UMMATAN WASAT{AN DALAM SURAT AL-BAQARAH AYAT
143 MENURUT IBN KATHIR DAN HAMKA
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
MAUFUROH RIDHO NIM. E83213159
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
Skripsi:
Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-1) Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
MAUFUROH RIDHO NIM: E83213159
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
viii
ABSTRAK
Maufuroh Ridho, 2016, Ummatan Wasat}an dalam Surat Al-Baqarah ayat 143 Menurut Ibn Kathir dan Hamka Skripsi Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang berisi firman-firman Allah. Kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah dan menjadi pedoman manusia untuk menacapai kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat. Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ini berisi petunjuk-petunjuk dalam berbagai persoalan kehidupan, salah satunya tentang masyarakat. Al-Qur’an memberikan petunjuk mengenai cita-cita dan kualitas suatu masyarakat yang baik nan ideal, terutama Allah menjadikan umat Islam sebagai ummatan wasatan sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 143 agar menjadi saksi atas perbuatan manusia. Maka yang menjadi pokok penelitian skripsi ini menguraikan makna ummatan wasatan menurut Ibn Kathir dan Hamka, dan teori apa yang mereka gunakan sehingga menghasilkan penafsiran yang berbeda. Penelitian ini termasuk dalam jenis/kategori penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang menitik beratkan pada literatur dengan cara menganalisis muatan isi dan literatur-literatur yang terkait dengan penelitian, baik dari sumber data primer maupun sekunder. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui teori yang digunakan kedua mufassir yakni Ibn Kathir dan Hamka dalam menafsirkan ummatan wasatan, sekaligus mengetahui dan menganalisis terjadinya perbedaan makna dalam menafsirkan al-wasat pada surat al-Baqarah ayat 143. Melalui deskriprif analisis, nanti akan diketahui kenapa Ibn Kathir menafsirkan ummatan sebagai umat yang terbaik, terpilih dan adil, sedangkan Hamka memaknai sebagai umat yang menempuh jalan tengah. Penulis sengaja memilih tema ummatan wasatan ini karena sangat penting untuk dikaji, melihat berbagai fenomena yang sering terjadi, teroris yang mengatas-namakan Islam, pembunuhan yang mengatasnamakan jihad, sikap umat Islam yang tidak mencerminkan nilai-nilai Islam, seperti kurangnya sikap toleran terhadap umat beragama lain, sedikit-dikit mengkafirkan orang lain yang berbeda pendapat. Kesimpulan dari penelitian ini, perbedaan penafsiran umatan wasatan menurut Ibn Kathir dan Hamka, apabila di gabungkan akan saling berkaitan dan melengkapi makna ummatan wasatan sendiri. Umat Islam yang dijadikan Allah sebagai ummatan wasatan baiknya mencermikan sikap yang baik dalam artian tidak terlalu liberal dan ekstrem dalam melakukan hal apapun.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR... i
SAMPUL DALAM... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii
PENGESAHAN SKRIPSI... iv
PERNYATAAN KEASLIAN... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN... vii
ABSTRAK... viii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI... xii
PEDOMAN TRANSLITERASI... xiv
BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah... 1B.
Identifikasi dan Batasan Masalah... 7C.
Rumusan Masalah... 8D.
Tujuan Penelitian... 8E.
Kegunaan Penelitian... 8F.
Telaah Pustaka... 9G.
Metode Penelitian... 10H.
Sistematika Pembahasan... 13BAB II. LANDASAN TEORI
A.
Teori Asbab Al-Nuzul ...14B.
Teori Munasabah...17xiii
BAB III. TAFSIR IBN KATHIR DAN AL-AZHAR
A. Tafsir Ibn Kathir...27
1. Biografi Ibn Kathir...27
2. Metode dan corak tafsir Ibn Kathir...29
B. Tafsir Al-Azhar...31
1. Biografi Hamka...31
2. Metode dan corak tafsir al-Azhar...36
BAB IV. PENAFSIRAN IBN KATHIR DAN HAMKA
TENTANG UMMATAN WASAT}AN
A. Penafsiran Ibn Kathir tentang ummatan wasatan...39B. Penafsiran Hamka tentang ummatan wasatan...45
C. Analisis... 54
1. Asbab al-Nuzul...54
2. Munasabah ...57
3. Fungsi Hadits...58
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ... 62B. Saran... 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur`an Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu nya diantaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara.1 Seperti firman-Nya dalam surat al-Hijjr ayat 9.
وظفاحل هل اّنإ رْكّذلا انْلّ ن نْحن اّنإ
Sesungguhnya Kami yang menurunkan al-Quran dan sesungguhnya Kami memeliharanya.2
Al-Qur`an adalah kitab suci umat Islam yang merupakan kumpulan firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Di antara tujuan utama diturunkannya al-Qur`an adalah untuk menjadi pedoman manusia dalam menata kehidupan mereka supaya memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. agar tujuan itu dapat terealisasikan oleh manusia, maka al-Qur`an datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan, baik yang bersifat global maupun yang
1
Quraish Shihab. Membumikan Al-Qur`an Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), 21.
2 Departemen Agama RI. Al-Quran Terjemah Indonesia (Jakarta: PT.Sari Agung, 2002),
2
terinci, yang tersurat maupun yang tersirat dalam berbagai persoalan dan bidang kehidupan.3
Meskipun al-Quran merupakan firman Allah SWT, namun ia bisa dipahami oleh manusia. Al-Quran merupakan bahasa Tuhan yang dipahami oleh manusia. Cara memahami makna al-Quran sama dengan cara yang digunakan untuk memahami sebuah teks atau tulisan.4
Manusia membutuhkan pedoman hidup. Kitab-kitab maupun lembaran-lembaran wahyu terdahulu sebelum al-Quran adalah bagian dari al-Quran. Kitab maupun lembaran wahyu tersebut diturunkan sesuai dengan kondisi peradaban umat manusia. Peradaban terkait dengan kemajuan akal manusia. Umat Nabi Muhammad Saw adalah umat yang paling maju peradabannya. Karenanya, al-Quran berisi wahyu Allah yang telah disesuaikan dengan peradaban manusia modern.5
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai hu-dan li al-nas (petunjuk untuk seluruh manusia). Inilah fungsi utama kehadirannya. Dalam rangka penjelasan tentang fungsi al-Quran ini, Allah menegaskan: Kitab Suci diturunkan untuk memberi putusan (jalan keluar) terbaik bagi problem-problem kehidupan manusia (QS 2:213). Kita yakin bahwa para sahabat Nabi Muhammad Saw,
seandainya hidup pada saat ini, pasti akan memahami petunjuk-petunjuk al-Quran
3 Ali Nurdin, Quranic Society (Jakarta: Erlangga, 2006), 1. 4
Moh.Ali Aziz, Mengenal Tuntas Al-Qur’an (Surabaya: Imtiyaz, 2012), 195.
sedikit atau banyak berbeda dengan pemahaman mereka sendiri yang telah tercatat dalam literatur keagamaan. 6
Salah satu persoalan pokok yang banyak dibicarakan oleh al-Qur`an adalah tentang masyarakat. Walaupun al-Qur`an bukan kitab ilmiah, namun di dalamnya banyak sekali dibicarakan tentang masyarakat. Al-Qur`an secara tegas juga menerangkan bahwa bangsa dan masyarakat mempunyai hukum-hukum dan prinsip-prinsip bersama yang menentukan kebangkitan dan kejatuhannya sesuai dengan proses-proses tertentu.
Al-Qur`an sekalipun tidak memberikan petunjuk langsung tentang suatu bentuk msyarakat yang dicita-citakan di masa mendatang, namun tetap memberikan petunjuk mengenai cita-cita dan kualitas suatu masyarakat yang baik, walaupun semua itu memerlukan upaya penafsiran dan pengembangan pemikiran. Disamping itu al-Qur`an juga memerintahkan kepada umat manusia untuk memikirkan pembentukan suatu masyarakat dengan kualitas-kualitas tertentu. Dengan begitu menjadi sangat mungkin bagi umat Islam untuk membuat suatu gambaran masyarakat ideal berdasarkan petunjuk al-Qur’an.
Ummatan wasat}an merupakan salah satu term yang digunakan al-Qur`an menunjuk arti masyarakat ideal. Istilah tersebut tertuang dalam surat al-Baqarah ayat 143:
ْم ْيلع وسّرلا و ي اّنلا ىلع ءاد ش ْاونو تّل اًطس ًةّمأ ْمكانْلعج كلذك
اًدي ش
4
Dan demikian pula Kami menjadikan kamu umat penengah (pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan adalah Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu.7
Umat Islam pernah menduduki posisi depan dalam kemajuan suatu bangsa, namun kemajuan itu tidak bertahan sampai sekarang. Umat Islam mengalami kemunduran. Wajah Islam yang seharusnya adil, damai, ramah, dan perberadapan tinggi malah tidak nampak dalam perilaku umat Islam. Namun sebaliknya, akhir- akhir ini banyak dijumpai semakin maraknya golongan-golongan teroris yang mengatas-namakan Islam. Peperangan antar umat Islam juga makin nampak hanya karena berbeda pandangan atau pemikiran dengan mengatas-namakan jihad.
