• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnalis muslim Surabaya dan budaya gratifikasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Jurnalis muslim Surabaya dan budaya gratifikasi."

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

JURNALIS MUSLIM SURABAYA DAN BUDAYA GRATIFIKASI

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Komunikasi Penyiaran Islam

Oleh

LUKMAN HAKIM NIM. F52715153

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Lukman Hakim, 2017. Jurnalis Muslim Surabaya dan Budaya Gratifikasi. Tesis Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci : Jurnalis Muslim, Budaya Gratifikasi, Hegemoni

Fenomena gratifikasi dalam dunia pers atau yang sering dikenal sebagai wartawan amplop merujuk pada realita di lapangan ketika jurnalis menerima pemberian berupa uang, barang, fasilitas akomodasi, tiket perjalanan, traktiran makanan, dan lainnya dari pihak narasumber. Namun kini jurnalis mapan dari media yang resmi tidak sedikit yang menerima gratifikasi. Mereka seakan merasa tidak bersalah menerima gratifikasi ketika melakukan peliputan di lapangan. Fenomena ini semakin menggejala hingga meruntuhkan idealisme, kode etik jurnalistik dan nilai-nilai agama.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari jawaban tentang bagaimana terjadinya budaya gratifikasi di kalangan jurnalis muslim, mengapa terjadi budaya gratifikasi di kalangan jurnalis muslim dan bagaimana upaya jurnalis muslim menghadapi budaya gratifikasi.

(7)

DAFTAR ISI

Sampul Dalam ... i

Pernyataan Keaslian ... ii

Persetujuan Pembimbing ... iii

Pengesahan Tim Penguji ... iv

Motto ... v

Abstrak ... vi

Ucapan Terima Kasih ... vii

Daftar Isi ... viiii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... xi

BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan Masalah ... 12

C. Rumusan Masalah ... 13

D. Tujuan Penelitian ... 14

E. Kegunaan Penelitian ... 14

F. Penelitian Terdahulu ... 15

G. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II : ISLAM, JURNALISME DAN GRATIFIKASI ... 21

A. Kajian Pustaka ... 21

1. Definisi Jurnalis Muslim dan Budaya Gratifikasi ... 21

2. Kode Etik Jurnalistik dan Nilai Islam ... 25

3. Budaya Gratifikasi Sebagai Tantangan Pers Indonesia ... 34

4. Idealisme dan Profesionalisme Jurnalis Muslim ... 41

5. Media Massa Sebagai Pilar Keempat Demokrasi ... 45

B. Kajian Teori ... 49

1. Teori Hegemoni Antonio Gramsci ... 50

BAB III : METODE PENELITIAN ... 58

A. Jenis Penelitian ... 59

B. Pendekatan Penelitian ... 60

C. Subjek Penelitian ... 61

(8)

E. Teknik Pengumpulan Data ... 53

F. Langkah-Langkah Penelitian ... 66

G. Teknik Analisis dan Pengolahan Data ... 70

H. Keabsahan Data ... 72

BAB IV : JURNALIS MUSLIM DAN BUDAYA GRATIFIKASI ... 74

A. Profil Jurnalis Muslim Surabaya ... 74

B. Terjadinya Budaya Gratifikasi di Kalangan Jurnalis Muslim 77 C. Rasionalitas Jurnalis Muslim Terhadap Budaya Gratifikasi 115 D. Sikap Jurnalis Muslim Menghadapi Budaya Gratifikasi 127 BAB V : JURNALIS MUSLIM DALAM HEGEMONI BUDAYA GRATIFIKASI 131 A. Temuan Data ... 131

B. Analisis Data ... 148

BAB VI : PENUTUP ... 176

A. Simpulan ... 176

B. Saran ... 177

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fenomena gratifikasi1 dalam dunia pers atau yang sering dikenal sebagai

wartawan amplop merujuk pada realita di lapangan ketika jurnalis menerima

pemberian berupa uang, barang, fasilitas akomodasi, tiket perjalanan, traktiran

makanan, dan lainnya dari pihak narasumber. Jurnalis yang menerima amplop

akrab disebut dengan wartawan bodrek oleh masyarakat2.

Lebih jelas, wartawan bodrek3 adalah seseorang yang tidak memiliki

kualifikasi sebagai jurnalis bahkan tidak memiliki perusahaan media yang jelas.

Di samping mengklaim dirinya sebagai jurnalis, mereka juga hanya sekedar

melakukan proses wawancara kesana kemari namun tidak pernah ada beritanya.

Dengan kata lain, jurnalis tersebut hanya bermodalkan kartu pers palsu4.

1

Gratifikasi berdasarkan penjelasan Pasal 12B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik”. Lihat tulisan Doni Muhadiyansyah dkk dalam buku saku memahami gratifikasi, terbitan pertama, 2010 oleh KPK, 3.

2

Fenomena wartawan amplop sebagai salah satu potret jurnalis Indonesia tercantum dalam Survey AJI Indonesia tahun 2005 di 17 Kota yang tercantum dalam buku “Potret Jurnalis Indonesia, Survey AJI Tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota”, 63.

3

Istilah bodrek diambil dari obat sakit kepala. Istilah ini muncul bersamaan dengan program siaran di Stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada tahun 1970-an. Iklan bodrex waktu itu terkenal dengan jargon “datang, menyerang dan menang”. Apabila ada wartawan yang memeras biasanya datang dalam bentuk rombongan, mirip pasukan bodrex, lalu menyerang panitia untuk meminta amplop dan pulang alias menang sambil mengantongi amplop. Istilah wartawan bodrek itu diambil karena tiap datang maka membuat pusing sumber berita. Lihat Christoper Torchia:”Indonesian Idioms Anda Expressions ;Colloquial Indonesia At Work; 2007, 100-102. 4

(10)

2

Wartawan bodrek biasanya menggunakan cara-cara kotor untuk

mendapatkan informasi, terutama informasi pelanggaran maupun penyelewengan

para pejabat. Informasi dan data-data penyelewengan itu yang digunakan untuk

memeras. Mereka seolah mengetahui keburukan narasumber berita sehingga

mengancam akan dipublikasikan jika tidak diberi uang damai. Karena narasumber

merasa terancam dan takut, mereka akhirnya mengalah dan memberikan uang

damai5.

Namun definisi diatas semakin kabur karena jurnalis legal dan mapan dari

media yang resmi pun kini tidak sedikit yang menerima gratifikasi6. Mereka

seakan merasa tidak bersalah menerima gratifikasi ketika melakukan peliputan di

lapangan. Fenomena ini semakin menggejala hingga meruntuhkan idealisme, kode

etik jurnalistik dan nilai-nilai agama.

