• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Sejarah Singkat pemungutan Pajak di Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1. Sejarah Singkat pemungutan Pajak di Indonesia."

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PAJAK DAN PEMERIKSAAN PAJAK

A. Pembahasan Umum Tentang Perpajakan

1. Sejarah Singkat pemungutan Pajak di Indonesia.

Sejarah pemungutan Pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan yang ada pada masyarakat Indonesia dan pada negara, baik di bidang kenegaraan maupun dalam bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya, Pajak belum merupakan suatu pungutan, akan tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada Raja, yang dilakukan dalam rangka memelihara kepentingan negara, seperti menjaga keamanan negara, menyediakan jalan umum, membayar gaji pegawai, dan lain-lain. Bagi penduduk yang tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura, maka ia diwajibkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum dalam beberapa hari lamanya dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.15

Orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi termasuk orang-orang yang kaya, dapat membebaskan diri dari kewajiban melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum tadi dengan cara membayar uang ganti rugi. Besarnya jumlah pembayaran ganti rugi ini ditetapkan sesuai dengan jumlah uang yang diperlukan untuk membayar orang lain yang menggantikannya untuk melakukan pekerjaan itu,

15

Rochmat Soemitro, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, (Jakarta: PT. Eresco, 1977), cetakan kedelapan, hal. 1.

(2)

yang seharusnya dilakukan sendiri oleh orang yang memiliki status sosial yang tinggi dan orang kaya tadi.16

Sebagai contohnya adalah kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa pada sekitar abad ke-19 juga melakukan hal semacam ini. Tenaga dari rakyat ditarik sebagai Pajak oleh Raja dengan istilah kerja bakti dan kadang-kadang gotong-royong. Setelah terbentuknya negara-negara nasional dan tercapainya pemisahan antara rumah tangga negara dan rumah tangga pribadi Raja pada akhir abad pertengahan, Pajak mendapat tempat yang lebih bagus diantara berbagai pendapatan negara lainnya. Dengan bertambah luasnya tugas-tugas negara, maka dengan sendirinya negara memerlukan biaya yang cukup besar. Sehubungan dengan hal itu, maka pembayaran Pajak yang semula bersifat sukarela berubah menjadi pembayaran yang ditetapkan secara sepihak oleh negara dalam bentuk Undang-undang dan bersifat dapat dipaksakan.

Sebagian besar dari Undang-undang (i.c. Ordonansi) Pajak yang berlaku sebelum berlakunya Undang-undang Pajak Nasional yang berasal dari Undang-undang Pajak produk Pemerintah Hindia-Belanda, kemudian pada tahun 1950 Pemerintah Indonesia membentuk Panitia perubahan sistem Pajak untuk menyusun suatu sistem Pajak yang baru, yang tidak bertentangan dengan kepribadian Bangsa dan Negara Indonesia. Beberapa contoh produk hukum Pajak pemerintah Hindia-Belanda tersebut adalah: 17 a. Ordonansi Pajak Perseroan 1925 Stb. Tahun 1925 Nomor 319.

b. Ordonansi Pajak Pendapatan 1944 Stb. Tahun 1944 Nomor 17.

16

Rochmat Soemitro, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan 1944, (Jakarta: PT. Eresco, 1977), cetakan kedelapan, hal. 1.

17

(3)

2. Dasar Hukum Pengenaan Pajak, Pengertian Pajak dan Wajib Pajak.

Di negara-negara yang menganut paham hukum, segala sesuatu yang menyangkut tentang Pajak juga harus ditetapkan dalam Undang-undang. Dengan ditetapkannya Pajak dalam bentuk Undang-undang berarti Pajak bukan merupakan suatu perampasan hak/kekayaan rakyat karena telah disetujui oleh wakil-wakil rakyat.

