• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DI SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA DI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DI SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA DI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING

DI SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA DI INDONESIA

DALAM KAITANNYA DENGAN HUKUM PERDATA

INTERNASIONAL

Istiadiningdyah, Lita Arijati, Mutiara Hikmah

Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok istiadiningdyah@gmail.com

Abstrak

Skripsi ini membahas penyelesaian sengketa investasi asing di sektor pertambangan minerba di Indonesia dalam kaitannya dengan hukum perdata internasional. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Hasil penelitian menyarankan agar Majelis Arbitrase Internasional dan para pihak dalam KK dan PKP2B untuk lebih memperhatikan penerapan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku dalam KK dan PKP2B (governing law), sekaligus sebagai hukum materiil (substantive law) dalam proses arbitrase internasional untuk menyelesaikan perkara-perkara utama HPI di dalamnya.

The Settlement of Foreign Investment Dispute in Mineral and Coal Mining Sector in Indonesia in Relation to Private International Law

Abstract

The focus of this study is the settlement of foreign investment dispute in mineral and coal mining sector in Indonesia in relation to private international law. This study uses a juridical normative and empirical methods. The results suggest that the International Arbitration Tribunal and the parties in KK and PKP2B to pay more attention to the implementation of Indonesian law as the governing law in KK and PKP2B, as well as the substantive law in the process of international arbitration to resolve major matters of HPI in it.

Keywords: foreign investment, mineral and coal mining, international arbitration

Pendahuluan

Pada era globalisasi seperti sekarang ini, batas nonfisik antarnegara semakin sulit untuk dibedakan dan bahkan cenderung tanpa batas (borderless state). Hal ini berdampak pada peluang investasi yang terbuka luas, salah satunya dalam penanaman modal asing. Indonesia dengan tingkat perekonomian yang melaju pesat hingga mencapai posisi 16 besar dari seluruh negara di dunia tentu mampu menarik masuknya investasi pihak asing yang sebagian besar masih tertuju pada sektor-sektor tradisional, seperti sektor bahan mentah

(resources), domestik, dan infrastruktur. Sektor bahan mentah berupa pertambangan mineral

(2)

teknologi yang canggih dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, dalam rangka memaksimalkan potensi minerba, Pemerintah Indonesia membuka pintu bagi masuknya modal asing dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan.

Pemerintah Indonesia memerlukan modal asing demi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan ilmu pengetahuan, salah satunya dalam hal perwujudan alih teknologi yang akan sangat mempengaruhi proses transformasi dari agraris menuju industrialisasi. Hal ini penting di dalam pelaksanaan proyek-proyek pertambangan minerba, khususnya dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi serta kegiatan pengolahan dan pemurnian bahan galian. Di sisi lain, para investor asing memiliki motif tertentu di dalam pengelolaan pertambangan minerba di Indonesia, yaitu memperoleh keuntungan yang maksimal. Pertambangan batubara yang semakin hari semakin meningkat karena banyaknya permintaan dari dalam negeri dan luar negeri mempengaruhi perusahaan-perusahaan pertambangan dengan modal asing di dalamnya untuk memaksimalkan produksinya. Situasi seperti ini memunculkan perbedaan cara pandang antara Pemerintah Indonesia dengan para investor asing. Investor asing memikirkan apa yang bisa mereka dapatkan sebesar mungkin dalam waktu yang singkat, sedangkan pemerintah lebih memikirkan pemanfaatan secara maksimal dan selama mungkin dari sumber daya alam ini. Diharapkan tidak terjadi kondisi pada suatu saat rakyat Indonesia membutuhkan batubara, tetapi sudah tidak tersedia lagi di negeri ini atau terpaksa harus mengimpor batubara yang tentunya akan menjadi beban bagi masyarakat pengguna energi. Dengan adanya tantangan situasi yang seperti ini maka Pemerintah Indonesia melakukan berbagai perubahan kebijakan di sektor pertambangan minerba.

