• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

2.1.1 Definisi Penuaan

Penuaan adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap infeksi, dan semakin banyak distorsi metabolik dan struktural, yang disebut sebagai penyakit degeneratif (seperti hipertensi, aterosklerosis, diabetes melitus, dan kanker).

2.1.2 Penyebab Penuaan

Banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, yang kemudian menyebabkan sakit dan akhirnya membawa kepada kematian. Pada dasarnya beberapa faktor itu dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal antara lain radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011).

2.2 Penyakit degeneratif

Penyakit degeneratif adalah istilah medis untuk menjelaskan suatu penyakit yang muncul akibat proses kemunduran fungsi sel tubuh, yaitu dari

(2)

keadaan normal menjadi lebih buruk. Dari berbagai hasil penelitian modern diketahui bahwa munculnya penyakit degeneratif memiliki hubungan yang cukup kuat dengan bertambahnya proses penuaan usia seseorang. Penyakit degeneratif dapat dikatakan pula sebagai penyakit yang mengiringi proses penuaan (Karyani, 2003).

Penyakit degeneratif dapat terjadi karena adanya proses penuaan, tidak termasuk penyakit menular dan berlangsung kronis seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes melitus, obesitas dan lainnya (Powers, 2008).

2.2.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok gangguan metabolik yang berhubungan dengan karakteristik hiperglikemia. Berdasarkan etiologi dari diabetes melitus, faktor yang menyebabkan keadaan hiperglikemia mungkin diantaranya penurunan sekresi insulin, penghambatan glikolisis dan peningkatan dari produksi glukosa di dalam tubuh (Powers, 2008).

Definisi diabetes mellitus menurut World Health Organization (WHO) adalah kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL dan kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL, dimana kadar glukosa darah antara 100 dan 125 mg/dL (6,1 sampai 7,0 mmol/L) dapat dikatakan suatu keadaan pre diabetes.

Karakteristik hiperglikemia ini disebabkan adanya kelainan metabolisme karbohidrat, dimana glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik dan menumpuk di dalam pembuluh darah karena pankreas tidak cukup memproduksi insulin untuk metabolisme glukosa darah dan terjadi resistensi insulin sehingga tubuh tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang diproduksi tersebut,

(3)

sehingga menyebabkan keadaan hiperglikemia (Wijaya et al., 2011).

Penurunan kadar glukosa sewaktu juga dapat disebabkan karena penghambatan aktivitas dari enzim glucosidase yang bekerja di dalam gastrointestinal, yang berfungsi untuk mengubah glukosa polisakarida menjadi glukosa disakarida dan monosakarida, sehingga penyerapan glukosa terhambat (Kahn, 2002).

2.2.2 Faktor Risiko Diabetes Melitus

Ada beberapa faktor resiko yang dapat memperbesar kemungkinan seseorang menderita penyakit diabetes, antara lain (Buse et al., 2003) :

1. Riwayat keluarga dengan diabetes (orang tua atau saudara) 2. Kelebihan berat badan (BMI>25kg/m2)

3. Kebiasaan aktivitas fisik yang kurang

4. Ras/etnik tertentu (contohnya African Americans) 5. Hipertensi (140/90mmHg pada orang dewasa) 6. Hiperkolesterol

7. Riwayat diabetes gestasional 8. Sindroma polycyctic ovary

2.2.3 Klasifikasi Diabetes melitus

Diabetes Melitus Tipe 1 adalah kelainan metabolisme karbohidrat yang disebabkan karena kerusakan sel beta pankreas, sehingga tidak cukup memproduksi insulin untuk metabolism glukosa darah, yang dapat terjadi melalui proses imunologik dan idiopatik.

(4)

di jaringan perifer, sebagian jaringan otot, lemak dan hati serta defisiensi sekresi insulin dan peningkatan produksi glukosa darah oleh hati.

Diabetes tipe spesifik terjadi karena kelainan genetik spesifik, penyakit pankreas, gangguan endokrin lain, karena afek obat-obatan, bahan kimia, infeksi virus dan sebagainya.

Diabetes kehamilan adalah kondisi diabetes yang muncul pada saat kehamilan dan setelah melahirkan gejala tersebut akan menghilang (Power, 2008).