Menurut Masduki7, ada dua jenis wartawan amplop berdasarkan modus

operandinya, yaitu jurnalis yang aktif berburu amplop dan jurnalis pasif yang

menerima amplop. Jurnalis yang aktif berburu amplop biasanya berada di sebuah

institusi tertentu dan menunggu narasumber mereka memberi uang. Sedangkan

jurnalis pasif yang menerima amplop biasanya menerima amplop di suatu acara

namun mereka tidak mencari-cari seperti jurnalis aktif. Persamaannya, kedua jenis

wartawan amplop itu belum tentu memuat berita yang mereka liput tersebut di

5Muhammad Rofiuddin, “Menelusuri Praktik Pemberian Amplop Kepada Wartawan di Semarang” (Tesis--Universitas Diponogoro (Undip), Semarang, 2011), 44.

6

Adhianty Nurjanah, Wartawan Dan Budaya Amplop (Budaya Amplop Pada Wartawan Pendidikan dalam Kaitannya dengan Media Relations), Jurnal Informasi Kajian Ilmu Komunikasi Vol. 45. Nomor 1. Juni 2015. 6.

7

(11)

3

pada media mereka. Kategori jurnalis aktif dan pasif itu melekat pada jurnalis dari

perusahaan media yang resmi dan jurnalis yang tidak memiliki perusahaan media

yang jelas.

Tidak hanya menerima gratifikasi, oknum jurnalis bahkan ada pula yang

melakukan pemerasan pada narasumber. Kasus pemerasan yang melibatkan

jurnalis selalu muncul di berbagai daerah di Jawa Timur. Terbaru adalah kasus

yang menjerat dua oknum jurnalis, B (61) dan SE (40). Kedua wartawan sebuah

koran mingguan tersebut terpaksa berurusan dengan polisi lantaran memeras

Kepala SDN Baturono, Kecamatan Sukodadi Lamongan, Edy Sugianto. Polsek

Sukodadu akhirnya menahan B dan SE dengan barang bukti uang tunai sebesar

Rp 2,5 juta hasil pemerasan8.

Kasus yang sama, Kepolisian Resor Kediri Kota menahan seorang oknum

wartawan yang mengaku dari sebuah media cetak karena terlibat kasus pemerasan

pada seorang guru. Pelaku yang ditangkap polisi berinisial RAG (32) warga Pakis

Gunung, Surabaya. Ia telah melakukan tindak pemerasan kepada Mohammad

Ridwan (45) warga Kelurahan Campurejo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.

Ridwan merupakan seorang guru di Kota Kediri. Total uang yang diamankan

polisi senilai Rp 2 juta9.

Aksi pemerasan juga dilakukan oknum wartawan terhadap salah satu

pejabat kepolisian di lingkungan Polres Sidoarjo. Dua oknum wartawan sebuah

8

http://surabaya.tribunnews.com/2016/08/19/buang-uang-rp-2-5-juta-hasil-memeras-kepala-sd-wartawan-mingguan-diringkus-polisi diakses Kamis 13 Oktober 2016 Pukul 11.15.

9

(12)

4

media mingguan, masing-masing berinisial ARH dan M, terpaksa dijebloskan ke

tahanan polisi, karena melakukan pemerasan dengan modus mengajukan proposal

permintaan bantuan fiktif kepada salah satu pejabat polisi di jajaran polres

Sidoarjo.10

Di Jawa Timur, pertumbuhan ekonomi dan media berpusat di Surabaya

sebagai ibukota provinsi. Sebagian besar surat kabar, radio, televisi, dan media

online di Jawa Timur, berkantor di Surabaya. Jika secara ekonomi Surabaya

menjadi kota nomor dua setelah Jakarta. Begitu pula dengan pertumbuhan

medianya.11

Menurut catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, jumlah

perusahaan media cetak mainstream yang berpusat di Surabaya mencapai 10

perusahaan. Antara lain Harian Jawapos, Surya, Surabaya Post, Surabaya Pagi,

Jatim Mandiri, Radar Surabaya, Memorandum, Bhirawa, Liberty, dan Nyata. Kota

ini juga diramaikan oleh media cetak nasional yang beredar bahkan membuka

kantor perwakilan di Surabaya, antara lain Koran Tempo, Media Indonesia,

Harian Seputar Indonesia, Republika dan Kompas. Untuk media online terdapat

setidaknya empat media mainstream, yaitu beritajatim. com, kabarbisnis.com,

suarasurabaya.net dan detiksurabaya.com. Untuk kelompok media elektronik

radio & TV, menurut data KPID Jatim, hingga Desember 2010 terdapat 30

10

http://surabayanews.co.id/2016/01/28/42771/tipu-polisi-2-oknum-wartawan-media-mingguan-ditangkap-polisi.html diakses Kamis 13 Oktober 2016 pukul 12.12

11

(13)

5

pemegang izin prinsip penyiaran radio, 10 media TV lokal dan TVRI Surabaya

(10 media tv nasional seluruhnya juga membuka kantor cabang di Surabaya)12.

Praktik gratifikasi atau suap menjadi salah satu fenomena yang

membudaya di dunia pers Indonesia. Hal tersebut ditegaskan dalam Survei Aliansi

Jurnalis Independen (AJI) Indonesia tahun 2005 di 17 Kota di Indonesia.

Kesimpulan menarik dalam survei tersebut adalah sebanyak 61,5 persen jurnalis

pernah ditawari amplop oleh narasumber. Hanya 37,3 persen responden jurnalis

yang mengatakan tidak pernah punya pengalaman mendapat penawaran uang dari

narasumber. Data ini menunjukkan bahwa mayoritas jurnalis di Indonesia tidak

bisa lepas dari penerimaan gratifikasi13.

Jurnalis yang menjadi responden riset AJI pun mengaku bahwa mereka

merasa sungkan apabila amplop tidak diterima karena akan menjadi bahan

pergunjingan dan timbul perasaan tidak nyaman pada narasumber. Akhirnya

mereka mau menerima bila pemberian amplop tersebut tidak memeras dan tidak

memengaruhi independensi. Hasil riset tersebut juga menunjukkan bahwa

kentalnya budaya amplop disebabkan oleh kebiasaan pejabat memberi sejumlah

uang pada jurnalis.

Masih menurut penelitian AJI, jika amplop tidak diterima, dana itu akan

menjadi ajang korupsi para pejabat. Temuan lain yang menarik adalah disebabkan

oleh aturan sejumlah media soal amplop yang kurang jelas. Artinya tidak ada

12

Ibid, 27. 13

(14)

6

aturan detail tentang definisi amplop, jumlah yang bisa diterima atau tidak, serta

sanksi bagi jurnalis yang menerima amplop.

Selain itu, budaya gratifikasi juga disebabkan perusahaan media sendiri

yang kurang memenuhi hak-hak dan jaminan kesejahteraan bagi jurnalis14.

