• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN BUKTI AUTENTIK (TERTULIS) DAN SAKSI DALAM TRANSAKSI HUTANG PIUTANG : STUDI TERHADAP TAFSIR IBN KATHIR, TAFSIR AL-MUNIR DAN TAFSIR FI ZILALIL QUR’AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 282.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KEDUDUKAN BUKTI AUTENTIK (TERTULIS) DAN SAKSI DALAM TRANSAKSI HUTANG PIUTANG : STUDI TERHADAP TAFSIR IBN KATHIR, TAFSIR AL-MUNIR DAN TAFSIR FI ZILALIL QUR’AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 282."

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

KEDUDUKAN BUKTI AUTENTIK (TERTULIS) DAN SAKSI

DALAM TRANSAKSI HUTANG PIUTANG

(Studi Terhadap Tafsi>r Ibn Kathi>r, Tafsi>r Al-Muni>r dan

Tafsi>r Fi> Z{ila>lil Qur’a>n Surat Al-Baqarah Ayat 282)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ushuluddin dan Filsafat

Oleh

FAIZATUL MUKRIMAH

NIM. E83212120

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Abstrak

Faizatul Mukrimah. E83212120. Kedudukan Bukti Autentik (tertulis) dan Saksi dalam Transaksi Hutang-Piutang (studi terhadap tafsir ibn kathi>r, tafsir al-muni>r dan tafsir fi> z}ila>lil Qur’a>n surat al-Baqarah ayat 282) Skripsi Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Penelitian ini ditulis dikarenakan adanya problematika terkait penulisan dan adanya saksi dalam transaksi hutang-piutang, kemudian ada pendapat yang menyatakan jika orang yang bertransaksi saling percaya maka tidak dibutuhkan lagi bukti autentik tertulis maupun saksi dalam transaksi yang bertempo tersebut.

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian literatur (library research) dengan menggunakan metode penyajian secara deskriptif dan analisis. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori ‘amm khas} dari ulumul qur’an untuk menganalisis data dari tafsirannya Ibn Kathi>r, Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb.

Tujuan dari penelitian ini yakni untuk mengetahui data penafsiran menurut Ibn Kathi>r penafsirannya Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb sebagai salah satu bentuk yang bisa menjadi wacana dan dijadikan hujjah bagi umat Islam terkait perkembangan tafsir sejak zaman dahulu sampai sekarang.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 7

E. Kajian Pustaka ... 7

F. Metode Penelitian ... 8

G. Sistematika Pembahasan ... 12

BAB II Kaidah Analisa Penafsiran Surat al-Baqarah ayat 282 A. ‘Amm dan Khas} ... 15

1. Pengertian ‘amm dan berbagai karakternya ... 15

2. Macam-macam ‘amm ... 16

3. Definisi Kha>s} dan Mukhas}s}i>s} ... 17

4. Takhs}i>s} sunnah dengan al-Qur’an ... 19

5. Sah berhujjah dengan ‘amm sesudah ditakhsis terhadap sisanya .. 19

6. Problematika Takhs}i>s} ... 21

B. Hadis dalam kaitannya dengan al-Qur’an ... 22

(8)

2. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’an ... 23

a) Baya>n al-takri>r ... 24

b) Baya>nal-tafsi>r ... 25

c) Baya>nal-tashri>’ ... 27

d) Baya>nal-nasakh ... 28

BAB III. Penafsiran Ayat Mengenai Kedudukan Bukti Autentik (tertulis) dan Saksi dalam Transaksi Hutang Piutang A. Tafsir Surat al-Baqarah ayat 282 ... 30

1. Penafsiran Ibn Kathi>r ... 30

2. Penafsiran Wahbah Zuhaili ... 41

3. Penafsiran Sayyid Quthb ... 51

B. Analisa Penafsiran ... 54

1. Kedudukan bukti tertulis ... 54

2. Kedudukan saksi ... 64

BAB IV. Penutup A. Kesimpulan ... 71

B. Saran ... 72

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an sebagai sumber pokok dalam menetapkan aturan-aturan dan

amal perbuatan manusia yang beriman, mempunyai nilai yang sempurna yang

meliputi berbagai segi kehidupan, baik urusan duniawi maupun ukhrawi yang

kelak akan mengantarkan umat manusia kepada kebahagiaan dunia akhirat, karena

al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Maka di dalamnya

terkandung nilai-nilai ajaran menjadi pedoman hidup bagi umat manusia.

Secara naluriah, manusia saling tolong menolong demi tercapainya sebuah

cita-cita yang diharapkan bersama. Namun banyak juga di antara manusia yang

saling membantu dalam hal keburukan atau kemaksiatan. Karena hal itu, maka

Allah memberikan batasan-batasan dalam hal, sikap saling membantu itu harus

diterapkan dalam memenuhi kebutuhan hidup diantara mereka. Hubungan

individu dengan lainnya, seperti pembahasan, seperti masalah hak dan kewajiban,

harta, jual beli, kerja sama dalam berbagai bidang, pinjam-meminjam, sewa

menyewa, penggunaan jasa dan kegiatan-kegiatan lainnya yang sangat diperlukan

manusia dalam kehidupan sehari-hari.1

Dalam kegiatan sehari-hari, uang selalu saja dibutuhkan untuk membeli

atau membayar berbagai keperluan. Dan yang menjadi masalah terkadang

(10)

2

kebutuhan yang ingin dibeli tidak dapat dicukupi dengan uang yang dimilikinya.

kalau sudah demikian, maka mau tidak mau kita mengurangi untuk membeli

berbagai keperluan yang dianggap tidak penting, namun untuk keperluan yang

sangat penting terpaksa harus dipenuhi dengan berbagai cara seperti meminjam

dari berbagai sumber dana yang ada.2

Islam juga membolehkan hutang-piutang atau pinjam meminjam dengan

catatan sesuai syari’at Islam dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an maupun

as-Sunnah. Adapun hutang-piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang

dengan perjanjian dia akan membayar yang sama pula.3 Bukanlah merupakan suatu persoalan apabila pinjam-meminjam tersebut berupa barang ataupun benda.