Dasar hukum pengenaan Pajak terdapat di dalam Pasal 23 ayat (2) UUD Tahun 1945, Amandemen IV. Pemungutan Pajak juga diatur di dalam Undang-undang tentang Perpajakan, antara lain adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994, lalu diperbaharui dengan undang Nomor 16 Tahun 2000 dan terakhir diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Pengertian Pajak Oleh seorang ahli bernama Mr. Dr. N. J. Feldmann dalam bukunya berjudul De Overheidsmiddelen van Indonesia, Leiden, 1949 mengatakan bahwa Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.18

Menurut defenisi dari Leroy Beaulieu dalam bukunya yang berjudul Traite de la science des Finances, 1906, mengatakan bahwa “Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja Pemerintah.

19

Namun, oleh Dr. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul

“Pajak berdasarkan Asas Gotong Royong”, Universitas Padjajaran, Bandung tahun

18

Erly Suandy, Hukum Pajak, (Jakarta: PT. Salemba Empat, 2005), hal. 9. 19

(4)

1964, pengertian pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.20

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak adalah Kontribusi Wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan defenisi-defenisi yang dikemukakan oleh para sarjana, maka dapat dilihat unsur-unsur yang terdapat dalam defenisi Pajak, yaitu :

a. Pajak itu adalah suatu iuran, atau kewajiban untuk menyerahkan sebagian kekayaan atau pendapatannya kepada negara;

b. Bahwa perpindahan atau penyerahan iuran itu adalah bersifat wajib, dalam arti bila kewajiban itu tidak dilaksanakan maka dengan sendirinya dapat dipaksakan; c. Perpindahan ini adalah berdasarkan Undang-undang atau peraturan yang dibuat

oleh permerintah, yang berlaku umum;

d. Tidak ada jasa timbal balik yang dapat ditunjuk, artinya bahwa antara pembayaran Pajak dengan porestasi dari negara tidak ada hubungan langsung. Prestasi dari negara adalah seperti hak penggunaan jalan umum, dan lain-lain; dimana prestasi tersebut tidak ditunjukkan langsung kepada individu pembayar Pajak, akan tetapi ditujukan kepada anggota masyarakat secara keseluruhan;

20

(5)

e. Uang yang dikumpulkan oleh negara, digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berguna untuk rakyat, seperti pembuatan jalan, jembatan, gedung, dan lain-lain.

Sedangkan ciri-ciri yang melekat pada pengertian dari Pajak itu sendiri, yakni: 21

a. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan Undang-undang serta peraturan pelaksanaannya;

b. Dalam pembayaran Pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh Pemerintah;

c. Pajak dipungut oleh Negara, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah; d. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran Pemerintah, yang

apabila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk pembiayaan public investmet;

e. Pajak dapat pula membiayai tujuan yang tidak budgeter, yaitu mengatur.

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan.

Wajib Pajak memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat disebut sebagai Wajib Pajak, yaitu bagi Wajib Pajak Dalam Negeri harus merupakan orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, warisan yang belum terbagi

21

(6)

dan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia; sedangkan bagi Wajib Pajak luar negeri persyaratannya harus merupakan orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari, badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau kegiatan yang bersifat bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia akan tetapi orang pribadi atau badan yang mendapatkan hasil/pendapatan yang berasal dari Negara Indonesia.

Kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh Wajib Pajak diantaranya seperti wajib mendaftarkan diri, melaporkan usahanya pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, wajib mengambil sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) ditempat-tempat yang ditetapkan oleh Pejabat Pajak serta mengisi dengan jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani sendiri SPT-nya dan kemudian mengembalikannya ke Kantor Dirjen Pajak ditambah dengan lampiran-lampirannya, dan lain-lain sebagainya.22

Selain kewajiban-kewajiban yang wajib dipenuhi oleh setiap Wajib Pajak, Wajib Pajak juga memiliki hak-hak yang dapat diperoleh, diantaranya memperoleh NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), mengajukan permohonan penundaan penyampaian SPT, menerima tanda bukti pemasukan SPT, mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran Pajak sesuai dengan kemampuannya dan mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan terhadap Pajak yang harus dibayarnya.23

22

Waluyo. Perpajakan Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hal. 72

23

(7)

