• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI BIOGAS DARI PALM OIL MILL EFFLUENT (POME) DENGAN PENAMBAHAN KOTORAN SAPI POTONG SEBAGAI AKTIVATOR SKRIPSI RESTIYANA AGUSTINE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKSI BIOGAS DARI PALM OIL MILL EFFLUENT (POME) DENGAN PENAMBAHAN KOTORAN SAPI POTONG SEBAGAI AKTIVATOR SKRIPSI RESTIYANA AGUSTINE"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI BIOGAS DARI PALM OIL MILL EFFLUENT

(POME) DENGAN PENAMBAHAN KOTORAN

SAPI POTONG SEBAGAI AKTIVATOR

SKRIPSI

RESTIYANA AGUSTINE

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

RINGKASAN

Restiyana Agustine. D14070211. 2011. Produksi Biogas dari Palm Oil Mill Effluent (POME) dengan Penambahan Kotoran Sapi Potong sebagai Aktivator. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Salundik, M.Si

Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA

Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi Potong merupakan sebuah usaha pertanian yang menggabungkan sektor perkebunan kelapa sawit dan peternakan sapi potong. Integrasi ini telah lama diterapkan di Indonesia, khususnya di daerah penghasil kelapa sawit seperti Sumatera dan Kalimantan. Melalui sistem integrasi ini, sapi potong dipelihara secara ekstensif di bawah naungan pepohonan kelapa sawit. Pakan bagi sapi potong didapat dari limbah padat kelapa sawit yang berupa daun, pelepah, dan bungkil sawit. Hal inilah yang mendukung terlaksananya integrasi. Selain pemanfaatan limbah padat kelapa sawit sebagai bahan pakan, pengolahan limbah pada kedua sektor pertanian ini juga dapat dilakukan untuk memperkuat sistem integrasi yang telah ada. Salah satu sistem pengolahan limbah yang dapat diterapkan pada integrasi ini adalah biogas. Kelapa sawit menghasilkan limbah cair atau Palm Oil Mill Effluent (POME) sebagai limbah akhir industri pengolahannya, sedangkan sapi potong menghasilkan feses. Kedua limbah tersebut merupakan bahan organik yang berpotensi menjadi bahan baku pembuatan biogas.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui produksi biogas yang terbuat dari limbah cair kelapa sawit dengan penambahan kotoran sapi potong sebagai aktivator. Penggunaan kotoran sapi potong ini dilakukan karena POME tidak memiliki cukup mikroorganisme yang mampu merombak bahan organik menjadi metana (CH4).

Bahan baku biogas pada penelitian ini yang terdiri atas campuran POME dan aktivator dari kotoran sapi potong dengan perbandingan 90%:10% (P90S10),

80%:20% (P80S20), dan 70%:30% (P70S30). Aktivator dibuat dari kotoran sapi potong

sebanyak 80% yang dicampur dengan 20% lumpur biogas dari instalasi lain. Penelitian berlangsung selama 40 hari, dimana dilakukan pengukuran suhu, pH, dan produksi gas setiap hari, sedangkan pengukuran rasio C/N dilakukan pada hari ke-1 dan Total Volatile Solids (TVS) pada hari ke-1 dan ke-40.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan P90S10 menghasilkan biogas

dengan volume total terbesar yaitu 3,99 liter karena memiliki rasio C/N dan pH yang optimal, diikuti dengan P70S30 dengan volume 1,77 liter, dan P80S20, dengan volume

1,08 liter dengan rasio C/N paling tinggi. Peningkatan TVS terjadi pada seluruh perlakuan. Perlakuan P90S10, P80S20, dan P70S30 masing-masing mengalami

peningkatan TVS sebesar 51,95%, 18,21%, dan 43,18%.

Kata kunci: Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi Potong, biogas, POME, aktivator, kotoran sapi potong.

