• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 LANDASAN TEORI"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kebijakan Moneter

Kebijakan moneter adalah upaya mengendalikan atau mengarahkan perekonomian makro ke kondisi yang diinginkan (yang lebih baik) dengan mengatur jumlah uang beredar. Kondisi yang lebih baik adalah meningkatnya output keseimbangan dan atau terpeliharanya stabilitas harga (inflasi terkontrol). Melalui kebijakan moneter pemerintah dapat mempertahankan, menambah, atau mengurangi jumlah uang beredar dalam upaya mempertahankan kemampuan ekonomi untuk tumbuh, sekaligus mengendalikan inflasi. Jika yang dilakukan adalah menambah jumlah uang beredar, maka kebijakan yang diambil adalah kebijakan ekspansif, sedangkan kebijakan moneter kontraktif dilakukan dengan mengurangi jumlah uang beredar atau yang dikenal dengan kebijakan uang ketat (tight money policy) (Rahardja dan Manurung, 2002 : 359).

Menurut Pohan (2008:31-34), instrumen kebijakan moneter meliputi: a.Cadangan Wajib (reserve requirement)

Cadangan Wajib merupakan ketentuan bank sentral yang mewajibkan bank-bank untuk memelihara sejumlah alat-alat liquid sebesar persentase tertentu dari kewajiban lancarnya. Penetapan besar kecilnya cadangan minimum akan berdampak terhadap pergerakan suku bunga. Makin tinggi cadangan minimum, akan menyebabkan suku bunga pinjaman (lending rate) meningkat karena cost of loanable fundmenjadi semakin tinggi, demikian juga sebaliknya.

(2)

Di samping itu, penetapan cadangan minimum oleh bank sentral juga dapat merefleksikan kemampuan bank untuk dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat. Semakin kecil persentase cadangan minimum, semakin besar kemampuan bank memanfaatkan dana cadangannya untuk memberikan pinjaman dalam jumlah yang lebih besar kepada masyarakat. Sebaliknya semakin besar persentase cadangan minimum, semakin berkurang kemampuan bank untuk dapat memberikan pinjaman kepada masyarakat. Melihat hal itu, pinjaman perbankan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi jumlah uang beredar, sehingga dari peran inilah cadangan minimum dapat menjadi alat untuk menambah atau mengurangi jumlah uang beredar.

b.Operasi Pasar Terbuka (open market operation)

Operasi pasar terbuka merupakan kegiatan jual-beli surat berharga yang dilakukan oleh bank sentral. Kebijakan ini akan memiliki dampak kontraksi moneter saat bank sentral melakukan penjualan surat-surat berharga. Hal ini disebabkan karena pengurangan alat-alat liquid bank akan memperkecil kemampuan bank memberikan pinjaman. Namun, jika bank sentral melakukan kebijakan dengan membeli surat-surat berharga maka akan membawa dampak ekspansi moneter. Hal ini disebabkan karena peningkatan alat-alat liquid bank akan memperbesar kemampuannya dalam memberikan pinjaman. Operasi pasar terbuka dilakukan dengan dua cara, yaitu melalui penjualan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Intervensi Rupiah melalui fasilitas simpanan Bank Indonesia (FASBI).

c. Fasilitas Diskonto (discount policy)

Fasilitas diskonto merupakan kebijakan moneter untuk mempengaruhi jumlah uang beredar melalui pengaturan suku bunga pemberian kredit oleh bank

(3)

sentral kepada bank-bank. Ketika bank sentral menetapkan tingkat diskonto lebih tinggi, maka bank-bank akan mengurangi permintaan kredit dari bank sentral yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuan bank-bank memberi pinjaman sehingga jumlah uang beredar menurun. Namun, jika bank sentral menetapkan tingkat diskonto lebih rendah, bank-bank akan meningkatkan permintaan kredit kepada bank sentral untuk disalurkan kepada masyarakat, sehingga jumlah uang beredar meningkat.

d. Intervensi Valuta Asing (foreign exchange intervation)

Intervensi valuta asing merupakan kebijakan bank sentral mempengaruhi jumlah uang beredar atau likuiditas di pasar uang melalui jual beli valuta asing atau cadangan devisa. Jika bank sentral ingin mengetatkan likuiditas rupiah di pasar uang, bank sentral akan menjual cadangan devisanya. Sebaliknya, pembelian valuta asing oleh bank sentral akan meningkatkan likuiditas rupiah di pasar uang. Dalam praktiknya, intervensi valuta asing ini banyak dilakukan untuk upaya stabilisasi atau smoothing pergerakan nilai tukar mata uang sendiri.

e. Imbauan (moral suasion)

Moral suasion merupakan imbauan bank sentral kepada bank-bank untuk melakukan kebijakan tertentu. Imbauan ini bersifat tidak mengikat, tetapi sebagai lembaga yang kredibel imbauan bank sentral biasanya memiliki dampak yang cukup efektif dalam kebijakan moneter.

Kerangka strategis kebijakan moneter pada dasarnya terkait dengan penetapan tujuan akhir kebijakan moneter (stabilitas harga, pertumbuhan ekonomi, dan perluasan lapangan kerja) serta strategi untuk mencapainya

(4)

(exchange rate targeting, monetary targeting, inflation targeting implicit but not explicit anchor) (Warjiyo dan Solikin, 2004). Dalam hal ini tujuan akhir yang ingin dicapai oleh kebijakan moneter lebih terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Melalui pencapaian tujuan ini, kebijakan moneter dapat memberikan kontribusi yang optimal pada pencapaian stabilitas makro ekonomi secara keseluruhan dan pencapaian lapangan kerja.

(i) Penargetan Nilai Tukar(exchange rate targeting)

Strategi kebijakan moneter dengan penargetan nilai tukar mendasarkan keyakinan bahwa nilai tukarlah yang paling dominan pengaruhnya terhadap pencapaian sasaran akhir kebijakan moneter. Umumnya, strategi ini ditempuh oleh negara-negara dengan perekonomian kecil tapi sangat terbuka, seperti Singapura dan Belanda. Dalam pelaksanaannya ada tiga alternatif yang dapat ditempuh. Pertama, dengan menetapkan nilai mata uang domestik terhadap harga komoditas tertentu yang diakui secara internasional, seperti emas (standar emas). Kedua, dengan menetapkan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara-negara besar yang mempunyai laju inflasi yang rendah. Ketiga, menyesuaikan nilai mata uang domestik terhadap mata uang negara tertentu ketika perubahan nilai mata uang diperkenankan sejalan dengan perbedaan laju inflasi diantara kedua negara (crawling peg).

