• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4 HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Aspek Pengamatan AgronomiIndigoferasp

4.1.1 Produksi Bahan Kering

Interval dan intensitas pemotongan dapat menurunkan produksi dari hijauan legum pohon (Karim et al. 1991). Hasil pengamatan terhadap produksi bahan kering Indigofera sp memperlihatkan perbedaan yang nyata (P<0.05) interaksi antara perlakuan interval dan intensitas pemotongan terhadap produksi bahan kering tanaman, semakin meningkat interval intensitas pemotongan diikuti dengan semakin meningkatnya produksi bahan kering tanaman seperti ditunjukan pada Tabel 2. Perlakuan intensitas pemotongan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) pada setiap perlakuan terhadap produksi bahan kering tanaman. Hasil pada perlakuan interval 60 hari dan intensitas 1.5 m (P2T3) pemotongan produksi bahan kering sebesar 31.22 ton/ha/thn tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan perlakuan interval 90 hari dan intensitas 1.5 m pemotongan (P3T3) sebesar 33.25 ton/ha/thn. Perlakuan dengan interval 30 hari dan intensitas pemotongan 0.5 m (P1T1) memiliki produksi bahan kering Indigofera sp terendah yaitu 11.24 ton/ha/thn seperti ditunjukan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rataan produksi bahan kering, jumlah cabang, rasio daun/batang tanamanIndigoferasp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda

Peubah Perlakuan T1 T2 T3 Rataan

Produksi BK (ton/ha/thn) P1 11.25±0.27f 17.40±0.74e 20.14±1.45d 16.26±0.82 P2 11.63±0.71f 20.69±0.87d 31.23±2.06a 21.18±1.21 P3 22.82±1.02c 28.94±1.68b 33.25±1.11a 28.33±1.27 Rataan 15.23±0.66 22.34±1.09 28.20±1.54 Jumlah cabang P1 15±1.15d 19±1.76c 24±3.51b 19±2.14 P2 15±1.00d 20±1.35c 28±2.36a 21±4.71 P3 15±0.69d 20±1.68c 28±1.50a 21±1.29 Rataan 15±0.94 20±1.59 27±2.45

Rasio daun /batang P1 2.62±0.03a 2.63±0.05a 2.60±0.03a 2.61±0.03

P2 1.67±0.03b 1.73±0.06b 1.74±0.04b 1.71±0.04

P3 0.64±0.03d 0.62±0.02d 0.72±0.03c 0.66±0.02

Rataan 1.64±0.03 1.66±0.04 1.68±0.03

Keterangan : 1 P1 = 30 hari, P2 = 60 hari, P3 = 90 hari, T1= 0.5 m, T2 = 1 m, T3 = 1.5 m

2 Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

(2)

Hasil Produksi bahan kering Indigofera sp tertinggi pada penelitian ini adalah 33.25 ton/ha/thn (P3T3). Hasil ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan produksi Gliricidia maculata yang dilaporkan Van Hao (2001) sebesar 23 ton/ha/thn.

Rahman (2002) menyatakan bahwa interval pemotongan berpengaruh terhadap produksi segar dan bahan kering hijauan. Dengan semakin lamanya interval pemotongan memungkinkan tanaman untuk meningkatkan produksi tajuk dimana untuk interval pemotongan 90 hari tanaman masih mampu untuk berproduksi tinggi. Meningkatnya produksi tajuk tanaman dengan bertambahnya interval pemotongan dan intensitas pemotongan, disebabkan tanaman memperoleh kesempatan yang lebih lama untuk mengembangkan perakarannya serta mengakumulasikan hasil fotosintesis ke dalam sisitem perakaran tersebut. Setelah pemotongan cadangan karbohidrat yang terdapat pada batang dan akar segera terpakai untuk dirombak menjadi energi bagi pertumbuhan tunas-tunas baru, sehingga memungkinkan tanaman tersebut untuk dengan cepat berproduksi menghasilkan tunas-tunas tanaman yang baru dan menghasilkan produksi tanaman yang tinggi.

4.1.2 Jumlah Cabang

Hasil sidik ragam menunjukan adanya perbedaan nyata (P<0.05) interaksi antara perlakuan interval dan intensitas pemotongan terhadap jumlah cabang Indigofera sp. Interaksi antara interval dengan intensitas pemotongan menghasilkan jumlah cabang terbanyak terdapat pada interval 90 hari dan intensitas 1.5 m (P3T3) sebanyak 28 cabang berbeda nyata (P<0.05) jumlah cabang pada interval 30 hari dan intensitas 0.5 m (P3T1) terendah sebanyak 15 cabang seperti ditunjukan pada Tabel 2. Perlakuan interval pemotongan tidak memberikan perbedan nyata (P>0.05) terhadap jumlah cabang pada setiap perlakuan. Terjadi peningkatan jumlah cabang tanaman dengan tingginya intensitas pemotongan pada masing-masing perlakuan intensitas pemotongan.

Hal ini menunjukan bahwa semakin meningkatnya interval dan intensitas pemotongan menyebabkan semakin banyak jumlah cabang tanaman dan diikuti dengan meningkatnya produksi bahan kering tanaman seperti terlihat pada Tabel

(3)

2. Cadangan energi pada tanaman disediakan untuk pertumbuhan kembali (regrowth), sedangkan untuk kebutuhan perkembangan tanaman diperoleh dari sumber lain terutama dari hasil fotosintesis. Selanjutnya Anis (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan kembali (regrowth) terutama ditopang oleh pelepasan karbohidrat cadangan pada tanaman. Sehingga semakin banyak cadangan energi pada tanaman pertumbuhan jumlah cabang semakin tinggi. Sejalan dengan semakin banyak jumlah cabang tanaman Indigofera sp diikuti dengan tingginya produksi bahan kering Indigofera sp pada setiap taraf perlakuan intensitas pemotongan, hal ini disebabkan karena banyaknya cadangan energi pada tanaman sehingga cadangan karbohidrat yang terdapat pada akar dan batang dapat dimanfaatkan oleh tanaman untuk produksi daun dan cabang tanaman. Sehingga semakin tinggi intensitas pemotongan, semakin banyak jumlah cabang yang dihasilkan oleh tanaman tersebut.

4.1.3 Rasio Daun/Batang

Hasil analisis sidik ragam menunjukan adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) interaksi antara perlakuan interval dan intensitas pemotongan terhadap rasio daun/batang ditunjukan pada Tabel 2. Interaksi perlakuan interval dan intensitas pemotongan memiliki rasio daun/batang tertinggi, terdapat pada perlakuan interval 30 hari dan intensitas pemotongan 1 m (P1T2) sebesar 2.63 berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan interval 90 hari dan intensitas pemotongan 1 m (P3T2) memiliki rasio daun/batang yang terendah sebesar 0.62 berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya (Tabel 2). Terlihat terjadi penurunan jumlah rasio daun/batang seiring dengan meningkatnya interval pemotongan Indigofera sp. Rasio daun/batang Indigofera sp tidak berbeda nyata untuk semua taraf intensitas. Untuk tanaman Indigofera sp tidak terdapat perbedaan rasio daun/batang antara intensitas pemotongan 0.5 m, 1 m dan 1.5 m (Tabel 2).

