• Tidak ada hasil yang ditemukan

FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL - Test Repository"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH

LEMBAGA SOSIAL

(Study Kasus Terhadap Percik Salatiga )

SKRIPSI

Disusun untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Syari’ah (S. Sy)

Oleh:

AZZA FAIQ HAMAM

NIM 21108023

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSYIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

(2)

KEMENTERIAN AGAMA RI

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA

Jl. Tentara Pelajar 02 Telp (0298) 323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Saudara Azza Faiq Hamam

Kepada Yth,

Ketua STAIN Salatiga di Salatiga

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Setelah Kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini Kami kirimkan naskah skripsi saudara:

Nama : Azza Faiq Hamam

NIM : 21108023

Jurusan : Syari’ah

Program studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah

Judul : Fasilitasi Perkawinan Beda Agama Oleh Lembaga

Sosial (Study Kasus Terhadap Percik Salatiga )

Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut di atas supaya segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Salatiga, 19 Februari 2013 Pembimbing,

(3)

SKRIPSI

FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH LEMBAGA SOSIAL

(Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga)

DISUSUN OLEH AZZA FAIQ HAMAM

NIM: 21108023

Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Syari’ah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 6 Maret 2013 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna

memperoleh gelar sarjana S1 Syari’ah

Susunan Panitia Penguji

Ketua Penguji : Drs. Miftahudin, M.Ag

Sekretaris Penguji : Muna Erawati, M.Si

Penguji I : Drs. Mubadirun, M.Ag

Penguji II : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag

Penguji III : Ilyya Muhsin, S.H.I, M.Si,

Salatiga, 6 Maret 2013 Ketua STAIN Salatiga

(4)

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Azza Faiq Hamam

NIM : 21108023

Jurusan : Syari’ah

Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

saya sendiri bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan

orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode

etik ilmiah.

Salatiga, Februari 2013

Yang Menyatakan,

Azza Faiq Hamam 21108023

(5)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

M OTTO

"

Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling

banyak manfaatnya bagi orang lain "

( HR. Bukhari ).

Persembahan

(6)

ABSTRAK

Faiq Hamam, Azza. 2013. Fasilitasi Perkawinan Beda Agama Oleh Lembaga Sosial (Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.

Kata kunci: Fasilitasi, Perkawinan, beda agama, dan Percik.

Perdebatan hukum tentang perkawinan beda agama sudah berlangsung sejak lama sehingga menimbulkan pemikiran yang baru tentang keabsahan suatu perkawinan. Melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa keabsahan suatu perkawinan tergantung pada agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 40 dan 41 telah melarang adanya perkawinan beda Agama namun jika perkawinan tersebut tetap dilakukan maka perkawinan itu akan menjadi rusak / batal (fasad) sesuai dengan pasal 75.

Adanya peraturan yang tegas tentang perkawinan beda agama ternyata belum mampu membendung pelaku-pelaku perkawinan beda agama. Persoalan-persoalan tersebut membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang perkawinan dan ternyata ada sebuah lembaga sosial yang bisa memfasilitasi adanya perkawinan beda agama, lembaga tersebut bernama Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Pertanyaan yang ingin dijawab adalah (1) Mengapa Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama ? (2) Bagaimana proses perkawinan beda agama yang difasilitasi oleh Lembaga Percik Salatiga? (3) Bagaimana pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research). Peneltian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif yaitu data yang terkumpul diuraikan secara logis dan sistematis selanjutnya ditarik kesimpulan.

Hasil penelitian ini adalah Fasilitasi yang dilakukan oleh Percik terhadap

pasangan beda agama diasumsikan sebagai pintu darurat yang berusaha

(7)

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Fokus Penelitian... 5

BAB II PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM BERBAGAI PERSEPEKTIF A.Perkawinan 1. Pengertian a. Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974... 17

b. Perkawinan menurut KHI... 18

c. Perkawinan menurut Fikih... 18

2. Rukun dan Syarat Perkawinan a. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan... 19

b. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut KHI... 22

c. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Fikih... 24

3. Tujuan dan Hikmah Perkawinan a. Tujuan Perkawinan... 26

b. Hikmah Pernikahan... 27

B.Nikah Beda Agama Menurut UUP... 28

C.Nikah Beda Agama Menurut KHI... 29

D.Nikah Beda Agama Menurut Fikih... 29

(8)

b. Non-Muslim Memeluk Islam... 34

c. Wanita islam dengan laki-laki bukan islam... 34

E. Nikah Beda Agama Dalam Pandangan HAM... 34

BAB III PROFIL PERCIK DAN PELAKU PERKAWINAN BEDA AGAMA A.Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama... 38

1. Gambaran Umum Lembaga Percik Salatiga... 38

a. Sejarah dan Latarbelakang Berdirinya Lembaga Percik... 38

b. Visi dan Misi... 39

c. Struktur Kepengurusan... 41

d. Profil Kegiatan Lembaga Percik... 43

2. Kegiatan Penelitian... 43

3. Seminar, Diskusi dan Loka Karya (Workshop)... 48

4. Kegiatan Advokasi... 49

5. Pengembangan Unit Penunjang... 50

6. Pengembangan Relasi dan Kerjasama... 51

7. Pengembangan Kampoeng Percik... 51

8. Sejarah Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama... 52

B.Proses Perkawinan Beda Agama Oleh Percik... 54

1. Profil Pelaku Pasangan Perkawinan Beda Agama... 54

a. Pasangan DH (Kristen) – AD (Islam)... 54

b. Pasangan AR (Kristen) – RW (Katolik)... 59

c. Pasangan LM (Kristen) – AL (Islam)... 63

d. Pasangan SW (Kristen) – DJ (Islam)... 69

e. Pasangan Gama (Katolik) – Chinda (Islam)... 71

2. Proses Perkawinan Beda Agama Oleh Percik... 79

(9)

b. Prosedur Perkawinan Yang di Fasilitasi Percik... 81

C.Pandangan Tokoh Agama Terhadap Pekawinan Beda Agama... 87

BAB IV FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PERCIK A.Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama.... 99

1.Perspektif UUP... 99

2.Perspektif KHI... 100

3.Perspektif Agama... 100

4.Persepektif HAM... 102

B.Proses Fasilitasi Perkawinan beda Agama Oleh Percik... 103

C.Pandangan Tokoh Agama Terhadap Perkawinan Beda Agama... 110

1.Setuju... 110

2.Tidak Setuju... 115

3.Netral... 118

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 121

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat-Nya dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad SAW

berikut keluarganya, para sahabat dan seluruh umat pengikutnya, Penulis akhirnya

dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Fasilitasi Perkawinan Beda Agama

Oleh Lembaga Sosial (Studi Kasus Terhadap Percik Salatiga)”. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan Program

Studi Ahwal Al Syahsyiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

Salatiga. Skripsi ini disadari oleh Penulis masih jauh dari harapan dan masih

banyak kekurangannya. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun

dari pembaca. Dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada pihak-pihak yang telah membantu Penulis dalam penulisan skripsi ini,

antara lain :

1. Dr. Imam Sutomo M.Ag Selaku Ketua STAIN Salatiga

2. Drs. Mubasirun, M.Ag selaku Ketua Jurusan Syariah

3. Ilyya Muhsin, S.H.I, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ahwal Al Syahsyiyah

dan sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah menyempatkan waktu

dan kesempatanya demi terselesainya skripsi ini.