Dalam ayat tersebut bahwa kualifikasi umat yang baik adalah ummatan
wasat}an. Allah menjadikan umat Islam sebagai umat wasatan agar menjadi saksi
atas perbuatan manusia. Sebenarnya siapa yang mempunyai kualifikasi sebagai ummatan wasatan dan bersasksi atas perilaku apa yang dilakukan umat lainnya. Ummatan wasatan menjadi topik yang belakangan ini hangat dibicarakan dalam ceramah-ceramah keagamaan atau dalam ormas keislaman agar memahami bagaimana sebenarnya umat Islam itu sendiri dalam hal bertindak dan berpikir dengan konsep wasath. Istilah ummatan wasatan ini banyak ditafsiri sebagai umat yang adil, terbaik, terpilih dan seimbang oleh para mufassir.
Al-Qaradhawi pertama kali menggunakan istilah “al-wasatiyyah” (tengah/pusat atau jalan tengah). Dia sedang menginstitusionalkan di dalam sebuah
fatwa konsep baru dalam teology Islam modern yang kemudian dia perluas dengan prinsip “al-nisbiyyah” atau “relativity”. Mazhab moderatnya didasarkan pada prinsip masuk akal dan aplikasi yang berimbang antara Hukum Islam yang ada di Syariah dengan kehidupan modern. Dia menggunakan kata wasatiyya (jalan tengah) untuk menjelaskan bahwa Islam adalah umat yang adil (‘adl) dan imbang
(i’tidal).8
Ummatan wasatan menurut Sayid Qutb, umat pertengahan dengan segala
makna wasath baik yang diambil dari kata wisaathah yang berarti bagus dan utama, maupun dari kata wasath yang berarti adil dan seimbang, atau dari kata wasath dalam arti material indrawi. Ummatan wasatan dalam tashawwur pandangan, pemikiran, persepsi dan keyakinan. Umat Islam bukanlah umat yang semata-mata bergelut dengan rohani ataupun materi, akan tetapi, umat Islam adalah umat yang pemenuhan nalurinya seimbang dna bersesuaian dengan pemenuhan jasmani. Dengan keseimbangan ini akan bisa meningkatkan ketinggian mutu kehidupan.9 Quraish Shihab juga berpendapat Umat Islam sebagai ummatan wasatan atau umat pertengahan moderat dan teladan, sehingga dengan posisi Ka’bah yang berada di pertengahan pula. Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan.10
8 Rahmatullah. Islam Moderat dalam Perdebatan. (Dialog; jurnal , vol. 71 no.1, tahun
xxxiv, jakarta, juli 2011, hal 46.
9 Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an dibawah Naungan Al-Quran, ter. As’ad Yasin
dkk, jil 1 (jakarta: Gema Insani Press, 2000), 158.
10 M. Quraish shihab, Tafsir Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an jil 1.
6
Muslim adalah umat yang menghindari semua perbuatan yang berlebihan atau ekstrim dan mengikuti jalan tengah dalam melakukan tindakan apapun. Inilah cara Islam dan inilah jalan menuju sukses.11
Menurut al-Maraghi al-wasat berarti adil dan bersikap tengah-tengah, dengan artian tidak terlalu berlebihan, tidak keterlaluan dan tidak mengekang. Sikap umat Islam tengah-tengah di antara kedua ekstrim. Mengutip perkataan
seorang penyair “janganlah berlebih-lebihan dalam suatu hal dan jangan
berpergian sempit (picik) tetapi ambillah pertengahan di antara keduanya”.12
Dalam kamus al-munawwir, kata wasat}a berarti tengah dan wa>sit berarti wasit atau penengah.13 Dalam al-Qur`an, kata wasat} terulang lima kali, lima ayat dalam empat surat.14 Salah satu terdapat pada surat al-Adiyat ayat lima adalah sebagai berikut:
اًعْ ج هب نْطسوف
Lalu menyerbu di tengah-tengah kumpulan musuh.15
Arti makna “ummatan wasat}an” di tafsiri sebagai umat yang menempuh jalan
tengah seperti pandangan Hamka.16 Namun menurut Ibnu Kathir menafsirkan dengan makna umat pilihan, terbaik dan adil17. Perbedaan inilah yang menjadi
11 Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan:Kerukunan Beragama di Indonesia
(Jakarta: PPIM, 1998), hal 163.
12 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Maraghi jilid 2, terj.Bahrun Abu Bakar dkk
(Semarang: PT.Karya Toha Putra,1993 ), 2
13 Ahmad St, Kamus Munawwar (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2002), 1557-1558. 14 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-mu`jam Al-mufahras li Al-fa>z }Al-qura>n (Beirut: Dar
al-Ma`rifah, 2002), 953.
15 Departemen Agama RI, Al-Quran Terjemah Indonesia.. , 1262. 16 Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid II (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002), 8.
17 Ibn Kathir, Tafsir Ibn Kathir, terj. Bahrun Abu Bakar, jilid II (Bandung: Sinar Baru
kajian penelitian dengan menganalisa dari segi metode dan teori yang digunakan Hamka dan Ibn Kathir, karena dalam tafsir tersebut ditemukan perbedaan makna.
Setiap mufassir selalu mempunyai metode, pendekatan atau teori yang berbeda-beda untuk menafsirkan ayat al-Quran. Perbedaan penafsiran tiap mufassir apabila digabungkan akan melengkapi dalam merangkai makna ummatan wasatan. Dilatarbelakangi oleh hal inilah, penulis berusaha melakukan pengkajian dan analisa dengan tujuan agar mampu memahami pengertian tentang ummatan
wasat{an dalam al-Qur`an, antara Tafsir al-Qur`an al-`Azim karya Ibn Kathir yang
termasuk tafsir klasik dengan Tafsir al-Azhar karya Hamka yang merupakan tafsir modern.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Dengan melihat latar belakang di atas, maka akan teridentifikasi berbagai permasalahan yang akan muncul. Seperti bagaimana umat Islam memaknai umatan
wasat}an, bagaiamana umat Islam memahami dan implementasikan sikap umatan
wasatan dalam kehidupan sehari-hari, apa fungsi ummatan wasatan di kehidupan sosial masyarakat dengan beragam umat, apa pengaruh ummatan wasat}an bila diterapkan oleh seluruh umat muslim dan masalah-masalah lainnya.
8
ini hanya meliputi makna ummatan wasat}an menurut Ibn kathir dan Hamka serta teori yang digunakannya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan sebagai berikut:
1. Mengapa Ibn Kathir menafsirkan ummatan wasat}an sebagai umat pilihan, terbaik dan adil ?
2. Mengapa Hamka menafsirkan ummatan wasat}an sebagai umat yang menempuh jalan tengah ?
D. Tujuan Penelitian
Dengan melihat latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Memahami penafsiran Ibn Kathir tentang ummatan wasat}an sebagai umat pilihan, terbaik dan adil.
2. Memahami penafsiran Hamka mengenai ummatan wasat}an sebagai umat yang menempuh jalan tengah.
Berdasarkan pada permasalahan yang telah disebutkan di atas, maka tulisan ini diharapkan akan dapat memberikan beberapa kontribusi dan manfaat, yang secara umum adalah:
1. Secara teoritis
Penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dan wawasan kepada umat Islam tentang khazanah keilmuan tafsir serta dapat memberikan manfaat bagi pengembangan penelitian yang sejenis.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta pemahaman kepada masyarakat Islam, tentang bagaimana al-Qur’an itu berbicara tentang penafsiran ummatan wasat}an dan bagaimana umat Islam mampu menerapkan sikap dari ummatan wasatan di bumi ini.
F. Telaah Pustaka
Sepanjang penelitian dan pengamatan yang penulis lakukan, masih sangat sedikit yang membahas mengenai ummatan wasatan. Penulis hanya menemukan dua karya ilmiah yang telah mengkaji tema tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:
10
Yogyakarta tahun 2003, dalam karya ini terfokus menjelaskan penafsiran Alusi tentang makna ummatan wasatan dalam kitab tafsirnya ruh al-ma’ani. 2. Penafsiran Muhammad Thalibi Tentang Ummatan Wasathan Dalam Al-Quran, oleh Nor Elisa Rahmawati. Karya skripsi Jurusan Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2014, disini menguraikan bagaimana pandangan thalibi tentang konsep ummatan wasathan.