Hal ini menunjukan bahwa perlakuan interval dan intensitas pemotongan menurunkan rasio daun/batang, semakin meningkat interval dan intensitas pemotongan menyebabkan semakin menurun rasio daun/batang tanaman

(4)

Indigofera sp, hal tersebut berbanding terbalik dengan produksi dan jumlah cabang Indigofera sp, semakin meningkat interval dan intensitas pemotongan menghasilkan produksi bahan keringan dan jumlah cabang semakin tinggi.

Bagian tanaman yang dikonsumsi ternak pada umumnya adalah bagian daun, sehingga akan lebih baik bila rasio daun/batang semakin tinggi karena semakin banyak yang dapat dimanfaatkan oleh ternak, karena daun lebih banyak dikonsumsi oleh ternak daripada bagian batang tanaman. Hal tersebut didukung oleh pendapat Shehu et al. (2001) menyatakan bahwa rasio daun/batang pada legum pohon sangat penting karena daun merupakan organ metabolisme dan kualitas legum pohon dipengaruhi oleh rasio daun/batang. Semakin banyak jumlah daun dari pada batang, kualitas legum tersebut semakin baik.

Untuk memenuhi kebutuhan hijauan pakan bagi ternak, maka rasio daun/batang merupakan tolak ukur yang sangat penting. Semakin lama interval pemotongan diikuti dengan semakin rendah rasio daun/batang. Hal ini dapat dipahami karena semakin tua tanaman semakin berkurang jumlah daun pada tanaman dibanding dengan tanaman yang muda. Selanjutnya Waters dan Givens (1992) mengatakan bahwa perlakuan interval dan intensitas pemotongan mempengaruhi komposisi anatomi dan morfologi tanaman, diantaranya rasio daun/batang. Penurunan kandungan nutrisi dengan meningkatnya usia tanaman, dapat digambarkan melalui rasio daun/batang pada tanaman.

4.2 Kualitas NutrisiIndigoferasp

4.2.1 Kandungan Bahan Organik

Hasil analisis sidik ragam terhadap kandungan bahan organik menunjukan tidak adanya perbedaan nyata (P>0.05) interaksi antara interval dan intensitas pemotongan terhadap kandungan bahan organik Indigofera sp seperti ditunjukan pada Tabel 3. Namun hasil sidik ragam menunjukan perlakuan interval pemotongan memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan bahan organikIndigoferasp. Kandungan bahan organik tertinggi terdapat pada interval 90 hari dan intensitas 1 m (P3T2) sebesar 90.68% berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan interval 30 hari dan intensitas 0.5 m (P1T1) memilki kandungan bahan

(5)

organik terendah sebesar 88.46% berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya (Tabel 3). Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan hasil penelitian yang didapat Van Hao (2001) melaporkan bahwa kandungan bahan organikGliricidia adalah 88.60%.

Interval pemotongan terlihat semakin meningkat diikuti dengan meningkatnya kandungan bahan organik pada Indigofera sp, hal tersebut disebabkan karena semakin meningkat kandungan serat pada tanaman seiring dengan bertambahnya umur tanaman dan diikuti dengan semakin besar kandungan dinding sel tanaman. Dimana terdapat hubungan antara kandungan bahan organik dengan kandungan ADF pada tanaman, pada penelitian ini kandungan ADF relatif rendah, sehingga memungkinkan terjadi peningkatan kandungan bahan organik Indigofera sp, hal tersebut didukung oleh pendapat Reidet al. (1988) yang menyatakan bahwa acid detergent fiber (ADF) merupakan indikator yang terbaik untuk menggambarkan kandungan dan konsumsi bahan organik pakan.

Tabel 3 Rataan kandungan bahan organik Indigoferasp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda (% BK)

Perlakuan T1 T2 T3 Rataan

P1 88.46±0.79b 88.98±0.73b 88.77±0.78b 88.73±0.76

P2 89.12±0.79b 89.29±0.32b 89.32±0.12b 89.24±0.41

P3 89.32±0.12b 90.85±0.59a 90.68±1.33a 90.28±0.68

Rataan 88.96±0.56 89.70±0.54 89.59±0.74 Keterangan : 1 P1 = 30 hari, P2 = 60 hari, P3 = 90 hari, T1= 0.5 m, T2 = 1 m, T3 = 1.5 m

2 Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

4.2.2 Kandungan Protein Kasar

Kualitas hijauan yang baik ditandai dengan kandungan protein kasar yang tinggi serta kandungan serat yang rendah. Menurunya kandungan protein kasar ini disebabkan oleh menurunya rasio daun/batang dan meningkatnya umur tanaman. Shehu et al. (2001) menyatakan bahwa kualitas legum pohon dipengaruhi oleh rasio daun/batang pada tanaman.

Hasil pengamatan terhadap kandungan protein kasar disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis sidik ragam terhadap kandungan protein kasar menunjukan tidak

(6)

berbeda nyata (P>0.05) interaksi interval dan intensitas pemotongan terhadap kandungan protein kasar Indigofera sp. Tetapi pada hasil analsisis sidik ragam perlakuan interval pemotongan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap kandungan protein kasar Indigofera sp (Tabel 4). Kandungan protein kasar tertinggi diperoleh pada interval pemotongan 60 hari (P2) sebesar 25.81% berbeda nyata (P<0.05) dengan kandungan protein kasar pada inteval pemotongan 30 hari (P1) terendah sebesar 21.12%. Sedangkan pada perlakuan intensitas pemotongan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan protein kasarIndigoferasp pada setiap taraf intensitas pemotongan seperti yang disajikan pada Tabel 4. Kandungan protein kasar pada perlakuan intensitas pemotongan 1 m dan 1.5 m berbeda nyata (P<0.05) antara interval pemotongan 60 hari (P2) dengan interval pemotongan 90 hari (P3).

Tabel 4 Rataan kandungan protein kasar Indigoferasp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda (% BK)

Perlakuan T1 T2 T3 Rataan

P1 21.12±0.19e 21.97±1.34cd 21.76±0.55cd 21.61±0.69

P2 25.50±1.03a 25.78±0.60a 25.81±0.72a 25.69±0.78

P3 23.03±0.90cb 23.60±0.20b 23.20±0.29cb 23.27±0.46

Rataan 23.21±0.70 23.78±0.71 23.59±0.52 Keterangan : 1 P1 = 30 hari, P2 = 60 hari, P3 = 90 hari, T1= 0.5 m, T2 = 1 m, T3 = 1.5 m

2 Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

Tabel 4 diatas menunjukan kandungan protein kasar tertinggi terdapat pada interkasi perlakuan interval pemotongan 60 hari dan intensitas pemotongan 1.5 m (P2T3) adalah 25.81%, serta menurun sejalan dengan bertambahnya umur tanaman ditandai dengan kandungan protein kasar yang menurun.