4. Dr. Prajarta Dirdjosanjoto, Selaku Direktur Lembaga Percik Salatiga.

5. Seluruh Staff lembaga Percik Salatiga yang telah meluangkan waktunya demi

(11)

6. Kepala dan Pegawai Kantor Catatan Sipil (KCS) Salatiga yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Seluruh anggota Tim penguji skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk

menilai kelayakan dan menguji skripsi dalam rangka menyelesaikan studi

Ahwal Al Syahsyiyah Di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

Salatiga.

8. Seluruh staf Program studi yang telah membantu Penulis dalam

menyelesaikan administrasi-administrasi selama perkuliahan.

9. Bapak Ibuku yang selalu memberi dukungan dan doa yang tiada henti.

10. Semua Dosen-dosen Syari’ah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)

Salatiga.

11. Semua teman-teman angkatan 2008 yang tidak dapat aku sebutkan satu

persatu.

12. Semua teman, sahabat dan kerabat yang tidak dapat aku sebutkan satu persatu

yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para

Pembaca.

Salatiga, Februari 2013

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Pelaku Perkawinan Beda Agama ... ....12

Tabel 1.2 Tokoh Agama ... ....13

Table 1.3 Pengurus Percik ... ....13

Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Beda Agama ... ....91

Tabel 4.2 Latar Belakang Keluarga Subjek Penelitian ... ....95

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Bagan Prosedur Pencatatan Beda Agama diKCS ... ....87

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Surat Tugas Pembimbing

Lampiran 3 Lembar Konsultasi

Lampiran 4 Berkas-berkas Persyaratan Administrasi Perkawinan Beda Agama

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara yang mempunyai masyarakat yang

sangat majemuk, baik dari segi budaya, ras, etnik maupun agama. Sehingga

karena kemajemukannya sering terjadi lalu lintas antar suku, ras, dan agama

yang tidak bisa dihindari. Salah satu fenomena yang tidak dapat dihindari dari

lalu lintas kemajemukan adalah perkawinan beda agama, karena perkawinan

beda agama bukanlah sesuatu hal yang baru dalam masyarakat Indonesia.

Dahulu orang Hindhu menikah dengan orang Islam, orang Budha dengan orang

Kristen. Hal ini merupakan hal yang wajar dan manusiawi karena cinta dan

kasih antar manusia bisa melewati etnis, budaya dan agama (Tim Percik, 2009:

1).

Indonesia memiliki dasar hukum perkawinan yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Menurut

UUP pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan adalah “ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

ketuhanan Yang Maha Esa”. UUP memandang sah apabila perkawinan

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya sesuai dengan pasal 2

(16)

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan dianggap

sah jika sesuai dengan agamanya. Indonesia mengakui 6 agama yang

dipercayai. Agama tersebut adalah agama Islam, Kristen Protestan, Kristen

Katolik, Hindu, Budha dan Konghuchu. Menurut KHI BAB II Pasal 2,

perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mitsaaqon ghalidzan untuk

mentaati perintah Allah dan melakukanya merupakan ibadah.

Perkawinan menurut agama Kristen dan Katholik adalah suatu ikatan

cinta kasih tetap dan taat yang menggambarkan, melahirkan dan mewujudkan

hubungan cinta Kristus dengan Gerejanya. Sebagaimana yang diatur dalam

kitab kejadian 1-26 sampai 30, 2.7 sampai 25 juga Perjanjian Baru episus V: 21

sampai 33 (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:27). Perkawinan menurut agama

hindu adalah hubungan yang sakral dan hanya yang sah bila sudah dilakukan

menurut agama tersebut (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:25). Perkawinan

menurut agama budha adalah ikatan yang fleksibel karena selalu mengadaptasi

adat-adat yang hidup dalam masyarakat (Sastroatmodjo dan Aulawi, 1975:26).

Dari pengertian perkawinan di atas mengandung beberapa prinsip

diantaranya:

1. Agama Kristen dan Khatolik menghendaki agar penganutnya kawin dengan

orang yang seagama. Karena tujuan utama perkawinan adalah untuk

mencapai kebahagiaan sehingga kebahagiaan itu akan sulit tercapai kalau

suami istri tidak seiman (Nurkhalis dan Baso, 2010:34).

2. Agama Islam menganut prinsip perkawinan harus dilakukan dengan orang

(17)

menimbulkan konflik (Pamungkas, 2008:44). Dalam Al Qur’an surat Al

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga…. (Depag, 1976:53).

KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang notabene merupakan hukum positif

bagi umat Islam di Indonesia melarang adanya praktik perkawinan beda

agama. Pasal 40 KHI menyebutkan dilarang melangsungkan perkawinan

antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: (c)

seorang wanita yang tidak beragama Islam. Seorang wanita Islam dilarang

melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam

(pasal 44 KHI). Begitu juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tidak megatur

adanya perkawinan beda agama, namun secara tersirat melarang adanya

praktek perkawinan beda agama yang tertuang dalam pasal 2 ayat 1

“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu”.

Dari prinsip di atas seharusnya seorang yang beragama Islam harus

(18)

beragama Kristen ataupun Katolik dalam kepercayaannya juga tidak

diperbolehkan menikah dengan orang yang berbeda agama.

Adanya peraturan yang melarang perkawinan beda agama ternyata

belum mampu mencegah perkawinan beda agama dalam masyarakat. Aturan

dalam KHI dan UU Perkawinan di Indonesia seharusnya mampu menjadi

pedoman yang bisa ditegakkan. Dalam penelitian ini peneliti menemukan

sebuah lembaga yang yang bisa memfasilitasi perkawinan beda agama.

Lembaga tersebut adalah Percik (Persemaian Cinta Kemanusiaan). Percik,

merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi penelitian sosial,

demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada awal tanggal 1

Februari 1996 oleh sekelompok ilmuwan di Salatiga yang terdiri dari sejumlah

peneliti sosial, pengajar universitas, serta aktivis Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan hukum serta

pengorganisasian masyarakat.

Kesenjangan yang muncul antara peraturan hukum dengan praktek

yang terjadi inilah yang menarik minat peneliti untuk meneliti bagaimana

perkawianan beda agama di Lembaga Percik Salatiga. Sehingga Penulis

memberi judul penelitian skripsi : FASILITASI PERKAWINAN BEDA

(19)

B.Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, dengan demikian fokus penelitian

dalam skripsi ini adalah:

1. Mengapa Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda agama?

2. Bagaimana proses perkawinan beda agama yang di fasilitasi oleh Lembaga

Percik Salatiga?

3. Bagaimana pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama?

C.Tujuan Penelitian

Sesuai dengan fokus penelitian yang menjadi target skripsi ini, maka

tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui alasan Lembaga Percik memfasilitasi perkawinan beda

agama.