Disamping kelebihan-kelebihan di atas penerapan strategi ini juga mempunyai kelemahan sebagai berikut. Pertama, penargetan nilai tukar dalam kondisi ketika perekonomian suatu negara sangat terbuka dan mobilitas dana luar negeri sangat tinggi akan menghilangkan independensi kebijakan moneter

(5)

domestik dari pengaruh luar negeri tersebut. Kedua, penargetan nilai tukar dapat menyebabkan setiap gejolak struktural yang terjadi di negara lain akan ditransmisikan atau berdampak secara langsung pada stabilitas perekonomian domestik. Ketiga, penargetan nilai tukar rentan terhadap tindakan spekulasi dalam pemegangan mata uang domestik.

(ii) Penargetan Besaran Moneter(monetary targeting)

Pada banyak negara, penargetan nilai tukar bukan menjadi pilihan utama dari strategi kebijakan moneternya karena tidak ada suatu negara yang mata uangnya secara meyakinkan dapat dijadikan acuan dalam penetapan strategi oleh negara lain. Untuk itu, beberapa negara lebih memilih penargetan besaran moneter sebagai sasaran antara, misalnya uang beredar dalam arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2), serta kredit. Kelebihan utama dari penargetan besaran moneter dibandingkan dengan penargetan nilai tukar adalah dimungkinkannya kebijakan moneter yang independen sehingga bank sentral dapat memfokuskan pencapaian tujuan yang ditetapkan seperti laju inflasi yang rendah dan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sebagaimana penargetan nilai tukar, penargetan besaran moneter memungkinkan masyarakat segera mengetahui stance arah kebijakan moneter yang ditempuh oleh bank sentral. Sinyal tersebut diharapkan dapat mengarahkan ekspektasi masyarakat terhadap laju inflasi yang akan terjadi serta mengurangi tekanan inflasi.

Strategi ini sangat tergantung pada kestabilan hubungan antara besaran moneter dengan sasaran akhir kebijakan (perkembangan harga dan output). Dengan semakin berkembangnya instrumen keuangan dan semakin

(6)

terintegrasinya perekonomian domestik dengan internasional, maka kestabilan hubungan tersebut menjadi terganggu, seperti tercermin pada ketidakstabilan income velocity(tingkat perputaran uang dalam ekonomi). Hal ini antara lain yang menjadi alasan mengapa bank sentral tidak menerapkan strategi ini dengan kaku, atau bahkan meninggalkan strategi ini.

(iii) Penargetan Inflasi (inflation targeting)

Dengan melemahnya hubungan antara besaran moneter dan sasaran akhir dari kebijakan moneter, banyak negara mulai mengadopsi penargetan inflasi dalam pelaksanaan kebijakan moneternya. Penargetan inflasi dilakukan dengn mengumumkan kepada publik mengenai target inflasi jangka menengah dan komitmen bank sentral untuk mencapai stabilitas harga sebagai tujuan jangka panjang dari kebijakan moneter. Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut, strategi ini tidak mendasarkan pada satu indikator saja, misalnya nilai tukar atau uang beredar saja, tetapi mengevaluasi berbagai indikator kunci yang relevan untuk perumusan kebijakan moneter. Hal yang diutamakan adalah pencapaian sasaran akhir inflasi, dan bukan pencapaian sasaran antara seperti uang beredar atau nilai tukar.

(iv) Strategi kebijakan moneter tanpa “jangkar”(implicit but not explicit anchor) Dalam rangka mencapai kinerja perekonomian yang memuaskan seperti inflasi yang rendah dan stabil serta pertumbuhan ekonomi yang sehat, beberapa negara lebih memilih strategi kebijakan moneter tanpa mengungkapkan penargetan secara tegas. Akan tetapi, bank sentral tersebut tetap memberikan perhatian dan komitmen untuk mencapai tujuan akhir kebijakan moneter. Sebagai

(7)

salah satu contoh adalah bank sentral Amerika Serikat yang tidak menyebutkan secara tegas mengenai jangkar nominal yang digunakan.

Walaupun di Amerika Serikat strategi ini telah berhasil, strategi ini dianggap kurang terbuka/transparan sehingga masyarakat cenderung mereka-reka maksud dan tujuan kebijakan yang dikeluarkan oleh bank sentral. Hal ini dapat memicu ketidakpastian di pasar mengenai prospek perkembangan harga dan output. Ketidaktegasan strategi tersebut juga dapat menurunkan akuntabilitas bank sentral di mata masyarakat dan parlemen karena tidak adanya kriteria keberhasilan pencapaian kebijakan moneter yang umumnya ditentukan terlebih dahulu.

2.1.2Inflation Targeting Framework(ITF)

Dalam melaksanakan kebijakan moneter, Bank Indonesia menganut sebuah kerangka kerja yang dinamakan Inflation Targeting Framework (ITF). Kerangka kerja ini diterapkan secara formal sejak Juli 2005, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter.

Inflation Targeting Frameworkmerupakan suatu kerangka kerja kebijakan moneter yang mempunyai ciri-ciri utama yaitu adanya pernyataan resmi dari bank sentral dan dikuatkan dengan undang-undang bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah, serta pengumuman target inflasi kepada publik. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter.

Perlunya mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil didasarkan oleh dua hal (Warjiyo dan Solikin, 2004) yaitu adanya biaya sosial

(8)

yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat terjadinya laju inflasi yang tinggi, serta adanya temuan empiris yang menunjukkan bahwa dalam jangka menengah-panjang, kebijakan moneter hanya akan berpengaruh terhadap inflasi, bukan pada pertumbuhan ekonomi, walaupun belum terdapat kesepakatan tentang pengaruh kebijakan moneter dalam jangka pendek terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.

Menurut Bank Indonesia terdapat sejumlah alasan penggunaan jangkar nominal dengan ITF yaitu :

1. ITF lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Dengan sasaran inflasi secara eksplisit masyarakat akan memahami arah inflasi. Sebaliknya dengan sasaran base money, apalagi jika hubungannya dengan inflasi tidak jelas, masyarakat lebih sulit mengetahui arah inflasi kedepan.

2. ITF yang memfokuskan pada inflasi sebagai prioritas kebijakan moneter sesuai dengan mandat yang diberikan kepada Bank Indonesia.

3. ITF bersifat forward looking sesuai dengan dampak kebijakan pada inflasi yang memerlukantime lag.

4. ITF meningkatkan transparansi dan akuntabilitas kebijakan moneter mendorong kredibilitas kebijakan moneter. Aspek transparansi dan akuntabilitas serta kejelasan akan tujuan ini merupakan aspek-aspek good governancedari sebuah bank yang telah diberikan independensi.

5. ITF tidak memerlukan asumsi kestabilan hubungan antara uang beredar, output dan inflasi. Sebaliknya, ITF merupakan pendekatan yang lebih

(9)

komprehensif dengan mempertimbangkan sejumlah variabel informasi tentang kondisi perekonomian.