Misalnya; Pinjam uang Rp 100.000,- kembali uang Rp. 100.000,- pinjam emas 5

gram kembali emas 5 gram, pinjam 1000 genteng kembali 1000 genteng pula dan

sebagainya, sesuai dengan jumlah, macam dan ukurannya, sebab barang atau

benda akan dapat seperti semula. Adapun pendapat fuqaha zaman dahulu, bahwa

hutang-piutang wajib dikembalikan sesuai dengan jumlah penerimaan sewaktu

mengadakan transaksi tanpa menambah atau menguranginya.4

Al-Qur’an telah menggariskan beberapa ketentuan berkenaan dengan

hutang-piutang untuk menjaga supaya tidak timbul perselisihan antara kedua

belah pihak, yang berhutang dan yang berpiutang. Diantara ketentuan itu supaya

diadakan perjanjian tertulis yang menyebutkan segala yang bersangkut dengan

2Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2011), 261.

3Chairuman P. dan Suhrawardi KL, Hukum Perjanjian Dalam Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), 136.

(11)

3

utang piutang. Disamping itu di adakan juga saksi-saksi yang turut bertanda

tangan dalam surat perjanjian tadi.5 seperti Firman Allah SWT yang sudah dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 282:







































































































Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari

(12)

4

orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.6

Menurut ayat di atas, Allah memberikan ketentuan bagi orang yang

melakukan transaksi atau perjanjian keterikatan yang tidak tunai (kredit) dengan

prasarana suatu bukti sebagai dasar untuk mengantisipasi perselisihan yang

mungkin timbul (yang tidak diinginkan) di kemudian hari. Pembuktian ini berupa

bukti tercatat dan saksi. Perjanjian (mu’amalah, misal jual beli yang tidak kontan)

dicatat atau ditulis oleh seseorang atas kesepakatan kedua belah pihak dengan

tidak merugikan pihak yang lain atau kedua belah pihak (bila menyuruh orang

ketiga sebagai juru tulis).7

Kesaksian dalam bahasa Arab disebut dengan ash-shaha>dah. Ia merupakan

bentuk masdar dari kata kerja shahida yang seakar kata dengan ash-shuhu>d yang

berarti hadir. Menurut bahasa, arti kata ash-shaha>dah adalah berita atau informasi

yang pasti. Adapun menurut istilah syara’, shahada adalah informasi yang

diberikan oleh orang yang jujur untuk menetapkan satu hak dengan menggunakan

6al-Qur’a>n, 2:282.

(13)

5

kata bersaksi atau menyaksikan (ash-shaha>dah) di depan majelis hakim dalam

persidangan.8

Kesaksian tidak bisa dilakukan kecuali dalam hal yang memang dilihat

oleh saksi. Karena itu, sebagian besar ulama tidak membolehkan seorang saksi

memberikan kesaksian berdasarkan apa yang ia lihat dalam tulisannya kecuali jika

ia ingat akan kejadian yang pernah ia saksikan sendiri. Ini karena tulisan

seseorang tidak bisa dijadikan dasar karena ada kemungkinan sama dengan tulisan

orang lain. Yang dituntut dalam kesaksian adalah pengetahuan atas kejadian suatu

perkara. Adapun sesuatu yang serupa dengan sesuatu yang lain tidak bisa

memberikan tingkat keyakinan. Jika seorang saksi itu mengingat peristiwa yang

terjadi, berarti dia memberikan kesaksian atas apa yang ia ketahui, bukan

memberikan kesaksian atas tulisannya.9

Dalam menafsirkan ayat diatas, para mufassir berbeda dalam

menafsirkannya, Ibn Kathir dan Wahbah Zuhaili menyatakan ayat tersebut terjadi

nasakh mansukh, yang mengakibatkan hukum dalam kandungan ayat tersebut

dihapus dan dimuat oleh ayat setelahnya, akan tetapi menurut Sayyid Quthb ayat

tersebut tidak terjadi nasakh mansukh, dan hukum dalam kandungannya

berhukum mutlak. Dari perbedaan metode yang digunakan oleh mufassir sehingga

mengakibatkan perbedaan dalam menafsirkannya. Dari perbedaan tersebut penulis

ingin meneliti lebih dalam keautentikan bukti tertulis dan saksi dalam transaksi

hutang-piutang menurut para mufassir. Oleh karena itu karya ilmiah ini diberi

8

(14)

6

judul Kedudukan Bukti Autentik (tertulis) dan saksi dalam Transaksi Hutang

Piutang: Studi Terhadap Tafsir> IbnKathi>r , Tafsi>r al-Muni>r dan Tafsi>r Fi> Z{ila>lil

Qur’a>n Surat Al-Baqarah Ayat 282.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada penelitian

ini adalah:

1. Bagaimana kedudukan bukti tertulis dalam transaksi hutang-piutang menurut

Ibn Kathi>r, Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb terhadap surat al-Baqarah ayat

282?

2. Bagaimana kedudukan saksi dalam transaksi hutang-piutang menurut Ibn

Kathi>r, Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb terhadap surat al-Baqarah ayat

282?

C. Tujuan Penelitian

Pada dasarnya setiap penelitian mempunyai tujuan yang akan dipakai

sebagai pedoman untuk pembahasan yaitu:

1. Untuk mengetahui kedudukan bukti tertulis dalam transaksi hutang-piutang

menurut Ibn Kathi>r, Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb terhadap surat

al-Baqarah ayat 282.