Banyak jurnalis di daerah seperti reporter tetap yang diangkat resmi oleh

medianya untuk bekerja tiap hari dengan target kualitas dan kuantitas berita

tertentu, kontributor/reporter wilayah ditugaskan pengelola media untuk

membantu peliputan di wilayah yang belum dapat diakses reporter tetap,

dikontrak untuk jangka waktu tertentu, serta freelancer/reporter bebas yang melakukan aktivitas peliputan dan tidak terikat media tertentu, hasil liputanya

berdasarkan kesepakatan yang bersifat insidental memiliki standar gaji yang tidak

seimbang dengan kerjanya.15

Hal menarik lain dari beberapa survei yang dilakukan oleh sejumlah

lembaga seperti Thomas Hanitzsch dari Ilmenau University of Techonology

German tahun 2001, AJI Indonesia tahun 2005, Dewan Pers tahun 2008 dan riset

terakhir AJI Indonesia 2010/2011. Survei-survei tersebut memiliki kemiripan

hasil upah jurnalis hingga tahun 2011 masih ada yang berada di bawah Rp

300.000,- per bulannya. Survei AJI, Thomas Hanitzsch, serta Dewan Pers juga

menunjukkan bahwa akibat rendahnya upah ini banyak jurnalis mencari pekerjaan

14Gilang Desti Parahita, “Profesionalisme Jurnalisme: Integrasi Serikat Jurnalis pada Sistem Media Pers”, Jurnal Fisipol UGM, 7.

(15)

7

sampingan seperti makelar Surat Ijin Mengemudi (SIM), pengusaha wartel, dan

sebagainya16.

Survei AJI 2010/2011 menyatakan bahwa kesejahteraan jurnalis sangat

berkaitan dengan profesionalitas dan kebebasan pers. Kedua hal ini penting untuk

mencapai iklim pers yang sehat dan demokratis. Kendati bukan jaminan utama,

kesejahteraan yang memadai memiliki peluang besar untuk menjadikan jurnalis

profesional seperti yang tertuang dalam UU Pers No.40 Tahun 1999.17

Dasar pembenar lain yang juga kerap diungkapkan jurnalis adalah

pemberian amplop itu diterima dengan alasan untuk menjaga hubungan baik

dengan narasumber. Apabila jurnalis menolak, dikhawatirkan akan membuat

hubungan renggang dengan narasumber. Persoalan ini terutama bagi jurnalis yang

sudah memiliki hubungan baik secara kekeluargaan maupun pertemanan dengan

narasumber.18 Ada rasa sungkan atau dikhawatirkan bisa menyinggung jika

seseorang memberikan sesuatu tapi malah ditolak. Berbagai alasan itulah yang

kerap dijadikan alasan jurnalis mau menerima amplop.

Suburnya praktik suap di kalangan jurnalis juga tak lepas dari praktik

buruk yang dilakukan narasumber. Ibaratnya, dalam praktik suap selalu ada dua

pihak, yakni pemberi (narasumber) dan penerima (jurnalis). Keduanya akan selalu

terkait. Sebab, tidak akan ada jurnalis yang menerima amplop jika narasumber

tidak memberi. Sebaliknya, jika narasumber tidak memberikan amplop maka

16

Taufik Akhyar, “Manajemen Pers: Antara Idealisme dan Komersialisme”, Jurnal Intizar, Vol. 21, No. 1, 2015, 43.

17 Ibid, 6.

(16)

8

jurnalis juga tidak menerima amplop. Namun, situasi dan kondisi di lapangan

kadang lebih runyam karena banyak pendorong dan faktor praktik amplop jurnalis

marak terjadi.19

Menurut Dida Dirgahayu20 dalam penelitiannya, ada semacam asumsi

dalam diri narasumber bahwa jika tidak memberikan amplop maka tidak akan

diliput media. Salah kaprah anggapan inilah yang kemudian membuat narasumber

menaklukan jurnalis dengan cara memberikan imbalan. Hal yang diharapkan

narasumber kepada jurnalis adalah untuk kepentingan membangun hubungan,

berharap peristiwa atau pernyataannya disiarkan, atau mempengaruhi pandangan

jurnalis sehingga pemberitaannya sesuai dengan harapan narasumber.

Khusus para narasumber yang terlilit kasus, memberikan imbalan kepada

jurnalis pasti juga ada tujuannya, yakni agar kasusnya tidak diliput atau

dipublikasikan jurnalis. Salah satu cara pengendaliannya adalah dengan cara

memberikan imbalan kepada jurnalis. Sebab, jika tidak diberi imbalan dan

kasusnya dipublikasikan jurnalis maka citra narasumber tersebut bisa turun dan

mengancam karir politiknya. Strategi ini ditempuh lantaran pihak pemberi tahu

betul kebutuhan jurnalis, terutama sebagian yang datang dari media yang belum

mapan dan yang kesejahteraannya belum terpenuhi.21 Padahal, kode etik jurnalis

jelas-jelas menyatakan para jurnalis dilarang menerima apapun dari narasumber.

19“Standar Kompetensi Wartawan Sumbangannya Bagi Peningkatan Profesionalisme Wartawan”,

Jurnal Dewan Pers, Edisi No 11, Desember 2015, 43.

20

Dida Dirgahayu, “Persepsi Wartawan Terhadap Aktivitas Jurnalistik Investigasi”, Jurnal Mimbar. Vol. XXII No. 1 Januari – Maret 2006, 52.

(17)

9

Sebab, amplop sebetulnya sama dengan sogokan. Dengan memberi ini

diharapkan, jurnalis akan memberitakan sang narasumber sebaik mungkin.

Praktik suap merupakan salah satu masalah penerapan kode etik

jurnalistik. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam, (1) Kode Etik Jurnalistik

Pasal 622 yang menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak diperkenankan

menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap, (2) Kode Etik Aliansi

Jurnalis Independen (AJI) Pasal 13 yang menyebutkan bahwa jurnalis dilarang

menerima sogokan, (3) Kode Etik Aliansi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)

Pasal 4 yakni wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi

objektivitas pemberitaan, (4) Kode Etik Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)

berbunyi ”Jurnalis televisi Indonesia tidak menerima imbalan apapun berkaitan

dengan profesinya”.

Leonard dan Taylor dalam Abrar menyatakan bahwa etika jurnalistik yang

perlu diperhatikan oleh wartawan adalah (1) objektif, (2) jujur, (3) tidak menerima

suap, (4) tidak menyiarkan berita sensasional, (5) tidak melanggar privasi dan (6)

tidak melakukan propaganda. Hal-hal ini akan berpengaruh pada kebenaran

informasi yang akan diterima publik. Asumsinya, bila jurnalis memberikan fakta

yang tidak benar, maka publik akan terbohongi. 23

22

Hamdan Daulay, “Kode Etik Jurnalistik Dan Kebebasan Pers Di Indonesia Ditinjau Dari Perspekstif Islam”, Jurnal Penelitian Agama, Vol. XVII, No. 2, Agustus 2008, 54.

