• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis terbesar di seluruh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis terbesar di seluruh"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman etnis terbesar di seluruh dunia. Jawa Pos National Network, Badan Pusat Statistik (BPS) telah melakukan survei mengenai jumlah etnis di Indonesia. Menurut hasil sensus penduduk, terakhir diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 etnis (Afiz, 2010).1 Dengan etnis sebanyak ini tentu tidak mudah mengelola perbedaan antar etnis, apalagi perbedaan tersebut juga didasari oleh motif masalah yang berakar pada politik, ekonomi, bahkan hegemoni suatu lembaga/institusi politik.2

Kekerasan antar etnis di seluruh Indonesia terjadi sangat cepat beberapa tahun pasca reformasi.3 Terutama menguatnya isu identitas yang sangat berkembang menjadi ambisi ratusan bahkan ribuan etnis yang tersebar di seluruh tanah air, akhirnya kecenderungan tersebut mampu menimbulkan konflik etnis, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun sosial budaya. Kurangnya keterlibatan setiap etnis dalam pembauran, ketimpangan pembangunan dan pengekangan militer yang berlebihan pada masa orde baru menjadi problem utama ketika demokrasi liberal

1Afiz. (2010). Indonesia Miliki 1.128 Suku Bangsa (online). http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455.Didownload 12 Maret 2015.

2 van Klinken, Gerry. (2007). Communal violence democratization in indonesia : small town wars. New York: Routledge.

3

Trajano. (2010: hal 13). Ethnic nationalism and separatism in west papua, indonesia. Journal of Peace, Conflict and Development.

(2)

2

diterapkan di indonesia melalui reformasi, meski permainan politik tokoh-tokoh lokal juga diperhitungkan dalam kontestasi yang dimaksud.4 Sehingga konflik dan kekerasan antar etnis besar kemungkinan dapat terjadi di setiap wilayah di Indonesia.

Tabel 1.1

Data Konflik Sosial di Indonesia 1990-2001

Sumber data: Taddjoedin A, Zulfan; 2012:33.5

Kekerasan sosial secara umum meningkat drastis setelah turunya Soeharto dengan pemerintahan tangan besinya. Kekuatan otoritarianisme yang memberikan cela bagi

4 Bertrand, J. (2012). Naionalisme dan konflik etnis di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor; Lihat juga Chauvel, Richard dalam Coppel A, C. (2006: hal 180-191). Violent conflict in indonesia: analysis, representation and resolution. USA: Routledge. Canada.

5 Taddjoedin A, Z. (2002). Anatomi kekerasan social dalam konteks transisi: kasus di Indonesia

1990-2001. Jakarta: UNSFIR; Lihat juga Faucher, C (Eds). (2005). Regionalism in post-suharto Indonesia. Canada, USA: Routledge.

(3)

3

ketimpangan dan distribusi kebijakan yang tidak tepat menyebabkan arus tuntutan semakin banyak. Data dari UNSFIR yang diolah oleh Zulfan Taddjoedin; 2012 menunjukan bahwa konflik dan kekerasan social lebih meningkat pasca reformasi. Ini karena pada masa orde baru tidak semua golongan menikmati kebijakan secara merata (inequality of values distribution).6

Kekerasan sosial yang paling terparah adalah kekerasan komunal, etnis, agama, suku dan kelompok-kelompok kepentingan. Meski dalam lanjutan laporan tersebut daerah seperti Papua disebutkan hanya satu insiden dan tidak ada korban jiwa. Namun sebenarnya justru konflik dan kekerasan komunal di Papualah yang menyebabkan banyak kematian dan korban lainya berjatuhan. Kekerasan komunal di Papua antar pendatang dari luar Papua dan penduduk asli di Papua7 menyebabkan jatuhnya korban sangat banyak dari kedua belah pihak. Meski kekerasan seperti ini cenderung tertutupi oleh berita-berita dan informasi mengenai konflik seputar isu separatisme yang sengaja oleh alat Negara dan media dalam sosialisasi dihidupkan seperti isu PKI pada tahun 1965.

6 Mas’oed Mochtar. (2008).

Ekonomi politik internasional dan pembangunan. Yogyakarta: Pustaka pelajar; Lihat juga: Mas’oed Mochtar. (2003). Negara, capital dan demokrasi. Yogyakarta: Pustaka pelajar.

7 Orang asli Papua yaitu orang Papua yang lahir besar di Papua dan memiliki hubungan darah serta keturunan dari penduduk ras Melanesia bukan orang Papua berdasarkan UU 32/2004. Mereka berkulit hitam, adapula yang sawo matang bagi penduduk pesisir pantai utara Papua, Biak, serui, Wasior.

(4)

4 Tabel 1.2

Kekerasan social menurut kategori 1990-2001

Sumber data: Taddjoedin A, Zulfan; 2012: 32.8

Memang mendekati masa runtuhnya Soeharto bahkan sesudahnya, konflik dan kekerasan social terus terjadi termasuk kekerasan etnik marak terjadi secara berturut-turut pada tahun 1999 di Maluku Tenggara (Ambon) dan di Maluku Utara (Ternate dan Halmahera) disusul dengan kekerasan antar etnis Dayak dan Madura di Kalimantan tepatnya Sanggau dan Sampit juga di Pontianak. Begitupun di Poso,

8

(5)

5

Sulawesi dan di beberapa daerah lainya seperti suku Dani dan Amume-Kamoro di Timika, juga suku Bugis-Buton-Makassar dan para migran lokal di Papua seperti Biak, Serui, dan Wasior yang ada di Sorong, Manokwari, dan Jayapura. Tidak hanya itu di Wamena dan di Nabire juga terjadi kerusuhan antar warga pendatang dari Sulawesi Selatan dan penduduk lokal di Nabire. Seperti kata Sidney Jones, Penasihat Senior Crisis Group bahwa "Potensi konflik komunal tinggi di Papua karena kedua belah pihak menganggap dirinya dirugikan", meski dalam penyampaian ini mengarah pada radikalisme konteks agama tetapi perlu diketahui bahwa dominasi etnis Papua yang mayoritas beragama Kristen dan begitu pula mayoritas pendatang campuran yang beragama muslim dengan pengelompokan pekerjaan yang juga cenderung bersifat kesukuan dan agamis ini menimbulkan kerawanan, “bagaikan sekam yang kering dan siap dibakar”.9

Terlihat jelas bahwa Konflik di Papua hampir sebagian besar terjadi antara Orang Makasar dan Orang Papua.

Kerusuhan seperti di Manokwari memiliki persamaan dengan kerusuhan antar suku-suku pribumi di Papua dengan suku pendatang Buton, Bugis, Makasar (BBM). Misalnya di Sorong, terjadi antara Suku dari Serui dengan Makassar tahun 2014, pada tahun 1999 masuk 2000 terjadi juga pembunuhan secara brutal oleh masyarakat Maybrat (Aifat) terhadap masyarakat Makassar akibat pembunuhan yang dilakukan terhadap seorang pemuda dari Aifat dengan menggunakan senjata khas mereka yaitu

9

http://www.crisisgroup.org/en/publication-type/media releases/2008/asia/indonesiacommunal-tensions-in-papua.aspx.Didownload, Senin 09 Juni 2014.

(6)

6

Badik10. Pada tahun 1990-an juga terjadi kerusuhan antar suku-suku di Jayapura dengan Suku Makassar sehingga sebagai bentuk kekecewaan suku Jayapura terhadap dominasi pendatang Makassar di Jayapura, mereka membakar Pasar Abepura pada saat itu dengan tujuan mematikan perekonomian orang-orang Makasar di Jayapura yang sebagian besar bermata pencaharian pedagang.

