KEDUDUKAN BUKTI AUTENTIK (TERTULIS) DAN SAKSI
DALAM TRANSAKSI HUTANG PIUTANG
(Studi Terhadap Tafsi>r Ibn Kathi>r, Tafsi>r Al-Muni>r dan
Tafsi>r Fi> Z{ila>lil Qur’a>n Surat Al-Baqarah Ayat 282)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ushuluddin dan Filsafat
Oleh
FAIZATUL MUKRIMAH
NIM. E83212120
PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
Abstrak
Faizatul Mukrimah. E83212120. Kedudukan Bukti Autentik (tertulis) dan Saksi dalam Transaksi Hutang-Piutang (studi terhadap tafsir ibn kathi>r, tafsir al-muni>r dan tafsir fi> z}ila>lil Qur’a>n surat al-Baqarah ayat 282) Skripsi Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Penelitian ini ditulis dikarenakan adanya problematika terkait penulisan dan adanya saksi dalam transaksi hutang-piutang, kemudian ada pendapat yang menyatakan jika orang yang bertransaksi saling percaya maka tidak dibutuhkan lagi bukti autentik tertulis maupun saksi dalam transaksi yang bertempo tersebut.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian literatur (library research) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analisis. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ‘amm khas} dari ulumul qur’an untuk menganalisis data dari tafsirannya Ibn Kathi>r, Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb.
Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengetahui data penafsiran menurut Ibn Kathi>r penafsirannya Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb sebagai salah satu bentuk yang bisa menjadi wacana dan dijadikan hujjah bagi umat Islam terkait perkembangan tafsir sejak zaman dahulu sampai sekarang.
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Kegunaan Penelitian ... 7
E. Kajian Pustaka ... 7
F. Metode Penelitian ... 8
G. Sistematika Pembahasan ... 12
BAB II Kaidah Analisa Penafsiran Surat al-Baqarah ayat 282 A. ‘Amm dan Khas} ... 15
1. Pengertian ‘amm dan berbagai karakternya ... 15
2. Macam-macam ‘amm ... 16
3. Definisi Kha>s} dan Mukhas}s}i>s} ... 17
4. Takhs}i>s} sunnah dengan al-Qur’an ... 19
5. Sah berhujjah dengan ‘amm sesudah ditakhsis terhadap sisanya .. 19
6. Problematika Takhs}i>s} ... 21
B. Hadis dalam kaitannya dengan al-Qur’an ... 22
2. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’an ... 23
a) Baya>n al-takri>r ... 24
b) Baya>nal-tafsi>r ... 25
c) Baya>nal-tashri>’ ... 27
d) Baya>nal-nasakh ... 28
BAB III. Penafsiran Ayat Mengenai Kedudukan Bukti Autentik (tertulis) dan Saksi dalam Transaksi Hutang Piutang A. Tafsir Surat al-Baqarah ayat 282 ... 30
1. Penafsiran Ibn Kathi>r ... 30
2. Penafsiran Wahbah Zuhaili ... 41
3. Penafsiran Sayyid Quthb ... 51
B. Analisa Penafsiran ... 54
1. Kedudukan bukti tertulis ... 54
2. Kedudukan saksi ... 64
BAB IV. Penutup A. Kesimpulan ... 71
B. Saran ... 72
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an sebagai sumber pokok dalam menetapkan aturan-aturan dan
amal perbuatan manusia yang beriman, mempunyai nilai yang sempurna yang
meliputi berbagai segi kehidupan, baik urusan duniawi maupun ukhrawi yang
kelak akan mengantarkan umat manusia kepada kebahagiaan dunia akhirat, karena
al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Maka di dalamnya
terkandung nilai-nilai ajaran menjadi pedoman hidup bagi umat manusia.
Secara naluriah, manusia saling tolong menolong demi tercapainya sebuah
cita-cita yang diharapkan bersama. Namun banyak juga di antara manusia yang
saling membantu dalam hal keburukan atau kemaksiatan. Karena hal itu, maka
Allah memberikan batasan-batasan dalam hal, sikap saling membantu itu harus
diterapkan dalam memenuhi kebutuhan hidup diantara mereka. Hubungan
individu dengan lainnya, seperti pembahasan, seperti masalah hak dan kewajiban,
harta, jual beli, kerja sama dalam berbagai bidang, pinjam-meminjam, sewa
menyewa, penggunaan jasa dan kegiatan-kegiatan lainnya yang sangat diperlukan
manusia dalam kehidupan sehari-hari.1
Dalam kegiatan sehari-hari, uang selalu saja dibutuhkan untuk membeli
atau membayar berbagai keperluan. Dan yang menjadi masalah terkadang
2
kebutuhan yang ingin dibeli tidak dapat dicukupi dengan uang yang dimilikinya.
kalau sudah demikian, maka mau tidak mau kita mengurangi untuk membeli
berbagai keperluan yang dianggap tidak penting, namun untuk keperluan yang
sangat penting terpaksa harus dipenuhi dengan berbagai cara seperti meminjam
dari berbagai sumber dana yang ada.2
Islam juga membolehkan hutang-piutang atau pinjam meminjam dengan
catatan sesuai syari’at Islam dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an maupun
as-Sunnah. Adapun hutang-piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang
dengan perjanjian dia akan membayar yang sama pula.3 Bukanlah merupakan suatu persoalan apabila pinjam-meminjam tersebut berupa barang ataupun benda.