2. Untuk mengetahui kedudukan saksi dalam transaksi hutang-piutang menurut

Ibn Kathi>r, Wahbah Zuhaili dan Sayyid Quthb terhadap surat al-Baqarah ayat

(15)

7

D. Kegunaan Penelitian

Setiap penelitian di harapkan dapat bermanfaat, maka kegunaan penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Kegunaan secara teoritis

Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan agar dapat dijadikan sebagai

wawasan bagi peneliti dan pembaca serta bermanfaat sebagai media informasi

dan media belajar untuk mengetahui lebih dalam memahami kedudukan bukti

dan saksi ketika melakukan transaksi hutang piutang.

2. Kegunaan Praktis

Dalam karya ilmiah ini diharapkan bisa memberi kontribusi agar dapat

memberi solusi bagi masyarakat dalam menyelesaikan masalah terkait bukti

tertulis dan mendatangkan saksi dalam transaksi yang bertempo.

E. Kajian Pustaka

Seperti yang telah diketahui bahwa telaah pustaka sangat diperlukan untuk

memberikan pemantapan dan penegasan berkaitan dengan kekhasan penelitian

yang akan dilakukan, kekhasan penelitian ini akan terlihat dengan menunjukkan

berbagai buku, bulletin, skripsi atau tesis. Sejauh ini belum ditemukan penelitian

tentang Kedudukan Bukti Autentik (tertulis) dan saksi dalam Transaksi Hutang

Piutang: Studi Terhadap Tafsi>r Ibn Kathi>r, Tafsi>r al-Muni>r dan Tafsi>r Fi> Z}ila>lil

Qur’a>n Surat Al-Baqarah Ayat 282. Ditemukan beberapa penelitian yang telah

dilakukan sebelumnya, antara lain adalah sebagai berikut:

1. Masnur, Program Pascasarjana, Tahun 2011 IAIN Sunan Ampel dalam

(16)

8

karya ilmiah tersebut hanya fokus terhadap kesaksian perempuan dalam

Al-Qur’an dan hadis dengan menggunakan metode pendekatan maqa>s}id

al-shari’ah. Dalam karya ini Masnur juga menjelaskan konsep kesaksian

perempuan dalam hukum Islam.

2. Siti Kamiliyatun, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir Hadis Tahun 2001

IAIN Sunan Ampel, tentang “Studi Terhadap Ketentuan al-Qur’an Tentang

Kesaksian Wanita”. Dalam skripsi tersebut mendiskripsikan ayat-ayat yang

berkaitan dengan kesaksian wanita dalam bermu’amalah. Dalam karya ilmiah

ini Siti juga menjelaskan mengenai perbandingan saksi antara laki-laki dan

perempuan dan menjelaskan mengenai rahasia disyariatkannya terbilangnya

jumlah saksi wanita dalam syariat agama.

F. Metode Penelitian

Dalam usaha memperoleh data atau informasi yang dilakukan, maka

penelitian ini menggunakan metode sebagai berikut: 10 1. Model Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan

data tentang kerangka ideologis, epistimologi dan asumsi-asumsi metodologis

pendekatan terhadap kajian tafsir dengan menelusuri secara langsung pada

literatur yang terkait.

(17)

9

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library reseacrh), yaitu

penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan

lain-lain secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan

bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan memanfaatkan berbagai

metode ilmiah.

3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif, yaitu menuturkan

dan menafsirkan data yang berkenaan dengan fakta, keadaan, variable dan

fenomena yang terjadi pada saat penelitian berlangsung menyajikannya apa

adanya.11 Berupa analisis yakni uraian atau bersifat penguraian12 yang berusaha mendiskripsikan konsep yang ada dalam al-Qur’an surat al-Baqarah

ayat 282.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable yang

berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah dan lain sebagainya.13

11M. Sabana, Dasar-dasar Penelitian Ilmiyah (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 89.

12Pius. A. Partanto dan Dahlan Barry, Kamus Ilmiyah Populer (Surabaya: Arloka, 1994), 29.

(18)

10

5. Sumber Data

Data yang diambil dalam penelitian ini bersumber dari

dokumen-dokumen pustaka yang terdiri dari dua sumber, yaitu:

a. Sumber Primer

Sumber primer adalah data autentik atau data yang berasal dari

sumber pertama.14 Adapun sumber primer yang menjadi acuan adalah: 1) Tafsi>r Ibn Kathi>r

2) Tafsi>r Al-Muni>r

3) Tafsi>r Fi> Z}ilalil Qur’an

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder yaitu data yang materinya secara tidak langsung

berhubungan dengan masalah yang diungkapkan. 15 Adapun sumber sekunder yang penulis gunakan berupa kitab-kitab tafsir serta karya-karya

para ulama dan cendekiawan lain yang berkaitan dengan tema

pembahasan.

Adapun sumber dari kitab-kitab lainnya adalah:

1) Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab

2) Al-Quran dan Tafsirnya diterbitkan oleh Departemen Agama

3) Fiqih Islam Wa Adillatuhu karya Wahbah Al-Zuhaili

4) Ah}kam al-Mu’amalah karya Kamil Musa

5) Ensiklopedia Al-Qur’an Buku I karya Fachruddin Hs

14Hadiri Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), 216.

(19)

11

6) Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur’an karya

Zaitunah Subhan

7) Ilmu Hadis Karya Munzier Suparto

8) Ilmu Hadis Historis dan Metodologis Karya Zainul Arifin

9) Studi Islam Al-Qur’an dan As-Sunnah Karya Ali Hasan

10)Studi Ilmu-ilmu Qur’an karya Manna’ Khalil al-Qattan

6. Metode Analisis Data

Untuk sampai pada prosedur akhir penelitian, maka penulis

menggunakan metode analisa data untuk menjawab persoalan yang akan

muncul di sekitar penelitian ini.