(3)

ABSTRACT

Biogas Production from Palm Oil Mill Effluent (POME) with Addition of Beef Feces as Activator

Agustine, R., Salundik, A. Suryani

Palm Estate-Beef Cattle Integrated System is a combination which consist of palm plantation and beef cattle farm. In this system, the palm solid waste are used as a feed for beef cattle. Beside that, liquid waste processing could be applied to support this system, for example in biogas production. In this research, biogas preparation was done by mixing Palm Oil Mill Effluent (POME) and beef feces as activator, which were made at different ratios of 90%:10% (P90S10), 80%:20% (P80S10), and

70%:30% (P70S30). Observation was done every day for 40 days. The variables

observed consist of temperature, pH, C/N ratio, Total Volatile Solids (TVS), and biogas production. The data were analyzed using discriptive analysis. The result showed that P90S10, P80S20, and P70S30 had C/N ratio 22,26; 30,34; dan 29,66. The

greater increased of TVS value was belonged to P90S10 followed by P70S30 and P80S20

(51,95%; 43,18%; and 18,21% respectively). P90S10 produced the highest biogas,

followed by P70S30 and P80S20 (3,99; 1,08; dan 1,77 litre respectively).

Keywords : Palm Estate-Beef Cattle Integrated System, biogas, POME, active sludge, beef feces.

(4)

PRODUKSI BIOGAS DARI PALM OIL MILL EFFLUENT

(POME) DENGAN PENAMBAHAN KOTORAN

SAPI POTONG SEBAGAI AKTIVATOR

RESTIYANA AGUSTINE D14070211

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(5)

Judul : Produksi Biogas dari Palm Oil Mill Effluent (POME) dengan Penambahan Kotoran Sapi Potong sebagai Aktivator

Nama : Restiyana Agustine NIM : D14070211

Menyetujui,

Mengetahui, Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.) NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian : 18 Juli 2011 Tanggal Lulus: Pembimbing Utama,

(Ir. Salundik, M.Si.) NIP. 19640406 198903 1 003

Pembimbing Anggota,

(Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA.) NIP. 19581026 198303 2 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 09 Agustus 1989 di Surakarta, Jawa Tengah. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara yang lahir dari pasangan Bapak Setiyono dan Ibu Sri Retnaningsih.

Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-Kanak Sarinah Surakarta pada tahun 1993 dan diselesaikan pada tahun 1995. Pendidikan dasar di SD Negeri 97 Purwotomo ditempuh Penulis pada tahun 1995 dan selesai pada tahun 2001. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 3 Surakarta pada tahun 2001 hingga tahun 2004. Pendidikan menengah atas ditempuh Penulis di SMA Negeri 1 Surakarta pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.

Penulis diterima sebagai mahasiswi Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswi, Penulis aktif dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan sebagai anggota Divisi Sosial Lingkungan dan Kemasyarakatan periode 2008-2009. Penulis juga aktif sebagai anggota Divisi Peduli Pangan Peternakan (P3) di Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER) periode 2009-2010 serta sebagai Reporter di Majalah EMULSI IPB periode 2008-2009 dan pada periode 2009-2010 sebagai Redaktur Pelaksana. Penulis tergabung sebagai anggota dalam Paguyuban Mahasiswa Solo IPB (Ayumas IPB). Penulis juga berkesempatan mendapatkan pendanaan dari Program Mahasiswa Wirausaha IPB (PMW IPB 2001) dengan judul “Usaha Penggemukan Domba Ramah Lingkungan”, PKM-K 2010 dengan judul “Antecedent, Event Organizer Perdana Penggagas Pelatihan Usaha Peternakan”, dan PKM-P 2011 dengan judul penelitian “Analisis Produksi Gas Bio Sebagai Bahan Bakar Alternatif yang Terbuat dari Campuran Limbah Kelapa Sawit (Elaeis guineensis) dan Feses Sapi Potong”. Pada tahun ajaran 2010/2011 Penulis terdaftar sebagai asisten praktikum pada mata kuliah Hasil Ikutan Ternak. Selama tahun 2009-2011, Penulis mendapatkan beasiswa pendidikan dari Pertamina Foundation.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian dan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat sebagai suri tauladan hingga akhir zaman. Skripsi berjudul “Produksi Biogas dari Palm Oil Mill Effluent (POME) dengan Penambahan Kotoran Sapi Potong sebagai Aktivator” ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi Potong merupakan konsep pertanian terpadu yang menggabungkan dua sub sektor pertanian, yaitu perkebunan kelapa sawit dan peternakan sapi potong. Integrasi ini terjadi karena limbah padat kelapa sawit yang berupa daun, pelepah, dan bungkil sawit yang dimanfaatkan sebagai pakan bagi sapi potong. Selain itu, masih terdapat aspek lain yang digunakan untuk memperkuat sistem integrasi yang ada, yaitu dengan mengolah kedua limbah menjadi biogas. Penelitian yang memanfaatkan limbah cair kelapa sawit dan kotoran sapi potong sebagai bahan baku pembuatan biogas ini bertujuan untuk mengetahui produksi biogas pada tiap komposisi. Terdapat tiga komposisi biogas pada penelitian ini yang terdiri atas campuran POME dan aktivator dari kotoran sapi potong dengan perbandingan 90%:10%, 80%:20%, dan 70%:30%.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun, Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah khasanah keilmuan bagi pembaca. Amin.