Sedangkan yang membedakan penelitian ini dengan yang sebelumnya, bahwa penelitian sebelumnya menggunakan sudut pandang mufassir tertentu, pada penelitian ini menggunakan metode komparatif atau perbandingan penafsiran dari dua mufassir yaitu Ibn Kathir dan Hamka.
G. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif yang bersifat menemukan teori18. Dilihat dari objeknya, penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pustaka atau literatur (library research)19, karena penelitian ini akan meneliti dokumen-dokumen tertulis seperti buku tentang umat Islam, kitab-kitab tafsir dan lain sebagainya. Hal ini
18 Sri Kumalaningsih, Metodologi Penelitian (Malang: Universitas Brawijaya Press,
2012), 48. 19
dilakukan melalui metode komparatif (muqaran)20, yang digunakan untuk menganalisa data yang sama dan bertentangan. Dalam konteks ini langkah-langkah yang harus ditempuh ialah dengan memusatkan perhatian pada sejumlah ayat tertentu, lalu melacak berbagai pendapat para mufassir tentang ayat tersebut, kemudian membandingkan pendapat-pendapat yang mereka kemukakan untuk mengetahui kecenderungan, aliran yang mempengaruhi mereka.21
2. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua kategori yaitu:
a. Data primer, yaitu kitab Tafsir al-Qur`an al-`Azim karya Ibn Kathir dan Tafsir Al-Azhar karya Hamka
b. Data sekunder, yaitu meliputi berbagai macam kitab atau buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. Dalam hal ini, buku-buku yang dapat dijadikan rujukan yang lain diantaranya adalah buku yang berjudul Manna al-Khatan dan kitab-kitab tafsir lainnya.
3. Teknik analisis data
20Metode komparatif menurut para ahli mencakup tiga hal yaitu, pertama, membandingkan ayat yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, kedua, membandingkan ayat al-Quran dan hadits yang tampak bertentangan, ketiga, membandingan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Quran. Lihat, Nashiruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 65.
12
Penulisan skripsi ini menggunakan metode analisis-deskriptif,22 yaitu dengan menganalisis dan memberikan gambaran terkait ummatan wasatan menurut Ibn Kathir dan Hamka.
Pada tahap analisa data ini, langkah yang dilakukan adalah: pertama, mengelompokkan data berdasarkan tema dan tokoh tafsir selanjutnya meneliti seluruh data yang diperoleh, kedua, mendeskripsikan penafsiran kedua tokoh mengenai ummatan wasat}an dalam Tafsir al-Qur`an al-`Azim karya Ibn Kathir dan Tafsir Al-Azhar karya Hamka, ketiga, menganalisis penafsiran keduanya dan akhirnya menarik kesimpulan dari penafsiran tersebut.
Adapun pendekatan yang dilakukan oleh penulis untuk dapat membaca data dengan lebih efektif dan memadai, maka pendekatan yang digunakan dalam analisa data ini adalah pendekatan teori. Hal ini penulis pilih sebagai alat untuk mengetahui sikap ummatan wasat}an menurut Ibn Kathir dan Hamka.
H. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih mempermudah pembahasan dalam skripsi ini, maka penulisan ini disusun atas lima bab sebagai berikut:
Bab I berisi tentang pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
22 Ismail Nawawi, Metoda Penelitian Kualitatif (Jakarta: CV Dwiputra Pustaka Jaya,
penelitian, telaah pustaka, metodologi penelitian, kemudian dilanjutkan dengan sistematika pembahasan.
Bab II berisi data tentang landasan teori yakni asbabun nuzul, munasabah dan fungsi hadits dalam tafsir al-Qur`an dalam menganalisis lafadz ummatan wasatan.
Bab III berisi biografi Ibn Kathir dan Hamka meliputi karya, pendidikan, serta metode dan karateristik penafsirannya.
Bab IV berisi tentang penafsiran lafadh umat wasatan dalam Tafsir al-Qur`an al-`Azim karya Ibn Kathir dan al-Azhar karya Hamka, kemudian analisa tentang teori yang digunakan antara kedua penafsiran tokoh tersebut.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
Berdasarkan masalah penelitian, penulis berasumsi bahwa terjadinnya perbedaan penafsiran tersebut terjadi karena teori yang digunakannya berbeda. Ialah teori asba>b al-Nuzu>l, munasa>bah dan fungsi hadis. Maka dari teori tesebut dijadikan pedoman dasar yang digunakan oleh kedua mufassir untuk mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an.
A. Teori Asba>b Al-Nuzu>l
1. Pengertian Asba>b Al-Nuzu>l
Ada tiga definisi yang dikemukakan oleh ahli tafsir tentang asbab al-nuzul, yaitu pertama pendapat al-Zarqani yang mengatakan bahwa suatu peristiwa yang terjadi mennjelang turunnya ayat. Kedua, peritiwa-peristiwa pada masa ayat al-Qur’an itu diturunkan (yaitu dalam waktu 23 tahun), baik peristiwa itu terjadi sebelum atau sesudah ayat itu diturunkan. Ketiga, peristiwa yang dicakup oleh suatu ayat, baik pada waktu 23 tahun itu maupun yang terjadi sebelum atau sesudahnya. Ini sesuai dengan definisi yang dikemukakan oleh Subhi Sholeh yang berbunyi: “Sesuatu yang dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu, atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa terjadinya sebab tersebut.1
Pengertian ketiga ini memberikan indikasi bahwa sebab turunnya suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan adakalanya berbentuk pertanyaan. Satu ayat atau beberapa ayat yang turun untuk menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap pertanyaan tertentu.
Asbab al-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa
turunnya ayat, baik sebelum maupun sesudah turunnya, dimana kandungan ayat tersebut berkaitan atau dapat dikaitkan dengan suatu peristiwa itu.2
2. Cara-cara mengetahui Asba>b Al-Nuzu>l
Mengetahui asbab al-nuzul bisa di kethui dengan cara mengetahui susunan atau bentuk redaksi yang memberi petunjuk tentang asbab al-nuzul, yaitu:3
1) Adanya bentuk redaksi dengan secara tegas berbunyi
اذك ةيأا ْ ن ب س
2) Adanya huruf al-Fa’ al-sababiyah yang masuk pada riwayat yang dikaitkan
dengan turunnya ayat, misalnya:
ةيأا تل نف
3) Adanya keterangan yang menjelaskan, bahwa Rasulullah ditanya sesuatu kemudian diikuti dengan turunnya ayat sebagai jawabannya.
4) Bentuk redaksi seperti
ىف ةيأا ذ
ه
ن
atauةيأا تل نف
menurut IbnTaimiyah, bentuk tersebut mengandung dua kemungkinan, pertama menunjukkan sebagai sebab turunnya ayat. Kedua sebagai keterangan tentang maksud ayat dan bukan sebagai turunnya ayat.
2 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), 235.
3 Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
16
3. Urgensi Mengetahui Asba>b Al-Nuzu>l
Terdapat beberapa ulama’ yang menyatakan beberapa manfaat mengetahui dan
memahami Asbab al-Nuzul. Diantara ulama yang berpendapat seperti itu ialah:4
1) Ibnu Al-Daqiq menyatakan bahwa mengetahui Asbab al-Nuzul merupakan metode yang utama dalam memahami pesan yang terkandung dalam
al-Qu’an.
2) Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa mengetahui Asbab al-Nuzul akan membantu dalam memahami ayat al-Qur’an, karena mengetahui sebab berarti juga mengetahui musabbab.
3) Al-Wahidi menyatakan sebagaimana dikutip oleh as-Suyuthi bahwa tidak mungkin seseorang dapat menafsirkan suatu ayat tanpa mengetahui sejarah turunnya dan latar belakang masalahnya.
Sebagian ulama’ menganggap pengetahuan terkait Asbab al-Nuzul itu
penting, hingga mereka merincinya, yaitu:5
1) Memberikan petunjuk tentang hikmah yang dikehendaki Allah Swt, atas apa yang telah ditetapkan hukumnya.
2) Memberikan petunjuk tentang adanya ayat-ayat tertentu yang memiliki kekhususan hukum tertentu.
3) Merupakan cara yang efisien dalam memahami makna yang terkandung dalam al-Qur’an.
4) Menghindari keraguan tentang ketentuan pembatas yang terdapat dalam
al-Qur’an.
5) Menghilangkan kemusykilan dalam memahami ayat.
4. Kaidah Asba>b Al-Nuzu>l
Ulama telah membahas tentang hubungan antara sebab yang terjadi, dengan ayat yang turun. Hal seperti ini dianggap penting karena sangat erat kaitannya dengan penerapan hukum. Adanya perbedaan pemahaman tentang suatu ayat berlaku secara umum berdasarkan bunyi lafalnya, atau terkait sebab turunnya, menyebabkan lahirnya dua kaidah antara lain.6
Kaidah yang terkait dengan asbab al-nuzul ulama tafsir dan ushul fiqh mengatakan bahwa ada dua kaidah yang terkait dengan masalah asbab an-nuzul yang membawa implikasi cukup luas dalam pemahaman kandungan ayat tersebut, ialah:
1)
ب سلا وصخبا
ظ للا و عب ر علا
Yang menjadi patokan ialah keumuman lafadz, bukan karena sebab yang khusus, ini merupakan pendapat yang dianut oleh jumhur ulama.