2.1.3 Penanaman Modal Asing (PMA)

Menurut Krugman dan Obsfeld (2003), FDI atau Penanaman Modal Asing adalah arus modal internasional dimana perusahaan dari suatu negara mendirikan atau memperluas perusahaannya ke negara lain. Oleh karena itu tidak hanya terjadi pemindahan sumber daya, tetapi juga pemberlakuan kontrol terhadap perusahaan di luar negeri. Investasi asing juga merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan jumlah modal untuk pembangunan ekonomi yang bersumber dari luar negeri.

Menurut Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal, penanaman modal asing didefinisikan sebagai kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri dengan tujuan antara lain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha dalam negeri, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan, mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

(10)

Menurut Salvatore (2007:418), investasi dibedakan atas investasi asing langsung (foreign direct investment) dan investasi portofolio (portofolio investment). Investasi asing langsung meliputi investasi ke dalam aset-aset secara nyata yaitu berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, pembelanjaan berbagai peralatan inventaris dan sebagainya, dan biasanya dibarengi dengan penyelenggaraan fungsi-fungsi manajemen, dan pihak investor sendiri tetap mempertahankan kontrol terhadap dana-dana yang telah ditanamkannya, sedangkan investasi portofolio adalah investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti obligasi dan saham, yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional. Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi, yayasan pensiun dan sebagainya.

Dibandingkan dengan investasi portofolio, penanaman modal asing lebih banyak mempunyai kelebihan diantaranya sifatnya jangka panjang, banyak memberikan andil dalam alih teknologi, alih ketrampilan manajemen, membuka lapangan kerja baru. Lapangan kerja ini sangat penting bagi negara sedang berkembang seperti Indonesia, mengingat terbatasnya kemampuan pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan. Menurut Muwarni (2007) pendekatan terhadap pentingnya PMA dalam perekonomian suatu negara dapat dilihat melalui model perekonomian terbuka yang dimulai dengan persamaan identitas sebagai berikut :

(11)

Y≡C + S + T………...………(2.2)

Sehingga jika persamaan (1) dan (2) disubstitusikan menjadi:

C + S + T = C + I + G + (X-M)………...………....………(2.3) S + T = I + G + (X-M) ………...……….……….(2.4) (S-I) + (T-G) = (X-M)………...……….…...(2.5)

Dalam suatu perekonomian dimana kondisi (S-I) negatif atau terdapat kesenjangan antara investasi dan tabungan (saving-investment gap) serta antara pajak dan pengeluaran pemerintah (T-G) negatif (anggaran pemerintah defisit) maka seharusnya dapat dibiayai dengan surplus pada neraca perdagangan (X-M). Jika pada kenyataannya surplus neraca perdagangan tidak mampu menutup kondisi double deficit tersebut, maka pemerintah harus mencari sumber dari luar negeri . Hal ini dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing (Muwarni, 2007).

Menurut Brooks,et,al (2003), aliran modal dari suatu negara ke negara lainnya bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi, yang lebih produktif dan juga sebagai diversifikasi usaha. Hasil yang diharapkan dari aliran modal internasional adalah meningkatnya output dan kesejahteraan dunia. Disamping peningkatanincomedanoutput, keuntungan bagi negara tujuan dari aliran modal asing adalah:

1. investasi asing membawa teknologi yang lebih mutakhir. Besar kecilnya keuntungan bagi negara tujuan tergantung pada kemungkinan penyebaran teknologi yang bebas bagi perusahaan.

(12)

2. investasi asing meningkatkan kompetisi di negara tujuan. Masuknya perusahaan baru dalam sektor yang tidak diperdagangkan (non tradable sector) meningkatkan output industri dan menurunkan harga domestik, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan.

3. investasi asing menghasilkan investasi domestik. Dalam analisis terhadap 58 negara berkembang, Bosworth dan Collin dalam Brooks,et,al (2003) menemukan bahwa sekitar setengah dari setiap dollar aliran modal menyebabkan meningkatnya investasi-investasi domestik.

4. investasi asing memberikan keuntungan dalam hal meningkatkan akses pasar karena skala ekonomis.

5. investasi asing dapat berperan dalam mengatasi kesenjangan nilai tukar dengan negara tujuan (investment gap). Masuknya investasi asing dapat mengatasi masalah tidak tercukupinya valuta asing yang digunakan untuk membiayai impor faktor produksi dari luar negeri.

Kwan (1998), menyatakan bahwa peningkatan yang cepat dalam investasi langsung di Asia sejak awal 1990-an menjadi sumber dana pendukung pembangunan ekonomi Asia. Hal ini karena investasi langsung merupakan sumber dana yang paling stabil dan dapat langsung memperbesar kapasitas produksi. Selain itu, PMA dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor stabilitas politik dan keamanan suatu negara yang paling dipertimbangkan oleh investor asing (Sjoholm, 2000).

Menurut Sarwedi (2002) perlu dipahami bahwa sesungguhnya investor asing (fund manager) sudah memahami kondisi dan karakteristik suatu negara,

(13)

sehingga kebijakan apapun yang digulirkan oleh satu negara akan terpantau oleh investor. Saat ini yang terjadi adalah penolakan oleh investor yang semakin tinggi yang disebabkan oleh banyak faktor, baik ekonomi maupun non ekonomi. Penurunan PMA di Indonesia saat ini perlu dicermati sebagai peringatan (warning) bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan kebijakan sektor ini guna mendorong peningkatan perekonomian yang lebih baik. Bagaimanapun juga kebijakan investasi akan terkait langsung dengan kebijakan industri, perdagangan, dan juga kebijakan non ekonomi lainnya. Hubungan antara variabel ekonomi dan non-ekonomi ini akan lebih baik jika terjadi good commitmentseluruh komponen bangsa untuk bersama-sama mengejar ketertinggalan dari negara lain.

Dari hasil analisis yang dilakukan oleh Sarwedi dengan menggunakan model koreksi kesalahan (error correction model= ECM) menunjukkan bahwa variabel makroekonomi (GDP, Growth, ekspor, dan upah pekerja) memiliki hubungan positif terhadap FDI di Indonesia sedangkan variabel stabilitas politik memiliki hubungan negatif. Hal ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya penguatan economic determinant yang didukung oleh kebijakan (policy) yang kondusif akan berpengaruh terhadap kinerja FDI di Indonesia.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tambunan dan Dasril (2009) menyatakan bahwa dalam dua puluh negara yang paling menarik bagi PMA, Vietnam berada pada posisi pertama di dalam kelompok ASEAN, atau negara ke tiga setelah China dan India sebagai negara yang sangat menarik bagi PMA, menurut laporan dari UNCTAD. Fakta ini merupakan suatu tantangan besar bagi Indonesia, dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa terdapat banyak faktor yang

(14)

menjadi pertimbangan yang membuat Vietnam jauh lebih menarik daripada Indonesia sebagai tempat tujuan PMA, yang antara lain meliputi kemudahan melakukan usaha, biaya tenaga kerja yang rendah, adanya kebijakan ekonomi yang terbuka (outward looking), jumlah penduduk yang terus meningkat yang membuat konsumsi dalam negeri juga terus meningkat. Terakhir adalah orang (pekerja) Vietnam mudah dilatih karena disiplin dan pendidikan dasarnya relatif baik. Kombinasi antara faktor ini dengan upah tenaga kerja yang relatif murah menjadi sangat menarik bagi PMA, khususnya di industri-industri yang tidak tergantung pada bahan baku alam (footloose).

