• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan karakter perspektif Imam Al Ghazali dan Soemarno Soedarsono

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pendidikan karakter perspektif Imam Al Ghazali dan Soemarno Soedarsono"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN KARAKTER PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI

DAN SOEMARNO SOEDARSONO

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Pendidikan Agama Islam

Oleh :

BASSAM ABUL A‟LA NIM: F02317067

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Pedidikan Karakter Perspektif Imam Al-Ghazali dan Soemarno Soedarsono Kata Kunci: Karakter, Religius, Nasionalis

Pendidikan karakater merupakan sebuah proses yang tiada henti (never ending) dalam pelaksanaanya di sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Melihat nilai-nilai yang ada dan sudah dirancang oleh Pemerintah akan tetapi belum ada dampak yang konkrit yang bisa diangkat menjadi faktor suksesnya program pendidikan karakter, merupakan alasan bagi peniliti untuk mencari tahu lebih dalam tentang pendidikan karakter. Krisis karakter yang terjadi saat ini sudah waktunya untuk menggugah para pemegang kekuasaan dan para pendidik untuk mengambil akselerasi terobosan dan cara menanggulangi krisis ini.

Penelitian ini bertujuan mengungkapkan pemahaman atau persepsi tentang pendidikan karakter dua tokoh yang berbeda zaman, yaitu Imam al-Ghazali yang hidup pada zaman akhir Dinasti Abbasiyah yang dikenal sebagai masa kejayaan Islam, dan Soemarno Soedarsono yang merupakan salah satu penggagas munculnya pendidikan karakter di Indonesia pada tahun 2010.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, di mana teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan metode dokumentasi yang dibagi menjadi data primer dan data sekunder. Sedangkan analisis yang digunakan adalah analisis isi dan interpretasi.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pendidikan karakter perspektif Imam al-Ghazali dan Soemarno Soedarsono mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaanya ada pada dasar pendidikan karakter yaitu keduanya menempatkan keyakinan dan ketuhanan yang bersumber pada Quran dan al-Hadith. Sedangkan perbedaannya pada tujuan dan tahap pendidikan karkater; Imam al-Ghazali memandang bahwa tujuan pendidikan karkater adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan ada 2 tahapan pendidikan karakter yaitu

ta’d{ib dan riyad{oh atau jalan sufi. Sedangkan tujuan dan tahapan pendidikan karakter menurut Soemarno Soedarsono adalah membentuk kesadaran pribadi dan sosial yang mempunyai 4 tahapan yaitu; 1) Ketahanan Pribadi, 2) Ketahanan Keluarga, 3) Ketahanan Lingkungan, 4) Ketahanan Nasional.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ………...i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... xi

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 6

C. Rumusan Masalah ... 8 D. Tujuan Penelitian ... 9 E. Kegunaan Penelitian... 9 F. Kerangka Teoritik ... 10 G. Penelitian Terdahulu ... 19 H. Metode Penelitian... 22 I. Sistematika Pembahasan ... 24

BAB II KAJIAN TEORI ... 26

A. Definisi Pendidikan Karakter ... 26

1. Arti Pendidikan ... 26

(8)

3. Pengertian Pendidikan Karakter ... 37

B. Dasar Pendidikan Karakter ... 39

1. Agama ... 39

2. Moralitas ... 41

C. Tujuan Pendidikan Karakter ... 43

1. Umum ... 43

2. Khusus ... 44

D. Tahap-Tahap Pendidikan Karakter ... 44

BAB III BIOGRAFI IMAM AL-GHAZALI DAN SOEMARNO SOEDARSONO ... 51

A. Imam Al-Ghazali ... 51

1. Biografi ... 51

2. Latar Belakang Sosio Kultural ... 55

B. Soemarno Soedarsono ... 57

1. Biografi ... 57

2. Latar Belakang Sosio Kultural ... 60

BAB IV ANALISIS KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER PERSPEKTIF IMAM AL-GHAZALI DAN SOEMARNO SOEDARSONO ... 66

A. Pendidikan Karakter Perspektif Imam al-Ghazali... 66

1. Definisi Pendidikan Karakter ... 66

2. Dasar Pendidikan Karakter ... 73

3. Tujuan Pendidikan Karakter ... 75

4. Tahap Pendidikan Karkater ... 77

B. Pendidikan Karakter Perspektif Soemarno Soedarsono ... 80

1. Definisi Pendidikan Karakter ... 80

(9)

3. Tujuan Pendidikan Karakter ... 83

4. Tahap Pendidikan Karakter ... 84

C. Persamaan dna Perbedaan Pendidikan Karakter Perspektif Imam Al-Ghazali dan Soemarno Soedarsono ... 87

D. Relevansi Konsep Pendidikan Karakter Imam al-Ghazali dan Soemarno Soedarsono dengan Konsep Pendidikan Karkater di Indonesia ... 90

BAB V PENUTUP ... 94

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 95

(10)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Pendidikan karakter dewasa ini menjadi isu yang hangat di Negara maju, meskipun sudah banyak yang menggaungkan pendidikan karakter mulai dari zaman kekaisaran Roma sampai sekarang. Fatma dalam jurnal edukasia mengutip pernyataan Marcus Tulius Cicero, seorang cendikiawan Republik Roma yang pernah mengingatkan warga kekaisaran Roma bahwa kesejahteraan sebuah bangsa bermula dari karakter warganya yang kuat.1 Masih dalam jurnal yang sama, Arnold Toynbee senada dengan apa yang diorasikan Cicero bahwa dari 21 peradaban di dunia, 19 peradaban hancur bukan karena serangan dari luar melainkan berasal dari kebobrokan karakter masyarakat di sebuah peradaban itu.2 Rasulullah SAW mengajari umatnya dalam hal berhias diri untuk selalu membaca doa Allahumma kama< h}assanta kholqi< fa h}assin khuluqi< dengan tujuan agar karakter manusia setiap hari lebih baik dan mempunyai semangat untuk selalu memperbaiki karakter. Oleh karena itu pemerintah Indonesia memandang penting Pendidikan Karakter bagi kemajuan bangsa ke depan. Pada tahun 2011, Balitbang Kementerian Pendidikan dan Nasional

1

Fatma Laili Khoiru Nida, “Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg Dalam Dinamika Pendidikan Karakter”, Edukasia: Journal Pendidikan, Vol. 8, No. 2 (Agustus, 2013), 272.

2 Adalah Arnold Joseph Toynbee, lahir di London 14 April 1889, seorang sejarawan inggris yang terkenal dengan bukunya A Study of History, berisi tentang penyelidikan secara sejarah asal usul, perkembangan dan kehancuran peradaban besar. Dalam

(11)

2

(sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), mengeluarkan buku kecil berjudul Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter.3

Pendidikan yang ada di Indonesia sebenarnya sudah memberikan peran yang baik pada ranah pengembangan intelektual peserta didik, sehingga banyak dijumpai peserta didik yang telah menorehkan prestasi gemilang di ajang olimpiade tingkat nasional maupun internasioanal baik dalam ranah keilmuan, seni dan teknologi. Di bidang keilmuan ada Micael Gilbert (SMAK Penabur Cirebon) yang mendapatkan medali emas dalam olimpiade fisika intrnasional di Swiss tahun 2016, beserta tiga kawanya yang lain yaitu Edwin Aldrian Santoso (SMA Negeri 1 Surakarta), Kevin Limanta (SMAK IPH Surabaya) dan Hugo Herdiyanto yang masing-masing mendapatkan medali perak.4 Di bidang kesenian5 dan teknologi dapat dilihat pada ajang Asian Games 2018 yang banyak menyumbangkan medali emas dan perak. Seakan menjadi bukti bahwa anak-anak Indonesia mampu menoreh prestasi akademis dan non akademis di kancah internasioanal, yang juga menggugurkan asumsi negatif yang disandangkan terhadap anak-anak Indonesia.

Tetapi prestasi ini tidak sebanding dengan gemilangnya karakter peserta didik. Justru banyak dijumpai peserta didik yang tawuran, suka mencontek, bolos sekolah, sehingga berpotensi menjadi remaja yang berkarakter buruk berkembang menjadi orang dewasa yang buruk pula. Data yang muncul di KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) sebagaimana

3 Adian Husaini, “Pendidikan Karakter Berbasis Ta‟dib”, Tsaqofah, Vol. 8, No.2 (November, 213), 372.

4 Dalam

https://www.goodnewsfromindonesia.id/2017/01/27/keren-anak-indonesia-bertabur-prestasi. dikses pada 27 Oktober 2018.