Kebijakan Pertambangan Minerba dan Investasi Asing di Indonesia

Kebijakan yang mengatur kegiatan usaha pertambangan minerba di Indonesia dimulai sejak Pemerintah Hindia Belanda mengundangkan Indische Mijnwet (Staatblad 1899-214) pada tahun 1899. Indische Mijnwet hanya mengatur mengenai penggolongan bahan galian dan pengusahaan pertambangan. Semasa Hindia Belanda ini, usaha pertambangan dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh swasta dengan menggunakan berbagai bentuk kerja sama, tetapi yang berperan dalam penanaman modal asing adalah sistem Konsesi Pertambangan dan Kontrak 5a. Selanjutnya, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda ke

(3)

Pengganti Undang-Undang yang kemudian menjadi UU No. 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan, yang mengakhiri berlakunya Indische Mijnwet 1899 yang tidak selaras dengan cita-cita kepentingan nasional. Undang-undang pertambangan nasional yang pertama ini mengizinkan Pemerintah menarik modal asing untuk mengembangkan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan berdasarkan pola Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing

Contract). Undang-undang ini kemudian digantikan dengan UU No.11 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, yang dianggap lebih sesuai dengan kenyataan yang ada dalam rangka mengembangkan usaha-usaha pertambangan Indonesia dimasa itu dan dikemudian hari.

Pada UU No. 11 Tahun 1967, kegiatan penanaman modal asing di sektor pertambangan minerba diatur dalam dua jenis kontrak yang merupakan framework untuk pemilik modal asing, yaitu “Kontrak Karya” (KK) untuk pertambangan mineral dan “Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara” (PKP2B) untuk pertambangan batubara, serta adanya "Kuasa Pertambangan" (KP) yang merupakan framework untuk pemilik modal dalam negeri. Ketiganya merupakan faktor yang menentukan perkembangan signifikan industri pertambangan di Indonesia selama hampir tiga puluh tahun ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa UU No. 11 Tahun 1967 juga memiliki kelemahan, yaitu memuat kebijakan mengenai pola penguasaan dan pengusahaan bahan galian pertambangan minerba yang tidak selalu harus diusahakan oleh negara, tetapi dapat diusahakan juga oleh pelaku ekonomi di luar sektor negara, yakni salah satunya adalah swasta asing. Pemerintah Indonesia menginginkan adanya peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan minerba yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri untuk menjamin pembangunan nasional berkelanjutan. Hal ini menjadi salah satu penyebab diwacanakan adanya Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara yang baru.

Pada tanggal 16 Desember 2008, setelah melalui 9 tahun negosiasi alot, akhirnya sidang paripurna DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang menggantikan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Menyadari bahwa minerba sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan salah satu sumber daya alam yang tak terbarukan (unrenewable) dimana menempati posisi yang penting dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,

(4)

maka pemerintah melakukan kebijakan atas penguasaan dan pengusahaan untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam undang-undang ini bentuk kerja sama penanaman modal asing diterapkan melalui Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Ketika UU No. 4 Tahun 2009 mulai diberlakukan, muncul berbagai persoalan, diantaranya keinginan mengubah KK ataupun PKP2B yang sudah ada, sistem IUP kurang memberikan jaminan hukum, wilayah untuk eksplorasi yang terlampau kecil, dan kewajiban pemurnian (smelter) yang tidak dapat diterapkan untuk semua lini. Secara garis besar, UU No. 4 Tahun 2009 mengubah konsep pengelolaan industri pertambangan di Indonesia sehingga memunculkan terjadinya overlapping regulation. Pada saat yang bersamaan muncul undang-undang lain yang berpotensi menambah beban industri sehingga industri pertambangan terhambat perkembangannya. Hal ini menjadikan jaminan investasi asing pada sektor pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dinilai semakin memburuk terutama disebabkan masalah kepastian hukum dan pelayanan birokrasi.