2. Mengetahui proses perkawinan beda agama di Lembaga Percik Salatiga.

3. Mengetahui pandangan tokoh agama terhadap perkawinan beda agama.

D.Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

teoritis maupun secara praktis di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang perkawinan

beda agama dan khazanah keislaman pada umumnya dan khususnya jurusan

(20)

2. Secara Praktis

a. Bagi Masyarakat

1) Bagi pelaku nikah agama

Terhadap masyarakat khususnya bagi pelaku nikah beda

agama agar lebih mempertimbangkan akibat yang akan diterima jika

akan melakukan perkawinan beda agama.

2) Bagi tokoh agama

Agar para tokoh agama lebih gencar lagi menyiarkan

agamanya khususnya tentang masalah perkawinan untuk

meminimalisir angka perceraian akibat dari perkawinan beda agama.

b. Bagi Program Studi Al Ahwal Al Syakhsiyyah

Dengan adanya penelitian terhadap lembaga yang memfasilitasi

perkawinan beda agama diharapkan dapat menambah wawasan bagi

Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah sehingga dari Program Studi dapat

menjadikannya sebagai bahan diskusi dan memantau perkembangan

produk hukum mengenai perkawinan beda agama tersebut.

c. Bagi Percik

Hasil dari penelitian tentang perkawinan beda agama ini

diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Percik sebagai

lembaga yang memfasilitasi perkawinan beda agama untuk mengambil

kebijakan-kebijakan yang tepat ketika menghadapi calon mempelai yang

(21)

E.Penegasan Istilah

Sebelum memulai menyusun skripsi ini perlu penulis sampaikan

bahwa judul skripsi adalah FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA

OLEH LEMBAGA SOSIAL (Studi Kasus di Lembaga Percik Salatiga). Untuk

menghindari kesalahfahaman pengertian, maka penulis kemukakan pengertian

serta sekaligus penegasan judul skripsi ini sebagai berikut:

Fasilitasi adalah sarana atau segala sesuatu untuk memudahkan atau

melancarkan pelaksanaan (KBBI, 2010:t.h).

Perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 adalah ikatan lahir

batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan menurut KHI adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, bertujuan

untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (KHI Pasal

2). Perkawinan yang dimaksud peneliti adalah akad antara pria dan wanita

untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang sah menurut agama baik

dicatatkan di KUA atau Kantor Catatan Sipil.

Beda adalah sesuatu yg menjadikan berlainan (tidak sama) (KBBI,

2010:t.h). Agama adalah ajaran, sistem yg mengatur tata keimanan

(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata

(22)

Perkawinan Beda Agama yang dimaksud dalam penelitian tersebut

adalah Perkawinan yang dilakukan oleh pemeluk Agama yang berbeda pada

saat aqad perkawinan.

Lembaga adalah badan (organisasi) yang bermaksud melakukan suatu

penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha (Soeryadarminta,

2006:685).

Sosial adalah segala sesuatu mengenai masyarakat (Soeryadarminta,

2006:1141).

Jadi yang dimaksud Lembaga sosial adalah suatu badan (organisasi)

yang bermaksud melakukan suatu penyelidikan keilmuan, berkaitan dengan

masyarakat.

Dengan demikian Fasilitasi perkawinan beda agama oleh lembaga

sosial adalah suatu usaha yang dilakukan oleh badan (organisasi) berkaitan

dengan perkawinan yang dilakukan antara pria dan wanita dengan ajaran atau

kaidah-kaidah yang berbeda dalam pelaksaan perkawinan sebelum

dilangsungkanya perkawinan hingga sesudah perkawinan dilaksanakan.

F. Telaah Pustaka

Penelitian tentang perkawinan beda agama sudah banyak dilakukan

oleh peneliti sebelumnya. Diantara penelitian-penelitian tersebut adalah

penelitian yang dilakukan oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda

Agama Perspektif Ulil Abshar Abdalla. Penelitian tersebut bertujuan untuk

(23)

agama. Menurut Fuadi, dalam beragama, Ulil Abshar Abdalla tidak lagi

memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktek keislaman yang dianut

oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju”

dan formal, menurutnya yang pokok adalah nilai yang terkandung di

dalamnya. Setiap agama menunjuk pada nilai keadilan, oleh karena itu setiap

agama sama. Karena setiap agama sama maka dihalalkan nikah beda agama

(Fuadi, 2006).

Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran Dalam

Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam Syafi’i

Tentang Perkawinan Campuran) menjelaskan dua hal pokok pemikiran Imam

Syafi’i tentang perkawinan campuran. Pertama, perkawinan antara perempuan

muslim dan laki-laki bukan muslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki

muslim diharamkan mengawini perempuan bukan muslim. Pendapat ini lebih

didasarkan pada pertimbangan menolak mafsadat demi menjaga keutuhan

umat dari akibat buruk yang ditimbulkan oleh perkawinan campuran (Fauzi,

2004).

Adapun penelitian selanjutnya adalah Skripsi Sri Nikmah yang

berjudul Perkawinan Lintas Agama dalam Tinjauan Hukum Islam dan

Perundang-undangan di Indonesia, Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam

Negeri (STAIN) Salatiga, 2011. Penelitian tersebut menjelaskan mengenai

kehidupan masyarakat pelaku perkawinan lintas agama di Kelurahan Bugel

Salatiga. Tujuan penelitian tersebut diantaranya untuk mengetahui praktek

(24)

faktor-faktor perkawinan lintas agama dapat terjadi di Kelurahan Bugel, mengetahui

cara pasangan suami istri pelaku perkawinan lintas agama mempertahankan

perkawinan beda agama.

Dalam penelitian tersebut ada dua pola perkawinan lintas agama di

Kelurahan Bugel, yaitu perkawinan yang dilakukan di KUA dan di KCS.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan lintas agama di Kelurahan

Bugel meliputi, pandangan tertentu tentang agama dan keberagamaan,

perempuan tidak memiliki kemandirian hidup, tradisi perkawinan lintas

agama, kurangnya pengetahuan agama dan kristenisasi pihak luar ( Nikmah,

2011).

Peneliti-peneliti terdahulu tersebut, meskipun memiliki tema yang

sama yaitu tentang perkawinan beda agama, namun memiliki perbedaan

dengan fokus penelitian ini. Perbedaan-perbedaan penelitian ini dengan

peneliti terdahulu diantaranya adalah sebagai berikut : pertama, Skripsi yang

disusun oleh Maftuhul Fuadi yang berjudul Nikah Beda Agama persepektif

Ulil Absar Abdalla. menitik beratkan pada literatur tentang pemikiran tokoh

sedangkan penulis yang dibahas disini adalah study lapangan.

Kedua, Skripsi Auwenda Fauzi yang berjudul Perkawinan Campuran

Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Terhadap Pendapat Imam

Syafi’i Tentang Perkawinan Campuran). Menitik beratkan pada pemikiran

tokoh sedangkan penulis bahas disini adalah study lapangan.