Kandungan protein kasar terendah pada kombinasi P1T1 yaitu interval 30 hari dan intensitas 0.5 m, hal ini disebabkan umur tanaman yang masih muda dan kadar air yang tinggi, sehingga dinding sel tanaman belum terbentuk dengan baik, ditandai juga dengan rasio daun/batang yang tinggi dan kandungan NDF, ADF yang rendah.

Beever et al.(2000) menyatakan bahwa semakin tua tanaman maka akan lebih sedikit kandungan airnya dan proporsi dinding sel lebih tinggi dibandingkan dengan isi sel. Kandungan protein kasar tertinggi pada interval 60 hari dan

(7)

menurun pada interval pemotongan 90 hari. Tjelele (2006) melaporkan hasil penelitian terhadap kandungan protein kasar Indigofera arrecta berkisar antara 24.61%‒26.10%, hasil penelitian tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan kandungan protein kasar pada penelitian ini yaitu berkisar antara 21.12%‒25.81%. Selanjutnya Whitehead (2000) menyatakan bahwa penurunan kadar protein kasar tanaman selain karena umur tanaman juga disebabkan oleh penurunan proporsi daun/batang, helai daun mempunyai kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian batang tanaman.

4.2.3 Kandungan NDF

Peningkatan umur tanaman dinyatakan dengan meningkatnya kandungan NDF, sejalan dengan menurunya kecernaan pakan (Van Soest 1991). Rataan kandungan NDFIndigoferasp ditunjukan pada Tabel 5. Hasil analisis sidik ragam menunjukan adanya perbedaan nyata (P<0.05) interaksi interval dan intensitas pemotongan terhadap kandungan NDF tanaman. Kandungan NDF tertinggi terdapat pada perlakuan interval pemotongan 90 hari dengan intensitas 0.5 m (P3T1) sebesar 36.83% berbeda nyata (P<0.05) dengan kandungan NDF pada perlakuan interval pemotongan 30 hari dan intensitas 0.5 m (P1T1) sebesar 35.81% (Tabel 5). Kandungan NDF pada perlakuan interval pemotongan 30 hari (P1) dengan interval pemotongan 60 hari (P2) berbeda nyata kandungan NDF antara intensitas pemotongan 1.5 m (T3) dengan intensitas 1 m (T2) dan intensitas 0.5 m (T1).

Kandungan NDF yang terbesar terdapat pada interval pemotongan 90 hari (P3) dan terendah terdapat pada interval pemotongan 30 hari (P1), dimana kisaran kandungan NDF pada penelitian ini masih dalam katagori baik. Selanjutnya NRC (2001) menyatakan bahwa tanaman legum pohon memiliki kandungan NDF kisaran 20‒35% biasanya kecernaan tinggi dan spesies dengan kandungan lignin yang tinggi sering kecernaannya rendah. Hassen et al. (2007) melaporkan kandungan NDF Indigofera arrecta pada saat musim semi sebesar 32.80%, bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini, hasil tersebut lebih rendah, diamana hasil penelitian ini kandungan NDF yaitu berkisar antara 34.74% ‒ 36.83%. Hal

(8)

ini akibat semakin meningkatnya interval pemotongan, diikuti dengan semakin meningkatnya umur tanaman, juga ditandai dengan meningkatnya kandungan NDF pada tanaman tersebut. Hoffman et al. (2001) menyatkan bahwa hijauan pakan ternak yang memilki kandungan NDF 40%, lebih tinggi nilai kecernaannya dibandingkan dengan hijauan pakan ternak dengan kandungan NDF 60%.

4.2.4 Kandungan ADF

Acid Detergent Fiber (ADF) merupakan fraksi bahan hijauan yang umumnya sukar dicerna dan dapat terdiri dari : selulosa, lignin dan abu yang tidak larut (insoluble ash). Kadar ADF sering digunakan sebagai indikasi kecernaan hijauan karena padanya terdapat lignin proporsi yang tinggi.

Hasil analisis sidik ragam menunjukan adanya perbedaan nyata (P<0.05) interaksi antara interval dan intensitas pemotongan terhadap kandungan ADF Indigoferasp seperti ditujukan pada Tabel 5. Kandungan ADF tertinggi terdapat pada intensitas pemotongan 0.5 m (T1) dan interval 60 hari (P2) sebesar 25.29% berbeda nyata (P<0.05) dengan kandungan ADF pada intensitas 1.5 m (T3) dengan interval 60 hari (P2) sebesar 23.25% (Tabel 5). Kandungan ADF pada perlakuan intensitas pemotongan 1 m (T2) dengan interval 30 hari (P1) sebesar 23.68% berbeda nyata (P<0.05) lebih tinggi pada perlakuan intensitas 1 m (T2) dan interval 60 hari (P2) sebesar 24.64%. Hasil analisis sidik ragam terhadap kandungan ADF pada perlakuan interval 30 hari (P1) dan interval pemotongan 90 hari (P3) tidak berbeda nyata (P>0.05) antara intensitas pemotongan 1 m (T2) dengan intensitas pemotongan 1.5 m (T3). Semakin meningkat interval pemotongan diikuti dengan peningkatan kandungan ADF pada Indigofera sp, karena bertambahnya umur tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Lu et al. (2005) bahwa peningkatan umur hijauan pakan dapat digambarkan dengan kandungan serat berupa kandungan NDF dan ADF pakan.

(9)

Tabel 5 Rataan kandungan NDF Indigofera sp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda (% BK)

Peubah Perlakuan T1 T2 T3 Rataan

NDF P1 35.81±0.13b 34.82±0.13 34.74±0.16 35.12±0.14 P2 35.36±0.21c 36.64±0.25a 36.07±0.20b 36.02±0.22 P3 36.83±0.32 36.79±0.51 36.56±0.15 36.72±0.32 Rataan 36.00±0.22 36.08±0.29 35.79±0.17 ADF P1 24.66±0.58ba 23.86±0.44 ed 23.72±0.59ed 24.08±0.53 P2 25.29±0.34a 24.64±0.13ba 23.25±0.23e 24.39±0.23 P3 24.57±0.32ba 24.26±0.51bd 23.70±0.15ed 24.17±0.32 24.84±0.41 24.25±0.36 23.55±0.32

Keterangan : 1 P1 = 30 hari, P2 = 60 hari, P3 = 90 hari, T1= 0.5 m, T2 = 1 m, T3 = 1.5 m

2 Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

Hasil analisis sidik ragam menunjukan perlakuan intensitas pemotongan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan ADF Indigofera sp, dimana semakin meningkat taraf intensitas pemotongan, semakin rendah kandungan ADF tanaman. Hasil tersebut berbanding lurus dengan kandungan bahan organik pada penelitian ini, dimana sampai pada interval pemotongan 90 hari (P3) masih cukup tinggi kandungan bahan organik tanaman tersebut, hal tersebut ditandai dengan masih rendahnya kandungan ADF yaitu 24.57% pada interval 90 hari (P3) dan intensitas 0.5 m (T1) sehingga pada umur 90 hari kandungan ADF pada tanaman masih relatif baik, kandungan ADF pada tanaman yang merupakan komponen yang dapat menurunkan kandungan nutrisi pada tanaman. Jung dan Allen (1995) menyatakan bahwa kandungan ADF memilki korelasi positif yang lebih tinggi dengan kecernaan pakan. Dimana semakin tinggi kandungan ADF mengakibatkan rendahnya kecernaan pada pakan tesebut.