Kepastian hukum di sektor pertambangan minerba pasca disahkannya UU No. 4 Tahun 2009 menjadi persoalan utama yang diperbincangkan oleh berbagai pihak. UU No. 4 Tahun 2009 memunculkan suatu perubahan yang amat drastis meskipun berbagai hal dalam UU No. 11 Tahun 1967 masih diatur secara berkesinambungan. Kelemahan dari pembentukan undang-undang yang baru adalah tidak mengingat bahwa sistem tersebut telah berjalan. Rezim yang ada sekarang berubah dari sistem kontrak menjadi sistem perizinan. Hal ini tentu menimbulkan dampak terkait forum yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa investasi asing. Apakah arbitrase internasional, arbitrase nasional, atau pengadilan Indonesia yang menjadi kompetensi relatif dalam menyelesaikan sengketa.

Investasi asing di sektor pertambangan dimulai sejak diundangkannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Perkembangan tersebut ditandai dengan ditandatanganinya kontrak pertambangan pertama pada bulan April 1967 antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran dari Amerika yang dikenal sebagai Kontrak Karya Generasi I. Berdasarkan data Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, per 29 Agustus 2012, kontrak tambang besar tercatat sebanyak 111 yang terdiri dari 37 KK dan 74 PKP2B.

(5)

Penanaman modal asing pada UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang menggantikan ketentuan sebelumnya, yakni UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, diartikan sebagai kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri. Prosedur penanaman modal asing di sektor pertambangan minerba oleh investor asing pada dasarnya sama dengan prosedur ketika diberlakukan UU No. 1 Tahun 1967, yakni harus dipenuhi hal-hal sebagai berikut:

1. Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas (PT) dan berkedudukan di Indonesia.

2. Pengajuan izin ke BKPM untuk mendirikan Perseroan Terbatas Penanaman Modal Asing (PT PMA).

3. Investor asing wajib memperhatikan ketentuan divestasi saham di sektor pertambangan minerba. Divestasi saham wajib dilakukan setelah lima tahun sejak berproduksi sehingga pada tahun kesepuluh saham yang dimiliki peserta Indonesia minimal 51%. Peraturan terbaru mengenai divestasi saham tercantum dalam Permen ESDM No. 27 Tahun 2013 tentang Tata Cara dan Penetapan Harga Divestasi Saham, serta Perubahan Penanaman Modal di Bidang Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 13 September 2013.

Sengketa Investasi Asing di Sektor Pertambangan Minerba di Indonesia

Sejak diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing hingga digantikan oleh UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, tentunya telah muncul berbagai macam sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah Indonesia, investor dalam negeri, dan investor asing yang berhasil diselesaikan. Salah satu alasan terjadinya sengketa karena kerja sama dalam kontrak yang tidak relevan dengan kenyataan di dalam penerapannya. Hal yang penting untuk diperhatikan dari proses penyelesaian sengketa investasi asing di sektor pertambangan minerba adalah hukum yang berlaku dalam kontrak yang akan menjadi landasan bagi hukum acara atas forum yang telah disepakati oleh para pihak di dalam kontrak dan pentingnya peranan Pemerintah Indonesia dalam memberlakukan hasil keputusan forum yang berwenang menyelesaikan sengketa demi tercapainya keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak. Klausula arbitrase internasional yang tercantum di

(6)

dalam kontrak menunjukkan pentingnya peranan lembaga arbitrase internasional untuk memutus sengketa dan lembaga pengadilan di Indonesia untuk memberlakukan hasil putusan arbitrase internasional itu di teritorialnya. Adanya keterlibatan badan hukum asing di dalam investasi asing pada kontrak bisnis internasional yang berdimensi publik, dan arbitrase internasional sebagai pilihan penyelesaian sengketa dalam perjanjian mengakibatkan sengketa yang timbul mengandung unsur asing (foreign element), yang menjadikan hubungan-hubungan tersebut menjadi internasional.