5 Dalam

(12)

3

dilansir oleh Tempo, menunjukkan angka tawuran pelajar tahun 2018 meningkat dari tahun 2017 yakni 14 % untuk tahun ini.6 Kasus tewasnya Hinggar penonton laga sepakbola juga masih menjadi bukti rendahnya karakter peserta didik di Indonesia, tidak hanya Hinggar, Iqbal anak SMK di Pleret Daerah Istimewa Yogyakarta juga meninggal akibat dikeroyok supporter lainya, yang menjadi sorotan adalah kejadianya ini berlangsung pada jam pelajaran, yang berarti korban pengeroyokan ini membolos sekolah.7 Belum juga masalah narkotika, miras dan sex bebas masih menunjukkan angka yang tinggi. 8 Melihat realitas ini, mengirimkan signal pada dunia bahwa anak-anak Indonesia berkarakter buruk sebagai pembunuh, pelanggar peraturan, pecandu, pemerkosa. Stigma yang ada pada anak anak Indonesia ini menjadi tanggung jawab besar bagi negara khususnya para pemegang kekuasaan.

Menurut Kepala Balitbang Depdiknas Mansur Ramly, yang dikutip oleh Adian mengatakan bahwa berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini, semakin mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan pendidikan.9 Maka pada tahun 2013 sebagai implementasi dari panduan pelaksanaan pendidikan karakter pada tahun 2011, Pemerintah mencoba merealisasikan pendidikan karakter dalam berbagai lapisan pendidikan formal

6 Dalam

https://metro.tempo.co/read/1125876/kpai-tawuran-pelajar-2018-lebih-tinggi-dibanding-tahun-lalu/full&view=ok. Diakses pada 27 Oktober 2018. 7

Dalam https://kumparan.com/@kumparannews/seorang-pelajar-tewas-dikeroyok-usai-menonton-derby-yogyakarta-27431110790554773?ref=rel. diakses pada 27 Oktober 2018.

8 Dalam

https://news.detik.com/berita/d-3425965/survei-bnn-80-persen-tahu-bahaya-narkoba-kenapa-kasus-masih-tinggi. diakses 27 Oktober 2018. 9

(13)

4

khususnya dengan memberlakukan kurikulum 2013 yang menitikberatkan pada pembangunan karakter bangsa.10

Pendidikan karakter yang dicanangkan selama ini mulai zaman presiden Soekarno dengan sebutan character building dan masih berlanjut sampai pada tahun 2013 dengan sebutan pendidikan karakter, seharusnya membutuhkan penguatan dari sisi ideologi kebangsaan dan kearifan lokal, sehingga pendidikan yang ada di Indonesia melahirkan anak bangsa yang berilmu, kokoh secara ideologi dan mempunyai kearifan lokal. Sehingga formula yang dibutuhkan oleh bangsa ini adalah pendidikan karakter yang berlandaskan agama dan kebangsaan atau nasionalis.

Karakter sebagaimana didefinisikan oleh Ryan dan Bohlin dalam Doni, mengandung tiga unsur pokok yaitu: mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good) dan melakukan kebaikan (doing the good), dalam pendidikan karakter kebaikan itu sering kali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. Dengan demikian pendidikan karakter adalah sebuah upaya untuk membimbing perilaku manusia menuju standar-standar baku.11

Menurut al-Ghazali, karakter peserta didik adalah amma> l muata’allim

fa a>da>buhu wa waz}a>ifuhu kat}irah yang berarti perilaku-perilaku dan tugas-tugas yang banyak.12 Istilah yang digunakan al-Ghazali dalam menggambarkan pendidikan karakter adalah dengan menggunakan kata “adab”, dalam kaitanya dengan hal ini, Naquib al-Attas mendefiniskan adab adalah pengenalan dan

10

Fatma, “Intervensi Teori, 273.

11 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter di Zaman Keblinger (Jakarta; Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009), 45.

(14)

5

pengakuan terhadap nilai-nilai dan aktualisasinya dalam tindakan.13 Sehingga makna adab adalah menjadikan seseorang menjadi baik pengetahuan dan perilakunya, sebagaimana arti pendidikan karakter yaitu loving, knowing and doing the good. Sebagaimana telah diketahui secara umum al-Ghazali sebagai

H{ujjatu al-Islam yang menguasai berbagai disiplin ilmu seperti fiqih maka ia seorang fuqaha>’, ilmu kalam maka ia sebagai seorang mutakallimi<n, filsafat maka ia sebagai seorang filosuf dan tasawuf maka ia sebagai seorang sufi.14 Al-Ghazali dalam pembinaan karakter lebih menekankan pada konsep wahyu dan intuisi yang tujuannya merupakan pembentukan karakter yang mulia yang sesuai dengan ajaran al-Qur‟an.

Sementara Soemarno Soedarsono mengungkapkan bahwa pemerosotan karakter disebabkan oleh ketidak seimbangan antara kecerdasan otak atau kognitif dengan kecerdasan hati dan kecerdasan spiritual. Pembangunan manusia yang ada di Indoensia setelah tahun 1960, lebih menekankan kepada tampilan fisik dan materiil serta mengesampingkan pembangunan karakter sehingga jati diri bangsa semakin meredup setiap harinya.15 Pendidikan karakter yang digagas oleh Soemarno Soedarsono berorientasi kepada pembentukan jati diri bangsa yang berasaskan pancasila, tidak bisa dipungkiri bahwa purnawiraan TNI ini berasal dari kalangan militer sehingga mempengaruhi gagasan dan idenya tentang pendidikan karakter.

13

M. Arfan Mua‟amar, “Internalisasi Konsep Ta‟dib Al-Attas dalam Pengembangan Karakter Peserta Didik”, Tsaqofah, Vol. 9, No. 2 (November, 2013), 362.

14 Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut al-Ghazali (Jakarta: Rajawali, 1988), 34-37. 15 Soemarno Soedarsono, Karakter Mengantar Bangsa Dari Gelap Menuju Terang (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2010), 5.

(15)

6

Menurut al-Ghazali, agama Islam sebagai sumber ajaran agama memadukan antara rasional, emosional, akal dengan kalbu. al-Ghazali merupakan seorang filsuf muslim pertama yang berhasil merekonsiliasikan antara rasionalisme, ritualisme, dogmatisme dan mistisisme.16 Jika dilihat dari segi teoritis maka ada perbedaan dan persamaan pemahaman dalam pembinaan karakter dari kedua tokoh ini, di satu sisi Soemarno Soedarsono lebih memberikan penekanan pada pendidikan karakter nasionalis seseorang dan kurang memberi penekanan pada sisi agama sementara al-Ghazali memberi penekanan kepada proses pendidikan karakter yang berdasarkan agama.

Kedua tokoh tersebut setara dalam hal pendidikan karakter karena keduanya sama-sama berada di lembaga pendidikan karakter, pemikiran keduanya sama-sama di latar belakangi oleh situasi konflik negara.

Berdasar sekilas kajian teoritik pada subyek penelitian di atas, maka judul: Pendidikan Karakter Perspektif Imam Al Ghozali dan Soemarno Soedarsono sangat penting untuk diteliti secara mendalam.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah.

1. Identifikasi Masalah

Melihat kondisi pelajar di Indonesia, sebagaimana telah dipaparkan di atas, tampakanya masyarakat khususnya pemerintah belum bisa optimis akan masa depan pendidikan, dikarenakan kenyataan pendidikan saat ini dihadapkan pada masalah pokok yaitu karakter peserta didik yang belum

16

(16)

7

sejalan dengan pembangunan nasional terlebih lagi dengan sistem pendidikan nasional.17

Pendidikan karakter berperanan penting dalam upaya mewujudkan manusia Indonesia yang utuh. Pembinaan karakter sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan dapat menjadi sarana ampuh dalam menangkal pengaruh-pengaruh negatif, baik pengaruh yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Keberagaman ras yang ada di Indonesia menyebabkan perlu adanya formula pembentukan karakter tersendiri mengingat unsur agama atau nilai religius dan nilai kultur atau adat istiadat sangatlah kental, sebagaimana dikatakan tokoh besar dalam dunia pendidikan Islam yaitu al-Ghazali bahwa, pendidikan karkater hendaknya dimulai sejak dini dengan jalan pendidikan agama.18 Menurutnya, para pelajar selayaknya mempunyai karakter yang terpuji dalam keseharianya sebagai pelajar. Salah satu karakter tersebut adalah taat kepada Allah.

