70
Association between the Socioeconomic Factors, Healthy Home,
and Healthy Behavior among Parents of Toddler with
Acute Respiratory Infection in Kediri, Indonesia
Tiyan Anggraini 1), Ambar Mudigdo2), RB.Soemanto3) 1) School of Health Sciences, Kadiri University, Kediri, Indonesia
2) Faculty of Medicine, Sebeleas Maret University, Surakarta
3) Faculty of Social and Politics Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta ABSTRACT
Background: Acute Respiratory Infection or ARI is the most deaths occurred in toddler. Many factors lead to a high incidence of this disease among socioeconomic, healthy home and healthy behavior of parents. This study was aimed to determine the association between socioeconomic and healthy homehealthy home with healthy behavior in parents of toddler with acute respiratory infections.
Subject and Methods: This was a case study conducted in Kediri, East Java, Indonesia. A total of 100 toddlers consisted of 20 toddlers and parents with ARI and 80 toddlers with parents without ARI. The dependent variable was parents of toddlers with acute respiratory infection. The independent variables included socioeconomic and healthy home with healthy behavior. The data were collected by pre-tested questionnaire, and analyzed using a multiple logistic regression model.
Results: The results obtained by the education (OR = 9.1; 95% CI = 0.8 to 98.4; p = 0.001), family income (OR = 1.3; 95% CI = 0.1 to 14.2; p = 0.000), housing components (OR = 4.0, 95%CI = 0.5 to 27.7; p = 0.005), sanitation (OR = 6.9; 95% CI = 1.1 to 41.9; p = 0.001), healthy behavior (OR = 8.9; 95% CI = 1.6 to 48.7 ; p = 0.003).
Conclusion: The results of this study concluded that education, family income, housing components, sanitation and behavior of the occupants had a statistically significant relationship to healthy behaviors parents of toddlers with ARI.
Keywords: education, family income, housing components, sanitation, healthy behavior, and healthy behavior parents of toddler patients with Acute Respiratory Infections (ARI).
PENDAHULUAN
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi saluran pernapasan meliputi infeksi mulai dari rongga hidung sampai dengan epiglottis dan laring dengan gejala seperti demam, batuk, pilek, infeksi telinga (otitis media) serta radang tenggorokan (faringitis) akut. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
merupakan salah satu penyakit pernapasan dimana penderita yang terkena serangan infeksi sangat menderita apalagi bila udara lembab, dingin atau cuaca terlalu panas. Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) ini dapat menyebabkan komplikasi jika dibiarkan dan tidak segera ditangani. (Mochtar, 2008).
Correspondence: Tiyan Anggraini
School of Health Sciences, Kadiri University, Kediri, Indonesia [email protected]
71 Salah satu penyakit yang sering
diderita oleh masyarakat terutama adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang meliputi infeksi akut saluran pernapasan bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik dinegara berkembang maupun dinegara maju (WHO, 2003). Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu penyebab kematian yang paling banyak terjadi pada anak baik di negara maju ataupun negara ber-kembang. Penyakit Infeksi Saluran Per-napasan Akut (ISPA) ini menyebabkan 4 dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia di bawah 5 tahun pada setiap tahunnya dan dua pertiga kematian tersebut adalah bayi (WHO, 2003). Penyakit saluran pernapasan pada masa bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa, dimana ditemukan adanya hubungan dengan terjadinya chronic obstructive pulmonary disease (WHO, 2003).
Angka kejadian penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Indonesia masih tinggi, kasus kesakitan tiap tahun mencapai 260.000 kasus. Pada akhir tahun 2011, Infeksi Saluran Per-napasan Akut (ISPA) mencapai enam kasus di antara 1000 bayi dan balita. Tahun 2013 kasus kesakitan akibat Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sebanyak lima dari 1000 balita, salah satu penyebab Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu rumah yang tidak sehat (Supraptini, 2014). Di Indonesia terjadi lima kasus diantara 1000 bayi atau balita, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) mengakibatkan 150.000 bayi atau balita meninggal tiap tahun atau 12.500 korban perbulan atau 416 kasus perhari, atau 17 anak perjam atau
seorang bayi tiap lima menit (Siswono, 2007).
Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2014, di Indonesia rumah sehat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kategori baik, kategori sedang dan kategori kurang. Persentase rumah sehat di Indonesia kategori baik mencapai 35.3%, kategori sedang 39.8% dan kategori kurang 24.9%. Target rumah sehat di Indonesia sebesar 80%, dari kategori rumah sehat di atas tidak ada yang memenuhi target, sehingga rumah sehat di Indonesia belum tercapai (Depkes RI, 2014). Berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SKDI) 2012-2013 dikatakan bahwa Angka Kematian Balita (AKBA) di Indonesia sekitar 35/1000 kelahiran hidup. Sekitar 4 dari 15 juta perkiraan kematian pada anak berusia dibawah 5 tahun pada setiap tahunnya dan sebanyak 2/3 kematian tersebut adalah bayi. Pada laporan tahun 2005 sebanyak 22.30% bayi maupun balita meninggal karena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Menurut data Riskesdas 2007, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupa-kan penyakit penyebab kematian kedua tertinggi pada balita. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) mencakup 20%- 30%, kematian terbesar umumnya adalah
karena pneumonia dikarenakan Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang tidak diobati dengan baik dan benar pada bayi berumur kurang dari 2 bulan (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Prevalensi Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada bayi di Indonesia adalah 0.76% dengan rentang antar propinsi sebesar 0-13.2%.
Prevalensi tertinggi adalah propinsi Gorontalo (132%) dan Bali (12.9%), sedang-kan propinsi lainnya di bawah 10%. Tahun 2013, angka cakupan penemuan penderita
72
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita sebesar 22.5% mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2012 sebesar 14.98%, namun angka ini masih jauh dari harapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yaitu sebesar 100%, yang kemungkinan disebabkan karena jumlah penderita sasaran menggunakan angka perkiraan dari jumlah balita yang juga merupakan angka estimasi yang belum tentu kebenarannya (Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, 2014). Berdasarkan Laporan Tahunan tahun 2013 sebanyak 898 kasus yang didominasi pada umur 1 sampai 4 tahun dengan IR 1.99% dan tahun 2014 di UPTD Puskesmas Tiron terdapat 2529 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dari 1959 kunjungan pasien di dominasi pada golongan umur 1 sampai 59 bulan dengan Incidence Rate (IR) sebesar 1.09% (Puskesmas Tiron, 2014).
Rumah yang luas ventilasinya tidak memenuhi syarat kesehatan akan me-mengaruhi kesehatan penghuni rumah, hal ini disebabkan karena proses pertukaran aliran udara dari luar ke dalam rumah tidak lancar, sehingga bakteri penyebab penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar. Ventilasi juga menyebabkan pening-katan kelembaban ruangan karena ter-jadinya proses penguapan cairan dari kulit, oleh karena itu kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri penyebab pe-nyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Sanitasi rumah dan lingkungan erat kaitannya dengan angka kejadian penyakit menular, terutama Infeksi Saluran Per-napasan Akut (ISPA) (Taylor, 2012). Beberapa hal yang dapat memengaruhi kejadian penyakit Infeksi Saluran Per-napasan Akut (ISPA) adalah kondisi fisik rumah, kebersihan rumah, kepadatan
penghuni dan pencemaran udara dalam rumah (Iswarini dan Wahyu, 2006). Selain itu faktor perilaku penghuni, ventilasi, suhu dan pencahayaan juga sangat memengaruhi (Ambarwati dan Dina, 2007).
Menurut Ranuh (2007), rumah yang jendelanya tidak memenuhi persyaratan menyebabkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik, akibatnya asap dapur dan asap rokok dapat terkumpul dalam rumah sehingga bayi dan anak yang sering menghisap asap tersebut di dalam rumah lebih mudah terserang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap di dinding tembok dan cahaya matahari pagi yang sulit masuk dalam rumah juga memudahkan penghuni rumah terserang Infeksi Saluran Perna-pasan Akut (ISPA). Berdasarkan hasil penelitian Yusup dan Sulistyorini (2005), diketahui bahwa ada hubungan yang bermakna antara ventilasi, pencahayaan dan perilaku penghuni dengan kejadian Infeksi Saluran PernapasanAkut (ISPA). Risiko akan menjadi berlipat ganda pada balita yang daya tahan tubuhnya masih kurang sempurna (Muluki, 2004).
Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian Infeksi Saluran Perna-pasan Akut (ISPA) pada balita diantaranya perumahan, sosial ekonomi dan perilaku sehat orang tua dalam mengasuh balita menuju kebutuhan pemeliharaan dan perawatan anak agar kesehatannya selalu terpelihara, sehingga diharapkan menja-dikan mereka anak-anak yang sehat baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita dapat dicegah melalui pe-ngadaan rumah yang sehat, perilaku sehat penghuni dan peningkatan gizi balita serta pengasuhan orang tua dalam meningkatkan kesehatan bagi balita (Depkes, 2005).