2)
ظ للا و عبا ب سلا وصخب ر علا
Yang menjadi patokan ialah sebab khusus, bukan keumuman lafadz. Kaidah ini berkaitan dengan permasalahan apakah ayat yang
6
18
diturunkan Allah SWT berdasarkan sebab yang khusus harus dipahami sesuai dengan lafal umum ayat tersebut atau hanya terbatas pada khusus yang melatarbelakangi turunnya ayat itu.7
B. Teori Muna>sabah
1. Pengertian Muna>sabah
Secara etimologi, muna>sabah berasal dari akar kata بسن yang mengandung arti berdekatan atau mirip. Maka dari itu diperoleh gambaran bahwa munasabah terjadi antara dua hal yang mempunyai hubungan atau pertalian baik dari segi fisik maupun maknanya.8 Kata “munasabah” berarti
“musyakalah” (keserasian) dari “muqarobah ” (kedekatan).9
Munasabah dari segi bahasa bermakna kedekatan. Nasab adalah kedekatan hubungan antara seseorang dengan yang lain disebabkan oleh hubungan darah/keluarga.10
Menurut Zarkasyi, munasabah adalah mengaitkan bagian-bagian permulaan ayat dan akhirnya mengaitkan lafad umum dan lafad khusus atau hubungan antara ayat yang terkait dengan sebab akibat. Sedangkan menurut Manna al-Qattan muna>sabah mengandung pengertian ada oaspek hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, atau antara satu ayat
7 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1994), 89-90. 8 Nasrudin Baidan, Wawasan Baru.. ,183.
9 M Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), 319. 10
dengan ayat lain dalam himpunan beberapa ayat, ataupun hubungan surat dengan surat yang lain.11
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa munasabah adalah keterkaitan dan keterpaduan hubungan antara bagian ayat-ayat, surat-surat dalam al-Qur’an agar dapat diketahui keterkaitan antara ayat sebelum dan sesudahnya begitu juga dengan satu surat dengan surat yang lain.
2. Macam-macam Muna>sabah
Ulama-ulama al-Quran menggunakan kata Munasabah untuk dua makna. Pertama, hubungan kedekatan antara ayat atau kumpulan ayat-ayat al-Quran
satu dengan lainnya. Ini dapat mencakup banyak ragam, antara lain:12 a) Hubungan kata demi kata dalam satu ayat.
b) Hubungan ayat dengan ayat sesudahnya.
c) Hubungan kandungan ayat dengan fashilah/penutupnya. d) Hubungan surah dengan surah berikutnya.
e) Hubungan awal surah dengan penutupnya. f) Hubungan nama surah dengan tema utamanya.
g) Hubungan uraian akhir surah dengan uraian awal surah berikutnnya.
Kedua, hubungan makna satu ayat dengan ayat lain, misalnya pengkhususannya, atau penetapan syarat terhadapa ayat lain yang tidak bersyarat, dan lain-lain. QS.al-Maidah[5]:3, misalnya, menjelaskan aneka makanan yang haram, antara lain darah,
11Manna>’ Khalil al-Qat}t}a>n, Maba>his fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, ter. Mudzakir AS. (Bogor:
Pustaka Litera Antarnusa, 2011), 138. 12
20
tetapi QS.al-An’am[6]: 145 menjelaskan bahwa yang haram adalah darah yang mengalir. Nah, ada munasabah antara ayat al-Maidah dan al-An’am yang disebut di atas.
Menurut Nasruddin Baidan, Bentuk-bentuk munasabah menjadi tujuh bagian, yang dikutip olehnya, antara lain:13
1) Munasabah antara surat dengan surat, seperti munasabah antara surat al-Fatihah, al-Baqarah dan al-Imran. Ketiga surat ini ditematkan secara berurutan dan menunjukkan bahwa ketiganya mengacu pada satu tema sentral antara saru dengan yang lain seling menyempurnakan dalam tema tersebut. Sebagaimana dijelaskan al-Suyuti bahwa al-Fatihah mengandung tema sentral ikrar ketuhanan, perlindungan kepada Tuhan dan terpelihara dari agama Yahudi dan Nasrani. Sedangkan surat al-Baqarah mengandung tema pokok (akidah) agama, sementara al-Imran mengandung tema yang menyempurnakan maksud yang terdapat dalam pokok-pokok agama tersebut.
2) Munasabah antar nama surat dengan tujuan turunnya. Keserasian itu merupakan inti pembahasan surat tersebut serta penjelasan menyangkut tujuan surat itu. Sebagaimana diketahui dalam surat al-Baqarah yang arinya lembu betina. Cerita tentang lembu betina yang terdapat dalam surat itu hakikatnya menunjukkan kekuasaan Tuhan dalam membangkitkan orang mati, jadi tujuan dari surat al-Baqarah ialah menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan kepada hari akhir.
13
3) Munasabah antar kalimat dengan kalimat dalam satu ayat. Hal ini dapat dilihat adri dua segi, yaitu menggunakan huruf athf atau tanpa menggunakan huruf athf.
4) Munasabah antara satu ayat dengan ayat lain dalam satu surat. 5) Munasabah antara penutup ayat dengan isi ayat tersebut. 6) Munasabah awal uraian surat dengan akhirnya.
7) Munasabah antara akhir suatu surat dengan awal surat berikutnya.
3. Urgensi Memahami Munasabah
Ada empat fungsi utama dari ilmu munasabah, antara lain:14
1) Untuk menemukan arti yang tersirat dalam susunan dan urutan kalimat-kalimat, ayat-ayat, dan surah-surah dalam al-Quran.
2) Untuk menjadikan bagian-bagian dalam al-Quran saling berhubungan sehingga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh dan integral. 3) Ada ayat baru dapat dipahami apabila melihat ayat berikutnya. 4) Untuk menjawab kritikan orang luar terhadap sistematika al-Quran.
C. Fungsi Hadith dalam Al-Qur’an
1. Kedudukan Hadis
Berbicara tentang kedudukan hadis disamping al-Quran sebagai sumber ajaran Islam, al-Quran merupakan sumber pertama, sedangkan hadis
14
22
menempati sumber kedua.15 Hadis bagi umat Islam menempati urutan kedua sesudah al-Quran karena disamping sebagai sumber ajaran Islam yang secara langsung terkait dengan keharusan mentaati Rasulullah Saw, juga karena fungsinya sebagai penjelas (baya>n) bagi ungkapan-ungkapan dalam al-Quran.16
Banyak ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban seseorang untuk tetap teguh beriman kepada Allah Swt dan Rasul-Nya. Iman kepada Rasul Saw sebagai utusan Allah Swt merupakan satu keharusan dan sekaligus kebutuhan setiap individu. Dengan demikian Allah akan memperkokoh dan memperbaiki keadaan mereka.17
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Imran ayat 32, sebagai berikut:
نيرفا ْلا بحي ا هّ ّ إف ْاْوّلوت إف وسّرلا هّ ْاوعي أ ْلق
Katakanlah: "Taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya; tetapi jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tiada menyukai orang-orang kafir".18
2. Fungsi Hadis
Al-Quran dan hadis sebagai pedoman hidup dan sumber ajaran Islam. Antara satu dengan yang lainnya jelas tidak dapat dipisahkan. Al-Quran sebagai sumber ajaran hukum memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global, yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Di sinilah hadis
15
Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 27.
16 Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis (Yogyakarta: Kalimedia,2016), 1.
17 Tim Penyusun MKD, Studi Hadits (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 48. 18
menduduki dan menempati fungsinya menjadi penjelas (mubayyin) isi kandungan al-Quran tersebut.19 Hal ini sesuai dengan firman-Nya dalam surat al-Nahl ayat 44, sebagai berikut:
تي ْم ّلعل ْم ْيلإ ّ ن ام اّنلل نّي تل رْكّذلا كْيلإ انْل نأ رب لا انّي ْلاب
رّ
keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Fungsi hadis sebagai penjelas terhadap al-Quran itu bermacam-macam, antara lain sebagai berikut:20
1) Bayan Taqrir
Bayan taqrir disebut juga dengan bayan ta’kid dan bayan istbat.
Maksud bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Quran. Fungsi hadis di dalamm hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Quran.
