• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

11 A. Persepsi

1. Pengertian Persepsi

Siagian (1989) berpendapat bahwa persepsi merupakan suatu proses dimana seseorang mengorganisasikan dan menginterpretasikan kesan-kesan sensorisnya dalam usahanya memberikan suatu makna tertentu dalam lingkungannya. Sedangkan menurut Thoha (1999), persepsi pada hakekatnya adalah proses kognitif yang dialami setiap orang dalam memahami setiap informasi tentang lingkungannya baik melalui penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman.

Menurut Wirawan (1983), Persepsi adalah kemampuan seseorang untuk mengorganisir suatu pengamatan, kemampuan tersebut antara lain:

a. kemampuan untuk membedakan, kemampuan untuk mengelompokan,

b. kemampuan untuk memfokuskan.

Oleh karena itu seseorang bisa saja memiliki persepsi yang berbeda, walaupun objeknya sama. Hal tersebut dimungkinkan karena adanya perbedaan dalam hal sistem nilai dan ciri kepribadian individu yang bersangkutan.

Sejalan dengan hal tersebut, Leavit (1978) menyatakan bahwa persepsi memiliki pengertian dalam arti sempit dan arti luas. Dalam arti sempit persepsi yaitu penglihatan, bagaimana seseorang melihat sesuatu, dan dalam arti luas persepsi yaitu

(2)

pandangan atau pengertian, bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu.

Jadi, Persepsi adalah kemampuan seseorang untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan stimulus atau rangsang berupa informasi, objek, dan lainnya yang berasal dari lingkungan sekitar.

2. Proses Persepsi

Damayanti (2000) menggambarkan proses pembentukan persepsi pada skema dibawah ini:

Gambar 2.1 Skema Pembentukan Persepsi

Proses pembentukan persepsi dimulai dengan penerimaan rangsangan dari berbagai sumber melalui panca indera yang dimiliki, setelah itu diberikan respon sesuai dengan penilaian dan pemberian arti terhadap rangsang lain. setelah diterima rangsangan atau data yang ada diseleksi. Untuk menghemat perhatian yang digunakan rangsangan-rangsangan yang telah diterima diseleksi lagi untuk diproses pada tahapan yang lebih

Rangsangan / Sensasi Lingkungan Pengalaman Proses Belajar Interpretasi Seleksi Input Proses Pengorgansasian Persepsi

(3)

lanjut. Setelah diseleksi rangsangan diorganisasikan berdasarkan bentuk sesuai dengan rangsangan yang telah diterima. Setelah data diterima dan diatur, proses selanjutnya individu menafsirkan data yang diterima dengan berbagai cara. Dikatakan telah terjadi persepsi setelah data atau rangsang tersebut berhasip di tafsirkan. Sedangkan faktor-faktor fungsional yang menentukan persepsi seseorang berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang dapat disebut sebagai faktor-faktor personal, yang menentukan persepsi bukan jenis atau bentuk stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberi respon terhadap stimuli (Rakhmat, 1998). Sejalan dengan hal tersebut, maka persepsi seseorang ditentukan oleh dua faktor utama yaitu pengalaman masa lalu dan faktor pribadi (Sugiharto, 2001).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Krech (1962) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan persepsi seseorang adalah:

a. Frame of reference, yaitu kerangka pengetahuan yang dimiliki yang dipengaruhi dari pendidikan, bacaan, penelitian, dan lain-lain.

b. Frame of experience, yaitu berdasarkan pengalaman yang telah dialaminya yang tidak terlepas dari keadaan lingkungan sekitarnya.

(4)

B. Kualitas Pelayanan

1. Pengertian Kualitas Pelayanan

Menurut American Association for Quality Control, kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik-karakteristik dari suatu produk atau jasa dalam hal kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang telah ditentukan atau bersifat laten (Muhammad, 2009). Secara harafiah, Poerwadarminta (1985), menjelaskan bahwa pelayanan adalah menolong menyediakan segala apa yang diperlukan orang lain, seperti tamu atau pembeli. Selain itu, menurut Kotler (2000) pelayanan adalah kegiatan atau manfaat yang ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak menghasilkan kepemilikan.