Tambunan dan Dasril (2009) juga melakukan penelitian terhadap negara Thailand. Dimana dalam upaya meningkatkan investasi langsung, termasuk menarik sebanyak mungkin PMA, hal yang dilakukan oleh pemerintah Thailand adalah dengan memberikan berbagai macam insentif, yang dapat digolongkan ke dalam dua kategori, yakni insentif non-pajak dan insentif pajak. Insentif non-pajak adalah antara lain: hak kepemilikan tanah bagi investor asing, ijin membawa tenaga ahli dan teknisi asing, dan ijin kerja dan fasilitas pengurusan visa. Insentif pajak adalah antara lain: penghapusan pajak pendapatan perusahaan sampai 8 tahun, pengurangan pajak impor, atau bahkan pembebasan pajak bagi mesin-mesin dan bahan mentah.

2.1.4 Hubungan Kebijakan Moneter dengan Penanaman Modal Asing (PMA) Di bawah regim devisa bebas (perfect capital mobility), dalam sistem nilai tukar mengambang bebas, maka kebijakan moneter akan lebih efektif. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Model Mundell-Flemming pada Gambar 2.1.

(15)

Sumber: Froyen (2002)

Gambar 2.1

Model Mundell-Flemming

Kebijakan moneter ekspansif akan menggeser kurva LM ke kanan dari LM (M0) menjadi kurva LM (M1). Hal ini menyebabkan tingkat bunga domestik akan turun dan mendorong nilai tukar domestik meningkat dan akhirnya menyebabkan naiknya net eksport. Naiknya net eksport akan menggeser kurva IS ke kanan dari IS (π0) sampai dengan IS (π1) yaitu sama dengan naiknya nilai tukar domestik

dariπ0menjadiπ1. Keseimbangan bergeser dari E0menjadi E1,dan menyebabkan

pendapatan nasional meningkat dari Y0menjadi Y1.

McCulloh dalam Froot (1993) mengatakan bahwa kenaikan biaya produksi akibat deperesiasi mata uang domestik akan menyebabkan investor berpindah ke daerah lain yang memiliki biaya produksi yang relatif lebih rendah. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar PMA masih menggunakan input impor dalam proses produksi. Oleh karena itu, keunggulan dari manajemen global yang

ݎଵ BP Y r rf=r 0 ܧ଴ ܧଵ ܮܯ(ܯଵ) ܮܯ(ܯ଴) ܫܵ(ߨଵ) ܫܵ(ߨ଴) ܻଵ ܻ଴

(16)

terintegrasi dituntut untuk membangun PMA yang lebih menguntungkan dari nilai mata uang negara tujuan.

Chen (2005) mengatakan bahwa nilai tukar mata uang asing berpengaruh terhadap aliran modal masuk. Dalam rangka mengurangi tekanan inflasi dalam perekonomian, bank sentral menurunkan tingkat suku bunga yang menyebabkan jumlah uang beredar cenderung berkurang, dan mendorong kenaikan nilai uang. Permintaan asing akan mata uang domestik menurun, dan harga mata uang domestik di pasar valuta asing akan menurun. Jumlah yang tetap dari mata uang asing akan memperoleh lebih banyak mata uang domestik sehingga menjadi insentif bagi investor asing untuk berinvestasi di dalam negeri. Hal ini akan mendorong naiknya tingkat pertumbuhan PMA.

Menurut Rossenberg (2003) tingkat mobilitas modal berperan penting dalam menentukan reaksi nilai tukar terhadap perubahan dalam kebijakan moneter. Sebagai contoh, kebijakan moneter yang ekspansif akan menyebabkan besarnya depresiasi mata uang karena terpengaruh oleh tingkat bunga domestik yang akan menyebabkan aliran modal keluar dan akan menekan mata uang domestik. Semakin sensitif aliran modal terhadap perubahan tingkat bunga, semakin besar reaksi aliran modal terhadap penurunan tingkat bunga. Semakin tinggi mobilitas modal berpindah, semakin besar depresiasi mata uang akan terjadi sebagai reaksi terhadap ekspansi moneter.

(17)

2.1.5 Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan Penanaman Modal Asing (PMA)

Menurut Simon Kuznets dalam Todaro dan Smith (2003:99) pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya. Pertumbuhan ekonomi juga merupakan salah satu indikator yang amat penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara dan lebih menunjuk kepada perubahan yang bersifat kuantitatif (quantitative change) dan biasanya diukur dengan menggunakan data Produk Domestik Bruto (GDP) atau pendapatan atau nilai akhir pasar (total market value) dari barang-barang akhir dan jasa-jasa (final goods and services) yang dihasilkan dari suatu perekonomian selama kurun waktu tertentu (biasanya satu tahun). Menurut Samuelson dan Nordhaus (2000:248), pertumbuhan ekonomi digambarkan sebagai ekspansi Produk Domestik Bruto (PDB) potensial atau output nasional suatu negara. Oleh karena itu, secara umum investasi tergantung pada nilai PDB yang diperoleh dari seluruh kegiatan ekonomi.

Laju pertumbuhan PDB selain menjadi salah satu indikator utama ekonomi makro yang sering digunakan dalam menganalisis kinerja ekonomi suatu negara, juga menjadi cerminan atas potensi pasar dalam negeri dan proses pembangunan ekonomi dari negara tersebut, yang terutama sangat penting bagi investor-investor asing, negara-negara donor dan lembaga keuangan internasional. Dalam mengukur keseluruhan kinerja suatu negara, bank dunia memakai presentase pertumbuhan PDB dan variabel-variabel makro lainnya seperti laju

(18)

inflasi, pertumbuhan investasi, dan perkembangan neraca perdagangan sebagai indikator-indikator utama (Tambunan, 1998:52).

Investasi menjadi faktor pendukung yang penting bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan produktifitas tenaga kerja. Sementara itu tenaga kerja dan jumlah (stock) capital dan beberapa input-input yang lain merupakan faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Kenaikan PDB disebabkan oleh adanya investasi yang dilanjutkan dengan peningkatan jumlah kapital yang kemudian mampu meningkatkan jumlah output. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan besar kecilnya investasi dicerminkan dari jumlah output yang dihasilkan oleh suatu negara yang selanjutnya jumlah output menyebabkan perubahan PDB suatu negara (Nopirin, 2000:133).