73 Berdasarkan uraian dari hasil survei
pendahuluan di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara faktor sosial ekonomi dan rumah sehat dengan perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Kabupaten Kediri.
SUBJEK DAN METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kuanti-tatif non eksperimen dengan pendekatan cross sectiona lmenggunakan desain dan rancangan penelitian case control obser-vasional non analitik. Penelitian ini menguji hubungan perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) dengan pendidikan,
pendapatan, komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni. Penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja UPTD Puskesmas Tiron Kabupaten Kediri Jawa Timur. Penelitian mulai dilaksanakan pada bulan Juni–Juli 2016.
Populasi adalah balita dan orang tua balita sebanyak 100 subjek penelitian.
Teknik sampling menggunakan fixed
diseases sampling. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pendidikan, penda-patan, komponen rumah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni sedangkan variabel terikatnya adalah perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Instrumen dalam penelitian ini menggunakan kuesioner dan analisis data menggunakan regresi logistik ganda.
HASIL
Penelitian dilakukan di wilayah kerja
Puskesmas Tiron Kabupaten Kediri.
Didapatkan 100 subjek penelitian, 20
subjek penelitian untuk kasus dan 80 subjek penelitian untuk kontrol.
Tabel 1 Karakteristik subjek penelitian
No Karakter Case Control
N (%) N (%) 1 Pendidikan Tinggi 5 25 43 53.8 Rendah 15 75 37 46.2 2 Pendapatan Tinggi 5 25 42 52.5 Rendah 15 75 38 47.5 3 Komponen Rumah Sehat 6 30 76 95 Tidak sehat 14 70 4 5 4 Sarana sanitasi Sehat 6 30 15 18.8 Tidak sehat 14 70 65 81.2 5 Perilaku penghuni Sehat 7 35 19 23.8 Tidak sehat 13 65 61 76.2
Berdasarkan hasil analisis multivariat regresi logistik pada tabel 3 diatas
dijelaskan hubungan masing-masing
74
Pada variabel pendidikan dapat dijelaskan bahwa secara statistik nilai signifikan (p=0.001) artinya terdapat hubungan yang kuat antara pendidikan dan perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), dan pengaruh tersebut secara statistik signifikan. Semakin rendah pendidikan seseorang memiliki resiko berperilaku tidak baik 9.1 kali lebih tinggi daripada yang berpendidikan tinggi (OR=9.1; CI 95%=0.8 hingga 98.4;
p=0.001). Variabel pendapatan dapat dijelaskan bahwa nilai (p=0.001) artinya terdapat pengaruh yang positif kuat antara pendapatan dan perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), dan pengaruh tersebut secara statistik signifikan. Semakin rendah penda-patan seseorang akan memiliki resiko ber-perilaku tidak baik 1.3 kali lebih tinggi daripada yang berpendapatan tinggi (OR= 1.3; CI 95%=0.1 hingga 14.2; p=0.001). Tabel 2 Hasil Analisis Bivariat
Variabel
Perilaku Sehat Orang Tua Balita
OR
p Tidak
Baik % Baik % Total %
Pendidikan 21.8 0.001 Rendah 41 41 11 11 48 Tinggi 7 7 41 41 52 100 Pendapatan 11.7 0.001 Rendah 39 39 14 14 48 Tinggi 9 9 38 38 52 100 Komponen Rumah 4.9 0.005 Tidak Sehat 14 14 4 4 48 Sehat 34 34 48 48 52 100 Sarana Sanitasi 13.2 0.001 Tidak Sehat 46 46 33 33 48 Sehat Perilaku Penghuni Tidak Sehat Sehat 2 42 6 42 42 6 19 32 20 19 32 20 52 48 52 100 100 4.3 0.003
Tabel 3 Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda
Variabel Independen OR Batas Batas CI(95%)
bawah atas p Pendidikan Pendapatan Komponen Rumah Sarana Sanitasi Perilaku Penghuni N observasi -2 Log Likelihood Nagelkerke R square 9.1 1.3 4.0 6.9 8.9 100 80.0 59% 0.8 98.4 0.1 14.2 0.5 27.7 1.1 41.9 1.6 48.7 0.001 0.001 0.005 0.001 0.003
75 Variabel komponen rumah didapatkan
(p=0.005) yang artinya terdapat pengaruh yang positif kuat antara komponen rumah dan perilaku sehat orang tua balita pen-derita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), dan pengaruh tersebut secara sta-tistik signifikan. Semakin tidak sehat kom-ponen rumah akan memiliki risiko ber-perilaku tidak baik 4.0 kali lebih tinggi daripada komponen rumah yang sehat (OR=4.0; CI 95%=0.5 hingga 27.7; p=0.005). Variabel sarana sanitasi didapat-kan nilai (p=0.001) artinya terdapat pengaruh yang positif kuat antara sarana sanitasi dan perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), dan pengaruh tersebut secara statistik signifikan. Semakin tidak sehat sarana sanitasi akan memiliki resiko berperilaku tidak baik 6.9 kali lebih tinggi daripada sarana sanitasi yang sehat (OR = 6.9; CI 95% = 1.1 hingga 41.9; p=0.001). Variabel perilaku penghuni didapatkan (p=0.003) yang artinya terdapat pengaruh yang positif kuat antara perilaku penghuni dan perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), dan pengaruh tersebut secara statistik signifikan. Semakin tidak sehat perilaku penghuni akan memiliki resiko berperilaku tidak sehat 8.9 kali lebih tinggi daripada perilaku penghuni yang sehat (OR = 8.9; CI 95% = 1.6 hingga 48.7; p=0.003).
PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan dengan perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) didapatkan dari data persentase subjek penelitian yang berperilaku tidak sehat dengan pendidikan rendah sebesar (41%) dan yang berpen-didikan tinggi (7%). Sedangkan yang
berperilaku sehat dengan pendidikan rendah sebesar (11%) dan yang berpen-didikan tinggi sebesar (41%). Berdasarkan hasil tersebut terdapat pola kecenderungan hubungan yaitu persentase pendidikan tinggi lebih rendah untuk memiliki perilaku sehat yang tidak baik daripada yang memiliki pendidikan rendah. Hasil uji statistik ini menunjukkan ada hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan secara statistik signifikan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Imanda Amalia (2009). Pendidikan memengaruhi seseorang dalam berperilaku sehat, pada penelitiannya di dapatkan responden berpendidikan SLTA berperilaku sehat (20%) lebih banyak daripada responden yang berpendidikan SD/tidak sekolah (5%). Hal ini sesuai dengan penelitian Goodman (2001) bahwa seseorang yang ber-pendidikan tinggi dapat lebih memelihara tingkat kesehatannya daripada yang ber-pendidikan rendah. Tingkat ber-pendidikan yang lebih tinggi menjadikan responden lebih berorientasi pada tindakan preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan dan memiliki status kesehatan yang lebih baik (Widyastuti, 2005). Pendi-dikan dapat meningkatkan kematangan intelektual seseorang. Kematangan intelek-tual ini berpengaruh pada wawasan, cara berfikir, baik dalam cara pengambilan keputusan maupun dalam pembuatan kebijakan. Semakin tinggi pendidikan for-mal, akan semakin baik pengetahuan tentang kesehatan (Hastono, 1997).
Dari hasil penelitian tingkat penda-patan, didapatkan hasil persentase subjek penelitian yang berperilaku tidak sehat dengan pendapatan rendah sebesar (39%) dan berpendapatan tinggi (9%). Sedangkan yang berperilaku sehat dengan pendapatan
76
rendah sebesar (14%) dan yang ber-pendapatan tinggi sebesar (38%). Ber-dasarkan hasil tersebut terdapat pola kecenderungan hubungan yaitu persentase pendapatan tinggi lebih rendah untuk memiliki perilaku sehat yang tidak baik
daripada yang memiliki pendapatan
rendah. Hasil uji statistik ini menunjukkan ada hubungan positif antara tingkat pendapatan dengan perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan secara statistik signifikan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Imanda Amalia (2009). Pendapatan mempengaruhi seseorang dalam berperilaku sehat. Hasil penelitian diatas diketahui bahwa proporsi responden yang berpendapatan rendah lebih banyak yang berperilaku kurang sehat (50%). Hasil penelitian ini mendukung penelitian Faturrahman dan Mollo (1995) bahwa tingkat pendapatan berkaitan dengan kemiskinan yang akan berpengaruh pada status kesehatan masyarakat. Faktor-faktor lain yang memengaruhi antara lain adalah jenis pekerjaan, pendidikan formal kepala keluarga, jumlah anggota keluarga dan lain-lain (Sumiarto, 1993). Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian Widoyono (2008) bahwa pendapatan merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingkat wawasan masyarakat mengenai sanitasi lingkungan.