Total kematian dari konflik dan kekerasan di Indonesia (tidak termasuk di Papua) yang dilaporkan sebanyak 4,869, luka-luka/kerugian 9,832 dan kerusakan material Rp 771 milyar (Am.) ($ 91.4 juta).11 Sedangkan data lain yang mengungkapkan beberapa kerusuhan antar etnis di Kalimantan seperti Sangau Ledo pada 1997 dan Tari Samba pada 1999 (Propinsi Kalimantan barat), dan lagi di Sampit pada 2001 (Propinsi Kalimantan pusat) dan Maluku (Ambon) 19 Januari 1999 dan puncaknya 2001 memperlihatkan bahwa korban meninggal dari konflik ini berjumlah 8000 orang dan yang mengungsi 500.000 orang. Selain itu pula yang terjadi di Poso disebutkan bahwa korban meninggal berjumlah 250 orang dan beberapa korban lainya.

Dalam banyak kasus memang kekerasan perlu dipetakan dalam variasi spasial dan temporal mengingat terdapat dua fenomena, baik secara sporadik maupun terpolarisasi karena cenderung berasal dari kepentingan penguasa. Pemerintah, swasta dan juga militer/TNI dan polri yang memiliki kewenangan wajib menjaga stabilitas keamanan warga negara, penegakan hukum, dan pencegahan kekerasan terutama pemahaman pluralisme dalam bingkai nasionalisme harus menjadi landasan utama

10

Secara familiar orang Papua sering menyebut dengan “badi-badi”.

11

The World Bank. (2004). Local conflict in Indonesia: incidence and patterns. Social development notes, conflict prevention & reconstruction.

(7)

7

semua etnik-etnik yang ada. Mengingat ketiga lembaga ini juga cenderung menimbulkan dinamika (meminjam istilah Max Lane unfinished nation) dan disintegrasi dari keutuhan Bhineka Tunggal Ika di Indonesia akibat kebijakan yang mengandung isu diskriminasi dan marginalisasi.

Di belahan dunia manapun isu etnisitas dan retorikanya selalu penuh dengan pergulatan nasionalisme kesukuan dengan alasan ketidakpuasan atas monopoli suatu kelompok suku lain.12 Sebenarnya negaralah yang bertugas mengamankan ketakutan minoritas terhadap mayoritas dalam konteks etnis yang dibayangi oleh greavance dan greedy. Termasuk kekerasan di Indonesia yang tergolong beberapa tipe kekerasan, seperti ekonomi, politik, sosial dan budaya yang terbagi pula dalam kekerasan struktural dan kultural. Pengelompokan kekerasan oleh Galtung tersebut sangat mempengaruhi konflik etnis di Indonesia. Terkadang kebijakan pemerintah menimbulkan situasi rumit yang tidak bisa diimbangi oleh warga negara sehingga monopoli pasar, ketimpangan ekonomi dan upaya penguasaan sumber-sumber pendapatan bagi masyarakat lokal sangat terbatas. Kumpulan individu yang cenderung memiliki kesadaran akan persamaan dalam memahami nasib dan kekecewaan ini akan cenderung menuai kesadaran individu yang kemudian mengangkat isu lokalisme, putra-putri daerah, dan kesamaan etnis sehingga membentuk nasionalisme kesukuan sebagai bagian dari pengertian etnisitas. Nasionalisme kesukuan ini dalam banyak kasus seperti yang terjadi di Maluku,

12

(8)

8

Sulawesi dan Kalimantan memiliki pengaruh terhadap munculnya kecemburuan sosial, sifat agresif dalam persaingan dan perasaan tidak menerima yang akhirnya dilampiaskan dengan kekerasan baik individu dan kelompok.

Dalam penelitian yang dilakukan sebelumnya di beberapa daerah konflik yang disebutkan sebelumnya seperti Kalimantan, Maluku dan Sulawesi (Poso), terlihat jelas persamaan dan perbedaan konteks dan ideologi yang mempengaruhi. Dapat dengan jelas digambarkan dengan kerusuhan yang terjadi di Manokwari, demikian pula kasus kekerasan antar etnis lainya di Papua. Hal ini dapat terlihat dari beberapa hal. Pertama, kerusuhan antar kelompok di Manokwari terjadi juga di daerah lain seperti, Sorong, Jayapura, dan daerah Papua lainya yang melibatkan suku-suku di Papua dengan pendatang Buton-Bugis-Makassar. Kedua, Suku Biak di Manokwari memiliki pemahaman terhadap permasalahan yang sama dengan suku-suku di daerah Papua lainya yang juga pernah saling rusuh dengan pendatang Makassar. Ketiga, setiap kerusuhan di Papua yang melibatkan salah satu suku pribumi di Papua, misalnya Suku Biak, pasti mendapat simpati dari suku-suku Papua lainya dengan alasan agama Kristen, sama-sama Papua, dan derita konflik yang serupa pernah dialami. Keempat, alasan obyektif yang mempengaruhi kerusuhan terjadi adalah ekonomi dan politik baik secara structural maupun cultural. Kelima, kerusuhan ini disebakan karena dominasi pendatang yang bermula dari transmigrasi dan puncaknya pada saat migrasi besar-besaran para pendatang dari Sulawesi ke Papua. Meski demikian pemicu setiap kerusuhan ini berbeda-beda sehingga dapat dikatakan bahwa

(9)

9

hubungan pendatang BBM dengan suku-suku asli di Papua cenderung variatif tetapi juga semakin tidak membaik.

Di Manokwari dominasi pendatang dari luar Papua memang sangat signifikan sebagai mayoritas dalam jumlah dan berkecenderungan menguasai sektor-sektor publik yang merupakan kebutuhan investasi kesejahteraan masyarakat pribumi (orang Papua Asli). Misalnya dalam wujud deprivation, yaitu ketidaksesuaian antara value expectation dan value capability.13 Memiliki kausalitas dengan kekerasan yang terjadi seringkali karena grievance dan greedy yakni ketimpangan karena kerakusan dan kekecewaan dari kelompok lain yang merasa kehilangan kesejahteraan karena sumber dayanya dimonopoli sehingga menimbulkan konflik yang berujung pada kekerasan sebagai tempat pelampiasan amarah dan kekecewaan itu.

Seperti yang telah diketahui bahwa di akhir tahun 2013 dan awal tahun 2014 telah terjadi dua kerusuhan yang sempat merisaukan warga masyarakat. Kerusuhan ini terjadi antar kelompok suku BBM dan suku Biak. Pada tanggal 28 sampai 31 desember 2013 terjadi di Kelurahan Sanggeng, Kecamatan Manokwari Barat, Kabupaten Manokwari. Maka penelitian ini akan difokuskan pada studi kasus kekerasan tersebut.

1.2. RUMUSAN MASALAH

13 Mas’oed, Mohtar. (Eds). (2000).

Kekerasan Kolektif: Kondisi dan pemicu. Yogyakarta: P3PK, UGM.

(10)

10

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a) Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab kerusuhan antar etnis Biak dan Makassar di Manokwari?

b) Bagaimana mendeskripsikan faktor-faktor tersebut dengan konsep intersected dan consolidated cleavages?

c) Bagaimana menggambarkan kepentingan masing-masing pihak di balik insiden kekerasan di Manokwari?