Misalnya; Pinjam uang Rp 100.000,- kembali uang Rp. 100.000,- pinjam emas 5
gram kembali emas 5 gram, pinjam 1000 genteng kembali 1000 genteng pula dan
sebagainya, sesuai dengan jumlah, macam dan ukurannya, sebab barang atau
benda akan dapat seperti semula. Adapun pendapat fuqaha zaman dahulu, bahwa
hutang-piutang wajib dikembalikan sesuai dengan jumlah penerimaan sewaktu
mengadakan transaksi tanpa menambah atau menguranginya.4
Al-Qur’an telah menggariskan beberapa ketentuan berkenaan dengan
hutang-piutang untuk menjaga supaya tidak timbul perselisihan antara kedua
belah pihak, yang berhutang dan yang berpiutang. Diantara ketentuan itu supaya
diadakan perjanjian tertulis yang menyebutkan segala yang bersangkut dengan
2Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2011), 261.
3Chairuman P. dan Suhrawardi KL, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 136.
3
utang piutang. Disamping itu di adakan juga saksi-saksi yang turut bertanda
tangan dalam surat perjanjian tadi.5 seperti Firman Allah SWT yang sudah dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 282:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
4
orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.6
Menurut ayat di atas, Allah memberikan ketentuan bagi orang yang
melakukan transaksi atau perjanjian keterikatan yang tidak tunai (kredit) dengan
prasarana suatu bukti sebagai dasar untuk mengantisipasi perselisihan yang
mungkin timbul (yang tidak diinginkan) di kemudian hari. Pembuktian ini berupa
bukti tercatat dan saksi. Perjanjian (mu’amalah, misal jual beli yang tidak kontan)
dicatat atau ditulis oleh seseorang atas kesepakatan kedua belah pihak dengan
tidak merugikan pihak yang lain atau kedua belah pihak (bila menyuruh orang
ketiga sebagai juru tulis).7
Kesaksian dalam bahasa Arab disebut dengan ash-shaha>dah. Ia merupakan
bentuk masdar dari kata kerja shahida yang seakar kata dengan ash-shuhu>d yang
berarti hadir. Menurut bahasa, arti kata ash-shaha>dah adalah berita atau informasi
yang pasti. Adapun menurut istilah syara’, shahada adalah informasi yang
diberikan oleh orang yang jujur untuk menetapkan satu hak dengan menggunakan
6al-Qur’a>n, 2:282.
5
kata bersaksi atau menyaksikan (ash-shaha>dah) di depan majelis hakim dalam
persidangan.8
Kesaksian tidak bisa dilakukan kecuali dalam hal yang memang dilihat
oleh saksi. Karena itu, sebagian besar ulama tidak membolehkan seorang saksi
memberikan kesaksian berdasarkan apa yang ia lihat dalam tulisannya kecuali jika
ia ingat akan kejadian yang pernah ia saksikan sendiri. Ini karena tulisan
seseorang tidak bisa dijadikan dasar karena ada kemungkinan sama dengan tulisan
orang lain. Yang dituntut dalam kesaksian adalah pengetahuan atas kejadian suatu
perkara. Adapun sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang lain tidak bisa
memberikan tingkat keyakinan. Jika seorang saksi itu mengingat peristiwa yang
terjadi, berarti dia memberikan kesaksian atas apa yang ia ketahui, bukan
memberikan kesaksian atas tulisannya.9
Dalam menafsirkan ayat diatas, para mufassir berbeda dalam
menafsirkannya, Ibn Kathir dan Wahbah Zuhaili menyatakan ayat tersebut terjadi
nasakh mansukh, yang mengakibatkan hukum dalam kandungan ayat tersebut
dihapus dan dimuat oleh ayat setelahnya, akan tetapi menurut Sayyid Quthb ayat
tersebut tidak terjadi nasakh mansukh, dan hukum dalam kandungannya
berhukum mutlak. Dari perbedaan metode yang digunakan oleh mufassir sehingga
mengakibatkan perbedaan dalam menafsirkannya. Dari perbedaan tersebut penulis
ingin meneliti lebih dalam keautentikan bukti tertulis dan saksi dalam transaksi
hutang-piutang menurut para mufassir. Oleh karena itu karya ilmiah ini diberi
8
6
judul Kedudukan Bukti Autentik (tertulis) dan saksi dalam Transaksi Hutang
Piutang: Studi Terhadap Tafsir> IbnKathi>r , Tafsi>r al-Muni>r dan Tafsi>r Fi> Z{ila>lil
Qur’a>n Surat Al-Baqarah Ayat 282.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian
ini adalah:
1. Bagaimana kedudukan bukti tertulis dalam transaksi hutang-piutang menurut
Ibn Kathi>r, Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb terhadap surat al-Baqarah ayat
282?
2. Bagaimana kedudukan saksi dalam transaksi hutang-piutang menurut Ibn
Kathi>r, Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb terhadap surat al-Baqarah ayat
282?