2.2.4 Penyebab Diabetes Melitus Tipe 2

Patogenesis untuk diabetes tipe 2 sangatlah kompleks dan berhubungan juga dengan faktor genetik dan faktor lingkungan (Buse dan Polonsky, 2003)

Pada orang normal, insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas meregulasi transport glukosa darah untuk digunakan, dengan berikatan dengan reseptor- reseptornya yang ada di jaringan perifer, sebagian jaringan lemak dan jaringan otot.

Pada penderita diabetes tipe 2, terjadi resistensi dari aktivitas insulin, sehingga tidak dapat berikatan dengan reseptor-reseptornya di jaringan perifer, jaringan lemak maupun pada jaringan otot, sehingga tidak dapat digunakan (Chew dan Leslie, 2006).

Pada awalnya, kondisi resistensi insulin ini dikompensasi oleh peningkatan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Namun dengan bertambahnya usia, respon dari sel beta akan semakin menurun dan tidak mampu lagi mempertahankan kemampuannya dalam mensekresi insulin. Pada fase berikutnya dimana produksi insulin semakin menurun, menyebabkan produksi glukosa hati

(5)

yang berlebihan dan mengakibatkan meningkatnya glukosa dalam darah dan keadaan ini yang disebut hiperglikemia (Vail, 2004).

2.2.5 Gejala Klinis Diabetes Melitus

Gejala klinis diabetes terbagi atas (Babar dan Skugor, 2009) : 1. Gejala khas penderita diabetes antara lain:

a. Polidipsia : disebabkan karena diuresis osmotik, akibat peningkatan kadar glukosa darah yang melebihi ambang renal.

b. Poliuria : disebabkan karena hilangnya cairan dan elektrolit dalam tubuh.

c. Berat badan menurun tanpa penyebab yang jelas : apabila terjadi defisiensi insulin, yang menyebabkan berkurangnya cairan dalam tubuh dan cepatnya pemecahan lemak dan otot.

2. Gejala tidak khas penderita diabetes antara lain : a. Lemas

b. Kesemutan

c. Luka yang sulit sembuh d. Gatal

e. Mata kabur

f. Disfungsi ereksi pada pria dan pruritus vulva pada wanita

Apabila ditemukan gejala khas diabetes, pemeriksaan darah abnormal satu kali saja sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas diabetes, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah darah abnormal (Purnamasari, 2005).

(6)

2.2.6 Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis untuk penderita diabetes dapat ditegakkan berdasarkan beberapa kriteria dan pemeriksaan. Kriteria diagnosis yang ditetapkan menurut Perkumpulan Endokrinologi (PERKENI, 2011):

1. Gejala klasik diabetes + gula darah puasa ≥ 126 mg/dL pada 2 kali pemeriksaan. Puasa diartikan pasien tidak mendapatkan adanya asupan kalori tambahan sedikitnya 8 jam. Nilai dari glukosa darah puas ini secara konsisten berhubungan dengan salah satu resiko komplikasi penyakit diabetes yaitu retinopathy. Penilaian dari glukosa darah puasa ini dapat melewatkan pasien – pasien diabetes yang didiagnosis berdasarkan hasil test toleransi glukosa darah oral.

2. Gejala klasik diabetes + glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL, yang disertai dengan gejala klinis diabetes. Penilaian glukosa darah sewaktu ini adalah cara yang sering dilakukan untuk mendiagnosa penderita diabetes. Glukosa darah sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

3. Hasil glukosa darah pada test toleransi glukosa darah oral (TTGO), yang dinilai setelah 2 jam pemberian 75 gram glukosa darah oral ≥ 200 mg/dL. Test toleransi glukosa darah oral (TTGO) ini tidak direkomendasikan secara general dalam praktek klinis karena penilaian membutuhkan asupan tinggi karbohidrat selam 3 hari berturut-turut dan tes ini tidak selalu reproducible.