2.1.6 Hubungan Suku Bunga Kredit Investasi dengan Penanaman Modal Asing (PMA)

Fisher (1986) menyatakan hal yang menghubungkan antara income dan capital adalah rate of interest (tingkat bunga). Definisi tingkat bunga adalah sebagai prosentase dari premium yang dibayarkan atas uang pada satu hari jika uang masih di tangan dalam waktu satu tahun kemudian. Fisher juga mengatakan bahwa secara teori, kita dapat mengganti uang dalam pernyataan ini dengan gandum atau berbagai barang.

Namun prakteknya, hanya uang yang dapat diperdagangkan antara saat ini dan yang akan datang. Oleh karenanya, tingkat bunga sering disebut sebagai harga dari uang, dan pasar dimana uang diperdagangkan untuk harga tertentu di saat ini dan yang akan datang disebut dengan pasar uang. Di Indonesia dikenal beberapa

(19)

jenis suku bunga jangka pendek yaitu suku bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia), suku bunga SBPU (Surat Berharga Pasar Uang), suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank), suku bunga kredit modal kerja, suku bunga kredit investasi, dan deposito berjangka 1 bulan sampai 2 tahun.

Analisis biaya dalam investasi adalah lebih rumit daripada biaya komoditi lain karena barang-barang modal yang digunakan berumur panjang. Apabila membeli barang-barang yang berumur panjang, maka harus menghitung harga dari modal itu, dalam hal ini dinyatakan dalam tingkat bunga pinjaman atau kredit. Pengaruh dari tingkat suku bunga kredit terhadap investasi dijelaskan oleh pemikiran ahli-ahli ekonomi klasik yang menyatakan bahwa investasi adalah fungsi dari tingkat bunga. Pada investasi, semakin tinggi tingkat bunga maka keinginan untuk melakukan investasi juga makin kecil. Alasannya, seorang investor akan menambah pengeluaran investasinya apabila keuntungan yang diharapkan dari investasi lebih besar dari tingkat bunga yang harus dibayarkan untuk dana investasi tersebut yang merupakan biaya dari penggunaan dana (cost of capital). Semakin rendah tingkat bunga, maka investor akan lebih terdorong untuk melakukan investasi, sebab biaya penggunaan dana juga semakin kecil.

Pada Gambar 2.2 menunjukkan bahwa investor hanya melakukan investasi sebesar I1 pada tingkat bunga sebesar i1. Namun, ketika tingkat bunga turun menjadi i2, investor cenderung menambah pengeluaran investasinya menjadi sebesar I2. Kemudian, apabila tingkat bunga semakin mengalami penurunan, yaitu menjadi sebesar i3, investor akan semakin menambah pengeluaran investasinya, yaitu menjadi sebesar I3. Hal ini dikarenakan semakin rendah tingkat bunga, maka

(20)

biaya penggunaan dana yang digunakan oleh para investor untuk melakukan investasi juga semakin rendah. Oleh karena itu, para investor akan lebih tertarik untuk melakukan investasi pada kondisi tingkat bunga yang rendah.

Sumber : Nopirin (2000)

Gambar 2.2

Teori Klasik Tentang Tingkat Bunga

Tingkat bunga dapat mempengaruhi aggregat money demand, dimana naiknya tingkat bunga dapat menyebabkan individu dalam perekonomian mengurangi permintaan akan uang. Sehingga, jika faktor lain tetap, maka aggregat money demand akan berkurang jika tingkat bunga naik. Tingkat bunga juga merupakan faktor yang diduga kuat berpengaruh terhadap investasi, karena tingkat bunga merupakan salah satu komponen utama dalam biaya modal (Muwarni, 2007).

2.1.7 Hubungan Nilai Tukar dengan Penanaman Modal Asing (PMA)

Nilai tukar suatu mata uang didefinisikan sebagai harga relatif dari suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. (BI, 2004). Pada dasarnya terdapat tiga sistem nilai tukar, yaitu: (1) fixed exchange rate (sistem nilai tukar tetap), (2) managed floating exchange rate (sistem nilai tukar mengambang terkendali), (3) floating exchange rate(sistem nilai tukar mengambang).

0 I I I Investasi

݅ଵ ݅ଶ ݅ଷ

(21)

1.Fixed exchange rate system(Sistem nilai tukar tetap)

Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004:320), sistem nilai tukar tetap merupakan sistem nilai tukar yang terjadi ketika pemerintah menetapkan suatu nilai tukar resmi, yang dipertahankan melalui intervensi dan kebijakan moneter. Ketika mematok nilai tukar, maka pemerintah harus mengintervensi pasar valuta asing untuk mempertahankan nilai tukar mata uang tersebut. Intervensi pemerintah atas nilai tukar terjadi ketika pemerintah membeli atau menjual valuta asing untuk mempengaruhi mata uang.

Halwani (2005:158) dan Warjiyo (2004:69) menambahkan dalam sistem nilai tukar tetap, bank sentral menetapkan tingkat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang negara lain pada tingkat tertentu. Bila terjadi kekurangan atau kelebihan penawaran atau permintaan valuta asing sehingga mengakibatkan tingkat nilai tukar menjadi lebih rendah ataupun lebih tinggi dari yang ditetapkan pemerintah, maka pemerintah dalam hal ini akan mengambil tindakan untuk membawa tingkat nilai tukar kearah yang ditetapkan atau untuk mempertahankan nilai tukar yang ditetapkan dengan cara menjalankan jual beli mata uang asing di pasar valuta asing.

Menurut Dornbusch, dkk (2001:280) devaluasi merupakan kebijakan penurunan nilai tukar mata uang domestic terhadap mata uang asing dalam sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate) yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara. Devaluasi berarti bahwa orang asing membayar lebih sedikit untuk mata uang yang didevaluasi dan masyarakat yang mata uangnya didevaluasi membayar lebih mahal untuk mata uang asing. Tindakan pemerintah suatu negara untuk

(22)

menaikkan nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang domestik disebut revaluasi.

2.Freely floating exchange rate(Sistem nilai tukar mengambang bebas)

Samuelson dan Nordhaus (2004:319) menyatakan bahwa sebuah negara memiliki nilai tukar yang fleksibel apabila pergerakan nilai tukar berasal dari pengaruh permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar bebas. Dengan demikian, menurut Warjiyo (2004:70) nilai tukar dikatakan melemah apabila diperlukan nilai uang yang lebih banyak untuk membeli valuta asing dalam jumlah yang sama, sebaliknya nilai tukar dikatakan menguat apabila nilai uang yang diperlukan lebih sedikit untuk membeli valuta asing dalam jumlah yang sama. Pada sistem semacam ini, pemerintah tidak perlu menetapkan nilai tukar valuta asing.

Samuelson (2004:280) mengemukakan bahwa penurunan nilai tukar mata uang dalam negeri terhadap mata uang asing secara otomatis dinyatakan sebagai depresiasi, sedangkan kenaikan nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing secara otomatis disebut apresiasi. Jadi istilah apresiasi dan depresiasi dipergunakan untuk mengiringi sistem nilai tukar mengambang bebas (floating exchange rate).

3.Managed floating exchange rate(Sistem nilai tukar mengambang terkendali) Menurut Samuelson dan Nordhaus (2004:319) pada sistem nilai tukar mengambang terkendali, nilai tukar ditetapkan oleh kekuatan pasar namun tetap melibatkan campur tangan pemerintah dalam hal menjual dan membeli mata uang atau mengubah penawaran uang untuk mempengaruhi kurs. Menurut Carbaugh

(23)

(2001:486) ada dua motif yang mendasari dilakukannya sistem nilai tukar mengambang terkendali disuatu negara, yaitu motif pertama adalah suatu negara yang menerapkan sistem nilai tukar mengambang terkendali dapat melakukan intervensi pada pasar valuta asing untuk menghindari fluktuasi nilai tukar yang dapat mengurangi posisi daya saing yang dimiliki suatu negara di dalam pasar internasional. Motif kedua adalah adanya pertimbangan bahwa sistem nilai tukar mengambang bebas menyebabkan kegagalan pasar yang kemudian menimbulkan adanya fluktuasi nilai tukar yang semakin tidak menentu. Sistem nilai tukar yang dianut suatu negara memainkan peranan penting terhadap kestabilan nilai tukar.

Secara historis, perubahan kebijakan moneter dapat mempengaruhi nilai tukar. Pendekatan moneter menyatakan bahwa perubahan dalam jumlah uang beredar merupakan penentu utama dari pergerakan nilai tukar (Rosenberg, 2003). Kebijakan moneter yang terlalu ekspansif menyebabkan tekanan terhadap turunnya nilai mata uang, begitu pula sebaliknya.

Menurut Fisher dan Jordon (1995 :281), nilai tukar menjadi acuan yang sangat penting bagi investor sebelum menginvestasikan dananya di suatu negara. Investor dalam melakukan investasi sangat mempertimbangkan pergerakan nilai tukar, apakah nilai tukar dinegara tersebut mengalami apresiasi atau revaluasi ataukah mengalami depresiasi atau devaluasi. Kurs dan penanaman modal asing memiliki hubungan yang negatif. Jika terjadi depresiasi atau devaluasi, ceteris paribus, maka PMA akan meningkat. Di sisi lain, jika suatu negara mengalami apresiasi atau revaluasi, ceteris paribus, maka penanaman modal asing di suatu negara akan turun.

(24)

2.1.8 Hubungan Inflasi dengan Penanaman Modal Asing (PMA)

Pengertian inflasi adalah suatu posisi perekonomian dimana tingkat harga umum terus menerus naik karena adanya perbedaaan antara pendapatan nasional dalam bentuk pengeluaran yang lebih besar dibandingkan produk nasional. Menurut Nopirin (2000:25) inflasi merupakan kenaikan terus menerus dalam rata-rata tingkat harga yang berlaku dalam suatu perekonomian. Kenaikan harga dari satu barang saja tidak disebut inflasi dan kenaikan yang hanya terjadi sekali saja (meskipun dengan presentase yang cukup besar) bukan merupakan inflasi.

Jenis-jenis inflasi berdasarkan penyebabnya antara lain (Nopirin, 2000) : a. Demand-pull inflation

Inflasi ini timbul karena permintaan masyarakat atas beberapa barang yang terlalu kuat. Oleh karena itu terjadi kenaikan harga sebagai akibat dari adanya kenaikan permintaan pada tingkat produksi yang telah berada pada keadaan kesempatan kerja penuh. Gambar 2.3 menggambarkan suatu demand-pull inflation. Karena jumlah uang beredar bertambah, permintaan masyarakat atas konsumsi cenderung meningkat, sehingga menggeser kurva permintaan ke kanan (AD2). Hal ini menyebabkan produksi dan permintaan dari Q1 ke Q2. Meskipun demikian, harga menjadi lebih mahal dari sebelumnya (P1 ke P2). Sehingga interaksi yang demikian menimbulkan inflasi.

(25)

Sumber: Nopirin (2000)

Gambar 2.3

Demand-pull Inflation

b. Cost Push Inflation

Kenaikan biaya produksi akan diikuti dengan peristiwa naiknya harga dan turunnya produksi secara terus menerus yang pada gilirannya menimbulkan cost-push inflation. Gambar 2.4 menjelaskan kenaikan harga (P1 ke P2) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi. Hal ini mendorong produsen untuk mengurangi jumlah produksinya(AS2),dampaknya jumlah produksi barang menjadi berkurang dan harga meningkat. Cost Push Inflation membawa dampak yang lebih buruk, karena selain kenaikan harga, jumlah produksi juga ikut berkurang. Sehingga masyarakat menanggung kenaikan harga dan kesulitan mendapatkan barang.

Sumber : Nopirin (2000:31)

Gambar 2.4

Cost Push Inflation 0 Q AS P2 P1 AD2 AD1 Q1 Q2 0 AD Q ܣܵଶ ܳଵ ܲଶ ܲଵ ܣܵଵ ܳଶ

(26)

Menurut Sadono Sukirno (2000:339) dalam suatu negara, inflasi sangat mempengaruhi stabilitas perekonomian negara tersebut karena :

a. Tingkat inflasi yang tinggi mempengaruhi tingkat produksi dalam negeri, melemahkan produksi barang ekspor. Tingkat inflasi yang tinggi menurunkan produksi karena harga menjadi tinggi dan permintaan akan barang menurun sehingga produksi menurun.

b. Inflasi menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang dan kenaikan harga upah buruh, maka kalkulasi harga pokok meninggikan harga jual produk lokal. Dilain pihak, turunnya daya beli masyarakat terutama berpenghasilan tetap akan mengakibatkan tidak semua bahan habis terjual.

c. Inflasi menyebabkan naiknya harga jual produksi barang ekspor, maka permintaan luar negeri menjadi turun sehingga tingkat ekspor menurun. Penurunan ekspor berpengaruh terhadap neraca pembayaran.

Inflasi secara tidak langsung mempengaruhi penanaman modal asing, inflasi yang tinggi membuat harga barang dan jasa menjadi mahal sehingga biaya input produksi menjadi meningkat. Kondisi ini menyebabkan pelaku usaha harus meningkatkan harga output sehingga daya saing menjadi rendah. Inflasi juga mengakibatkan daya beli masyarakat menjadi rendah, permintaan terhadap barang dan jasa menurun, akibatnya kegiatan perdagangan lesu dan investor sulit untuk mendapatkanreturndan keuntungan.