Aspek Hukum Perdata Internasional dalam Penyelesaian Sengketa Investasi Asing di Sektor Pertambangan Minerba di Indonesia Berdasarkan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara

A. Status Personal Para Pihak dalam KK dan PKP2B sebagai Badan Hukum

Yurisprudensi di Indonesia belum memberikan ketegasan mengenai persoalan status personal badan hukum ini, namun pada praktiknya, Indonesia dengan civil law system menganut gabungan dari Prinsip Inkorporasi dan Prinsip Tempat Kedudukan Manajemen Efektif untuk menentukan status personal suatu badan hukum. Subjek hukum dalam bentuk kerja sama penanaman modal asing di sektor pertambangan minerba di Indonesia berupa KK dan PKP2B terdiri atas:

1. Negara Indonesia

KK dan PKP2B bukanlah kuasa dari negara kepada kontraktor, melainkan kontrak kerja sama antara negara dengan kontraktor dalam pengelolaan pertambangan minerba. Hal ini karena Negara Indonesia merupakan badan hukum Indonesia yang melakukan perbuatan perdata. Status personal Negara Indonesia tunduk pada hukum Indonesia. Posisi negara dalam hubungan kontraktual ini kapasitasnya sebagai pemilik pertambangan minerba, sedangkan lawannya yaitu kontraktor berkapasitas sebagai pelaksana dalam pengelolaan pertambangan minerba di wilayah Indonesia. Oleh karena itu, kedudukan negara atau Pemerintah Indonesia setara dengan kontraktor. Dalam sistem kontrak, kesetaraan di antara para pihak, termasuk negara, merupakan sebuah prasyarat mengingat kontrak membutuhkan kesepakatan. Posisi yang demikian dalam perspektif hukum perdata mengakibatkan negara kesulitan dan tidak terlindungi bila nantinya muncul sengketa berdasarkan kontrak kerja sama.

(7)

2. Kontraktor

Kontraktor adalah perusahaan swasta yang melakukan pengusahaan pertambangan. Kontraktor KK dan kontraktor PKP2B yang dibentuk dalam rangka PMA tidak bisa disamakan dengan perusahaan modal asing biasa di Indonesia. Kontraktor berupa PT PMA ini termasuk salah satu kategori MNE (Multinational Enterprise), yaitu joint venture yang menggunakan keahlian, modal, fasilitas, dan tenaga asing berdasarkan kontrak. Hal ini berdampak dalam kenyataannya berbagai pengambilan keputusan yang menyangkut pengelolaan perusahaan yang bersangkutan tidak terlepas dari keinginan perusahaan di luar negeri yang memberikan bantuan, keahlian, pinjaman modal, dan lain-lain keperluan perusahaan di Indonesia, sekalipun menurut hukum seluruh modalnya ada di tangan orang Indonesia. Dengan demikian, untuk mengetahui status personal dari kontraktor yang dibentuk dalam rangka PMA pengusahaan pertambangan minerba di Indonesia maka perlu diperhatikan juga status personal dari perusahaan induknya yang berupa MNE dengan merujuk pada salah satu prinsip yang digunakan sebagai pedoman untuk menentukan status personal badan hukum. Status personal kontraktor dalam KK dan PKP2B yang dibentuk dalam rangka PMA (PT PMA) inilah yang merupakan salah satu unsur asing dalam hubungan HPI.

3. Perusahaan Swasta Asing

Perusahaan Swasta Asing merupakan penanam modal asing dalam kegiatan pengelolaan pertambangan minerba di Indonesia. Sebagian besar perusahaan swasta asing dalam pengusahaan pertambangan minerba di Indonesia merupakan sebuah perusahaan MNE. Hal ini disebabkan investasi dalam pengelolaan pertambangan minerba membutuhkan modal sangat besar yang kebanyakan hanya dimiliki oleh MNE yang telah berpengalaman bertahun-tahun dari segi bisnis dan teknik pertambangan. Oleh karena itu, untuk mengetahui status personal perusahaan swasta asing maka perlu dianalisis bagaimana penerapan prinsip status personal badan hukum pada masing-masing MNE tersebut.