4. Hasil HbA1c ≥ 6,5% dengan persyaratan tes dilakukan di laboratorium dengan menggunakan metode NGSP.

(7)

Penggunaan nilai dari Hemoglobin A1c (HbA1c) digunakan sebagai screening bagi penderita diabetes. Hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan hasil dari glikosilasi Hb, yang berikatan dengan glukosa/karbohidrat pada gugusan asam amino. Mekanisme pembentukan HbA1c pada penderita diabetes dapat terjadi karena adanya reaksi non enzimatik dari glukosa dengan Hb di dalam sel darah merah (reaksi Maillard).

Reaksi Maillard adalah reaksi antara karbohidrat terutama gula pereduksi dengan gugus amina primer, yang hasilnya berupa produk berwarna coklat.

Peningkatan nilai HbA1c yang lebih dari 6,2 % selalu berhubungan dengan diagnosis dari diabetes mellitus, tetapi penderita diabetes dapat memiliki nilai HbA1c ini dibawah range. Peningkatan nilai HbA1c ini merupakan tes yang spesifik untuk mendiagnosis penderita diabetes tetapi bukan merupakan tes yang sensitif (Hoogwert, 2009). Namun bagaimanapun HbA1c merupakan metode yang paling efektif untuk mengawasi efektivitas dari pengobatan diabetes (Buse dan Polonsky, 2003).

2.2.7 Terapi Penanganan Diabetes Melitus Tipe 2

Penatalaksanaan diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 yaitu (Soegondo, 2005): 1. Pendekatan non farmakologis, yaitu dengan pemberian edukasi,

perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, aktivitas fisik atau kegiatan olah raga dan penurunan berat badan bila didapatkan berat badan lebih atau obesitas.

2. Penatalaksanaan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi Apabila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologik tersebut

(8)

belum mampu mencapai sasaran terapi, yaitu glukosa darah darah yang terkontrol dengan baik, maka dilanjutkan dengan penatalaksanaan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi, disamping tetap menerapkan pengaturan makan dan aktivitas fisik yang sesuai, terapi medikamentosa, biasa dikenal sebagai obat antihiperglikemia oral.

1.2 Tanaman Obat

2.3.1 Definisi Tanaman Obat

Tanaman rempah dan obat sudah lama dikenal banyak mengandung senyawa fitokimia yang bermanfaat dalam pencegahan maupun pengobatan penyakit (Winarti dan Nurjanah, 2005).

Tanaman obat adalah tanaman yang memiliki khasiat obat karena mengandung zat aktif yang berfungsi mengobati penyakit tertentu atau jika tidak mengandung zat aktif tertentu tetapi mengandung efek resultan/ sinergi dari berbagai zat yang berfungsi mengobati, serta digunakan sebagai obat dalam pencegahan penyakit (Esha Flora Plants and Tissue Culture, 2008).

Senyawa fitokimia sebagai senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman obat mempunyai peranan yang sangat penting bagi kesehatan termasuk fungsinya dalam pencegahan terhadap penyakit degeneratif (Esha Flora Plants and Tissue Culture, 2008).

(9)

2.3.2 Penggunaan Tanaman Obat 1. Waktu Pengumpulan

Untuk mendapatkan bahan yang terbaik dan tumbuhan obat, perlu diperhatikan saat-saat pengumpulan atau pemetikan bahan berkhasiat.

a. Daun : dikumpulkan sewaktu tanaman berbunga dan sebelum buah menjadi masak

b. Bunga : dikumpulkan sebelum atau sesaat sesudah mekar c. Buah : dipetik dalam keadaan masak

d. Biji : dikumpulkan dari buah yang masak sempurna

e. Akar, rimpang (rhizome), umbi (tuber), dan umbi lapis (bulbus) : dikumpulkan sewaktu proses pertumbuhan berhenti.

2. Pencucian dan Pengeringan

Bahan obat yang sudah dikumpulkan segera dicuci bersih, sebaiknya dengan air yang mengalir. Setelah bersih, dapat segera dimanfaatkan bila diperlukan pemakaian yang segar. Namun, bisa pula dikeringkan untuk disimpan. Pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air dan mencegah pembusukan oleh bakteri. Bahan kering juga mudah dihaluskan bila ingin dibuat serbuk. Pengeringan cara bahan obat :

a. Bahan berukuran besar dan banyak mengandung air dapat dipotong – potong seperlunya terlebih dahulu.

b. Pengeringan dapat langsung dibawah sinar matahari atau memakai

pelindung seperti kawat halus jika menghendaki pengeringan tidak terlalu cepat.