Ketiga Skripsi Sri Nikmah yang berjudul Perkawinan Lintas Agama

(25)

Memiliki kesamaan dengan penelitian, yaitu sama-sama penelitian lapangan.

Sedangkan perbedaanya terdapat pada pelakunya. Jika Skripsi Sri Nikmah

pelaku perkawinan beda Agama hakikatnya tidak menikah beda agama

karena pada saat akad perkawinan pasangan pindah keagama calon

pasangannya setelah prosesi akad pasangan pindah ke Agama semula.

Adapun dalam penelitian ini, pelaku perkawinan beda agama dalam

melangsungkan akad tetap pada agamanya masing-masing.

G.Metodologi Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, karena

penelitian ini bertujuan untuk mengungkap semaksimal mungkin data dari

kasus yang akan diteliti, menggunakan pendekatan normatif dan sosiologis.

Pendekatan normatif digunakan untuk mengetahui status hukum perkawinan

beda agama dan pendekatan sosiologis digunakan untuk mengetahui

bagaimana perkawinan beda agama yang dipraktekkan di Lembaga Percik

Salatiga dan bagaimana pandangan tokoh agama maupun masyarakat

terhadap perkawinan beda agama.

2. Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini kehadiran peneliti merupakan hal yang utama

karena peneliti secara langsung mengumpulkan data di lapangan. Status

peneliti dalam mengumpulkan data diketahui oleh informan secara jelas

(26)

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Lembaga Percik Salatiga yang beralamat

di Jl. Patimura Km. 1 Kampung Percik, Turusan-Salatiga.

4. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer; yaitu hasil temuan data di lapangan melalui

wawancara dengan pengurus Lembaga percik, tokoh Agama, pelaku

nikah beda agama.

1). Pelaku Perkawinan Beda Agama

Tabel 1.1 Pelaku Perkawinan Beda Agama

(27)

2) Tokoh Agama

Tabel 1.2 Tokoh Agama

No Nama Agama Keterangan

1 K.H. Anshori Jawadi Islam Kyai

2 Pdt. Eben Heizer L Kristen Pendeta

3 Pdt. Sari F Kristen Pendeta

4 Prof. Zuhri Islam Pakar hukum Islam

5 K.H. Atiq Afifudin Islam Tokoh NU

6 K. Mustain Islam Ta’mir masjid

3) Pengurus Percik

Tabel 1.3 Pengurus Percik

No Nama Keterangan

1 Agung Waskito A Staff Advoksi

2 Muhammad Akbar Staff Peneliti

b. Sumber data sekunder; yaitu data yang diperoleh dari literatur

buku-buku, perundang-undangan tentang perkawinan dan kepustakaan ilmiah

lain yang menjadi referensi maupun sumber pelengkap penelitian.

5. Prosedur Pengumpulan Data

a. Wawancara

Pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara langsung

dengan pihak-pihak yang berkaitan. Dalam hal ini adalah para pengurus

maupun anggota Lembaga Percik Salatiga, pendeta, tokoh Agama Islam,

(28)

b. Observasi

Metode pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung dan

pencatatan secara sistematis atas pelaksanaan perkawinan beda agama di

Lembaga Percik Salatiga, Kantor Catatan Sipil dan GKJ Sidomukti.

c. Dokumentasi

Adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis,

seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori,

dalil atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah

penelitian (Margono, 2004:23). Adapun dokumen-dokumen yang

diperoleh adalah Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP),

foto copy kutipan Akte Perkawinan dan foto copy berkas N1-N4 dari

kelurahan.

d. Analisis Data

Data yang diperoleh, baik dari studi lapangan maupun studi

pustaka pada dasarnya merupakan data yang dianalisis secara deskriptif

kualitatif, yaitu data yang terkumpul diuraikan secara logis dan sistematis

dan selanjutnya ditarik kesimpulan.

e. Pengecekan keabsahan Data

Data-data yang diperoleh dicek keabsahannya dengan metode

triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan

sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap

(29)

dilakukan karena dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan

yang terlewati oleh penulis.

Pengecekan dilakukan denga cara membandingkan hasil

pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang

dikatakan informan satu dengan informan lain, maupun membandingkan

hasil wawancara dengan dokumen yang berkaitan.

H.Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan secara keseluruhan menjadi lima bab,

terdiri dari bab pertama yang berisi latar belakang masalah, fokus penelitian,

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah, telaah pustaka dan

metode penelitian yang meliputi jenis penelitian, sumber data, prosedur

pengumpulan data, analisis data, dan sistematika Penulisan.

Bab dua berisi pernikahan beda agama dalam berbagai perspektif yaitu

perspektif UUP, KHI dan HAM

Bab tiga adalah profil percik dan pelaku pasangan perkawinan beda

agama. kedua sub bab ini, yang pertama mengenai gambaran umum Lembaga

Percik Salatiga, yang berisi tentang sejarah dan latar belakang Lembaga Percik,

visi misi, kepengurusan, tugas dan kewajiban, program dan kinerja Lembaga

percik. Sub yang ke dua tentang profil pelaku perkawinan `beda agama.

Bab empat adalah Fasilitasi perkawinan beda agama oleh percik yang

(30)

fasilitasi perkawinan beda agama oleh percik, dan pandangan tokoh agama

terhadap fasilitasi perkawinan beda agama.

(31)

BAB II

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM BEBAGAI PERSEPEKTIF

A. Perkawinan

1. Pengertian

a. Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974

Pengertian perkawinan dalam Undang-undang nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan

adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri”.

Ada beberapa hal dari rumusan tersebut di atas yang perlu

diperhatikan yaitu:

1) Ikatan lahir diartikan keterikatan antara kedua belah pihak secara

formal baik dalam hubungan antara satu sama lain maupun mereka

dengan masyarakat luas. Ikatan batin diartikan adanya satu tujuan

untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Untuk itu

dalam sebuah perkawinan tidak bisa dipisahkan antara ikatan lahir

dan ikatan batin, karena memang keduanya merupakan satu

kesatuan yang utuh.

2) Seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa

(32)

menolak adanya perkawinan sesama jenis yang telah dilegalkan

oleh beberapa orang Barat.

3) Sebagai suami istri mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah

bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah

tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama” (Syarifuddin,

2006:40).

b. Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam

Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB II

pasal 2 adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqon

ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakanya

merupakan ibadah.

c. Perkawinan menurut fikih

Perkawinan menurut fikih adalah pernikahan. Secara bahasa

pernikahan ialah al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna

nikah (Zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad

nikah (Tihami, 2009:7). Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena

dalam suatu proses pernikahan terdapat ijab dan kabul. Selain itu nikah

juga bisa diartikan sebagai bersetubuh (Assegaf, 2005:131).

Adapun menurut syara’ nikah adalah akad serah terima antara

laki-laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu

sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang

(33)

zawwaja atau nikah adalah akad yang secara keseluruhan di dalamnya

mengandung kata, inkah atau tazwij (Tihami, 2009:8).