23

(18)

10

Selain itu, kerangka empat etika atau moralitas yang digariskan Karl

Wallace24 sebagai garis pedoman etika, secara garis besar etika jurnalistik dapat

disimpulkan kepada empat prinsip-prinsip. Pertama kejujuran, keadilan dan

kewajaran. Kedua, akurasi yang berarti ketelitian, keseksamaan, kecermatan dan

ketepatan. Ketiga, bebas dan bertanggungjawab (free and responsibility) yakni keseimbangan antara kebebasan untuk memberitakan apa saja dengan cara

bagaimanapun tetapi dalam kaidah tanggungjawab terhadap kebaikan masyarakat.

Dan keempat, kritik konstruktif yaitu media juga harus memerankan dirinya

sebagai pengawas masyarakat dengan mewujudkan fungsi kontrol sosial.

Meski etika telah dirumuskan dalam kode etik (code of ethics) dan dioperasionalisasikan dalam kode perilaku (code of conduct), Namun hal ini tetap bersumber pada masing-masing individu. Artinya kesadaran masing-masing

individu sangat menentukan pelaksanaan etika itu sendiri.25

Maraknya praktek penerimaan gratifikasi di berbagai daerah yang

dilakukan oleh jurnalis semakin memperburuk wajah pers Indonesia. Jurnalis

yang selama ini dipandang sebagai penyambung lidah rakyat dan memiliki visi

memperjuangkan kepentingan publik ternyata masih menyisakan problem yang

kompleks26.

Dalam konteks dakwah seorang jurnalis muslim tidak bisa dilepaskan dari

norma-norma agama yang dianutnya. Jurnalis muslim harus mampu

24

Mafri Amir, Etika Komunikasi Massa dalam Pandangan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 53-54.

25

Ibid, 95. 26

(19)

11

mempengaruhi khalayak agar menjauhi kemaksiatan, perilaku destruktif, dan

menawarkan solusi Islami atas setiap masalah. Jurnalis muslim berperan ganda, di

samping sebagai seorang jurnalis murni, di saat yang bersamaan ia juga berperan

sebagai seorang da’i27 .

Seorang jurnalis muslim dituntut untuk memiliki sifat-sifat kenabian,

seperti shidiq, amanah, tabligh, dan fathonah. Shidiq artinya jujur, yakni

menginformasikan yang benar dan membela serta menegakkan kebenaran itu.

Standar kebenarannya sesuai dengan ajaran Islam al-Qur’an dan As-Sunnah.

Amanah artinya terpercaya, karenanya tidak boleh berdusta, memanipulasi atau

mendistorsi fakta, dan sebagainya. Tabligh artinya menyampaikan, yakni

menginformasikan kebenaran, tidak menyembunyikannya. Fathonah artinya

cerdas dan berwawasan luas. Jurnalis muslim dituntut mampu menganalisis dan

membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat28. Keempat

prinsip tersebut harus mampu diaktualisasikan dalam dunia jurnalistik.

Di sisi lain, berdasarkan fakta yang peneliti paparkan diawal bahwa dunia

jurnalis penuh dengan godaan kesenangan dan uang sogokan. Seorang jurnalis

muslim tidak hanya dituntut menghasilkan tulisan atau tayangan yang menarik

dan mendidik namun harus melandaskan aktivitas jurnalistiknya pada nilai

profesionalitas dan mematuhi norma-norma agama.

Pertentangan antara nilai luhur agama dan prinsip kode etik jurnalistik

dengan perilaku gratifikasi jurnalis muslim menjadi hal yang menarik untuk

27

Ibid, 265. 28

(20)

12

dianalisa lebih dalam. Pertarungan antara idealisme dan pragmatisme yang

dirasakan jurnalis menarik minat peneliti untuk menggali lebih dalam. Berbagai

faktor pendorong jurnalis menerima gratifikasi seperti persoalan kesejahteraan,

budaya lingkungan dan menjaga hubungan dengan narasumber semakin

menyuburkan pragmatisme. Hal tersebut kemudian mengakibatkan kualitas

produk jurnalistik semakin jauh dari harapan masyarakat. Pada saat yang sama

jurnalis muslim seyogyanya memegang teguh dan menjalankan setiap nilai yang

terkandung dalam Kode Etik Jurnalistik dan nilai-nilai agama.

Berbagai pemaparan dan penjelasan diatas menjadi dasar peneliti untuk

melakukan penelitian komprehensif dan mendalam tentang jurnalis muslim dan

budaya gratifikasi khususnya yang terjadi di Kota Surabaya. Hadir cukup banyak

media di Kota Pahlawan mulai dari skala lokal hingga nasional memiliki

konsekuensi logis membludaknya jumlah jurnalis. Terlebih Surabaya sebagai

ibukota provinsi menjadi pusat aktivitas ekonomi, artinya jumlah pengusaha dan

instansi pemerintah juga besar. Begitupula antara jurnalis dan narasumber yang

secara kuantitas juga cukup banyak.

B. Pembatasan Masalah

Paparan masalah diatas dapat diperoleh gambaran dimensi permasalahan

yang begitu luas. Namun menyadari adanya keterbatasan waktu dan kemampuan,

maka penulis memandang perlu memberi batasan masalah secara jelas dan

(21)

13

Penelitian mengenai media sejauh ini sudah cukup banyak, namun yang

mengkaji spesifik jurnalis muslim hubungannya dengan budaya gratifikasi belum

peneliti temukan. Memang sudah ada beberapa penelitian baik jurnal maupun

tesis yang meneliti jurnalis, namun tidak dihubungkan dengan konteks

keberagamaan jurnalis.

Ruang lingkup penelitian ini adalah jurnalis yang beragama Islam dari

berbagai media, baik cetak, radio, online maupun televisi. Wilayah kerja mereka

berbagai peristiwa, kejadian, fenomena dan acara di Kota Surabaya. Agar

penelitian berjalan optimal maka peneliti akan melakukan penelitian ini selama

lima bulan.

Sejumlah data mengenai budaya gratifikasi di kalangan jurnalis yang telah

peneliti paparkan mengantarkan pada sebuah hipotesis bahwa kegiatan jurnalistik

yang bertumpu pada jurnalis sulit dipisahkan dari budaya gratifikasi. Secara

akademik, tentu menjadi sebuah kegelisahan sebab sesuai dengan ajaran agama

Islam dan kode etik jurnalistik yang berlaku, praktik gratifikasi tidak dibenarkan.

Disamping menciderai independensi jurnalis, praktik gratifikasi membahayakan

perjalanan demokrasi Indonesia. Masyarakat akan memperoleh informasi yang

bias sehingga tidak jarang justru memicu konflik.

C. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini diantaranya

(22)

14

1. Bagaimana proses terjadinya budaya gratifikasi di kalangan jurnalis

muslim?

2. Mengapa terjadi budaya gratifikasi di kalangan jurnalis muslim?

3. Bagaimana upaya jurnalis muslim menghadapi budaya gratifikasi ?

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Menguraikan proses terjadinya budaya gratifikasi di kalangan jurnalis

muslim.