(10)

c. Pengeringan juga dapat dilakukan dengan mengangin-anginkan bahan ditempat yang teduh atau di dalam ruang pengering yang aliran udaranya baik (Tanaman obat, 2011).

2.3 Daun Afrika Selatan (Vernonia Amygdalina)

Dalam Wikipedia (2011) daun Afrika Selatan dapat diklasifikasikan ke dalam golongan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Superdivisi : Angiosperms Divisi : Eudicots Kelas : Asterids Ordo : Asterales Famili : Asteraceae Genus : Vernonia

Spesies : Vernonia amygdalina

Gambar 2.2

(11)

Daun Afrika Selatan (Vernonia Amygdalina) sering juga dikenal dalam berbagai nama lain seperti grawa, ewuro, etidot dan onugbu. Asalnya tamanan ini pertama kali tumbuh di dataran tropis Amerika Utara dan Afrika Selatan, dalam bahasa Inggris tanaman ini sering disebut Bitter leaf dikarenakan karena rasanya yang sangat pahit. Tanaman setinggi 1-3 meter ini tumbuh dengan mudah di benua Afrika, benua Amerika, benua Asia seperti di Malaysia, Singapore dan Indonesia (Izevbigie et al., 2004).

Daunnya yang berwarna kehijauan berukuran sekitar 7-15 cm, berdiameter 6cm dengan tepian yang runcing dan bergerigi kecil. Pada sisi yang terpapar matahari warna hijau tampak lebih terang dengan permukaan yang lebih halus daripada sisi lainnya dengan warna hijau yang lebih pucat dengan permukaan yang lebih kasar (Wikipedia, 2010).

2.3.1 Kandungan Nutrisi dan Manfaat Daun Afrika Selatan

Dalam penelitian Atangwho (2009) menyatakan bahwa daun Afrika Selatan mengandung berbagai macam nutrisi yaitu protein, lemak, karbohidrat, berbagai vitamin serta mineral. Kandungan nutrisi daun Afrika Selatan dalam 100gram bahan dapat dilihat pada table dibawah ini.

(12)

Tabel 2.3.1

Kandungan Senyawa Daun Afrika Selatan

No. Kandungan Nutrisi Dalam 100 gram

1 vitamin A 348 IU/100gr 2 vitamin E 37 IU/100gr 3 vitamin C 2000-2230mg/100gr 4 Riboflavin 1 - 1.12 mg 5 Tiamin 0,18 - 0,193 mg 6 Niacin 0,48 - 0.51 m 7 Mn 0,07 - 0,073mg 8 Se 0,01 mg 9 Zn 0,04-0,041 mg 10 Fe 0,14mg 11 Cu 0,1mg 12 Mg 0,43mg 13 Cr 0,04mg

14 Protein sederhana 23,25 - 24,45gram

15 Serat 16,05-17.50gram

16 Lemak 3,53 gram

(Atangwho, 2009)

2.3.2. Kandungan Senyawa Kimia Daun Afrika Selatan

Berdasarkan hasil uji kuantitatif dan kualitatif kandungan senyawa kimia daun Afrika Selatan yang diperoleh dari PT Natur Indonesia, Bogor dapat diketahui bahwa terdapat beberapa senyawa kimia penting yang bekerja secara sinergis. Pengujian bahan dilakukan dalam bentuk ekstrak di Laboratorium Analisis Pangan, Fakultas Pertanian UNUD.

(13)

Adapun hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada table dibawah ini.

Tabel 2.3.2

Kandungan Senyawa Kimia Daun Afrika Selatan

No. Jenis Analisis Jml satuan Hasil

1 Kapasitas Antioksidan 1 ppm GAEAC 9551,22

2 IC 50% 1 mg/ml 1,31

3 Kadar Total Fenol 1 %b/b GAE 3,20

4 Kadar Tanin 1 %b/b TAE 0,66

5 kadar Total Klirofil 1 ppm 32186,56

6 Kadar Klorofil a 1 ppm 21162,25 7 Kadar Klorofil b 1 ppm 11032,91 8 Rendemen 1 % b/b 14,90 9 Vitamin C 1 mg/g 2588,24 (Lampiran 5) Keterangan :