2. Rukun dan Syarat Sah Perkawinan

a. Rukun dan Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Rukun yaitu sesuatu yang harus ada yang menentukan sah dan

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam

rangkaian pekerjaan itu. Syarat yaitu sesuatu yang harus ada yang

menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu

itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu. Sah adalah sesuatu

pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat (Ghazaly,

2003:45).

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 juga mengatur

syarat-syarat sahnya suatu perkawinan yang meliputi syarat formil dan

materiil. Syarat formil adalah syarat-syarat yang menyangkut

formalitas-formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan

pada saat perkawinan dilangsungkan. Syarat materiil adalah syarat

mengenai diri pribadi calon mempelai.

Syarat formil terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun

1975 tantang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang

(34)

1) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada

pegawai pencatat perkawinan (pasal 3 ayat 1).

2) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal 8).

3) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan

kepercayaannya masing-masing (pasal 10 ayat 2).

4) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan (pasal

11).

Syarat materiil yang berlaku umum tertuang dalam UU No.

1/1974, meliputi:

1) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 6 ayat 1).

2) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita

sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat 1).

3) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal

diijinkan oleh pasal 3 (2) dan pasal 4 (pasal 9).

4) Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya,

yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal

90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang

bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan

tidak datang bulan, sampai melahirkan bila putus dalam keadaan

hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan

kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya

putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi

(35)

karena kematian (pasal 11 UU No. 1/1974 dan pasal 39 PP No.

9/1975).

Syarat materiil yang berlaku khusus dalam UU No. 1/1974,

meliputi:

a. Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam

pasal 8,9 dan 10 UU No. 1/1974, yaitu larangan perkawinan antara

dua orang yang:

1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau

pun ke atas;

2) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping;

3) Berhubungan semenda;

4) Berhubungan susuan;

5) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau

kemenakan istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari

seorang;

6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku dilarang kawin;

7) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam

hal tersebut pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 (pasal 9).

8) Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain

(36)

9) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai

usia 21 tahun.

b. Rukun dan syarat sah Perkawinan menurut Kompilasi hukum Islam

Rukun dan syarat perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam

adalah harus ada calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi serta

ijab dan kabul (pasal 14).

Syarat bagi calon mempelai meliputi:

1) Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan wanita

sudah mencapai 16 tahun sesuai ketetapan dalam pasal 7 UU No.

1/1974 (pasal 15 ayat 1).

2) Harus ada persetujuan dari kedua mempelai (pasal 16 ayat 1).

3) Tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam

BAB VI (pasal 18). BAB VI tentang larangan kawin menyebutkan:

Pasal 39, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang

pria dengan seorang wanita disebabkan karena:

a) Pertalian nasab;

b) Pertalian kerabat semenda;

c) Pertalian sesusuan.

Pasal 40, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang

pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:

a) Karena wanita tersebut masih terikat satu perkawinan dengan

(37)

b) Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan

pria lain;

c) Seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Pasal 41, ayat 1 seorang pria dilarang memadu istrinya

dengan seorang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab

atau sesusuan dengan istrinya.

Pasal 42, seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan

dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4

(empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat tali

perkawinan atau masih dalam iddah raj’i ataupun salah seorang di

antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya

dalam masa iddah raj’i.

Pasal 43, ayat 1 dilarang melangsungkan perkawinan antara

seorang pria:

a) Dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali.

b) Dengan seorang wanita bekas istrinya yang dili’an.

Pasal 44, seorang wanita Islam dilarang melangsungkan

perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

4) Waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinannya,

yaitu: 130 hari bila putus karena kematian, 3 kali suci atau minimal

90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan datang

bulan, 90 hari bila putus karena perceraian dan ia dalam keadaan

(38)

hamil, tidak ada waktu tunggu jika belum pernah berhubungan

kelamin, penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya

putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap bagi

suatu perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus

karena kematian (pasal 153).

Syarat wali nikah tertuang dalam pasal 20, yaitu bertindak sebagai

wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam

yakni muslim, akil dan baligh.

Syarat saksi nikah tertuang dalam pasal 25, yaitu yang dapat

ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki

muslim, adil, akil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu

atau tuli. Pasal 26, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung

akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat

akad nikah dilangsungkan.

Syarat akad nikah terdapat dalam pasal 27, ijab dan kabul antara

wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang

waktu.

c. Rukun dan syarat sah Perkawinan menurut fikih

Rukun nikah menurut Slamet Abidin dan Aminudin (1999:68)

adalah sebagai berikut:

a. Calon mempelai laki-laki

(39)

c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan

perkawinan

d. Dua orang saksi

e. Shighat ijab qabul

Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah

segala hal yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan.

Untuk sahnya suatu perkawinan, selain memenuhi rukun juga harus

memenuhi syarat-syarat yang mendahuluinya.

Syarat suatu akad dalam perkawinan, meliputi:

a. Akad harus dimulai dengan ijab yaitu penyerahan dari pihak

perempuan kepada pihak laki-laki kemudian dilanjutkan dengan

qabul yaitu penerimaan dari pihak laki-laki;

b. Materi ijab dan qabul tidak boleh berbeda;

c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa

terputus walaupun sesaat;

d. Ijab dan qabul tidak boleh dengan menggunakan ungkapan yang

bersifat membatasi masa berlangsungnya perkawinan, karena

perkawinan itu ditujukan untuk selama hidup;

e. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus

terang.

Syarat bagi kedua calon mempelai, meliputi:

a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang

(40)

b. Keduanya sama-sama beragama Islam;

c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan;

d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula dengan

pihak yang akan mengawininya;

e. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan

perkawinan.

Syarat bagi wali nikah, meliputi:

a. Dewasa dan berakal sehat;

b. Laki-laki;

c. Muslim;

d. Merdeka;

e. Tidak berada dalam pengampuan;

f. Berpikiran baik;

g. Adil;

h. Tidak sedang melakukan ihram.

Syarat bagi saksi, meliputi:

a. Berjumlah minimal dua orang;

b. Kedua saksi beragama Islam;

c. Kedua saksi adalah orang merdeka;

d. Kedua saksi adalah laki-laki;

e. Kedua saksi bersifat adil;

f. Kedua saksi dapat mendengar dan melihat.

(41)

a. Tujuan Perkawinan

1) Untuk mendapatkan anak dari keturunan yang sah dalam

melanjutkan generasi yang akan datang. Dengan adanya perkawinan

naluri seksual manusia dapat tersalurkan sesuai jalan yang diridhoi

Allah, selain itu dapat menjaga nasab yang oleh Islam sangat

diperhatikan (Sabiq, 1980:19).

2) Untuk mendapatkan keluarga bahagia yang penuh ketenangan hidup

dan rasa kasih sayang (Syarifuddin, 2006:47).

3) Untuk mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima

hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh

harta kekayaan yang halal.

5) Untuk membangun rumah tangga dan membangun masyarakat yang

tentram atas dasar rasa cinta dan kasih sayang.

6) Sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

b. Hikmah Perkawinan

Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan

berpengaruh baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat dan seluruh umat

manusia. Adapun hikmah perkawinan menurut Tihami dan Sohari

Sahrani (2009:19-20) adalah sebagai berikut:

1) Perkawinan adalah jalan alami yang paling baik dan sesuai untuk

(42)

segar, jiwa jadi tenang, mata terpelihara dari yang melihat dan

perasaan tenang menikmati barang yang berharga.

2) Perkawinan merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak

menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup

manusia serta memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan

sekali.

3) Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam

suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula

perasaan-perasaan yang ramah, cinta dan sayang yang merupakan sifat-sifat

baik yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.

4) Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak

menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat

bakat dan pembawaan seseorang dan akan cekatan dalam bekerja.

5) Pembagian tugas dimana yang satu mengurusi rumah tangga

sedangkan yang lain bekerja di luar, sesuai dengan batas-batas

tanggung jawab antara suami-istri dalam menangani tugas-tugasnya.

6) Perkawinan dapat membuahkan diantaranya tali kekeluargaan,

memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga dan

memperkuat hubungan masyarakat.

B.Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Perkawinan

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak

(43)

menganggap bahwa “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu” (pasal 2 ayat1).

C.Perkawinan Beda Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Secara tegas KHI melarang perkawinan beda agama. Aturan ini

tercantum dalam pasal 75 (1) yaitu perkawinan batal karena salah satu dari

suami atau istri murtad. Pengadilan Agama yang notabene sebagai pemutus

suatu perkara dalam perceraian mengambil KHI sebagai dasar dalam

menetapkannya. Menurut KHI pasal 116 huruf h menyatakan bahwa perceraian

dapat putus karena “peralihan agama atau murtad yang menyebabkan

terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga”. Dengan adanya alasan pasal

tersebut secara tegas KHI melarang adanya perkawinan beda agama. Namun di

sisi lain KHI ternyata membuka peluang untuk perkawinan beda agama karena

pada saat peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak menimbulkan

“ketidakrukunan”, maka secara tidak langsung KHI juga tidak melarang

adanya perkawinan beda agama.

Jadi ketika ada peralihan agama dalam rumah tangga namun tidak

menimbulkan “ketidakrukunan” maka secara tidak langsung KHI juga tidak

melarang adanya perkawinan beda agama.

D.Perkawinan Beda Agama Menurut fikih

(44)

Ayat Al-quran disamping menjelaskan tentang pernikahan

golongan mukminin juga menjelaskan tentang pernikahan dengan

golongan ahli kitab dan musrik yang sekaligus menjadi dasar hukum

nikah beda agama diatara mereka. Dasar hukum pernikahan orang islam

dengan ahli kitab dan orang musrik dalam firman Allah SWT

1) surat Al-baqarah ayat 221 :

Ÿ

Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan

wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.

Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga

dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah

(45)

tûïÏ%©!$#

Artinya: Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah

membayar mas kawin mereka dengan maksud

menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi (Depag, 1976: 158).

Menurut Al-jaziri sebagaimana dikutip oleh sukarja dibagi menjadi

tiga golongan yaitu:

a. Golongan yang tidak berkitab samawi atau tidak berkitab semacam

kitab samawi.

Contoh: orang yang menyembah berhala dan orang murtad yang

disamakan dengan mereka.

b. Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi.

Contoh: orang-orang majizi yang menyembah api.

c. Golongan yang beriman kepada kitab suci. Mereka adalah orang

Yahudi yang percaya kepada kitab taurat dan orang-orang nasrani

(46)

Sementara itu Yusuf al-Qardawi membagi golongan non-Muslim

menjadi golongan musrik, murtad, bahai, dan ahli kitab. Musrik adalah

penyembah berhala, mulhid adalah golongan ateis, murtad adalah

golongan yang keluar dari agama islam, bahai termasuk Murtad. Ahli kitab

adalah kaum Yahudi dan Nasrani.

Titik tolak penggolongan Jaziri dari segi kitab, sedang Yusuf

al-Qardawi dari segi nama untuk tiap golongan. Dalam rinciannya sama,

hanya Yusuf Qardawi menambahkan golongan Ateis dan Bahai.

Dua golongan pertama disebut oleh al-Jaziri adalah Musrik.

Golongan Mulhid, Murtad dan bahai, dalam hukum nikah oleh Yusuf

Qardhawi dari segi nama untuk tiap golongan. Dalam rincianya sama,

hanya Yusuf Qardhawi menambahkan golongan ateis dan bahai.

Ahlul kitab adalah penganut taurat dan injil. Kaum yahudi dan samiri

adalah penganut Taurat. Penganut injil adalah Nasrani yang seakar dalam

agama mereka, seperti orang prancis, jerman dan lain-lain. Masalah yang

pelik adalah golongan Ahlul Kitab. Apakah mereka tidak musrik atau juga

termasuk golongan musrik (LSIK, 1994:2-3).

Paramufassir memandang bahwa perkawinan seorang mukmin

dipandang halal jika mereka masih berpegang pada kitab-kitab yang masih

murni namun jika kitab atau keyakinannya sudah menyimpang maka

(47)

“Orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik

(mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)

sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata”,

Dan al-hajj ayat 17 yang berbunyi:

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,

orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi

dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara

mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala

sesuat”.

Hukum pria islam yang menikah dengan wanita bukan islam

dibedakan menjadi 2 yaitu :

1. Dengan wanita musrik dan wanita murtad hukumnya haram sesuai

dengan surat albaqarah 221.

2. Dengan wanita ahli kitab ada tiga hukum yaitu halal, haram, dan yang

menghalalkan tapi siasat tidak menghendakinya.

a. Golongan yang menghalalkan berpendirian bahwa menikahi

perempuan ahli kitab (yahudi dan nasrani) halal hukumnya

asalkan perempuan ahli kitab itu merupakan agama keturunan

dari nenek moyang mereka yang menganut agama tersebut

sebelum masa nabi muhammad dibangkitkan menjadi rosul.

b. Golongan yang mengharamkan yaitu ibnu umar sesuai dengan

(48)

c. Golongan yang menggap halal tetapi siasat tidak menghendakinya

yang menimbulkan hukum mubah dalam perkawinan itu karena

dalam perkawinan itu ada bahaya kalau-kalau sisuami ikut agama

istrinya (LSIK, 1994: 6-13).

b) Non-Muslim Memeluk Islam

Perkawinan non-Muslim baik Ahlul Kitab maupun Musrik, dapat

dibagi atas dua keadaan. Pertama, perkawinan itu terjadi diantara

mereka setelah mereka hijrah dan dilakukan di Da’arul Islam. Kedua,

perkawinan itu terjadi di negeri mereka sendiri, yaitu di Daarul Harbi.

Daarul Islam adalah negeri yang diperintah secara penuh oleh kaum

muslimin. Darul Harbi adalah negeri dimana kaum muslimin tidak

mempunyai tidak mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya.

