BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah kesehatan anak merupakan salah satu masalah utama dalam bidang
kesehatan. Derajat kesehatan anak mencerminkan derajat kesehatan bangsa, sebab anak
sebagia generasi penerus bangsa memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan dalam
meneruskan pembangunan bangsa. Indikator kesehtan anak terdiri dari beberapa hal,
yaitu mengenai angka kematian bayi, angka kesakitan bayi dan status gizi. Angka
kematian bayi masih cukup tinggi didunia meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun.
Lebih dari setengahnya disebabkan dari 5 kondisi yang sebenranya dapat dicegah dan
diobati antara lain : Pnemumonia, diare, malaria, campak dan mal nutrisi (Soenarto,
2013).
Strategi Pembangunan Kesehatan Tahun 2010 sampai dengan 2014
direncanakan untuk peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan antara
lain ditandai oleh meningkatnya angka harapan hidup, menurunnya tingkat kematian
bayi dan kematian ibu melahirkan. Salah satu upaya unutuk mencapai kondisi tersebut
adalah dengan memperbaharui sistem pelayan kesehatan dan pelatihan tenaga kesehatan
sesuai dengan perkembanga kebutuhan,serta komitmen sumberdaya manusia pada
penerapan standar pelayanan minimal ( Depkes, 2010).
Salah satu dalam pembangunan millenium development goals (MDGs) yaitu
dicapai adalah menurunkan angka kematian balita pada tahun 2015 adalah mengurangi
angka kematian anak sebesar 2/3, dari 93 anak-anak setiap 1000 kelahiran hidup yang
meninggal sebelum usia lima tahun (Rekawati, 2011). Pada tahun 2012 angka kematian
balita sebesar 40/1000 kelahiran hidup. Sedangkan pada wilayah jawa tengah pada
tahun 2013 sebesar 11,80 /1000 kelahiran hidup, menurun dibandingkan tahun 2012
sebesar 11,85 /1000 kelahiran hidup, ini berarti ada peningkatan kinerja dalam upaya
penurunan AKB di Provinsi Jawa Tengah. Dibandingkan dengan cakupan yang
diharapkan dalam millenium development goals (MDGs) ke-4 tahun 2015 yaitu 23/1000
kelahiran hidup, AKABA Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 sudah melampui terget.
Indikator derajat kesehatan suatu negara atau wilayah di tentukan 3 indikator
salah satunya adalah angka kematian neonatal, angka kematian bayi dan balita semakin
renda angka kematian bayi semakin tinggi derajat kesehatan negara atau wilayah
tersebut. Berdasarkan laporan rutin AKB Kabupaten Banyumas tahun 2015 sebesar
17/1000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian balita (AKABA) di Kabupaten
Banyumas tahun 2015 sebesar 23/1000 kelahiran hidup (Dinkes Kabupaten Banyumas,
2014).
Kematian bayi dan anak balita sebenarnya dapat dicegah dengan mencegah
terjadinya suatu penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Penyebab tingginya
kematian bayi dan balita menurut Kirana Pritsari selaku Direktur Bina Kesehatan Anak
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menjabarkan bahwa penyebab kematian
saluran pernapasan akut 27,6%, Asfiksia 27%, Gangguan pemberian makanan 17,4%,
Diare 9,4%, Infeksi 5,4%, (SKRT, 2001).
Upaya lain yang dilakukan dalam rangka menurunkan angka kematian balita
adalah pengembangan upaya kesehatan bersumber masyarakat seperti pos pelayanan
terpadu (posyandu), penerapan PHBS, dalam setiap tatanan rumah tangga,
penanggulangan kurang energi protein, pendidikan gizi, penyediaan air bersih dan
sanitasi dasar, serta pemberantasan dan pencegahan penyakit melalui survailans dan
imunisasi, serta mengoptimalkan kegiatan kelas ibu balita dalam rangka upaya
meningkatkan kemandirian keluarga dan masyarakat dalam merawat dan memelihara
kesehatan dan tumbuh kembang balita (Permenkes RI, 2013).