GAEAC : Garlic Acid Equivalent antioksidant capacity GAE : Garlic Acid Equivalent

TAE : Tannic Acid Equivalent

IC 50% : Inhibitor konsentrasi terhadap radikal bebas DPPH 0,1mM

Berdasarkan hasil uji skrining fitokimia yang dilakukan Atangwho (2009) daun Afrika Selatan mengandung senyawa kimia golongan alkaloid, tannin, saponin, dan flavonoid, polifenol, dan vitamin C yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan. Polifenol yang terdapat dalam, daun Afrika Selatan sangat tinggi terutama 1,5 dicaffeo quinic acid, dicaffeo quinic acic, chlorogenic acid dan luteolin 7-O-glucoside.

Banyak sekali ragam antioksidan alami, tetapi jarang yang memiliki komponen kimia yang lengkap. Daun Afrika Selatan mengandung berbagai macam antioksidan baik berbentuk vitamin dan yang bukan vitamin. Lengkapnya

(14)

antioksidan alami dalam daun Afrika Selatan memungkinkan pemanfaatan buah tersebut menjadi bahan baku pembuatan antioksidan (Atangwho et al., 2009).

Salah satu kandungan zat aktif utama daun Afrika Selatan adalah saponin. Mazza et al., (2007) menjelaskan bahwa saponin sebagai senyawa hipoglikemik, karena kandungan aglycone yang secara alamiah terdapat dalam tumbuhan melalui proses hidrolisis saponin tritopene dalam bentuk asal oleanolat yang bersifat hipoglikemik.

Daun Afrika Selatan juga mengandung flavonoid yang dapat mencegah berbagai penyakit yang berkaitan dengan stres oksidatif. Efektivitas antioksidan dari flavonoid dilaporkan beberapa kali lebih kuat dibandingkan vitamin C dan E. Dalam fungsinya menetralkan radikal bebas, flavonoid bekerja secara sinergis (saling memperkuat) dengan vitamin C. Selain mempunyai aktivitas antioksidan, flavonoid dapat menghambat aldose reduktase yang mengkonversi glukosa dan galaktosa menjadi bentuk-bentuk poliolnya. Poliol-poliol ini berimplikasi dalam diabetes neuropati dan dalam pembentukan katarak yang menyertai diabetes serta galaktosemia. Senyawa flavonoid secara umum bertindak sebagai antioksidan yaitu sebagai penangkap radikal bebas karena mengandung gugus hidroksil. Falvonoid bersifat sebagai reduktor sehingga dapat bertindak sebagai donor hydrogen terhadap radikal bebas (Linder, 2006).

Ekstrak alkaloid mampu menghambat aktivitas enzim alfa glukosidase sebesar 61,88% pada konsentrasi 2000 ppm. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak alkaloid aktif sebagai inhibitor alfa glukosidase (Pamungkas, 2012).

Tanin merupakan substansi fenilik polimer yang mampu menyamak kulit atau mempresipitasi gelatin dari cairan, suatu sifat yang dikenal sebagai

(15)

astringensi. Tanin ditemukan hampir di setiap bagian dari tanaman. Tanin dibagi ke dalam dua group, tannin yang dapat dihidrolisis dan tannin kondensasi. Zat ini digunakan untuk menurunkan kadar glukosa darah dengan cara memacu metabolism glukosa dan lemak. Tanin diketahui memacu metabolisme glukosa dan lemak, sehingga timbunan kedua sumber kalori ini dalam darah dapat dihindari dan akhirnya kolesterol dan glukosa darah turun (Subroto, 2006).

Adapun hasil uji yang diperoleh terdapat table dibawah ini.

Tabel 2.3.3

Kandungan Senyawa Kimia Daun Afrika Selatan Jenis Contoh Jenis Pengujian Hasil

Pengujian

Metode Pengujian Daun Afrika Selatan Saponin (%)

Uji Fitokimia : Saponin Tanin Alkaloid Fenolik Flavonoid Triterpenoid Steroid Glikosida 0,77 + + + + + + + + TLC Scanner Kualitatif (Lampiran 6) Daun Afrika Selatan belum memberikan efek buruk terhadap struktur histologis hepar maupun ginjal. Hal ini dibuktikan dengan penelitian daun Afrika Selatan dengan dosis 600mg/kgBB, yang diberikan oral kepada 15 ekor mencit jantan dewasa selama 10 hari (Nimenibo, 2003).