Dengan kata lain, tingkat inflasi mempunyai hubungan negatif dengan Penanaman Modal Asing (PMA). Apabila suatu negara dilanda inflasi yang tinggi, ceteris paribus, maka PMA suatu negara berkurang. Sebaliknya apabila

(27)

suatu negara mempunyai tingkat inflasi rendah, ceteris paribus, maka PMA yang masuk ke negara tersebut juga meningkat. Inflasi yang tinggi menyebabkan harga dalam negeri meningkat. Kenaikan harga menyebabkan harga faktor produksi meningkat yang kemudian berimbas pada kenaikan biaya produksi. Dalam kondisi demikian minat investor untuk menanamkan modalnya ke negara tersebut turun karena tingkat pengembalian(rate of return)investasi pada investor berkurang.

Sebaliknya, dalam keadaan inflasi rendah, harga-harga dalam negeri menurun namun harga-harga diluar negeri tetap. Kondisi ini mendorong investor menanamkan modalnya ke suatu negara karena harga faktor produksi menjadi lebih murah sehingga tingkat pengembalian (rate of return) yang diterima investasi menjadi lebih tinggi. Inflasi yang memiliki hubungan negatif dengan Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan jenis inflasi dorongan biaya (cost-push inflation)seperti yang ditunjukkan dalam gambar 2.4.

2.2 Penelitian Terdahulu

1. Penelitian yang dilakukan oleh Sri Muwarni (2007) dengan judul “Analisis Kebijakan Moneter kaitannya dengan Penanaman Modal Asing: pendekatan Taylor rule “. Menguji variabel nilai tukar, suku bunga dan inflasi terhadap PMA di Indonesia dengan metode VAR. Kesimpulan penelitian tersebut menyebutkan bahwa inflasi merupakan variabel yang kuat dalam mempengaruhi PMA di Indonesia sehinggaInflation Targeting framewok (ITF) merupakan kebijakan moneter yang tepat untuk diterapkan dalam meningkatkan PMA di Indonesia.

(28)

2. Penelitian yang dilakukan oleh Omankhalen Alex Ehimire (2011) dengan judul “Foreign Direct Investment And Its Effect On The Nigerian Economy”.Dimana tujuan dari analisis ini adalah meneliti pengaruh PMA terhadap perekonomian Nigeria selama periode 1980-2009. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan diketahui bahwa FDI berpengaruh positif dan berdampak signifikan pada neraca transaksi berjalan dalam neraca pembayaran. Sementara itu inflasi tidak memiliki pengaruh signifikan pada FDI sedangkan nilai tukar berpengaruh positif terhadap FDI. Untuk itu dianjurkan bagi negara Nigeria dalam hal menarik FDI ketingkat yang diinginkan harus memperkenalkan kebijakan ekonomi yang sehat dan negara yang ramah bagi investor. Selain itu juga diperlukan stabilitas politik dan ekonomi yang sehat serta infrastruktur yang berkembang dengan baik.

3. Eric Kehinde Ogunleye melakukan penelitian berkaitan dengan volatilitas nilai tukar dan FDI dengan judul “Exchange Rate Volatility And Foreign Direct Investment In Sub-Saharan Afica : Evidence From Nigeria And South Africa”. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa ada endogenitas antara volatilitas nilai tukar dan arus FDI pada negara Nigeria dan afrika selatan. Nilai volatilitas diperoleh dengan menggunakan model Generalized Autoregressive Conditional Heteroscedasticity (GARCH). Hasilnya adalah volatilitas nilai tukar memiliki efek yang merugikan pada arus FDI. Volatilitas nilai tukar tersebut dipengaruhi oleh guncangan inflasi, dan cadangan devisa dikedua negara tersebut. Hal tersebut menjadi

(29)

tantangan yang harus dihadapi oleh otoritas fiskal dan moneter di kedua negara tersebut.

4. M. Arif Sambodo (2003) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing di Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari produk domestik bruto (PDB), tingkat suku bunga deposito riil, tingkat suku bunga luar negeri, nilai tukar rupiah dan posisi dana masyarakat diperbankan terhadap penanaman modal asing di Indonesia selama periode sebelum krisis (1993.1-1997.20) dan saat krisis (1997.3-2001.4) dengan menggunakan model linier dinamis kesalahan (error correction method =ECM). Hasil penelitian menunjukan bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang penanaman modal asing di Indonesia sebelum krisis ekonomi terjadi dipengaruhi secara signifikan oleh nilai tukar rupiah dan posisi dana masyarakat, tingkat suku bunga berpengaruh dalam jangka panjang. Saat krisis ekonomi, PMA dipengaruhi secara signifikan dalam jangka pendek maupun jangka panjang oleh PDB, posisi dana dalam masyarakat dalam jangka pendek berpengaruh terhadap PMA dan tingkat suku bunga berpengaruh secara signifikan dalam jangka panjang maupun jangka pendek.

5. Getinet dan Hirut (2006) meneliti faktor yang mempengaruhi investasi asing langsung di Ethiopia selama periode 1974-2001. Penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan GDP riil, orientasi ekspor, dan liberalisasi berdampak positif terhadap FDI. Sebaliknya, ketidakstabilan

(30)

ekonomi makro dan infrastruktur yang buruk berdampak negatif terhadap FDI. Temuan ini menyiratkan bahwa liberalisasi rezim perdagangan dan peraturan, ekonomi makro yang stabil dan perbaikan lingkungan politik, serta infrastruktur sangat penting untuk menarik FDI ke Ethiopia.

Beberapa persamaan antara penelitian ini dengan penelitian terdahulu antara lain : 1. Ada beberapa variabel dari penelitian terdahulu yang digunakan dalam

penelitian ini. Variabel tersebut antara lain PMA, nilai tukar, suku bunga dan inflasi.

2. Metode yang digunakan adalah metode VAR seperti yang digunakan dalam penelitian Muwarni.

3. Penelitian ini dilakukan di negara Indonesia seperti yang dilakukan oleh Muwarni dan Sambodo.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu antara lain:

1. Pada penelitian ini variabel yang digunakan antara lain PMA, pertumbuhan ekonomi, tingkat suku bunga, nilai tukar dan inflasi. Penelitian Sri Muwarni menggunakan variabel PMA, tingkat suku bunga, nilai tukar dan inflasi. Ehimire menggunakan FDI, neraca transaksi pembayaran, neraca transaksi berjalan, nilai tukar dan inflasi. Ogunleye menggunakan variabel nilai tukar dan FDI. Sambodo menggunakan PMA, PDB, tingkat suku bunga deposito riil, tingkat suku bunga luar negeri, nilai tukar rupiah dan posisi dana masyarakat diperbankan. Getinet dan Hirut menggunakan GDP riil, orientasi ekspor, dan FDI.