Teknik analisis data adalah proses mengorganisasikan dan

mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga

ditemukan tema dan dirumuskan.16

Semua data yang telah terkumpul, baik primer maupun sekunder

diklasifikasi dan di analisis sesuai dengan sub bahasan masing-masing.

Selanjutnya di lakukan telaah mendalam atas karya-karya yang memuat objek

penelitian dengan menggunakan analisis isi.

a. Metode Deskriptif Kualitatif

Penelitian Deskriptif Kualitatif yakni penelitian berupaya untuk

mendiskripsikan yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya

mendiskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi yang

16

(20)

12

sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif kualitatif ini

bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan yang

ada.17

G. Sistematika Pembahasan

Keseluruhan penulisan ini akan disusun dalam rangkaian bab sebagai

berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang membahas kerangka dasar

skripsi yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan

kegunaan penelitian, metodologi penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi tentang landasan teori sebagai pijakan dalam penelitian

ini dengan menggunakan teori ‘amm khas} dan fungsi hadis secara umum terkait

surat al-Baqarah ayat 282. Dimana pada bab ini menjelaskan gambaran secara

umum tentang teori ‘amm khas dan kaitannya dengan teori nasakh mansukh juga

memaparkan tentang kaidah fungsi hadis sebagai penjelasan terhadap surat

al-Baqarah ayat 282.

Bab ketiga merupakan penyajian data yang membahas tentang penafsiran

Ibn Kathi>r, penafsiran Wahbah Zuhaili dan Sayyyid Quthb terhadap surat

al-Baqarah ayat 282 terkait keautentikan bukti tertulis dan saksi dalam transaksi

hutang-piutang. Kemudian analisa penafsiran dikaitkan dengan menggunakan

teori ‘amm khas} dari Ulumul Qur’an juga penggunaan fungsi hadis terhadap

(21)

13

Qur’an sebagai kaidah yang digunakan penafsir dalam surat al-Baqarah ayat 282

tersebut.

Bab keempat membahas penutup, dimana pada bab ini merupakan hasil

(22)

BAB II

KAIDAH ANALISA PENAFSIRAN SURAT AL-BAQARAH

AYAT 282

Dalam penelitiaan ini penulis menggunakan teori ’amm khas} dari Ulumul

Qur‟an sebagai alat untuk meneliti penafsiran Ibn Kathi>r dan Wahbah Zuhaili

dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat 282. Karena dalam sistem tashri’

(penetapan perundang-undangan) dan hukum agama mempunyai sasaran tertentu,

kepada siapa hukum itu ditujukan. Terkadang suatu hukum mengandung

karakteristik yang menjadikannya bersifat umum dan meliputi setiap individu dan

atau cocok bagi semua keadaan, terkadang pula sasaran itu terbatas dan khusus.

Maka diktum hukum kategori yang kedua ini tetap bersifat umum namun

kemudian diikuti diktum yang lain yang menjelaskan keterbatasannya atau

mempersempit cakupannya.

Setiap penjelasan dalam al-Qur‟an tidak terlepas dari hadis, karena dalam

beberapa perkara yang terdapat dalam al-Qur‟an tidak menjelaskan secara rinci

terhadap perkara tersebut. Sehingga hadis sangat berperan dan berfungsi untuk

memberikan penjelasan lebih detail yang ada di dalam al-Qur‟an. Maka dari itu

penulis menggunakan fungsi hadis sebagai baya>n dan dikarenakan juga hadis

(23)

15

A. ‘Amm dan khas

1. Pengertian ‘amm dan berbagai karakternya

‘Amm adalah lafad yang menghabiskan atau mencakup segala apa

yang pantas baginya tanpa ada pembatasan. Pernyataan ini sesuai dengan

definisi versi Muhammad Jawad, sementara menurut Abdul Khallah

menyebutkan bahwa ‘amm adalah lafad yang menunjukkan atas, mencakup

dan menghabiskan semua satuan-satuannya sesuai dengan maknanya tanpa

membatasi jumlah dari satu-satuan itu (perspektif bahasa).1

Sebagian besar ulama berpendapat, di dalam bahasa terdapat

sighat-sighat tertentu secara hakiki dibuat untuk menunjukkan makna umum dan

dipergunakan secara majaz pada selainnya. Untuk mendukung pendapatnya

ini mereka mengajukan sejumlah argumen dari dalil-dalil nas}s}iyah, ijma’iyah

dan ma’nawiyah.2

‘Amm mempunyai sighat-sighat tertentu yang menunjukkannya. Di

antaranya:3

a. Kull, seperti firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 185:









b. lafad-lafad yang dima’rifahkan dengan al yang bukan al ‘ahdiyah.

Misalnya surat al-‘as}r ayat 1-2:

1Tim Penyusun MKD UIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Al-Qur’an (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2013), 229.

2Mann}a>’ aKhali>l al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: PT Pustaka Litera AntarNusa, 2011), 313.

(24)

16           

c. Isim nakirah dalam konteks nafi> dan nahi>, seperti dalam surat al-Baqarah

ayat 197:              

d. Al-lati> dan al-ladzi> serta cabang-cabangnya. Misalnya dalam surat

al-Ahqaf ayat 17:

                                      

e. Semua isim syarat}. Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 158:

                    

f. Ismul-jins (kata jenis) yang di idafahkan kepada isim ma’rifah. Misalnya

dalam surat an-Nur 63:

          

2. Macam-macam ‘amm

Lafad ‘amm terbagi menjadi tiga macam:4

1) ‘Amm yang tetap dalam keumumannya (al’am al-baqi’ ‘ala umumihi)

‘amm seperti ini jarang ditemukan, sebab tidak ada satupun lafad ‘amm

kecuali di dalamnya terdapat takhs}i>s} (pengkhususan).

