• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KEBIJAKAN KRIMINAL DENGAN MELUASNYA KEJAHATAN TERORGANISASI. Oleh : H. Muhammad Badri, S.H., M.H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN KEBIJAKAN KRIMINAL DENGAN MELUASNYA KEJAHATAN TERORGANISASI. Oleh : H. Muhammad Badri, S.H., M.H"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

52

HUBUNGAN KEBIJAKAN KRIMINAL DENGAN MELUASNYA

KEJAHATAN TERORGANISASI

Oleh :

H. Muhammad Badri, S.H., M.H

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan kebijakan kriminal dengan meluasnya kejahatan terorganisasidengan rumusan masalah “Hubungan Kebijakan Kriminal dengan Meluasnya Kejahatan Terorganisasi. Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Apabila diteliti perundang-undangan Narkotika, khususnya dari unsur-unsur tindak pidana yang dapat dibebankan pertanggungjawaban kapada kejahatan terorganisasi yang di lakukan oleh korporasi, terlihat bahwa Undang-undang Narkotika sama sekali tidak memuat ketentuan yang jelas dan tegas kapan suatu tindak pidana atau kejahatan terorganisasi yang dapat dilakukan oleh korporasi.

Key Note : Kebijakan Kriminal,Kejahatan,Terorganisir

A. Latar Belakang Masalah

Mengawali penulisan ini, kiranya terlebih dahulu perlu dikemukakan mengenai kebijakan hukum pidana sebagai perwujudan dari sebuah kebijakan kriminal. Upaya melindungi masyarakat melalui penanggulangan kejahatan yang merupakan inti dari kebijakan kriminal (criminal policy) merupakan bagian integral dari upaya mencapai kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan dari kebijakan sosial atau politik pembangunan.

Pendapat Mardjono Reksodiputro, kiranya dapat diambil bahwa kebijakan kriminal adalah upaya terpadu dan menyeluruh dalam melindungi masyarakat dari kejahatan untuk mendukung upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan kriminal pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat yang menjadi tujuan utama dari kebijakan atau politik sosial

(social policy).1

Kebijakan tersebut memiliki hubungan saling melengkapi. Politik pembangunan hanya akan dapat tercapai apabila didukung oleh sebuah kebijakan kriminal yang baik. Sebaliknya, kebijakan penanggulangan kejahatan tidak akan banyak artinya apabila politik pembangunan justru merangsang tumbuhnya kejahatan.

H. Muhammad Badri, S.H., M.H. adalah Dosen Tetap PS. Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Batanghari Jambi.

1Mardjono Reksodiputro, 2007, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana,

Kumpulan Karangan Buku Kelima, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga

(2)

53 Kejahatan terorganisasi (KTO) dimana setiap kejahatan selalu mempunyai struktur sosial tersendiri dan mempunyai penampilan tersendiri yang ditentukan oleh karakteristik sosial, politik dan ekonomi masyarakat yang bersangkutan.

Korporasi yang terlibat didalam KTO adalah perusahaan yang memang bertujuan melakukan kejahatan atau menutupi terjadinya kejahatan. Korporasi ini memang didirikan untuk melakukan kejahatan, seperti melakukan kegiatan “illegal banking” (bank dalam bank), penyelundupan (berkedok perusahaan impor-ekspor), perdagangan manusia (berkedok perusahaan penyalur tenaga kerja) dan sebagainya.

Kejahatan korporasi yang berbentuk KTO sering mempergunakan kekerasan. KTO sering dijelaskan adanya berbagai lapisan didalam organisasi kejahatan. Lapisan yang paling bawah adalah penjahat-penjahat kecil yang umumnya tidak terorganisasi secara baik.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka secara ringkas dapat dirumuskan masalah “Bagaimanakah Hubungan Kebijakan Kriminal dengan Meluasnya Kejahatan Terorganisasi?”