(16)

Hasil penelitian selama 28 hari bahwa organ hati pada mencit yang diberikan ekstrak daun Afrika Selatan dengan dosis 600mg/kgBB menyebabkan megalositosis pada inti sel dan degenerasi sel, serta pada organ ginjal menyebabkan dilatasi sebagian tubuli, namun secara keseluruhan dibuktikan bahwa ekstrak daun Afrika Selatan belum memberikan efek yang buruk (Eleyinmi et al., 2008).

Adapun kadar toksisitas daun Afrika Selatan telah dilakukan uji di Laboratorium Analisa Pangan Universitas Udayana dengan Nilai LC50 2757,91 ppm (Lampiran 7).

Atangwho (2009) melakukan pengujian komponen fitokimia membandingkan 3 bahan antidiabetik yaitu Azadirachta indica, Vernonia amygdalina, dan Gongronema latifolium dengan hasil sebagai berikut :

Tabel 2.3.4

Perbandingan Kadar Fitokimia Nama Tanaman Flavonoid

(%) Tanin (%) Saponin (%) Polifenol (%) Alkaloid (%) Azadirachta indica Vernonia amygdalina Gongronema latifolium 0.39 0.87 0.54 0.63 0.37 2.04 0.56 2.15 0.66 0.35 0.42 0.33 2.84 2.13 1.97

Azadirachta indica dikenal juga dengan nama lain Biji Mimba sering kali digunakan sebagai pengobatan pestisida nabati, ternyata mengandung alkaloid yang cukup tinggi, sedangkan Vernonia amygdalina atau Daun Afrika Selatan paling tinggi mengandung kadar saponin dan kadar polifenol, dan Gongronema latifolium salah satu tumbuhan yang dijumpai di Afrika Barat mengandung kadar tannin yang paling tinggi.

(17)

Atangwho (2010) menyatakan bahwa ada 2 mekanisme yang terjadi pada saat penelitian daun Afrika Selatan (Vernonia amygdalina), pertama adalah target sel beta yang memproduksi insulin dan yang kedua adalah metabolisme karbohidrat yang terjadi di otot, lemak dan hati. Mekanisme untuk merangsang produksi insulin dikatakan lebih poten, oleh sebab itu tidak heran apabila daun Afrika Selatan dikategorikan sebagai hipoglikemik yang poten. Dalam penelitiannya dengan menggunakan 20 ekor tikus, dengan menggunakan ekstrak daun Afrika Selatan 400mg/kgBB diberikan perlakukan selama 21 hari secara bermakna terjadi penurunan kadar gula darah post prandial sebesar 15,38%. Perbedaan hasil penurunan glukosa darah post prandial yang dilakukan oleh Atangwho (2010) sebesar 5,96% dengan penelitian ini bisa jadi disebabkan karena perbedaan lamanya waktu pemberian perlakuan.

Atangwho et al., (2011) melakukan penelitian di Universitas Calabar, Nigeria dengan menggunakan 32 ekor tikus putih galur Wistar, usia 2-3 bulan, dengan berat 180-200gram, yang dibagi dalam 4 kelompok, kelompok pertama 8 ekor tikus dengan kondisi tidak diabetes sebagai kontrol normal dengan pemberian aquadest 0,2ml/ekor selama 28 hari, kelompok kedua 8 ekor tikus diabetes sebagai kontrol diabetes dengan pemberian aquadest 0,2ml/ekor selama 28 hari, kelompok ketiga sebagai 8 ekor tikus diabetes kelompok diabetes yang diberi perlakuan 200mg/kgBB daun Afrika Selatan selama 28 hari, dan kelompok keempat 8 ekor tikus diabetes sebagai kelompok kontrol positif dengan diberikan insulin dosis 5 IU/kgBB. Diperiksa secara histopatologi dengan pewarnaan HE dan GAF, didapatkan hasil sebagai berikut :

(18)

Kelompok I

HE GAF

Gambar 2.3.1

Fotomikrograf 400x pada Pankreas Kelompok Kontrol Normal (Atangwho, 2011) Pada kelompok I terlihat Duktus Pankreatikus bentuknya sesuai normal, Sel Islet terlihat dan berbatas jelas, ditemukan juga Kelenjar Asini, Sel Sentroasinar dan Duktus Ekskretorius.