2. Menjelaskan penyebab terjadinya budaya gratifikasi di kalangan jurnalis

muslim.

3. Mendeskripsikan upaya yang dilakukan jurnalis muslim dalam menghadapi

budaya gratifikasi.

E. Kegunaan Penelitian

1. Segi praktis

Studi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai suasana

batin, perasaan dan praktik-praktik pelanggaran etika agama dan kode etik

jurnalis yang dilakukan jurnalis muslim. Selanjutnya, diharapkan bisa

memberikan kontribusi pemikiran bagi profesional media tentang detail

praktik kerja jurnalis muslim kaitannya dengan budaya gratifikasi.

2. Segi sosial

Penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan pengetahuan

khalayak tentang kinerja jurnalis muslim khususnya yang berkaitan dengan

(23)

15

berhubungan dengan jurnalis ikut mendorong jurnalis memahami nilai-nilai

agama dan kinerjanya semkain profesional. Salah satu caranya adalah

dengan menghentikan praktik gratifikasi.

3. Segi akademis

Penelitian ini dilakukan untuk menambah khazanah studi mengenai

jurnalis muslim di Indonesia. Apalagi, penelitian mengenai praktik

gratifikasi di kalangan jurnalis muslim selama ini masih jarang dilakukan.

Studi mengenai media umumnya berkisar pada analisis isi media. Untuk itu,

studi ini diharapkan akan dapat memberikan sumbangan bagi

pengembangan kajian teoritik tentang etika pekerja media kaitannya dengan

keberagamaan.

F. Penelitian Terdahulu

Kajian terdahulu dalam penulisan penelitian ini didasarkan pada pertama, hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang dianggap terkait

penelitian yang tengah dilakukan. Kedua, didasarkan pada teori-teori dari sumber kepustakaan yang dapat menjelaskan perumusan masalah yang telah

ditetapkan.

Di bawah ini adalah uraian beberapa hasil penelitian terdahulu yang

dianggap relevan untuk kemudian dianalisis dan dikritisi dilihat dari pokok

permasalahan, teori dan metode, sehingga dapat diketahui letak

perbedaannya dengan penelitian yang penulis lakukan. Hasil penelitian

(24)

16

terhadap kinerja, memberikan gambaran mengenai persamaan dan

perbedaan dengan penelitian yang tengah dilakukan.

Penelitian Rafiuddin mahasiswa mahasiswa Pascasarjana Ilmu

Komunikasi Universitas Diponogoro (Undip) tahun 2011 menggunakan metode

deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Tesisnya yang berjudul

“Menelusuri Praktik Pemberian Amplop Kepada Wartawan di Semarang”

dilakukan untuk mengetahui persepsi wartawan terhadap isu-isu etis saat

berhubungan dengan narasumber, praktik pemberian suap dalam dunia jurnalistik

dan alasan narasumber dan perusahaan media ikut menyuburkan praktik

jurnalisme amplop. Penelitian yang menggunakan teori teori habitus milik Pierre

Bourdieu, Teori perkembangan moral Lawrence Kohlberg dan teori The Gift

Marcel Mauss ini akhirnya menemukan data, gaji yang minim telah menjadi

pemicu wartawan menerima amplop. Akibatnya, pemberian ini tidak dianggap

sebagai pelanggaran tapi justru dianggap sebagai rezeki. Kecenderungannya,

narasumber memberikan amplop ke wartawan karena ingin diberitakan atau

kasusnya tidak diungkap. Praktik ini dinilai menghalangi wartawan dalam

menyampaikan informasi atau fakta yang sebenar-benarnya kepada publik.

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Mohamad Khadafi Hj Rofie

asal Universiti Utara Malaysia pada tahun 2014 berjudul “Perlaksanaan Etika

Kerja Islam Dalam Kalangan Wartawan Islam Media Arus Perdana Dan

Alternatif: Melihat Dari Sudut Pemahaman dan Kepuasan Kerja”. Metode yang

digunakan yaitu kuantitatif, dengan responden sebanyak 221 orang berasal dari

(25)

17

pemahaman wartawan tentang etika kerja Islam dari media yang berafiliasi

dengan pemerintah/partai politik tertentu (media perdana) hanya sebanyak 46,6

persen, sementara wartawan dari media alternatif/tidak berafiliasi dengan

pemerintah (media alternatif) pemahaman tentang etika kerja Islam sebanyak 66,1

persen. Rekomendasi yang diajukan yaitu agar para wartawan bekerja secara

profesional dan jujur sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Hadis. Bekerja karena

intervensi untuk mendapatkan popularitas dan rating membuat kepercayaan

masyarakat semakin tergerus.

Berikutnya adalah penelitian yang berjudul “Peran Wartawan Muslim

Dalam Kegiatan Dakwah” ditulis oleh Abdul Wahid di Jurnal Dakwah Tabligh

Poltekes Negeri Makassar pada Desember 2014. Penelitian yang mengguanakan

metode deskriptif kualitatif ini menyimpulkan bahwa pertama, sosok wartawan (jurnalis) muslim adalah sosok seorang wartawan yang dalam setiap kegiatan

kewartawanannya senantiasa berpijak pada nilai-nilai subtanstif agama al-Qur’an

dan sunah. Kedua, peran wartawan muslim dalam menyebarluaskan ajaran Islam sangat penting mengingat seluruh informasi yang ia sebarkan melalui media

sesungguhnya juga dalam bahasa dakwah yang turut berpengaruh pada tegaknya

amar ma’ruf nahi munkar.

Sementara apabila melihat perbandingan dengan hasil penelitian

sebelumnya, terdapat beberapa keunikan dari rencana penelitian yang akan

dilakukan berikut. 1) penelitian ini mengaitkan jurnalis tidak hanya sebagai

pengolah dan penyampai informasi namun juga sebagai manusia yang beragama

(26)

18

penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan

etnografi sehingga dapat memotret budaya gratifikasi di kalangan jurnalis muslim

menjadi lebih komprehensif. 3) Peneliti memilih Kota Surabaya menjadi lokus

penelitian yang dikenal sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta. Secara umum

hingga kini belum ada penelitian terkait fenomena gratifikasi yang dilakukan oleh

jurnalis muslim, penelitian lebih banyak didominasi oleh analisis wacana dan

proses produksi berita. Dinamika dan praktik gratifikasi jurnalis muslim di Kota

Pahlawan menjadi perhatian utama peneliti.

G. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Untuk mempermudah dalam pemahaman serta memberi ketegasan dalam

penjelasan, maka dalam penyusunan laporan peneliti mengklasifikasikan menjadi

enam bab yang terdiri dari bagian-bagian yang meliputi:

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini terdiri dari enam sub bab antara lain latar belakang penelitian,

rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penelitian terdahulu

dan sistematika pembahasan.