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya setiap penelitian mempunyai tujuan yang akan dipakai
sebagai pedoman untuk pembahasan yaitu:
1. Untuk mengetahui kedudukan bukti tertulis dalam transaksi hutang-piutang
menurut Ibn Kathi>r, Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb terhadap surat
al-Baqarah ayat 282.
2. Untuk mengetahui kedudukan saksi dalam transaksi hutang-piutang menurut
Ibn Kathi>r, Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb terhadap surat al-Baqarah ayat
7
D. Kegunaan Penelitian
Setiap penelitian di harapkan dapat bermanfaat, maka kegunaan penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan secara teoritis
Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan agar dapat dijadikan sebagai
wawasan bagi peneliti dan pembaca serta bermanfaat sebagai media informasi
dan media belajar untuk mengetahui lebih dalam memahami kedudukan bukti
dan saksi ketika melakukan transaksi hutang piutang.
2. Kegunaan Praktis
Dalam karya ilmiah ini diharapkan bisa memberi kontribusi agar dapat
memberi solusi bagi masyarakat dalam menyelesaikan masalah terkait bukti
tertulis dan mendatangkan saksi dalam transaksi yang bertempo.
E. Kajian Pustaka
Seperti yang telah diketahui bahwa telaah pustaka sangat diperlukan untuk
memberikan pemantapan dan penegasan berkaitan dengan kekhasan penelitian
yang akan dilakukan, kekhasan penelitian ini akan terlihat dengan menunjukkan
berbagai buku, bulletin, skripsi atau tesis. Sejauh ini belum ditemukan penelitian
tentang Kedudukan Bukti Autentik (tertulis) dan saksi dalam Transaksi Hutang
Piutang: Studi Terhadap Tafsi>r Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Muni>r dan Tafsi>r Fi> Z}ila>lil
Qur’a>n Surat Al-Baqarah Ayat 282. Ditemukan beberapa penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Masnur, Program Pascasarjana, Tahun 2011 IAIN Sunan Ampel dalam
8
karya ilmiah tersebut hanya fokus terhadap kesaksian perempuan dalam
Al-Qur’an dan hadis dengan menggunakan metode pendekatan maqa>s}id
al-shari’ah. Dalam karya ini Masnur juga menjelaskan konsep kesaksian
perempuan dalam hukum Islam.
2. Siti Kamiliyatun, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis Tahun 2001
IAIN Sunan Ampel, tentang “Studi Terhadap Ketentuan al-Qur’an Tentang
Kesaksian Wanita”. Dalam skripsi tersebut mendiskripsikan ayat-ayat yang
berkaitan dengan kesaksian wanita dalam bermu’amalah. Dalam karya ilmiah
ini Siti juga menjelaskan mengenai perbandingan saksi antara laki-laki dan
perempuan dan menjelaskan mengenai rahasia disyariatkannya terbilangnya
jumlah saksi wanita dalam syariat agama.
F. Metode Penelitian
Dalam usaha memperoleh data atau informasi yang dilakukan, maka
penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut: 10 1. Model Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan
data tentang kerangka ideologis, epistimologi dan asumsi-asumsi metodologis
pendekatan terhadap kajian tafsir dengan menelusuri secara langsung pada
literatur yang terkait.
9
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library reseacrh), yaitu
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan
lain-lain secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan
bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah.
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu menuturkan
dan menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variable dan
fenomena yang terjadi pada saat penelitian berlangsung menyajikannya apa
adanya.11 Berupa analisis yakni uraian atau bersifat penguraian12 yang berusaha mendiskripsikan konsep yang ada dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 282.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah dan lain sebagainya.13
11M. Sabana, Dasar-dasar Penelitian Ilmiyah (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 89.
12Pius. A. Partanto dan Dahlan Barry, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arloka, 1994), 29.
10
5. Sumber Data
Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari
dokumen-dokumen pustaka yang terdiri dari dua sumber, yaitu:
a. Sumber Primer
Sumber primer adalah data autentik atau data yang berasal dari
sumber pertama.14 Adapun sumber primer yang menjadi acuan adalah: 1) Tafsi>r Ibn Kathi>r
2) Tafsi>r Al-Muni>r
3) Tafsi>r Fi> Z}ilalil Qur’an
b. Sumber Sekunder
Sumber sekunder yaitu data yang materinya secara tidak langsung
berhubungan dengan masalah yang diungkapkan. 15 Adapun sumber sekunder yang penulis gunakan berupa kitab-kitab tafsir serta karya-karya
para ulama dan cendekiawan lain yang berkaitan dengan tema
pembahasan.
Adapun sumber dari kitab-kitab lainnya adalah:
1) Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab
2) Al-Quran dan Tafsirnya diterbitkan oleh Departemen Agama
3) Fiqih Islam Wa Adillatuhu karya Wahbah Al-Zuhaili
4) Ah}kam al-Mu’amalah karya Kamil Musa
5) Ensiklopedia Al-Qur’an Buku I karya Fachruddin Hs
14Hadiri Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), 216.