I.3. KERANGKA KONSEPTUAL A. Etnisitas

Hal ihwal mengenai etnisitas bisa dijelaskan dengan menitikberatkan berbagi konten definisi etnisitas pada beberapa hal, pertama etnisitas (kesukuan), genealogi (pertalian darah), dan teritorialitas (kewilayahan). Tetapi yang menjadi dasar dari segala upaya mencapai tujuan kelompok dalam wacana tersebut dengan segala upaya menggunakan kecanggihan teknologi, jangkauan globalnya, mandat radikalnya hanya terletak pada isu “blut und boden” (darah dan tanah).14 Jadi setiap orang yang menjadi anggota atau bagian dari suatu kelompok etnis tertentu harus ditentukan oleh apa yang disebut oleh Niessen “kebetulan kelahiran: paling kuat adalah darah dan tempat asal-usul kelahiran

14

(11)

11

yang menjadi penentu keanggotaan.15 Pada masyarakat yang mendiami suatu wilayah di mana mereka ada dan hidup, di situlah berlangsung segala aktifitas dalam hal imanijasi dan kreatifitas di dalam menghasilkan demi “menjadi” dan memiliki segala sesuatu. “Menjadi” dan memiliki sesuatu ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, berlangsung di dalam hubungan interaksi, baik yang berlangsung secara destruktif (violent), termasuk perang dan perbudakan di dalamnya maupun interaksi (non-violent) yang kemudian menjadi suatu nilai (values) yang diakui sebagai yang ditaati dan yang dilakukan, di samping nilai (values) yang ditakuti dan menjadi larangan. Tetapi values ini masih berlaku pada suatu kalangan yang saling mengakui di dalam ikatan kekeluargaan (silsilah) keturunan setiap anggota kelompok tersebut. Inilah wujud konstruksi sosial masyarakat yang paling dasar dan awal mula lahirnya entitas yang dinamakan marga, suku, dan etnis. Kelompok yang memiliki alur jelas mengenai silsilah keturunan dan batas-batas kepemilikan wilayah, tidak lain dan tidak bukan adalah kelompok marga, trah, atau fam. Mengapa? Karena marga atau trah ini diyakini baik dalam mitologi maupun secara filsafatis memiliki asal usul yang bukan hanya dipercaya sebagai suatu benda dengan kekuatan magis, tetapi memiliki pengaruh besar dalam perkembangan keberadaan kelompok marga/trah/fam yang diyakini menghidupi bahkan dihidupi dalam kehidupan mereka. Dongeng-dongeng dan cerita rakyat tentang asal usul yang menjadi pusat penciptaan manusia pertama mereka dan yang menghidupi

15

(12)

12

mereka dan melindungi mereka dari segala kehidupan dunia dipercaya berasal dari sebuah kehidupan awal manusia ketika manusia ada. Penyelamatan dan bantuan-bantuan dalam cerita rakyat (mitologi) ini bukan hal yang tidak benar, melainkan suatu mitologi filsafatis yang mempertemukan antara keberadaan manusia dan sang pencipta yang menciptakan mereka dan menghidupi mereka dengan segala energi dan sumber daya yang dimiliki manusia itu ketika manusia itu diciptakan.16

Jadi itu yang menyebabkan etnisitas pada dasarnya cenderung disikapi oleh publik sebagai hal-hal yang lahiriah atau ciri-ciri fisik atau dapat disebut “ethnicity is biological”. Berdasarkan prinsip-prinsip alamiah dan tidak bisa diganggu gugat sama sekali perubahanya, kecuali mengalami suatu perubahan melalui interaksi dan komunikasi yang mendorong manusia itu pada keadaan asimilasi.

Dengan pengertian bahwa, manusia cenderung melihat etnis dari ciri-ciri fisik, dan sifat secara biologis. Sederhananya ini merupakan anggapan umum mengenai gestur tubuh, wajah, kulit dan rambut yang menunjukan keberadaan, asal usul dan kedaerahan. Dalam hal lain GEN bisa jadi sebuah turunan yang lahiriah mempengaruhi sifat dan watak manusia dalam berperilaku ditambah dengan dominasi kehidupan dalam lingkungan keluarga. Meski dalam banyak hal ciri-ciri fisik secara biologis ini menjadi ciri khas tetapi bukan sifat dasar

16

Huntington, P. Samuel. (1996: hal 8-9). Benturan antar peradaban dan masa depan politik dunia. Yogyakarta: Qalam.

(13)

13

manusia dan fleksibel dalam dinamika sisi sosial manusia. Sehingga hal ini seringkali lebih sedikit atau hanya secara simbolisme membuat orang sesama etnis bersatu. Tetapi pada umumnya wadah resmi dari etnis yang memiliki aturan tertulis, hokum (law) dan aturan main secara teknis maupun petunjuk lisan itu didasarkan atas dasar desakan primordial (historis) dan isu bersama. Pertama, secara historis pengalaman pahit bersama (perasaan senasib sepenanggungan), musuh bersama menjadi relevansi dari rasionalitas berfikir sebuah kelompok untuk bersaing. Kedua, cita-cita atau tujuan yang ingin diperjuangkan, misalnya isu politik bersama merupakan isu penting yang dapat dijadikan alasan perjuangan sebuah kelompok. Lebih konkrit misalnya kita melihat AMAN (Anliansi Masyarakat Adat Nusantara) di Indonesia yang mulai menebarkan kesatuan dan persatuan sebagai kelompok yang berjuang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat, kepribumian yang sebelumnya (orde baru) tidak terperhatikan dengan baik. Meski dalam banyak hal gejala timbul, muncul, maupun lahirnya etnis di dunia ini mirip dengan nasionalisme (ideologi kebangsaan). Asal usul bangsa memiliki indikator yang sama hanya perbedaan signifikan terletak pada primordialisme dan isu yang diperjuangkan lebih besar dibanding etnis.17

Dua isu penting yang memang perlu kita lihat adalah perasaan senasib sepenanggungan dan cita-cita atau dalam konteks isu politik dan ekonomi yang

17

Tambunan, M.B. Edwin. (2004: Hal 1-10). Nasionalisme-etnik: Kashmir dan quebec. Semarang: Intra Pustaka Utama.

(14)

14

ingin diperjuangkan. Bobot dua nilai ini terbentuk ketika struktur biologis masyarakat secara langsung ikut mempengaruhi setiap individu un tuk mengintegrasikan identitas diri mereka dengan individu lain yang memiliki kesamaan ciri biologis dalam satu wacana politik atau ekonomi di balik maksud dan tujuan mereka. Maka kemudian bentukan ini tidak lagi mengindikasikan individual yang menyangkut asal usul keturunan, kepemilikan wilayah adat (tanah), dan kelompok marga saja, namun mengarahkan mereka pada satu pemikiran bersama untuk berjuang memperoleh kepentingan mereka baik secara politik maupun ekonomi.

Perjuangan melawan kondisi seperti inilah yang mempengaruhi orang atau suatu kelompok masyarakat ingin berada di dalam suatu komunitas yang membantu mereka mengakses kepentingan mereka. Maka itu munculah etnisitas yang juga cenderung dilihat sebagai sebuah wadah yang terdiri dari kumpulan individu yang memiliki tujuan yang sama. Secara familiar konsep ini sangat kontekstual dengan kondisi masyarakat yang menganggap bahwa etnis berkaitan dengan identitas fisik, ras, dan kultur dalam kelompok masyarakat, dan yang menjadi pengikat tali persatuan etnis adalah perasaan senasib-sepenanggungan dan tujuan bersama. Barangkali pendapat ini sinkron dengan kondisi kemajemukan masyarakat yang ada di Indonesia dalam proses asimilasi dan akulturasi.