3. Landasan Filosofis, Asas-asas Pemungutan dan Pengenaan Pajak.

Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Bangsa Indonesia telah melaksanakan pembangunan yang pesat dalam kehidupan nasional yang perlu dilanjutkan dengan dukungan dan seluruh potensi masyarakat. Agar proses pembangunan selanjutnya berjalan lancar perlu adanya hubungan yang selaras serasi dan seimbang antara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara secara dinamis dan proposional dalam rangka pelaksanaan pembangunan yang bertanggung jawab.24

Pembangunan Nasional Indonesia pada dasarnya dilakukan oleh masyarakat bersama-sama pemerintah. Oleh karena itu peran masyarakat dalam pembiayaan Sebagai negara yang berkembang, Negara Republik Indonesia tengah menggalakkan pembangunan di segala bidang, yaitu pembangunan bidang ekonomi, sosial budaya, hukum, dan lain-lain. Bidang-bidang tersebut mempunyai tujuan yang sama dengan apa yang terdapat pada pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat, yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara adil dan makmur.

Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik material maupun spiritual. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, diperlukan banyak perhatian terhadap masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa yaitu dengan menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama.

24

H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), 2001, hal. 37.

(8)

pembangunan harus terus ditumbuhkan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kewajibannya membayar pajak.

Dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, dapat dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat (Wajib Pajak) dalam memenuhi kewajibannya membayar pajak sebagai bentuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Tugas negara pada prinsipnya berusaha dan bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya, oleh sebab itu, maka negara harus tampil ke depan dan turut campur tangan, bergerak aktif dalam bidang kehidupan masyarakat, terutama di bidang perekonomian guna tercapainya kesejahteraan nasional bagi seluruh rakyat.

Untuk mencapai dan menciptakan rakyat yang sejahtera, dibutuhkan biaya yang jumlahnya cukup besar. Demi berhasilnya usaha ini, maka negara mencari pembiayaannya dengan cara menarik Pajak. Penarikan atau pemungutan Pajak adalah salah satu fungsi yang harus dilaksanakan oleh negara sebagai suatu fungsi esensial. Tanpa pemungutan Pajak, sudah bisa pastikan bahwa keuangan negara akan lumpuh, terutama bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti negara Indonesia.25

Atas uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa landasan filosofis pengenaan Pajak didasarkan atas pendekatan manfaat. Pendekatan ini merupakan dasar fundamental atas dasar filosofis yang membenarkan negara untuk melakukan pemungutan Pajak sebagai pungutan yang dipaksakan dalam arti mempunyai wewenang dengan kekuatan pemaksa. Pendekatan manfaat ini mendasarkan suatu falsafah, yaitu oleh karena negara menciptakan manfaat yang dapat dinikmati oleh

25

(9)

seluruh warga negara yang berdiam dalam negara, maka negara berwenang untuk memungut Pajak dari rakyat dengan cara yang dapat dipaksakan. 26

Bentuk manfaat yang dapat dinikmati tersebut oleh warga negara, yaitu berupa kesejahteraan, pelayanan umum, perlindungan hukum, kebebasan, penggunaan fasilitas umum seperti pelabuhan, jalanan, jembatan, tempat-tempat hiburan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan manfaat tersebut. Hal-hal tersebut tidak akan mungkin dikerjakan sendiri oleh pihak orang perorangan ataupun oleh pihak swasta, oleh karena itu, maka negara tampil sebagai pelopor dalam mewujudkan kesejahteraan untuk seluruh warganya.27

Pajak memiliki fungsi-fungsi,yaitu: 28 1. Fungsi anggaran (budgetair).

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

26

Soetrisno PH., Dasar-dasar Ilmu Keuangan Negara, (Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM, 1982), hal 155.

27

Ibid, hal 155. 28

(10)

2. Fungsi mengatur (regulerend).

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri, diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

3. Fungsi stabilitas.

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, penggunaan pajak yang efektif dan efisien. 4. Fungsi redistribusi pendapatan.