11
6) Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur’an karya
Zaitunah Subhan
7) Ilmu Hadis Karya Munzier Suparto
8) Ilmu Hadis Historis dan Metodologis Karya Zainul Arifin
9) Studi Islam Al-Qur’an dan As-Sunnah Karya Ali Hasan
10)Studi Ilmu-ilmu Qur’an karya Manna’ Khalil al-Qattan
6. Metode Analisis Data
Untuk sampai pada prosedur akhir penelitian, maka penulis
menggunakan metode analisa data untuk menjawab persoalan yang akan
muncul di sekitar penelitian ini.
Teknik analisis data adalah proses mengorganisasikan dan
mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga
ditemukan tema dan dirumuskan.16
Semua data yang telah terkumpul, baik primer maupun sekunder
diklasifikasi dan di analisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing.
Selanjutnya di lakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek
penelitian dengan menggunakan analisis isi.
a. Metode Deskriptif Kualitatif
Penelitian Deskriptif Kualitatif yakni penelitian berupaya untuk
mendiskripsikan yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya
mendiskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi yang
16
12
sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif kualitatif ini
bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang
ada.17
G. Sistematika Pembahasan
Keseluruhan penulisan ini akan disusun dalam rangkaian bab sebagai
berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang membahas kerangka dasar
skripsi yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua berisi tentang landasan teori sebagai pijakan dalam penelitian
ini dengan menggunakan teori ‘amm khas} dan fungsi hadis secara umum terkait
surat al-Baqarah ayat 282. Dimana pada bab ini menjelaskan gambaran secara
umum tentang teori ‘amm khas dan kaitannya dengan teori nasakh mansukh juga
memaparkan tentang kaidah fungsi hadis sebagai penjelasan terhadap surat
al-Baqarah ayat 282.
Bab ketiga merupakan penyajian data yang membahas tentang penafsiran
Ibn Kathi>r, penafsiran Wahbah Zuhaili dan Sayyyid Quthb terhadap surat
al-Baqarah ayat 282 terkait keautentikan bukti tertulis dan saksi dalam transaksi
hutang-piutang. Kemudian analisa penafsiran dikaitkan dengan menggunakan
teori ‘amm khas} dari Ulumul Qur’an juga penggunaan fungsi hadis terhadap
13
Qur’an sebagai kaidah yang digunakan penafsir dalam surat al-Baqarah ayat 282
tersebut.
Bab keempat membahas penutup, dimana pada bab ini merupakan hasil
BAB II
KAIDAH ANALISA PENAFSIRAN SURAT AL-BAQARAH
AYAT 282
Dalam penelitiaan ini penulis menggunakan teori ’amm khas} dari Ulumul
Qur‟an sebagai alat untuk meneliti penafsiran Ibn Kathi>r dan Wahbah Zuhaili
dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 282. Karena dalam sistem tashri’
(penetapan perundang-undangan) dan hukum agama mempunyai sasaran tertentu,
kepada siapa hukum itu ditujukan. Terkadang suatu hukum mengandung
karakteristik yang menjadikannya bersifat umum dan meliputi setiap individu dan
atau cocok bagi semua keadaan, terkadang pula sasaran itu terbatas dan khusus.
Maka diktum hukum kategori yang kedua ini tetap bersifat umum namun
kemudian diikuti diktum yang lain yang menjelaskan keterbatasannya atau
mempersempit cakupannya.
Setiap penjelasan dalam al-Qur‟an tidak terlepas dari hadis, karena dalam
beberapa perkara yang terdapat dalam al-Qur‟an tidak menjelaskan secara rinci
terhadap perkara tersebut. Sehingga hadis sangat berperan dan berfungsi untuk
memberikan penjelasan lebih detail yang ada di dalam al-Qur‟an. Maka dari itu
penulis menggunakan fungsi hadis sebagai baya>n dan dikarenakan juga hadis
15
A. ‘Amm dan khas
1. Pengertian ‘amm dan berbagai karakternya
‘Amm adalah lafad yang menghabiskan atau mencakup segala apa
yang pantas baginya tanpa ada pembatasan. Pernyataan ini sesuai dengan
definisi versi Muhammad Jawad, sementara menurut Abdul Khallah
menyebutkan bahwa ‘amm adalah lafad yang menunjukkan atas, mencakup
dan menghabiskan semua satuan-satuannya sesuai dengan maknanya tanpa
membatasi jumlah dari satu-satuan itu (perspektif bahasa).1
Sebagian besar ulama berpendapat, di dalam bahasa terdapat
sighat-sighat tertentu secara hakiki dibuat untuk menunjukkan makna umum dan
dipergunakan secara majaz pada selainnya. Untuk mendukung pendapatnya
ini mereka mengajukan sejumlah argumen dari dalil-dalil nas}s}iyah, ijma’iyah
dan ma’nawiyah.2
‘Amm mempunyai sighat-sighat tertentu yang menunjukkannya. Di
antaranya:3
a. Kull, seperti firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 185:
b. lafad-lafad yang dima’rifahkan dengan al yang bukan al ‘ahdiyah.
Misalnya surat al-‘as}r ayat 1-2:
1Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-Qur’an (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 229.