Sedangkan salah satu tokoh di Indonesia yang berlatar belakang TNI yaitu Soemarno Soedarsono mengatakan bahwasanya pendidikan karakter haruslah dimulai dari diri sendiri atau bottom up, sebagai konsepsi ketahanan nasional. Cara yang ditawarkan adalah mulai dari ketahanan pribadi mewujudkan ketahanan keluarga selanjutnya ketahanan

17 Masita, “Pendidikan Karakter Berbasis Budaya Lokal pada Masyarakat Muslim”, Salam, Vol. 15, No. 2 (Desember, 2012), 305.

18Muhammad Hafijhin, “Konsep Pendidikan Karakter Anak Menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab Ayyuha al-Walad”, Al-Falah, Vol. XVII, No. 1 (Januari, 2018), 34.

(17)

8

lingkungan, ketahanan wilayah sehingga dapat melakukan ketahanan nasional.19

Berikut identifikasi masalah yang kemungkinan dapat muncul dalam penelitian ini:

a. Ada perbedaan konsep pendidikan karakter dari kacamata Imam al-Ghazali dan Soemarno Soedarsono.

b. Aspek pendidikan karakter perspektif Imam al-Ghozali dan Soemarno Soedarsono terhadap perkembangan anak didik.

2. Batasan Masalah

Untuk menghindari perluasan ruang lingkup dan pembahasannya, serta untuk mempermudah pemahaman, maka pada tesis ini ruang lingkup dan pembahasannya, peneliti memfokuskan pada masalah yang berkaitan dengan judul tesis ini, antara lain:

a. Pengertian pendidikan karakter

b. Konsep pendidikan karakter perspektif Imam al-Ghazali dan Soemarno Soedarsono.

c. Persamaan dan perbedaan pendidikan karakter perspektif Imam al-Ghazali dan Soemarno Soedarsono.

C. Rumusan Masalah

Berdasar latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pendidikan karakter perspektif Imam al-Ghazali?

19 Soemarno Soedarsono, Character Building Membentuk Watak (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004), 4.

(18)

9

2. Bagaimana pendidikan karakter perspektif Soemarno Soedarsono?

3. Bagaimana persamaan dan perbedaan konsep pendidikan karakter perspektif al-Ghazali dan Soemarno Soedarsono?

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis, memahami dan mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut:

1. Konsep pendidikan karakter perspektif Imam al-Ghazali. 2. Konsep pendidikan karakter perspektif Soemarno Soedarsono.

3. Persamaan dan perbedaan konsep pendidikan karakter perspektif Imam al-Ghazali dan Soemarno Soedarsono.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Praktis :

a. Memberi gambaran tentang pendidikan karakter zaman keemasan pendidikan islam dan masa sekarang.

b. Memberi masukan kepada Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta acuan bagi para praktisi pendidikan Islam dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam yang hakiki.

2. Manfaat Teoritis :

a. Secara konseptual dapat memperkaya teori pendidikan terutama yang berkaitan dengan pendidikan karakter.

b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi peneliti berikutnya atau peneliti lain yang ingin mengkaji lebih mendalam dengan topik dan focus

(19)

10

yang lain untuk memperoleh perbandingan sehingga memperkaya temuan-temuan penelitian.

F. Kerangka Teoritik

1. Pendidikan Karakter

Memahami makna pendidikan karakter tentunya berangkat dari pemahaman kita mengenai definisi pendidikan dan karakter itu sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan berasal dari kata “didik” yang berarti memelihara dan memberi latihan. Sedangkan pendidikan adalah, “proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.20 Kemudian memaknai kata karakter dari segi bahasa dan istilah, secara etimologi, kata karakter berasal dari bahasa inggris yaitu character, yang mempunyai makna tabiat, watak, sifat, peran, dan budi pekerti. Sedangkan secara terminologi, karakter diartikan sebagai sifat manusia, manusia pada umumnya yang bergantung pada faktor kehidupannya sendiri. Karakter adalah puncak dari kebiasaan, kejiwaan, dan budi pekerti yang didapat dari tingkah laku, etika dan sikap seseorang serta merupakan keunggulan setiap individu yang ditampilkan pada ranah sosial maupun individu. 21

Menurut F.W. Forester dalam Doni Kusuma, karakter adalah yang sebuah manifestasi pribadi seseorang.22 Karakter muncul sebagai pembeda

20

Kamus Besar Bahasa Indonesia V (Kelima) Kemedikbud 2016, Makna Pendidikan.

21Agus Zainul Fitri, Pendidikan Krakter Berbasis Nilai & Etika di Sekolah (Jakarta : Ar-Ruzz Media, 2012), 20.

22 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global (Jakarta: Grasindo, 2007), 42.

(20)

11

dan identitas seorang manusia, yang kemudian dijadikan sebagai ciri, sifat dan watak guna menaggapi kontak sosial yang terjadi dan selalu berubah. Jadi karakter adalah sekumpulan tata nilai yang sudah menjadi watak dan kebiasaan yang tetap pada diri seseorang. Sebagai misal kebiasaan bekerja keras, ulet, jujur, sederhana. Masih menurut F.W. Foerster, bahwa ada empat ciri dasar pendidikan karakter, pertama keteraturan interior yang menilai setiap tindakan berdasarkan hierarki nilai atau tatanan norma. Kedua yaitu koherensi yang berarti bahwa seseorang harus berpegang pada prinsip dan berani berbuat kebenaran sehingga tidak menjadi ambigu. Koherensi ini merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Ketiga yaitu otonomi yang mempunyai maksud internalisasi nilai dan norma yang luhur menjadi kebiasaan dan sifat yang melekat pada diri seseorang. Dan yang terakhir yaitu keteguhan dan kesetiaan, keteguhan ini mengandung arti daya tahan guna melakukan apa yang dipandang baik, dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.23

Menurut Parwez dalam Yaumi menjelaskan bahwa karakter adalah moralitas yang artinya sesuatu yang terukir dalam diri seseorang, dan merupakan kekuatan batin yang memiliki dua jenis yaitu moral dan amoral.24 Karakter juga merupakan manifestasi kebenaran. Karakter sesorang dalam proses perkembangan dan pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor yaitu bawaan dan lingkungan. Karakter sesorang dalam proses perkembangan dan pembentukannya dipengaruhi oleh dua faktor

23 Ibid., 43.

24 Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter: Landasan, Pilar dan Implementasi (Jakarta: Prenadamedia, 2016), 7.

(21)

12

bawaan (nature) dan lingkungan. Karakter memiliki kekuatan terhadap diri sendiri. Dan karakter juga merupakan sikap manusia terhadap lingkungannya yang diekspresikan melalui tindakan dan perilaku sehari-hari.25 Sedangkan seorang yang berkarakter menurut pandangan agama, pada dirinya terkandung sifat-sifat terpuji seperti; jujur, amanat, cerdas dan berani. karakter menurut tori pendidikan yaitu; apabila sseorang memiliki potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang teraktualisasi dalam kehidupannya. Adapun menurut teori sosial seseorang yang berkarakter mempunyai logika dan rasa dalam hubungan intrapersonal dan interpersonal dalam kehidupan bermasyarakat.26

Kata dan makna karakter, akhlak, moral dan etika sering disamakan, memang keempat istilah ini secara sepintas memiliki terminologi makna dan pengertian yang sama. Namun, jika dilihat secara lebih jauh dari akar kata atau asal usul, barometer dan filosofis dan penerapan, maka dari keempat istilah itu bisa dibedakan. Perbedaan yang dapat dipaparkan di sini adalah sebuah argument yang menyatakan bahwa maksud dari masing-masing terminologi tersebut, jika dikaitkan dengan makna pendidikan, maka, makna pendidikan karkater lebih komprehensif. Adapun pendidikan moral dan etika lebih cenderung pada penyampaian nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah atas dasar norma-norma yang ada dimasyarakat. Sedangkan pada arti pendidikan akhlak bukan

25Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter, 7.