Seperti ayat al-Quran pada surat al-Baqarah ayat 185, yang berbunyi:
م د ش ن ف اقْر ْلا د ْلا نّم انّيب اّنلّل ًده آْر ْلا هيف نأ ذّلا ا م رْ ش
م ن
اك نم هْ صيْلف رْ ّشلا
خأ اّيأ ْنّم ّدعف ر س ىلع ْ أ اً يرم
ديري ا رْسيْلا م ب هّ ديري ر
ر ْشت ْم ّلعل ْمكاده ام ىلع هّ ْا رّ تل ّدعْلا ْاول ْ تل رْسعْلا م ب
Dalam bulan Ramadhan itu diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk untuk manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Barangsiapa yang menyaksikan di antara kamu bulan Ramadhan hendaklah dia mempuasakannya, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,
24
maka (puasakanlah) bilangan (yang tidak dipuasakan itu) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan (harinya) dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.21
Ayat di atas di taqrir oleh hadis yang dikeluarkan Muslim dari Ibn Umar, yang artinya sebagi berikut:
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, begitupula
apabila melihat (ru’yah) bulan itu maka berbukalah”
2) Bayan Tafsir
Menerangkan hal-hal yang tidak mudah diketahui pengertiannya, yaitu yang mujmal dan yang musytarak fihi.
Contoh ayat al-Qur’an kewajiban shalat dalam surat al-Baqarah ayat 43.
نيعكاّرلا عم ْاوعكْ ا اكّ لا ْاوتآ اّصلا ْاو يقأ
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku'lah beserta orang-orang
yang ruku’.22
Hal ini dirincikan tata cara pelaksanaannya dalam hadis berikut:
ا ك اولص
ىهلصأ ينْو تيأ
اخ لا ا )
(
Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat (HR. Al-Bukhari). Dalam ayat di atas hanya ada perintah melaksanakan salat, namun tidak dijelaskan secara rinci bagaimana cara melaksanakan shalat. Sehingga
21
Departemen Agama RI. Al-Quran Terjemah Indonesia.. , 51. 22
datanglah hadis yang menjelaskan bahwa cara melaksanakan salat adalah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah.
3) Bayan tashri’
Penjelasan hadis yang berupa mewujudkan, mengadakan atau menetapkan suatu hukum yang tidak tersebut di dalam al-Quran, seperti menghukum dengan bersandar pada seorang saksi dan sumpah apabila
mudda’i tidak mempunyai dua orang saksi, dan seperti radha’ah (saudara
sepersusuan) mengharamkan pernikahan antara keduanya, mengingat hadis yang menyatakan:
هلا نم رْحي
ر
م رْحي ام ةعاض
بسّنلا ن
Haram lantaran rada’ (sepersusuan) apa yang haram lantaran nasab (keturunan). (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari ‘Aisyah)
4) Bayan nasakh
Mengganti suatu hukum atau men-nasakh-kan Quran dengan
al-Quran. Menurut ulama ahlal ra’yi ialah boleh. Me-nasakhkan al-Quran
dengan hadis boleh kalau hadis itu mutawattir, masyhur, atau mustafidh. Salah satu contoh yang bisa diajukan oleh para ulama ialah hadis tentang wasiat, sebagai berikut:
اإ اول ةيص ا اس هيلع هّ يلص ي نلا أ : دج نع هيبأ نع بيعش نب ر ع نع
(ينطق ادلا ا ها ) ةث ولا جيجي أ
Tiada wasiat (yang tidak sah) untuk ahli waris kecuali atas persetujuan ahli waris lainnya.
26
رْع ْلاب نيبرْقأا نْيدلاوْلل ةّيصوْلا اًرْيخ رت إ ْو ْلا مكدحأ ر ح ا إ ْم ْيلع بتك
اًه ح ف
ني ّت ْلا ىلع
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang telah mendekati kematian, jika ia meninggalkan harta, supaya berwasiat untuk ibu bapaknya dan kerabat menurut cara yang pantas sebagai kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.23
23
27
BAB III
TAFSIR IBN KATHIR DAN AL-AZHAR
A. Tafsir Ibn Kathir
1. Biografi Ibn Kathir
Nama lengkap penulis kitab Tafsir al-Qur`an al-Adzim, yang terkenal dengan Tafsir Ibn Katsir, adalah Abu al-Fida’ Imadu al Din Ismail ibn Abi Hafs Syihabu al-Din Umar ibn Katsir ibn al-Dara’ al-Quraisy al-Dimaski, lahir di desa Mijdal wilayah Basra sebelah timur Damaskus pada tahun 701 H.1
Ibn Kathir merupakan anak dari Shihab ad-Din Abu Hafsh Umar Ibn
Kathir Ibn Dawn Ibn Zara’ al-Quraisy dari desa al-Syirkuwin sebelah barat
Busra, lahir pada tahun 640 H dan meninggal pada tahun 703 H, yakni saat Ibn Kathir masih berumur tiga tahun.2
Setelah ayahnya meninggal, Ibn Katsir diasuh oleh kakaknya Syekh Abdul Wahab. Pada tahun 707 H. Mereka sekeluarga pindah ke Damaskus. Ibn Katsir hidup pada abad ke delapan hijriyah dibawah pemerintahan Dinasti Mamalik. Ia sempat menyaksikan serangan-serangan bangsa Tatar, kelaparan, angin dahsyat yang membunuh jutaan manusia, sebagaimana ia menyaksikan peperangan dengan Perancis (Salib), saling bunuh-membunuh
1 Jamaluddin Miri, Tafsir Al-Adzim Ibn Kathir: Studi tentang Sumber, Metoda dan Corak
Penafsirannya (Jurnal Mutawatir, Vol 3, No.1 juni 2013), 122; Ibn Katsir, al-Bida>yah wa al-Nihaya>h, juz xiv (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyah.t. th), 22.
28
antara para penguasa. Sementara itu, masa ini juga meliputi kegiatan keilmuan yang terjawantah dengan banyaknya madrasah, banyaknya penulisan buku-buku, dan banyaknya harta yang diwaqafkan kepada para ulama dan madrasah.3
Ibn Katsir meninggal pada hari kamis, 26 sya’ban 774 H. Sesuai dengan wasiatnya, ia dikuburkan dipemakaman di al-Sufiyah di samping makam gurunya Syekh al-Islam Taqiyuddin Ibn Taimiyah. Ketika dibawa keluar kota Damaskus menuju tempat pemakamannya, orang-orang banyak sekali yang mengiringi jenazahnya.4
Ibn Kathir belajar kepada ratusan guru, tapi guru yang paling banyak mempengaruhi pemikiran Ibn Katsir adalah Syekh Taqiyudin Ibn Tailmiyah (w. 728 H), karena ia mempunyai hubungan khusus dengannya, membela dan mengikuti pendapat-pendapatnya.
Dalam bidang fiqh, Ibn Kathir belajar kepada Syekh Burhan al-Din Ibrahim Abd al-Rahman al-Farizi (w.729 H). Seorang pemuka mazhab
Syafi’i. Bidang sejarah, Ibn Kathir belajar pada al-Qasim ibn Muhammad
al-Barzali (w.739 H), sejarawan dari Syam, tentang bidang hadith, Ia belajar kepada Syekh Jamal al-Din Yusuf ibn al-Zaki al-Mizzi (w.744 H), ahli Hadith dari Mesir, pengarang kitab Tahzib al-Kamal, dan anaknya Zainab yang telah dinikahi oleh Ibn Kathir. Ia juga pernah belajar ilmu matematika kepada al-Hadiri dari Alaudin al-Tuyuti dari al-Sadr Alauddin Ali ibn
3 Ibid., 123.
4 Ibid., 123; Abu Falah Abd al-Hay ibn al-Imad al-ahambali, Syazarat al- Zahab fi akhbar
Ma’ali al-Ansari al-Hirafi, terkenal dengan nama Ibn al-Zawin, seorang
ilmu matematika (w.705 H).5
Karya-karya Ibn Kathir diantaranya sebagai berikut:6 a) Al-Bidayah wa Nihayah dalam bidang sejarah
b) Al-Kawakibud Darari merupakan cuplikan dari al-Bidayah wan Nihayah
c) Tafsirul Qur’an; al-Ijtihad fi T{alabil Jihad
d) Jami’ul Masanid; as-Sunanul Hadi li Aqwami Sunan
e) Al-Wad}ih}un Nafis fi Manaqibil Imam Muhammad ibn Idris.
2. Metode dan Corak Tafsir Ibn Kathir
Tafsir Ibnu Kathir merupakan sebutan umum untuk kitab Tafsir
al-Qur’an al-Adzim karya Ibnu kathir. Kitab ini pernah dicetak secara menyatu
dengan kitab Ma’alim al-Tanzil karya al-Baghawi, kemudian dicetak secara
terpisah dengan empat jilid besar.