4. Perusahaan Nasional

Perusahaan nasional merupakan pihak yang melakukan perjanjian patungan (joint

venture agreement) dengan perusahaan asing dalam membentuk kontraktor berupa PT PMA.

Perusahaan nasional dalam pengusahaan penanaman modal asing di sektor pertambangan minerba di Indonesia berstatus sebagai Perseroan Terbatas (PT) yang berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Meskipun belum ada ketentuan khusus yang

(8)

mengatur mengenai hal tersebut, Penjelasan Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri menyebutkan bahwa dalam hal kerja sama penanaman modal seyogyanya dijalankan dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT). Dengan demikian, status personal perusahaan nasional tunduk pada hukum Indonesia.

B. Hukum Indonesia sebagai Hukum yang Berlaku dalam KK dan PKP2B

KK dan PKP2B adalah bentuk kontrak kerja sama PMA di sektor pertambangan minerba yang masih tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak tersebut, sembari dilakukan tahapan renegosiasi kontrak. Hukum yang berlaku dalam KK dan PKP2B adalah “Hukum Indonesia”. Ketentuan mengenai hukum yang berlaku dapat dilihat pada pasal mengenai Governing Law di dalam KK dan PKP2B. Berdasarkan titik pertalian obyektif, terdapat hubungan erat antara KK dan PKP2B dengan hukum Indonesia. Pada umumnya hukum yang berlaku atas kontrak yang dibuat antara suatu negara dengan pribadi perdata adalah hukum nasional dimana kontrak tersebut dibuat dan dilaksanakan. Disamping itu, tempat dilaksanakannya perjanjian merupakan suatu faktor yang penting bagi perjanjian. Hal ini karena hakekat dari suatu perjanjian adalah pelaksanaan.

Penetapan hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku dalam KK dan PKP2B telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku dapat disimpulkan dari dasar hukum keberlakuan KK dan PKP2B sebagai berikut: (a) Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945, (b) Pasal 10 UU No. 11 Tahun 1967, (c) Pasal 8 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1967. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa pertambangan minerba merupakan cabang produksi sekaligus sumber daya alam yang berperan penting bagi kehidupan ekonomi Indonesia demi mencapai kemakmuran rakyat Indonesia. Setiap sumber daya alam harus mampu menjadi sumber ekonomi baru bagi negara. Dengan mempertimbangkan pentingnya peranan pertambangan minerba tersebut di Indonesia maka diperlukan pengaturan khusus mengenai sektor pertambangan, yaitu UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, serta berbagai peraturan pelaksananya. Dengan demikian, pengaturan di sektor pertambangan minerba di Indonesia termasuk ke dalam kaidah super memaksa yang mensyaratkan untuk selalu menggunakan hukum Indonesia dalam KK dan PKP2B.

(9)