26Novan Ardy Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter (Yogyakarta:PT Pustaka Insan Madani,2012), 46.

(22)

13

bertujuan membentuk pribadi positif anak, akan tetapi lebih ke arah terwujudnya sikap mental dan kebatinan seseorang.27

Memahami beberapa definisi karakter di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan sikap maupun cara seseorang merespon segala stimulus dan permasalahan hidup disekitar mereka baik melibatkan kemampuan kognitif maupun emosi mereka dan teraktualisasikan dalam perilaku mereka baik dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat secara luas. Maka tidak dapat dinafikan bahwa peranan karakter sangat dominan dalam membentuk wajah suatu bangsa dan sangat menentukan kemajuan suatu Negara.

2. Tujuan pendidikan karakter

Socrates dalam Fatma berpendapat bahwa tujuan yang paling mendasar dari sebuah pendidikan adalah membentuk seorang menjadi good smart.28 Dalam sejarah islam, Rasulullah saw juga pernah mengajarkan bahwa beliau memiliki misi utama dalam mendidik manusia untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character). Ribuan tahun setelah itu, konsep utama rumusan tujuan pendidikan tetap pada wilayah serupa yakni pembentukan kepribadian manusia yang baik.29

Tokoh pendidikan karakter barat yang mendunia seperti Klipatrick, Lickona, Brooks, dan Goble seakan penyambung misi dari Rasulullah saw dan Socrates bahwa moral, akhlak atau karakter adalah tujuan yang tak terhindarkan dari dunia pendidikan. Begitu juga Marthin Luther King yang

27 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karkater Mulia, (Jakarta, Rajawali Pers, 2014), 14. 28 Fatma, “Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg Dalam Dinamika Pendidikan Karakter”, 276.

29

(23)

14

menyetujui pemikiran tersebut dengan mengatakan “Intelegence plus character that is the true aim of education”.30

Pendidikan karakter sebagai dasar pembentukan demokrasi sangatlah penting dalam usaha mencapai suatu keberhasilan kehidupan yang demokratis. Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, maka rakyat pulalah yang bertanggung jawab dalam membentuk suatu kehidupan dalam konteks kebebasan bagi mereka sendiri. Hal ini berarti masyarakat seharusnya memahami dan berkomitmen bahwa pendidikan karakter sebagai dasar demokrasi adalah menghargai hak-hak individu, menghormati hukum yang berlaku, sacara sukarela terlibat dlam kehiduopan bermasyarakat dan memiliki kepedulian untuk bersikap baik. Loyalitas terhadap kesopanan dalam berdemokrasi tersebut harus sudah mulai ditanamkan sejak dini.31

Pendidikan karakter bertujuan unutk menuju kearah manusia

ka>ffah. Oleh karena itu pendidikan karakter memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa. Periode yang paling sensitive adalah pendidikan keluarga yang menjadi tanggung jawab orang tua. Pola asuh adalah salah satu factor yanag secara signifikan turut membentuk karakter anak yang tidak bisa digantikan oleh lembaga pendidikan manapun.

30 Fatma, “Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg Dalam Dinamika Pendidikan Karakter”, 277.

31 Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and

(24)

15

3. Dasar pembentukan karakter

Dasar atau fondasi karakter berasal dari pelaku karakter itu sendiri yaitu manusia. Manusia sebagaimana disebutkan dalam al-Quran mempunyai dua potensi yakni baik dan buruk, lebih tepatnya dalam al-Quran surah as-Shams ayat 8 dijelaskan dengan istilah fuju>r (keburukan) dan taqwa (kebaikan). Manusia adalah makhluk yang memiliki dua kemungkinan jalan, menjadi makhluk yang beriman ataupun ingkar pada Tuhanya. Adapun orang yang senantiasa menyucikan dirinya pasti termasuk orang yang beruntung, dan orang yang merugi akan jatuh pada pihak yang mengotori dirinya, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (as-Shams: 8).

Berpijak pada terjemahan ayat di atas, setiap manusia memiliki potensi untuk menjadai hamba yang baik (positif) dan buruk (negatif), menjalankan perintah Tuhan atau melanggar larangan-Nya, menjadi orang yang beriman atau kafir, mukmin atau musyrik. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna.32

Dasar-dasar pembentukan karakter berbasis nasionalis:

a. Rasa cinta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segenap ciptaan-Nya, termasuk cinta kasih saying terhadap sesame, cinta dami.

b. Pendidikan yang memadai, formal maupun nonformal. c. Disiplin, terhadap waktu, tempat dan peraturan yang ada.

d. Percaya diri, adil, mandiri, dapat bertoleransi, baik dan rendah hati.

32Agus Zainul Fitri, Pendidikan, Karakter Berbasis Nilai & Etika Di Sekolah (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), 34-36.

(25)

16

e. Siap bekerja keras, pantang menyerah, kreatif, bekerja sama, menolong dan berbagi dengan teman.

f. Jujur, bertanggung jawab, santun, hormat pada orang lai, ada kepedulian.

Berdasar 6 pilar penyangga ini, anak dapat dibangun karakternya sejak dini. Anak yang tumbuh dilingkungan orang-orang yang berkarakter baik akan memiliki karakter baik pula, hal ini disebabkan oleh teladan atau contoh yang dilihat dan dialami sehingga kesemua itu merupakan modal bagi anak itu.33

Ada empat jenis pendidikan karakter menurut basisnya yaitu:34 a. Pendidikan karakter berbasis religius

b. Pendidikan karakter berbasis kultur atau budaya c. Pendidikan karakter berbasis lingkungan

d. Pendidikan karakakter berbasis potensi diri. 4. Tahap–tahap pembentukan karakter

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesi edisi V, tahap diartikan sebagai bagian dari perkembangan (pertumbuhan), jenjang.35 Membentuk karakter pada diri anak memerlukan suatu tahapan yang dirancang sistematis dan berkelanjutan. Sebagai individu yang berkembang, anak memiliki sifat meniru tanpa mempertimbangkan baik dan buruk. Hal ini di

33Dwi yani Lukitaningsih, Pendidikan Etika, Moral Kepribadian dan Pembentukan Karakter (Jogjakarta: Media utama, 2011), 50.

34

Yahya Khan, Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), 2.

(26)

17

dorong oleh rasa ingin tahu, dan ingin mencoba sesuatu yang ingin diminati yang terkadangkala muncul secara spontan.

Anak akan melihat dan meniru apa yang ada disekitarnya, bahkan apabila hal itu sangat melekat pada diri anak akan tersimpan dalam memori jangka panjang (Long Term Memory). Apabila yang tersimpan dalam LTM adalah hal yang positif (baik), reproduksi selanjutnya akan menghasilkan perilaku yang konstruktif. Namun, apabila yang masuk ke dalam LTM adalah sesuatu yang negatif (buruk), reproduksi yang akan dihasilkan adalah hal-hal yang destruktif.36

Pendidikan karakter adalah sebuah proses berkelanjutan dan tak pernah berakhir selama sebuah bangsa ada dan ingin tetap eksis. Pendidikan karakter harus menjadi bagian terpadu dari pendidikan alih generasi.

Proses pendidikan karakter akan melibatkan ragam aspek perkembangn peserta didik, seperti kognitif, konatif, afektif serta psikomotorik. Sebagai kebutuhan holistik (utuh) dalam konteks kehidupan kultural. Karakter tidak dapat dibentuk dalam perilaku instan dan bisa dilombakan. Pengembanagan karakter harus menyatu dalam proses pembelajaran yang mendidik, disadari oleh guru sebagai tujuan pendidikan, dikembangkan dalam suasana pembelajaran transaksional dan bukan instruksional dan dilandasi pemahaman secara mendalam terhadap perkembangn peserat didik.

36 Dale H. Schunk, Learning Theories an Educational Perspective, Terj. Eva Hamdiah, Rahmat Fajar, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2012), 234.