Kelompok II

HE GAF

Gambar 2.3.2

Fotomikrograf 400x pada Pankreas Kelompok Kontrol Diabetes (Atangwho, 2011)

Pada Kelompok II terlihat Kelenjar Asini dan Sel Sentroasinar, lobulus pecah dan Sel Islet tampak nekrosis dan degenerasi.

(19)

Kelompok III

HE GAF

Gambar 2.3.4

Fotomikrograf 400x pada Pankreas Kelompok Perlakuan dengan Pemberian Daun Afrika Selatan 200mg/kgBB selama 28 hari (Atangwho, 2011)

Pada Kelompok III terlihat Sel Islet pankreas ditemukan secara jelas , Duktus Ekskretorius terlihat, dan dinding lobulus ditemukan dan Sel Asinar terlihat lagi. Kelompok IV

HE GAF

Gambar 2.3.5

Fotomikrograf 400x pada Pankreas Kelompok Kontrol Positif yang diberikan Insulin 5IU/kgBB (Atangwho, 2011)

Pada Kelompok IV terlihat Sel Acinar nekrosis dan Sel Islet terlihat degenerasi. sehingga dapat kesimpulan bahwa polifenol dapat melindungi sel beta pankreas

(20)

dari kerusakan radikal bebas, dan pemberian insulin (Humulin) 5IU/kgBB tidak berdampak perbaikan terhadap sel pankreas.

2.4 Hewan Percobaan

2.4.1 Tikus Putih (Rattus Norvegicus) jantan sebagai hewan coba

Perkembangan dunia kedokteran dan pengobatan tidak jarang melibatkan penggunaan hewan coba dalam penelitiannya. Salah satu hewan coba yang menjadi pilihan adalah tikus. Ada dua sifat yang membedakan tikus dari hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim ditempat oesephagus bermuara karena ke dalam lambung, dan tikus tidak mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Namun demikian, tidak semua jenis tikus yang kita kenal digunakan untuk penelititan. Tikus got yang bertubuh besar, kadang bisa membuat kucing ketakutan bukanlah hewan yang digunakan sebagai tikus penelitian (Wikipedia, 2011).

Pada penelitian ini menggunakan tikus putih jantan sebagai binatang percobaan karena tikus putih jantan dapat memberikan hasil penelitian yang lebih stabil karena tidak dipengaruhi oleh adanya siklus menstruasi dan kehamilan seperti pada tikus betina,. Tikus putih jantan juga mempunyai kecepatan metabolisme obat lebih cepat dan kondisi biologis tubuh yang lebih stabil dibanding tikus betina (Ngatijan, 2006). Tikus putih sebagai hewan percobaan relatif resisten terhadap infeksi dan sangat cerdas. Tikus putih tidak begitu bersifat fotofobik seperti halnya mencit dan kecenderungan untuk berkumpul dengan sesamanya tidak begitu besar. Aktivitasnya tidak terganggu oleh adanya manusia di sekitarnya. Tikus laboratorium jantan jarang berkelahi seperti mencit jantan.

(21)

Tikus putih dapat tinggal sendirian dalam kandang dan hewan ini lebih besar dibandingkan dengan mencit, sehingga untuk percobaan laboratorium tikus putih lebih menguntungkan daripada mencit. (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Gambar 2.4

Tikus putih (Rattus norvegicus) sebagai hewan coba (Wikipedia, 2011)

Klasifikasi tikus putih dalam sistematika hewan percobaan adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Classis : Mamalia Subclassis : Placentalia Ordo : Rodentia Familia : Muridae Genus : Rattus

(22)