Umumnya angka kematian yang cukup tinggi tersebut bisa ditangani dengan
perawatan yang baik, pendekatan program perawatan balita sakit pada waktu dulu
dengan menggunakan program intervensi secara terpisah dan bukan merupakan sebuah
kesatuan. Intervensi secara terpisah tersebut tentunya akan menimbulkan kesulitan bagi
para petugas karena harus mengumpulkan pedoman yang terpisah untuk menangani
anak yang menderita berbagai penyakit. Oleh sebab itu maka di perlukan intervensi
yang lebih sistematis dan efektif. Dalam hal ini yang lebih sistematis dan efektif dengan
menggunakan Manajemen Terpadu Balita Sakit bagi Masyarakat (MTBS-M). Upaya ini
merupakan salah satu cara yang efektif untuk menurunkan angka kematian dan angka
kesakitan bayi dan anak. Peningkatan ketrampilan perawat dan bidan dalam tatalaksana
Balita Sakit atau lebih dikenal dengan MTBS. MTBS merupakan standar
pelayanan bagi balita sakit dan dinilai berkontribusi sangat besar untuk menurunkan
angka kematian neonatus, bayi dan balita dilaksanakan secara luas, baik dan benar
(Depkes RI, 2007).
Sebagian besar penyebab kematian pada balita dapat dicegah dengan
melaksanakan upaya pendekatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Mengingat
masih banyaknya daerah yang belum memiliki tenaga kesehatan atau akibat demografi
sebagian masyarakat sulit untuk mendapatkan akses terhadap tenaga kesehatan, maka
kader diberdayakan agar mampu melakukan deteksi tanda-tanda penyakit berat pada
balita, sehingga perlu dikembangkan MTBS-M. Untuk itu perlu adanya pelatihan kader
yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah masing-masing, supervisi
pengawasan oleh petugas, dan dukungan dari pemerintah daerah setempat (Permenkes
RI, 2013).
MTBS-M merupakan pendekatan pelayanan kesehatan bayi dan anak balita
terintegrasi yang bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap perawatan esensial bayi
muda dan tatalaksana balita sakit di tingkat masyarakat yang sesuai standar, sehingga
dapat dipergunakan sebagai acuan Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten dan Kota
dalam memfasilitasi penerapan dan melaksanakan monitoring dan evaluasi (Permenkes
RI, 2013).
Upaya penurunan angka kematian bayi baru lahir, bayi dan anak balita
tujuan pembangunan milenium (MDGs) yang tertuang dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Salah satu strateginya adalah
pemberdayaan masyarakat dalam perawatan bayi baru lahir, deteksi dini penyakit balita
serta meningkatkan dukungan agar rujukan dapat berjalan sedini mungkin.
Dari hasil studi pendahuluan bahwa MTBS-M sudah pernah disosialisasikan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas kepada Kepala Puskesmas Purwokerto
Selatan. Kemudian MTBS-M sudah dilaksanakan diwilayah kerja Puskesmas
Purwokerto Selatan pada bulan Oktober 2016, terhadap 60 kader yang di random dari
600 kader di wilayah kerja 7 Desa. Pelatihan dilaksanakan selama 1 bulan oleh trainer
petugas kesehatan Purwokerto Selatan. Setelah kegiatan pelatihan, kader melaksanakan
pelayanan MTBSM kepada blita sakit yaitu pada bulan November sampai dengan januri
2017.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah penelitian ini adalah
bagaimana Respon Petugas Kesehatan Terhadap Keterlibatan Kader pada MTBS-M di
Wilayah Kerja Puskesmas Purwokerto Selatan ?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah Respon Petugas Kesehatan Terhadap
Keterlibatan Kader pada MTBS-M di Wilayah Kerja Puskesmas Purwokerto
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini untuk :
a. Mengetahui data karakteristik responden
b. Mengetahui respon petugas kesehatan terhadap keterlibatan kader pada
MTBS-M di Wilayah Kerja Puskesmas Purwokerto Selatan.
c. Mengetahui respon kader terhadap keterlibatan MTBS-M di Wilayah Kerja
Puskesmas Purwokerto Selatan.