(27)

18

Tahap pembentukan karakter menurut Schunk dimulai dari pengolahan informasi ketika sebuah input stimulus mengenai satu atau lebih bagian pancaindera misalnya penglihatan dan peraba. Register sensorik yang seseuai menerima input dan menyimpan sebentar dalam bentuk rekaman inderawi. Di sinilah persepsi atau pengenalan pola terjadi, yaitu proses pemberian makna terhadap sebuah input stimulus. Proses ini biasanya tidak termasuk penamaan karena penamaan memerlukan waktu dan informasi hanya berdiam di register sensorik selama seper sekian detik. Dalam persepsi inilah terjadi pencocokan sebuah input dengan informasi yang telah diketahui.37

5. Al-Ghazali

Nama Iengkapnya ialah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad bin Ahmad, Imam besar Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam.38 Dia diberi gelar dengan zainu al-di>n 39 berkebangsaan Persia asli, lahir pada tahun 450 H/1058 M di Thus, sebuah kota kecil di Khurasan (sekarang Iran), di sini pula al-Ghazali wafat di Nazran tahun 505 H/1111 M. al-Ghazali merupakan salah seorang pemikir yang muncul pada masa pasca puncak kemajuan Islam.40

Dia adalah pemikir ulung Islam yang menyandang gelar “pembela Islam” (h}ujjatu al-isla>m), hiasan agama (zainu al-di>n), samudra yang

37 Dale H. Schunk, Learning Theories An Educational Perspective, Terj. Eva Hamdiah, Rahmat Fajar, (Yogyakarta, Pustaka Belajar, 2012), 231

38 Imam Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin: atau Mengembangkan Ilmu-ilmu Agama, terj. Ismail Yakub (Singapura: Pustaka Nasional PTE LTD, 2003), 24.

39 Shaleh Ahmad Asy-Syami, Biografi Imam Al-Ghazali: Hujjatul Islam dan Pembaru Kurun Ke-5

(450-505 Hijrah), terj. Arifin Ladari (Kuala Lumpur: Jasmin Enterprise, 2007), 15. 40 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), 13.

(28)

19

menghanyutkan (bah{run mughriq), dan pembaharu agama. Gelar ini didasarkan pada keluasan ilmu dan amalnya serta hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan dalam mempertahankan ajaran agama dari berbagai serangan.41

6. Soemarno Soedarsono

Soemarno Soedarsono adalah seorang Brigadir Jendral TNI (Purn.) Dia seoarang pendidik yang berpengalaman dibidang pendidikan baik di akademi militer, Lemhanas maupun di lembaga pemerintahan dan swasta. Dia dilahirkan di Magelang tanggal 7 Agustus 1930. Pendidikan yang dia tempuh mulai dari KMA (Koninklijke Militaire Academie) Bred Belanda, lulusan Assoc Advanced Artillery Course Sill di Oklahoma USA, pernah belajar juga di IDMC di California USA dan Seskoad Bandung serta Lemhanas RI.42

Dia adalah salah seorang pendiri Yayasan Jati Diri Bangsa (YJDB) pada tahun 2002, yayasan inilah yang selanjutnya dikenal sering menggelar character building diberbagai kalangan. Salah satu penggagas pendidikan karkater di Indonesia pada tahun 2010.

G. Penelitian Terdahulu

Untuk mengetahui kajian dan sub kajian yang sudah dikaji ataupun belum pada penelitian terdahulu, maka perlu adanya perbandingan yang

41 C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991), 103.

42 Soemarno Soedarsono, Character Building Membentuk Watak (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2002), 87.

(29)

20

menunjukkan perbedaan dan persamaan dengan penelitian ini, di antara

penelitian terdahulu yang menurut peneliti dapat untuk dijadikan acuan adalah: 1. Lukman Latif, (2016) Pemikiran Imam Al Ghozali Tentang Pendidikan

Akhlaq. Tesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.

Hasil menunjukkan bahwa tujuan pendidikan akhlak untuk meraih ridlo Allah. Materi pendidikan akhlak adalah akhlak terhadap diri sendiri dan akhlak terhadap orang lain. Metode yang ditawarkan Imam al-Ghazali adalah tidak menggunakan metode tertentu selama tidak bertentangan dengan syari‟at islam.43

2. Suhaidi, (2011) Konsep Pembinaan Moral (Studi Komparatif Antara Al-Ghazali dengan Lawrence Kohlberg). Tesis, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep pembinaan moral menurut al-Ghazali haruslah melalui jalan sufi sedangkan menurut Lawrence Kohlberg ada tiga komponen utama perkembangan moral yaitu moral yang mengetahui, perasaan moral dan perilaku moral yang sebanding dengan aspek moral dan perkembangan.

3. Musyarofah, (2017) Metode Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali. Tesis, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode pendidikan akhlak menurut al-Ghazali adalah Riya>doh dan Muja>hadah. Cara menjalankan metode ini dengan suri tauladan, nasehat, perintah dan larangan serta pujian.

43 Lukman Latif, “Pemikiran Imam Al Ghozali Tentang Pendidikan Akhlak” (Tesis--Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2016), 145.

(30)

21

Sedangkan factor yang mempengaruhi metode adalah tujuan, latar belakang peserta didik dan situasi kondisi.

4. Abd. Kholiq, (2015) Pendidikan Karakter Perspektif Imam al-Ghazali (Studi Analisis Terhadap Pemikiran dan Nilai). Tesis, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan karkater persepktif Imam al-Ghazali di dalam buku Ayyuha al Walad, yaitu, kemantapan jiwa yang menghasilkan perbuatan dan pengalaman.

5. Dyah Mariah Ulfa, (2012) Pendidikan Karakter Di Madrasah Niz{amiyah Pada Masa Dinasti Abbasiyah (Sebuah Studi Diskriptif Analitis). Tesis, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, pendidikan karakter di Madrasah Niz{amiyah pada kepemimpinan al-Ghazali menekankan pada tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah terbentuknya karakter mulia pada peserta didik.

Jika dibandingkan dengan judul penelitian-penelitian di atas dengan penelitian yang akan peneliti bahas, terdapat perbedaan yaitu penelitian di atas lebih menitik beratkan pada materi, tujuan dan metode yang al-Ghozali tawarkan. Juga perbedaan dan persamaan konsep al-Ghazali dan Lawrence Kohlberg yang mengarah kepada basis dasar agamis dan sosialis, sementara dalam penelitian ini adalah lebih fokus kepada konsep dan dasar pendidikan karakter yang berbasis agamis dan nasionalis.

(31)

22

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penulisan tesis ini penulis menggunakan data-data literature, sedangkan penelitiannya bersifat literature research yaitu data-data diambil daru buku-buku, makalah, jurnal dan lain-lain yang menyediakan data-data yang berkaitan dengan pembahasan tesis ini. Jenis penelitian ini disebut penelitian pustaka atau juga dikenal dengan istilah kajian pustaka, yaitu bentuk penampilan argumentasi penalaran keilmuan yang memaparkan hasil kajian pustaka dan hasil olah pikir peneliti mengenai suatu masalah/topik.44

Adapun jenis pendekatan yaitu menggunakan pendekatan filosofis-sosiologis, dimana pendekatan filosofis memandang bahwa manusia adalah makhluk rasional sehingga segala sesuatu yang menyangkut perkembangan berdasarkan sejauh mana kemampuan berfikirnya dapat dikembangkan sampai titik maksimal. Sedangkan sosiologis mengacu kepada interaksi hubungan dengan manusia, lingkungan dan masyarakat.

2. Sumber Data a. Sumber primer

Data primer yaitu data yang langsung dan segera dapat diperoleh dari sumber data oleh penyelidik untuk bertujuan khusus.45 Atau dengan kata lain data ini meliputi bahan yang langsung berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang menjadi objek penelitian ini, diantara karya Imam al-Ghazali tentang pendidikan karakter adalah sebagai berikut:

1) Kitab Ayyuha al-Walad

44Ali Saukah, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Malang: IKIP Malang, 2000), 28. 45

(32)

23

2)Ih}ya’ ‘Ulumu al-Di>n

Dan karya yang ditulis oleh Soemarno Soedarsono, diantara karya Soemarno Soedarsono tentang pendidikan karakter adalah:

1) Karakter Mengantar Bangsa dari Gelap Menuju Terang 2) Membangun Kembali Jati Diri Bangsa

3) Character Building Membentuk Watak b. Sumber sekunder

Data yang dimaksud adalah berbagai bahan yang tidak langsung berkaitan dengan objek dan tujuan dari penelitian ini, bahan tersebut diharapkan dapat melengkapi dan memperjelas data primer.46 Data ini berupa buku-buku, artikel, jurnal bukan karangan al-Ghazali dan Soemarno Soedarsono, akan tetapi berisi tentang hal-hal yang dengan permasalahan yang akan dikaji, serta secara fungsional berguna untuk menunjang kelengkapan data primer.