Muhammad Rasyid Rida menjelaskan bahwa tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap apa yang diriwayatkan dari para mufassir salaf dan menjelaskan makna-makna ayat dan hukum-hukumnya serta menjauhi pembahasan i’rab dan cabang-cabang balagah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh
5 Ibid., 123; Ibn Kathir, al-Bidayah wa al-Nihayah,, Bagian Muqaddimah.
6Manna> Khali>l al-Qat}t}a>n. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, ter Mudzakir AS cet.15 (Bogor: Pustaka
30
kebanyakan mufasir, juga menjauhi pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-Qur`an secara umum atau memahami hukum dan nasihat-nasihatnya secara khusus.7
Dilihat dari metode penafsirannya, tafsir Ibn Kathir ini menggunakan metode analisis (tahlili), yaitu metode penafsiran al-Qur`an yang dilakukan dengan menjelaskan ayat al-Qur’an dalam berbagai aspek, serta menjelaskan maksud yang terkandung di dalamnya, jadi kegiatan penafsirannya meliputi penjelasan ayat perayat, surat persurat, makna lafaz-lafaz tertentu, susunan kalimat, asbabun nuzul, hadits yang berkenaan dengan ayat yang ditafsirkan. Namun demikian Ibn Kathir mengabaikan penjelasan lafaz-lafaz dari segi kebahasaan dan balaghahnya.8
Bila dilihat dari sumber penafsirannya. Tafsir Ibn Kathir termasuk kategori tafsir bil-ma’tsur, disebut juga tafsir al-riwayah atau bi al-manqul9, yaitu tafsir yang mengambil penjelasan dari ayat-ayat al-Qur`an sendiri,
Hadits Nabi, atsar sahabat, ataupun perkataan tabi’in.
Hal tersebut sesuai dalam muqaddimah tafsir Ibn Kathir,10 bahwa metode paling tepat adalah menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an, karena yang dinyatakan Qur`an secara global di suatu tempat akan dijelaskan Qur`an secara rinci di tempat lain. Apabila tidak ada penjelasan dari
al-Qur`an sendiri maka dicari penjelasan dari sunnah. Imam Syafi’i berkata
7 Ibid, 528.
8 Jamaluddin Miri, Tafsir Al-Adzim.. , 124.
bahwa apa yang ditetapkan oleh Rasulullah adalah hasil dari pemahaman al-Quran.
Menurut al-Zarqani, Tafsir Ibn Kathir merupakan tafsir yang paling shahih dalam aliran tafsir bi al-ma`thur. Ibn Kathir sangat berhati-hati dan selalu mengingatkan tentang riwayat-riwayat Israiliyat yang munkar. Ibn Kathir dalam tafsirnya tidak selalu menjelaskan arti kosakata, Ia hanya menjelaskan kosakata yang dianggapnya perlu saja.
Dalam tafsir ini di temukan beberapa corak, hal ini dipengaruhi oleh beberapa disiplin ilmu yang dimilikinya. Adapun corak tafsir yang ditemukan dalam tafsir Ibn Kathir yaitu corak fiqih, corak ra’yi dan corak qira`at.11
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Tafsir Ibn Kathir menggunakan metode penafsirannya secara analisis (tahlili) dan dari segi sumber penafsirannya menggunakan bi al-ma`thur. Berbeda dengan tafsir lainnya, Ibn Kathir juga melakukan kritik penilaian kepada periwayat hadits dan atsar sahabat, bahkan mentarjih (menguatkan) salahn satu pendapat dari beberapa pendapat, sehingga tafsir ini lebih dapat dipertanggung jawabkan.
B. Tafsir Al-Azhar
1. Biografi Hamka
Buya Hamka mempunyai nama lengkap Haji Abdul Malik bin Haji Abdul Karim Amrullah. Beliau lahir pada tanggal 13 Muharram 1362 H
11 Ali Hasan Ridha, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ter. Ahmad Akrom (Jakarta: Rajawali,
32
bertepatan dengan 16 Februari 1908 M di sebuah desa bernama Tanah Sirah, dalam Nagari Sungai Batang di tepi Danau Maninjau Sumatera Barat. Ayahnya bernama Syekh Abdul Karim Amrullah adalah seorang ulama yang terkenal di masanya.12 Ayahnya sangat terkenal di Minangkabau khususnya dan di Sumatra umumnya.13
Di tahun 1941 ayahnya diasingkan Belanda ke Sukabumi karena fatwa-fatwa yang dianggap mengganggu keamanan dan keselamatan umum. Ibunya bernama Siti Safiyah.
Ketika usia 22 tahun, Hamka kembali dari perjalanan ke Mekkah dan dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang anak perempuan beernama Siti Raham yang berusia 15 tahun. Tanggal 1 Januari 1972, istrinya meninggal dunia di Jakarta dengan meninggalkan sepuluh orang anak, tujuh laki-laki dan tiga perempuan.
Pada tanggal 19 Agustus 1973, Hamka nikah lagi dengan Hajar Siti Khadijah, dari Cirebon, Jawa Barat.14
Hamka memulai pendidikannya dengan membaca al-Qur`an di bawah bimbingan ayahnya. Setelah mencapai usia tujuh tahun Hamka memasuki sekolah desa. Pada tahun 1916, ketika Zainuddin Labai El-Yunisi mendirikan Sekolah Diniyah, Hamka dimasukkan oleh ayahnya ke sekolah ini. Pada pagi hari Hamka belajar di sekolah desa, sore hari di seolah
12 M.Yunan Yusuf, Alam Pikiran Islam Pemikiran Kalam (Jakarta: Kencana, 2014),
235-236.
13 A. Mukti Ali, dkk . Hamka di Mata Hati Umat (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996),
51,, berdasarkan wawancara beliau dengan Titiek W.S. pada tahun 1978.
diniyah, dan malam hari belajar mengaji di surau bersama teman-temannya.15
Tahun 1918 ayahnya mendirikan Thawalib School di Padanag Panjang, Hamka pun dimasukan disana oleh ayahnya dan disuruh berhenti dari sekolah desa. Suasana belajar di Thawalib tidak menarik perhatiannya. Hamka malah lebih banyak sibuk membaca secara otodidak di perpustakaan Zaainaro. Perhatiannya tertuju pada buku-buku cerita dan sejarah.
Pada tahun 1924 Hamka berangkat ke tanah Jawa, di Yogyakarta. Di kota ini Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadikusumo, HOS Cokroaminoto, Syamsul Ridjal, dan H.Fachruddin.
Hamka pernah ditangkap oleh penguasa Orde Lama lalu dijebloskan ke dalam tahanan pada tanggal 27 Januari 1964, sesaat setelah memberikan pengajian di masjid Al-Azhar. Sebagai tahanan politik Hamka ditempatkan di beberapa rumah peristirahatan di kawasan puncak, yakni Bungalow Herlina, Harjuna, bungalow Brimob Megamendung dan kamar tahanan polisi Cimaman, di rumah inilah Hamka mempunyai kesempatan yang cukup untuk menulis Tafsir Al-azhar.16
Akhirnya setelah kejatuhan Orde Lama dan kemudian Orde Baru bangkit di bawah pimpinan Soeharto dan kekuatan PKI pun telah ditumpas, Hamka dibebabkan dari tuduhan pada tanggal 21 Januari 1966.
34
Hamka mendirikan semacam kursus reguler tentang tabligh yang dinamainya Kulliyatul Muballighin yang diasuhnya antara tahun 1934 sampai dengan tahun 1935.17
Kegiatan hamka dalam menulis dan mengarang, memulai reputasinya dengan menulis berbagai artikel dalam majalah bulanan Kemauan Zaman, majalah Pembela Islam, Bintang Islam dan Suara Muhammadiyah. Berpijak dari karya-karyanya, Hamka dikenal menjadi seorang sastrawan, pujangga, ulama dan juga politikus.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika menjadi anggota partai politik Sarikat Islam. Pada tahun 1945, Hamka menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya dalam hutan di Medan. Tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional Indonesia. Hamka diangkat menjadi anggota Konstituante Masyumi dan membawakan pidato utama dalam Pilian Raya Umum 1955. Masyumi kemudian diharamkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Pada tahun 1964 sampai 1966, Presiden Sukarno memenjarakan Hamka karena dituduh pro-Malasya.
Hamka pernah menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah di Sumatra Barat pada tahun 1945-1949. Pada tahun 1957 sampai 1960 menjabat sebagai pegawai tinggi Kementrian Agama di Jakarta.18 Dan juga pernah menjabat ketua umum Majelis umum Indonesia.
17 Sholehan, Relevansi Pemikiran Tasawuf Hamka (Surabaya: Alpha, 2006), 110; Hamka,
Kenang-kenangan Hidup, Jil II (Jakarta: Bulanbintang, 1974), 21,22.