Senasib-sepenanggungan tidak hanya terjadi pada kelompok-kelompok pribumi yang mengalami ketimpangan dan dehumanisasi selama sebuah rezim

(15)

15

otoritarianisme negara tersebut masih kuat. Katakanlah orde baru yang sampai hari ini kita akan terus mengingat strukturisasi etnis yang dekat dengan nepotisme birokrasi ala jawasentris. Sehingga etnis lain selain Jawa menjadi semakin jauh dari rasa bernegara (memiliki negara atau nasionalisme).

Pada kondisi tertentu, datang dan keluarnya migrasi dan transmigrasi ala pemerintah sangat berpengaruh terhadap munculnya perasaan senasib -sepenanggungan di tanah rantau. Perasaan bahwa sama-sama berasal dari satu pulau dan sama-sama memiliki tujuan ingin memperbaiki hidup di tanah rantau merupakan perasaan umum yang dimiliki setiap etnis perantau di manapun, terutama Indonesia.

Maka konsep identitas memiliki arti penting dalam berbicara etnisitas di Indonesia, bahkan di Negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa sekalipun seperti yang digambarkan oleh Anderson, 1995; Frantz Fanon; dan juga Bertrand, J, 2012, dan juga van Klinken. Etnisitas dekat dengan identitas dan merupakan satu kesatuan konsep kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia yang memiliki identitas pasti memiliki komunitas. Identitas yang dimiliki oleh setiap orang terdiri dari dua struktur, personal dan komunal. Namun baik personal dan komunal sama-sama didasarkan pada konsep dasar kehidupan manusia sebagai mahkluk yang berakal budi.

Etnisitas ini dalam perkembanganya digunakan sebagai ideology pemersatu untuk memperjuangkan cita-cita bersama. Cita-cita yang sejak awal dibangun untuk ikut merasakan hak sebagai warga negara dan sebelumnya pada suatu rezim pemerintahan

(16)

16

atau sebuah tirani tidak terwujudkan. Maka kemudian cita-cita dan pengalaman pahit bersama inilah yang menjadi pemersatu tekad suatu kelompok.18 Sifat manusia, GEN dan juga ciri-ciri fisik secara lahiriah (biologis) disinyalir sebagai sifat alamiah dan tidak berubah. Lain halnya fleksibilitas dari konstruksi sosial manusia yang dapat menghasilkan nilai tetapi juga bisa memusnahkannya. Ini semua menjadi pegangan setiap manusia di dalam kelompok sosial terkecil yang mendiami suatu wilayah. Akan tetapi pengalaman mereka di dalam suatu institusi politik yang didirikan oleh founding fathers melalui kontrak sosial seperti sumpah pemuda di Indonesia sangat rentan terhadap kesenjangan dan ketimpangan. Penindasan dan kekerasan juga mengikuti dua hal tadi, sehingga sistem yang dibangun di dalamnya memungkinkan setiap keturunan yang memiliki persamaan budaya dan nasib tadi cenderung mengusahakan persatuan dan kesatuan di antara mereka. Kontrak sosial tersebut dibangun atas dasar indikator biologis dan juga situasi dan konteks dalam pengalaman mereka bersama. Ikatan persatuan dan kesatuan yang didirikan ini kemudian dimodivikasi dengan berbagai usulan dan kesepakatan nama, bentuk tetapi juga keanggotaan yang disahkan melalui aturan-aturan pokok dan tata cara pelaksaan di dalam komunitas bentukan mereka. Mereka lantas menyebutnya “organisasi”.

18

Rachman, F. N dan Siscawati, Mia. (2014). Masyarakat hokum adat: Adalah penyandang hak, subjek hokum, dan pemilik wilayah adatnya.Yogyakarta: Insist Press (pp. Hal 29-58). Dalam pembentukan identitas kolektif yang disinyalir sebagai bagian dari perasaan sama-sama merasakan penderitaan dan sama-sama memiliki tujuan bersama ini kemudian digunakan sebagai landasan dan berupa kontrak sosial yang membentuk kesatuan masyarakat di balik keanekaragaman masing-masing ke dalam satu entitas politik yang memperjuangakan nasib warga Negara yang dinamakan “masyarakat adat”. Meski masyarakat adat sendiri mengandung unsure kepribumian yang tidak tahu asalnya dari mana, dan tidak memiliki sangkut paut dengan asal usul keturunan dan kepemilikan wilayah di dalam komunitas etnis yang paling dasar yakni marga, klan atau trah.

(17)

17

Maka organisasi ini digunakan sebagai sebuah perahu yang akan didayung oleh anggota kelompok, dipimpin oleh pemimpin kelompok yang ditunjuk dan juga tidak lupa mereka menjaga integritas dan kesepakatan awal yang dibangun sembari memasang strategi dan taktik dalam persaingan sebagai instrument dalam kehidupan politik sebuah demokrasi nasion-state (negara-bangsa).

“Institutions are as et of rules, compliance procedures, and moral and ethical behavioral norm sembeddedin those rules and compliance procedures designed to constrain the behavior of individuals in the interests of maximizing wealth, social order, and the well-being of a society. Institutions establish the cooperative and competitive incentives in society by virtue of their norms, rules,and procedures”.

Artinya lembaga merupakan kumpulan aturan, prosedur pelengkap, dan moral dan etika berperilaku yang ditimbulkan dari aturan tersebut serta prosedur pelengkap yang disusun berlawanan dengan perilaku individu dalam kepentingan kelompok, kepentingan sosial dan kesejahteraan lembaga masyarakat.19 Lembaga inilah yang menampung semua aspirasi dan kepentingan setiap denominasi kelompok yang menjadi anggota dalam lembaga tersebut. Setiap marga, setiap trah atau klan yang memiliki kemiripan dan mengalami nasib penderitaan yang sama cenderung saling melibatkan diri dan saling mempengaruhi di dalam setiap perjuangan mereka. Secara otomatis mereka menjadikan organisasi bentukan mereka sebagai sarana atau wadah yang membawahi kepentingan mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa terbentuknya organisasi seperti ini cenderung

19

(18)

18

didasari oleh aspek-aspek fundamental yang ada di dalam diri manusia maupun melalui relasi sosial manusia di dalam setiap interaksi, komunikasi sebagai mahkluk sosial. Jadi mereka menggunakan identitas kolektif mereka “yang terbatas” sebelumnya di dalam ikatan-ikatan emosional secara biologis dan berdasarkan aspek kepemilikan wilayah ke dalam ide penggabungan identitas kolektif yang “tidak terbatas” dan tidak juga jauh dari nilai-nilai yang ada pada mereka dan di dalam pengakuan terhadap identitas mereka. Inilah dalil-dalil terbentuknya organisasi “etnis” yang didasarkan pada kolektivisme kebudayaan dan kolektivisme yang dibangun dalam imajinasi masyarakat komunal.