Bogor, Agustus 2011

(8)

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... ii ABSTRACT ... iii LEMBAR PERNYATAAN ... iv LEMBAR PENGESAHAN ... v RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

Pengolahan Minyak Kelapa Sawit ... 3

Limbah Pabrik Kelapa Sawit ... 4

Kotoran Sapi ... 7

Biogas ... 8

Suhu ... 12

Nilai pH ... 13

Total Volatile Solids (TVS) ... 14

Rasio C/N ... 15

METODE PENELITIAN ... 16

Lokasi danWaktu ... 16

Materi ... 16

Prosedur ... 16

Persiapan Bahan Baku ... 16

Penelitian Utama ... 17

Analisis Data ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas ... 24

Analisis Bahan Masukan Biogas ... 24

Ketercapaian Suhu di Dalam Digester ... 26

Nilai pH ... 27

(9)

Produksi Biogas ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

Kesimpulan ... 37

Saran ... 37

UCAPAN TERIMA KASIH ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Karakteristik Palm Oil Mill Effluent (POME) Tanpa Perlakuan ... 5

2. Komposisi Biogas ... 9

3. Bahan Kimia yang Biasa Digunakan sebagai Penyangga ... 13

4. Jumlah Komposisi Bahan Masukan Biogas ... 17

5. Hasil Analisis Bahan Baku POME ... 23

6. Hasil Analisis Campuran antara POME dan Aktivator ... 24

7. Hasil Analisis Kandungan TVS pada Hari Ke-40 ... 28

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Diagram Proses Produksi Minyak Kelapa Sawit ... 3

2. Reaksi Pembentukan Biogas ... 9

3. Reaksi Pembentukan Metana (CH4) ... 11

4. Skema Proses Perombakan Secara Anaerob ... 11

5. Penurunan Kandungan VS pada Lumpur Digester ... 15

6. Digester (Tampak Depan) ... 17

7. Digester (Tampak Atas) ... 17

8. Diagram Alir Pembuatan Aktivator ... 17

9. Campuran Bahan Masukan ... 18

10. Proses Pengisian Bahan Masukan ... 18

11. Diagram Alir Pembuatan Biogas ... 18

12. Grafik Suhu di dalam Digester Selama Penelitian ... 27

13. Grafik Nilai pH pada P90S10 ... 27

14. Grafik Nilai pH pada P80S20 ... 28

15. Grafik Nilai pH pada P70S30 ... 28

16. Diagram Batang Peningkatan Kandungan TVS ... 30

17. Proses Pengukuran Produksi Biogas ... 31

18. Uji Bakar Biogas ... 31

19. Grafik Hubungan antara Waktu Perombakan Bahan Organik dan Produksi Biogas pada P90S10 ... 31

20. Grafik Hubungan antara Waktu Perombakan Bahan Organik dan Produksi Biogas pada P80S20 ... 33

21. Grafik Hubungan antara Waktu Perombakan Bahan Organik dan Produksi Biogas pada P70S30 ... 34

       

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Keragaman pada Kandungan TVS Akhir ... 42 2. Analisis Regresi pada Hubungan antara Waktu

