan anaknya yang

berkebutuhan khusus ke sekolah inklusi adalah agar anaknya mampu

berinteraksi dengan anak sebayanya tanpa dibedakan dan bisa meneruskan

pendidikan di sekolah reguler.50

Ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh melalui konsep

pendidikan inklusi, diantaranya adalah; meningkatkan interaksi sosial,

lebih banyak tingkah laku normal yang dapat dicontoh, meningkatkan

perkembangan bahasa, menjadikan mereka lebih mandiri, perkembangan

dan nilai guna pendidikan bergantung pada program dan intervensi yang

dijalankan oleh guru.51

Adapun Aspek-aspek yang berkaitan dengan budaya sekolah

(school climate) dan berkorelasi positif dengan penumbuhan pendidikan

(50)

41

inklusif, diantaranya adalah; dukungan kepemimpinan (supportive

leadership), kemandirian guru (teacher’s autonomy), kebanggaan akan

profesi guru (prestige of the teaching profession), renovasi fasilitas

sekolah untuk anak berkebutuhan khusus (renovations), kerjasama antar

guru (teacher’s collaboration), dan banyaknya beban kerja (workload).52

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh sekolah yang

menyelenggarakan pendidikan inklusi:53

a. Sekolah harus menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah,

menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

b. Sekolah harus siap mengelolah kelas yang heterogen dengan

kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual.

c. Guru harus menerapkan pembelajaran yang interaktif.

E. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Keberhasilan seorang siswa berkebutuhan khusus tidak terlepas dari

beberapa faktor pendukungnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi

keberhasilan siswa berkebutuhan khusus, antara lain sebagai berikut:54

1. Faktor internal

Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam diri

individu itu sendiri. Faktor internal meliputi:

51

Ibid.,140-141.

52

Ahmad Baedowi, Calak Edu Esai-Esai Pendidikan (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2012), 24-25.

53

Ibid.,141.

54

(51)

42

a. Faktor biologis (jasmaniah)

1) Kondisi fisik

2) Kondisi kesehatan

b. Faktor psikologis (rohaniah)

1) Intelegensi

2) Kemauan

3) Bakat

4) Daya ingat

5) Daya konsentrasi

2. Faktor eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang bersumber dari luar

individu itu sendiri. Faktor eksternal meliputi:

1) Faktor lingkungan keluarga

2) Faktor lingkungan sekolah

3) Faktor lingkungan masyarakat

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Menurut Sudarwan Danim dalam bukunya yang berjudul Menjadi

Peneliti Kualitatif menjelaskan bahwa ada empat dasar penyusunan teori

dalam penelitian kualitatif, yaitu pendekatan fenomenologik, pendekatan

interaksi simbolik, pendekatan kebudayaan, dan pendekatan

etnometodologik.1

Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan fenomenologis, yang mana pendekatan tersebut peneliti

gunakan sebagai gambaran untuk melihat peristiwa atau kejadian serta

menjelaskan pengalaman-pengalaman apa yang dialami seseorang dalam

kehidupan ini, termasuk interaksi dengan orang lain.

Menurut Denzin dan Lincoln dalam buku Metode Penelitian

Kualitatif Dalam Pendidikan Dan Bimbingan Konseling, penelitian

kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan

maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan

melibatkan berbagai metode yang ada.2 Sedangkan menurut Masyhuri dan

Zainuddin, penelitian kualitatif adalah penelitian yang pemecahan

masalahnya dengan menggunakan data empiris. Baik pada penelitian

1

Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: Pustaka Setia, 2002), cet. Ke-1, jilid 1, 65.

2

Gambar

  Tabel 4.1 Data Tenaga Pendidik (Guru) SMPN 5 Surabaya
Tabel 4.2  Data Tenaga Kependidikan (Pegawai) SMPN 5 Surabaya
Tabel 4.3  Jumlah siswa SMPN 5 Surabaya
Tabel 4.4  Data Siswa ABK (Anak Berkebutuhan Khusus) SMPN 5 Surabaya
+4

Referensi

Dokumen terkait

Kemudian dalam pernyataan lain Berns dallam Groce (1998:23) Sekolah Inklusi dipandang sebagai sekolah yang menyediakan layanan belajar bagi anak-anak berkebutuhan

HUBUNGAN PROBLEM FOCUSED COPING DENGAN STRES MENGAJAR PADA GURU ANAK BERKEBUTUHAN

Jadi yang dimaksud dengan bimbingan pribadi Islami untuk anak berkebutuhan khusus di kelas inklusi SD Purba Adhi Suta Purbalingga adalah layanan bimbingan pribadi Islami

Seluruh guru di sekolah inklusi harus memiliki kemampuan untuk mengajar siswa-siswa berkebutuhan khusus. Mereka harus sabar dan telaten membimbing anak-anak yang unik, karena

Penempatan kelas untuk ABK tunanetra di SMA Muhammadiyah 4 dilakukan dengan model kelas reguler (inklusi penuh) yang berarti ABK tunanetra bersama anak lain (normal), belajar

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dan apa saja faktor-faktor yang

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat berpikir positif orang tua dan tingkat kepercayaan diri anak berkebutuhan khusus tunadaksa serta

EFEKTIVITAS PELATIHAN IDENTIFIKASI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PADA GURU SEKOLAH INKLUSI Yohana Wuri Satwika1, Riza Noviana Khoirunnisa2, Hermien Laksmiwati3, Miftakhul Jannah4