      4

(25)

17

2) ‘Amm yang dimaksud khusus (al-‘am al-murad al-khusus)

3) ‘Amm yang dikhususkan (al-‘amm al-makhs}u>s}),‘amm macam ini banyak

ditemukan dalam al-Qur‟an, diantaranya:

                         

3. Definisi Khas} dan Mukhas}is}

Khas} adalah lawan kata ‘amm, karena ia tidak menghabiskan semua

apa yang pantas baginya. Takhs}i>s adalah mengeluarkan sebagian apa yang

dicakup oleh lafad ‘amm. Mukhas}s}is} (yang mengkhususkan) adakalanya

muttas}i>l yang antara ‘ammdan mukhas}s}is} tidak terpisah oleh sesuatu hal, dan

adakalanya munfas}i>l kebalikan dari muttas}i>l.5

Mukhas}s}is} muttas}i>lada lima macam, yaitu:

1) Istisna’ (pengecualian), seperti firman Allah dalam surat al-Nur ayat 4-5:

                                            ...

2) S}ifat, misalnya dalam surat an-Nisa‟ ayat 23:

           

Lafad allati dakhaltum bihinna adalah s}ifat bagi lafad nisa’ikum.

Maksudnya, anak perempuan istri yang telah digauli itu haram dinikahi

oleh suami dan halal bila belum menggaulinya.

5

(26)

18

3) Syarat}, misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 180:

                            

Lafad intaraka khairan (jika ia meninggalkan harta) adalah syarat}

dalam wasiat.

4) G}ayah, (batas sesuatu), seperti dalam surat al-Baqarah ayat 196:

             

5) Badal ba’d min kul (sebagian yang menggantikan keseluruhan), misalnya

surat ali-Imran ayat 97:

                 

Lafad man istat}a’a adalah badal dari annas maka kewajiban haji

hanya khusus bagi orang yang mampu.

Mukhas}s}is} munfas}i>l adalah mukhas}s}is} yang terdapat ditempat lain,

baik ayat, hadis, ijma‟ dan qiyas. Contoh yang ditakhs}is} oleh Qur‟an surat

al-Baqarah ayat 228:6

         

Ayat diatas adalah ‘amm, mencakup setiap istri yang dicerai baik

dalam keadaan hamil maupun tidak, sudah digauli maupun belum, tetapi

keumuman ini ditakhs}is oleh surat at-Talaq ayat 4:

            

(27)

19

4. Takhs}is} sunnah dengan al-Qur’an

Terkadang ayat al-Qur‟an mentakhs}is}, membatasi keumuman sunnah.

Para ulama mengemukakan contoh dengan hadis riwayat Abu Waqid al-Laisi.

Ia menjelaskan7 Nabi saw berkata:

للا ِدْبَع ُنْب ِنَمْحرلا ُدْبَع اَنَ ثدَح ،ِمِساَقْلا ُنْب ُمِشاَ اَنَ ثدَح ،َةَبْيَش يِبَأ ُنْب ُناَمْثُع اَنَ ثدَح

ْنَع ،ٍراَنيِد ِنْب ِه

َز

:َملَسَو ِهْيَلَع ُها ىلَص يِبنلا َلاَق :َلاَق ،ٍدِقاَو يِبَأ ْنَع ،ٍراَسَي ِنْب ِءاَطَع ْنَع ،َمَلْسَأ ِنْب ِدْي

«

َنِم َعِطُق اَم

ٌةَتْيَم َيِهَف ٌةيَح َيَِو ِةَميِهَبْلا

»

Bagian apa saja yang dipotong dari hewan ternak hidup maka ia adalah

bangkai.

Hadis diatas ditakhs}is oleh ayat 80 dari surat an-Nahl:



 



 





 

dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing,

alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).8

5. Sah berhujjah dengan ‘amm sesudah ditakhs}is} terhadap sisanya

Para ulama berbeda pendapat tentang sah tidaknya berhujjah dengan

lafad ‘amm sesudah ditakhs}is} terhadap sisanya. Pendapat yang paling dipilih

para ahli ilmu menyatakan, sah berhujjah dengan ‘amm terhadap apa (makna

yang termasuk dalam ruang lingkupnya) di luar kategori yang dikhususkan.

Mereka mengajukan argumentasi berupa ijma’ dan dalil „aqli.9

7al-Qat}t}a>n, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, 321. 8

al-Qur‟an, 16;80. 9

(28)

20

a. Salah satu dalil ijma’ adalah bahwa Fatimah ra. menuntut kepada Abu

Bakar hak waris dari ayahnya berdasarkan keumuman. terdapat dalam

surat an-Nisa‟ ayat 11:10



















Makna ayat ini telah ditakhs}is} dengan orang kafir dan orang yang

membunuh. Namun, tidak seorang sahabatpun mengingkari keabsahan

hujjah Fatimah, padahal apa yang dilakukan Fatimah ini cukup jelas dan

masyhur. hal demikian dipandang sebagai ijma’ oleh karena itu dalam

berhujjah bagi ketidak bolehannya Fatimah akan hak waris Abu Bakar

beralih hujjah kepada sabda Nabi saw:

“Kami para Nabi, tidak mewariskan apa yang kami tinggalkan

menjadi sedekah”

b. Diantara dalil ‘aqli ialah lafad ‘amm sebelumnya ditakhs}is} merupakan

hujjah bagi setiap satuan (makna yang mencakup ruang dan lingkupnya),

menurut ijma‟ ulama. Pada dasarnya, keadaan sebelum takhs}is tetap

berlaku setelah ada takhs}is, kecuali jika ada dalil yang menyatakan

kebalikannya. Dalam hal ini tidak ada dalil demikian, karena itu, ‘amm

sesudah takhs}is tetap menjadi hujjah bagi sisanya.11

10

(29)