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Adam Smith (1723-1790) dalam bukunya yang berjudul Wealth of Nations

mengemukakan 4 (empat) asas pemungutan Pajak yang dikenal dengan “The Four Canons Taxation atau The Four Maxims”, dengan uraian:29

a. Asas Persamaan (Equality), asas ini menekankan bahwa pada Warga Negara atau Wajib Pajak tiap negara seharusnya memberikan sumbangannya kepada negara, sebanding dengan kemampuan mereka masing-masing, yaitu sehubungan dengan keuntungan yang mereka terima dibawah perlindungan

29

(11)

negara, berupa besar kecilnya pendapatan yang diperoleh di bawah perlindungan negara. Dalam asas equality ini tidak diperbolehkan suatu negara mengadakan diskriminasi diantara Wajib Pajak;

b. Asas Kepastian (Certainty), asas ini menekankan bahwa bagi Wajib Pajak tiap negara harus jelas dan pasti tentang wktu, jumlah dan cara pembayaran Pajak. Dalam asas ini kepastian hukum sangat dipentingkan, terutama mengenai subjek dan objek Pajak;

c. Asas Menyenangkan (Conveniency of Payment), asas ini menekankan bahwa Pajak seharusnya dipungut pada waktu dengan cara yang paling menyenangkan bagi para Wajib Pajak, misalnya pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi petani, sebaiknya dipungut pada saat mereka telah memperoleh uang, yaitu pada saat panen;

d. Asas Efisiensi (Low Cost of Collection), asas ini menekankan bahwa biaya pemungutan Pajak tidak boleh melebihi dari hasil Pajak yang akan diterima. Pemungutan Pajak harus sesuaikan dengan kebutuhan Anggaran Belanja Negara.

Sedangkan, Menurut W. J. Langen, asas-asas pemungutan pajak yaitu:30

1. Asas daya pikul.

Besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar kecilnya penghasilan Wajib Pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin tinggi pajak yang dibebankan.

2. Asas manfaat.

Pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.

30

(12)

3. Asas kesejahteraan.

Pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

4. Asas kesamaan.

Dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).

5. Asas beban yang sekecil-kecilnya.

Pemungutan pajak diusahakan sekecil-kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak. Sehingga tidak memberatkan para Wajib Pajak.

Adolf Wagner mengemukakan 4 (empat) asas agar terpenuhinya Pajak ideal, yaitu: 31 1. Asas Politik Finansial, yaitu meliputi:

a. Perpajakan hendaknya menghasilkan jumlah penerimaan yang memadai, dalam arti cukup untuk menutup biaya pengeluaran negara;

b. Pajak hendaknya bersifat dinamis, artinya penerimaan negara dari Pajak diharapkan selalu meningkat, mengingat kebutuhan penduduknya selalu meningkat, baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

2. Asas Ekonomis, yaitu meliputi:

Pemilihan mengenai perpajakan yang sangat tepat apakah hanya dikenakan pada pendapatan ataukah juga terhadap modal dan/atau pengeluaran. Pada umumnya yang paling adil untuk dikenakan Pajak bagi Wajib Pajak adalah Pajak Pendapatan.

3. Asas keadilan, yaitu meliputi:

31

(13)

a. Pajak hendaknya bersifat umum atau universal. Ini berarti bahwa Pajak tidak boleh bersifat diskriminatif, artinya seseorang dalam keadaan yang sama hendaknya diperlakukan yang sama.

b. Kesamaan beban, artinya bahwa setiap orang hendaknya dikenakan beban Pajak yang kira-kira hampir sama. Untuk mengenakan Pajak hendaknya memperhatikan daya-pikul atau kemampuan membayar seorang Wajib Pajak.

4. Asas administrasi, yaitu meliputi:

a. Kepastian Perpajakan, artinya bahwa pemungutan Pajak hendaknya bersifat pasti, dalam arti bahwa harus jelas disebutkan siapa atau apa yang dikenakan Pajak, berapa besar jumlah Pajak tersebut, apa sanksinya jika terlambat membayar Pajak, dan lain-lain;

b. Keluwesan dalam penagihan, artinya dalam penagihan Pajak hendaknya luwes, dalam arti harus melihat keadaan pembayar Pajak, apakah sedang menerima uang, apakah tidak mengalami bencana alam, atau apakah perusahaannya mengalami pailit, dan lain-lain;

c. Ongkos pemungutan Pajak hendakna diusahakan hingga ke jumlah yang sekecil-kecilnya.