Dari hasil penelitian komponen rumah,
didapatkan hasil persentase subjek
penelitian yang berperilaku tidak sehat dengan komponen rumah tidak sehat sebesar (14%) dan komponen rumah yang sehat (34%). Sedangkan yang berperilaku sehat dengan komponen rumah tidak sehat sebesar (4%) dan dengan komponen rumah sehat sebesar (48%). Berdasarkan hasil tersebut terdapat pola kecenderungan hubungan yaitu persentase komponen
rumah tidak sehat untuk memiliki perilaku sehat yang tidak baik daripada yang memiliki komponen rumah sehat. Hasil uji statistik ini menunjukkan ada hubungan positif antara komponen rumah dengan perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan secara statistik signifikan
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Triska (2005). Komponen rumah memengaruhi
seseorang dalam berperilaku sehat.
Penelitian di tiga lokasi yang berbeda ini mendapatkan hasil yang sama untuk variabel kepadatan penghuni dan kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada anak Balita. Variabel kepadatan penghuni memberikan hasil yang signifikan untuk kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada anak balita dengan nilai p=<0.05. Sebagian besar responden tidak memenuhi syarat kepadatan penghuni. Penyebab kondisi ini karena luas rumah tidak mencukupi untuk membuat kamar yang memenuhi syarat kesehatan. Ke-padatan penghuni rumah dihubungkan dengan transmisi penyakit infeksi saluran pernafasan (Krieger dan Higgins, 2002).
Dari hasil penelitian sarana sanitasi,
didapatkan hasil persentase subjek
penelitian yang berperilaku tidak sehat dengan sarana sanitasi tidak sehat sebesar 46 (46%) dan yang memiliki sarana sanitasi sehat 2 (2%). Sedangkan yang berperilaku sehat dengan sarana sanitasi sehat sebesar 19 (19%) dan yang memiliki sarana sanitasi tidak sehat sebesar 33 (33%). Berdasarkan hasil tersebut terdapat pola kecenderungan hubungan yaitu persentase sarana sanitasi tidak sehat untuk memiliki perilaku sehat yang tidak baik daripada yang memiliki sarana sanitasi sehat. Hasil uji statistik ini menunjukkan ada hubungan positif antara sarana sanitasi dengan perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran
Per-77 napasan Akut (ISPA) dan secara statistik
signifikan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Imanda Amalia (2009). Sarana sanitasi mem-pengaruhi seseorang dalam berperilaku sehat. Kondisi sanitasi lingkungan rumah responden pada penelitian Triska belum dijaga dengan baik karena lantai rumah responden yaitu 27 rumah (67.5%) dengan kondisi lantai kering serta kotor dan 13 rumah (32.5%) dengan kondisi lantai basah serta kotor. Sirkulasi udara rumah responden juga belum optimal karena masih terdapat 21 rumah (52.5%) yang tidak membuka jendela setiap hari minimal 1 kali dipagi hari. Letak WC/kakus di rumah responden sebagian besar 32 rumah (80%) tidak terletak lebih dari 5 meter dari tempat pembuangan. Hal ini meng-akibatkan terkontaminasinya hidangan yang akan di makan oleh responden dan keluarga. Kondisi ini diperparah dengan masih terdapat 9 rumah (22.5%) yang tidak memiliki tempat pembuangan sampah dan 8 rumah (20%) yang tidak memiliki tempat pembuangan limbah rumah tangga.
Selanjutnya dari hasil penelitian peri-laku penghuni, didapatkan hasil persentase subjek penelitian yang berperilaku tidak sehat dengan perilaku penghuni tidak sehat sebesar (42%) dan yang memiliki perilaku penghuni sehat (6%). Sedangkan yang berperilaku sehat dengan perilaku peng-huni tidak sehat sebesar (32%) dan yang perilaku penghuni sehat sebesar 20 (20%). Berdasarkan hasil tersebut terdapat pola kecenderungan hubungan yaitu persentase perilaku penghuni tidak sehat untuk memiliki perilaku sehat yang tidak baik daripada yang memiliki perilaku penghuni sehat. Hasil uji statistik ini menunjukkan ada hubungan positif antara perilaku penghuni dengan perilaku sehat orang tua
balita penderita Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) dan secara statistik signifikan.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuli Trisnawati (2012). Perilaku penghuni mem-pengaruhi seseorang dalam berperilaku sehat. Pada penelitian ini pada kelompok kasus (penderita Infeksi Saluran Per-napasan Akut / ISPA) sebagian besar pe-rilaku merokok orang tuanya dikategorikan berat (80.4%). Pada kontrol ditemukan 39 balita (76.5%) dengan perilaku orangtua merokok kategori ringan. Hal ini me-nunjukan adanya kecenderungan orang tua dengan semakin berat perilaku merokok orangtua maka semakin besar potensi anak balitanya menderita Infeksi Saluran Per-napasan Akut (ISPA). Hasil ini diperkuat dengan uji statistik yang diperoleh nilai korelasi chi square diperoleh nilai p= 0.001 <0.05 yang berarti ada hubungan antara perilaku merokok orang tua terhadap kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada balita. Dengan nilai OR 13.32 berarti balita dengan orang tua perokok mempunyai resiko 13.325 kali terkena penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) daripada orang tua yang bukan perokok. Asap rokok dari orang tua atau penghuni rumah yang satu atap dengan balita merupakan bahan pencemaran dalam ruang tempat tinggal yang serius serta akan menambah resiko kesakitan dari bahan toksik pada anak-anak.