Parasuraman, Zeithmal, dan Berry (1988), menyebutkan bahwa kualitas pelayanan sebagai sejauh mana layanan memenuhi kebutuhan pelanggan atau harapan. Sejalan dengan hal tersebut menurut Alam dan Yasin (2009) secara tradisional, kualitas pelayanan telah dikonsepkan sebagai perbedaan antara harapan konsumen mengenai pelayanan yang akan diterima dan persepsi pelayanan yang diterima. Selain itu, Lewis dan Boom (dalam Parasuraman, Zeithmal dan Berry, 1985) mengungkapkan bahwa kualitas pelayanan merupakan pengukuran seberapa sesuai tingkat pelayanan yang diberikan dengan harapan konsumen. Pemberian pelayanan yang berkualitas berarti memenuhi harapan konsumen secara konsisten.

(5)

Wyckof (dalam Tjiptono, 1996) mendefinisikan kualitas jasa/pelayanan (service quality) sebagai tingkat keunggulan yang diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut untuk memenuhi keinginan pelanggan. Terdapat dua faktor utama yang memengaruhi kualitas jasa/pelayanan, yaitu jasa atau pelayanan yang diharapkan dan jasa/pelayanan yang diterima. Apabila jasa/pelayanan yang dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa/pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan dan apabila jasa/pelayanan yang dirasakan lebih rendah dari yang diharapkan maka kualitas jasa/pelayanan dipersepsikan buruk.

Jadi, kualitas pelayanan adalah seberapa besar perbedaan antara tingkat pelayanan yang diberikan dengan harapan konsumen mengenai pelayanan yang diterimanya.

2. Teori Kualitas Pelayanan

Salah satu cara agar penjualan jasa suatu perusahaan lebih unggul dibandingkan para pesaingnya adalah dengan memberikan pelayanan yang berkualitas dan bermutu, yang memenuhi tingkat kepentingan konsumen. Rangkuti (dalam Muhammad, 2009) menyatakan bahwa tingkat kualitas pelayanan harus dipandang melalui sudut pandang penilaian pelanggan, karena itu dalam merumuskan strategi dan program pelayanan perusahaan harus berorientasi pada kepentingan pelanggan dengan memperhatikan komponen kualitas pelayanan. Menurut Hayzer dan Render (dalam Muhammad, 2009) kualitas pelayanan/jasa dapat diukur dengan melihat seberapa jauh efektifitas pelayanan/jasa dapat

(6)

memperkecil kesenjangan antara harapan dengan pelayanan/jasa yang diberikan.

Parasuraman, Zeithmal dan Berry (1990) mengemukakan bahwa perbedaan (kesenjangan) antara jasa pelayanan yang dirasakan dengan yang diharapkan terjadi karena adanya :

a. Kesenjangan antara harapan konsumen dengan pandangan manajemen (Gap between the customer’s expectations and the manajemen perceptions)

Pihak manajemen tidak selalu memiliki pemahaman yang tepat tentang apa yang diinginkan oleh para pelanggan atau bagaimana penilaian pelanggan terhadap usaha pelayanan yang diberikan oleh perusahaan. Contohnya, manajemen menganggap bahwa pelanggan menilai mutu pelayanan penerbangan dari kualitas (mutu) tampilan website, tetapi sebenarnya yang diharapkan oleh pelanggan adalah cepat tanggap dan keamanan dalam membeli tiket melalui website.

b. Kesenjangan antara pandangan manajemen dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Gap between management perceptions and service quality specification)

Manajemen mungkin tidak membuat standar kualitas yang jelas, atau standar kualitas sudah jelas tetapi tidak realistik, atau standar kualitas sudah jelas dan realistik namun manjemen tidak berusaha untuk melaksanakan standar kualitas tersebut. Hal ini akan mengakibatkan

(7)

karyawan tidak memahami tentang kebijakan perusahaan dan ketidakpercayaan terhadap sikap manajemen, yang selanjutnya menurunkan prestasi kerja karyawan. Contohnya, adanya keinginan manajemen untuk memberikan jawaban yang cepat terhadap telepon yang masuk, namun tidak mempersiapkan operator telepon dalam jumlah yang cukup; adanya kebijakan–kebijakan yang tidak jelas, dikomunikasikan dengan buruk kepada karyawan. c. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas pelayanan dan

penyajian pelayanan (Gap between service quality specifications and service delivery)

Standar-standar yang tinggi harus didukung oleh sumber-sumber daya, program-program dan imbalan yang diperlukan untuk mendorong karyawaan dalam memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan. Banyak faktor yang memengaruhi pemberian pelayanan, seperti keterampilan dan kompetensi karyawan, moral karyawan, peralataan yang digunakan, pemberian penghargaan.

d. Kesenjangan antara penyajian pelayanan dan komuniksi eksternal (Gap between service delivery and external communications)

Harapan pelanggan dipengaruhi oleh janji-janji yang disampaikan penyedia jasa melalui komunikasi eksternal seperti para wiraniaga, brosur-brosur, iklan, dan lain-lain. Hasil pelayanan yang baik dapat

(8)

mengecewakan pelanggan jika komunikasi pemasaran perusahaan menyebabkan mereka memiliki harapan yang terlalu tinggi sehingga tidak tidak realistis lagi. Contohnya, dalam website terdapat gambar pramugari yang ramah dan kenyataannya pada saat tamu melakukan penerbangan, mereka menemukan bahwa pramugari tersebut tidak ramah.

e. Kesenjangan antara pelayanan yang dirasakan dan pelayanan yang diharapkan (Gap between perceived service and expected service)

Perbedaan ini terjadi jika pihak manajemen gagal menutup salah satu atau lebih dari empat kesenjangan tersebut di atas. Perbedaan inilah yang menimbulkan rasa ketidakpuasan pelanggan.

(9)

Gambar 2.2 Conceptual Model of Service Quality – The Gap Analysis Model

Dalam perkembangannya Parasuraman et al, Zeithaml dan Bitner (1988) mengemukakan pendapatnya yang merupakan penyempurnaan dari penelitian khusus terhadap beberapa jenis kualitas pelayanan dan menghasilkan lima aspek pokok kualitas pelayanan yang dinamakan SERVQUAL, yang bisa jadi merupakan singkatan dari service quality.

C. Aspek Kualitas Pelayanan

Menurut Zeithaml (dalam Tjiptono, 2002) ada sepuluh aspek kualitas pelayanan dalam menentukan kualitas pelayanan, yaitu:

1. Reliability, mencakup dua hal pokok, yaitu konsistensi kerja (performance) dan kemampuan untuk dipercaya (dependability). Selain itu juga berarti bahwa perusahaan yang bersangkutan memenuhi janjinya.

(10)

2. Responsiveness, yaitu kemauan atau kesiapan para karyawan untuk memberikan jasa yang dibutuhkan pelanggan.

3. Competence, artinya setiap orang dalam suatu perusahaan memiliki keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan agar dapat memberikan jasa tertentu.

4. Access, meliputi kemudahan untuk dihubungi dan ditemui. Hal ini berarti lokasi fasilitas jasa yang mudah dijangkau, waktu menunggu yang tidak terlalu lama, saluran komunikasi perusahaan yang mudah dihubungi, dan lain-lain.

5. Courtesy, meliputi sikap sopan santun, perhatian, dan keramahan yang dimiliki para personel.

6. Communication, artinya memberikan informasi kepada pelanggan dalam bahasa yang dapat mereka pahami, serta selalu mendengarkan saran dan keluhan pelanggan.

7. Credibility, yaitu sifat jujur dan dapat dipercaya. Kredibilitas mencakup nama perusahaan, reputasi perusahaan, karakteristik pribadi, contact personnel, dan interaksi dengan pelanggan

8. Security, yaitu aman dari bahaya, resiko, atau keragu-raguan. Aspek ini meliputi keamanan secara fisik (physical safety) keamanan financial (financial security), dan kerahasiaan (confidentiality).

9. Understanding/knowing the customer, yaitu untuk memahami kebutuhan pelanggan.

(11)

10.Tangibles, yaitu bukti fisik dari jasa, berupa fasilitas fisik, peralatan yang digunakan, representasi fisik dari jasa. Selain kesepuluh aspek diatas, Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1990) membagi kualitas pelayanan dalam lima aspek yaitu Tangible, Reliable, Responsiveness, Assurance, Empathy. Berikut ini penjelasan dari masing-masing aspek:

1. Tangible adalah kemampuan suatu perusahaan dalam menunjukkan eksistensinya kepada pihak eksternal. Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan perusahaan. 2. Reliable adalah kemampuan memberikan pelayanan yang

dijanjikan dengan akurat dan dapat diandalkan. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketetapan waktu, pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap simpatik, dan akurasi yang tinggi.

3. Responsiveness adalah kemampuan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat kepada para pelanggan dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu tanpa adanya alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas pelayanan.

4. Assurance adalah adanya kepastian yaitu pengetahuan, kesopansantunan dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan rasa percaya para pelanggan kepada pelayanan perusahaan.

(12)

5. Empathy adalah memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individu atau pribadi yang diberikan kepada para pelanggan dengan upaya memahami keinginan konsumen. Perusahaan diharapkan memiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman bagi pelanggan.

Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik harus dapat diandalkan, keadaan lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Menurut Gazpersz (dalam Assegaff, 2001) keandalan berkaitan dengan probabilitas atau kemungkinan suatu produk melaksanakan fungsinya secara berhasil dalam periode waktu tertentu dibawah kondisi tertentu dengan demikian keandalan merupakan karakteristik yang merefleksikan kemungkinan atau probabilitas tingkat keberhasilan dalam penggunaan produk tersebut. Menurut Sugiarto (dalam Assegaff, 2001) ketanggapan adalah tingkat kepekaan yang tinggi terhadap pelanggan yang diikuti dengan tindakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan tersebut. Menurut Tjiptono (2000) jaminan mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dana sifat dapat dipercaya, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. Lazarus (dalam Assegaff, 2001) menjelaskan bahwa empati sebagai merasakan perasaan-perasaan orang lain dengan menempatkan seseorang secara psikologis pada keadaan orang lain.

Sedangkan aspek yang dipakai sebagai alat ukur dari Parasuraman (1990) yaitu; reliability, responsiveness, assurance, emphaty, dan tangible. Hal tersebut dikarenakan aspek-aspek

(13)

tersebut dinilai cocok untuk digunakan dalam penelitian tersebut. Kelima aspek tersebut merupakan penyempurnaan dari kesepuluh aspek yang dikemukan oleh Zeithaml (dalam Tjiptono, 2002). D. Faktor-faktor yang Memengaruhi Kualitas Pelayanan

Wyckof (dalam Tjiptono, 1996) mengungkapkan terdapat dua faktor utama yang memengaruhi kualitas jasa/pelayanan, yaitu:

a. jasa/pelayanan yang diharapkan b. jasa/pelayanan yang diterima

Apabila jasa/pelayanan yang dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa/pelayanan dipersepsikan baik dan memuaskan dan apabila jasa/pelayanan yang dirasakan lebih rendah dari yang diharapkan maka kualitas jasa/pelayanan dipersepsikan buruk.

E. Jenis Kelamin

Hungu (2007) menyatakan jenis kelamin (seks) adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Menurut Gender brief Series No. 1 (2007), istilah “Gender” biasanya merujuk pada peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki yang dikonstruksi secara sosial, dalam suatu wilayah atau konteks budaya. Hal inilah yang membedakannya dengan istilah “sex” yang merujuk pada perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki. Bersifat permanen dan universal. Peran tersebut dipengaruhi oleh persepsi dan harapan yang dibangun dari faktor budaya, politik, lingkungan, ekonomi, sosial, agama dan juga kebiasaan, hukum, strata kelas, etnisitas, bahkan termasuk juga di dalamnya bias individu maupun institusi. Sifat dan perilaku gender

(14)

merupakan sesuatu yang dibangun, dipelajari, dan dapat diubah/berubah.

Situasi yang menyebabkan pembedaan gender menurut Gender Brief Series No.1 (2007) menjelaskan antara lain:

1. Sosial, persepsi yang berbeda antar perempuan dan laki-laki mengenai peran sosialnya. Misalnya, perempuan sebagai pengurus rumah tangga, laki-laki-laki sebagai kepala rumah tangga; perempuan sebagai pengasuh anak, pengurus rumah tangga, sosok yang lemah; sedangkan lakilaki sebagai pelindung, penjaga keamanan, figur yang kuat, dsb.

2. Politik, pembedaan cara di mana laki-laki dan perempuan berbagi kekuasaan dan otoritas di ruang publik. Biasanya laki-laki berkiprah di level politik nasional dan politik tingkat tinggi; sedangkan perempuan lebih banyak bergerak di level politik lokal dan aktivitas yang berkaitan dengan peran domestik.

3. Pendidikan, pembedaan dalam hal kesempatan mendapatkan pendidikan antara anak laki-laki dan perempuan. Kebanyakan sumber keuangan keluarga diarahkan bagi pendidikan anak laki-laki, sementara anak perempuan tidak diarahkan untuk mendapatkan tantangan akademik.

4. Ekonomi, pembedaan akses antara perempuan dan laki-laki dalam hal pencapaian karir dan kontrol terhadap sumber daya maupun pengelolaan keuangan, serta

(15)

sumber-sumber produktif lainnya, misalnya kredit, pinjaman, atau kepemilikan tanah.

F. Perbedaan Gender dalam Kualitas Pelayanan

Pria adalah manusia yang diciptakan dengan kemampuan fisik dan otot yang lebih besar. Umumnya pria bersifat maskulin, sedangkan wanita adalah manusia yang diciptakan dengan sensitivitas yang lebih tinggi serta bersifat feminin. Pease dan Pease (2007) menjelaskan bahwa pria dan wanita berbeda. Salah satunya tidak lebih buruk atau lebih baik daripada yang lain, tetapi berbeda. Satu-satunya kesamaan di antara pria dan wanita adalah keduanya tergolong dalam spesies yang sama. Dunia pria dan wanita berbeda, termasuk nilai-nilai dan peraturan-peraturan yang pria dan wanita taati. Dari segi budaya, kepercayaan dan ras, pria dan wanita terus saling berdebat tentang pendapat, perilaku, sikap dan keyakinan pasangannya. Menurut Pease dan Pease (2007) pria dan wanita telah berubah secara perlahan-lahan dengan cara yang berbeda. Pria berburu sementara wanita mengumpulkan. Pria melindungi, wanita mengasuh. Sebagai akibat dari pembagian pekerjaan itu, tubuh dan otak pria dan wanita berkembang dengan cara yang berbeda. Pria dan wanita berpikir dengan cara yang berbeda, mempercayai hal-hal yang berbeda pula. Pria dan wanita memiliki perbedaan pandangan, prioritas dan kebiasaan.

Pease dan Pease (2007) juga mengatakan bahwa wanita memiliki keterampilan penginderaan yang lebih peka daripada pria. Wanita memiliki sebuah intuisi yang merupakan kemampuan wanita untuk melihat rincian kecil (detail) dan perubahan dari penampilan

(16)

ataupun perilaku orang lain. Sedangkan pria hampir tidak menyadari adanya orang lain yang tinggal di rumahnya. Wanita dapat menjelaskan warna dengan cara yang lebih rinci. Seorang pria hanya akan menggunakan penggambaran dasar warna karena otak pria tidak dilengkapi dengan bagian untuk melihat lebih rinci.

Pease dan Pease (2007) mengatakan bahwa ”pria dan wanita memahami dunia melalui pandangan yang berbeda. Seorang pria melihat hal-hal dan benda-benda serta hubungan satu sama lainnya dalam pengertian ruang seolah sedang meletakkan keping-keping puzzle dan menyatukannya menjadi sebuah gambar utuh. Sedangkan wanita secara harafiah memandang dunia sebagai gambar yang lebih besar, lebih luas dan melihat detail-detail halus. Namun keping-keping puzzle itu sendiri dan hubungan wanita dengan keping-keping lainnya tampak lebih terjalin daripada penempatan ruang wanita”.

Seorang pria ketika berhasil melakukan tugas sebaik yang pria bayangkan, pria cenderung mengaitkan keberhasilan pria dengan keterampilan atau kecerdasan pria. Jika yang pria lakukan tidak sesuai dengan harapan, pria cenderung menyalahkan nasib buruk atau adanya faktor lain di luar kemampuan pria. Sedangkan wanita hanya bisa mencapai harapan wanita yang rendah, wanita cenderung mengaitkannya dengan kekurangan wanita dalam hal kemampuan atau kecerdasan. Kalau wanita berhasil melampaui dugaan yang rendah untuk sukses, wanita cenderung mengaitkannya dengan keberuntungan atau faktor lain di luar jangkauan wanita. (Farrel dan Farrel, 2004).

(17)

Menurut Segal (1990), “There are some tenacious difference between men and women in behavior”. Terdapat perbedaan yang kuat dalam perilaku pria dan wanita. Konsumen pria adalah konsumen yang mudah dipengaruhi oleh nasehat yang baik serta argumentasi yang objektif. Sedangkan konsumen wanita lebih banyak tertarik pada warna dan bentuk, kurang tertarik pada hal-hal teknis, lebih mementingkan status sosial, lebih peka, menyenangi hal-hal yang romantis daripada objektif, mudah meminta pandangan, pendapat maupun nasehat dari orang lain. Sehingga merupakan suatu kesalahan jika para penyedia produk dan jasa memperlakukan wanita sama layaknya dengan pria dan sebaliknya.

Menurut Kartajaya (2003), wanita selalu memperhatikan hingga ke detail. Konsumen wanita akan menilai segala sesuatu dengan lebih terperinci. Sehingga jangan sampai para penyedia jasa melupakan satu hal bagian kecil saja jika tidak ingin konsumen kecewa. Konsumen wanita juga sangat memperhatikan berbagai isu. Sedangkan pria kurang memperhatikan detail dan isu yang sedang terjadi.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mokhlis (2012), dalam menilai suatu kualitas pelayanan, pria dan wanita memiliki perbedaan. Emphaty, tangibles, dan reliability secara signifikan lebih dipentingkan oleh konsumen pria ketimbang konsumen wanita. Namun, assurance dan responsiveness memiliki tingkat kepentingan yang sama antara kedua gender tersebut.

Berdasarkan banyaknya perbedaan antara pria dan wanita yang diungkapkan oleh beberapa tokoh di atas dan juga penelitian sebelumnya, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan yaitu bahwa

(18)

dalam menilai kualitas sebuah pelayanan pria dan wanita memiliki perbedaan.

G. Hipotesis

Secara statistik hipotesis dapat dirumuskan sebagai berikut: H0; µ1=µ2 : Tidak ada perbedaan persepsi kualitas

pelayanan online ticketing penerbangan PT. Garuda Indonesia di kalangan mahasiswa wanita dan mahasiswa pria Universitas Kristen Satya Wacana.

H1; µ1≠µ2 : Adanya perbedaan persepsi kualitas pelayanan online ticketing penerbangan PT. Garuda Indonesia di kalangan mahasiswa wanita dan mahasiswa pria Universitas Kristen Satya Wacana.

Gambar

Gambar 2.1 Skema Pembentukan Persepsi
Gambar 2.2 Conceptual Model of Service Quality – The Gap Analysis  Model

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan grup fuzzy yaitu (Rosenfeld, 1971) yang mengaplikasikan konsep dasar himpunan fuzzy pada konsep grup dengan menganggap

Menambah pengetahuan pihak manajemen perusahaan tentang seberapa besar peranan manajemen modal kerja terhadap profitabilitas perusahaan sehingga diharapkan dapat membantu

Tugas Panitia meliputi kegiatan berikut. 1) Menyeleksi peserta pemilihan Kepala SMA/MA berprestasi tingkat sekolah didasarkan pada kriteria yang telah ditentukan.

Orang Sumeria adalah penduduk pertama yang tinggal di wilayah Mesopotamia, yang kini menjadi Irak modern.. Wilayah ini dikenal sebagai tempat lahirnya

Masa dewasa madya ditandai dengan adanya perubahan-perubahan jasmani dan mentalPerubahan kejiwaan yang dialami seorang wanita menjelang prmenopause meliputi merasa

Since this study describes politeness strategies the customer service representatives use, the method of the study is descriptive research, specifically a case study, in which

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pengetahuan petani jeruk di kawasan pengembangan jeruk di Kelurahan Rimbo Pengadang tentang teknologi pengelolaan