D. Manfaat Penelitian
a) Bagi peneliti
Mengetahui tentang gambaran sejauh mana respon petugas kesehatan
dan respon kader terhadap keterlibatan MTBS-M di Wilayah Kerja
Puskesmas Purwokerto Selatan.
b) Bagi responden
Memberikan informasi tentang perencanaan, pengembangan, dan
peningkatan mutu pelayanan khususnya upaya mencapai tujuan
pembangunan kesehatan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian
bayi dan balita.
c) Bagi instansi terkait
Sebagai bahan tindakan korektif dan adaptif terhadap perkembangan
yang ada di masyarakat, serta sebagai upaya menurunkan angka kesakitan
E. Penelitian Terkait
Penelitian yang berjudul respon petugas kesehatan terhadap keterlibatan
kader pada MTBS-M belum pernah dilakukan sebelumnya. Hasil penelitian
yang relevan dengan penelitian ini :
1. Penelitian oleh Schellenberg, J.A,. et al (2004) yang berjudul “Pengaruh
Manajemen Terpadu Balita Sakit mengamati kualitas dengan perawatan balita
di pedesaan Tanzania”. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian cross
sectional. Teknik pengambilan sampel digunakan teknik random sampling.
Jumlah sampel 20 responden. Dari hasil penelitian, bahwa anak-anak yang
terlibat pada MTBS-M menerima perawatan dengan baik daripada yang tidak.
2. Penelitian oleh Rowe, A.K,. et al (2011) yang berjudul “Ápakah pelatihan
singkat MTBS dapat mengurangi efektifitas MTBS?”. Penelitian ini
menggunakan jenis penelitian korelasi. Dari hasil penelitian bahwa pelatihan
MTBS standar tampak lebih efektif daripada pelatihan MTBS dengan hari
yang lebih singkat, meskipun perbedaan mungkin kecil.
3. Penelitian oleh Agha Ajmal,. et al (2007) yang berjudul “Delapan kegiatan
rumah tangga yang dapat mempraktikan MTBS diantarnya ibu-ibu yang
mempunyai anak usia 6 sampai 59 bulan, Sindh Pakistan”. Penelitian ini
menggunakan pendekatan cross sectional. Teknik pengambilan sampel
digunakan teknik random sampling. Jumlah responden sebanyak 54
responden. Dari hasil penelitian, pendidikan ibu-ibu rendah, beberapa ibu-ibu
ibu-ibu yang memberikan ASI eksklusif , mendapatkan imunisasi dan
mencuci tangan sebelum memasak.
4. Penelitian oleh Basalem, O.H,. et al (2009) yang berjudul “Studi Kualitatif
pada persepsi komunitas manajemen terpadu balita sakit (MTBS)
pelaksanaan di Lahej, Yaman”. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
cross sectional. Teknik pengambilan sampel digunakan teknik random
sampling. Dari hasil penelitian, kelompok sadar MTBS memiliki pemimpin
masyarakat dengan mengungkapkan ketidakpastian. Persepsi positif
masyarakat terhadap layanan kesehatan harus memainkan peran yang lebih
aktif. Para ibu menekankan mata pencaharian dan kemiskinan dan kondisi
lingkungan yang mempengaruhinya.
5. Penelitian oleh Bryce, J. et al (2005) yang berjudul “Jalur program untuk
kelangsungan hidup anak dengan hasil evaluasi negara MTBS”. Dari hasil
penelitian, strategi MTBS berhasil diperkenalkan di mayoritas unit besar
negara dengan moderat untuk tingkat tinggi kematian anak pada periode
1996-2001.
6. Penelitian oleh Solikhah, U. et al (2015) yang berjudul“Integrated
management of childhood illness training needs on cadre forimprove family
and community capacity in simple handling of
respiratory infection, diarrhoea, and less nutrition in children”. The method
used is descriptive study, to describe the health of children and overview of
Data from the documentation Banyumas district healthoffices, health
workers, and cadres. The sample size of cadre are 605.Results of the analysis
showed that 54% of health centers has not been achieved coverage mortality
rate ofinfants and toddlers. 5 of 10 cases patient who visit came after five
days of fever, diarrhoea as endemic case (46.5%),pneumonia (21.4%),
malnutrition (7.82%). Active cadre resource support for involvement in the
community. Cadre
weighing activities every month. IMCI coverage as low as 37%. It takes
training a cadre of IMCI in the community asa step involving the community
in the achievement of optimal health care, particularly focused on community
issues.Furthermore, cadre as a companion of families and communities to