BAB II : ISLAM, JURNALISME DAN GRATIFIKASI

1. Kajian Pustaka

Membahas tentang artikel-artikel dan buku-buku yang ditulis oleh para ahli

yang memberikan pendapat, teori atau opini ataupun ide-ide yang yang

(27)

19

2. Kajian Teori

Bagian ini menjelaskan teori apa yang digunakan untuk mendampingi pola

pikir penelitian. Kajian teori dibangun berdasarkan pengelompokan teori-teori

komunikasi terkait fokus penelitian. Penggunaan teori harus memperhatikan

kesesuaian dengan paradigma penelitian itu sendiri.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini terdiri dari jenis penelitian, pendekatan penelitian, subyek

penelitian, jenis data, teknik pengumpulan data, langkah-langkah penelitian,

teknik analisis dan pengolahan data, serta keabsahan data.

BAB IV : JURNALISME MUSLIM DAN BUDAYA GRATIFIKASI

Bab ini merupakan hasil wawancara dan observasi peneliti pada empat

informan sesuai dengan tema penelitian.

BAB V : JURNALIS MUSLIM DALAM HEGEMONI BUDAYA GRATIFIKASI

Bagian ini peneliti menampilkan analisis dari data yang telah dipaparkan.

Dari analisis tersebut akan menghasilkan temuan-temuan penelitian.

Pemaparan temuan dapat disajikan dalam bentuk pola, tema, kecenderungan

dan motif yang muncul dari data peneliti, disamping itu dapat juga berupa

penyajian kategori, sistem, klasifikasi dan tipologi. Pada bagian ini peneliti

juga membandingkan temuan-temuan penelitian dengan teori-teori yang

(28)

20

BAB VI : PENUTUP

1. Kesimpulan

Merupakan jawaban langsung dari penelitian. Jadi setelah dari awal bab

sampai akhir bab peneliti cantumkan kesimpulan dari penelitian ilmiah ini.

Dan kesimpulan juga mengacu dan urut sesuai dengan fokus penelitian yang

dipaparkan di awal bab.

2. Saran

Berisi anjuran yang perlu dilaksanakan oleh penelitian selanjutnya demi

(29)

BAB II

ISLAM, JURNALISME DAN GRATIFIKASI

A. Kajian Pustaka

1. Definisi Jurnalis Muslim dan Budaya Gratifikasi

a. Jurnalis Muslim

Sebutan bagi orang yang bekerja dalam dunia jurnalisme adalah

jurnalis. Jurnalis adalah seni dan profesi dengan tanggung jawab

profesional yang mensyaratkan wartawannya melihat dengan mata yang

segar pada setiap peristiwa untuk menangkap aspek-aspek yang unik akan

tetapi harus mempunyai fokus suatu arah untuk mengawali pandangan1.

Menurut Yosef 2 ada tiga sebutan yang berbeda untuk profesi yang

sama, yaitu jurnalis, wartawan, dan reporter. Ketiga sebutan ini sebenarnya

mempunyai makna yang sama yaitu sebuah profesi yang tugasnya mencari,

mengumpulkan, menyeleksi, dan menyebarluaskan informasi kepada

khalayak melalui media massa.

Meskipun posisi jurnalis terbagi menjadi dua, yaitu sebagai pelaku

dalam media dan pelaku dalam profesi, ada aturan yang harus ditaati oleh

jurnalis dalam memenuhi posisinya. Sebagai pelaku dalam media pers,

jurnalis harus menaati Code of Cunduct sementara sebagai pelaku profesi, jurnalis harus menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ)3.

Islam dari kata kerja aslama secara harfiah berarti “kepatuhan” atau tindakan penyerahan diri seseorang sepenuhnya kepada kehendak orang

1

Luwi Ishwara, Catatan-catatan Jurnalisme Dasar, (Jakarta : Kompas. 2005), 7. 2

Jani Yosef, To Be A Journalist, (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009), 43. 3

(30)

22

lain, dan Muslim, yang secara gramatika adalah bentuk partisipal-adjektif

dari aslama, adalah orang yang menyerahkan diri. Arti penting yang tertinggi dari istilah ini dalam agama Islam ditunjukkan oleh kenyataan

yang telah diketahui bahwa Islam adalah nama untuk agama ini,

sementara Muslim adalah seorang anggota komunitas religius itu yang

ditetapkan oleh Muhammad, Rasul Allah4.

Dalam terminologi filsafat linguistik modern kita dapat mengatakan

bahwa ungkapan aslamtu (saya tunduk), merupakan sebuah performatif yang merupakan suatu pemakaian bahasa yang melibatkan diri. Dengan

kata lain, dengan menyatakan, aslamtu, orang itu mengarahkan dirinya kepada tipe perbuatan tertentu untuk waktu yang akan datang atau

mengimplikasikan bahwa dia mempunyai sikap atau nilai tertentu5. Nilai

yang dimaksud mengacu pada sikap yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan

memgacu pada sifat-sifat Nabi.

Berdasarkan keterangan diatas maka jurnalis muslim dapat diartikan

sebuah profesi yang tugasnya mencari, mengumpulkan, menyeleksi, dan

menyebarluaskan informasi kepada khalayak melalui media massa dengan

berpedoman pada Code of Cunduct, Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan norma-norma agama Islam.

b. Budaya Gratifikasi

Budaya dalam cultural studies lebih didefinisikan secara politis ketimbang secara estetis. Objek kajian dalam cultural studies bukanlah

4

Toshihiko Izutsu, Konsep - Konsep Etika Religius Dalam Quran, Penerjemah: Agus Fahri Husein, Cetakan Ke-2, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2003), 226.

5

(31)

23

budaya yang didefinisikan dalam pengertian yang sempit, yaitu sebagai

objek keadiluhungan estetis (seni tinggi), juga bukan budaya yang

didefinisikan dalam pengertian yang sama-sama sempit, yaitu sebagai

sebuah proses perkembangan estetik, intelektual dan spiritual; melainkan

budaya yang dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Inilah

definisi budaya yang bisa mencakup dua definisi sebelumnya, selain itu,

dan ini sangat penting, melibatkan kajian budaya pop bisa bergerak

melampaui eksklusivitas sosial dan sempitnya definisi budaya ini.

Walaupun cultural studies tidak bisa (dan seharusnya tidak) direduksi menjadi kajian budaya pop (study of popular culture), tak dapat disangkal bahwa kajian budaya pop bersifat sentral bagi proyek cultural studies6.

Lebih dalam, Dominic Strinati mendefinisikan budaya pop sebagai

“lokasi pertarungan, di mana banyak dari makna ini (pertarungan

kekuasaan atas makna yang terbentuk dan beredar di masyarakat)

ditentukan dan diperdebatkan. Tidak cukup untuk mengecilkan budaya pop

sebagai hanya melayani sistem pelengkap bagi kapitalisme dan patriarkhi,

membiarkan kesadaran palsu membius masyarakat. Budaya pop juga bisa

dilihat sebagai lokasi di mana makna-makna dipertandingkan dan ideologi

yang dominan bisa saja diusik. Antara pasar dan berbagai ideologi, antara

pemodal dan produser, antara sutradara dan aktor, antara penerbit dan

penulis, antara kapitalis dan kaum pekerja, antara perempuan dan laki-laki,

kelompok heteroseksual dan homoseksual, kelompok kulit hitam dan putih,

6

(32)

24

tua dan muda, antara apa makna segala sesuatunya dan bagaimana artinya,

merupakan pertarungan atas kontrol (terhadap makna) yang berlangsung

terus-menerus7.