“There are two fundamental aspects to identity. First, it is egoistic since it consciously and deliberately locates the self in the world. Second, It is relational, in as much as it must exist in contrast to others who hold the same identity, as well as to one or more other identities”.20

“Observes one scholar, “People reflexively graspat ethnic or national identifications or what passes for them. An alternative formulation, which falls back on socio biology, argues that “theur geto define and reject the other goes back to our remotest human ancestors, and in deed beyond them to our animal predecessors”.21

Kita secara langsung bisa memahami bahwa ini tentunya yang diperjuangkan adalah identitas, dan yang menjadi isu pokok dalam setiap spekulasi juga adalah identitas, baik secara personal maupun secara komunal

20

Beverly, crawfor dan Ronnie D. lipschutz. (1998). The Myth of “ethnic conflict”: politics,

economics, and “cultural” violence. USA:California at Berkeley.

21 Penjelasan mengenai identitas dan dinamika perkembanganya termasuk penggunaanya bisa dilihat di dalam penjelasan Anderson, Benedict. (1999: Hal 11-15). Komunitas-komunitas imajiner: renungan tentang asal usul dan penyebaran nasionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; Huntington, P. Samuel. (1996: hal 7-12). Benturan antar peradaban dan masa depan politik dunia. Yogyakarta: Qalam.

(19)

19

(kolektif). Maka sebenarnya identitas merupakan ciri khas pokok yang membentuk etnisitas. Identitaslah yang menjadi pemersatu dan penentu perjuangan dalam bentuk yang lebih sederhana. Sedikitnya ada dua aspek fundamental dari identitas. Pertama, adalah egoisme karena manusia secara sadar dan sengaja mampu menempatkan diri di dunia. Kedua, relasional, dalam sebanyak itu harus berbeda dengan orang lain yang memegang identitas yang sama, serta satu atau lebih identitas lain.

Persoalanya adalah identitas yang satu terkadang menjadi cair ke dalam beberapa identitas yang abstrak dan berasal dari imajinasi setiap anggota kelompok yang mengalami penderitaan dalam situasi konteks yang sama dan memiliki imajinasi dan harapan menggapai tujuan yang sama. Inilah alasan mengapa etnisitas menjadi sesuatu yang sangat fleksibel, tidak statis dan dinamis, bisa muncul di mana saja, kapan saja.

Snow, Soule, dan Kriesi, (2004b:11) menjelaskan bahwa:

“kolektivitas-kolektivitas yang dengan orgnanisasi dan kontinuitas tertentu bertindak di luar saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan menggugat atau mempertahankan otoritas, entah yang didasarkan secara institusional atau cultural dan berlaku dalam kelompok, organisasi, masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia di mana mereka merupakan salah satu bagianya”.22

Pada tahap akhirnya kita dibawa pada apa yang menjadi milik kita dan milik mereka, kita adalah kita dan kita bukan mereka, sehingga pendatang (amberi) dari

22

Van Klinken Gerry. (2007: hal 11). Perang kota kecil: kekerasan komunal dan demokratisasi di Indonesia. Jakarta: KITLV.

(20)

20

luar Papua seperti Jawa, Bugis-Buton-Makassar, Toraja, Batak, Ambon, NTT, dan lain-lain dianggap bukan Papua. Dalam perkembanganya lagi setelah otsus dan pemekaran orang Papua sendiri di dalam heterogenitasnya, masing-masing suku saling menerapkan “sense of community” di dalam kelompok sukunya sendiri-sendiri, sehingga orang Biak memang orang Papua tetapi bukan orang Manokwari, atau orang Dani adalah orang Papua tetapi bukan orang Maybrat. Paham-paham ini kemudian berkembang bukan untuk mempersatukan suku-suku ini ke dalam satu suku bangsa Papua tetapi menjadi etnis-etnis yang terpisah dan saling bersaing mengusahakan kepentinganya masing-masing, di dalam suku, marga, klan dan wilayah adat masing-masing yang sekarang telah diinovasi menjadi wilayah administratit (pemerintahan).

B. Konflik dan kekerasan

Konflik sosial adalah hubungan antara dua atau beberapa orang atau kelompok yang memiliki tujuan berbeda, “Social conflict is a relationship between two or more parties who (or whose spokesmen) believe they have incompatible goals”.

Terdapat sejumlah pengertian dasar yang dapat kita gunakan untuk memahami apa “konflik” itu. Konflik terjadi kalau ada dua atau lebih pihak yang memandang dan yakin bahwa mereka memiliki tujuan yang tidak selaras (Kriesberg, 1982).

Konflik adalah sebuah persaingan antar pihak yang menyadari bahwa, pertama, mereka memiliki potensi untuk tak selaras dalam posisi masing-masing di masa depan, dan kedua, masing-masing menginginkan untuk menguasai atau merebut

(21)

21

posisi yang tak selaras dengan keinginan pihak lain (Boulding, 1962). Konflik adalah perbedaan kepentingan atau keyakinan bahwa aspirasi para pihak yang ada saat itu tidak bisa dicapai secara bersamaan (Pruitt & Rubin, 1986). Selain definisi di atas, konflik juga dapat dipahami sebagai memiliki kaitan dengan tiga hal yang sering kita namakan sebagai “segi tiga konflik”. Pertama, situasi yaitu ketakselarasan tujuan, kebutuhan, dan kepentingan berbagai pihak. Sumber-sumber situasi konflik antara lain berupa struktur sosial, nilai sosial, kelangkaan, kompetisi, perubahan. Kedua, sikap, yaitu aspek-aspek kognisi (seperti konstruksi musuh) dan emosi (seperti rasa benci dan bermusuhan) yang dialami pihak-pihak yang terlibat konfik. Sumber konflik, sikap konflik antara lain berupa naluri agresif, ketegangan pribadi, dan frustasi kelompok. Ketiga, perilaku, yaitu kegiatan, perkataan, dan perilaku actual yang terpolarisasi dan merusak dari pihak-pihak yang bertikai.23

Namun dalam membahas kasus penelitian ini kita hanya diarahkan untuk menggunakan pendekatan kekerasan secara konsep untuk memahami seperti apa kondisi yang mempengaruhi munculnya kerusuhan antar etnis, dan pada kondisi obyektifnya benar-benar menerangkan akan adanya kecenderungan munculya hal ini atau tidak. Dalam hal ini Johan Galtung memiliki pandangan terhadap kekerasan dalam segi tiga kekerasan yang ditulisnya bahwa kekerasan meliputi tiga hal: (1) kekerasan langsung, (2) kekerasan struktural, dan (3) kekerasan budaya.

23Kriesberg, Louis. (1973). The sociology of social conflicts. New Jersey: Englewood Cliffs. Lihat juga dalam Riza Noer Arfani. Pengelolaan Konflik

(22)

22

Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan seorang atau suatu kelompok terhadap orang atau kelompok lainnya. Contohnya adalah menempeleng, memukul, menikam, dan menyerang dengan menggunakan senjata baiksenjata lama (parang, tombak, panah) maupunsenjata moderen (senapan, bom, peluru kendali). Kekerasan struktural ialah kekerasan yang bersumber dari interaksi sosial yang terpolakan yang disebut dengan struktur sosial, baik di tingkat lokal, negara, maupun global. Contohnya adalah kemiskinan, kelaparan, pengangguran, diskriminasi (ras, agama, gender), militerisme, dan patriarki. Kekerasan budaya adalah kekerasan yang tertanam dalam aspek-aspek tertentu kebudayaan suatu masyarakat. Kekerasan budaya ini terutama memiliki fungsi legitimasi, bukan fungsi fisik. Kekerasan budaya melegitimasi dan membenarkan kekerasan langsung atau kekerasan struktural. Agama dan ideology moderen sering dijadikan sebagai pembenar terhadap kekerasan – baik langsung maupun struktural. Menurut Galtung, kajian-kajian mengenai kekerasan berhubungan dengan dua masalah, yaitu penggunaan kekerasan dan legitimasi penggunaan kekerasan tersebut.24

Galtung memiliki dua pandangan universal yang sering dipelajari maupun digunakan sebagai alat analisis persoalan dalam kasus-kasus kekerasan kolektif (komunal). Dalam hal ini dikususkan pada kasus kekerasan structural dan cultural. Bilamana yang berkembang adalah kekerasan berbasis kebijakan yang mengarahkan masyarakat pada satu titik yang sama sedangkan masyarakat sendiri memiliki

24

Panggabean, Rizal. (1997). Manajemen konflik untuk polisi. The Asian Foundation, MPRK-UGM, Yogyakarta: Yayasan Paramadina.