Dari asas-asas tersebut diatas, maka dapat kita juga perlu untuk mengetahui syarat-syarat pemungutan pajak, karena tidaklah mudah untuk membebankan pajak pada masyarakat. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang, syarat-syarat tersebut adalah:32

1. Pemungutan pajak harus adil.

32

(14)

Seperti halnya produk hukum, pajak juga mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil tersebut adalah adil dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya. Contohnya dengan mengatur hak dan kewajiban para Wajib Pajak, Pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak.

2. Pengaturan pajak harus berdasarkan Undang-undang.

Sesuai dengan Pasal 23 UUD 1945 yang berbunyi: "Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang", ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Undang-Undang tentang pajak, yaitu:

a. Pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara yang berdasarkan Undang-undang tersebut harus dijamin kelancarannya;

b. Jaminan hukum bagi para Wajib Pajak untuk tidak diperlakukan secara umum;

c. Jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para Wajib Pajak.

3. Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian.

Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan, maupun jasa. Pemungutan pajak jangan sampai merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat sebagai pemasok pajak, terutama pada masyarakat kecil dan menengahPemungutan pajak harus efesien.

Biaya yang dikeluarkan dalam rangka pemungutan pajak harus diperhitungkan, jangan sampai pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, Wajib Pajak tidak

(15)

akan mengalami kesulitan dalam pembayaran pajak baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.

4. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.

Bagaimana pajak dipungut akan sangat menentukan keberhasilan dalam pungutan pajak. Sistem yang sederhana akan memudahkan Wajib Pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan memberikan dapat positif bagi para Wajib Pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang akan semakin enggan membayar pajak.

Disamping asas-asas pemungutan Pajak tersebut, asas pengenaan Pajak juga penting untuk diketahui agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu Undang-undang perpajakan, diperlukan asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk mengenakan Pajak.

Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk mengenakan Pajak, khususnya untuk pengenaan Pajak Penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah:33

33

(16)

1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence

principle), berdasarkan asas ini

penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk (resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri;

2. Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu;

3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga dengan asas kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal. Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas

(17)

nasionalitas ini dilakuk an dengan cara menggabungkan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh di mana saja.

Terdapat beberapa perbedaan prinsipil antara asas domisili atau kependudukan dan asas nasionalitas atau kewarganegaraan di satu pihak, dengan asas sumber di pihak lainnya. Pertama, pada kedua asas yang tersebut, kriteria yang dijadikan landasan kewenangan negara untuk mengenakan pajak adalah status subjek yang akan dikenakan pajak, yaitu apakah yang bersangkutan berstatus sebagai penduduk atau berdomisili (dalam asas domisili) atau berstatus sebagai Warga Negara (dalam asas nasionalitas). Di sini, asal penghasilan yang menjadi objek pajak tidaklah begitu penting.

Sementara itu, pada asas sumber, yang menjadi landasannya adalah status objeknya, yaitu apakah objek yang akan dikenakan pajak bersumber dari negara itu atau tidak. Status dari orang atau badan yang memperoleh atau menerima penghasilan tidak begitu penting. Kedua, pada kedua asas yang tersebut, pajak akan dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh di mana saja, sedangkan pada asas sumber, penghasilan yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari sumber-sumber yang ada di negara yang bersangkutan.34

Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan

34

Ibid, hal. 47.

(18)

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994, khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak.

B. Pemeriksaan Pajak.

1. Latar Belakang Pemeriksaan Pajak.

Sejak awal tahun 1984, pemungutan pajak yang diterapkan di Indonesia adalah sistem Self Assessment, dimana wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri jumlah Pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Pada sistem yang baru ini, penentuan besarnya Pajak terutang berada pada Wajib Pajak itu sendiri dan Wajib Pajak harus mengambil peranan aktif dalam memenuhi kewajiban perpajakannya untuk membayar pajak.