Sementara definisi gratifikasi menurut Penjelasan Pasal 12B Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2001, bahwa: Yang dimaksud dengan gratifikasi dalam ayat ini

adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang,

rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas

lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di

luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau

tanpa sarana elektronik” 8 .

Berdasarkan keterangan diatas, maka budaya gratifikasi adalah

pertarungan makna diantara anggota suatu komunitas atau masyarakat

mengenai pemberiaan uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,

pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Bagi mereka yang pro

dengan gratifikasi menyatakan bahwa praktek tersebut boleh dilakukan

karena tidak bertentangan dengan nilai apapun bahkan dianggap lumrah.

Sebaliknya bagi kelompok yang kontra menganggap bahwa gratifikasi

7

Dominic Strinati, Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta:Bentang, 2003), 87.

8

(33)

25

merupakan bagian dari tindakan korupsi dan melanggar norma agama

sehingga tidak boleh dilakukan dengan alasan apapun.

2. Kode Etik Jurnalistik dan Nilai Islam Sebagai Pedoman Jurnalis Muslim

Jurnalis muslim dalam aktivitas jurnalistik memiliki ikatan ganda,

pertama sebagai jurnalis profesional harus patuh dan taat pada Kode Etik

Jurnalistik (KEJ) yang telah ditetapkan oleh dewan pers. Kedua, sebagai

pribadi muslim, seyogyanya menjalankan nilai-nilai yang diperintah Al-Quran

dan Hadist. Keduanya menjadi acuan yang tak bisa dilepaskan dalam

melakukan peliputan dan reportase. Lebih jelas, kajian mengenai KEJ dan

nilai-nilai Islam dalam kaitannya dengan jurnalis muslim sebagai berikut :

a. Kode Etik Jurnalistik (KEJ)

Kode etik jurnalistik merupakan landasan hukum bagi setiap

wartawan. Dengan demikian, kode etik jurnalistik adalah standar nilai yang

harus dijadikan acuan bagi wartawan dalam menjalankan profesi

kewartawanan. Secara sederhana dapat dipahami, bahwa seorang wartawan

yang tidak memahami kode etik jurnalistik, sama halnya mereka belum

mempunyai tujuan dan acuan hidup kewartawanan. Sebaliknya, seseorang

yang senantiasa taat pada aturan yang ada dalam kode etik jurnalistik, dapat

dinilai sebagai orang yang menghormati hak dan kewajiban pers. Ini berarti

mereka tergolong professional dalam menjalankan tugas kewartawanan9.

(34)

26

Sukardi10 mengungkapkan bahwa kode etik profesi berarti,

himpunan atau kumpulan mengenai etika di suatu bidang profesi yang

dibuat dari, oleh dan untuk profesi itu terutama berdasarkan ukuran hati

nurani profesi itu. Lebih lanjut menurutnya dari sudut yuridis, pengertian

Kode Etik Jurnalistik diatur dalam pasal 1 ayat 14 Undang-Undang No. 40

Tahun 1999 tentang Pers, yakni Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan

etika profesi kewartawanan. Untuk skala nasional Kode Etik Jurnalistik

yang berlaku adalah yang sesuai dengan penjelasan pasal 7 ayat 2 Undang

Undang No.40 tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi, “yang dimaksud

dengan Kode Etik Jurnalistik adalah kode etik yang disepakati organisasi

wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers”.

Praktik gratifikasi termasuk hal yang bertentangan dalam kode etik

jurnalistik. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam, (1) Kode Etik

Jurnalistik Pasal 6 yang menyebutkan bahwa “wartawan Indonesia tidak

menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap”. Lebih jelas pada butir

penafsiran dijelaskan. a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan

yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat

bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. b. Suap

adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak

lain yang mempengaruhi independensi. Selanjutnya, (2) Kode Etik Aliansi

Jurnalis Independen (AJI) Pasal 13 yang menyebutkan bahwa jurnalis

dilarang menerima sogokan, (3) Kode Etik Aliansi Persatuan Wartawan

10

(35)

27

Indonesia (PWI) Pasal 4 yakni wartawan Indonesia menolak imbalan yang

dapat mempengaruhi objektivitas pemberitaan, (4) Kode Etik Ikatan Jurnalis

Televisi Indonesia (IJTI) berbunyi ”Jurnalis televisi Indonesia tidak

menerima imbalan apapun berkaitan dengan profesinya”.

Hakikatnya terdapat empat asas dalam KEJ, yaitu (1) Asas

moralitas, yaitu nilai – nilai moral yang terkandung di dalamnya, (2) Asas

profesionalitas, yang meliputi membuat berita yang akurat, faktual, jelas

sumbernya, dapat membedakan fakta dan opini, tidak membuat berita

bohong dan fitnah, menghargai off the record dll, (3) Asas demokratis, wartawan harus bertindak adil, fair dan berimbang (4) Asas Supremasi Hukum, yang menyangkut wartawan tidak boleh melakukan plagiat,

menghormati praduga tidak bersalah, memiliki hak tolak dan tidak

menyalahgunakan profesinya. Sedangkan Kode Etik Jurnalistik sesuai

dengan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006,

menyangkut 11 ketentuan yang harus ditaati oleh jurnalis, antara lain (1)

bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, dan tidak beritikad

buruk, (2) menempuh cara – cara profesional dalam melaksanakan tugas, (3)

menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak

mencampuradukan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan

prdauga tidak bersalah, (4) menghormati hak narasumber tentang kehidupan

pribadi, kecuali untuk kepentingan publik, (5) wartawan Indonesia segera

(36)

28

disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar atau pemirsa,

(6) wartawan melayani hak jawab dan koreksi secara profesional.

Ermanto11 mengutip pendapat Mahbub Junaidi, menjelaskan bahwa

untuk menjadi wartawan profesional harus lebih dulu bisa

mengaktualisasikan kode etik jumalistik dalam tugas sehari-hari, karena

sesungguhnya kode etik jurnalistik itu adalah alat untuk mendisiplinkan diri.

Wartawan boleh membuat aturan sendiri, dilaksanakan atas kemampuan

sendiri dan kehendak sendiri selama tidak bertentangan dengan aturan yang

berlaku. Semua pelaku media diharapkan patuh pada kode etik jumalistik

yang telah disepakati bersama.

b. Nilai Islam dalam konteks jurnalis muslim

Suf Kasman12 berpendapat kode etik jurnalis muslim, yakni Pertama,

jurnalis muslim adalah hamba Allah yang karena individu maupun

profesinya wajib menggunakan, menyampaikan, dan memperjuangkan

kebenaran di setiap tempat dan saat dengan segala konsekuensinya.