(31)

2. Tingkat suku bunga yang digunakan dalam penelitian ini adalah tingkat suku bunga kredit investasi. Muwarni menggunakan suku bunga SBI dan Sambodo menggunakan suku bunga deposito riil.

3. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data kuartal tahun 2000.1-2011.4.

2.3 Hipotesis dan Model Analisis 2.3.1 Hipotesis

Berdasarkan penjelasan pada latar belakang dan teori-teori di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, inflasi dan suku bunga mempengaruhi Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia periode 2000.1 - 2011.4. 2.5.2 Model Analisis

Model analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Metode ekonometrika pada penelitian ini menggunakan modelVector autoregression(VAR).

Bentuk dari model VAR yang digunakan untuk analisis diformulasikan sebagai berikut : Model...(2.6) PMAt = α0+෍ α1 n i=1 PMAt-i+෍ α2 n i=1 Growtht-i+෍ α3 n i=1 KIt-i+෍ α4 n i=1 EXt-i+෍ α5 n i=1 INFt-i+U1t Growtht = β0+෍ β1 n i=1 PMAt-i+෍ β2 n i=1 Growtht-i+෍ β3 n i=1 KIt-i+෍ ߚ4 n i=1 EXt-i+෍ β5 n i=1 INFt-i+U2t KIt = θ0+෍ θ1 n i=1 PMAt-i+෍ θ2 n i=1 Growtht-i+෍ θ3 n i=1 KIt-i+෍ θ4 n i=1 EXt-i+෍ θ5 n i=1 INFt-i+U3t

(32)

EXt = γ0+෍ γ1 n i=1 PMAt-i+෍ γ2 n i=1 Growtht-i+෍ γ3 n i=1 KIt-i+෍ γ4 n i=1 EXt-i+෍ γ5 n i=1 INFt-i+U4t INFt = δ0+෍ δ1 n i=1 PMAt-i+෍ δ2 n i=1 Growtht-i+෍ δ3 n i=1 KIt-i+෍ δ4 n i=1 EXt-i+෍ δ5 n i=1 INFt-i+U5t Dimana :

PMAt : Penanaman Modal Asing pada periode t Growtht : Pertumbuhan ekonomi pada periode t KIt : Suku bunga kredit investasi pada periode t EXt : Nilai tukar pada periode t

INFt : Inflasi pada periode t α0,β0,θ0,γ0, δ0 : Intersep

αk,βk,θk,γk, δk : Koefisien parameter

U1, U2, U3, U4, U5 :error term n & i : Panjang lag 2.4 Kerangka Berpikir

Penanaman modal asing merupakan salah satu sumber pembiayaan dalam mempercepat pembangunan dalam suatu negara. Fundamental ekonomi yang kuat sangat diperlukan untuk menjaga kepercayaan investor, disamping faktor non-ekonomi yang juga berpengaruh terhadap PMA, seperti sosial politik, kelembagaan, infrastruktur fisik, dan tenaga kerja. Dalam penelitian ini digunakan beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan penanaman modal asing di Indonesia antara lain pertumbuhan ekonomi, suku bunga, nilai tukar, dan inflasi.

Pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam gross domestic product (GDP) merupakan nilai barang-barang dan jasa-jasa yang diproduksi di suatu

(33)

negara dalam satu tahun tertentu (Sukirno,2005). Meningkatnya tingkat pendapatan mengakibatkan meningkatnya permintaan akan barang-barang dan jasa-jasa konsumsi. Adanya peningkatan permintaan tersebut mendorong meningkatnya nilai PMA yang dilaksanakan oleh investor.

Selain itu, tingkat nilai tukar menjadi faktor penting yang berpengaruh terhadap aliran PMA sehingga harus dikendalikan untuk menghindari terjadinya fluktuasi dalam PMA. Mengingat bahwa depresiasi mata uang domestik dapat menyebabkan meningkatnya pembiayaan impor yang dapat meningkatkan biaya produksi. Dalam regim nilai tukar yang fleksibel, tingkat bunga merupakan salah satu variabel yang berpengaruh untuk mengendalikan nilai tukar. Oleh karena itu, kebijakan moneter berkaitan dengan penetapan suku bunga oleh bank sentral bisa menjadi salah satu instrumen untuk mendorong pertumbuhan PMA di suatu negara.

Kebijakan moneter dalam menentukan tingkat suku bunga akan berdampak pada jumlah uang beredar, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan inflasi. Otoritas moneter dituntut untuk mengambil kebijakan yang dapat menciptakan stabilitas nilai tukar demi meningkatkan PMA, namun di sisi lain juga harus mencegah terjadinya inflasi yang berdampak pada output, efisiensi, maupun terhadap pendapatan. Terciptanya stabilitas harga dalam jangka panjang juga harus menjadi perhatian perhatian penting bagi pengambil kebijakan. Dalam rangka memperkuat fundamental ekonomi, peran pemerintah melalui berbagai kebijakan dipandang perlu untuk menciptakan stabilitas ekonomi, terutama melalui stabilitas moneter, yang meliputi stabilitas nilai tukar,

(34)

stabilitas harga dan stabilitas tingkat bunga. Oleh karena itu, kebijakan moneter yang tepat harus diarahkan untuk menciptakan stabilitas moneter yang kondusif bagi masuknya modal asing sehingga dapat meningkatkan nilai PMA di Indonesia.

Tingkat Bunga

Tingkat Inflasi Nilai Tukar

Penanaman Modal Asing Pertumbuhan Ekonomi

Gambar 2.5

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa pada treatment pertama dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan eksplosive power otot tungkai

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan membangun sistem peramalan tingkat kemiskinan dengan menggunakan metode

interpersonal anak. Terjadi peningkatan kecerdasan interpersonal anak melalui kegiatan bermain musik. Proses pembelajaran bermain musik yang menyenangkan membuat anak

Orang Boti Dalam melihat kosmos sebagai bagian dari diri mereka, “manusia bersama dengan alam.” Pandangan ini, menggambarkan sikap orang Boti terhadap alam, yang

Agroforestri adalah sistem penggunaan lahan (usahatani) yang mengkombinasikan.. pepohonan dengan tanaman pertanian untuk meningkatkan keuntungan, baik secara

(4) Bagan Susunan Organisasi Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintahan Desa, Perempuan dan Keluarga Berencana sebagaimana tercantum dalam Lampiran IVB yang

Pengaruh Kerapatan Teki terhadap Parameter Tinggi Tanaman, Jumlah Daun, dan Diameter Batang Wijen Bercabang dan Tidak

Berdasarkan hasil pengolahan data, dapat diketahui bahwa hasil dari Koefisien Determinasi didapat R square bernilai 0,166 yang berarti word of mouth mempengaruhi