(23)

23

perbedaan pandangan, simbol-simbol identitas dan berbagai macam kondisi subyektif yang telah dibangun sejak lama dalam kelompok masing-masing secara regionalistik maka itu akan memperparah situasi. Segregasi social misalnya, dalam banyak kasus seperti Ambon, lebih banyak disebabkan karena transmigrasi dan selebihnya membudayakan kebiasaan migrasi spontan yang masuk secara berkelompok, tinggal berkelompok, hingga berusaha secara berkelompok pula yang hasilnya menimbulkan pengkotak-kotakan masyarakat ini secara langsung oleh mereka sendiri di pasar, kantor, ruang publik bahkan dalam suatu tim olah raga.

C.Consolidated Cleavages dan Intersected

Kedua pola ini pertama, sebagai suatu akibat dari kebijakan negara yang tidak memihak kepada atau tidak merepresentasikan unsur-unsur etnik ke dalam kebijakan tersebut, sehingga menimbulkan kekecewaan yang mendalam terlebih membuat perasaan jengkel muncul. Kedua, kebiasaaan dan pola hidup yang dibawa dalam komunitas masing-masing dan perasaan senasib sepenanggunang di suatu tempat di mana mereka hidup. Sebenarnya secara umum kita bisa mengenal konsep sosiologi ini dengan segregasi social atau pengkotak-kotakan masyarakat mirip dengan Consolidated Cleavages baik karena kebijakan suatu rezim atau karena memang masyarakat menginginkanya terjadi atau setidaknya memiliki kepentingan untuk membentuk kelompok-kelompok social, ataupun asimilasi sebagai yang memiliki kemiripan dengan Intersected. Meski dua konsep sosiologi ini secara khusus memiliki pandangan secara structural dan historis berbeda dengan konsep asimilasi

(24)

24

dan segregasi social. Terlepas dari perbedaan tersebut kecenderungan kesamaan konsep ini bisa dilihat dari perilaku masyarakat secara langsung dalam pengamatan sehari-hari atau terlibat langsung dengan mereka.

Masyarakat diasumsikan bisa mengembangkan konfigurasi pemilahan sosial yang bersifat consolidated atau intersected. Keadaan consolidated cleavages dikatakan muncul apabila terdapat beberapa individu saling bertikai dan dari kesemuanya memiliki identitas kolektif yang jamak. Konfigurasi ini disebut consolidated manakala pemilahan sosial yang terjadi membuat warga masyarakat dari suku A umumnya memeluk agama X dan memperoleh nafkah dari dari mata pencaharian perdagangan, dan warga dari suku B umumnya beribadat menurut agama Y tidak atau susah memiliki pekerjaan dan warga dari suku C umumnya beragama Z dan banyak menduduki jabatan politik maupun administrasi pemerintahan. Konfigurasi itu bersifat intersected manakala pemilahan sosial itu memungkinkan warga masyarakat dari berbagai suku memeluk agama yang berbeda dan aktif mencari nafkah dalam berbagai bidang mata pencaharian, lebihnya memiliki hubungan komunikasi dan interaksi dengan berbagai suku, agama dan profesi kerja itu.

Dalam konfigurasi pertama, pemilahan sosial yang ekslusif membuat hubungan antar suku berubah menjadi antar agama dan antar kelas. Sedangkan dalam konfigurasi kedua pemilahan sosial itu memungkinkan pembauran warga masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan: suku, agama, dan kelas sosial.25

25 Mas’oed, Mohtar (Eds). (2000: 13-26). Kekerasan kolektif “kondisi dan pemicu”

. Yogyakarta: Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan & Kawasan Universitas Gadjah Mada.

(25)

25

Siapapun yang memilih untuk masuk ke dalam kelompok etnis tertentu cenderung memegang kuat aturan dan prinsip-prinsip kelembagaan sehingga doktrinasi kelembagaan menimbulkan persamaan persepsi dalam satu kelembagaan namun prinsip radikal dan pragmatis cenderung berbeda dengan pandangan populis oleh kelompok lain. Jika ini semakin ekstrim maka kecenderungan terjadinya konflik etnis akan terjadi. Namun akan berbeda ketika beberapa kelompok etnis diikuti oleh orang yang sama akan berpotensi positif bagi hubungan antar etnis tersebut, artinya dalam satu kelompok etnis juga diikuti oleh etnis-etnis yang lain. Hal ini biasanya cenderung terjadi karena perkawinan silang antar dua atau lebih etnis (kawin keluar). Seperti penjelasan berikut;

“When members of one ethnic group start engaging in more ethnic activity, attention is drawn to society’s ethnic divisions. Members of other group sare thus reminded of their out sider status vis-à- vis the group that initiated the process. Motivated to ensure that some group accepts them, they feel pressured to make more public display soft heir identity.26

Ketika salah seorang dari kelompok etnis mencoba bergabung pada beberapa kegiatan etnis lain, maka perhatian yang ditunjukan pada kelompok masarakat tersebut cenderung terbagi. Anggota dari kelompok lain yang berpegang teguh pada proses memotivasi kelompok lain untuk menyepakati hal tersebut, mereka ingin menunjukan identitas mereka pada publik. Bisa menjadi ikatan yang terdiri dari etnis-etnis yang berbeda apabila orang yang melakukan hal tersebut memiliki

26

Timur, Kuran. (1995). Ethnic Dissimilation and Its Global Transmission. Los Angeles: Unpublished manuscript.

(26)

26

sifat ketokohan pada etnis yang diikutinya. Satu hal penentu adalah interaksi dan komunikasi intens yang bisa mempersatukan individu dalam identitas subyektif maupun kolektif dan dapat pula membagi individu dalam dua identitas ini menjadi sangat loyal terhadap kelompok etnisnya dan cenderung agresif terhadap kelompok lain dengan anggapan berupa stereotip dan juga prasangka terhadap kelompok tersebut.

1.4. DEFINISI KONSEP

Etnisitas adalah setiap tindakan dari individu yang membentuk kelompok berdasarkan ciri-ciri fisik, perasaan senasib sepenanggungan dengan menganggap kelompok tersebut berbeda dengan kelompok lainya. Kelompok ini dibentuk untuk memenuhi dan menjawab segala kepentingan baik tokoh politik, masyarakat ekonomi, maupun pengakuan terhadap kebudayaan kelompok tertentu yang didasari dengan pelibatan tuntutan akan darah dan tanah.