Perombakan Bahan Organik (Hari) dan Produksi Biogas

pada Perlakuan P90S10 ... 43

3. Analisis Regresi pada Hubungan antara Waktu Perombakan Bahan Organik (Hari) dan Produksi Biogas

pada Perlakuan P80S20 ... 43

4. Analisis Regresi pada Hubungan antara Waktu Perombakan Bahan Organik (Hari) dan Produksi Biogas

pada Perlakuan P70S30 ... 44

5. Hasil Uji Bakar pada Setiap Perlakuan ... 45

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Pembangunan masyarakat pedesaan di Indonesia dilakukan sebagai bentuk pemerataan tingkat perekonomian masyarakat. Salah satu solusi untuk memajukan pembangunan yang dapat dilaksanakan di pedesaan yaitu melalui sektor peternakan, khususnya peternakan sapi potong. Solusi ini dinilai tepat karena pedesaan memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang potensial. Salah satu langkah yang ditempuh oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan efisiensi dalam pemeliharaan sapi potong adalah dengan melakukan integrasi dengan sektor perkebunan, seperti perkebunan kelapa sawit. Sistem pemeliharaan seperti ini dikenal dengan Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit dan banyak ditemukan di daerah penghasil kelapa sawit, seperti di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Perkebunan kelapa sawit dipilih karena keberadaannya di Indonesia cukup banyak. Kelapa sawit Indonesia merupakan salah satu komoditi yang mengalami pertumbuhan pesat. Luas perkebunan kelapa sawit pada tahun 2005 sekitar 5.453.817 ha, dengan minyak yang dihasilkan sekitar 11.861.615 ton, dan diperkirakan luas perkebunan kelapa sawit akan meningkat pada tahun 2009 seluas 7.125.331 ha (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2008). Hal ini terjadi karena perkembangan energi terbarukan di Indonesia yang menyebabkan minyak kelapa sawit mentah (CPO) menjadi komoditi ekspor. Pertumbuhan produksi CPO Indonesia paling tinggi di antara negara produsen CPO lainnya pada tahun 1995-2004 atau tumbuh 2,7 kali dari 4,2 juta ton pada 1995 menjadi 11,4 juta ton pada 2004, sehingga kontribusi CPO dunia naik menjadi 38,06 %.

Kelapa sawit tidak hanya menghasilkan minyak sebagai komoditi utama tetapi juga hasil samping (by product) berupa daun sawit, pelepah sawit, lumpur sawit, dan bungkil sawit yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dan protein bagi sapi potong. Melihat ketersediaan kelapa sawit dan hasil sampingnya yang melimpah di Indonesia maka tidak salah apabila pemerintah melakukan integrasi sehingga terjadi keterpaduan antara sektor peternakan sapi potong dan perkebunan kelapa sawit.

Selain penggunaan limbah padat kelapa sawit sebagai pakan, terdapat aspek lain yang dapat memperkuat sistem integrasi yang ada, yaitu dengan melakukan pengolahan limbah. Industri kelapa sawit menghasilkan limbah berbentuk cair atau

(14)

biasa disebut palm oil mill effluent (POME), sedangkan peternakan sapi potong menghasilkan limbah berupa feses. Kedua limbah ini berpotensi untuk dijadikan bahan baku pembuatan energi alternatif, salah satunya adalah biogas. Pembuatan biogas ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif bagi industri pengolahan kelapa sawit, sedangkan hasil sampingnya dimanfaatkan sebagai pupuk cair organik.

Potensi produksi biogas dari seluruh limbah cair tersebut kurang lebih sebesar 1075 juta m3. Nilai kalor (heating value) biogas rata-rata berkisar antara 4700-6000 kkal/m3 (20-24 MJ/m3), maka dengan nilai kalor tersebut, 1075 juta m3 biogas akan setara dengan 516.000 ton gas LPG atau 559 juta liter solar atau 66,5 juta liter minyak tanah atau 5052,5 MWh listrik (Mahajoeno, 2008).

Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi tergantung pada keadaan tingkat produksinya, jenis dan jumlah pakannya, serta individu ternak sendiri (Abdulgani, 1988). Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi, antara lain nitrogen (0,29%), P2O5 (0,17%), dan K2O (0,35%) (Hardjowigeno, 2003). Kotoran

sapi yang tinggi kandungan hara dan energinya berpotensi untuk dijadikan bahan baku penghasil biogas (Sucipto, 2009). Selain itu, kotoran sapi mengandung rasio C/N yang rendah sehingga mampu menurunkan rasio C/N yang tinggi pada POME.