21

6. Problematika Takhs}i>s}

Adapun persamaan dan perbedaan nasakh dengan takhs}is}:12

a. Persamaanya

Setidaknya ada tiga hal, antara lain:

1) Sama-sama memberi batasan suatu ketentuan hukum, nasakh memberi

batasan waktu, sedang takhs}is} memberi batasan materi

2) Sama-sama memberi batasan berlakunya suatu ketentuan hukum syara‟

3) Sama-sama berupa dalil syara‟

b. Perbedaanya:

Setidaknya ada lima hal, antara lain:

1) Lafal ‘amm setelah ditakhs}is} akan menjadi samar jangkauannya,

karena bentuknya masih tetap umum. Sedang lafal dalil yang telah

dimansukh sudah tidak berlaku lagi, sehingga sudah jelas

jangkauannya telah terhenti. Contoh: ketentuan dalam surat

al-Mujadalah ayat 12; telah tidak berlaku lagi karena telah ada ketentuan

baru dalam surat al-Mujadalah ayat 13.

2) Ketentuan hukumnya sejak semula sudah dikecualikan dengan takhs}i>s},

sedang ketentuan hukum yang dimansukh, pada mulanya dikehendaki

dan diberlakukan untuk beberapa saat, tetapi setelah ada perubahan

situasi dan kondisi yang terjadi, maka ketentuan hukumnya

dimansukh.

12

(30)

22

3) Nasakh membatalkan kehujjahan hukum yang dimansukh, sedangkan

takhs}i>s} tidak membatalkan, melainkan hanya membatasi jangkauannya

saja, sedang ketentuan hukumnya tetap berlaku bagi yang tidak

dikecualikan dengan pembatasan.13

4) Nasakh tidak dapat terjadi kecuali dalam al-Qur‟an dan Sunnah,

sedang takhs}i>s} bisa saja terjadi dalam al-Qur‟an, as-Sunnah ataupun

dalam hukum lain di luar hukum keduanya

5) Nasakh itu dalil nasakhnya harus datang kemudian setelah ketentuan

dari dalil yang pertama itu berlaku terlebih dahulu, lalu dihapuskan.

Sedang dalam takhs}i>s}, dalil yang mentakhs}i>s} (mukhassis)nya boleh

datang bersamaan dengan dalil yang ditakhs}i>s}. Contoh surat

al-Baqarah: 228 dengan al-Baqarah 237 dan sebagainya.

B. Hadis Dalam Kaitannya Dengan al-Qur’an

1. Kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam

Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadis Rasulullah merupakan

sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Qur‟an, dan umat Islam diwajibkan

mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti al-Qur‟an.14

Banyak ayat al-Qur‟an dan hadis yang memberikan pengertian bahwa

hadis itu merupakan sumber hukum Islam selain al-Qur‟an yang wajib diikuti,

baik dalam bentuk perintah maupun larangannya. Uraian dibawah ini

13Tim Penyusun MKD, Studi Al-Qur’an, 139.

(31)

23

merupakan paparan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam

dengan melihat beberapa dalil, baik naqli maupun ‘aqli.15

2. Fungsi Hadis terhadap al-Qur’an

Berdasarkan kedudukan al-Qur‟an dan hadis, sebagai pedoman hidup

dan sumber ajaran Islam, antara satu dengan lainnya jelas tidak dapat

dipisahkan. al-Qur‟an sebagai sumber pertama memuat ajaran-ajaran bersifat

umum dan global yang perlu dijelaskan lebih lanjut dan terperinci. Disinilah

hadis menduduki dan menempati fungsinya sebagai sumber ajaran kedua. Ia

menjadi penjelas (mubayyi>n) isi kandungan al-Qur‟an tersebut.16 Hal ini

sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Nahl ayat 44 yang berbunyi sebagai

berikut:













 







 

Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.17

Fungsi hadis sebagai penjelas terhadap al-Qur‟an itu

bermacam-macam. menurut Imam Al-Syafi‟i menyebutkan lima fungsi, yaitu: baya>n

al-Tafsi>r, baya>n al-Takhs}i>s}, baya>n al-Ta’yi>n, baya>n al-Tas}ri’ dan baya>n

al-Nasakh. Dalam al-Risa>lah ia menambahkan dengan baya>n al-Isha>rah. Ahmad

15Suparto, Ilmu Hadis, 49.

16Zainul Arifin, Ilmu Hadis Historis dan Metodologis (Surabaya: Pustaka Al-Muna, 2014), 52.

(32)

24

bin Hanbal menyebutkan empat fungsi, yaitu baya>n al-Ta’ki>d, baya>n al-Tafsi>r,

baya>n al-Tas}ri>’dan baya>n al-Takhs}i>s}.18

a. Baya>n al-Taqri>r

Baya>n al-Taqri>r disebut juga dengan baya>n al-Ta’kid dan baya>n

al-It}bat. yang dimaksud dengan baya>n ini yakni menetapkan dan

memperkuat apa yang telah diterangkan didalam al-Qur‟an. Fungsi hadis

dalam hal ini, hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur‟an.19

Seperti ayat al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 6 tentang wudhu atau

surat al-Baqarah ayat 185 tentang melihat bulan di taqri>r dengan

hadis-hadis diantaranya yang diriwayatkan oleh Muslim dan al-Bukhari. Untuk

lebih jelasnya dapat dilihat berikut ini.