2.4.2 Kriteria Tikus Diabetes

Kadar glukosa darah normal tikus sehat adalah antara 50 mg/dL sampai 135 mg/dL. Seperti mamalia lainnya, kadar glukosa ini tergantung pada tipe makanan yang dikonsumsi dan waktu makan terakhir. Kadar glukosa pada tikus dapat dikatakan diabetes jika kadar glukosanya diatas 135 mg/dL (Animal article, 2011). Menurut jurnal sebelumnya kadar plasma insulin pada tikus yang normal adalah 5-10 IU/ml (Handayani et al.,2009)

2.4.3 Mekanisme Streptozotocin Dan Nicotinamide Dalam Menginduksi Diabetes Melitus

Induksi percobaan diabetes menggunakan streptozotocin sangat mudah untuk dilakukan. Penyuntikan streptozotocin menyebabkan degradasi dari pulau Langerhans sel beta pankreas (Abeelah et al., 2009). Streptozotocin secara selektif terakumulasi di dalam sel beta pankreas melalui transporter glukosa GLUT2 yang infinitasnya rendah, yang ada di dalam membran darah (Lenzen, 2008).

Mekanisme streptozotocin adalah terjadinya pemindahan gugus methyl dari streptozotocin menuju molekul DNA, sehingga menyebabkan rantai DNA pada sel beta pankreas terputus. Dalam upaya untuk memperbaiki DNA, poli (ADP-ribose) polumerase distimulasi secara berlebihan sehingga menurunkan kadar NAD+ dan ATP. Dengan menipisnya energi yang disimpan pada sel menyebabkan kematian pada sel beta, sehingga menghambat sintesis proinsulin dan menginduksi terjadinya keadaan hiperglikemia. Streptozotocin menghambat sekresi insulin dan menyebabkan insulin dependent diabetes mellitus (IDDM) (Lenzen, 2008). Di pihak lain, sel alfa dan gamma tidak dipengaruhi secara signifikan oleh pemberian streptozotocin sehingga tidak membawa dampak pada

(23)

perubahan glucagon dan sitostomatin (Jackerott et al.,2006; Tormo et al.,2006). Nicotinamid adalah bentuk amid dari vitamin B3 (niacin) yang fungsinya memberikan perlindungan terhadap sel beta pankreas akibat kerusakan oleh streptozotocin, mekanisme nicotinamid adalah menghambat aktivitas dari PARP-1, nicotinamid melindungi penipisan terhadap NAD dan ATP pada sel beta pankreas yang terpapar streptozotocin, sehingga kerusakan sel beta pankreas dapat dikurangi (Szkudelski, 2001).

Gambar 2.4.3

Mekanisme Kerja Steptozotocin dan Nicotinamid Dalam Menginduksi Diabetes Melitus (Szkudelski, 2001).

Sebelum diinduksi streptozotocin, tikus dipuasakan supaya lebih rentan terhadap streptozotocin sehingga kerja di sel target lebih optimal. Secara klinis, gejala diabetes pada tikus akan terlihat jelas dalam 2-4 hari setelah penyuntikan nicotinamid dan streptozotocin secara interaperitoneal (Abeelah et al., 2009)..

Referensi

Dokumen terkait

Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah informasi tentang karakteristik simplisia, kandungan senyawa kimia serta untuk mengidentifikasi isolat flavonoid dari fraksi

Saran atau rekomendasi yang peneliti berikan yaitu sebaiknya agar laporan ini dibuat dan dianalisa secara maksimal oleh manajemen, sebagai alat bantu dalam

Consider the hundreds digit.. For the

Hasil penelitian menggunakan uji statistik uji chi square menunjukkan bahwa hasil p = 0,006 (< 0,05) ini berarti terdapat hubungan antara paparan debu dengan

Berkenaan dengan hal tersebut barangkali dengan kurikulum yang kontekstual siswa dapat lebih dibantu untuk belajar fisika dengan senang dan mudah, maka

B urung dewasa memiliki mahkota berwarna ungu dan hij au, sayap dan bulu penutup ekor bagian atas berwarna hitam, iris merah kekuningan, paruh kuning, kulit mata merah,

Tujuan kegiatan pemantapan materi ini adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi siswa Darul Abidin Desa Gerisak Semanggeleng Lombok Timur

Kekuasaan Kehakiman Indonesia oleh Mahkamah Agung sebagai badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung (MA) merupakan Pengadilan Negara Tertinggi dari