Dari hasil penelitian didapatkan bah-wa pendidikan, pendapatan, komponen ru-mah, sarana sanitasi dan perilaku penghuni yang diuji memiliki hubungan yang signifikan terhadap perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran Per-napasan Akut (ISPA) dan diperoleh satu variabel yang memiliki hubungan paling signifikan terhadap perilaku sehat orang tua balita penderita Infeksi Saluran
Per-78
napasan Akut (ISPA), yaitu pendidikan orang tua.
DAFTAR PUSTAKA
Handayani, D. (2008). Hubungan Antara Rt Sehat Dengan Kejadian Pnemonia Pada Balita. Univ Sebelas Maret. Indriyani, W.N. (2008). Panduan Praktis
Mendidik Anak Cerdas Intlektual Dan
Emosional. Yogyakarta: Logung
Pustaka.
Isnawati. (2006). Pengaruh Kondisi Ling-kungan Fisik Rumah dan Perilaku Penduduk terhadap Kejadian Penya-kit ISPA pada Anak Balita: Studi di Desa Tual Kecamatan Kecil Kabupa-ten Maluku Tenggara. Skripsi. Sura-baya: Fakultas kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga.
Marimbi, H. (2010). Tumbuh Kembang Status Gizi Dan Imunisasi Dasar Pada Balita. Yoogyakarta: Nuha Medika. Mochtar. (2008). Infeksi Saluran
Pernapa-san Akut (ISPA) dan
penanggula-nganya.Bersumber dari:
http://-viethanurse.wordpress/ asuhan-kepe-rawatan-anak-preschool-dengan-ispa. Diakses tanggal 5 Februari 2016. Mukono. H.J. (2009). Prinsip Dasar
Kese-hatan Lingkungan. Surabaya: Air-langga University Press.
Muluki M. (2004). Analisis faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya penyakit ISPA di Puskesmas Palanro Kecamatan Mallusetasi Kabupaten Baru Tahun 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depar-temen Kesehatan.
Murti, B (1997). Prinsip Dan Metode Riset Epidemiologi, UGM: Yogyakarta.
Oktaviana, Vita Ayu. (2009). Hubungan Antara Sanitasi Fisik Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Perna-pasanAtas (ISPA) pada Balita Di Desa cepogo Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. (Online) http://etd.eprints. ums.ac.id/5965/1/J410050018. PDF. Diakses 30 November 2012.
Ranuh, I.G.N. (2007). Masalah ISPA dan Kelangsungan Hidup Anak. Surabaya, Continuing Education. Ilmu Kese-hatan Anak.
Siswanto. (2010). Infeksi Saluran
Per-napasan Akut. Terdapat pada
http://prabu.wordpress.com/2009/0 1/04/infeksi-saluran-pernafasan-akut ISPA. Diakses tanggal 15 Februari 2016.
Suparitni. (2008). Gambaran Rumah Sehat di Indonesia.http://lib.atmajaya. ac.id /default.aspx? tab ID=52 & prang = Supartini. Diakses tanggal 15 Februari 2016.
Taylor, Vicki. (2012). Health Hardware for Housing for Rural and Remote Indigenous Communities. Australia : Central Australian Division of General Practice.
Trisnawati. (2012). Hubungan Perilaku Merokok orang tua dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja
puskesmas tembang kabupaten
purbalingga: Purwokerto.
Winarni. (2010). Hubungan antara Peri-laku Merokok Orang Tua dan Anggota Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 6(1).