4.2.5 Kandungan Kalsium

Whitehead (2000) menyatakan bahwa kandungan kalsium pada hijauan terhadap umur tanaman tidak membentuk pola yang jelas, konsentrasi beberapa unsur seperti K, N, Ca, dan Mg terhadap fase pertumbuhan kurang konsisten dibandingkan dengan unsur N, P, dan S.

(10)

Tabel 6 Rataan kandungan kalsium, fosfor Indigoferasp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda (% BK)

Peubah Perlakuan T1 T2 T3 Rataan

Kalsium P1 1.55±0.02ba 1.50±0.05ba 1.57±0.05a 1.54±0.04 P2 1.47±0.08ba 1.46±0.07ba 1.48±0.07ba 1.47±0.07 P3 1.42±0.06bac 1.40±0.04bc 1.30±0.04c 1.37±0.04 Rataan 1.48±0.05 1.45±0.05 1.45±0.05 Fosfor P1 0.91±0.05b 1.11±0.04a 0.97±0.07b 0.99±0.05 P2 0.93±0.04b 1.08±0.5a 0.83±0.05c 0.94±0.19 P3 0.63±0.04d 0.94±0.04b 0.83±0.05c 0.80±0.04 0.82±0.04 1.04±0.04 0.87±0.05

Keterangan : 1 P1 = 30 hari, P2 = 60 hari, P3 = 90 hari, T1= 0.5 m, T2 = 1 m, T3 = 1.5 m

2 Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

Hasil analisis sidik ragam terhadap kandungan kalsium Indigofera sp menunjukan tidak adanya perbedan nyata (P>0.05) interaksi antara interval dan intensitas pemotongan (Tabel 6). Sedangkan perlakuan interval pemotongan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap kandungan kalsium Indigoferasp. Perlakuan interval pemotongan 90 hari dan intensitas 1.5 m (P3T3), memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan kalsiumIndigoferasp serta berpengaruh nyata terhadap perlakuan yang lainnya.

Pada Tabel 6 diatas kandungan kalsium tertinggi terdapat pada interval pemotongan 30 hari (P1) sebesar 1.57% berbeda nyata (P<0.05) dengan kandungan kalsium terendah sebesar 1.30%. Hasil analisis sidik ragam terhadap kandungan kalsium pada intensitas pemotongan 0.5 m (T1) dan intensitas pemotongan 1 m (T2) tidak berpengaruh nyata (P>0.05) antara interval pemotongan 30 hari dengan interval pemotongan 60 hari. Dari hasil sidik ragam menunjukan bahwa semakin muda tanaman diikuti dengan tingginya kandungan kalsium pada tanaman tersebut. Hasil tersebut masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Tjelele (2006) kandungan kalsium pada Indigofera amorphoides1.03%,Indigofera arrecta1.20% danIndigofera viciodes 1.38%.

Perlakuan interval pemotongan pada penelitian ini memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan kalsium tanaman, terlihat semakin meningkatnya interval waktu pemotongan, semakin menurun kandungan kalsium (Tabel 6).

(11)

Selain itu kalsium bukan merupakan unsur yang mobil, yang dapat berpindah kejaringan tanaman yang lebih muda.

Terlihat kandungan kalsium semakin menurun dengan meningkatnya umur tanaman, perlakuan interval pemotongan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan kalsium pada tanaman, dengan meningkatnya umur tanaman hal tersebut didukung oleh pendapat Chiy dan Philips (1997) yang menyatakan bahwa kandungan kalsium akan meningkat sampai tanaman mengalami peluruhan (5-45% bagian helai daun menguning atau coklat), kemudian kandungan kalsiumnya akan menurun.

4.2.6 Kandungan Fosfor

Hasil analisis terhadap kandungan fosfor Indigofera sp ditunjukan pada Tabel 6. Interaksi antara perlakuan interval intensitas pemotongan memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap kandungan fosfor pada tanaman.

Interaksi antara perlakuan interval dan intensitas pemotongan terhadap kandungan fosfor pada perlakuan interval pemotongan 30 hari (P1) dengan intensitas 1 m (T2) tertinggi sebesar 1.11% berbeda nyata (P<0.05) dengan kandungan fosfor perlakuan interval 30 hari dan intensitas 1.5 (P1T3) yaitu sebesar 0.97% (Tabel 6). Angka ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Kabaija dan Smith (1989) melaporkan bahwa kandungan fosforL. Leucocephalaberkisar antara 0.10%‒ 0.13%.

Kandungan fosfor pada perlakuan interval 60 hari (P2) dengan interval 90 hari (P3) berbeda nyata (P<0.05) antara intensitas pemotongan 0.5 m (T1) dengan intensitas 1 m (T2). Kandungan fosfor pada perlakuan intensitas pemotongan 0.5 m dan intensitas pemotongan 1 m tidak berbeda nyata (P>0.05) antara perlakuan interval pemotongan 30 hari dengan interval pemotongan 60 hari. Hasil penelitian terhadap kandungan fosfor (Tabel 6) menunjukan adanya pengaruh interaksi yang nyata antara perlakuan interval dan intensitas pemotongan terhadap kandungan fosfor Indigofera sp. Terlihat terjadi penurunan kandungan fosfor dengan meningkatnya umur tanaman, peningkatan interval pemotongan diikuti dengan penurunan kandungan fosfor pada tanaman. Hal tersebut disebabkan karena

(12)

perpindahan kandungan fosfor dalam tanaman kejaringan yang lebih aktif, seperti pembentukan batang tanaman, dinding sel tanaman akibat bertambahnya umur tanaman. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Whitehead (2000) menyatakan bahwa kandungan fosfor dalam tanaman akan menurun disebabkan beberapa faktor diantaranya bertambahnya usia tanaman dan spesies tanaman.

4.3 Uji Kecernaanin vitropada kambing

4.3.1 Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Evaluasi kecernaan secara in vitro merupakan suatu teknik untuk menentukan kecernaan yang dimiliki oleh suatu bahan pakan. Teknik ini untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan percobaan yang mengunakan teknik in vivo yang membutuhkan waktu yang relatif lama.