3. Prosedur Pengumpulan/Perekaman Data

Teknik analisa data yang ditempuh peneliti adalah metode perbandingan analisis literature.

a. Pengumpulan kepustakaan secara langsung maupun tidak langsung yang dianggap berkaitan dengan tema yang dibahas.

b. Menelaah secara komperhensif dari literature satu demi satu serta membuat catatan yang dianggap penting dengan kajian yang dibahas. 4. Tehnik Analisis Data

46

(33)

24

Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis bahan-bahan yang telah dihimpun oleh peneliti. Kegiatan analisis dilakukan dengan menelaah data, menata, membagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensintesis, mencari pola, menemukan apa yang bermakna, dan apa yang diteliti dan dilaporkan secara sistematik. Data tersebut terdiri dari deskripsi-deskripsi yang rinci mengenai pengertian, pemahaman, tujuan, relevansi, dan terapan tentang konsep yang ada. Dengan kata lain, data merupakan deskripsi dari pernyataan-pernyataan seseorang tentang perspektif, pengalaman, atau sesuatu hal, sikap, keyakinan, dan pikirannya serta petikan-petikan isi dokumen yang berkaitan dengan suatu program.47

Sedangkan langkah-langkah dalam menganalisis tesis ini yaitu: a. Pendapat-pendapat mengenai kajian-kajian dan membandingkanya antara

satu dan yang lainnya.

b. Mengemukakan pendapat dan penilaian sendiri terhadap pandangan-pandangan mengenai studi yang akan dibahas.

c. Menyatakan pendirian dan kesimpulan mengenai kajian yang akan diteliti.

I. Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah penulisan dan pemahaman secara menyeluruh tentang penelitian ini, maka sistematika penulisan laporan dan pembahasannya disusun sebagai berikut:

(34)

25

Bab kesatu, pendahuluan, meliputi latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, terdiri dari sub bab sebagai berikut: pendekatan dan jenis penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisa dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, Teori dan konsep pendidikan karakter, hakekaat, dasar, tujuan dan tahap-tahap pendidikan karakter.

Bab ketiga, Biografi al-Ghazali dan Soemarno Soedarsono: latar belakang sosio kultural dan pendidikan .

Bab keempat, analisis terhadap pemikiran al-Ghazali dan Soemarno Soedarsono tentang pendidikan karakter.

Bab kelima, Penutup dan kesimpulan. Kesimpulan dimaksudkan untuk menjawab rumusan-sumusan masalah.

(35)

BAB II KAJIAN TEORI

A. Definisi Pendidikan Karakter

1. Arti Pendidikan

Para ahli pendidikan menemui kesulitan dalam merumuskan arti dari pendidikan. Kesulitan itu antara lain disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan serta aspek kepribadian yang dibina dalam kegiatan itu, masing-maisng kegiatan dapat disebut dengan pendidikan. Dengan kata lain, kesulitan ini didasari pada banyaknya jenis kegiatan dan luasnya aspek yang harus dibina oleh pendidikan.1

Arti pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelaatihan.2

Pengertian ini senada dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

1 Ahmad Tafsir, Metodologi Pengjaran Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1997), 5.

2 Kemedikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia V (Kelima), (KBBI V 0.2.1 Beta (21) Online, 2016), Makna Pendidikan.

(36)

27

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan di masyarakat, bangsa dan negara.3

Terdapat beberapa istilah yang digunakan dalam al-Quran untuk mendefinisikan arti pendidikan di antara terdapat dalam surat al-Baqaroh ayat 31.

َهَّنَعَو

َمَداَء

َءٓاَىۡس

َ ۡ

لۡٱ

َ َعَل ۡهُُ َضَرَع َّهُث اََُّ ُكُ

ِةَكِهَٰٓ

َلَىۡلٱ

َلاَقَف

ِبنۢ

َ

أ

ُٔ

ََ ِيِقِ َٰ ۡهُتٌُك نِإ ِء

ٓ َلَُؤَٰٓ َٰٓ ِءٓاَىۡسَسِأ ِي ِ

٣١

Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!

Kata yang pertama adalah „allama, yang dalam kamus al-Munawwir berarti mengajarkan.4 Sehingga dapat dipahami dari ayat di atas bahwa Allah telah mengajarkan sesuatu kepada nabi Adam yaitu memberi tahu nama-nama benda, yang berarti mengajarkan dari yang tidak tahu menjadi tahu.

Kata yang kedua adalah rabba sebagaimana tersebut dalam surat al-Isra‟ ayat 24:

ۡضِفۡخٱَو

َحاٌََج اَىَُُل

ِ

ّلُّلذٱ

َيِو

ِةَ ۡحَّۡرلٱ

ِّبَّر لُقَو

اَىُُۡ َحۡۡرٱ

اَىَك

ا يرِغ َص ِنِاَيَّبَر

٢٤

3 Depdiknas RI, Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi, 2003), 2.

4 Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (kamus Arab-Indonesia), cet. 14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 965.

(37)

28

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil"

Arti kata rabba adalah mendidik/mengasuh,5 dari ayat ini dapat dipahmi bahwa pendidikan atau pengasuhan dimulai dari sejak kecil, yang di dalamnya terdapat proses dan pengulangan pemberian informasi. Ibnu al-Qoyyim dalam Ali al-H}ijazi mengungkapkan bahwa pendidikan secara Bahasa diambil dari kata at-Tarbiyyah yang memiliki arti merawat, mendidik, menumbuhkan, memimpin, memiliki, memperbaiki. Dalam akar kata yang sama juga yaitu rabb yang memiliki arti majikan, guru, pendidik, yang memberi nikmat, yang mengurus.6

Jadi pendikan di dalam al-Quran dapat diartikan sebagai proses pengenalan dan pemberian informasi yang dimulai dari kecil ataupun balita yang bertujuan untuk membentuk kepribadian yang tangguh dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Terkait dengan arti pendidikan yang lain, Hasan Langgulung menjelaskan bahwa yang dimaksud pendidikan adalah proses untuk menjadikan seseorang berpola tingkah tertentu pada tahap di mana orang itu seadang menjalani masa pendidikan.7

5 Ibid., 969.

6

Hasan bin Ali al-Hijazi, al-Fikru at Tarbawi „Inda Ibnil Qoyyim, (Jeddah: Daar al-Hafidz: 1988), 156.

(38)

29

Arifin mengatakan bahwa pendidikan adalah susatu proses yang bertujuan untuk membentuk kemampuan dasar yang fundamental, yang mencakup daya pikir, daya rasa, guna menjadi manusia yang sempurna.8

Begitu juga dengan Mustafa al-Ghulyani mengemukakan bahwa pendidikan adalah usaha untuk menanamkan akhlak mulia terhadap anak-anak dengan memberikan nasehat, petunjuk dan arahan sehingga tebentuklah manusia yang berkarakter baik.9

Kemudian Naquib al-Attas menyebutkan dalam bukunya Islam, Secularism, and the Philosophy of the Future bahwa pendidikan adalah suatu proses penanaman sesuatu kepada manusia yang diaktualisasikan melalaui metode dan sistem pembelajaran.10

Senada dengan para tokoh di atas, Abudin Nata menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha yang di dalamnya ada proses belajar guna menumbuhkan dan menggali berbagai macam potensi fisik, psikis, bakat, minat yang dimiliki oleh si terdidik.11 Sehingga peserta didik yang mulanya tidak tahu apa-apa, tidak bias apa-apa, menjadi seseorang yang mempunyai keahlian dan kompetensi sejalan dengan proses dan usaha yang dilaluinya.

Rupert C. Lodge dalam Tafsir mengatakan bawaha pengertian yang luas akan pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Anak mendidik orang tua, murid mendidik gurunya, semuanya itu baik yang disebut atau dilakukan oleh selain kita dapat disebut dengan mendidik, begitupun

8 M. Arifin, FIlsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 32. 9 Al-Ghulyani, „Idzotun Nashihin (Surabaya: Al-Hidayah, 2008), 31. 10

Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam, Secularism, and the Philosophy of the Future, (New York: Mansell Publising Limited, 1985), 173.