2Mann}a>’ aKhali>l al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2011), 313.
16
c. Isim nakirah dalam konteks nafi> dan nahi>, seperti dalam surat al-Baqarah
ayat 197:
d. Al-lati> dan al-ladzi> serta cabang-cabangnya. Misalnya dalam surat
al-Ahqaf ayat 17:
e. Semua isim syarat}. Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 158:
f. Ismul-jins (kata jenis) yang di idafahkan kepada isim ma’rifah. Misalnya
dalam surat an-Nur 63:
2. Macam-macam ‘amm
Lafad ‘amm terbagi menjadi tiga macam:4
1) ‘Amm yang tetap dalam keumumannya (al’am al-baqi’ ‘ala umumihi)
‘amm seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satupun lafad ‘amm
kecuali di dalamnya terdapat takhs}i>s} (pengkhususan).
4
17
2) ‘Amm yang dimaksud khusus (al-‘am al-murad al-khusus)
3) ‘Amm yang dikhususkan (al-‘amm al-makhs}u>s}),‘amm macam ini banyak
ditemukan dalam al-Qur‟an, diantaranya:
3. Definisi Khas} dan Mukhas}is}
Khas} adalah lawan kata ‘amm, karena ia tidak menghabiskan semua
apa yang pantas baginya. Takhs}i>s adalah mengeluarkan sebagian apa yang
dicakup oleh lafad ‘amm. Mukhas}s}is} (yang mengkhususkan) adakalanya
muttas}i>l yang antara ‘ammdan mukhas}s}is} tidak terpisah oleh sesuatu hal, dan
adakalanya munfas}i>l kebalikan dari muttas}i>l.5
Mukhas}s}is} muttas}i>lada lima macam, yaitu:
1) Istisna’ (pengecualian), seperti firman Allah dalam surat al-Nur ayat 4-5:
...2) S}ifat, misalnya dalam surat an-Nisa‟ ayat 23:
Lafad allati dakhaltum bihinna adalah s}ifat bagi lafad nisa’ikum.
Maksudnya, anak perempuan istri yang telah digauli itu haram dinikahi
oleh suami dan halal bila belum menggaulinya.
5
18
3) Syarat}, misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 180:
Lafad intaraka khairan (jika ia meninggalkan harta) adalah syarat}
dalam wasiat.
4) G}ayah, (batas sesuatu), seperti dalam surat al-Baqarah ayat 196:
5) Badal ba’d min kul (sebagian yang menggantikan keseluruhan), misalnya
surat ali-Imran ayat 97:
Lafad man istat}a’a adalah badal dari annas maka kewajiban haji
hanya khusus bagi orang yang mampu.
Mukhas}s}is} munfas}i>l adalah mukhas}s}is} yang terdapat ditempat lain,
baik ayat, hadis, ijma‟ dan qiyas. Contoh yang ditakhs}is} oleh Qur‟an surat
al-Baqarah ayat 228:6
Ayat diatas adalah ‘amm, mencakup setiap istri yang dicerai baik
dalam keadaan hamil maupun tidak, sudah digauli maupun belum, tetapi
keumuman ini ditakhs}is oleh surat at-Talaq ayat 4:
19
4. Takhs}is} sunnah dengan al-Qur’an
Terkadang ayat al-Qur‟an mentakhs}is}, membatasi keumuman sunnah.
Para ulama mengemukakan contoh dengan hadis riwayat Abu Waqid al-Laisi.
Ia menjelaskan7 Nabi saw berkata:
للا ِدْبَع ُنْب ِنَمْحرلا ُدْبَع اَنَ ثدَح ،ِمِساَقْلا ُنْب ُمِشاَ اَنَ ثدَح ،َةَبْيَش يِبَأ ُنْب ُناَمْثُع اَنَ ثدَح
ْنَع ،ٍراَنيِد ِنْب ِه
َز
:َملَسَو ِهْيَلَع ُها ىلَص يِبنلا َلاَق :َلاَق ،ٍدِقاَو يِبَأ ْنَع ،ٍراَسَي ِنْب ِءاَطَع ْنَع ،َمَلْسَأ ِنْب ِدْي
«
َنِم َعِطُق اَم
ٌةَتْيَم َيِهَف ٌةيَح َيَِو ِةَميِهَبْلا
»
Bagian apa saja yang dipotong dari hewan ternak hidup maka ia adalah
bangkai.
Hadis diatas ditakhs}is oleh ayat 80 dari surat an-Nahl:
dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing,
alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).8
5. Sah berhujjah dengan ‘amm sesudah ditakhs}is} terhadap sisanya
Para ulama berbeda pendapat tentang sah tidaknya berhujjah dengan
lafad ‘amm sesudah ditakhs}is} terhadap sisanya. Pendapat yang paling dipilih
para ahli ilmu menyatakan, sah berhujjah dengan ‘amm terhadap apa (makna
yang termasuk dalam ruang lingkupnya) di luar kategori yang dikhususkan.