C. Arbitrase Internasional sebagai Forum yang Berwenang Menyelesaikan Sengketa Investasi Asing dalam KK dan PKP2B

Salah satu elemen yang esensial dalam perlindungan investasi asing adalah adanya tata cara penyelesaian sengketa. Meskipun semua pihak dalam KK dan PKP2B menginginkan kegiatan pertambangan minerba di Indonesia berjalan dengan baik dan tidak menimbulkan permasalahan, tetap saja undang-undang harus mencatumkan aturan dan mekanisme penyelesaian sengketa. Ketentuan ini bersifat melekat (inherent) yang harus terdapat dalam legislasi investasi. Pilihan penyelesaian sengketa investasi asing pada era UU No. 11 Tahun 1967 jo. UU No. 1 Tahun 1967 adalah melalui arbitrase. Hal ini tercantum dalam Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1 Tahun 1967 yang memuat cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase atas “sengketa mengenai tindakan suatu negara”, yakni tindakan Pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi/pencabutan hak milik secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus perusahaan yang bersangkutan. Selain ketentuan tersebut, kedua belah pihak yang bersengketa tunduk pada pasal tentang penyelesaian sengketa yang tertuang di dalam KK maupun PKP2B yang telah disepakati. Pasal-pasal dalam KK dan PKP2B ini sama-sama memuat klausula penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Pengaturan penyelesaian sengketa investasi asing di sektor pertambangan minerba di Indonesia lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 169 a UU No. 4 Tahun 2009 jo. Pasal 32 ayat (1), (2), dan (4) UU No. 25 Tahun 2007. KK dan PKP2B yang telah ada sebelum UU No. 4 Tahun 2009 disahkan tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian sehingga perlu disimak mekanisme penyelesaian sengketa yang tertuang di dalam KK dan PKP2B. Selanjutnya, dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui jalur musyawarah dan mufakat, tetapi apabila tidak tercapai kesepakatan maka akan diselesaikan dengan menempuh jalur arbitrase internasional yang telah disepakati oleh para pihak. Ketentuan penyelesaian sengketa tersebut menunjukkan bahwa Pemerintah tidak dapat melakukan tindakan sepihak, tetapi atas dasar kesepakatan atau berdasarkan putusan pihak ketiga baik secara yustisial maupun non yustisial. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa para pihak yang bersengketa akan memilih forum arbitrase internasional sebagaimana yang telah disepakati dalam KK ataupun PKP2B yang berlaku.

(10)

Arbitrase internasional merupakan forum yang hingga saat ini paling sering dipilih oleh para pihak di dalam KK maupun PKP2B untuk menyelesaikan sengketa investasi asing di sektor pertambangan minerba yang melibatkan banyak unsur asing di dalamnya. Keterlibatan banyak unsur asing ini mengakibatkan tidak dapat dikesampingkannya pentingnya penerapan Hukum Perdata Internasional untuk menganalisa kasus-kasus yang ada. Disamping itu juga, dengan adanya pertimbangan bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan ratifikasi Konvensi ICSID 1965 dan ikut menandatangani resolusi PBB pada tanggal 15 Desember 1976 yang melahirkan UNCITRAL Arbitration Rules 1976 , maka atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, sengketa bisa diselesaikan melalui arbitrase internasional. Ratifikasi terhadap instrumen internasional yang berkaitan dengan investasi ini juga merupakan bentuk lain dari perlindungan investasi.

Sesuai yang lazim berlaku, berbagai langkah dan tahapan yang dilakukan dalam kategori penyelesaian sengketa yang pertama adalah: (a) melalui negosiasi, (b) konsultasi, (c) pengadilan nasional yang berkompeten dari negara penerima penanaman modal, (d) melalui arbitrase ICSID, (e) badan pengadilan arbitrase ad hoc di bawah UNCITRAL, atau (f) pengadilan arbitrase ad hoc lain yang disetujui oleh kedua pihak. KK dan PKP2B merupakan perjanjian penanaman modal yang menggunakan penyelesaian sengketa antara negara pihak dalam perjanjian (contracting party) sebagai tuan rumah (host country) dengan penanam modal (investor) dari negara pihak yang lain (other contracting party) dalam perjanjian. Hal ini dapat diketahui dari klausula penyelesaian sengketa di dalam KK dan PKP2B.

Kemungkinan hukum yang berlaku ketika para pihak menyepakati arbitrase internasional sebagai pilihan forum antara lain:

1. Hukum materiil (substantive law), adalah hukum yang digunakan untuk memutus perkara oleh Majelis Arbitrase dengan mempertimbangkan adanya batas-batas pada pilihan hukum. Hukum materiil ini bisa ditentukan oleh para pihak yang bersengketa dalam kontrak yang dikenal dengan istilah governing law, atau apabila tidak disepakati oleh para pihak maka ditentukan oleh Majelis Arbitrase.

2. Hukum formil atau hukum acara (procedural law), adalah hukum yang mengikat Majelis Arbitrase dan para pihak dalam proses pemeriksaan hingga adanya putusan. Hukum acara arbitrase ini sering juga disebut sebagai curial law.