Perkawinan yang terjadi diantara mereka dalam dua keadaan

tersebut mungkin sesuai dengan syarat dan rukun akad pernikahan

Islam, mungkin berbeda. Bila persyaratan perkawinan mereka sesuai

dengan perkawinan islam, maka perkawinan mereka itu sah dalam

pandangan islam. Bila berbeda dengan persyaratan perkawinan islam

maka perkawinannya dianggap tidak sah (LSIK, 1994:4).

c) Wanita islam dengan laki-laki bukan islam

Seluruh ulama’ telah sepakat bahwa wanita islam haram menikah

dengan pria non muslim. Hal itu sesuai dengan al-baqoroh 221 (LSIK,

1994:5).

(49)

E.Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholis (1995:245-246) Indonesia

memiliki peraturan mengenai hak asasi manusia, melalui TAP MPR No. XVII

tahun 1998 tentang hak asasi manusia yang terdiri dari 10 bab dan 44 pasal.

Ketetapan MPR tersebut menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak

dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi

sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak-hak tersebut meliputi hak untuk

hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak berkomunikasi, hak

keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak

kesejahteraan.

Indonesia juga memiliki undang-undang lain mengenai hak asasi

manusia, yaitu undang-undang nomor 39 tahun 1999 yang terdiri dari 11 bab

dan 106 pasal. Peraturan mengenai hak asasi manusia dalam undang-undang

tersebut didasarkan pada DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia)

atau Universal Declaration of human rights yang dicetuskan oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948. Undang-Undang ini secara rinci

mengatur tentang hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan

keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas

kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta

dalam pemerintah, hak wanita dan hak anak. Selain tentang hak asasi manusia,

diatur pula mengenai kewajiban dasar manusia, kewajiban dan tanggungjawab

pemerintah dalam penegakan hak asasi manusi, serta fungsi dan tugas Komnas

(50)

peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia. Oleh karena itu,

pelanggaran hak asasi manusia secara langsung atau tidak langsung, dikenakan

sanksi pidana, perdata, dan atau administrasi sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Menurut Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (2005:257) sejak UU

Perkawinan disahkan pada 1974, sejumlah persoalan muncul, di antaranya

berkaitan dengan masalah nikah beda agama, yaitu:

Pertama, dalam pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa sahnya perkawinan

tergantung apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu. Ketentuan ini hanya dapat dilaksanakan manakala kedua

mempelai memiliki agama yang sama. Kalau keduanya memiliki agama yang

berbeda, maka salah satu harus mengikuti agama yang lain. Kemudian kembali

ke agamanya semula setelah perkawinan terlaksana.

Kedua, dalam pasal 2 ayat 2 dinyatakan tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peran pemerintah

sebatas melakukan pencatatan nikah. Pemerintah hanya mengatur aspek

administrasi perkawinan. Namun kedua ayat tersebut dalam prakteknya berlaku

secara kumulatif. Kedua-duanya harus diterapkan bagi persyaratan sahnya

suatu perkawinan.

Berkaitan dengan perkawinan beda agama, dalam KHI ada dua pasal

yang melarang. Pertama, pasal 40 yang menyatakan seorang pria dilarang

melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang tidak beragama islam.

(51)

perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama islam. Perbedaan agama

dalam KHI dipandang sebagai penghalang bagi pasangan yang hendak

melangsungkan perkawinan.

Menurut perspektif hak asasi manusia, Undang-Undang Perkawinan

tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2), serta KHI pasal 40 dan 44 bertentangan

dengan isi DUHAM pasal 16 ayat 1 yang menyebutkan, “Iaki-laki dan

perempuan dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau

agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka

mempunyai hak yang sama dalam perkawinan, di dalam masa perkawinan,

dan di kala perceraian.” Ayat 2, “Perkawinan hanya dapat dilaksanakan

berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.”

Sementara ayat 3 menyebut, “Keluarga adalah kesatuan sewajarnya serta

bersifat pokok dari masyarakat dan berhak mendapat perlindungan dari

masyarakat dan negara.” Selain itu, Juga bertentangan dengan Pasal 10 ayat (1)

UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yang berbunyi “Setiap orang

berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui

perkawinan yang sah.” Dan pada Pasal 10 ayat (2) yang berbunyi, “Perkawinan

yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon

(52)

BAB III

FASILITASI PERKAWINAN BEDA AGAMA OLEH PERCIK

D.Alasan Percik Memfasilitasi Perkawinan Beda Agama 1. Gambaran Umum Lembaga Percik Salatiga

a. Sejarah dan Latar Belakang Berdirinya Lembaga Percik Salatiga Percik merupakan lembaga independen yang diperuntukan bagi

penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial. Lembaga ini didirikan pada

awal tahun 1996 (1 Februari 1996) oleh sekelompok Ilmuwan di Salatiga

yang terdiri dari sejumlah peneliti sosial, pengajar Universitas, serta aktivis

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang bantuan

hukum serta pengorganisasian masyarakat.

Para pendiri ini merupakan sebagian dari staf akademik sebuah

Universitas di Salatiga yang terpaksa keluar dari Universitas tersebut karena

menolak beberapa kebijakan dari pengurus yayasan dan pimipinan

Universitas yang dinilai tidak demokratis, bertentangan dengan nilai-nilai

kemanusiaan dan tidak menjunjung tinggi kebebasan akademis serta

otonomi kampus. Berdirinya Lembaga Percik merupakan wadah baru untuk

mewujudkan idealisme mereka mengenai masyarakat yang demokratis dan

berkeadilan sosial.

Kelahiran Percik juga tidak dapat dilepaskan dari tuntutan yang

semakin luas dalam masyarakat Indonesia tentang perlunya proses

(53)

bermasyarakat dan bernegara. Tuntutan tersebut muncul sebagai bagian dari

keprihatinan yang meluas di masyarakat terhadap sistem politik yang

semakin sentralistik, hegemonik, opresif dan tidak toleran. Sistem politik

yang tidak sehat tersebut berakibat pada rendahnya kesadaran dan

partisipasi politik rakyat, tiadanya ruang publik yang memungkinkan

terjadinya pertukaran wacana publik secara bebas, tidak berkembangnya

lembaga-lembaga demokrasi, lemahnya penegakan hukum dan Hak Asasi

Manusia (HAM), serta birokrasi pemerintahan yang korup. Di lain pihak

perkembangan masyarakat menunjukan kecederungan ke arah masyarakat

plural yang tersekat-sekat yang di dalamnya mengandung potensi konflik

horisontal yang besar.

Kondisi politik yang tidak sehat tersebut melanda kehidupan politik

baik pada aras nasional maupun pada aras lokal. Keterlibatan panjang staf

Percik dalam berbagai penelitian dan studi pada aras lokal yang dimiliki

secara individual oleh staf Percik dan dilandasi pula oleh keyakinan bahwa

bagi masa depan Indonesia arena politik pada aras lokal ini justru semakin

penting dan menentukan, maka lahirnya Percik merupakan perwujudan dari

keinginan untuk ikut menggulirkan proses demokratisasi politik pada aras

(pada titik / level) lokal (http://www.percik.or.id/).

b. Visi dan Misi

Percik sebagai Lembaga independen yang didirikan untuk penelitian sosial, demokrasi dan keadilan sosial memiliki visi jangka panjangnya

(54)

1) Mendukung penciptaan masyarakat sipil, melalui pemberdayaan

lembaga-lembaga demokrasi dan pengembangan nilai-nilai demokrasi.