Tahun 1950 Hamka sekeluarga pindah ke Jakarta. Bersama rekannya perjuangan seperti Farikh Usmah dan Yunan Nasution menerbitkan majalah Panji Masyarakat. Tahun 1960 Panji Masyarakat
diberangus karena memuat artikel bersambung “Demokrasi Kita” karangan
Hatta, pandangannya bebas, objektif dan tepat dijadikan pedoman oleh demokrat-demokrat sejati yang antiditaktur, tulis Hamka dalam kenang-kenangannya ulang tahun ke-70.19 Pada tanggal 24 Juli 1981 di RS Pertamina, Hamka menghembuskan nafas terakhir.
Hamka banyak menulis tentang Agama Islam, tapi juga pernah menghasilkan beberapa karya yang bernilai seni sastra. Ini beberapa karya sastra hamka seperti:20
a) Di bawah Lindungan Ka’bah (1937)
b) Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1938) c) Merantau ke Deli (1939)
d) Terusir (1940) e) Laila Majnun (1932) f) Ayahku (1950) g) Pribadi (1950)
h) Menunggu beduk berbunyi (1949) i) Di tepi sungai dajlah (1950)
36
Disamping itu juga Hamka mengarang buku-buku yang bersangkutan dengan Agama dan falsafah, Berikut ini beberapa karya non-sastranya, ialah: a) Falsafah hidup (1939)
b) Tasawuf Modern (1939) c) Lembaga Hikmat (1953)
d) Muhammadiyah di Minangkabau (1975) e) Urat tunggang Pancasila (1952)
f) Pengarang buku tafsir al-azhar dari juz I sampai XXX
2. Metode dan Corak Tafsir Al-Azhar
Tafsir Al-Azhar berasal dari kuliah subuh yang diberikan oleh Hamka di mesjid Agung Al-Azhar sejak tahun 1959, yang ketika itu belum bernama Al-Azhar. Pada waktu yang sama, Hamka bersama KH. Fakih Usman HM. Yusuf Ahmad, menerbitkan majalah Panji Masyarakat.21 Kuliah tersebut berlanjut hingga terjadi kekacauan politik dimana Masjid tersebut dituduh
menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”, akibatnya Penerbitan Panji
Masyarakat diharamkan.
Penerbitan pertama Tafsir Al-Azhar dilakukan oleh penerbit pembimbing masa pimpinan Haji Mahmud. Cetakan pertama oleh Pembimbing Masa, merampungkan penerbitan dari juz pertama sampai juz keempat. Kemudian diterbitkan pula juz 30 dan juz 15 sampai dengan juz 29
21 Yunan Yusuf, Corak Pemikiran kalam Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas,
oleh Pustaka Islam Surabaya. Dan akhirnya juz 5 sampai dengan juz 14 diterbitkan oleh Yayasan Nurul Islam Jakarta.22
Metode dalam tafsir Al-Azhar menggunakan tahlili, karna menjelaskan makna-makna yang dikandung dalam al-Quran yang urutannya sesuai dengan tertib ayat dan surah dalam mushaf, yang penjelasannya dari berbagai aspek asbab an-nuzul, serta kutipan dari Nabi, sahabat dan tabiin.23
Dilihat dari coraknya, maka tafsir hamka ini bercorak adabi al-ijtima’i (sastra budaya kemasyarakatan) , yaitu tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat al-Quran yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat serta usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau problem masyarakat berdasarkan ayat-ayat al-Quran dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami.
Hamka mempunyai kecenderungan sangat kuat dalam menganut paham kalam yang bercorak rasional, bukan tradisional. Beliau membolehkan takwil, seperti yang ditafsirkan dari ayat tujuh surah Al-Imran, Hamka mengatakan bahwa Tuhan tidak melarang menakwilkan ayat-ayat mutasyabihat asal dengan tuntunan Tuhan, yakni orang-orang yang telah rasikh ilmunya, mendalam pengetahuan dan pemahaman dalam agama. Sikap Hamka yang selalu menginginkan manfaat praktis dari perdebatan masalah kalam,
maka Hamka menyodorkan pandangan yang ia sebut sebagai “jalan tengah”
dalam menafsirkan al-Quran di zaman modern ini, maksudnya tidak
22 Ibid, 55.
38
39
BAB IV
PENAFSIRAN
UMMATAN
WASAT{AN
MENURUT IBN
KATHIR DAN HAMKA
A. Penafsiran Ibn Kathir tentang Ummatan Wasat}an
اًدي ش ْم ْيلع وسّرلا و ي اّنلا ىلع ءاد ش ْاونو تّل اًطس ًةّمأ ْمكانْلعج كلذك
Dan demikian pula Kami menjadikan kamu umat penengah (pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.1
Kata umat bermakna para penganut suatu agama atau nabi (Islam, Kristen), dan bisa bermakna orang banyak, khalayak ramai, publik serta dapat berarti manusia.2 Kata ummat terambil dari kata ه ي - أ (amma-yaummu) yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar yang sama. Lahir antara lain kata um
yang berarti “ibu” dan imam yang maknanya “pemimpin”, karena keduanya
menjadi teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat.3
Kata ummat terulang lima puluh kali.4 Menurut Quraish Shihab, kata ummat dalam bentuk tunggal terulang lima puluh dua kali dalam al-Qur’an. Ad- Damighani menyebutkan sembilan arti untuk kata itu, yaitu kelompok, agama
1 Departemen Agama RI. Al-Quran Terjemah Indonesia.. , 39.
2 Poerwodarminto, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,2003), 1123. 3 M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung:Mizan, 1998), 325.
40
(tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya.5
د ْعاف ْم ب انأ ً دحا ًةّمأ ْم تّمأ ذه ّ إ
Sesungguhnya inilah agama kamu, agama yang satu, dan Akulah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.6
Ali Syariati dalam bukunya Al-Ummah wa Al-Imamah menyebutkan keistimewaan kata ini dibandingkan kata semacam nation atau qabilah (suku). Pakar ini mendefinisikan kata umat dalam konteks sosiologis sebagai “himpunan manusiawi yang seluruh anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu
membahu, dan bergerak secara dinamis di bawah kepemimpinan bersama.”7
Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Kami palingkan kalian ke arah kiblat
Ibrahim as dan Kami pilihkan kiblat tersebut untuk kalian, hanya karena Kami akan menjadikan kalian sebagai umat yang terpilih, dan agar kalian kelak di hari kiamat menjadi saksi atas umat-umat lain, mengingat semua umat mengakui keutamaan kalian.”8
Al-wasat} dalam ayat ini berarti pilihan dan yang terbaik, seperti dikatakan bahwa orang-orang Quraisy merupakan orang Arab yang paling baik keturunan dan kedudukannya. Rasulullah Saw seorang yang terbaik di kalangan kaumnya, yakni paling terhormat keturunannya. Termasuk ke dalam pengertian ini s}alatul wust}a, salat yang paling utama, yaitu salat Asar, seperti yang telah disebutkan di dalam
5 M. Quraish shihab, Wawasan Alquran.., 327. 6
Departemen Agama RI. Al-Quran Terjemah Indonesia.. ,626-627.
kitab-kitab sahih dan lain-lainnya. Allah Swt menjadikan umat ini (umat Nabi Muhammad Saw) merupakan umat yang terbaik, Allah Swt telah mengkhususkannya dengan syariat-syariat yang paling sempurna dan tuntutan-tuntutan yang paling lurus serta jalan-jalan yang paling jelas, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya dalam surat al-Hajj ayat 78.