Melihat kondisi ini, maka dilakukan penelitian tentang produksi biogas yang berbahan dasar palm oil mill effluent (POME) dengan penambahan kotoran sapi potong sebagai aktivator. Penelitian ini dilakukan dengan skala laboratorium menggunakan digester. Diharapkan penelitian ini mampu mewakili keadaan yang sebenarnya sehingga dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menghasilkan energi alternatif yang ramah lingkungan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis metode pembuatan biogas dari palm oil mill effluent (POME) dengan penambahan kotoran sapi potong sebagai aktivator dan mengetahui produksi biogas yang dihasilkannya.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Pengolahan Minyak Kelapa Sawit

Buah kelapa sawit terdiri atas sabut, tempurung, dan inti atau kernel. Pengolahan tandan buah segar sampai diperoleh minyak sawit kasar (CPO = crude palm oil) dan inti sawit dilaksanakan melalui proses yang cukup panjang. Diagram alir proses produksi minyak kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Proses Produksi Minyak Kelapa Sawit (Lang, 2007)

Tahapan produksi minyak kelapa sawit secara berurutan terdiri atas pengangkutan buah ke pabrik, perebusan buah (sterilisasi), pelepasan buah dari

Shell 

Cracked mixture 

Oil

Serat  Fresh Fruit Bunch (FFB)

Loading ramp Nut/Fibre Separator Nut Dryer Winnowing Hydrocyclone Kernel Dryer Steriliser condensate Stripper stalks Digester Press

Press liquor Press cake

Screen Settling tank Sludge  Decander Centrifuge Sludge  Centrifuge Vacuum Dryer Oil Kernel

(16)

tandan (striping), pelumatan buah (digesting), pengeluaran minyak (pengepresan), penyaringan, pemurnian dan penjernihan minyak (klarifikasi), dan pengolahan biji (Murdiati, 1992; Winarno 1999). Minyak kelapa sawit mentah diturunkan dari mesocarpus tandan buah segar (TBS). Pemanasan (steam-heat) TBS dilakukan menggunakan sterilizers horizontal pada tekanan 3 kg/cm2 dan suhu 140 oC selama

75-90 menit (Lang, 2007). Setelah dilakukan sterilisasi, TBS dimasukkan ke dalam rotary drum-stripper (threser) dimana TBS dipisahkan dari spikelet (tandan kosong). Tandan buah segar kemudian dilumatkan dalam digester di bawah kondisi pemanasan uap dengan kisaran suhu 90 oC. Baling-baling kembar penekan (twin screw presses) biasanya digunakan untuk mengeluarkan minyak dari buah yang telah dilumatkan di bawah tekanan tinggi. Proses ekstraksi minyak yang tidak lengkap dapat meningkatkan effluent chemical oxygen demand (COD). Minyak kelapa sawit mentah secara langsung dibawa ke tangki pemurni (clarification tank) dan suhu dipertahankan sekitar 90 oC untuk memperbesar pemisahan minyak. Minyak yang

sudah dimurnikan selanjutkan dilewatkan melalui pemusing (centrifuge) berkecepatan tinggi dan vakum pengering (vacuum dryer) sebelum penyimpanan. Minyak berserat dan biji dari pengepresan (press cake) dibawa ke pemisah biji dan serat dengan arus udara kuat disebabkan oleh kipas penghisap (suction fan). Kemudian, biji dibawa ke nut cracker dan selanjutnya ke hydrocyclone untuk memisahkan cangkang dari kernel. Kernel tersebut dikeringkan sampai kelembabannya di bawah 7% untuk mencegah pertumbuhan kapang sehingga dapat memperpanjang waktu simpan (Lang, 2007).

Limbah Pabrik Kelapa Sawit

Limbah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses alam dan tidak atau belum mempunyai nilai ekonomi. Aktivitas pengolahan pada pabrik kelapa sawit menghasilkan dua jenis limbah, antara lain limbah padat dan limbah cair. Limbah padat, antara lain tandan kosong kelapa sawit, cangkang, dan serat yang sebagian besar telah dimanfaatkan sebagai sumber energi dengan membakarnya secara langsung, serta ampas dari tandan kosong yang belum termanfaatkan dengan baik (Mahajoeno, 2008).

Limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan limbah terbesar yang dihasilkan dari proses produksi minyak kelapa sawit (Apriani, 2009). Rata-rata pabrik minyak

(17)

kelapa sawit mengolah setiap ton TBS menjadi 200-250 kg minyak mentah, 230-250 kg tandan kosong kelapa sawit (TKKS), 130-150 kg serat, 60-65 kg cangkang, 55-60 kg kernel, dan air limbah 0,7 m3 (Yuliasari et al. 2001).