Menguatnya nasionalisme etnik ini cenderung dimotori oleh aspek-aspek biologis, seperti warna kulit, rambut, dan cirri-ciri fisik tubuh. Atau bahkan menurut tempat kelahiran. Namun secara khusus radikalisme konsep paradigma kelompok etnik ini menjadi semakin universal di kalangan masyarakat itu karena memiliki sebuah visi dan tujuan bersama sekaligus dimotori oleh pengalaman bersama (memoria passionis) atau ingatan penderitaan yang diimajinasikan. Bahkan dalam banyak hal kelompok-kelompok atau kumpulan individu ini pernah mengalami penindasan, ketimpangan, dan ketidakberpihakan bahkan menderita di bawah sebuah rezim kekuasaan yang

(27)

27

sama. Sehingga puncaknya niat memperjuangkan etnik ini didasarkan atas kepentingan balas dendam (ketidakadilan, ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik).

Di sinilah letak munculnya kekerasan sosial yang dimotori oleh setiap tindakan perkelahian, kerusuhan, pertikaian antar masyarakat yang memiliki perbedaan kepentingan hingga memakan korban fisik dan non fisik atau psikis. Meski dalam hal senderhana kecenderungan untuk terjadinya kekerasan kolektif bisa disebabkan karena segregasi social tetapi bisa juga karena asimilasi social termasuk pembauran dalam organisasi. Misalnya dalam pandangan sosiologi disebut sebagai Intersected dan consolidated cleavages yang merupakan konfigurasi pemilahan sosial menurut indicator subyektif dan obyektif yang bisa memobilisasi kelompok etnik ke dalam satu etnik maupun dapat memisahkan kelompok tersebut dan meleburkan menjadi semakin representatif (saling keterkaitan dan mewakili berbagai kelompok) sehingga kecenderungan kerusuhan sangat kecil.

I.5. HIPOTESIS

Kekerasan antar etnis di Manokwari memiliki pola-pola kekerasan yang kompleks. Dilihat dari lawan dan kawan, termasuk isu masalah yang diperdebatkan. Kekerasan antar etnis di Papua dari Sorong hingga Merauke menjadi contoh konkrit bagi kita. Insiden kekerasan antar suku-suku asli di Papua atas dasar masalah pembagian hasil penjualan tanah, konflik kepemilikan wilayah, silsilah keturunan menjadi bagian dari kekerasan horizontal yang sangat memuncak pasca reformasi. Selain itu pula kekerasan antar etnis asli (indigenous) di Papua dengan para pendatang dari luar

(28)

28

Papua, seperti Jawa, BBM, Toraja, Batak merupakan contoh kenflik kedua yang menjadi bagian dari kekerasan horizontal yang disebabkan karena greavance dan greedy. Penduduk-penduduk asli di Papua ini merasa dikuasai, didominasi, diterlantarkan dan dibiarkan begitu saja tanpa ada pengertian setidaknya memberikan sedikit kesempatan bagi mereka agar menikmati milik kepunyaan mereka. Alhasil ini menjadi kekecewaan hampir setiap penduduk asli Papua di berbagai daerah. Dominasi pendatang di Papua terakumulasi melalui transmigrasi dan migrasi spontan, selanjutnya kedua hal ini menimbulkan ketimpangan demografi yang cukup mencolok antara pribumi pendatang. Ketimpangan ini secara langsung telah menggambarkan bagaimana monopoli dimainkan dalam hal ekonomi, politik dan social budaya yang sangat tersegmentasi ke dalam fragmen-fragmen konstruksi social yang dibangun atas dasar kepentingan.

Kekerasan yang terjadi di Manokwari pada tanggal 28 Desember 2013 merupakan kekerasan yang disebabkan karena sentiment primordial terutama isu politik yang berkaitan dengan genosida etnis Papua akibat dari kecenderungan dominasi pendatang terhadap masyarakat Papua secara keseluruhan sehingga menimbulkan ketidakpuasan etnik-etnik yang ada di Papua terhadap suku-suku pendatang terutama Bugis, Buton, Makassar (BBM) atau pendatang yang berasal dari Sulawesi, meski Suku Toraja masih tergolong Suku yang mendapat toleransi karena kesamaan dan fanatisme sesama penganut agama Kristen Protestan.

Terlihat jelas dominasi pendatang seperti Bugis, Buton dan Makassar sangat tersebar meluas di seluruh sendi-sendi kehidupan, misalnya perekonomian, para

(29)

29

pendatang Buton banyak menguasai sector penjualan ikan laut, karena kebanyakan dari mereka adalah nelayan tradisional yang saat ini telah masuk dengan menggunakan sarana penangkapan ikan secara modern. Di bagian pasar, penjualan pangan, bahan sayur-sayuran dan bumbu-bumbu, berbagai macam penjualan sandang, dan perkakas dapur serta penjualan barang elektronik lebih banyak di dominasi oleh kelompok Bugis dan Makassar hingga pada saham-saham yang menangani proyek-proyek pemerintah baik APBD maupun APBN melalui CV/PT yang dimiliki secara pribadi maupun komunal. Di lain pihak pendatang jawa banyak memasuki sektor penjualan tanaman jangka panjang, terutama buah-buahan dan sayur mayur. Sedangkan para migrant yang berasal dari tanah toraja lebih dominan berada di dalam birokrasi dan bekerja sebagai guru atau PNS.

Konflik ini sangat terselubung dengan pengaruh sejarah politik Papua, pelanggaran HAM dan kebijakan pemerintah orde baru tentang transmigrasi yang menyengsarakan. Secara kultur juga hal ini dipengaruhi oleh adanya kecenderungan kedua suku ini memiliki budaya kekerasan yang sama. Makassar memiliki budaya investasi dagangnya dengan sebuatan “telung pocco’e) tiga ujung, yakni ujung lidah, ujung penis, dan ujung badik. Masing-masing memiliki pengertian sangat strategis, mulai dari ujung lidah yang berarti kemampuan mereka dengan menggunakan lidah sebagai alat negosiasi. Ujung penis di mana banyak suku-suku pendatang bugis dan Makassar yang menikah dengan suku-suku biak terutama laki-laki bugis dan Makassar. Ujung badik yang berarti untuk melindungi diri dari ancaman, para pendatang ini dapat menggunakan badik sebagai senjata untuk menjaga diri. Hal ini

(30)

30

sangat ditakuti oleh mayoritas masyarakat Papua karena senjata pusaka milik orang Makassar dan bugis ini cenderung mematikan dengan sekali tusukan.27 Selain itu masih banyak segregasi sosial yang sangat eksklusif, bahkan karena hal inilah stereotip lama antara pendatang pribumi terutama BBM dan suku Biak terus beredar di masyarakat.

Kondisi obyektif ini membuat mayoritas masyarakat Biak di Manokwari sebagai suku yang membuka dan membangun Kabupaten Manokwari sejak 1965 itu merasa terpinggirkan. Dominasi pendatang dan system politik pemerintahan yang patrimonialistik menyebabkan suku Biak hanya berada dominan di Pasar, di Laut dan di atas truk-truk pengangkut bahan bangunan. Suku yang telah berada di Manokwari pada masa perang Koreri di mana mereka mencari “manarmakeri” (tuhan) menjadi petualangan yang membawa mereka meninggalkan kampong halaman mereka dan menetap di hampir seantero wilayah pesisir bagian utara pulau Papua: Serui, Nabire, Wasior, Ransiki, Manokwari, Mansinam, Saukorem, Yenbekaki (Sorong), hingga Raja Ampat. Mereka menajdi suku yang besar dan mempengaruhi perubahan kultur setiap masyarakat yang mereka singgahi. Mereka lebih banyak berdagang dan hidup di laut sebagai bagian dari kebiasaan yang sudah membudaya sebelum mengenal birokrasi dan pemerintahan pada periode 1960an ketika Belanda masuk ke Papua.