Contoh ayat al-Qur‟an surat al-Maidah ayat 6 tentang keharusan

berwudhu sebelum shalat:

                                                                                                            

18Hasbi Al-Siddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 176-188.

(33)

25

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.20

Ayat di atas ditaqri>r oleh hadis riwayat al-Bukhari dari Abu

Hurairah yang berbunyi:

ْنَع ،ٌرَمْعَم اَنَرَ بْخَأ :َلاَق ، ِقازرلا ُدْبَع اَنَرَ بْخَأ :َلاَق ،يِلَظْنَحلا َميِاَرْ بِإ ُنْب ُقاَحْسِإ اَنَ ثدَح

ِنْب ِمامَ

للا ُلوُسَر َلاَق :ُلوُقَ ي ،َةَرْ يَرُ اَبَأ َعِمَس ُهنَأ ،ٍهِبَنُم

:َملَسَو ِهْيَلَع ُها ىلَص ِه

«

َثَدْحَأ ْنَم ُةَاَص ُلَبْقُ ت ََ

َأضَوَ تَ ي ىتَح

»

ٌطاَرُض ْوَأ ٌءاَسُف :َلاَق ،؟َةَرْ يَرُ اَبَأ اَي ُثَدَحلا اَم :َتْوَمَرْضَح ْنِم ٌلُجَر َلاَق

.

21

“Rassulullah saw telah bersabda: tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia suci”.

Menurut sebagian ulama, bahwa baya>n taqri>r atau baya>n ta’ki>d ini,

disebut juga dengan baya>n al-Muwafi>q nas} al-Kita>b al-Kari>m. Hal ini

karena, munculnya hadis-hadis itu sesuai dan untuk memperkokoh nas}

al-Qur‟an.22

b. Baya>n al-Tafsi>r

Baya>n al-tafsi>r adalah penjelasan hadis terhadap ayat-ayat yang

memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat

yang mujma>l, mutla>q dan ‘a>m. maka fungsi hadis dalam hal ini,

memberikan perincian (tafsir) dan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‟an

yang masih mujma>l, memberikan taqyi>d ayat-ayat yang masih mutlaq, dan

memberikan takhs}is} ayat-ayat yang masih umum.

20al-Qur’a>n, 5:6.

(34)

26

1) Memerinci ayat-ayat mujmal

Mujmal artinya ringkas atau singkat. Dari ungkapan yang

singkat ini terkandung banyak makna yang perlu dijelaskan. Hal ini

karena belum jelas makna mana yang dimaksudkannya, kecuali setelah

adanya penjelasan atau perincian. Dengan kata lain, ungkapannya

masih bersifat global yang memerlukan mubayyi>n.23

2) Men-Taqyi>d ayat-ayat yang Mutlaq

Kata mutlaq, artinya kata yang menunjukkan pada hakikat kata

itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah

maupun sifatnya. Men-taqyi>d yang mutlaq, artinya membatasi

ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan atau syarat-syarat tertentu.

Penjelasan Rasulullah berupa mentaqyi>d ayat-ayat al-Qur‟an yang

bersifat mutlaq.24

3) Men-Takhs}is} ayat yang ‘a>mm

Kata ‘a>mm, ialah kata yang menunjuk atau memiliki makna

dalam jumlah yang banyak. Sedang kata takhs}is} atau khas}, ialah kata

yang menunjuk arti khusus, tertentu atau tunggal. Yang dimaksud

men-takhs}is} yang ‘a>mm disini, ialah membatasi keumuman ayat

al-Qur‟an, sehingga tidak berlaku pada bagian-bagian tertentu. Mengingat

fungsinya ini, maka Ulama berbeda pendapat, apabila mukhas}s}is}nya

dengan hadis ahad.

23Arifin, Ilmu Hadis, 54.

(35)

27

c. Baya>n al-Tashri>’

Kata al-Tashri>’, artinya pembuatan, mewujudkan atau menetapkan

aturan atau hukum. Maka yang dimaksud dengan baya>n al-tashri>’ disini,

ialah penjelasan hadis yang berupa mewujudkan, mengadakan atau

menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara‟ yang tidak didapati

nas}nya dalam al-Qur‟an. Rasulullah dalam hal ini, berusaha menunjukkan

suatu kepastian hukum terhadap beberapa persoalan yang muncul pada

saat itu, dengan sabdanya sendiri.25

Banyak hadis Rasulullah saw masuk kedalam kelompok ini.

Diantaranya, hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua

wanita bersaudara (antara isteri dengan bibinya) dan lain-lain.26

Ketiga baya>n yang telah dijelaskan diatas, disepakati oleh para

ulama, meskipun untuk baya>n yang ketiga sedikit dipersoalkan. Kemudian

untuk baya>n lainnya, seperti bayan al-nasakh terjadi perbedaan pendapat.

Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasakh dan ada

yang menolaknya. Yang menerima adanya nasakh di antaranya ialah

Jumhur ulama mutakallimi>n, baik Mu’tazilah maupun Ash’ariyah, ulama

Malikiyah, Hanafiyah, Ibn Hazm dan sebagian Zahiriyah. Sedang yang

menolaknya, diantaranya al-Syafi‟i dan mayoritas ulama pengikutnya serta

mayoritas ulama Zahiriyah.27

25Arifin, Ilmu Hadis, 58.

26Ibid., 27

(36)

28

d. Baya>n al-Nasakh

Diantara para ulama, baik Mutaakhiri>n maupun Mutaqaddimi>n

terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan al-nasakh ini.

Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami

arti nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama Mutaqaddimi>n, bahwa

yang disebut bayan al-nasakh ialah adanya dalil syara‟ yang datangnya

kemudian.28

Dari pengertian di atas, bahwa ketentuan yang datang kemudian

dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Hadis sebagai

ketentuan atau isi kandungan al-Qur‟an. Demikian menurut pendapat

ulama yang menganggap adanya fungsi baya>n al-nasakh.29

Diantara para ulama yang membolehkan adanya nasakh hadis

terhadap al-Qur‟an juga berbeda pendapat, terhadap macam hadis yang

dapat dipakai untuk menasakhnya. Dalam hal ini mereka terbagi pada tiga

kelompok.30

1. Membolehkan menasakh al-Qur‟an dengan berbagai macam hadis,

meskipun dengan hadis ahad. Pendapat ini diantaranya dikemukakan

oleh para ulama mutaqaddimi>n dan Ibn Hazm serta sebagian pengikut

para Zahiriyah.

28

Arifin, Ilmu Hadis, 61. 29

Ibid., 30

(37)

29

2. Yang membolehkan menasakh dengan syarat, bahwa hadis tersebut

harus mutawati>r. Pendapat ini diantaranya dipegang oleh Mu‟tazilah

3. Ulama yang membolehkan menasakh dengan hadis masyhu>r, tanpa

harus dengan hadis mutawati>r. Pendapat ini dipegang diantaranya oleh

(38)

BAB III

PENAFSIRAN AYAT MENGENAI KEDUDUKAN BUKTI

AUTENTIK (TERTULIS) DAN SAKSI DALAM TRANSAKSI

HUTANG PIUTANG

A.Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 282

1. Penafsiran Ibn Kathi>r















ؤ







































































(39)

31

janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.1

Ayat ini merupakan ayat yang paling panjang di dalam al-Qur‟an. Ayat

ini merupakan nasihat dan bimbingan dari Allah bagi hamba-hambaNya yang

beriman jika mereka melakukan muamalah secara tidak tunai, hendaklah

mereka menulisnya supaya lebih dapat menjaga jumlah dan batas muamalah

tersebut, serta lebih menguatkan bagi saksi.2





















Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara

tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya, Sufyan

ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, ayat tersebut

diturunkan berkenaan dengan pemberian hutang salam3, dalam batas waktu

yang ditentukan.4

Faktubu>h Hendaklah kamu menuliskannya. Ini merupakan perintah dari

Allah SWT supaya dilakukan penulisan untuk memperkuat dan menjaganya.

Kemudian Ibn Kathir menukil dari pendapat Abu Sa‟id, as-Sya‟bi, Rabi‟ bin

1al-Qur’a>n, 2:282.

2Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir Jilid I, ter. M. „Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Pustaka Imam

Syafi‟i, 2009), 562.

(40)

32

Anas, al-Hasan, Ibnu Juraij, Ibnu Zaid dan ulama lainnya mengatakan,

sebelumnya hal itu merupakan suatu kewajiban, kemudian dinasakh

(dihapuskan).5 Dengan firmanNya:







 











Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya).6

    “Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu

menuliskannya dengan benar.” Maksudnya dengan adil dan benar serta tidak

boleh berpihak kepada salah seorang dalam penulisannya tersebut dan tidak

boleh juga ia menulis kecuali apa yang telah disepakati tanpa menambah atau

menguranginya.7





 











“Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah

telah mengajarkannya. Maka hendaklah ia menulis.” Maksudnya, orang yang

mengerti tulis menulis tidak boleh menolak jika ia diminta menulis untuk

kepentingan orang lain dan tidak boleh menyusahkannya, sebagaimana Allah

telah mengajarkan kepadanya apa yang sebelumnya tidak diketahuinya. Maka

hendaklah ia berbuat baik kepada orang lain yang tidak mengenal

5Katsir, Tafsir Ibn Katsir , 563.

6al-Qur’a>n, 2:283.

(41)

33

menulis, dan hendaklah ia menuliskannya. Sebagaimana yang disebutkan

dalam sebuah hadis bahwa Rasulullah bersabda:8

«

َقَرْخَِِ َعَنْصَت ْوَأ اًعِناَص َنيِعُت ْنَأ ِةَقَدصلا َنِم نِإ

»

ِرَخ ْْا ِثيِدَحْلا يِفَو

«

ْنَم

َمْوَ ي َمِجْلُأ ُهُمَلْعَ ي اًمْلِع َمَتَك

ٍراَن ْنِم ٍماَجِلِب ِةَماَيِقْلا

»

Sesungguhnya termasuk sedekah jika engkau membantu seorang yang berbuat (kebaikan) atau berbuat sesuatu bagi orang bodoh (HR. Al-Bukhari dan Ahmad).

Dan dalam hadis yang lain juga disebutkan bahwa

Referensi

Dokumen terkait

TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui

Kegiatan Usaha Pembangunan, pengembangan dan pengelolaan properti serta penyediaan jasa terkait properti Jumlah Saham yang ditawarkan 1.600.000.000 Saham Biasa Atas Nama dengan

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga dapat diselesaikan skripsi ini dengan judul “STUDI

Data yang diperoleh dari hasil tindakan siklus II menunjukkan bahwa pembelajaran IPA yang dilaksanakan dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD berbantukan media

Dalam mengembangkan produk Remote Presentasi dilakukan 10 tahap perancangan, yaitu perencanaan produk, identifikasi kebutuhan pelanggan, spesifikasi produk, penyusunan konsep,

Aplikasi ini merupakan aplikasi dari analisa yang terjadi di lapangan bagaimana prosedur penyewaan fasilitas yang ada digambarkan ke dalam rancangan sistem

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan daerah tempat tinggal anak, terhadap tingkat pendidikan orang

Pada bagian ini akan dibahas cara menkontrol converter tipe buck untuk menghidupkan HPL ( High Power LED ) dengan watt sebesar 50 Watt , pertama dengan