ام ْمكا تْجا وه
لْ ق نم ني لْس ْلا مكاّ س وه ميهارْبإ ْم يبأ ةّلّم رح ْنم نيّدلا يف ْم ْيلع لعج
اّنلا ىلع ءاد ش اونو ت ْم ْيلع اًدي ش وسّرلا و يل اذه يف
Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan atas kamu kesukaran di dalam agama. (yaitu) agama bapak kamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu muslimin dari dahulu dan dalam (AlQuran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas kamu dan kamupun menjadi saksi atas manusia.9
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waqi’, dari Al-A’masy dari Abu S}aleh, dari Abu Sa’id yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda:
له :م ل ا يف هموق ىعديف ،معن : و يف ؟تغّلب له :هل ا يف ،ةماي ْلا ْوي ْوًن ىعْدي
؟ م غّلب
دّ حم : و يف ؟كل د ْشي ْنم : ونل ا يف ،دحأ نماناتأ ام ريذن نم اناتأ ام : ولو يف
لق .ةّمأ
،هلْوق كل ذف
اًطس ًةّمأ ْمكانْلعج كلذك
ْوعْدتف ، ْدعْلا طْسوْلا :لف ،
ّمث ا ْلاب هل د ْشتف
.ْم ْيلعد ْشأ
Nabi Nuh kelak dipanggil di hari kiamat, maka ditanyakan kepadanya, “Apakah
engkau telah menyampaikan (risalahmmu)?”Nuh menjawab. “Ya”, lalu kaumnya
dipanggil dan dikatakan kepada kalian?” maka mereka menjawab, “Kami tidak
42
kedatangan seorang pemberi peringatan pun dan tidak ada seorang pun yang
datang kepada kami.” Lalu ditanyakan kepada Nuh, “Siapakah yang bersaksi
untukmu?” Nuh menjawab, “Muhammad dan umatnya.” Abu Sa’id mengatakan
bahwa yang demikian itu adalah firman-Nya, “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil, al-wasat artinya adil, kemudian
kalian dipanggil dan kalian mengemukakan persaksian untuk Nabi Nuh, bahwa dia telah menyampaikan (nya) kepada umatnya, dan dia pun memberikan kesaksiannya pula terhadap kalian.10
Hadits riwayat Imam Bukhari, Imam Turmuzi, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Al-A’masy.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu
Mu’awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Saleh dari Abu
Sa’id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. Pernah bersabda:
غّلب ْله ا يف ،همْوق ىعْديف ،كل ْنم ر ْكأ اجّرلا هعم ةماي ْلا ْوي ي ّنلاءْيجي
؟اذه ْم
ّ حم : و يف ؟كل د ْشي ْنم : ا يف ،معن : و يف ؟كمْوق تغّلب له :هل ا يف :ا: ْول يف
،ةّمأ د
ف ؟ْم ْلع ام : ا يف ،معن : ْول يف ؟همْوق اذه غّلب له :ْم ل ا يف :ةّمأ دّ حم ىعديف
: ْول ي
،هلْوق كل ذف ،اْوغّلبْدق لسّرلا ّ أ انر ْجأف اني نانءاج
كانْلعج كلذك
اًطس ًةّمأ ْم
،ً ْدع :لف ،
ْاونو تّل
اًدي ش ْم ْيلع وسّرلا و ي اّنلا ىلع ءاد ش
.
Seorang Nabi datang di hari kiamat bersama dua orang laki-laki atau lebih
dari itu, lalu kaumnya dipanggil dan dikatakan, “Apakah nabi ini telah
menyampaikannya kepada kalian?” mereka menjawab, “Tidak”. Maka dikatakan
kepada si nabi, “Apakah kamu telah menyampaikannya kepada mereka?” Nabi
menjawab “Ya”. Lalu dikatakan kepadnaya, “Siapakah yang menjadi saksimu?”
Nabi Menjawab, “Muhammad dan umatnya”, lalu di panggillah Myhammad dan
umatnya dan dikatakan kepada mereka, “Apakah nabi ini telah menyampaikan
kepada kaumnya?” Mereka menjawab, “Ya”. Dan ditanyakan pula, “Bagaimana
kalian dapat mengetahuinya?” Mereka menjawab, “Telah datang kepada kami
Nabi kami, lalu dia menceritakan kepada kami bahwa rasul-rasul itu telah
menyampaikan risalahnya.” Yang demikian itu adalah firman-Nya, “Dan demikian
(pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil agar kalian
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kalian”11
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu
Mu’awiyah, telah menceritakan kepada Kami Al-A’masy dari Abu Saleh dari Abu
Sa’id Al-Khudri dari Nabi Saw, sehubungan dengan firman-Nya:
اًطس ًةّمأ ْمكانْلعج كلذك
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) umat yang adil.12 Bahwa yang dimaksud dengan wasat}an ialah adil.
Al-Hafiz} Abu Bakar ibnu Murdawaih dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkan
melalui hadis Abdul Wahid ibnu Ziad, dari Abu Malik Al-Asyja’i dari Al-Mughirah ibnu Utaibah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa seseorang pernah menuliskan sebuah hadis kepada kami dari Jabir ibnu Abdullah, dari Nabi Saw pernah bersabda:
44
انأ
ّنم هّنأ ّ ّاإ دحأ اّنلا نم ام . ءاخلا ىلع نْيفرْشم ْوك ىلع ةماي ْلا وي ْيتّما
ْنم ام ا
غّلب ْدق هّنأ د ْشن نحن ّاإ هموق هبّذك ي ن
.ّلج ّ ع هّب ةلاس
“Aku dan umatku kelak di hari kiamat berada di atas sebuah bukit yang
mengahadap ke arah semua makhluk, tidak ada seorang pun di antara manusia melainkan dia menginginkan menjadi salah seorang di antara kami, dan tidak ada seorang nabi pun yang didustakan oleh umatnya melainkan kami menjadi saksi bahwa nabi tersebut benar-benar telah menyampaikan risalah Tuhannya.
Imam Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya dan Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula, sedangkan lafaznya menurut apa yang ada pada
Ibnu Murdawaih melalui hadits Mus’ab ibnu Sabit, dari Muhammad ibnu Ka’b Al
-Qurazi, dari Jabir Ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw menghadiri suatu jenazah di kalangan Bani Maslamah, sedangkan aku berada di sebelah Rasulullah Saw. Maka sebagian dari mereka mengatakan, “Demi Allah, wahai Rasulullah, dia benar-benar orang yang baik, sesungguhnya dia semasa hidupnya adalah orang yang memelihara kehormatannya lagi seorang yang berserah
diri (muslim),” dan mereka memujinya dengan pujian yang baik. Maka Rasullah
bersabda, “Anda berani mengatakan yang seperti itu?” Maka laki-laki itu
menjawab, “Hanya Allah Yang Mengetahui rahasianya. Adapun yang tampak pada
kami, begitulah.” Maka Nabi Saw bersabda, “Hal itu pasti (baginya).”
pembicaraan yang buruk. Maka Rasulullah Saw bersabda kepada sebagian mereka,
“Anda berani mengatakan seperti itu?” jawabnya, “Hanya Allah Yang Mengetahui
rahasianya. Adapun yang tampak pada kami, begitulah.” Maka Rasulullah Saw
bersabda, “Hal itu pasti (baginya).”13
Mus’ab ibnu Sabit berkata, “ Pada saat itu Muhammad ibnu Ka’b
mengatakan kepada kami, “benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw itu,
“kemudian ia membacakan firman-Nya:
اًدي ش ْم ْيلع وسّرلا و ي اّنلا ىلع ءاد ش ْاونو تّل اًطس ًةّمأ ْمكانْلعج كلذك
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.14
Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih sanadnya, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Abul Furat, dari Abdullah ibnu Buraidah, dari Abul Aswad yang menceritakan hadis berikut: Aku datang ke Madinah, maka aku jumpai kota Madinah sedang dilanda wabah penyakit, hingga banyak di antara mereka meninggal dunia. Lalu aku duduk di sebelah Khalifah Umar ra maka lewatlah suatu iringan jenazah, kemudian jenazah itu dipuji dengan
pujian baik. Khalifah Umar ibnul Khattab berkata, “Hal itu pasti baginya.”
Kemudian lewat pula suatu iringan jenazah yang lain. Jenazah itu di sebut-sebut
13 Ibid, 14. 14
46
sebagai jenazah yang buruk. Maka Umar ra berkata, “Hal itu pasti baginya,” Abul
Aswad bertanya, “Apanya yang pasti itu, wahai Amirul Muminin?” Umar ra
mengatakan bahwa apa yang dikatakannya itu hanyalah menuruti apa yang pernah dikatakan oleh Rasulullah Saw, yaitu sabdanya:
ل ف : اق ةثاث انْل ف : اق ، ةّنجلا هّ هلجْ أ رْيخب ةعب ْ أ هلد ش ملْسم ا يأ
انل ف :لق ، ةثاث
ا
.دحاوْلا نع هْلأْسن ْمل ّمث . انْثا : اق : انْث
“ Siapa pun orang muslimnya dipersaksikan oleh empat orang dengan
sebutan yang baik, niscaya Allah memasukkannya ke surga. Maka kami bertanya,
“Bagaimana kalau tiga orang?” Beliau Saw menjawab, “Ya, tiga orang juga.” Maka
kami bertanya, “Bagaimana kalau oleh dua orang?” Beliau menjawab, “Ya, dua
orang juga.” Tetapi kami tidak menanyakan kepadanya tentang persaksian satu
orang.
Demikian pula hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Imam Turmuzi dan Imam Nasai melalui hadis Daud ibnul Furat dengan lafaz yang sama.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Usman ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abu Qilabah Ar-Raqqasyi,
telah menceritakan kepadaku Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Nafi’
ibnu Umar, telah menceritakan kepadaku Umayyah ibnu Safwan, dari Abu Bakar ibnu Abu Zuhair As-Saqafi dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda ketika di Al-Banawah:
س اي مب :اْولق .ْمك ارش ْنم ْمك ايخ اْو لْعت ْ أ كشْوي
ءانّ لا نسحْلا ءانّ لاب :لق ؟ هّ و
“Hampir saja kalian mengetahui orang-orang yang terpilih dari kalian dan
orang-orang yang jahat dari kalian. Mereka bertanya, “Dengan melalui apakah, wahai Rasulullah?” Rasulullah Saw menjawab, “ Dengan melalui pujian yang baik dan sebutan yang buruk, k