Hal ini dapat dilihat pada firman Allah dalam QS An Nahl 125:











Artinya :’Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah

dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.

11

Ermanto, Menjadi Wartawan Handal dan Profesional, Panduan Praktis dan Teoritis, (Yogyakarta : Cinta Pena, 2005), 166.

12

(37)

29

Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk“13

Kedua, dalam menyampaikan informasi, jurnalis muslim hendaknya

melandasinya dengan itikad yang tinggi untuk senantiasa melakukan

pengecekan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, sehingga tulisannya

pribadi dan khalayaknya tidak akan dirugikan. Seperti dalam QS Al

Hujurat ayat 6:



















Artinya : ‘‘Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu’’14.

Ketiga, ketika menyampaikan karyanya, jurnalis muslim hendaknya

menggunakan bahasa yang baik dan benar dalam gaya bahasa yang santun

dan bijaksana. Dengan demikian hal yang disampaikannya dapat

dimengerti, dirasakan, dan menjadi hikmat bagi khalayak. Firman Allah

dalam QS Al Isra ayat 23:

13

al-Quran,16:125. 14

(38)

30













Artinya : “Sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada

kleduanya (ibu bapak) perkataan‚’’ah’ ’dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepadanya perkataan yang mulia.”15

Keempat, dalam melaksanakan tugas jurnalistik, hendaknya jurnalis

muslim melakukannya secara profesional dalam iklim kerja yang produktif,

sehingga karyanya akan memiliki hasil yang optimal untuk selanjutnya

akan dipandang sebagai aset utama perusahaan. Firman Allah dalam QS An

Nisa ayat 58:





















Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan

amanat kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hakmu di antara manusia, supaya kamu menetapkan yang adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.16

15

al-Quran, 17: 23.

16

(39)

31

Kelima, dalam melaksanakan tugas-tugasnya, jurnalis muslim

hendaknya menghindarkan sejauh mungkin prasangka maupun pemikiran

negatif sebelum menemukan kenyataan objektif berdasarkan pertimbangan

yang adil dan berimbang dan diputuskan oleh pihak yang berwenang.

Firman Allah SWT dalam Al Hujurat ayat 12:



































Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan porang lain dan janganlah sebagaian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya”.17

Keenam, dalam kehidupan sehari-hari, jurnalis muslim hendaknya

senantiasa dilandasi etika Islam dan gemar melaksanakan aktivitas sosial

yang bermanfaat bagi umat. Jurnalis muslim sudah seharusnya selalu

memperkaya wawasan keislamannya untuk meningkatkan amal ibadat

sehari-hari. Allah SWT berfirman dalam Al-Jumu‘ah ayat 2:

17

(40)

32



































Artinya : “Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka, yang membacakan ayat-ayat Nya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah (Al Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”.18

Ketujuh, dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis muslim hendaknya

menjunjung tinggi azas kejujuran, kedisiplinan, dan selalu menghindarkan

diri dari hal-hal yang akan merusak profesionalisme dan nama baik

perusahaannya. Komitmen yang tinggi seyogyanya diberikan pada

profesionalisme dan bukan pada ikatan primordialisme yang sempit. Fiman

Allah dalam Al Hujurat ayat 13:

























Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah

18

(41)

33

orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesugguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.19

Kedelapan, dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis muslim

hendaknya senantiasa mempererat persaudaraan sesama profesi berdasarkan

prinsip ukhuwah Islamiyah tanpa harus meninggalkan azas kompetisi sehat

yang menjadi tuntutan perusahaan modern. Firman Allah SWT dalam

surah Al Baqarah 148:

















Artinya : ‘‘Berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.20

Kesembilan, dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis muslim

hendaknya menyadari betul bahwa akibat dari karyanya akan memiliki

pengaruh yang luas terhadap khalayaknya. Karena itu, hendaknya semua

kegiatan jurnalistiknya di tujukan untuk tujuan-tujuan yang konstruktif

dalam rangka pendidikan dan penerangan umat. Firman Allah SWT dalam

Ali Imran ayat 138:

19

al-Quran,49:13.

20

(42)

34

















Artinya : “Al Qur’an ini adalah penerangan bagi seluruh umat manusia,

dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa”.21

Kesepuluh, dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis muslim

hendaknya dengan penuh kesadaran memahami bahwa profesinya

merupakan amanat Allah, umat, dan perusahaan. Karena itu, hendaknya

selalu siap mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada Allah, umat dan

perusahaannya. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Ahzab 71:











Artinya : “Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu

dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”.22

3. Budaya Gratifikasi Sebagai Tantangan Pers Indonesia

Lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers

menandai berakhirnya sistem bredel yang selama bertahun-tahun terperangkap

dalam konsep media pembangunan, yang harus mengedepankan kepentingan

21

al-Quran, 3:138.

22

(43)

35

pemegang kekuasaan. Kebebasan berpendapat dan berekspresi era reformasi

1998 telah mendorong tumbuhnya perusahaan media di Indonesia. Hal tersebut

seiring dengan kehendak masyarakat yang menginginka

Gambar

Gambar 1
Gambar 3 Beragam Isi Goodie Bag

Referensi

Dokumen terkait

Hidrolisis Pati Ubi Kayu (Manihot Esculenta) dan Pati Ubi Jalar (Impomonea batatas) menjadi Glukosa secara Cold Process dengan Acid Fungal Amilase dan Glukoamilase,

Dalam kegiatan tersebut secara terperinci harus jelas kemana siswa itu akan dibawa (tujuan), apa yang harus ia pelajari (isi bahan pelajaran), bagaimana cara

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah Perilaku Satwa Liar, dengan judul Preferensi Pakan dan Perilaku Makan Walabi Lincah

Anak perempuan mempunyai hubungan yang lebih hangat dengan orangtuanya (baik ayah maupun ibu), untuk mewujudkan kualitas interaksi yang lebih baik dibandingkan

subyek dan peserta didik sebagai obyek, guru yang “menakdirkan” sedangkan peserta didik yang “ditakdirkan”, guru sebagai peran dan siwa sebagai yang

Hakim, N dan Agustian, 2003.Gulma Tithonia dan Pemanfaatannya sebagai Sumber Bahan Organik dan Unsur Hara untuk Tanaman Hortikultura.Laporan Penelitian Tahun I

Ada hubungan negatif antara konflik peran ganda dengan life satisfaction pada wanita bekerja yang berprofesi sebagai guru.Semakin tinggi tingkat konflik peran ganda yang

 3utrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan peningkatan metabolisme sekunder terhadap demam dan proses in%eksi ditandai dengan na%su makan menurun, BB turun, mual