Mereka mengajukan argumentasi berupa ijma’ dan dalil „aqli.9
7al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, 321. 8
al-Qur‟an, 16;80. 9
20
a. Salah satu dalil ijma’ adalah bahwa Fatimah ra. menuntut kepada Abu
Bakar hak waris dari ayahnya berdasarkan keumuman. terdapat dalam
surat an-Nisa‟ ayat 11:10
Makna ayat ini telah ditakhs}is} dengan orang kafir dan orang yang
membunuh. Namun, tidak seorang sahabatpun mengingkari keabsahan
hujjah Fatimah, padahal apa yang dilakukan Fatimah ini cukup jelas dan
masyhur. hal demikian dipandang sebagai ijma’ oleh karena itu dalam
berhujjah bagi ketidak bolehannya Fatimah akan hak waris Abu Bakar
beralih hujjah kepada sabda Nabi saw:
“Kami para Nabi, tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan
menjadi sedekah”
b. Diantara dalil ‘aqli ialah lafad ‘amm sebelumnya ditakhs}is} merupakan
hujjah bagi setiap satuan (makna yang mencakup ruang dan lingkupnya),
menurut ijma‟ ulama. Pada dasarnya, keadaan sebelum takhs}is tetap
berlaku setelah ada takhs}is, kecuali jika ada dalil yang menyatakan
kebalikannya. Dalam hal ini tidak ada dalil demikian, karena itu, ‘amm
sesudah takhs}is tetap menjadi hujjah bagi sisanya.11
10
21
6. Problematika Takhs}i>s}
Adapun persamaan dan perbedaan nasakh dengan takhs}is}:12
a. Persamaanya
Setidaknya ada tiga hal, antara lain:
1) Sama-sama memberi batasan suatu ketentuan hukum, nasakh memberi
batasan waktu, sedang takhs}is} memberi batasan materi
2) Sama-sama memberi batasan berlakunya suatu ketentuan hukum syara‟
3) Sama-sama berupa dalil syara‟
b. Perbedaanya:
Setidaknya ada lima hal, antara lain:
1) Lafal ‘amm setelah ditakhs}is} akan menjadi samar jangkauannya,
karena bentuknya masih tetap umum. Sedang lafal dalil yang telah
dimansukh sudah tidak berlaku lagi, sehingga sudah jelas
jangkauannya telah terhenti. Contoh: ketentuan dalam surat
al-Mujadalah ayat 12; telah tidak berlaku lagi karena telah ada ketentuan
baru dalam surat al-Mujadalah ayat 13.
2) Ketentuan hukumnya sejak semula sudah dikecualikan dengan takhs}i>s},
sedang ketentuan hukum yang dimansukh, pada mulanya dikehendaki
dan diberlakukan untuk beberapa saat, tetapi setelah ada perubahan
situasi dan kondisi yang terjadi, maka ketentuan hukumnya
dimansukh.
12
22
3) Nasakh membatalkan kehujjahan hukum yang dimansukh, sedangkan
takhs}i>s} tidak membatalkan, melainkan hanya membatasi jangkauannya
saja, sedang ketentuan hukumnya tetap berlaku bagi yang tidak
dikecualikan dengan pembatasan.13
4) Nasakh tidak dapat terjadi kecuali dalam al-Qur‟an dan Sunnah,
sedang takhs}i>s} bisa saja terjadi dalam al-Qur‟an, as-Sunnah ataupun
dalam hukum lain di luar hukum keduanya
5) Nasakh itu dalil nasakhnya harus datang kemudian setelah ketentuan
dari dalil yang pertama itu berlaku terlebih dahulu, lalu dihapuskan.
Sedang dalam takhs}i>s}, dalil yang mentakhs}i>s} (mukhassis)nya boleh
datang bersamaan dengan dalil yang ditakhs}i>s}. Contoh surat
al-Baqarah: 228 dengan al-Baqarah 237 dan sebagainya.
B. Hadis Dalam Kaitannya Dengan al-Qur’an
1. Kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadis Rasulullah merupakan
sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Qur‟an, dan umat Islam diwajibkan
mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti al-Qur‟an.14
Banyak ayat al-Qur‟an dan hadis yang memberikan pengertian bahwa
hadis itu merupakan sumber hukum Islam selain al-Qur‟an yang wajib diikuti,
baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Uraian dibawah ini
13Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, 139.
23
merupakan paparan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam
dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun ‘aqli.15
2. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’an
Berdasarkan kedudukan al-Qur‟an dan hadis, sebagai pedoman hidup
dan sumber ajaran Islam, antara satu dengan lainnya jelas tidak dapat
dipisahkan. al-Qur‟an sebagai sumber pertama memuat ajaran-ajaran bersifat
umum dan global yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Disinilah
hadis menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran kedua. Ia
menjadi penjelas (mubayyi>n) isi kandungan al-Qur‟an tersebut.16 Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 44 yang berbunyi sebagai
berikut:
Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.17
Fungsi hadis sebagai penjelas terhadap al-Qur‟an itu
bermacam-macam. menurut Imam Al-Syafi‟i menyebutkan lima fungsi, yaitu: baya>n
al-Tafsi>r, baya>n al-Takhs}i>s}, baya>n al-Ta’yi>n, baya>n al-Tas}ri’ dan baya>n
al-Nasakh. Dalam al-Risa>lah ia menambahkan dengan baya>n al-Isha>rah. Ahmad
15Suparto, Ilmu Hadis, 49.