3. Lex arbitri, adalah hukum dari suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa

(11)

D. Permohonan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia

Pada kontrak penanaman modal asing yang dibuat oleh para pihak dalam melakukan kerja sama di sektor pertambangan mineral maupun batubara di Indonesia telah disepakati arbitrase internasional sebagai pilihan forum penyelesaian sengketa. Meskipun para pihak memiliki kebebasan melakukan pilihan forum, tetapi para pihak tidak memiliki kewenangan untuk menentukan hukum formil yang berlaku. Hal ini karena hukum formil dalam arbitrase ditentukan dari apakah para pihak akan menggunakan arbitrase ad hoc atau arbitrase institusional. Hukum formil atau procedural law yang berlaku dalam kedua jenis arbitrase internasional tersebut adalah hukum acara perdata internasional.

Hukum acara perdata internasional bersumber dari perjanjian-perjanjian internasional, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Disamping hukum materiil, hukum formil juga menjadi landasan untuk menentukan sistem hukum yang dapat diterapkan dalam putusan atau sistem hukum untuk menyelesaikan sengketa. Dengan demikian, putusan arbitrase internasional tunduk pada aturan hukum acara perdata internasional yang berlaku pada saat jalannya proses persidangan arbitrase.

Persoalan HPI muncul ketika pihak yang dimenangkan dalam putusan arbitrase internasional akan mengajukan permohonan eksekusi atau pelaksanaan terhadap putusan itu di Indonesia, dimana putusan arbitrase internasional yang tunduk pada hukum acara perdata internasional merupakan unsur asing berdasarkan hukum Indonesia. Oleh karena itu, sebelum suatu putusan arbitrase internasional dapat diakui dan dilaksanakan maka penting untuk diperhatikan apakah hukum negara Indonesia telah memberikan pengaturannya atau tidak.

Kesimpulan

1. Pada awal tahun 2000, Pemerintah Indonesia mulai menyadari bahwa mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan salah satu sumber daya alam yang tak terbarukan (unrenewable) dan berperan penting dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Sejak saat itu muncul perbedaan cara pandang antara Pemerintah Indonesia dengan para investor asing. Investor asing memikirkan apa yang bisa mereka dapatkan sebesar mungkin dalam waktu yang singkat, sedangkan pemerintah lebih memikirkan pemanfaatan secara maksimal dan selama mungkin dari sumber daya alam ini. Dengan adanya tantangan situasi yang seperti ini

(12)

maka Pemerintah Indonesia melakukan berbagai perubahan kebijakan di sektor pertambangan minerba, salah satunya melalui UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia berdampak pada munculnya sengketa investasi asing dengan pihak investor asing.

2. KK dan PKP2B merupakan kontrak bisnis internasional yang dibuat antara Negara Indonesia, Kontraktor, Perusahaan Swasta Asing, dan Perusahaan Nasional. Di dalamnya terdapat unsur-unsur asing (foreign elements) yang berkaitan erat dengan kaidah-kaidah HPI. Hal ini menjadikan sengketa investasi asing di sektor pertambangan minerba merupakan sengketa HPI. Aspek-aspek HPI dalam penyelesaian sengketa investasi asing di sektor pertambangan minerba di Indonesia berdasarkan KK dan PKP2B antara lain: perbedaan status personal para pihak dalam KK dan PKP2B sebagai badan hukum, hukum Indonesia sebagai hukum yang berlaku dalam KK dan PKP2B merupakan hal baku yang tidak dapat dikesampingkan oleh para pihak meskipun mereka tunduk pada hukum negara yang berbeda-beda, arbitrase Internasional sebagai forum yang berwenang menyelesaikan sengketa investasi asing dalam KK dan PKP2B, dan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Aspek-aspek tersebut merupakan faktor yang menunjukkan adanya hubungan HPI dalam kegiatan investasi asing di sektor pertambangan minerba di Indonesia, termasuk dalam proses penyelesaian sengketa antara para pihak.