2) Mendorong masyarakat pada penyadaran akan dasar-dasar kehidupan

masyarakat plural dan toleransi dalam seluruh kehidupan sosial.

3) Memberikan perhatian pada dasar-dasar masyarakat sipil, HAM

khususnya bagi orang-orang yang telah dilemahkan dan dipinggirkan

dari pelayanan pemerintah dan sistem hukum.

Visi tersebut dalam kurun waktu yang lebih pendek khususnya

mengacu kepada tuntutan perkembangan yang ada dalam masyarakat saat

ini, mendorong Percik untuk mengutamakan segi-segi berikut:

1) Peningkatan kinerja pemerintah lokal menuju kearah pemerintahan

lokal yang sehat dan baik.

2) Meningkatkan kesadaran politik masyarakat kearah perwujudan

prinsip-prinsip bernegara dan bermasyarakat yang demokratis,

menjunjung tinggi penegakan hukum dan menghormati Hak Asasi

Manusia (HAM).

3) Memperkuat Civil Society yang berbasis pada nilai-nilai pluralisme dan

toleransi.

Untuk mewujudkan ketiga segi dari visi tersebut, misi Percik

berpusat kepada tiga pilar kegiatan berikut:

1) Menyelenggaraan kegiatan-kegiatan studi dan penelitian yang memenuhi

standar keilmuan yang tinggi, independen, serta memenuhi nilai-nilai

(55)

2) Melakukan kegiatan refleksi sebagai upaya untuk meningkatkan

pemahaman yang lebih mendalam terhadap berbagai gejala yang diteliti

serta menghubungkannya dengan berbagai nilai luhur yang diyakini dan

menjadi komitmen Percik.

3) Melakukan program aksi yang ditujukan kepada terciptanya masyarakat

demokratis dan berkeadilan (http://www.percik.or.id/).

c. Struktur Kepengurusan

Dalam menjalankan program kegiatannya, Lembaga Percik

Salatiga menentukan susunan pengurus sebagai berikut

(http://www.percik.or.id/):

Pengurus Yayasan : Nico. L. Kana (Ketua)

Sukotjo (Sekretaris)

Heru Wijatsih Kuwat Trijanto (Bendahara)

Direktur : Pradjarta Dirdjosanjoto

Wakil Direktur : I Made Samiana

Penelitian : Nico. L. Kana (Tenaga Ahli)

Setyo Handoyo

Ninik Handayani

C. Dwi Wuryaningsih

Mohammad Akbar

Singgih Nugroho

Haryani Saptaningtyas

(56)

Kutut Suwondo (paroh waktu )

Fera Nugroho (paroh waktu )

Advokasi : Budi Lazarusli

RH Dwiprasetyo

Nick Tunggul Wiratmoko

Hery Wibowo T

Agung Waskitoadi

Damar Waskitojati

Christina Arief THM

Unit Penunjang Program : Widya P Setyanto (Publikasi)

Bernadetta Rorita Dewi (Perpustakaan)

Unit Penunjang Administrasi, Keuangan dan Kerumahtanggaan:

Agung Ari Mursito (Administrasi)

Ambar Istiyani

Halomoan Pulungan (Keuangan)

Dewi Retnowati

Erwin Setiyaning Yuli Astuti

Dayusman Junus (Kerumahtanggaan)

Wagiman

Dendy Gunawan

Sukiman

Suyatno

(57)

d. Profil Kegiatan Lembaga Percik

Dalam perjalanan waktu kegiatan Percik telah berkembang dengan

pesat pada empat areas of concern, yaitu (1) bidang politik lokal, (2)

pluralisme masyarakat dan budaya, (3) civil society dan demokrasi, serta

(4) hukum dan HAM. Keempat bidang perhatian ini saling kait mengait

satu sama lain.

Di empat bidang perhatian tersebut Percik telah mengembangkan

kegiatan-kegiatan sebagai berikut (http://www.percik.or.id/):

1) Kegiatan Penelitian

Percik menempatkan kegiatan penelitian sebagai salah satu pilar

utama disamping kegiatan advokasi dan refleksi. Kegiatan penelitian

dilaksanakan berdasar minat dari dalam lingkungan Percik sendiri,

kerjasama dengan lembaga lain, ataupun atas ‘pesanan’dari pihak luar.

Khususnya terhadap penelitian pesanan, Percik berusaha secara kritis

mempertimbangkan kandungan kepentingan dan kemanfaatan dari

penelitan yang dipesan.

Untuk mengembangkan kegiatan di bidang penelitian Percik

mengembangkan dua pusat penelitian, yaitu:

a) Pusat Penelitian Politik Lokal (P2PL)

Pusat Penelitian Politik Lokal (P2PL), semula bernama Pusat

Penelitian dan Pengembangan Politik Lokal (P3PL), berdiri pada

pertengahan tahun 1999. Pendirian pusat penelitian ini merupakan

(58)

politik lokal sesudah Orde Baru, memberikan dukungan kepada

kebijakan yang mempertimbangkan situasi dan kondisi politik lokal,

mengembangkan fungsi pusat informasi tentang politk lokal dan

mendorong upaya pemberdayaan masyarakat dalam bidang sosial

politk oleh masyarakat yang bersangkutan dengan memperhitungkan

temuan penelitian.

Berkat antara lain dukungan dana dari The Ford Foundation,

selama kurun waktu 1999-2005 P2PL telah melakukan sejumlah

program yang berorientasi pada gagasan tersebut di atas yang

mencakup kegiatan-kegiatan penelitian, pengembangan kelembagaan,

dan upaya pengembangan pemberdayaan masyarakat. Kegiatan

penelitian P2PL memfokuskan pada aspek-aspek dari gejala

perubahan politik di aras lokal, baik di pedesaan, kecamatan maupun

kabupaten/kota. Ada enam gejala perubahan yang ditelaah, yaitu (1)

adanya perubahan atau pergeseran pusat-pusat kekuasaan, (2) adanya

perubahan basis relasi politik, (3) meluasnya gejala faksionalisme, (4)

adanya perubahan pola kepemimpinan, (5) perubahan fungsi ideologi,

dan (6) adanya perkembangan lembaga lokal.

Keenam gejala perubahan itu didekati lewat telaah terhadap

isu-isu yang muncul di lokasi-lokasi penelitian P2PL (yaitu di wilayah

pedesaan di Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah,

Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, Kabupaten Minahasa

Gambar

Tabel 1.1 Pelaku Perkawinan Beda Agama
Tabel 1.3 Pengurus Percik
Tabel 4.1 Proses Perkawinan Rumah Tangga Beda Agama
Tabel 3.1. Pandangan Tokoh Agama terhadap Perkawinan Beda

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis data menunjukkan bahwa variabel pengetahuan tentang lembaga keuangan syariah, lingkungan sosial dan promotional mix secara parsial dan simultan