(39)

30

sebaliknya, semua yang orang ucapkan dan lakukan adalah mendidik juga. Jadi pendidikan adalah kehidupan dan kehidupan ini adalah pendidikan.12

Park dalam Barten menyebutkan pendidikan adalah sebuah seni atau proses yang penting atau proses mendpatkan pengetahuan dan kebiasaan melalui pembelajaran. Di dalam definisi ini, kegiatan pendidikan diletakkan di pengajaran, sedangkan segi kepribadian yang dibina adalah aspek kognitif dan kebiasaan.13

Definisi pendidikan yang lain disampaikan oleh Theodore Mayer dalam Bahroin, pendidikan adalah usaha untuk menyiapkan diri menuju kehidupan yang bermakna. Sehingga dalam definisi ini cakupan pendidikan luas sekali.14

Maka pendidikan yang akan dipahami di sini adalah usaha meningkatkan diri dalam segala aspeknya, yang mencakup kegiatan pendidikan yang melibatkan guru dan tidak melibatkan; mencakup yang formal dan nonformal maupun informal dan segi yang di bina adalah kepribadian atau karakter.

2. Pengertian Karakter

Menurut Wayne sebagaimana dikutip oleh Subur, mengungkapkan bahwa, karakter berasal dari Bahasa yunani “karasso” yang berarti menandai atau mengukir, yang memfokuskan bagaimana cara mengapikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tungkah laku.

12 Ahmad Tafsir, Metodologi. 5. 13

Bartens K, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Umum, 1997), 9.

14 Bahroin S, Mendidik Anak Melalui Pendekatan Seni, Bermain dan Cerita, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), 12.

(40)

31

Sedangkan Majid dan Andayani menyebutkan bahwa karakter berasal dari Bahasa latin “kharassein” yang berarti membuat tajam atau membuat dalam.15

Karakter menurut Kementerian Pendidikan Nasioanl adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu unutk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.16 Individu yang berkarkater baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang dibuatnya.

Hal yang sama disampaikan oleh Saunders sebagaimana dikutip oleh Subur bahwa, karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh individu, dan sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu.17 Gulo W menjelaskan juga bahwa karakter adalah kepribadian yang ditinjau dari titik tolak etis atau moral, seperti kejujuran, yang mempunyai sifat relative tetap. Juga disampiakan oleh Kamisa bahwa karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak dan budi pekerti yang membedakan seorang dari yang lain, tabiat, watak dan kepribadian.18

Karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak, budi pekerti, yang membedakan seseorang dari orang lain atau tabiat dan juga watak.19 Sehingga karakter merupakan kepribadian mendasar dalam kehidupan

15 Abdul Majid dan Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2011), 2011.

16

Subur, Pembelajaran Nilai Moral Berbasis Kisah, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), 12. 17 Ibid., 126.

18 Ibid., 28.

(41)

32

seseorang yang digunakan sebagai ukuran atau indikator perilaku kehidupan bermasyarakat.

Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak, atau pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum tatakrama.20

Guna mendapatkan gambaran yang jelas tentang konsep karakter, perlu kiranya penjelasan dan ulasan mengenai beberapa term atau istilah yang senada dengan karakter yaitu akhak, etika dan moral.

a. Untuk mendefinisikan pengertain akhlak dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu etimologi dan terminology. Secara etimologi akhlak berasal dari Bahasa arab yaitu al-Khuluq yang berarti karakter atau watak atau tingkah laku, budi pekerti, tabiat, pembawaan.21

Dalam Kamus Besar Bahasa Indoensia akhlak berarti budi pekerti dan kelakuan.22 Ini berarti semua kelakuan manusia baik maupun buruk dinamakan akhlak.

Dari segi terminology, beberapa pakar dalam bidang akhlak seperti Ibn Miskawaih, mengatakan:

ةيؤر لاو ركف يرغ نم الذاعفأ لىإ الذ ةيعاد سفنلل لاح

20 Agus Zainul Fitri, Pendidikan Krakter Berbasis Nilai & Etika di Sekolah (Jakarta : Ar-Ruzz Media, 2012), 20.

21

Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir

22 Kemedikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia V (Kelima), (KBBI V 0.2.1 Beta (21) Online, 2016), Makna Akhlak,

(42)

33

bahwa akhlak adalah keadaan jiwa yang mendorong pelakunya untuk berbuat tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.23

Sedangkan menurut al-Jurjani, akhlak adalah suatu sifat (baik atau buruk) yangtertanam dalam diri manusia yang darinya telahir perbuatan-perbuatan dengan mudah dan rigan tanap perlu pemikiran yang panjang dan perenungan.

Senada dengan itu, Ahmad bin Mustafa dalam Subur menjelaskan, akhlak adalah ilmu yang darinya dapat diketahui jenis-jenis ketamaan yang terwujud dalam keseimbangan antara kekuatan berpikir, amarah, dan syahwat.24

Jika dilihat dari beberapa pengertian tokoh di atas, sebenarnya tidak ada perbedaan yang mendasar pada masing-masing pengertian. Akhlak pada umumnya merujuk pada kebiasaan kehendak. Ini berarti bahwa kalua kehendak itu dibiasakan maka kebiasaan itulah yang dinamakan akhlak.25

Al-Quran menjelaskan bahwa akhlak sebagai tujuan terpenting bagi individu, keluarga dan masyarakat muslim. Akhlak adalah buah ajaran Islam yang dipetik untuk manusia dan kemanusiaan yang membuat kehidupan menjadi manis dan indah. Tanpa akhlak sebagai

23 Ibn Miskawaih, Tahdzibu al-Akhlaq Wa al-Araq (Mesir: al-Mathba‟ah al-Husainiyyah al Mishriyyah, 1329 H), 25.

24

Subur, Pembelajaran Nilai Moral Berbasis Kisah, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), 65.

25 Doni. A Kusuma, Pendidikan Karakter; Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta:

(43)

34

fondasi aspek jiwa dan sosial seseorang, maka tidak aka nada bedanya antara komunitas manusia dan komunitas hewan.26

Allah SWT telah memberikan contoh akhlak yang baik seperti dalam asma>u al-h{usna dan pada diri Rasulullah SAW, agar manusia meneladani dan mengaplikasikannya dalam kehidupan di dunia. Sedangkan untuk akhlak yang tercela Allah SWT menisbatkan kepada orang-orang kafir dan musyrik, agar manusia menjauhinya.27

b. Etika secara Bahasa berasal dari Bahasa Yunani yang berarti kebiasaan. Kebiasaan merupakan suatu hal yang lumrah yang biasa dilakukan dan dikerjakan28 berdasarkan suatu system nilai dalam masyarakat tertentu. Etika lebih banyak berkaitan dengan salah satu cabang ilmu yaitu filsafat, sehingga standar baik dan buruk ditentukan oleh akal manusia.29

Etika merupakan cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai bak dan buruk yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang yang dilakukan dengan penuh kesadaran berdasarkan logika pemikiranya.30

c. Kata Moral berasal dari Bahasa latin yaitu mores, dari suku kata “mos”, yang berarti suatu aturan yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendpaat atau perbuatan

26 Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al Ma‟arif, 1995), 65.

27 Subur, Pembelajaran. 76.

28 Kemedikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia V (Kelima), (KBBI V 0.2.1 Beta (21) Online, 2016), Makna Kebiasan.

29

Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2012), 29.

30 Imam Khanafi Al-Jauhari, Filsafat Islam Pendidikan Tematik (Pekalongan: STAIIN Press, 2010), 94.

(44)

35

yang secara layak dapat dikatakan benar atau salah, baik ataupun buruk.31

Senada dengan itu, Prent sebagaimana dikutip oleh Subur mengartikan moral adaah adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, perasan, sikap, akhlak dan cara berpikir. Sedangkan Ouska dan Wallen dalam buku yang sama mengartikan moral adalah prinsip baik dan buruk yang ada dan melekat dalam diri seseorang.32

Meskipun moral berada di dalam diri individu, akan tetapi moral berada di dalam suatu sistem yang berwujud sebagai aturan. Dengan demikian, seseorang akan dapat dikatakan moralis apabila memiliki moral dalam mematuhi maupun menjalankan aturan.33

Moral dalam istilah merupakan suatu yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat dan perangai, kehendak, pendapat maupun perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar atau salah, baik atau buruk, sehingga moral dapat memberikan batasan terhadap aktivitas mausia dengan nilai baik atau buruk.