Kepercayaan yang diberikan Pemerintah kepada masyarakat harus diimbangi dengan upaya penegakan hukum dan pengawasan yang ketat atas kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kepercayaan yang telah diberikan tersebut agar tidak terjadi pelanggaran terhadap pemenuhan kewajiban membayar Pajak oleh Wajib Pajak. Oleh karena itu, dalam rangka pengawasan tersebut diadakan Pemeriksaan Pajak.35

Pemeriksaan Pajak Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, pemeriksaan didefenisikan sebagai “serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan,

35

Hanantha Bwoga, dkk, Pemeriksaan Pajak di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hal 1.

(19)

mengelola data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.36

Pemeriksaan juga dapat dilakukan bila terdapat bukti bahwa Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak benar, adanya pengaduan dari masyarakat yang mengetahui kecurangan Wajib Pajak tersebut dalam memenuhi kewajiban pajaknya, maupun jika terdapat indikasi bahwa Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Dari defenisi diatas, terdapat dua tujuan dari pemeriksaan, yakni:

1) Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan dan pembinaan kepada Wajib Pajak, yang dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:

a. Surat Pemberitahuan (SPT) menunjukkan kelebihan pembayaran pajak dan/atau rugi;

b. Surat Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan atau disampaikan tidak tepat waktu yang telah ditetapkan;

c. Surat Pemberitahuan (SPT) memenuhi kriteria seleksi yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak;

d. Ada indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban Surat Pemberitahuan (SPT) tidak terpenuhi.

2) Dalam rangka melaksanakan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan, Pemeriksaan dilakukan dalam rangka :

a. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau penghapusan NPWP;

36

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, Pasal 1 angka 1.

(20)

b. Pemberian atau pencabutan Nomor Pengukuha n Pengusaha Kena Pajak (NPPKP);

c. Penentuan besarnya jumlah angsuran pajak dalam suatu Masa Pajak bagi Wajib Pajak yang baru;

d. Wajib Pajak mengajukan keberatan atau banding;

e. Pengumpulan bahan atau data guna penyusunan Norma Penghitungan; f. Pencocokan data dan/atau alat keterangan;

g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah tertentu.37

Fungsi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak bukan untuk mencari kesalahan Wajib Pajak, tetapi untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.38

2. Pengertian Pemeriksaan Pajak dan Pengertian-pengertian Sehubungan

dengan Pemeriksaan Pajak.

Beberapa pengertian berikut merupakan pengertian-pengertian yang berhubungan dengan pemeriksaan Pajak yang perlu dikutip dalam rangka untuk mengerti tentang pemeriksaan dan penyidikan Pajak ini :39

a. Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pengertian Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengelola data dan

37

John Hutagaol, dkk, Perpajakan, (Jakarta: Stie Perbanas, 1998), hal. 32. 38

Pardiat, Pemeriksaan Pajak Edisi Kedua, (Jakarta: PT. Mitra Wacana Media, 2008), hal. 1. 39

Hanantha Bwoga, dkk, Pemeriksaan Pajak di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hal 4-6.

(21)

atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;

b. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menutrut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong Pajak tertentu;

c. Pemeriksa Pajak adalah pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan Pajak; d. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan

pengisian surat pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penelitian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya;

e. Pembahasan akhir atau closing conference yaitu pembahasan yang dilakukan antara pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak atas temuan selama pemeriksaan dan hasil bahasan dari temuan tersebut, baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui, dituangkan dalam berita acara hasil pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak;

f. Kertas kerja pemeriksaan adalah catatan secara rinci dan jelas yang diselenggarakan oleh pemeriksa Pajak mengenai prosedur pemeriksaan yang ditempuh, pengujian yang dilakukan, bukti, keterangan yang dikumpulkan, dan kesimpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan;

g. Bukti permulaan merupakan keadaan dan/atau bukti-bukti, baik berupa keterangan, tulisan, perbuatan atau benda-benda yang dapat memberikan petunjuk bahwa suatu tindak pidana yang sedang terjadi atau telah terjadi, dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat menimbulkan kerugian kepada negara;

(22)

h. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari, serta mengumpulkan bukti, dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

3. Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak.