3. HPI Indonesia adalah hukum yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa. Sebagaimana dikatakan oleh Sudargo Gautama bahwa sumber dari HPI adalah hukum nasional suatu negara sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa “Hukum Indonesia” adalah hukum yang berlaku untuk menyelesaikan sengketa investasi asing di sektor pertambangan minerba di Indonesia. Hal ini dapat ditinjau dari: penerapan hukum indonesia sebagai hukum yang berlaku dalam KK maupun PKP2B, hukum Indonesia adalah hukum yang digunakan sebagai hukum materiil (substantive law) dalam proses arbitrase internasional, dan hukum Indonesia sebagai hukum negara tempat pelaksanaan putusan arbitrase internasional.

(13)

Berdasarkan pada hasil pembahasan yang telah dilakukan dalam bab-bab sebelumnya maka saran yang diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut: hal penting untuk diperhatikan pada perubahan kebijakan pertambangan minerba di Indonesia melalui UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan menjadi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara adalah perubahan rezim kontrak ke rezim perizinan. Hendaknya KK dan PKP2B sebagai kontrak bisnis internasional antara pemerintah dengan penanam modal tetap dihormati keberlakuannya oleh Pemerintah Indonesia dengan cara melakukan prosedur renegosiasi kontrak dengan tidak mengurangi nilai komersial dari hal-hal yang diperjanjikan sebelumnya. Negosiasi dalam hal ini akan membantu mengurangi munculnya sengketa antara kedua belah pihak ke jalur arbitrase internasional. Posisi Negara Indonesia sebagai pihak dalam KK dan PKP2B yang setara dengan penanam modal (investor asing dan investor lokal) sangat tidak menguntungkan karena tanggung jawab negara dalam posisi ini adalah tidak terbatas. Aset negara akan terekspos untuk membayar ganti rugi apabila mengalami kekalahan dalam arbitrase internasional.

Daftar Referensi

Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993.

__________. Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002.

__________. Hukum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal. Bandung: Keni Media, 2011.

Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian I, Buku ke 7. Bandung: Alumni, 2010.

______________.Hukum Perdata Internasional Indonesia Jilid III Bagian 2 Buku ke-8. Bandung: Alumni, 2007. ______________.Indonesia dan Konvensi-Konvensi Hukum Perdata Internasional. Bandung: Alumni, 1996. ______________.Kontrak Dagang Internasional: Himpunan Ceramah dan Prasaran. Bandung: Alumni, 1976). Hikmah, Mutiara. Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing di Indonesia. Jurnal Hukum Internasional,Vol.5, No. 2, Januari 2008.

Salim HS. Hukum Pertambangan di Indonesia. Edisi Revisi, cet. III. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007. Sutrisno, Budi dan Salim HS. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012.

Juwana, Hikmahanto. Kontrak Bisnis Berdimensi Publik. Dalam Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Percobaan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui apakah jarak tanam kapas dan pemakaian jenis pupuk KG, Fosfo N dan M-Dext mempunyai pengaruh terhadap

Saran yang dapat digunakan pada penelitian selanjutnya mengenai pengembangan model berbasis agen untuk sistem ketahanan pangan pada sektor pertanian jagung adalah

apex sering membuat identifikasi jenis tersebut menjadi bias. Secara morfologi ukuran cangkang Cerithidea cingulata relatif kecil. Beberapa karakter dapat digunakan sebagai

Penelitian kali ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tekstur dan gradasi agregat kasar dan agregat kasar terhadap kuat tekan dan kuat tarik beton normal dan

[r]

Hasil ini diperoleh dengan memisahkan beberapa komponen yang ada, sehingga hasil persentase benih murni dan kemurnian benihnya dapat dihitung, hal ini sesuai

pada permukaan tubuh benih ikan gurami disebabkan karena lendir merupakan bagian yang paling luas dibandingkan organ tubuh lainnya dan memiliki kemungkinan terinfeksi

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa penting bagi kita semua baik orang tua, Guru dan murid untuk mengerti akan pentingnya pendidikan Agama Islam