Memperkuat akan hal itu, Abdullah mengartikan sebagai aturan normative yang beraku dalam masyarakat tertentu. Istilah ini juga sering digunakan untuk merunjuk pada aturan-aturan dan tingkah laku manusia.

31 Nur Hidayat, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali, 2012), 96. 32

Subur, Pembelajaran, 54.

33 Mursyidin, Moral Sumber Pendidikan; Sebuah Formula Pendidikan Budi Pekerti pada Sekolah/

(45)

36

Moral berbeda dengan etika, moral merupakan tatanan nilai yang sudah jadi dan siap pakai, sementara etika adalah stufi krisis terahdapa moralitas yang tidak lain adalah obyek material dari etika.34

Pada dasarnya moral adalah perbuatan, tingkah laku, ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan Sang Pencipta, antar sesame dan dirinya sendiri. Walaupun moral itu berada dalam diri individu, akan tetapi moral berada dalam suatu sistem yang berwujud aturan. Disamping berupa aturan, moral yang melekat dalam diri individu adalah ras, sedangkan yang melekat dalam masyarakat bias berupa budaya. Sehingga orang yang bermoral dan tidak bermoral adalah jika seeorang melakukan tindakan sesuai dengan nilai dan rasa dan budaya yangberlaku ditengah masyarakat tertentu, jika diterima dalam masyarajt tersebut berbarti dia mempunyai moral.35

Setelah melihat ketiga istilah di atas. Para ahli berbeda pendapat tentang arti makna karakter dan akhlak.36 Ada yang menyebutnya sama dan ada yang menganggap karakter berbeda dengan akhlak, etika maupun

34 M. Amin Abdullah, Filsafat Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 45.

35

Muh. Damami, Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFI, 2002), 32. 36Agus Setiawan, “Pendidikan Karakter Dalam Islam: Studi Komparasi Pemikiran Al-Ghazali dan Burhanudin Al-Zarnuji”, Dinamika Ilmu, Vol. 14, No. 1 (Juni, 2014), 5. Liat juga, Yudi Hartanto, “Analisis Muatan Kurikulum Pendidikan Karakter Dalam KTSP Ditinjau Dari Pembangunan Karakter Bangsa”, Agastya, Vol. 2, No. 2 (Juli, 2012). Liat juga, Deddy Febriasnyah dkk, “Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Pembuatan Dompet Punch Zaman Now”, Jurnal Pemikiran dan Pengembangan SD, Vol. 6, No. 1 (April, 2018). Liat juga, Reksiana, “Kerancuan

Istilah Karakter, Akhlak, Moral dn Etika”, Thaqafiyyat, Vol. 19, No. 1 (Juni, 2018). Liat juga, Bulferik Manullamg, “Grand Desain Pendidikan Karakter Generasi Emas 2045”, Jurnal Pendidikan Karakter, Vol. 3, No. 1 (Februari, 2013). Liat juga, Ibrahim Sirait dkk, “Implementasi Pendidikan Akhlak Dalam Pengembangan Pendidikan Karakter Di Madrasah Aliyah (MAN) 1 Medan”, Edu RIligia, Vol. 1, No.1 (Oktober-Desember, 2017). Liat juga, Sri Winarni, “Integrasi Pendidikan Karakter Dalam Perkuliahan”, Jurnal Pendidikan Karakter”, Vol. 3, No. 1 (Februari, 2013).

(46)

37

moral. Secara konseptual, konsep karakter dapat diartikan sebagai usaha terus menerus seorang individu atau kelompok dengan berbagai cara untuk mengembangkan, mengukir atau melambangkan sifat-sifat kebajikan pada dirinya maupun orang lain.37

Karakter merupakan suatu unsur antropologis manusia, yang berarti manusia dapat mengungkapkan kebebasanya dan mengatasi keterbatasan dirinya. Hal ini mengisyaratkan bahwa, karakter bukan sekedar hasil dari tindakan melainkan juga dapat dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas masing-masing orang untuk hidup dan menjalin hubungan yang baik antar sesama.

Karakter juga dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan yang didasari oleh norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, adat istiadat, dan estetika.38

3. Pengertian Pendidikan Karakter

Berangkat dari definisi masing-masing kata di atas, pendidikan karakter adalah suatu proses dan usaha untuk menanamkan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan yang didasari oleh norma-norma

37 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), 347. 38

Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 42.

(47)

38

agama, hukum, tata karma, budaya, adat istiadat, dan estetika di dalam sekolah maupun d luar sekolah.

Sependapat dengan makna di atas, Mulyasa mengatakan pendidikan karakter adalah proses untuk menanamkan kebiasaan tentang hal-hal yang baik daam kehiupan, sehingga anakdidik memiliki kesadaran, pemahaman dan kepedulian serta komitmen untuk menerapkan kebaikan itu dalam kehidupan bermasyakat.39

Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona adalah usaha unutk memebentuk kepribadian seseorang melalui budi pekerti, yang tujuanya adalah tingkah laku yang baik, jujur, bertanggungjawab, kerja keras dan sebagainya.40 Menurutnya, pendidikan karakter memang sebuah usaha yang disengaja unutk membentuk seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.

Sedangkan menurut Suyanto, pendidikan karakter adalah kegiatan yang ditujukan untuk melatih cara berpikir dan berperilaku yang khas di setiap individu unutuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam kamus psikologi disebutkan bahwa pendidikan karakter adalah pelatihan kepribadian yang ditinjau dari titik tolalk etis atau moral. Sedangkan meurut Wibowo, pendidikan karakter adalah pendidikan budi

39 Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 3. 40

Thomas Lickona, Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility, Terj. Juma Abdu Wamungo, (Jakarta: Bumi Aksara, 2016), 51.

(48)

39

pekerti yang meliputi tiga aspek yaitu pengetahuan, perasaan, dan tindakan.41

B. Dasar Pendidikan Karakter

Dalam kamus Bahasa Indoensia arti dari dasar dan hakikat adalah sama yaitu dasar, intisari, kenyataan yang sebenarnya. Sedangkan arti dasar sendiri adalah tanah di bawah air, bagian terbawah, lantai, latar, lapisan terbawah, bakat, alas, fondasi, pokok, pangkal da nasal dari suatu bentukan.42

Dari seluruh pengertian di atas, bahwa kata hakikat dan dasar mempunyai arti sama dan digunakan dalam berbagai kegiatan pekerjaan, baik yang fisik maupun nonfisik, dan pada intinya berarti suatu yang berada di bawah. Namun dari segi fungsinya mengandung arti yang utama, penting, dan pokok, dasar tersebut selanjutnya menopang dan melandasi sebuah kegiatan atau pekerjaan yang dimaksud. Dalam hal ini ada dua dasar pendidikan karakter yaitu:

1. Agama

Hakekat atau dasar pendidikan karkater disandarkan kepada manusia yang memiliki dua potensi dalam dirinya, yaitu potensi unutk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Sebagaimana tersebut dalam al-Quran surat al-Balad ayat 10

ٍُِ َنۡيَقَََو

ِيۡيَقۡجَّلنٱ

١٠

Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan

41 Agus WIbowo, Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pstaka Pelajar, 2013), 38.

42

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dalam level ini diperlukan data masukan berupa : nama part , jumlah part dalam rak, alur produksi, dan identitas kartu, sebagai kontrolnya adalah template formulir

Adapun Data keaktifan belajar peserta didik kelas XI MA Al-Manshury Sungai Bakau Besar Laut sebelum melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode discovery learning yaitu

Kurangnya perhartian terhadap kehadiran kerja disebabkan oleh tidak adanya performance appraisal yang baik, PT Tunggal Inti Kahuripan memiliki sistem penilaian kinerja yang

(1) Hasil evaluasi dan penilaian kelayakan calon Varietas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 oleh TPV disampaikan kepada Penyelenggara Pemuliaan dalam jangka

1. Pemetaan persebaran daerah kecelakaan di Kabupaten Boyolali dapat dilakukan dengan cara Kartometrik dengan menggunakan citra dari Google Earth untuk mendapatkan

dapat dira*at dini.' Dia bahlGn nenyebut- kan usia sedini 4-5 tahun dengan kelaina. skeletal dan frmgsional perlu segera mendapatkan pera\4,atan orodonti. Namun cianelly

Hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan telah dikembangkan LKPD berbasis SETS pada materi dinamika rotasi dan keseimbangan benda