Di dalam melakukan pemeriksaan Pajak, Pemeriksa Pajak harus berdasarkan ketentuang Undang-undang Perpajakan yang berlaku, yang terdiri dari ketentuan formal dan ketentuan material; ketentuan formal pemeriksaan berdasarkan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), sedangkan ketentuan materilnya berdasarkan: 40

a. Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang mengalami perubahan : 1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983.

2) Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994. 3) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000. 4) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007. b. Pajak Penghasilan, dengan rincian perubahan :

1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983. 2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991. 3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994. 5) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000. 6) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008.

40

Pardiat, Pemeriksaan Pajak Edisi Kedua, (Jakarta: PT. Mitra Wacana Media, 2008), hal. 2-3.

(23)

c. Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dengan rincian perubahan:

1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983. 2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994. 3) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.

Di dalam melakukan pemeriksaan Pajak, Pemeriksa Pajak harus memenuhi ketentuan Undang-undang perpajakan dan peraturan pelaksanaannya, seperti:41

a. Peraturan Pemerintah;

b. Peraturan Menteri Keuangan / Keputusan Menteri Keuangan;

c. Peraturan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atau Keputusan Direktorat Jenderal Pajak (DJP);

d. Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak (DJP);

e. Peraturan atau Keputusan dari Instansi lainnya, misalnya dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

f. Dan lain-lain.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, dinyatakan bahwa terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 2001 sampai dengan Tahun Pajak 2008 yang belum diselesaikan, diberlakukan Undang-undang No. 16 Tahun 2000 dan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007, Pasal 46 ayat (1), dinyatakan bahwa terhadap Surat Perintah Pemeriksaan yang diterbitkan sebelum tanggal 01 Januari 2008 dan belum selesai sampai dengan tanggal 01 Januari 2008 tetap dilakukan pemeriksaan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 545/KMK.04/2000 dan perubahannya Nomor 123/PMK.03/2006.

41

Ibid, hal. 2-3.

(24)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2007 mengenai Ketentuan Peralihan Pasal 36 ayat (2), tata cara pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan berdasarkan Undang-undang No. 28 Tahun 2007, dalam hal: 42

a. Penyelesaian permohonan penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), untuk permohonan yang diterima secara lengkap setelah tanggal 31 Desember 2007;

b. Penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak yang seharusnya tidak terutang melalui penelitian, untuk permohonan yang diterima secara lengkap setelah tanggal 31 Desember 2007;

c. Pembetulan terhadap Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga untuk penerbitan setelah tanggal 31 Desember 2007;

d. Batas waktu bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan, untuk permohonan yang diterima secara lengkap setelah tanggal 31 Desember 2007;

e. Permohonan pembatalan pemeriksaan, untuk pemeriksaan yang dimuat setelah tanggal 31 Desember 2007;

f. Proses penyelesaian keberatan, untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007;

g. Pengajuan gugatan terhadap penerbitan SKP berdsarkan pemeriksaan yang dimulai setelah tanggal 31 Desember 2007 yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

h. Pengajuan gugatan terhadap penerbitan Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam

42

Ibid, hal. 4.

(25)

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, untuk pengajuan keberatan yang diterima setelah tanggal 31 Desember 2007.

Berdasarkan Pasal 46 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tidak berubah atau tidak ditulis pada Undang-undang Nomor 28 tahun 2007, dinyatakan bahwa dengan berlakunya perubahan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), semua peraturan pelaksanaan di bidang perpajakan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang baru.

Referensi

Dokumen terkait

28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1 angka (1), Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang

Menurut Undang-Undang Nomor 28 tentang Ketentuan Umum Tata Cara Perpajakan Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan

Menurut Undang-undang No 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) pasal 1 ayat (1) :“Pajak adalah kontribusi wajib pajak kepada negara yang

Menurut Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007 Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau

Menurut Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 1 ayat 1, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang

Namun pada akhirnya pengertian pajak menurut undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) adalah kontribusi wajib

Pengertian pajak Berdasarkan UU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) NOMOR 28 TAHUN 2007 Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa Pajak adalah kontribusi wajib

Dalam undang-undang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (KUP) yang dimaksud dengan pajak adalah kontribusi wajib negara yang terutang oleh pribadi atau badan