Di satu sisi, kebijakan pemerintah daerah tidak lepas dari kesimpangsiuran yang lebih banyak mengurus kepentingan uang pemekaran dan bagi-bagi saham bisnis

27

Aditjondro, G.J dalam Akhmad. (2000). Amber dan komin: studi perubahan ekonomi di Papua. Yogyakarta: Gadjah Mada Press. Yogyakarta.

(31)

31

pembangunan infrastruktur dasar. Protes dan tuntutan masyarakat seringkali ditampik dengan menggunakan aparat kemanan. Aparat keamanan sendiri juga seringkali terlibat dalam pengelolaan konflik dan kekerasan sehingga banyak kejadian atau peristiwa konflik dan kekerasan yang bukan diselesaikan tetapi diperpanjang, bahkan intensitasnya makin tinggi.

I.6. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif mengeksplorasi sikap, perilaku dan pengalaman melalui metode seperti wawancara atau fokus kelompok. Ia mencoba untuk mendapatkan pendapat yang mendalam dari partisipan. Perkembangan penelitian ini sangat dinamis, pertanyaan-pertanyaan terbuka, dengan berbagai metode pengumpulan data, baik data wawancara, data observasi, data dokumentasi, dan data audiovisual. Namun dalam penelitian ini, peneliti tidak menggunakan data audiovisual. Semua data ini dianalisis dan diinterpretasikan berdasarkan tema-tema yang berpola. Kelebihan penelitian ini dapat dilihat dari kedekatan antara peneliti dengan partisipan (informan) sangat terjaga dan selalu meninggalkan hubungan baik yang bertahan dalam waktu yang lama.28

28

Creswell W. John. (2010: Hal 24). Research design. Yogyakarta: Pustaka pelajar; Dawson, Chaterine. (2002). A practice guide to research methods. United Kingdom: How to books.

(32)

32 B. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa metode yang logis dan sesuai dengan kebutuhan data. Agar data valid dan obyektif maka kumpulan data dari teknik penelitian meliputi observasi, wawancara, dokumentasi.

 Observasi

Pengamatan langsung dengan mengamati kondisi tempat penelitian dan lokasi kejadian sangat membantu untuk melihat dan mengenal lokasi serta fenomena-fenomena baru yang cendrung dapat mempengaruhi situasi dalam waktu-waktu tertentu serta perilaku manusia dan berbagai persaingan yang dilakukan dalam berbagai ekspansi kedua etnik.

 Dokumentasi

Dalam dokumentasi secara sederhana dipahami sebagai metode pengumpulan data berupa dokumen, arsip, surat-surat berharga yang digunakan atau memiliki hubungan erat dengan obyek penelitian. Selain itu dokumen berupa gambar, foto maupun video dapat dilakukan sebagai bukti langsung sehingga data yang disajikan bervariasi, menarik dan tentu saja obyektif.

 Wawancara

Mewawancarai atau persisnya dialog dua arah. Sehingga peneliti mampu mengenal informen secara langsung. Dalam hal ini hubungan yang dibangun bersifat jangka panjang sehingga membantu untuk penelitian-penelitian selanjutnya apabila situasi konteks berubah. Dengan demikian maka pertanyaan penelitian akan digunakan pada tahap ini.

(33)

33 C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian tepatnya di Sanggeng yang merupakan tempat kejadian, namun untuk mewawancarai aktor/unit analisis maka lokasi penelitian dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari Kabupaten Manokwari, Papua Barat.

D. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini terdiri dari:

Saksi, Kepala Suku atau tokoh masyarakat, masyarakat dari kedua suku. Unit analisis inilah yang akan memberikan petunjuk bagi analisis permasalahan dalam kerusuhan antara suku Biak dan Bugis-Buton-Makassar di Manokwari.

E. Sistematika penulisan  BAB I

Berisi tentang proposal penelitian dalam ulasan metodologi dan metode yang menjadi basis petunjuk bagi peneliti dalam melakukan penelitian. Beberapa struktur dalam bab i ini adalah latar belakang, rumusan masalah, kerangka teori, definisi konsep,hipotesis, dan metode penelitian. Struktur ini merupakan hal penting mengingat bab i merupakan petunjuk penelitian bagi setiap peneliti untuk mengetahui lebih lagi terhadap apa yang ingin kita tahu.

 BAB II

Dalam bab ii ini akan mengisi sejarah konflik dan kerusuhan antar suku-suku di Papua dengan suku pendatang Bugis-Buton-Makassar (BBM). Sehingga hal ini

(34)

34

memperbanyak rentetan masalah dan semakin menambah duri dalam daging kesatuan masyarakat dan mempengaruhi hubungan mereka.

 BAB III

Bab iii berisi tentang penyajian dan analisis data menganai obyek penelitian yang diteliti. Dalam hal analisis data kekerasan antar etnis di Manokwari tanggal 28 Desember 2013 yang akan menjadi data analisis sesuai dengan pengumpulan dengan teknik yang sudah ditentukan. Kondisi obyektif di kabupaten Manokwari menjadi pembahasan yang menggambarkan lebih banyak faktor penyebab peristiwa ini terjadi.

 BAB IV

Berisi tentang analisis bagaimana mobilisasi masa dalam kerusuhan ini terjadi dan sejauhmana koordinasi maupun konsolidasi yang dibangun sehingga mempengaruhi orang dari suku Biak maupun BBM di Manokwari untuk saling menyerang dalam kerusuhan yang terjadi satu malam itu.

 BAB V

Berisi tentang kesimpulan dari analisis dan tentunya menjadi kesimpulan penelitian, kemungkinan dari kesimpulan ini akan menemukan rekomendasi khusus bagi resolusi jalan damai di Manokwari untuk proses jangka panjang.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya jaminan dari Pemberi Waralaba, maka Pemberi Waralaba berkewajiban untuk menanggung tuntutan- tuntutan tentang penggunaan nama dan merek dagang dari pihak ketiga. Di

Tabel 4 : Manfaat hasil belajar pengawetan makanan pada keterampilan mahasiswa mengatasi kegagalan dalam praktek sebagai kesiapan berkaitan dengan fisik, sikap dan

Secara yuridis perumusan pengertian akta otentik tersebut dinyatakan oleh ketentuan dalam Pasal 165 HIR/RBG, sebagai berikut: ”Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh

menyebutkan bahwa single tap root memiliki kemampuan untuk menyerap air dari kedalaman tanah yang dalam dan mencukupi kebutuhan air lebih dari 65% pada tanaman

Tujuan dari penulisan Tugas Akhir ini yaitu mengetahui besarnya penurunan muka tanah wilayah Semarang menggunakan metode survey GPS dan identifikasi faktor - faktor

Nilai yang dihasilkan pada pengukuran Masjid Nurul Iman adalah jauh di atas syarat nilai tersebut, yaitu 3,217 sampai 5,895 detik dengan rata-rata 4,722 detik, dan tidak ada

Nilai probabilitas (sig) ini lebih kecil dari nilai  (0,000 < 0,05), hal ini berarti bahwa model penelitian adalah fit atau dengan kata lain ada pengaruh yang

KONFLIK BATIN TOKOH UTAMA DALAM KUMPULAN CERPEN MILANA KARYA BERNARD BATUBARA DAN RELEVANSINYA SEBAGAI BAHAN AJAR TEKS CERITA PENDEK PADA SISWA SMA KELAS XI