Palm Oil Mill Effluent (POME)

Palm oil mill effluent atau limbah cair pabrik kelapa sawit merupakan salah satu limbah agroindustri yang paling sering menyebabkan polusi. Limbah ini memiliki konsentrasi yang tinggi dan berwarna coklat pekat. Karakteristik POME dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Palm Oil Mill Effluent (POME) Tanpa Perlakuan

Parameter Konsentrasi* pH 4,7 Temperatur 80-90 BOD 3 hari, 30 oC 25.000 COD 50.000 Total Solids 40.500 Suspended Solids 18.000

Total Volatile Solids 34.000

Amoniacal-Nitrogen 35 Total Nitrogen 750 Phosphorus 18 Potassium 2.270 Magnesium 615 Kalsium 439 Boron 7,6 Iron 46,5 Manganese 2,0 Copper 0,89 Zinc 2,3

*Seluruh parameter dalam mg/l kecuali pH dan temperatur (oC)

Sumber : Lang, 2007

Pengolahan tandan buah segar menghasilkan dua bentuk limbah cair, yaitu air kondensat dan effluent. Air kondensat biasa digunakan sebagai umpan boiler untuk

(18)

mengoperasikan mesin pengolahan kelapa sawit. Effluent yang banyak mengandung unsur hara dimanfaatkan sebagai bahan pengganti pupuk anorganik. Limbah cair pabrik kelapa sawit dihasilkan dari tiga tahap proses, yaitu :

1. Proses sterilisasi (pengukusan) untuk mempermudah perontokan buah dari tandannya, mengurangi kadar air, dan untuk inaktivasi enzim lipase dan oksidase.

2. Proses ekstraksi minyak untuk memisahkan minyak daging buah dari bagian lainnya.

3. Proses pemurnian (klarifikasi) untuk membersihkan minyak dari kotoran lain (Departemen Pertanian, 1998).

Sedangkan, teknik pengolahan limbah cair yang biasanya diterapkan di pabrik kelapa sawit adalah :

1. Kolam Pengumpul (fatpit)

Kolam ini berguna untuk menampung cairan-cairan yang masih mengandung minyak yang berasal dari air kondensat dan stasiun klarifikasi.

2. Kemudian dimasukkan ke unit deoiling ponds untuk dikutip minyaknya dan diturunkan suhunya dari 70-80 oC menjadi 40-45 oC melalui menara atau bak pendingin.

3. Kolam Pengasaman

Proses pada kolam ini menggunakan mikroba untuk menetralisir keasaman cairan limbah. Pengasaman bertujuan agar limbah cair yang mengandung bahan organik lebih mudah mengalami biodegradasi dalam suasana anaerobik. Limbah cair dalam kolam ini mengalami asidifikasi yaitu terjadinya kenaikan konsentrasi asam-asam yang mudah menguap. Waktu penahanan hidrolisis limbah cair dalam kolam pengasaman ini selama lima hari. Kemudian sebelum diolah di unit pengolahan limbah kolam anaerobik, limbah dinetralkan terlebih dahulu dengan menambahkan kapur tohor hingga mencapai pH antara 7,0-7,5.

4. Kolam Anaerobik Primer

Pada proses ini memanfaatkan mikroba dalam suasana anaerobik atau aerobik untuk merombak BOD dan biodegradasi bahan organik menjadi senyawa asam dan gas. Waktu penahanan hidrolisis dalam kolam ini mencapai 40 hari.

(19)

5. Kolam Anaerobik Sekunder

Waktu penahanan hidrolisis limbah dalam kolam ini mencapai 20 hari. Kebutuhan lahan untuk kolam anaerobik primer dan sekunder mencapai 7 hektar untuk pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 30 ton tandan buah segar/jam. 6. Kolam Pengendapan

Kolam pengendapan ini bertujuan untuk mengendapkan lumpur-lumpur yang terdapat dalam limbah cair. Waktu penahanan hidrolisis limbah dalam kolam ini berkisar dua hari. Kolam ini biasanya merupakan pengolahan terakhir sebelum limbah dialirkan ke badan air dan diharapkan pada kolam ini limbah sudah memenuhi standar baku mutu air sungai (Departemen Pertanian, 2006).

Pencemaran lingkungan akibat limbah cair dapat diatasi dengan cara mengendalikan limbah cair tersebut secara biologis. Pengendalian secara biologis tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan bakteri anaerob (Tobing et al., 1992). