• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR PENERAPAN FREE FLOW OF SERVICES NEGARA-NEGARA ASEAN. Dalam rangka mewujudkan pilar free flow of services pada negara-negara ASEAN dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II DASAR PENERAPAN FREE FLOW OF SERVICES NEGARA-NEGARA ASEAN. Dalam rangka mewujudkan pilar free flow of services pada negara-negara ASEAN dalam"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

17 BAB II

DASAR PENERAPAN FREE FLOW OF SERVICES NEGARA-NEGARA ASEAN Dalam rangka mewujudkan pilar free flow of services pada negara-negara ASEAN dalam AEC 2015, negara-negara anggota yang telah tergabung di dalam ASEAN sebelumnya telah mempersiapkan perjanjian-perjanjian yang mendukung adanya aliran bebas dalam sektor jasa antar negara-negara ASEAN khususnya sektor jasa yang berkaitan dengan tenaga kerja terampil yang menjadi fokus utama yang hendak dicapai dalam AEC 2015. Dasar penerapan tersebut dapat terlihat dari perjanjian-perjanjian yang disepakati negara-negara anggota ASEAN dibidang jasa, yaitu:

A. ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) 1. Prinsip dan Penerapan Prinsip AFAS

Dalam perundingan liberalisasi bidang jasa, AFAS menerapkan Prinsip-prinsip sebagaimana yang diterapkan dalam WTO. Prinsip-prinsip tersebut antara lain:23

a. Most Favoured Nation (MFN) Treatment- kemudahan yang diberikan kepada suatu negara berlaku juga untuk semua negara lain.

b. Non discriminative-pemberlakuan hambatan perdagangan diterapkan untuk semua negara, tanpa pengecualian;

c. Transparancy-setiap negara wajib mempublikasikan semua peraturan, perundang-undangan, pedoman pelaksanaan dan semua keputusan/ ketentuan yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah;

23

H.S Kartadjoemena, 1997, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round , Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, hal 42

(2)

18

d. Progressive liberalization-liberalisasi secara bertahap sesuai dengan tinggat perkembangan ekonomi setiap negara anggota.

Keempat prinsip tersebut sangat penting sebagai dasar penerapan kesepakatan-kesepakatan AFAS bagi Negara-Negara Anggota ASEAN. Meskipun demikian, dalam penerapannya kesepakatan perdagangan jasa ini tidak bisa dilakukan semutlak penerapan prinsip dalam perdagangan barang.

Hal ini dikarenakan dalam penerapan kesepakatan perdagangan jasa, setiap negara memiliki kepentingan yang berbeda-beda yang menjadikan tingkat kualifikasi tiap negara berbeda-beda pula dan terdapat perbedaan kemampuan tenaga kerja yang ada pada negara-negara anggota sehingga kesepakatan pada bidang jasa harus dilakukan secara bertahap (progressive liberalization). Sementara itu dalam kesepakatan perdagangan barang dilakukan dengan langkah agresive liberalization dimana pemerintah secara agresif ikut dalam arus liberalisasi.

Hal ini juga terjadi dalam penerapan prinsip-prinsip di AFAS. Prinsip dalam AFAS merupakan prinsip yang penting sebagai dasar dalam membuat dan mengajukan kesepakatan kesepakatan dalam komitmen yang diajukan, tetapi penerapannya sendiri bersifat regional untuk kawasan Asia Tenggara atau negara-negara yang tergabung dalam kesepakatan AFAS itu sendiri.

Mengenai prinsip Most Favored Nation (MFN), bahwa perdagangan internasional harus dilakukan tanpa diskriminasi. Apabila suatu negara anggota memberikan konsesi kepada suatu negara anggota, maka konsesi tersebut harus pula diberikan kepada negara anggota lain tanpa diskriminasi.24 Dalam penerapannya segala kemudahan yang diberikan kepada suatu negara haruslah sama dengan apa yang diberikan terhadap negara lain sehingga ada hubungan yang seimbang antara keduanya. Menanggapi hal tersebut, hal pertama dalam hal ini bahwa tentu saja segala kemudahan

24

(3)

19

yang tercipta dari perjanjian dan komitmen AFAS tentu saja hanya berlaku terhadap negara anggota, yaitu negara negara yang tergabung dalam kesepakatan AFAS. Dalam pasal 3(a) AFAS disebutkan:

“Eliminating substantially all existing discriminatory measures and market access limitations amongst Member States; and…”

Digaris bawahi dalam hal ini adalah kata among Member State yang memberikan gambaran bahwa perjanjian perjanjian yang terkait dengan kesepakatan AFAS hanya terjadi antara member state dan tentu saja termasuk penerapan prinsip dari AFAS itu sendiri. Kemudian jika kita memperhatikan pasal-pasal dalam AFAS, hampir dalam semua pasal-pasal AFAS sendiri terus menyebutkan kata ―Member state‖ dalam setiap pasal yang menandakan bahwa pasal-pasal tersebut

ditujukan untuk negara-negara anggota.25 Selain itu, pasal 6 AFAS memuat yang tentang ―Denied of Benefits‖ semakin menegaskan hal tersebut. Disebutkan bahwa:

The benefits of this Framework Agreement shall be denied to a service supplier who is a natural person of a Member State or a juridical person owned or controlled by persons of a non-Member State constituted under the laws of a non-Member State, but not engaged in substantive business operations in the territory of Member State(s)”

Pasal ini jelas sekali memberikan penjelasan bahwa segala keuntungan yang akan diperoleh dari perjanjian ini hanya berlalu untuk negara-negara dan person dari negara-negara anggota, termasuk untuk mendapatkan perlakuan Most Favered Nation.

Kemudian isu selanjutnya, bahwa diantara negara-negara anggota sekalipun pemberlakuan prinsip Most Favored Nation sendiri tidak berlaku mutlak. Terdapat kemungkinan kemungkinan dimana prinsip ini dapat dikesampingkan. Salah satunya adalah bahwa setiap negosiasi paket AFAS

25

Nurchalis , Strategi Indonesia dalam Analisis Hukum Internasional Terhadap Liberalisasi Perdagangan Dibidang Jasa oleh Negara-negara ASEAN melalui AFAS, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasannudin, Makassar, 2013, hal. 159

(4)

20

sendiri selain komitmen Schedule Of Specific Commitment dan Horizontal Commitment dikenal adanya MFN Exemption. MFN Exemption ini memuat hal hal dimana kewajiban MFN dari suatu negara anggota dikecualikan. Pengecualian ini harus sesuai dengan persyaratan sebagaimana tertuang dalam pasal II GATS mengenai MFN.26

Dalam pasal II GATS diatur kewajiban perlakuan MFN dalam perdagangan jasa yang bertujuan untuk menjamin kesamaan kesempatan atas jasa yang sejenis dan pemberi jasa (service suppliers) sejenis tanpa memperdulikan asal atau tujuan dari jasa-jasa atau pihak-pihak pemberi jasa baik yang berasal dari anggota WTO maupun yang berasal dari pihak-pihak yang bukan anggota WTO.

Selain itu, dalam penerapan prinsip MFN, dikenal adanya dua perlakuan terhadap pemasok jasa yaitu treatment no less favourable, dimana yang dibandingkan adalah perlakuan yang diberikan terhadap service supplier dari suatu negara dengan negara lainnya. Yang kedua adalah national treatment, yang dibandingkan adalah perlakuan yang diberikan terhadap

domestic service supplier dengan foreign service supplier.27

Prinsip selanjutnya yaitu Non Discriminative, bahwa negara anggota tidak diperbolehkan memberikan perlakuan yang berbeda kepada penyedia jasa dari satu negara tertentu. dengan kata lain pemberlakuan hambatan perdagangan diterapkan untuk semua negara, tanpa pengecualian.28 Ini berarti, secara umum bahwa bila suatu negara menerapkan suatu hambatan dalam perdagangan, maka hambatan tersebut haruslah berlaku untuk semua negara. tentu saja sehubungan dengan penulis telah bahas sebelumnya pada bagian pertama tadi bahwa prinsip ini

26

Integrasi Ekonomi ASEAN dibidang Jasa,Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2009, hal. 36

27

Syahmin A.K., Hukum Dagang Internasional (Dalam Kerangka Studi Analitis), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006 h.184.

28

(5)

21

hanya berlaku dalam konteks negara negara anggota AFAS, dan tidak berlaku terhadap negara yang berada diluar perjanjian ini. olehkarena itu, maka diskriminasi terhadap negara-negara anggota asean memang dapat dicegah dengan adanya prinsip ini, akan tetapi sebagai organisasi regional, maka perbedaan perlakuan antara negara anggota dan negara diluar konteks AFAS tak bisa dihindari.

Kemudian prinsip transparency, AFAS pun menerapkan prinsip ini sebagaimana di WTO, bahwa setiap negara anggota WTO, wajib bersikap transparan dalam menetapkan kebijakan perdagangan luar negerinya antara lain dengan mempublikasikan peraturan perundang-undangan dibidang perdagangan, memberikan informasi atas permintaan anggota WTO lainnya, membentuk institusi yang memungkinkan peninjauan keputusan administrasi negara.29 Selain itu setiap negara juga wajib memberitahukan atas adanya peraturan baru yang dapat mempengaruhi pelaksaan liberalisasi perdagangan jasa di kawasan negara anggota.30

Kemudian prinsip yang terakhir yaitu progressive liberalization, bahwa setiap negara anggota wajib melakukan liberalisasi secara bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan ekonominya masing-masing. Liberalisasi bertahap tersebut dilakukan dengan mewajibkan semua angota AFAS untuk melakukan putaran negosiasi yang berkesinambungan. Negosiasi tersebut harus dilakukan dengan mengurangi atau menghilangkan measures yang dapat berdampak buruk terhadap perdagangan Jasa. Meskipun demikian, proses liberalisasi harus dilakukan dengan tetap menghormati kepentingan nasional dan tingkat pembangunan masing-masing.31Proses liberalisasi suatu bidang jasa dilakukan dengan sangat berhati-hati dengan mempertimbangkan

29

Sri Sunardi, Strategi Indonesia dalam menghadapi liberalisasi Jasa Telekomunikasi dalam kerangka Asean Framework Agreement on Service (AFAS),Tesis, Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hal. 39 .

30

Syahmin A.K., Op.cit hal. 191.

31

(6)

22

kepentingan nasional dan tingkat pembangunan ekonomi negara anggota ASEAN. Untuk itu diterapkan prinsip fleksibilitas yang disepakati oleh semua negara ASEAN (Pre-agreed flexibility)32 dan penerapan formula ASEAN minus X33. Hal ini juga dapat kita lihat dalam negosiasi tiap paket AFAS. Setiap negara hanya diberikan target untuk meliberalisasi sejumlah komitmen, baik dari segi jumlah, presentasi modal asing dan sebagainya dalam perundingan tersebut, namun hanya menargetkan dan tidak ada aturan yang bersifat paksaan untuk memenuhi target tersebut, dimana hal ini bertujuan agar negara negara anggota dapat mempersiapkan terlebih dahulu sektor yang ingin diajukannya.

2. Mekanisme dan Penerapan Mekanisme AFAS

Mekanisme liberalisasi perdagangan Jasa AFAS dilakukan melaui rangkaian negosiasi dibawah Coordinating Committee on Service (CCS), yang didirikan pada Januari 1996. Badan ini bertanggung jawab kepada ASEAN Economic Meeting (AEM) melaui Senior Officials Meeting (SEOM). CCS mengordinasikan enam kelompok kerja yang terdiri dari bisnis, konstruksi, kesehatan, transportasi laut, parawisata, serta telekomunuikasi dan teknologi informasi. Untuk sektor jasa lainnya, sejak 1999 proses perundingan dikordinasikan secara terpisah dibawah masing-masing kementrian yang menangani sektor tersebut, sebagai contoh sektor transportasi melalui Air Transport Working Group (ATWG), dan sektor jasa keuangan melalui Working Committee on Financial Service Liberalisation (WC-FSL) under AFAS.34

Perundingan liberalisasi jasa ASEAN dilakukan dalam putaran perundingan dengan kurun waktu sekitar tiga tahun. Putaran pertama dilakukan pada 1996-1998, dengan mengadopsi

32

Integrasi ekonomi Asean dibidang jasa, Op.cit hal. 16. 33

Dalam publikasi WTO/ESCAP Workshop On Trade in Service Negosiation di Dhaka, Bangladesh menjelaskan bahwa Formula Asean Minus X yaitu ketika dua negara atau lebih dapat melakukan liberalisasi atas sektor jasa yang disepakati bersama, sedangkan Negara-negara lain dapat menyusul setelah mereka siap.

34

(7)

23

pendekatan permintaan dan penawaran (Request and Offer Approach).35 Pendekatan ini dimulai dengan pertukaran informasi antar anggota ASEAN tentang komitmen yang telah dibuat dalam GATS dan rezim perdagangan jasa yang diberlakukan dinegara masing-masing.

Putaran kedua dilakukan pada 1999-2001 dengan mengadobsi Common subsektor Approach, yakni pendekatan yang didasarkan pada komitmen yang telah disetujui oleh minimal empat negara ASEAN, baik dalam GATS maupun dalam AFAS. Jika suatu sub-sektor jasa telah memiliki komitmen lebih dari empat negara, maka subsektor jasa tersebut harus terbuka diseluruh negara anggota dengan memberlakukan prinsip Most Favoured Nation (MFN).

Putaran ketiga dilakukan pada 2002-2004 dengan pendekatan Modified Common sub-sector Approach. Pada dasarnya pendekatan ini sama dengan Common subsektor approach tetapi negara yang berkomitmen dikurangi dari empat negara menjadi tiga negara. padaputaran kali ini ASEAN juga mulai menggunakan formula ASEAN minus negara X. putaran keempat dimulai pada 2005 dan telah dicapai kesepakatan dengan ditandatangani ―Protocol to Implement the Fourth Package of Commitment on Financial Service Under the ASEAN Framework Agreement on Service‖ pada The 12th ASEAN Financial Minister Meeting (AFMM) di Danang, Vietnam tanggal 4 April 2008.

Dalam memfasilitasi aliran bebas sektor jasa pada 2015, ASEAN juga telah mempersiapkan beberapa mekanisme pelaksanaannya, yaitu: 36

35 Ibid. 36

Cetak Biru Komunitas Ekonomi ASEAN, Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 13-15

(8)

24

a. Mengurangi substansial seluruh hambatan dalam perdagangan jasa untuk empat sektor prioritas bidang jasa, yaitu transportasi udara, e-ASEAN, kesehatan, dan pariwisata. Pada 2010 dan untuk sektor prioritas kelima, yaitu jasa logistik, pada 2013;

b. Menguranggi secara substansial seluruh hambatan perdagangan jasa pada 2015;

c. Melaksanakan liberalisasi perdangnan jasa melalui putaran negoisasi setiap 2 tahun hingga 2015, yaitu, 2008, 2010, 2012, 2014, 2015;

d. Menargetkan jadwal jumlah minimum subsektor jasa baru yang harus dipenuhi pada setiap putaran, yaitu 10 subsektor pada 2010, 15 subsektor pada 2012, 20 subsektor pada 2012, 20 subsektor pada 2014, 7 subsektor pada 2015, yang didasarkan pada klasifikasi umum perjanjian umum perdagangan jasa WTO (GATS) W/120;

e. Menjadwalkan paket komitmen untuk setiap putaran sesuai parameter sebagai berikut: i. Tidak ada hambatan bagi moda 1 dan 2, dengan pengecualiaan alasan yang dapat

diterima (seperti kepentingan dan keamanan nasional) atas persetujuan semua Negara anggota berdasarkan kasus per kasus.

ii. Mengijinkan penyertaan modal asing (ASEAN) minimal 50% pada 2008 dan 70% pada 2010 bagi empat sektor prioritas; minimal 49% pada 2008, 51% pada 2010 dan 70% pada 2015 bagi sektor jasa lainnya; dan

iii. Menghapuskan secara progresif hambatan lainnya bagi perdangan jasa moda 3 pada 2015.

f. Menetapkan parameter liberalism untuk pembatasan National Treatment, moda 4 dan pembatasan dalam Horizontal Commitments pada setiap putaran pada 2009;

(9)

25

g. Menjadwalkan komitmen sesuai dengan parameter yang disepakati untuk pembatasan national treatment, moda 4 dan pembatasan pada horizontal commitments yang ditentukan pada 2009;

h. Menyelesaikan kompilasi daftar hambatan perdangan jasa pada Agustus 2008;

i. Mengizinkan seluruh fleksibelitasi, meliputi subsektor yang secara penuh dikecualikan dari lliberalisasi, dan subsektor yang parameternya belum disepakati dalam penjadwalan komitmen liberalisasi. Penjadwalan komitmin liberalisasi pada tiap putaran akan disesuaikan dengan fleksibelisasi sebagai berikut:

i. Kemungkinan untuk ikut serta pada putaran berikutnya jika negara anggota tidak dapat memenuhi parameter komitmen yang ditentukan pada putaran sebelumnya;

ii. Mengizinkan pergantian sub-sektor telah sepakat sepakat diliberalisasikan dalam satu putaran dengan subsektor lain diluar yang telah di sepakati, tapi hanya untuk negara anggota yang tidak mampu melaksanakan komitmennya; dan

iii. Liberalisasi melalui formulasi ASEAN minus X.

j. Menyelasaikan Pengaturan saling pengakuan (Mutual Recognition Arrangements/ MRas) yang saat ini sedang dalam tahap negosiasi antara lain di bidang jasa arsitek, akuntan,

surveying qualification, tenaga medis pada 2008 dan dokter gigi pada 2009;

k. Mengimplementasikan MRA secepatnya sesuai dengan ketentuan dari setiap MRA; l. Mengidentifikasi dan mengembangkan MRA untuk jasa profesi lainnya

selambat-lambatnya pada tahun 2015; dan

m. Memperkuat pengembangan SDM dan peningkatkan kemampuan di bidang perdagangan jasa

(10)

26

Namun dalam hal penerapan mekanisme AFAS, dapat dilihat dari bagaimana AFAS itu diimplementasikan selama ini, dimana implementasi AFAS tercermin dari komitmen-komitmen tiap-tiap negara ASEAN yang ada didalam suatu paket skedul komitmen yang dicapai pada setiapputaran negosiasi. Paket-paket skedul komitmen tersebut antara lain sebagai berikut:37 a. Paket 1 dan 2 skedul komitmen AFAS dicapai pada putaran pertama

b. Negosiasi AFAS yang dimulai pada 1 Januari 1996 dan berakhir pada 31 Desember 1998 c. Paket 3 Skedul Komitmen dicapai pada putaran kedua negosiasi AFAS yang berlangsung

antara tahun 1999 hingga 2001

d. Paket 4 Skedul komitmen dicapai pada putaran ketiga negosiasi AFAS yang berlangsung antara tahun 2002 hingga 2004

e. Paket 5 & 6 skedul komitmen AFAS dicapai pada putaran keempat Negosiasi AFAS yang berjalan antara tahun 2005 hingga 2006

f. Paket 7 Skedul Komitmen AFAS dicapai pada putaran kelima Negosiasi AFAS yang berjalan antara tahun 2007 hingga 2009

37

The ASEAN Secretariat, ASEAN Integration in Services, Jakarta: ASEAN Secretariat, Agustus 2009, hal 13.

(11)

27 B. Mutual Recognition Agreement (MRA)

1. MRAs Dalam Sektor Jasa Berkaitan Dengan Bisnis

Penerapan MRAs dalam sektor jasa berkaitan dengan bisnis diatur oleh Business Services Sectoral Working Group (BSSWG) dibawah koordinasi ASEAN Coordinating Committee on Services (CCS).38 Pembagian MRAs yang termasuk ke dalam sektor ini, yaitu:

1.1 MRA Dalam Sektor Jasa Keinsinyuran

Perjanjian MRA ASEAN dalam sektor jasa keinsinyuran (engineering services) ditandatangani pada tanggal 9 Desember 2005 di Kuala Lumpur, Malaysia. Indonesia pada saat itu diwakilkan oleh Mari Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan. Berbeda dengan sektor survei dan sektor akuntansi, MRA dalam sektor keinsinyuran telah ditandatangani oleh kesepuluh negara dan bukan lagi merupakan kerangka kerja (framework).

Perjanjian tersebut terdiri dari 8 pasal:39 1. Pasal 1 tentang maksud dan tujuan 2. Pasal 2 tentang definisi

3. Pasal 3 tentang pengakuan, kualifikasi, dan kelayakan

4. Pasal 4 tentang PRA, MC, dan ACPECC (kelembagaan/otoritas) 5. Pasal 5 tentang perjanjian pengecualian

6. Pasal 6 tentang kemungkinan perubahan

38

The ASEAN Secretariat, ASEAN Integration in Services, Jakarta: ASEAN Secretariat, Desember 2015, hal 28.

39

Menuju MEA mengamati MRA keinsinyuran, https://imedimud.wordpress.c om/2014/12/17/menuju-mea-mengamati-mra-di-bidang-keinsinyuran/, diakses tanggal 14 Februari 2016

(12)

28 7. Pasal 7 tentang penyelesaian sengketa

8. Pasal 8 tentang penutup

Tujuan dari MRA sektor jasa keinsinyuran adalah untuk memfasilitasi perdagangan dan sebagai stimulan aktivitas ekonomi antarpihak melalui penerimaan kompetensi SDM dalam hal standar, kualifikasi, sertifikasi dan lisensi. Dalam artikel 1 MRA sektor keinsinyuran dijelaskan bahwa tujuan dari adanya MRA dalam bidang keinsinyuran ini adalah untuk memfasilitasi pergerakan jasa keinsinyuran profesional serta sebagai sarana bertukar informasi dalam rangka mengupayakan adopsi pelaksanaan praktik terbaik pada standar dan kualifikasi. Di dalam MRA ini, terdapat pendefinisian tentang apa saja yang diatur di dalam sektor jasa keinsinyuran. Apa yang dinamakan dengan sektor keinsinyuran (engineering services) merujuk kepada aktivitas yang berada di lingkup Central Product Classification (CPC) Code 8672 dari Provisional CPC yang diterbitkan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa.40 Selain itu, apa yang disebut dengan graduate engineer merujuk kepada setiap warga negara anggota ASEAN yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi di bidang keinsinyuran yang telah memperoleh pengakuan dan diakreditasi oleh otoritas nasional di suatu negara. Berbeda dengan graduate engineer, professional engineer (practitioner) merujuk kepada:

“..natural person who holds the nationality of an ASEAN Member Country and is assessed by a Professional Regulatory Authority (PRA) of any participating ASEAN Member Country as being technically, morally, and legally qualified to undertake independent professional engineering

40

(13)

29

practice and is registered and licensed for such practice by the Authority. ASEAN Member Countries may have different nomenclatures and requirements for this term.‖41

Sebenarnya, tujuan umum dari MRA bidang keinsinyuran ini adalah untuk menyeragamkan standar, ukuran, dan regulasi yang berbeda-beda di negara-negara ASEAN agar mempunyai satu ukuran yang konsisten, metode dan spesialisasi yang secara bersama diterima dan bisa diterapkan oleh negara-negara ASEAN. Ada tiga prinsip yang dilakukan dalam penyelenggaraan MRA bidang keinsinyuran ini, antaralain: transparansi, ekuivalensi, dan harmonisasi..42

Agar seorang professional engineer bisa berpraktik di negara tujuan (host country) dan memperoleh gelar ACPE (ASEAN Chartered Professional Engineer), ada beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi terlebih dahulu, antara lain mencakup:43

a. Telah menyelesaikan pendidikan tinggi bidang keinsinyuran;

b. Mendapatkan izin (lisensi) dari otoritas profesi nasional untuk berpraktik mandiri;

c. Memiliki pengalaman kerja 7 tahun, 2 tahun di antaranya adalah pengalaman kerja di bidang keinsinyuran;

d. Sejalan dengan kebijakan Continuing Professional Development (CPD) dengan tingkat yang memuaskan;

e. Memperoleh sertifikat dari badan penyelenggara nasional dan tidak pernah melakukan tindakan yang melanggar hukum.

41

MRA on Engineering Services Article 2.10 42

Makmur Keliat dkk, op.cit, hal. 26 43

(14)

30

Jika syarat di atas telah dipenuhi, maka professional engineer bisa mendaftarkan diri ke

ACPE Coordinating Committee di bawah ACPE Registers. Insinyur yang telah memperoleh sertifikat ACPE bisa mendaftarkan diri kepada otoritas pengaturan profesional di host country untuk dicatat sebagai Registered Foreign Professional Engineers (RFPE). Jika seorang ACPE akan bekerja di host country, persyaratannya adalah ia tidak bisa bekerja secara mandiri, namun harus berkolaborasi dengan insinyur lokal yang telah memiliki standar kualifikasi yang sama.

Adanya MRA dalam bidang keinsinyuran ini sebenarnya merupakan awal untuk masuk ke dalam penetrasi pasar bebas sektor keinsinyuran, awal untuk memastikan bahwa keseragaman dari kualitas sektor jasa keinsinyuran di negara-negara ASEAN itu sama.44 Masih banyak peraturan dan standar yang bisa dibuat untuk mengarahkan kepada efisiensi dan daya saing. Tidak bisa diartikan bahwa kualitas insinyur dari seluruh negara ASEAN harus sama karena adanya perbedaan kualifikasi dan kualitas SDM yang ada di negara-negara anggota ASEAN. Semisal, SDM insinyur di Singapura tidak bisa disamakan begitu saja dengan SDM insinyur di Indonesia, atau negara lainnya.

Jasa keinsinyuran adalah jasa yang krusial khususnya dalam hal pembangunan fisik, infrastruktur, dan teknologi di suatu negara. Tanpa adanya sektor keinsinyuran, sektor-sektor ekonomi lainnya tidak akan berjalan, misal tidak adanya jalan yang memadai untuk mendistribusikan barang dan jasa dari satu tempat ke tempat lain; tidak berkembangnya fasilitas publik yang dibutuhkan, dan lain sebagainya. Di Indonesia, jasa keinsinyuran didasarkan pada bidang keilmuan dalam rumpun teknik dari kurikulum yang ada. Indonesia mengenal ada 12 jenis bidang dalam sektor keinsinyuran, antara lain:45

44

Pernyataan dari perwakilan Persatuan Insinyur Indonesia dalam FGD di FISIP UI, 26 Oktober 2013 45

(15)

31 1. Teknik Sipil 2. Teknik Mesin 3. Teknik Elektro 4. Teknik Fisika 5. Teknik Perminyakan 6. Teknik Industri 7. Teknik Geodesi 8. Teknik Kelautan 9. Teknik Kimia 10. Teknik Lingkungan 11. Teknik Pertambangan 12. Teknik Aeronautikal

Dalam bidang keinsinyuran, sebenarnya di MRA ada dua yang diatur, pertama adalah bidang keinsinyuran (engineering services) dan sektor arsitektur (architectural services). Akan tetapi, keduanya dipisah karena sekalipun sama-sama rumpun keinsinyuran namun mempunyai karakteristik yang berbeda. Di Indonesia, asosiasi yang membidangi keinsinyuran adalah Persatuan Insinyur Indonesia yang dibentuk pada tahun 1952 dan saat ini dipimpin oleh Ir. Bobby Gafur Umar, MBA hingga tahun 2015.46

1.2 MRA Dalam Sektor Jasa Arsitektur

MRA untuk jasa arsitektur ditandatangani pada tanggal 19 November 2007 di Singapura. Tujuan dari MRA ini dijelaskan dalam empat poin yaitu:47

46

Diakses dari http://pii.or.id/profil/overview 47

(16)

32 a. Menfasilitasi mobilitas arsitek-arsitek;

b. Melakukan pertukaran informasi dalam upaya mempromosikan pengadopsian best practices dalam hal standar pendidikan arsitektur, praktik profesional dan kualifikasi-kualifikasi lainnya;

c. Melaksanakan spirit kerjasama ASEAN yang menekankan pada distribusi sumber daya yang fair dan benefit melalui riset kolaborasi;

d. Mendorong, menfasilitasi dan membangun pengakuan timbal balik dalam hal jasa arsitek dan menyusun standar dan komitmen untuk melakukan transfer teknologi di antara negara-negara anggota ASEAN.

Melihat tujuan MRA jasa arsitek ini, terkesan lebih maju dalam lingkup kegiatannya terutama terkait poin 3 dan 4, yang menekankan distribusi sumber daya yang fair dan riset kolaborasi serta transfer teknologi. Poin-poin ini tidak disebutkan untuk MRA disektor lainnya seperti Keperawatan dan Kedokteran yang seyogyanya bisa juga ditujukan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang lebih luas.48

1.3 MRA Dalam Sektor Jasa Akutansi

MRA Framework untuk sektor jasa akuntansi (accountancy services) Disepakati pada tanggal 26 Februari 2009, oleh negara-negara anggota ASEAN. Pihak yang mewakili Indonesia adalah Mari Elka Pangestu yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Sebagai sebuah MRA Framework, kesepakatan tersebut tidak langsung mengatur secara detail namun memberikan panduan mengenai prinsip-prinsip besar dan kerangka kerja sama yang dapat

48

(17)

33

menjadi panduan untuk negosiasi lebih lanjut tentang MRA di sektor tersebut di antara negara-negara ASEAN.49

Di dalam dokumen tersebut, definisi ―Accountancy Services‖ merujuk pada

kegiatan-kegiatan yang masuk ke dalam klasifikasi Central Product Classification (CPC) 862 dari

Provisional CPC dari Persatuan Bangsa-Bangsa, ditambah dengah berbagai jasa terkait akuntansi atau jasa-jasa yang bersifat insidental bagi penyedia Jasa Akuntasi, yang ditentukan oleh kesepakatan di antara atau kesepakatan bersama negara-negara ASEAN yang menegosiasikan MRA di sektor Jasa Akuntasi (sebagai tindak lanjut dari MRA Framework yang disepakati tahun 2009 ini).50

Menurut CPC 862, jasa akuntasi, audit dan bookkeeping digolongkan sebagai bagian dari subsektor ―A‖ dari ―Jasa-Jasa Bisnis‖ di dalam Services Sectoral Classification List. Di dalam

Provisisonal CPC, kategori ―Accounting, auditing and bookkeeping services" (atau sering disebut dengan CPC 862) tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kategori. Di dalamnya terdapat ―Accounting and Auditing Services‖ (CPC 8621) yang meliputi: (1) ―financial auditing services‖ (CPC 86211,

yaitu ―jasa untuk melakukan penilaian terhadap catatan pembukuan serta bukti-bukti pendukung organisasi yang lain dengan tujuan untuk menyampaikan opini tentang apakah pernyataan keuangan dari organisasi tersebut telah menunjukkan dengan baik posisi keuangan organisasi tersebut pada tanggal tertentu dan hasil-hasil dari kegiatannya pada periode yang berakhir pada tanggal tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang diterima secara umum‖); (2) ―accounting review services‖ (CPC 86212; yaitu jasa untuk melakukan penilaian terhadap financial statements tahunan atau sementara dan berbagai informasi pembukuan yang lain, yang cakupannya lebih kecil dibandingkan audit sehingga tingkat keyakinannya lebih rendah dibandingkan dengan audit), (3) ―Compilation of financial statements services‖ (CPC 86213, yaitu jasa menyusun laporan keuangan

49

Makmur Keliat, op.cit, hal. 90 50

(18)

34

berdasarkan informasi yang diberikan oleh klien. Tidak ada jaminan yang diberikan mengenai akurasi dari laporan tersebut.), dan (4) jasa akuntansi yang lain (CPC 86219). Kategori yang lain adalah jasa pembukuan (bookkeeping services) yang diberi kode CPC 8622, yaitu jasa mengklasifikasi dan mencatat transaksi bisnis dalam nilai uang atau unit penilaian tertentu di dalam buku catatan keuangan (books of account).51

MRA Framework tentang sektor jasa akutansi menggariskan prinsip-prinsip dasar mengenai dasar-dasar pengakuan profesi di sektor jasa akuntansi. Dalam aspek persyaratan pendidikan, MRA Framework ini menggariskan bahwa Akuntan Profesional Aktif (Practicing Professional Accountant) dari sebuah negara anggota ASEAN yang menginginkan pengakuan untuk dapat bekerja di negara anggota ASEAN yang lain harus memenuhi syarat-syarat pendidikan akuntan di negara asalnya, yang kemudian dapat menjadi dasar untuk mengakui bahwa orang tersebut telah memenuhi syarat-syarat pendidikan di negara tempatnya akan bekerja (host country). MRA Framework ini juga menggariskan bahwa akuntan profesional yang menginginkan pengakuan di negara ASEAN yang lain juga harus menunjukkan kompetensinya untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan memiliki pengetahuan yang memadai tentang peraturan-peraturan domestik dari Host Country yang ditujunya. Selain itu, ia juga harus memenuhi persyaratan pengalaman yang ditentukan di dalam peraturan domestik dari Host Country.

Dalam MRA Framework ini kita melihat bahwa peraturan domestik berkaitan dengan jasa akuntansi akan sangat berpengaruh dalam menentukan jalannya MRA di sektor jasa akuntansi tersebut. MRA Framework ini mengakui keberagaman peraturan domestik di dalam jasa akuntasi di masing-masing negara ASEAN dan tidak hendak memaksakan keseragaman. Bahkan, di dalam pasal 4 dokumen tersebut disebutkan bahwa:

51

Dokumen WTO Secretariat Note, S/C/W/73, 4 December 1998, diakses dari www.wto.org/ english/tratop_e/ serv_e/w73.doc.

(19)

35

“Any bilateral or multilateral MRAs on Accountancy Services between or among ASEAN Member States shall not prejudice the rights, powers and authority of each ASEAN Member State and its NAB and/or PRA and other regulators of the profession to set and regulate the necessary Domestic Regulations.”52

Meskipun demikian, MRA Framework ini juga mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk menggunakan standar dan panduan dari International Federation of Accountants (IFAC) dengan tetap memperhatikan peraturan domestik di masing-masing negara anggota ASEAN. IFAC adalah organisasi yang menaungi asosiasi-asosiasi akuntan di seluruh dunia. Sekarang, IFAC terdiri dari 173 anggota yang tersebar di 130 negara dan yurisdiksi. Berdasarkan perkiraan jumlah anggota dari organisasi akuntan yang menjadi anggota IFAC, IFAC menaungi sekitar 2,5 juta akuntan di seluruh dunia.53

Ikatan Akuntan Indonesia, asosiasi yang menaungi para akuntan di Indonesia, aktif dalam keanggotaan IFAC sejak tahun 1997.54 Pada tahun 2011, Ahmad Hadibroto dari Indonesia terpilih menjadi salah satu anggota dewan organisasi IFAC periode 2011-2014.55 Di ASEAN sendiri, Indonesia menjadi salah satu pendiri ASEAN Federation of Accountants yang didirikan pada tahun 1977. Sekretariat IAI di Jakarta bahkan menjadi sekretariat dari federasi akuntan se-ASEAN tersebut.56

1.5 MRA Dalam Sektor Jasa Surveying Qualfications

Sebagai salah satu sektor yang masuk di dalam pasar jasa ASEAN, MRA Framework dalam bidang surveying qualifications ditandatangani di Singapura, pada tanggal 19

52

ASEAN MRA Framework on Accountancy Services, pasal 4.1. 53About IFAC‖, diakses dari http://www.ifac.org/about-ifac/membership 54

Diakses dari http://www.iaiglobal.or.id/berita/detail.php?id=344

55RI Masuk Anggota Dewan Organisasi Profesi Akuntan Dunia,‖ http://economy.okezone.com/read/ 2011/11/19/320/531 563/ri-masuk-anggota-dewan-organisasi-profesi-akuntan-dunia, diakses, 2 Maret 2016

56

(20)

36

November 2007 oleh kesepuluh perwakilan negara-negara ASEAN. Pada saat itu, dokumen MRA ASEAN dalam bidang surveying ini perwakilan Indonesia ditandatangani oleh Mari Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan. Seperti halnya MRA di bidang-bidang lainnya, MRA Framework dalam bidang surveying qualifications juga mengandung gambaran dan aturan umum mengenai pengaturan bidang surveying di ASEAN.57

Di dalam kerangka kerja MRA bidang surveying qualifications, ada beberapa pendefinisian mengenai bidang surveying qualifications. Pertama, yang disebut dengan surveyor

adalah warga negara dari negara anggota ASEAN yang telah menyelesaikan pendidikan sarjana pada universitas atau perguruan tinggi pada program surveying yang telah diakui oleh otoritas kompetensi. Kedua, surveying professional merujuk kepada surveyor yang memiliki pengalaman atau keahlian teknis yang sesuai dengan ketentuan yang ditentukan oleh otoritas kompetensi. Sementara, yang disebut dengan surveying services adalah satu atau lebih dari satu aktivitas yang terjadi di atas atau di bawah permukaan tanah atau laut dan dikelola oleh asosiasi dengan pekerja profesional seperti yang didefinisikan dalam International Federation of Surveyors (FIG), yang dijelaskan di dalam Appendix II di dalam MRA tersebut.58 Di dalam Appendix II MRA Framework for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications disebutkan definisi FIG tentang fungsi dari surveyor.59 Menurut FIG, yang disebut dengan surveyor adalah ―a professional person with the academic qualifications and technical expertise to conduct one, or more, of the following activities:

57

Makmur Keliat, op.cit, hal. 83 58

ASEAN Framework Arrangement MRA for the Mutual Recognition of Surveying Qualifications, Article 2.9-2.11

59

Di dalam ulasan berikutnya penggunaan istilah ―surveying‖ bersifat interchangeable dengan ―pemetaan‖,

(21)

37

a. to determine, measure and represent land, three-dimensional objects, point-fields and trajectories;

b. to assemble and interpret land and geographically related information,

c. to use that information for the planning and efficient administration of the land, the sea and any structures thereon; and,

d. to conduct research into the above practices and to develop them”

Di dalam Article III di MRA tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi aturan umum mengenai pengakuan sektor survei di negara-negara ASEAN. Pertama adalah masalah pendidikan. Dalam hal pendidikan, seorang calon surveyor harus bisa memenuhi kompetensi pendidikan yang disyaratkan di negara asalnya (home country) sesuai dengan aturan dan kualifikasi yang ada di negara asalnya. Sementara, jika ia ingin mendapatkan pengakuan di negara lain, calon surveyor ini harus memenuhi standar yang diberikan oleh negara tujuan (host country) di mana ia ingin memperoleh pengakuan. Kedua, masalah examinations. Negara-negara ASEAN mengakui bahwa bisa jadi ada persyaratan bagi para calon surveyor untuk memenuhi ujian yang ditujukan untuk memastikan bahwa aplikan mempunyai pengetahuan yang memadai atas praktik, standar, dan peraturan lokal dan nasional di host country. Namun jika calon

surveyor profesional sudah memperoleh pengakuan nasional di home country, maka ia bisa saja tidak perlu mengikuti seluruh ujian yang disyaratkan di host country, sepanjang persyaratan pendidikan dan persyaratan profesional lainnya telah terpenuhi.60 Aturan umum yang ketiga adalah masalah pengalaman (experience), di mana aplikan harus memenuhi standar minimum durasi pengalaman teknis profesional dalam hal surveying setelah lulus sarjana. Jumlah dan jenis pengalaman yang disyaratkan harus sesuai dengan yang diminta oleh host country, jika belum

60

(22)

38

terpenuhi, aplikan bisa melengkapinya di negara tujuan. Aturan pengakuan keempat adalah proses pengakuan (recognition process) yang mensyaratkan bahwa seluruh negara ASEAN harus memastikan bahwa semua standar yang diadopsi terkait pengakuan, regsitrasi atau lisensi atas

surveying professional dari negara ASEAN lainnya harus berdasarkan kompetensi dan bisa diakses dengan mudah. Negara-negara ASEAN setuju bahwa perihal registrasi dan/atau lisensi dari surveying professional pada yurisdiksinya disesuaikan dengan hukum dan peraturan domestik, kebijakan, standard an kebutuhan nasional.61 Dengan kata lain, peraturan domestik masih dijadikan sebagai pertimbangan untuk menerapkan standar regional di kalangan negara-negara ASEAN.

Meskipun di dalam kerangka kerja MRA dalam bidang surveying ini diatur mengenai hak negara untuk mengatur bagaimana bidang surveying diatur di dalam negeri, di dalam Article IV

dijelaskan bahwa pengaturan lokal tersebut harus disesuaikan dengan tujuan dari perjanjian kerangka kerja tanpa menciptakan hambatan-hambatan yang tidak perlu (unnecessary barriers) bagi pengakuan surveying professional yang akan masuk ke suatu negara.

Satu hal yang menarik untuk dilihat adalah dibandingkan dengan sub sektor jasa lain yang sudah diatur dalam masing-masing MRA, sektor surveying ini di seluruh negara ASEAN dipegang oleh instansi pemerintah, sementara di sektor MRA lainnya didelegasikan kepada asosiasi profesi dengan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait. Salah satu alasan mengapa demikian adalah karena bidang survei pemetaan berhubungan langsung dengan kekuasaan geografis suatu negara dengan kata lain berkaitan pula dengan kedaulatan negara dalam hal geografi. Oleh sebab itu, dalam Appendix I di dalam kerangka kerja MRA surveying tersebut,

competent authority dari setiap negara dipegang oleh instansi pemerintah di bawah kementerian.

61

(23)

39

Di Indonesia sendiri, otoritas yang merupakan representasi Indonesia dalam MRA framework bidang surveying didelegasikan kepada Badan Informasi Geospasial (atau sebelumnya dikenal dengan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional). Selain itu, tidak semua informasi geospasial yang dimiliki oleh badan informasi bidang geospasial tersebut bisa dipublikasikan. Banyak jenis data yang memang tidak bisa dibagi secara luas dan hanya untuk kepentingan negara saja.62 Hal ini bisa jadi mencakup pemetaan potensi sumber daya alam yang ada di suatu negara dan jika informasi mengenai hal ini bisa diakses dengan mudah akan dapat dimanfaatkan oleh pihak investor asing untuk melakukan eksplorasi sumber daya di negara tersebut yang mana pengelolaan sumber daya seharusnya berada penuh di tangan negara.

2. MRAs Dalam Sektor Jasa Berkaitan Dengan Pelayanan Kesehatan

Implementasi MRAs dalam sektor jasa berkaitan dengan pelayanan kesehatan dijalankan oleh ASEAN Joint Coordinating Committees (AJCCs) yang berada dikoordinasi the Healthcare Services Sectoral Working Group (HSSWG) dibawah koordinasi the ASEAN Coordinating Committee on Services (CCS).63 Ketiga bentuk AJCCs, yaitu :

a. ASEAN Joint Coordinating Committee on Medical Practitioners (AJCCM) yang mengkoordinir tenaga medis pada bidang dokter;

b. ASEAN Joint Coordinating Committee on Nursing (AJCCN) yang mengkoordinir tenaga medis keperawatan;

c. ASEAN Joint Coordinating Committee on Dental Practitioners (AJCCD) yang mengkoordinir tenaga medis pada bidang kedokteran gigi.

62

http://infopublik.layanan.go.id/read/5421/yusuf-surachman-deputi-bidang-infrastruktur-data-spasial-badan-koordinasi-survei-dan-pemetaan-nasional-bakosurtanal-.html , diakses tanggal 12 Februari 2016

63

(24)

40

Tujuan dari tiga (3) MRAs terkait kesehatan-ini adalah untuk:64 a. Memfasilitasi mobilitas profesional dalam ASEAN;

b. Pertukaran informasi dan meningkatkan kerja sama dalam hal saling pengakuan dari para profesional;

c. Mempromosikan adopsi praktik terbaik pada standar dan kualifikasi; dan d. memberikan kesempatan untuk peningkatan kapasitas dan pelatihan.

Sejalan dengan tujuan MRAs ini, bekerja yang dilakukan oleh AJCCs adalah untuk:

a. Pertukaran informasi berkaitan dengan hukum, praktik dan perkembangan dalam praktek kesehatan;

b. Pertukaran informasi berkaitan dengan prosedur untuk pendaftaran dan perizinan dari praktisi dalam dan luar negeri di masing-masing Negara Anggota ASEAN;

c. Diskusikan kualifikasi yang dibutuhkan;

d. Mengidentifikasi dan melakukan program pertukaran;

e. Mengidentifikasi daerah potensi untuk memudahkan mobilitas lebih lanjut; dan

f. Tinjau MRA sebagai mandat. MRAs di pelayanan kesehatan tidak mengadopsi sistem pendaftaran ASEAN-lebar tidak seperti orang-orang di bawah layanan bisnis. bentuk yang tepat dari mobilitas praktisi kesehatan terus dieksplorasi dengan mempertimbangkan keselamatan pasien akun sebagai pertimbangan penting. Informasi tentang prosedur untuk pendaftaran dan perizinan dari praktisi asing di masing-masing Negara Anggota ASEAN telah dibagikan untuk memfasilitasi pendaftaran dan perizinan dari profesional kesehatan di ASEAN.

64

http://www. asean.org/communities/asean-economic-community/category/healthcare-services, diakses tanggal 14 Februari 2016

(25)

41

Pembagian MRAs dalam sektor jasa berkaitan dengan pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:

1.1 MRA Dalam Sektor Jasa Keperawatan

Jasa tenaga profesional perawat merupakan salah satu sektor yang disepakati dalam liberalisasi sektor jasa ASEAN. MRA untuk jasa perawat ditandantangani di Cebu, Filipina pada tanggal 18 Desember 2006. MRA ditandatangani dengan empat tujuan yaitu:65

a. Memfasilitasi mobilitas perawat professional di dalam negara-negara ASEAN; b. Pertukaran informasi dan ahli dalam hal standar dan kualifikasi;

c. Mempromosikan pengadopsian praktik-praktik terbaik jasa perawat profesional; dan

d. Menyediakan kesempatan-kesempatan untuk kegiatan peningkatan kapasitas dan pelatihan bagi perawat-perawat tersebut.

Adapun perawat dalam MRA tersebut didefinisikan sebagai berikut:66

Nurserefers to a natural person who has completed the required professional training and conferred the professional nursing qualification; and has been assessed by the Nursing Regulatory Authority of the Country of Origin as being technically, ethically and legally qualified to undertake professional nursing practice; and is registered and/or licensed as a professional nurse by the Nursing Regulatory Authority of the Country of Origin. This definition shall not apply to a technical level nurse.‖

Dalam definisi tersebut terkandung makna secara jelas bahwa perawat yang dimaksud adalah seseorang yang memiliki keahlian di bidang jasa keperawatan yang didapatkan secara

65

ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Nursing Services diambil dari

http://www.asean.org/communities/asean-economic-community/item/asean-mutual-recognition-arrangement-on-nursing-services 66

(26)

42

formal dan secara administratif telah mendapatkan pengakuan dan lisensi dari otoritas yang ditunjuk oleh negaranya masing-masing. Dengan demikian tergambarkan secara jelas bahwa hanya perawat-perawat yang mempunyai daya saing tinggi yang memiliki kesempatan untuk ikut dan mendapatkan keuntungan dalam ―pasar‖ jasa perawat. Selain itu, peran negara menjadi poin penting terutama dalam menentukan dan meningkatkan kualifikasi tenaga-tenaga perawat untuk dapat memanfaatkan secara optimal implementasi liberalisasi jasa perawat di level ASEAN.

Di Indonesia, terdapat tumpang tindih dalam mendefinisikan profesi perawat. Istilah perawat belum memiliki standar yang baku, sehingga posisi perawat profesional seringkali disamakan dengan jasa perawat-perawat yang lebih menekankan pada keterampilan.67

Dalam upaya implementasi MRA ini, ada dua badan yang bertanggung jawab yaitu:68 a. Nursing Regulatory Authority (NRA), merupakan sebuah badan yang ditunjuk di

masing-masing negara yang biasanya dipegang oleh kementerian kesehatan atau dewan perawat seperti di Kamboja, Singapura, Phillipnes dan Brunei, yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa tenaga-tenaga perawat yang tersedia sudah memenuhi kriteria dan standadr kualifikasi yang disepakati. Dengan kata lain badan ini melakukan kontrol dan mengatur arus masuk dan keluar jasa perawat dari dan ke suatu negara. Beberapa negara seperti Brunei, Philipina, Singapura, dan Thailand menunjuk ―board of nursing‖ sebagai

badan yang menjalankan fungsi sebagai NRA. Hal ini mengindikasikan bagaimana posisi

board of nursing dipandang memiliki posisi strategis di negara-negara tersebut. Sementara di Indonesia ―board of nursing‖ baru berdiri di tahun 2014, dengan adanya UU keperawatan.

Dengan demikian focal point MRA Keperawatan berada di Kementerian Kesehatan dalam

67

Makmur Keliat, op.cit, hal. 40 68

(27)

43

hal ini Direktorat Bina Upaya Pelayanan Keperawatan dan Keteknisian Medik Ditjen BUK – Kemkes RI.

b. The ASEAN Joint Coordinating Committee on Nursing (AJCCN) merupakan suatu badan yang terdiri dari kumpulan NRA masing-masing negara yang bertanggung jawab untuk melakukan pertukaran informasi, menyelaraskan dan mengharmonisasikan berbagai kebijakan-kebijakan di setiap negara. Di level inilah diskusi dan negosiasi terhadap berbagai aspek dalam pelaksanaan liberalisasi jasa perawat yang dilakukan oleh masing-masing NRA yang ditunjuk.

Dalam hal monitoring dan evaluasi, peran NRA dan A-JCCN menjadi focal point untuk menyelaraskan kepentingan-kepentingan yang ada dan melakukan evaluasi atas pelaksanaan MRA tersebut. Walau demikian, perlu dicatat bahwa mekanisme evaluasi belum tertera secara detail dalam MRA yang disepakati.69

1.2 MRA Dalam Sektor Jasa Praktisi Medis/ Dokter

MRA untuk jasa dokter ditandatangani di Cha am, Thailand pada tanggal 26 Februaari 2009 bersamaan dengan penandatangan MRA untuk sektor jasa dokter gigi (dental practitioners)

dan jasa akuntansi (accountancy services). MRA ini bertujuan untuk:70 a. Memfasilitasi mobilitas jasa dokter di dalam kawasan ASEAN;

b. Bertukar informasi dan meningkatakan kerjasama dalam skema MRA jasa dokter; c. Mempromosikan pengadopsian best practices untuk standar dan kualifikasi;

d. Menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dan melatih para pelaku jasa dokter

69 Ibid. 70

ASEAN MRA on Medical Practitioners diambil dari http://www.asean.org/communities/asean-economic-community/item/asean-mutual-recognition-arrangement-on-medical-practitioners-2, diakses tanggal 14 Februari 2015

(28)

44

Definisi terkait jasa praktisi medis/dokter sangat menekankan pada keahlian dan kualifikasi. Bahkan untuk posisi specialiast secara jelas disebutkan memiliki kualifikasi pendidikan pascasarjana. Poin ini berbeda dengan MRA yang disepakati di bidang jasa keperawatan yang tidak menyebutkan persyaratan level pendidikan pascasarjana sebagai syarat. Hal ini mungkin disebabkan cara pandangan terhadap profesi dokter dan perawat yang dianggap sebagai sebuah strata. Padahal sesungguhnya cara pandang seperti ini mengotak-kotakkan profesi yang seharusnya dituntut memenuhi kualiifikasi yang sebaik mungkin.71

Dalam menjalankan MRA ini, seperti juga di bidang keperawatan ada dua badan yang berfungsi untuk mengimplementasikan MRA ini. Dua badan tersebut adalah:72

1. Professional Medical Regulatory Authority (PMRA)

PMRA merupakan sebuah badan yang terdiri dari otoritas pemerintah setiap negara anggota ASEAN yang secara umum berfungsi untuk mengatur dan mengontrol praktik jasa medis dan pengobatannya.

2. ASEAN Joint Coordinating Committee on Medical Practitioners (AJCCMP)

Seperti halnya di sektor keperawatan, MRA jasa praktisi medis ditindaklanjuti dengan pembentukan AJCCMP yang terdiri dari perwakilan PMRA dari setiap negara anggota yang tidak lebih dari dua orang.

Tugas AJCCMP ini menfasilitas implmentasi MRA melalui upaya-upaya menyelaraskan aturan domestik dengan tujuan yang ingin dicapai dalam MRA. AJCCMP juga secara menghimbau agar negara anggota mengikuti standarisasi dan mengadopsi mekanisme dan

71

Makmur Keliat, op.cit, hal. 54 72

(29)

45

prosedur dalam MRA. Diharapkan hambatan-hambatan domestik sudah hilang pada tahun 2015. Indonesia dapat dikatakan lebih liberal dari negara lainnya. Hambatan national treatment dan akses pasar hampir dipastikan sudah tidak diberlakukan. Hal ini hampir mirip dengan yang terjadi di Thailand. Sementara di Filipina, UU Dasar negara melarang dokter asing praktik di Filipina. Adapun negara lainnya seperti Laos, Vietnam dan Kamboja belum memiliki regulasi yang ditentukan negaranya. Di Singapura dokter asing dipatok dengan standar yang tinggi.73

Di sisi lain, MRA juga menyatakan bahwa setiap negara host memiliki statutory responsibilities untuk melindungi kesehatan, keselamatan dan lingkungan. Hal ini dapat menjadi celah untuk dapat ―memberlakukan‖ aturan-aturan yang spesifk untuk menjaga kepentingan bangsa. Hal ini dikarenakan karakter MRA sendiri secara keseluruhan tidak bersifat otomatis.74 Makmur Keliat dalam artikel Kompas (2013) menyatakan bahwa:

―MRA masih harus disertai adanya kebutuhan harmonisasi kebijakan antarnegara anggota ASEAN. Namun, harmonisasi kebijakan tidaklah mudah karena menyangkut isu politik domestik dan perubahan regulasi. Karena itu, asas reciprocity dalam agenda liberalisasi perlu tetap dipegang kuat. Tujuannya agar tenaga kerja terampil Indonesia dapat juga dengan mudah diberi akses bekerja di negara anggota ASEAN lain.‖

1.3 MRA Dalam Sektor Jasa Kedokteran Gigi

ASEAN menyepakati Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners

(selanjutnya MRA-DP). MRA-DP ini ditujukan untuk memfasilitasi mobilitas dokter gigi di dalam ASEAN, seiring dengan komitmen negara-negara anggota ASEAN untuk meliberalisasi sektor jasanya. Selain memfasilitasi mobilitas dokter gigi di kawasan ASEAN, diharapkan MRA

73Lihat juga ―AJCCM: Jalan Panjang Menuju Kompetensi Bersama‖, Majalah Halo Internis, Edisi 19, September 2011.

74

(30)

46

ini dapat mendorong terjadinya pertukaran informasi dan penguatan kerjasa dalah hal pengakuan tinggal balik dalam profesi dokter gigi, mempromosikan penerapan praktik terbaik (best practices) dalam standar dan kualifikasi, serta menyediakan kesempatan untuk meningkatkan kapasitas dokter gigi di ASEAN.75

Dalam MRA-DP ini, ―dental practitioners‖ didefinisikan sebagai “a natural person who has completed the required professional dental training and conferred the professional dental qualification; and has been registered and/or licensed by the Professional Dental Regulatory Authority in the Country of Origin as being technically, ethically and legally qualified to undertake professional dental practice."76

Dengan demikian, seseorang dapat disebut sebagai dokter gigi jika ia sudah menyelesaikan pendidikan profesional sebagai dokter gigi dan sudah mendapatkan kualifikasi sebagai dokter gigi serta mendapatkan sertifikasi dari otoritas yang mengatur profesi dokter gigi di negaranya. Hal ini konsisten dengan apa yang selama ini berlaku bagi dokter gigi di Indonesia. Untuk dapat berpraktik sebagai dokter gigi di Indonesia (mendapatkan surat izin praktik sebagai dokter gigi), seseorang harus menyelesaikan pendidikan profesi dokter gigi dan mendapatkan rekomendasi dari Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI). Otomatis, berbeda dengan sektor lain seperti pariwisata yang pelaku jasanya tidak semua terdaftar atau sektor jasa akuntansi yang tidak semua akuntan beregisternya menjadi bagian dari asosiasi profesi, seluruh dokter gigi di Indonesia adalah anggota dari PDGI.77

Sementara itu, spesialis (atau dokter gigi spesialis) merujuk pada seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan spesialis dan kualifikasi pascasarjana yang diakui oleh negara asalnya

75

ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners, artikel 1. 76

ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Dental Practitioners, artikel 2. 77

(31)

47

(country of origin) dan terdaftar atau memiliki lisensi sebagai dokter gigi spesialis yang berlaku di negara tersebut.

Berdasarkan MRA tersebut, entitas yang diakui sebagai PDRA (Professional Dental Regulatory Authority) yang menjadi regulator dalam sektor jasa dokter gigi adalah Konsil Kedokteran Indonesia. PDRA di masing-masing negara ini berperan penting di dalam MRA berkaitan dengan mekanisme bagi dokter gigi yang ingin berpraktik di negara ASEAN yang lain. Seorang dokter gigi dari suatu negara ASEAN dapat mengajukan registrasi sebagai dokter gigi di negara ASEAN yang lain jika memiliki kualifikasi yang diakui oleh PDRA dari negara asalnya dan PDRA dari negara ASEAN yang lain yang ditujunya untuk menjadi tempat praktik (host country). Untuk itu, dokter gigi tersebut harus memiliki sertifikat praktik dokter gigi dan terdaftar secara sah sebagai dokter gigi berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh PDRA di negaranya (country of origin). Sebelum bisa berpraktik di negara ASEAN yang lain, dokter gigi maupun dokter gigi spesialis tersebut setidaknya harus sudah harus berpraktik minimal 5 tahun berturut-turut di negara asalnya serta mematuhi proses pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development) yang berlaku di negara tersebut. Selain itu, dokter gigi tersebut juga harus dinyatakan oleh PDRA dari negara asalnya bebas dari segala bentuk pelanggaran profesional atau pelanggaran etika, baik di tingkat lokal maupun internasional, yang berkaitan dengan praktik dokter gigi di negara asalnya dan di negara lain (dalam batas pengetahuan PDRA di negara tersebut). Ia juga tidak boleh sedang tersangkut masalah hukum di negara asalnya maupun di negara lain.78

78

(32)

48

3. MRA Dalam Sektor Jasa Berkaitan Dengan Tenaga Terampil Kepariwisataan

Pariwisata adalah salah satu sektor yang ditetapkan sebagai prioritas dalam liberalisasi sektor jasa ASEAN. Bersama dengan transportasi udara, e-ASEAN, dan layanan kesehatan, sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang disepakati menjadi paket awal dari pelaksanaan liberalisasi sektor jasa ASEAN dengan tenggat waktu tahun 2010.79 Untuk mendukung liberalisasi sektor jasa pariwisata tersebut, disusunlah kesepakatan ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Tourism Professionals (selanjutnya disebut sebagai MRA-TP).

MRA ASEAN dalam sektor jasa yang berkaitan dengan tenaga kerja terampil kepariwisataan memfasilitasi mobilitas tenaga kerja terampil kepariwisataan di ASEAN melalui kesepakatan tentang kesetaraan pariwisata prosedur sertifikasi dan kualifikasi di ASEAN.80

Di dalam MRA-TP, ada enam mekanisme atau komponen yang dibangun untuk mendorong terciptanya mobilitas tenaga kerja terampil di dalam bidang pariwisata. Keenam komponen tersebut adalah:

a. The National Tourism Professional Board (NTPB), b. The Tourism Professionals Certification Board (TPCB), c. The Common ASEAN Tourism Curriculum (CATC),

d. The ASEAN Tourism Professionals Registration System (ATPRS), e. The ASEAN Tourism Qualifications Equivalency Matrix (ATQEM), f. The ASEAN Tourism Professional Monitoring Committee (ATPMC).

Tenaga kerja terampil kepariwisataan salah satu negara anggota ASEAN dapat diakui oleh negara ASEAN lainnya dan memenuhi syarat untuk bekerja di negara lain, asalkan dia

79

ASEAN Economic Community Blueprint, A2 (21), halaman 10-11. 80

(33)

49

memiliki sertifikat pariwisata kompetensi yang berlaku dalam pariwisata disertai jabatan spesifik yang ditentukan dalam ASEAN Common Competency Standards for Tourism Professionals

(ACCSTP), yang dikeluarkan oleh Tourism Professional Certification Board (TPCB) di negara anggota ASEAN. Kelayakan untuk bekerja di salah satu negara anggota ASEAN akan menyebabkan tenaga kerja terampil tersebut dikenakan undang-undang domestik yang berlaku dan peraturan negara tuan rumah. Seluruh pelaksanaan MRA diawasi oleh ASEAN Tourism Professional Monitoring Committee (ATPMC).81

Penting untuk melihat MRA-TP ini sebagai kesinambungan dari proses yang telah berlangsung sejak disepakatinya liberalisasi sektor jasa ASEAN. Sebelumnya, para pemimpin ASEAN pada tahun 2002 juga sudah menyepakati ASEAN Tourism Agreement yang ditujukan untuk mendorong penciptaan kondisi yang kondusif bagi liberalisasi sektor jasa di ASEAN. Di dalam ATA yang disepakati dalam KTT ASEAN ke-8 di Phnom Penh, Kamboja, pada tahun 2002, disebutkan bahwa negara-negara anggota ASEAN berkomitmen untuk saling bekerja sama dalam membangun sumber daya manusia di dalam industri pariwisata dan perjalanan (tourism and travel industry) dengan langkah-langkah berikut:82

a. Menyusun pengaturan yang non-restriktif untuk mempermudah negara-negara anggota ASEAN untuk mendayagunakan keahlian para tenaga profesional pariwisata yang tersedia di kawasan dengan menggunakan pengaturan yang bersifat bilateral;

b. Mengintensifkan pembagian sumber daya dan fasilitas bagi pendidikan pariwisata dan program-program pelatihan;

81

http://www.asean.org/images/2013/economic/handbook%20mra%20tourism_opt.pdf, diakses tanggal 15 Februari 2015

82

(34)

50

c. Meningkatan kurikulum pendidikan pariwisata dan keahlian tenaga profesional dalam bidang pariwisata serta menyusun standar kompetensi dan prosedur sertifikasi, yang diharapkan dapat mewujudkan pengakuan timbal balik terhadap keahlian dan kualifikasi di bidang tersebut di antara negara-negara ASEAN.

d. Memperkuat kerja sama pemerintah-swasta di dalam pengembangan sumber daya manusia; e. Bekerja sama dengan negara-negara, perkumpulan negara-negara, serta organisasi

internasional untuk membangun sumber daya untuk pariwisata.

f. Di negara-negara anggota ASEAN sendiri, pariwisata merupakan salah satu primadona. The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012 yang diterbitkan oleh World Economic Forum memperkirakan bahwa sumbangan pariwisata pada GDP gabungan negara-negara ASEAN mencapai 4,6 persen. Jika pengaruh tidak langsungnya dihitung, kontribusi sektor ini bisa mencapai 10,9 persen.83 Tentu saja jumlah ini merupakan komponen yang cukup signifikan dari sumbangan sektor jasa yang mencapai 50,13% (tahun 2011).84 Bagi Indonesia sendiri, pendapatan dari wisatawan asing mencapai 7,952 miliar USD atau 1,1% dari total GDP Indonesia.85

Dari segi penyerapan tenaga kerja, sektor pariwisata ini diperkirakan secara langsung menyerap sekitar 9,3 juta orang di seluruh ASEAN. Dalam persen, jumlah itu membentuk sekitar 3,2 persen dari total pekerjaan. Secara tidak langsung, sektor ini juga berdampak pada 25 juta pekerjaan di negara-negara ASEAN.86

83

World Economic Forum, The ASEAN Tourism and Travel Competitiveness Report 2012, halaman 1. 84

ASEAN Secretariat, ASEAN Statistical Yearbook 2012, (Jakarta: ASEAN Secretariat, 2013). 85

World Economic Forum, loc.cit. 86

(35)

51

C. ASEAN Agreement on Movement of Natural Person (MNP)

Perjanjian ASEAN tentang Movement of Natural Person (MNP)87 ditandatangani oleh

ASEAN Economic Minister (AEM) pada tanggal 19 November 2012 di Phnom Penh, Kamboja. Hal ini dimaksudkan sebagai kerangka hukum untuk bekerja menuju penghapusan secara substansial semua pembatasan dalam gerakan lintas batas alami sementara orang yang terlibat dalam penyediaan perdagangan barang, perdagangan jasa dan investasi. Hal ini juga dimaksudkan untuk menjadi mekanisme yang lebih meliberalisasi dan memfasilitasi pergerakan alami orang terhadap arus bebas tenaga kerja terampil di ASEAN melalui kerjasama yang erat antara badan-badan ASEAN terkait di daerah, termasuk perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi, imigrasi, dan tenaga kerja.

Tujuan dari Persetujuan MNP adalah untuk:88

a. Memberikan hak dan kewajiban sehubungan dengan MNP sebagaimana diatur dalam Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di Bidang Jasa (AFAS).

b. Memfasilitasi pergerakan orang alami terlibat dalam melakukan perdagangan: barang, perdagangan jasa dan investasi.

c. Menetapkan prosedur yang efisien dan transparan untuk aplikasi imigrasi.

d. Melindungi integritas perbatasan negara anggota 'dan melindungi tenaga kerja domestik dan pekerjaan tetap di wilayah Negara Anggota.

Perlu dicatat bahwa MNP hanya berhubungan dengan gerakan alami sementara orang ke negara-negara lain untuk menyediakan layanan jasa. Ini tidak mencakup entri lintas batas oleh

87

http://www.asean.org/images/2012/Economic/sectoral_aem/service/agreement/ASEAN/ AGREEMENT/ ON/THE/ MOVEMENT%20OF%20NATURAL%20PERSONS.pdf, diakses tanggal 15 Februari 2016

88 Ibid.

(36)

52

orang untuk tujuan pekerjaan permanen atau migrasi permanen (seperti untuk tinggal permanen atau perubahan kewarganegaraan). MNP hanya mencakup jenis-jenis pemasok jasa tertulis dalam Jadwal Komitmen dan karena itu tidak semua jenis orang (seperti tenaga kerja tidak terampil) yang tercakup dalam Perjanjian MNP.

Ruang lingkup Perjanjian MNP berlaku untuk Business Visitor (BV), Intra-Corporate Transferees (ICT), dan Contractual Service Suppliers (CSS) sebagaimana didefinisikan dalam Perjanjian antar negara anggota ASEAN.

Jadwal kesepakatan dari negara anggota ASEAN dalam Perjanjian MNP ini dilampirkan Perjanjian ini dan disahkan oleh Menteri ekonomi ASEAN selama pertemuan ke 9 ASEAN Economic Community (AEC) yang diselenggarakan pada 10 April 2013 di Brunei Darussalam.89

Setelah berlakunya perjanjian ini, Mode 4 komitmen yang dibuat oleh Negara Anggota di bawah paket AFAS sebelumnya, termasuk yang ditandatangani oleh AEM, ASEAN Finance Ministers (AFM), dan ASEAN Transport Ministers (ATM), akan digantikan oleh Jadwal komitmen dari Negara Anggota berdasarkan Perjanjian MNP ini, dan akan ditinjau dalam waktu satu tahun setelah berlakunya.

D. ASEAN Qualifications Reference Framework (AQRF)

Perkembangan terbaru dalam upaya ASEAN untuk mempromosikan pendidikan dan mobilitas pelajar dan pekerja adalah ASEAN Qualifications Reference Framework (AQRF). AQRF telah disahkan oleh Menteri Ekonomi ASEAN pada bulan Agustus 2014, oleh Menteri

89

Tersedia pada bagian MNP, http://www.asean.org/communities/asean-economic-community/ category/agreements-declarations-12

(37)

53

Pendidikan ASEAN pada bulan September 2014, dan ad-referendum pengesahan oleh Menteri Tenaga Kerja ASEAN pada Mei 2015.90

AQRF adalah referensi umum untuk memungkinkan perbandingan kualifikasi di negara anggota ASEAN. Ini mencakup semua sektor pendidikan dan pelatihan. Ini terdiri dari 8 tingkat kompleksitas dari hasil belajar berdasarkan:91

a. pengetahuan dan keterampilan, dan b. aplikasi dan tanggung jawab.

Melalui AQRF, negara anggota ASEAN akan mampu melakukan acuan, yang merupakan proses untuk membangun hubungan antara delapan tingkat di AQRF dengan tingkat pada kualifikasi sistem mereka.

Sebagai contoh, seorang insinyur dari Negara A yang memegang kualifikasi tertentu dari kerangka kualifikasi negaranya akan bekerja di Negara B. AQRF akan menerjemahkan sesuai tingkat kualifikasi dari Negara A ke tingkat yang setara di nasional kerangka kualifikasi Negara B.

AQRF didasarkan pada pemahaman yang disepakati antara negara anggota dan, memiliki pengaruh netral pada kerangka kualifikasi nasional dari negara-negara anggota ASEAN. Ini mengundang keterlibatan sukarela dari negara dan tidak memerlukan perubahan sistem kualifikasi nasional negara-negara anggota ASEAN.

AQRF mendukung dan meningkatkan kualifikasi nasional masing-masing negara sambil memberikan mekanisme untuk memfasilitasi perbandingan, transparansi dan sistem kualifikasi

90

ASEAN integration in services, op.cit, hal. 33 91

(38)

54

kualitas yang lebih tinggi. Hal ini didukung oleh prinsip-prinsip jaminan kualitas yang telah disepakati dan sesuai standar, dan membutuhkan negara untuk menggambarkan pendidikan dan pelatihan sistem jaminan kualitas mereka.92

92

Referensi

Dokumen terkait

The characteristic of flash flood by initially defining it as a rapid flooding of low-lying areas, rivers and streams that are caused by the intense rainfall also occur when

Sanksi hukum orang yang menikahkan pelaku poligami tanpa izin pengadilan agama dalam tinjauan hukum Islam tidak ada perbedaan tidak ada perbedaan pelaku poligami dan orang

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hasil dengan teknik survey tes dan variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah kemampuan volume oksigen maksimal

Pendidik kesehatan di FK Unud selalu memperhatikan kesehatannya dengan melakukan pola hidup sehat namun masih ada pendidik kesehatan yang tidak melakukan pemeriksaan

Sesuai dengan rumusan permasalahan yang telah diuraikan, terjawab bahwa hasil dari analisis secara parsial menunjukan bahwa variabel Reability (X1), variabel Responsiveness

Bagaimana perasaan anda ketika melihat orang lain lebih baik / memiliki sesuatu yang lebih baik daripada anda?. Hanya tersenyum dan berkhayal supaya saya bisa menjadi

Bursa berjangka adalah tempat/fasilitas memperjual belikan kontrak atas sejumlah komoditi atau instrumen keuangan dengan harga tertentu yang penyerahan barangnya

Symbolic Precognitive Dream ditandai dengan informasi prekognitif yang abstrak yang pada umumnya tidak disadari hingga kejadian yang sebenarnya terjadi.Hal ini sulit