C.Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis Hubungan Kebijakan Kriminal dengan Meluasnya Kejahatan Terorganisasi

D.Metode Penulisan

Dalam tulisan ini digunakan pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

E. Pembahasan

Pendapat Roscoe Pound yang di kutip oleh sudartobahwa hukum sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) kiranya dapat menjadi pijakan yang tepat dalam melihat peranan hukum pidana terutama hubungan antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial. Pendapat mengenai peranan hukum pidana, dikemukakan antara lain oleh Sudarto bahwa hukum pidana berperan dalam usaha untuk mewujudkan peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat dan sebagai kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang dikandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.2

Untuk mencermati peranan hukum pidana dalam masyarakat, ada baiknya kita terlebih dahulu memahami pengertian dari kebijakan kriminal dan kebijakan hukum pidana. Mardjono Reksodiputro mengemukakan pengertian dari penanggulangan kejahatan dalam arti yang luas yakni sebagai segala usaha yang dilakukan oleh pemerintah (negara) dan

(3)

54 masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan (dan mereka yang mempunyai potensi untuk melakukan kejahatan) maupun setelah terjadinya kejahatan (penyidikan, pemeriksaan, peradilan, dan pembinaan si pelanggar hukum). 3

Menurut Mardjono Reksodiputro, upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui pelaksanaan peraturan perundang-undangan pidana oleh suatu sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang dibentuk oleh negara. Disamping itu negara (masyarakat) dapat pula berusaha melalui upaya-upaya sosial, seperti dalam bidang pendidikan, perbaikan taraf hidup masyarakat, mengurangi pengangguran dan lain sebagainya. Namun demikian, hukum pidana dalam banyak hal masih dianggap sebagai landasan utama agar angka kriminalitas berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.4Berbicara kebijakan hukum berhubungan

erat dengan usaha yang dilakukan agar hukum itu benar-benar hidup didalam masyarakat, dalam artian berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis.

Secara filosofis, berarti hukum berlaku sebagaimana yang dicita-citakan oleh hukum. Secara yuridis, berarti sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dan sosiologis, hukum dipatuhi oleh warga masyarakat.

Krisis kepercayaan terhadap hukum menyebabkan melemahnya partisipasi masyarakat dalam bidang hukum yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan peraturan peraturan-peraturan yang ada. Kekurangpercayaan akan kemampuan hukum untuk menjamin hak dan kewajiban mereka secara adil, materi peraturan hukum yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan para pelaksana atau penegak hukum yang tidak memberi contoh yang baik dalam kepatuhannya terhadap hukum

Kebijakan Hukum Pidana dalam kebijakan kriminal merupakan contoh dari meluasnya kejahatan terorganisasi yang dilakukan oleh korporasi. Kejahatan terorganisasi yang memegang peranan yang strategis dan penting dalam kehidupan masyarakat terutama sebagai katalisator percepatan pertumbuhan ekonomi nasional dan sebagai fasilitator dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks dalam dunia yang mengglobal saat ini.

Peranan positif kehadirannya ditengah masyarakat yang tidak tersentuh oleh peranan korporasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kehadiran korporasi menjadi lebih penomenal, dengan tumbuhnya pasar bebas yang menjadi konsekwensi dari globalisasi. Pasar bebas merangsang tumbuhnya berbagai bentuk usaha yang umumnya bergerak dalam bisnis berskala besar dan beroperasi secara global, lintas negara bahkan lintas benua.

3Mardjono Reksodiputro, Op. Cit., hal. 9. 4Mardjono Reksodiputro, Op. Cit., hal. 92.

(4)

55 Badan usaha tersebut lazimnya berhimpun dalam sebuah kelompok usaha yang dikenal dengan istilah “konglomerasi”, yang beroreantasi kepada pencapaian keuntungan yang besar.

Dengan demikian, korporasi yang bersifat konglomerasi berpeluang untuk mengusai hidup orang banyak bahkan negara. Artinya korporasi dengan pertumbuhan aset dan kekuatan pasar yang luarbiasa mampu mengontrol kehidupan ekonomi,sosial,dan politik negara.

Sedemikian besarnya peran korporasi dalam masyarakat dan negara, maka korporasi dalam melakukan kegiatannya mempunyai rambu-rambu hukum sehingga kepentingan negara dan bangsa terlindungi dari kegiatan korporasi yang merugikan. Korporasi dapat memberikan dampak yang besar bagi kehidupan sosial, dan diwajibkan juga untuk menghormati nilai – nilai dari masyarakat yang ditentukan oleh hukum pidana.5

Korporasi sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban tentu membawa konsekwensi hukum bahwa korporasi dapat melakukan tindakan-tindakan hukum, baik yang dibenarkan menurut hukum maupun yang melawan hukum, baik hukum perdata maupun hukum pidana. Korporasi yang melakukan melawan hukum dapat dikatakan bahwa korporasi tersebut telah melakukan kejahatan korporasi (corporate crime).

Perkembangan atau dinamika tindak pidana atau kejahatan terorganisasi ini, terlihat dari munculnya bentuk-bentuk kejahatan baru ditengah masyarakat. Tindak pidana yang semula dipersepsikan sebagai kejahatan sederhana, lokal dan konvensional, kini berkembang menjadi kejahatan yang lebih kompleks, bersifat transnasional dan teroganisir dengan dukungan manajemen yang profesional dan teknologi yang canggih.

Disamping itu, tindak pidana yang semula dianggap hanya dapat dilakukan oleh orang per orang, kini dapat dibebankan pertanggungjawabannya sebagai tindak pidana korporasi yang merupakan kejahatan terorganisasi.

Untuk mengantisipasi munculnya berbagai bentuk dan modus tindak pidana yang baru tersebut dalam hal ini kejahatan terorganisasi, maka lahirlah berbagai perangkat perundang-undangan pidana di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-undang dimaksud mengatur antara lain tindak pidana di bidang pengelolaan lingkungan hidup, pasar modal, bea dan cukai, pemberantasan tindak pidana korupsi, perbankan, pencucian uang, narkotika dan tindak pidanapsikotropika.

Berita tentang penemuan tentang satu ton heroin di Teluk Naga oleh Polres Tanggerang pada Akhir bulan Agustus 2006 misalnya, pada satu sisi telah menyentakkan kesadaran kita, betapa telah merajalelanya peredaran narkoba berikut dampak yang amat mengerikan bagi keselamatan generasi muda bangsa.

Disisi lain bahwa peredaran narkoba tidak lagi dijalankan oleh orang perorang secara konvensional, melainkan telah berkembang menjadi kejahatan internasional yang dikelola dengan manajemen yang profesional

(5)

56 dan didukung oleh teknologi yang canggih bahkan telah pula mengarah pada tindak pidana korporasi atau termasuk kejahatan terorganisasi.

Dengan semakin pentingnya peranan korporasi dalam pembangunan ekonomi dan potensinya yang mengontrol kehidupan sosial dan politik negara, membawa pengaruh besar terhadap pandangan para ahli hukum pidana dalam hubungannya dengan pembaharuan hukum pidana Indonesia sebagai sarana penanggulangan bentuk-bentuk kejahatan korporasi.

Hal ini ditandai oleh pergeseran pandangan bahwa tidak hanya manusia saja yang dapat melakukan kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan, korporasi sebagai subjek hukum dapat melakukan kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat disamping manusia.

Mengingat tingginya bahaya yang ditimbulkan oleh tindak pidana korporasi, terlebih jika dihubungkan dengan arah pembangunan ekonomi Indonesia yang menuju masyarakat industri dan perdagangan, maka dalam rangka meningkatkan fungsionalisasi hukum pidana terhadap kesulitan pembuktian kesalahan korporasi, maka perlu adanya pertimbangan perumusan konsep Strict Liability dan Vicarious Liability sebagai asas pemidanaan dalam pertanggungjawaban pidana korporasi. Disamping asas tiada pidana tanpa kesalahan yang selama ini dianut dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan dan kepentingan dan kesejahteraaan masyarakat sebagai upaya peningkatan fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana korporasi.

F. Penutup Kesimpulan

Berdasarkan uaraian pada bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

Apabila diteliti perundang-undangan Narkotika, khususnya dari unsur-unsur tindak pidana yang dapat dibebankan pertanggungjawaban kapada kejahatan terorganisasi yang di lakukan oleh korporasi, terlihat bahwa Undang-undang Narkotika sama sekali tidak memuat ketentuan yang jelas dan tegas kapan suatu tindak pidana atau kejahatan terorganisasi yang dapat dilakukan oleh korporasi. Dengan kata lain, Undang-undang ini tidak menentukan persyaratan agar pertanggungjawaban pidana dari suatu tindak pidana narkotika dapat dibebankan kepada kejahatan terorganisasi yaitu korporasi.

Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, maka penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut :

Agar tidak terjadi multi tafsir terhadap perumusan tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh kejahatan terorganisasi seperti korporasi, disamping diperlukan perumusan yang tegas dan jelas tentang ketentuan atau persyaratan agar pertanggungjawaban pidana dari suatu tindak pidana narkotika “dapat” dibebankan kepada kejahatan terorganisasi seperti korporasi, menurut penulis, perlu kiranya dipertegas suatu ketentuan agar

(6)

57 pertanggungjawaban dari suatu tindak pidana narkotika tidak dapat dibebankan kepada kejahatan terorganisasi oleh korporasi.

G. Daftar Pustaka Buku

Dwidja Priyatno. 2006. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung.

Moeljatno. 1955. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Jogyakarta.

Mardjono Reksodiputro.2007. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan

Karangan Buku Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum

(d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia). Jakarta.

_____, 2007, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, KumpulanKarangan

Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h

Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia). Jakarta.

_____, 2007,Pembaharuan hukum Pidana, Kumpulan Karangan Buku Keempat, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia). Jakarta.

_____, 2007,Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana,Kumpulan

Karangan Buku Kelima, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum

(d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia). Jakarta.

Roeslan Saleh. 1984. Tentang Tindak-Tindak Pidana dan Pertanggungan Jawab

Pidana, BPHN, Jakarta.

Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung.

Sutan Remy Sjahdeini. 2006. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Pers, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76) Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan

Convention on Psychotropic Substances 1971 (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1996 Nomor 100)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 67)

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77) Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 39)

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengolahan gula tebu, manajemen persediaan bahan baku sangat diperlukan karena proses produksi berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama dan terus menerus,

hasil pembinaan jejaring dan jejaringan fasilitas pelayanan kesehatan wilayah Puskesmas,.  Bukti

Ekspresi diri dapat menjadi pendorong (driver) yang berpengaruh pada preferensi dan pilihan konsumen (Aaker, 1999).. Berdasarkan definisi di atas dapat diartikan bahwa

Metode penelitian ini digunakan untuk mencocokkan string yang telah ada di dalam database, menurut (Kristanto, 2003), basis data adalah kumpulan file-file yang

Meskipun dalam survei kali ini hak untuk terlibat dalam penyusunan standar pelayanan menjadi yang paling sedikit diketahui oleh responden, namun jika dibandingkan dengan survei di

Fungsi dari API ini pada umumnya adalah sebagai sumber data yang bisa digunakan untuk kebutuhan sistem atau aplikasi tertentu, API memungkinkan untuk dapat

Dari kuesioner nomor 9 dapat disimpulkan sebagian besar warga mengalami kendala dalam koneksi yaitu koneksi lambat, koneksi sering terputus, dan harga tidak terjangkau..

Serta yang menjadi syarat-syarat agar tertanggung dapat memperoleh ganti rugi terhadap kendaran bermotor yang diasuransikan yaitu sesuai dengan isi perjanjian,