Tabel 7 Rataan kecernaanin vitrotajukIndigofera spyang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda (% BK)

Peubah Perlakuan T1 T2 T3 Rataan

KCBK P1 72.65±0.71c 74.07±0.43b 74.95±0.82b 73.89±0.65 P2 75.03±0.51b 76.08±0.55a 77.13±0.49a 76.08±0.51 P3 68.02±0.82e 68.86±0.43e 70.68±0.60a 69.18±0.61 Rataan 71.90±0.68 73.00±0.47 74.25±0.63 KCBO P1 70.70±0.52de 70.15±0.47e 71.16±0.44d 70.67±0.47 P2 72.32±0.49c 73.29±0.90b 74.98±0.62a 73.53±0.67 P3 66.86±0.50g 68.10±0.72f 68.68±0.23f 67.88±0.48 69.96±0.50 70.51±0.69 71.60±0.43

Keterangan : 1 P1 = 30 hari, P2 = 60 hari, P3 = 90 hari, T1= 0.5 m, T2 = 1 m, T3 = 1.5 m

2 Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

Dari hasil sidik ragam menunjukan bahwa perlakuan interval dan intensitas pemotongan memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kandungan kecernaan bahan keringIndigoferasp seperti ditunjukan pada Tabel 7.

Kecernaan bahan kering Indigofera sp tertinggi terdapat pada perlakuan interval pemotongan 60 hari (P2) dan intensitas pemotongan 1.5 m (T3) kecernaan bahan kering sebesar 77.13% berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan interval pemotongan 90 hari (P3) dan intensitas pemotongan 0.5 m (T1) kecernaan bahan kering terendah sebesar 68.02% (Tabel 7).

(13)

Angka tersebut masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian kecernaan in vitro oleh Lukhele and Van Ryssen (2002) melaporkan bahwa, kecernaan in vitro Colophospermum mopane berkisar antara 52.60%‒54.30%. Kecernaan bahan kering pada perlakuan intensitas pemotongan 1 m (T2) dan intensitas pemotongan 1.5 m (T3) berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan interval pemotongan 30 hari (P1) dan interval 60 hari (P2). Terlihat terjadi penurunan kandungan kecernaan bahan kering Indigofera sp disebabkan karena terjadi peningkatan interval pemotongan tanaman, sehingga bertambahnya umur daripada tanaman tersebut.

Hasil analisis sidik ragam kecernaan bahan organik Indigofera sp disajikan pada Tabel 7. Dari hasil sidik ragam perlakuan interval dan intensitas pemotongan berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kecernaan bahan organik Indigoferasp.

Hasil kecernaan bahan organik tertinggi terdapat pada perlakuan interval 60 hari (P2) dengan intensitas pemotongan 1.5 m(T3) kecernaan bahan kering sebesar 74.98% berbeda nyata (P<0.05) dibandingkan dengan perlakuan interval pemotongan 90 hari (P3) dengan intensitas pemotongan 0.5 m (T1) kecernaan bahan kering terkecil sebesar 66.86%. Kecernaan bahan organik pada perlakuan intensitas pemotongan 1 m (T2) dan intensitas pemotongan 1.5 m (T3) berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan interval pemotongan 30 hari (P1) dengan interval pemotongan 90 hari (P3) ditujukan pada Tabel 7.

Hasil kecernaan bahan kering dan bahan organik pada penelitian ini, termasuk memiliki kecernaan pakan yang tinggi berkisar 68.02%‒77.13% dan 66.86% ‒ 74.98%. Angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Karachi (1997) melaporkan bahwa kecernaan in vitro bahan organik legum L.purpureus adalah 64.40%. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Bulo (1985) menyatakan hasil kecernaan bahan kering dan organik legum herba dan legum pohon berkisar anatara 36%‒63 %.

Hasil kecernaan bahan kering dan bahan organik (Tabel 7) menunjukan penurunan kecernaan bahan kering dan bahan organik pada interval pemotongan 90 hari (P3) pada setiap taraf intensitas. Menurunya kandungan kecernaan pada interval pemotongan 90 hari (P3) dikarenakan meningkatnya umur tanaman,

(14)

sehingga terjadi perubahan komposisi kimia pada tanaman, dimana tanaman tua komposisi dinding sel akan lebih tinggi dibandingkan dengan isi sel. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Nohong (2000) menyatakan bahwa penurunaan kecernaan disebabkan peningkatan serat kasar dengan makin panjangnya interval pemotongan tanaman. Serat kasar merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi koefisien kecernaan bahan makanan. Kecernaan suatu bahan makanan akan semakin menurun dengan meningkatnya kandungan serat kasar, hal tersebut berbanding lurus dengan hasil kandungan NDF dan ADF pada penelitian ini, yang merupakan bagian dari serat kasar pada tanaman. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa peningkatan proporsi serat pada tanaman merupakan faktor yang mempengaruhi kecernaan.

4.4 Uji KecernaanIn Vivo Indigoferasp Pada Kambing Boerka

4.4.1 Konsumsi Bahan Kering

Pengaruh taraf pemberiaan Indigofera sp pada campuran pakan terhadap konsumsi bahan kering disajikan pada Tabel 8. Rataan konsumsi bahan kering pakan adalah berturut-turut 356.71, 368.24, 440.92, 422.55 g ekor-1hari-1untuk perlakuan 0; 15; 30 dan 45% taraf pemberian Indigofera sp dalam campuran pakan (Tabel 8).

Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa konsumsi bahan kering pakan dipengaruhi oleh perlakuan pemberiaan Indigofera sp (P<0.05) adanya perbedaan nyata taraf pemberiaan Indigofera terhadap konsumsi bahan kering disebabkan, dengan semakin meningkatnya pemberiaan Indigofera pada pakan, semakin meningkat juga kandungan gizi pada pakan, walapun pada perlakuan R3 (taraf 45%) konsumsi bahan kering 422.55 g/hari, tidak berbeda nyata dengan perlakuan R2 (taraf 30%) konsumsi bahan kering adalah 440 g/hari (Tabel 8). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Luginbuhl et al. (2000) melaporkan bahwa konsumsi bahan kering menurun dengan peningkatan kandungan NDF (52.4%−62.1%) pada pakan ternak pada kambing Boer dan persilangannya.

(15)

Tabel 8 Konsumsi bahan kering kambing Boerka (gr/hari) Peubah Perlakuan R0 R1 R2 R3 KonsumsiIndigofera 0 55.24 132.28 190.15 KonsumsiBrachiaria 356.71 313 308.64 232.40 Konsumsi BK 356.71a 368.24a 440.92b 422.55b

Keterngan : R0 = 100% Brachiaria ruziziensis + 0 % Indigofera sp, R1= 85%Brachiaria ruziziensis + 15 % Indigoferasp, R2 70%Brachiaria ruziziensis +30 %Indigofera sp, R3 = 55%Brachiaria ruziziensis + 45 % Indigofera sp Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

Semakin meningkat penambahan tarafIndigoferasp pada campuran pakan meningkatkan kandungan nilai gizi pada pakan, diikuti dengan peningkatan konsumsi bahan kering (Tabel 8).

Hal tersebut didukung oleh Parakkasi (1995) menyatakan bahwa konsumsi pakan dipengaruhi terutama oleh faktor kualitas pakan, kebutuhan energi ternak, tingkat kecernaan pakan, semakin baik kualitas pakan, semakin tinggi konsumsi dari seekor ternak. Selanjutnya Thompson dan Stuedemann (1993) menyatakan bahwa salah satu penyebab menurunya kecernaan ternak ruminansia disebabkan pakan yang dikonsumsi mengandung toksit.

Pengaruh perlakuan penambahan taraf Indigofera sp pada pakan ternak kambing terhadap konsumsi bahan kering yang dianalisa menggunakan analisis polinomial orthogonal membentuk kurva kubik dan mengikuti persamaan

Y= -25.36x3+182.77x2-359.23x+558.53 (R2= 1)

4.4.2 Kecernaan Pakan

4.4.2.1 Kecernaan Bahan Kering

Pengukuran jumlah zat makanan yang dapat dicerna dapat dilakukan dengan mengetahui koefisien cerna bahan kering dan bahan organik. Nilai koefisien cerna bahan organik dan bahan kering menunjukan derajat cerna pakan pada alat pencernaan dan berapa besar sumbangan suatu pakan bagi ternak, disamping merupakan indikator kesangupan ternak untuk memanfaatkan suatu jenis pakan tertentu.

(16)

Tabel 9 Pengaruh pemberiaan taraf Indigofera sp terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik (%)

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Kecernaan BK 43.61c±4.98 50.14b±3.83 57.88a±2.15 60.07a2.43 Kecernaan BO 46.28c±4.91 53.10b±3.68 59.97a±2.02 62.53a±2.10

R0 = 0 %Indigofera sp, R1= 15 %Indigofera sp, R2 = 30 %Indigofera sp, R3 = 45 %Indigofera sp Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris dan kolom yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

Pengaruh perlakuan pakan terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik disajikan pada Tabel 9. Rataan kecernaan bahan kering adalah 43.61% ±4.98, 50.14% ±3.83, 57.88% ±2.15, 60.07%±2.43 berturut-turut untuk perlakuan 0; 15; 30 dan 45% taraf pemberianIndigoferasp sebagai pakan kambing Boerka. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kecernaan bahan kering dipengaruhi oleh perlakuan pemberian Indigofera sp (P<0.05) sebagai pakan ternak kambing Boerka ditunjukan pada Tabel 9. Adanya pengaruh nyata dari perlakuan pemberian Indigofera sp disebabkan peningkatan nilai gizi pakan seperti protein, karbohidrat, mineral. McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan pakan dipengaruhi oleh komposisi bahan makanan, nilai gizi pakan, faktor hewan serta tingkat pemberian pakan. Walaupun kandungan fenolik dan tanin yang dikandung pada Indigofera sp rendah, tetapi Indigofera sp mengandung senyawa asam amino nonprotein yaitu indospicine membentuk ikatan dengan mimosin berupa hepatotoxik, fungsinya sama dengan anti nutrisi lainnya, dapat menghambat penyerapan zat-zat nutrien pada rumen. Hal tersebut didukung oleh pendapat Rosenthal (1982) menyatakan bahwa diantara asam amino nonprotein pada Indigofera, Indospicine membentuk ikatan dengan mimosin berupa ikatan hepatotoxik, dimana ikatan tersebut dapat merusak fungsi hati pada domba, kambing dan sapi, selanjutnya Hegarty (1968) mengisolasi indospicine pada Indigofera endecaphylla menghasilkan produksi kandungan indospicine pada tanaman indigofera cukup tinggi.

Pengaruh perlakuan pemberiaanIndigoferasp pada pakan ternak kambing, terhadap kecernaan bahan kering Kambing Boerka yang dianalisis menggunakan polinomial orthogonal membentuk kurva linear dan mengikuti persamaan Y= 5.71x + 38.63 (R2= 0.95).

(17)

4.4.2.2 Kecernaan Bahan Organik

Kecernaan bahan organik padaIndigoferasp berkisar antara 46.28 ± 4.91 %‒62.53 ± 2.10% ditunjukan pada Tabel 9.

Angka hasil penelitian ini masih lebih rendah bila dibandingan dengan hasil penelitian Tjelele (2006) melaporkan nilai kecernaan bahan organik pada Indigofera spp adalah 63.70% serta kecernaan bahan organik L. leucocephala adalah 56.40%, rendahnya kecernaan bahan organik pada penelitian ini juga disebabkan oleh rendahnya konsumsi bahan kering pakan pada setiap taraf perlakuan pakan, mengakibatkan rendahnya kandungan bahan organik yang tercerna pada saluran pencernan ternak tersebut. Hal tersebut didukung oleh pendapat Perevolotsky et al. (1995) yang menyatakan bahwa adanya hubungan positif antara kecernaan bahan kering atau kecernaan bahan organik terhadap konsumsi bahan kering pakan.

Koefisien kecernaan bahan organik pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan kecernaan bahan kering, disebabkan karena tingginya kandungan protein padan pakan, dimana kecernaan bahan organik berhubungan positif dengan kandungan protein pada tanaman (Peterson et al. 2005). Dimana semakin meningkat taraf pemberiaan Indigofera sp, diikuti dengan semakin meningkatnya kecernaan bahan organik pada pakan (Tabel 9) dengan peningkatan taraf pemberianIndigofera sp diikuti dengan peningkatan kandungan nutrisi pada pakan, karena lebih banyak mengandung bahan-bahan organik seperti protein, karbohidrat, lemak yang mudah dicerna oleh ternak.

Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan bahan organik pada kambing boerka yang diberikan pakan Indigofera sp, dianalisis menggunakan polinomial orthogonal membentuk kurva linear dan mengikuti persamaan Y= 5.56x + 41.56 (R2=0.96)

4.4.2.3 Kecernaan Protein Kasar

Koefisien kecernaan protein kasar pada kambing boerka yang diberikan pakan Indigofera sp disajikan pada Gambar 3. Koefisien kecernaan protein pada kambing Boerka yang diberikan perlakuan Indigofera sp memberikan pengaruh yang nyata (P<0.05) terhadap kecernaan protein ditunjukan pada Gambar 3.

(18)

Peningkatan taraf pemberikan Indigofera sp pada pakan kambing Boerka menghasilkan koefisien kecernaan protein kasar nyata semakin meningkat (Gambar 3). Koefisien kecernaan protein kasar pada perlakuan pemberiaan 45% Indigofera sp pada pakan tertinggi sebesar 69.80% berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan pemberiaan 0% Indigofera sp pada pakan ternak sebesar 45.79%. Koefisien kecernaan protein kasar pada kambing Boerka, seiring dengan bertambahnya pemberiaanIndigoferasp pada pakan, terus meningkat sampai taraf pemberiaan 45%Indigoferasp pada pakan Gambar 3.

45.79 68.16 69.80 60.61 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 R0 R1 R2 R3

Taraf Pemberiaan Indigofera sp

K e c e rn a a n P K (% )

Gambar 3 Pengaruh pemberiaan taraf Indigoferasp terhadap kecernaan protein

Koefisien kecernan protein kasar semakin meningkat, diikuti dengan semakin meningkatnya kandungan protein kasar pada pakan, dimana kandungan protein kasar pada Indigofera sp cukup tinggi. Dengan tingginya kandungan protein kasar pada pakan memungkinkan sebagain besar didegradasikan didalam rumen melalui proses sintesis protein di dalam rumen, sehingga kemungkinan sebagian besar protein didegradasikan didalam rumen. Hal tersebut didukung oleh pendapat McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa kecernaan protein kasar tergantung pada banyaknya kandungan protein pada pakan.

Pengaruh perlakuan terhadap koefisien kecernaan protein kasar pada kambing boerka yang diberikan pakan Indigofera, dianalisis menggunakan

(19)

polinomial orthogonal membentuk kurva kuadratik dan mengikuti persamaan Y= 17.99Ln(x) + 46.79 (R2= 0.97).

4.4.2.4 Kecernaan NDF

Ternak ruminansia mempunyai keistimewan karena kemampuanya untuk mencerna dan menggunakan materi dinding sel tanman. Total materi dinding sel dinyatakan sebagai serat detergen netral/ neutral detergent fiber (NDF), yang sebagaian besar terdiri atas hemiselulosa, selulosa dan lignin. Hemiselulosa dan selulosa dicerna relatif lambat oleh mikroba rumen, sementara lignin tidak dicerna. Lignin juga berikatan dengan bagian dinding sel yang lain, menyebabkan bagian tersebut sukar dicerna (Beauchemin 1996).

43.56 45.37 52.44 52.13 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 R0 R1 R2 R3

Taraf Pem beriaan Indigofera sp

K e c e rn a a n N D F (% )

Gambar 4 Pengaruh taraf pemberiaan Indigofera sp terhadap kecernaan NDF pakan kambing Boerka

Koefisien kecernaan NDF pada kambing Boerka yang diberikan Indigofera sp disajikan pada Gambar 4. Rataan kecernaan NDF diperlihatkan pada Gambar 4. Hasil analisis ragam menunjukan bahwa perlakuan pakan memberikan pengaruh nyata (P<0.05) terhadap kecernaan NDF kambing Boerka.

Rataan kecernaan NDF cenderung mengalami peningkatan dengan meningkatnya taraf pemberiaan Indigofera sp. Rataan kecernaan NDF adalah 43.56, 45.37, 52.44, 52.13% masing-masing untuk perlakuan 0, 15, 30, 45% taraf

(20)

pemberiaanIndigoferasp dalam campuran pakan ternak kambing Boerka. Hal ini terjadi disebabkan kandungan karbohidrat mudah dicerna pada pakan R3 dan R2 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan R1 dan R0 sehingga kecernaan NDF pada perlakuan pakan R3 dan R2 lebih tinggi karena mudah didegradasi oleh mikroba rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat McDonald et al. (2002) menyatakan bahwa peningkatan proporsi serat pada tanaman merupakan faktor yang mempengaruhi penurunan nilai kecernaan.

Hal tersebut didukung oleh pendapat Hoffman et al. (2001) menyatakan bahwa hijauan pakan ternak yang memilki kandungan NDF 40% lebih tinggi kecernaannya dibandingkan dengan hijauan pakan ternak yang memiliki kandungan NDF 60%. Selanjutnya Luginbuhl et al. (2000) melaporkan bahwa konsumsi bahan kering menurun dengan peningkatan kandungan NDF (52.4%−62.1%) pada pakan ternak pada kambing Boer dan persilangannya. Dengan meningkatnya proporsi dinding sel dan diameter batang serta berkembangnya jaringan lignin menyebabkan kecernaan NDF menurun.

Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan NDF pada kambing Boerka yang diberikan pakan Indigofera sp, dianalisis menggunakan polinomial orthogonal membentuk kurva kubik dan mengikuti persamaan Y = 2.1057x3 + 15.261x2 -29.228x + 59.627 (R2= 1).

4.4.2.5 Kecernaan ADF

Rataan kecernaan serat deterjen asam/acid detergent fiber (ADF) diperlihatkan secara grafik pada Gambar 5. Hasil analisis keragaman menunjukan bahwa perlakuan pakan memberikan pengaruh yang nyata (P>0.05) terhadap kecernaan ADF. Rataan kecernaan ADF cenderung mengalami peningkatan dengan meningkatnya taraf Indigofera sp dalam campuran pakan. Rataan kecernaan ADF adalah 43.24, 44.02, 52.84, 55.26% masing-masing untuk perlakuan 0, 15, 30 dan 45% taraf pemberiaanIndigoferadalam campuran pakan. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi taraf pemberiaan Indigofera sp dalam campuran pakan kandungan seratnya semakin rendah, sehingga kecernaan ADF juga semakin tinggi. Mahgoub et al. (2005) menyatakan bahwa pakan yang mengandung serat tinggi, sering menghasilkan pertambahan berat badan yang

(21)

lambat dibandingkan dengan pakan tinggi konsentrat. Kambing Batina dan Dhofari pakan yang mengandung 12.3%, 18.3% dan 24.7% ADF pertambahan bobot badanya berturut-turut 45, 45, 83 g/hari. Kecernaan ADF lebih menggambarkan kecernaan serat suatu jenis pakan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Jung dan Allen (1995) menyatakan bahwa kandungan ADF memilki korelasi positif yang lebih tinggi dengan kecernaan pakan. Dimana semakin tinggi kandungan ADF mengakibatkan rendahnya kecernaan pada pakan tesebut.

43.24 44.02 52.84 55.26 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 R0 R1 R2 R3

Taraf Pem beriaan Indigofera sp

K e c e rn a a n A D F (% )

Gambar 5 Pengaruh taraf pemberiaanIndigoferasp terhadap kecernaan ADF pakan kambing Boerka

Kecernaan ADF tertinggi diperoleh pada perlakuan R3 (taraf pemberiaan Indigoferasp 45% dalam campuran pakan) yaitu 43%, tetapi hasil ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Van Hao (2001) melaporkan bahwa kambing lokal Vetnam umur 8 bulan yang diberikan pakan Gliricidia maculata kecernaan ADF-nya adalah 31.60%.

Pengaruh perlakuan terhadap kecernaan ADF pada kambing Boerka yang diberikan pakan Indigofera sp, dianalisis menggunakan polinomial orthogonal membentuk kurva kubik dan mengikuti persamaan Y= 2.4061x3 + 18.455x2 -37.741x + 64.931 (R2= 1).