16Zainul Arifin, Ilmu Hadis Historis dan Metodologis (Surabaya: Pustaka Al-Muna, 2014), 52.
24
bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu baya>n al-Ta’ki>d, baya>n al-Tafsi>r,
baya>n al-Tas}ri>’dan baya>n al-Takhs}i>s}.18
a. Baya>n al-Taqri>r
Baya>n al-Taqri>r disebut juga dengan baya>n al-Ta’kid dan baya>n
al-It}bat. yang dimaksud dengan baya>n ini yakni menetapkan dan
memperkuat apa yang telah diterangkan didalam al-Qur‟an. Fungsi hadis
dalam hal ini, hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur‟an.19
Seperti ayat al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu atau
surat al-Baqarah ayat 185 tentang melihat bulan di taqri>r dengan
hadis-hadis diantaranya yang diriwayatkan oleh Muslim dan al-Bukhari. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat berikut ini.
Contoh ayat al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 6 tentang keharusan
berwudhu sebelum shalat:
18Hasbi Al-Siddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 176-188.
25
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.20
Ayat di atas ditaqri>r oleh hadis riwayat al-Bukhari dari Abu
Hurairah yang berbunyi:
ْنَع ،ٌرَمْعَم اَنَرَ بْخَأ :َلاَق ، ِقازرلا ُدْبَع اَنَرَ بْخَأ :َلاَق ،يِلَظْنَحلا َميِاَرْ بِإ ُنْب ُقاَحْسِإ اَنَ ثدَح
ِنْب ِمامَ
للا ُلوُسَر َلاَق :ُلوُقَ ي ،َةَرْ يَرُ اَبَأ َعِمَس ُهنَأ ،ٍهِبَنُم
:َملَسَو ِهْيَلَع ُها ىلَص ِه
«
َثَدْحَأ ْنَم ُةَاَص ُلَبْقُ ت ََ
َأضَوَ تَ ي ىتَح
»
ٌطاَرُض ْوَأ ٌءاَسُف :َلاَق ،؟َةَرْ يَرُ اَبَأ اَي ُثَدَحلا اَم :َتْوَمَرْضَح ْنِم ٌلُجَر َلاَق
.
21
“Rassulullah saw telah bersabda: tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia suci”.
Menurut sebagian ulama, bahwa baya>n taqri>r atau baya>n ta’ki>d ini,
disebut juga dengan baya>n al-Muwafi>q nas} al-Kita>b al-Kari>m. Hal ini
karena, munculnya hadis-hadis itu sesuai dan untuk memperkokoh nas}
al-Qur‟an.22
b. Baya>n al-Tafsi>r
Baya>n al-tafsi>r adalah penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang
memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat
yang mujma>l, mutla>q dan ‘a>m. maka fungsi hadis dalam hal ini,
memberikan perincian (tafsir) dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‟an
yang masih mujma>l, memberikan taqyi>d ayat-ayat yang masih mutlaq, dan
memberikan takhs}is} ayat-ayat yang masih umum.
20al-Qur’a>n, 5:6.
26
1) Memerinci ayat-ayat mujmal
Mujmal artinya ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang
singkat ini terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini
karena belum jelas makna mana yang dimaksudkannya, kecuali setelah
adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapannya
masih bersifat global yang memerlukan mubayyi>n.23
2) Men-Taqyi>d ayat-ayat yang Mutlaq
Kata mutlaq, artinya kata yang menunjukkan pada hakikat kata
itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah
maupun sifatnya. Men-taqyi>d yang mutlaq, artinya membatasi
ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu.
Penjelasan Rasulullah berupa mentaqyi>d ayat-ayat al-Qur‟an yang
bersifat mutlaq.24
3) Men-Takhs}is} ayat yang ‘a>mm
Kata ‘a>mm, ialah kata yang menunjuk atau memiliki makna
dalam jumlah yang banyak. Sedang kata takhs}is} atau khas}, ialah kata
yang menunjuk arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud
men-takhs}is} yang ‘a>mm disini, ialah membatasi keumuman ayat
al-Qur‟an, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat
fungsinya ini, maka Ulama berbeda pendapat, apabila mukhas}s}is}nya
dengan hadis ahad.
23Arifin, Ilmu Hadis, 54.
27
c. Baya>n al-Tashri>’
Kata al-Tashri>’, artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan
aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan baya>n al-tashri>’ disini,
ialah penjelasan hadis yang berupa mewujudkan, mengadakan atau
menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara‟ yang tidak didapati
nas}nya dalam al-Qur‟an. Rasulullah dalam hal ini, berusaha menunjukkan
suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada
saat itu, dengan sabdanya sendiri.25
Banyak hadis Rasulullah saw masuk kedalam kelompok ini.
Diantaranya, hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua
wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya) dan lain-lain.26
Ketiga baya>n yang telah dijelaskan diatas, disepakati oleh para
ulama, meskipun untuk baya>n yang ketiga sedikit dipersoalkan. Kemudian
untuk baya>n lainnya, seperti bayan al-nasakh terjadi perbedaan pendapat.
Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasakh dan ada
yang menolaknya. Yang menerima adanya nasakh di antaranya ialah
Jumhur ulama mutakallimi>n, baik Mu’tazilah maupun Ash’ariyah, ulama
Malikiyah, Hanafiyah, Ibn Hazm dan sebagian Zahiriyah. Sedang yang
menolaknya, diantaranya al-Syafi‟i dan mayoritas ulama pengikutnya serta
mayoritas ulama Zahiriyah.27
25Arifin, Ilmu Hadis, 58.
26Ibid., 27
28
d. Baya>n al-Nasakh
Diantara para ulama, baik Mutaakhiri>n maupun Mutaqaddimi>n
terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan al-nasakh ini.
Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami
arti nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama Mutaqaddimi>n, bahwa
yang disebut bayan al-nasakh ialah adanya dalil syara‟ yang datangnya
kemudian.28
Dari pengertian di atas, bahwa ketentuan yang datang kemudian
dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai
ketentuan atau isi kandungan al-Qur‟an. Demikian menurut pendapat
ulama yang menganggap adanya fungsi baya>n al-nasakh.29
Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadis
terhadap al-Qur‟an juga berbeda pendapat, terhadap macam hadis yang
dapat dipakai untuk menasakhnya. Dalam hal ini mereka terbagi pada tiga
kelompok.30
1. Membolehkan menasakh al-Qur‟an dengan berbagai macam hadis,
meskipun dengan hadis ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan
oleh para ulama mutaqaddimi>n dan Ibn Hazm serta sebagian pengikut
para Zahiriyah.
28
Arifin, Ilmu Hadis, 61. 29
Ibid., 30
29
2. Yang membolehkan menasakh dengan syarat, bahwa hadis tersebut
harus mutawati>r. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu‟tazilah
3. Ulama yang membolehkan menasakh dengan hadis masyhu>r, tanpa
harus dengan hadis mutawati>r. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh
BAB III
PENAFSIRAN AYAT MENGENAI KEDUDUKAN BUKTI
AUTENTIK (TERTULIS) DAN SAKSI DALAM TRANSAKSI
HUTANG PIUTANG
A.Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 2821. Penafsiran Ibn Kathi>r
ؤ
31
janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.1
Ayat ini merupakan ayat yang paling panjang di dalam al-Qur‟an. Ayat
ini merupakan nasihat dan bimbingan dari Allah bagi hamba-hambaNya yang
beriman jika mereka melakukan muamalah secara tidak tunai, hendaklah
mereka menulisnya supaya lebih dapat menjaga jumlah dan batas muamalah
tersebut, serta lebih menguatkan bagi saksi.2
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, Sufyan
ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, ayat tersebut
diturunkan berkenaan dengan pemberian hutang salam3, dalam batas waktu
yang ditentukan.4
Faktubu>h Hendaklah kamu menuliskannya. Ini merupakan perintah dari
Allah SWT supaya dilakukan penulisan untuk memperkuat dan menjaganya.
Kemudian Ibn Kathir menukil dari pendapat Abu Sa‟id, as-Sya‟bi, Rabi‟ bin
1al-Qur’a>n, 2:282.
2Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir Jilid I, ter. M. „Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Pustaka Imam
Syafi‟i, 2009), 562.
32
Anas, al-Hasan, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid dan ulama lainnya mengatakan,
sebelumnya hal itu merupakan suatu kewajiban, kemudian dinasakh
(dihapuskan).5 Dengan firmanNya:
…
Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).6
“Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu
menuliskannya dengan benar.” Maksudnya dengan adil dan benar serta tidak
boleh berpihak kepada salah seorang dalam penulisannya tersebut dan tidak
boleh juga ia menulis kecuali apa yang telah disepakati tanpa menambah atau
menguranginya.7
…
“Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
telah mengajarkannya. Maka hendaklah ia menulis.” Maksudnya, orang yang
mengerti tulis menulis tidak boleh menolak jika ia diminta menulis untuk
kepentingan orang lain dan tidak boleh menyusahkannya, sebagaimana Allah
telah mengajarkan kepadanya apa yang sebelumnya tidak diketahuinya. Maka
hendaklah ia berbuat baik kepada orang lain yang tidak mengenal
5Katsir, Tafsir Ibn Katsir , 563.
6al-Qur’a>n, 2:283.
33
menulis, dan hendaklah ia menuliskannya. Sebagaimana yang disebutkan
dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah bersabda:8
«
َقَرْخَِِ َعَنْصَت ْوَأ اًعِناَص َنيِعُت ْنَأ ِةَقَدصلا َنِم نِإ
»
ِرَخ ْْا ِثيِدَحْلا يِفَو
«
ْنَم
َمْوَ ي َمِجْلُأ ُهُمَلْعَ ي اًمْلِع َمَتَك
ٍراَن ْنِم ٍماَجِلِب ِةَماَيِقْلا
»
Sesungguhnya termasuk sedekah jika engkau membantu seorang yang berbuat (kebaikan) atau berbuat sesuatu bagi orang bodoh (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).
Dan dalam hadis yang lain juga disebutkan bahwa