(22)

4.5 Respon Ternak Terhadap PemberiaanIndigoferasp

4.5.1 Pertambahan Bobot Badan Harian

Hasil pertambahan bobot badan harian ditunjukan pada Tabel 9. Rataan pertambahan bobot badan harian kambing Boerka dari seluruh perlakuan berkisar antara 28.25‒52.38 gr/ekor/hari. Pertambahan bobot badan harian tertinggi dicapai pada perlakuan R3 (tarafIndigofera45%) yaitu 52.38 gr/ekor/hari (Tabel 10). Hasil ini masih lebih besar bila dibandingkan dengan yang dilaporkan oleh Merkelet al.(1999) bahwa kambing yang mendapat pakan hanya hijauan dengan lama merumput 6.5 jam/hari memberikan pertambahan bobot badan 35.7 g/ekor/hari.

Tabel 10 Rataan pertambahan bobot badan harian kambing Boerka

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Bobot badan awal (kg) 10.28±1.12 10.32±1.04 10.20±1.12 10.18±1.07

Bobot badan akhir (kg) 12.06±1.15 12.80±1.22 13.38±1.39 13.48±1.21

PBBH (gr/ekor/hari) 28.25±5.19c 39.37±3.95b 50.47±6.86a 52.38±5.02a

Keterngan : R0 = 100%Brachiaria ruziziensis + 0 %Indigofera sp, R1= 85%Brachiaria ruziziensis + 15 %Indigofera sp, R2 70%Brachiaria ruziziensis +30 %Indigofera sp, R3 = 55%Brachiaria ruziziensis + 45 %Indigofera sp Angka yang diikuti superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P<0.05)

Pertambahan bobot badan secara keseluruhan sudah ideal kecuali perlakuan kontrol (R0). Hal ini sesuai dengan pendapat Sarwono (2003) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan ideal kambing adalah 40‒50 gr/ekor. Selanjutnya menurut NRC (1995) bahwa kambing pada berat ideal 20 kg pertambahan bobot badanya minimal 50 gr/ekor.

(23)

28.25 39.37 50.47 52.38 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 R0 R1 R2 R3

Taraf Pem beriaan Indigofera sp

P e rt a m b a h a n B o b o t B a d a n H a ri a n (g /e k o r/ h a ri )

Gambar 6 Pengaruh taraf pemberiaanIndigoferasp terhadap PBBH kambing Boerka

Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan bobot badan harian pada kambing boerka yang diberikan pakan Indigofera, dianalisis menggunakan polinomial orthogonal membentuk kurva liner dan mengikuti persamaan Y= 8.349x + 21.746 (R2= 0.93) Gambar 8.

4.5.2 Efisiensi penggunaan pakan

Efisiensi penggunaan pakan erat kaitannya dengan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan yang dihasilkan ternak, karena efisiensi penggunaan pakan adalah rasio antara pertambahan bobot badan dengan jumlah pakan yang dikonsumsi. Rataan efisiensi penggunaan pakan disajikan pada Gambar 7. Hasil rataan efisiensi penggunaan pakan adalah 0.08, 0.08, 0.09 dan 0.12 berturut-turut untuk perlakuan 0, 15, 30 dan 45% taraf pemberiaan Indigofera sp dalam campuran pakan seperti ditunjukan pada Gambar 8. Rataan hasil efisiensi penggunaan pakan tertinggi pada pakan yang diberikan Indigofera sp dalam campuran pakan sebanyak 45% sebesar 0.12 berbeda nyata (P<0.05) efisiensi penggunaan pakan terendah pada taraf pemberiaan 0% (R0) dan 15% (R1) beturut-turut sebesar 0.08, 0.08. Hal ini disebabkan oleh tingkat konsumsi bahan kering pakan yang rendah, dengan pertambahan bobot badan yang cukup rendah.

(24)

0.08 0.08 0.09 0.12 0.00 0.02 0.04 0.06 0.08 0.10 0.12 0.14 R0 R1 R2 R3

Taraf Pem beriaan Indigofera sp

E fi s ie n s i P e n g g u n a a n P a k a n

Gambar 7 Pengaruh taraf pemberiaanIndigoferasp terhadap efisiensi penggunaan pakan kambing Boerka

Pada penelitian ini efisiensi penggunaan pakan pada kambing Boerka yang diberi pakan Indigofera sp mencapai 0.12 (Gambar 7). Angka ini masih lebih tinggi dari efisiensi penggunaan pakan pada kambing Angora (0.08) dan hasil ini sama dengan kambing Kasmir sebesar 0.12 (Jia et al. 1995). Hasil penelitian Nurjannah (2005) melaporkan bahwa efisiensi penggunaan pakan pada kambing kacang yang diberi hijauan lahan gambut mencapai 0.18. Rendahnya efisiensi penggunaan pakan pada penelitian ini karena pertambahan bobot badan yang rendah, hal ini disebabkan karena tingkat konsumsi bahan kering kambing Boerka yang relatih rendah pada penelitian ini. Tingkat konsumsi pakan yang tinggi merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan pertambahan bobot badan seekor ternak.

Gambar

Tabel 2 Rataan produksi bahan kering, jumlah cabang, rasio daun/batang tanaman Indigofera sp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda
Tabel 6 Rataan kandungan kalsium, fosfor Indigofera sp yang diberikan perlakuan interval dan intensitas pemotongan yang berbeda (% BK)
Gambar 3 Pengaruh pemberiaan taraf Indigofera sp terhadap kecernaan protein
Gambar 4 Pengaruh taraf pemberiaan Indigofera sp terhadap kecernaan NDF pakan kambing Boerka
+3

Referensi

Dokumen terkait

konseling di sarana pelayanan kesehatan di luar negeri umumnya dapat membantu atau mempermudah pasien dalam menerima suatu informasi karena menurut penelitian yang dilakukan oleh

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini maka dapat di simpulkann bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara fleksibilitas bahu

Apabila PIHAK KEDUA tidak dapat melaksanakan pemanfaatan dana Bantuan Sosial sesuai dengan Pasal 2 Surat Perjanjian ini, maka PIHAK PERTAMA berhak secara sepihak

a) Meneliti formulir informed consent yang telah diisi, kemudian menganalisis berdasarkan perundangan yang berlaku apakah semua bagian yang seharusnya diisi dan dilakukan

Peraturan Presiden republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;6. Alokasi

[r]

Selain itu, menurut Dinas Kesehatan Kota Malang, pihak Puskesmas harus menjadwal pengambilan sampah medis padat yang kemudian akan diserahkan ke PT.PRIA. Penjadwalan

Dari tabel 2 dapat dilihat nilai koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 0,99 yang menujukkan bahwa semua variabel independen (Pembiayaan, Dana Pihak Ketiga, FDR, dan NPF)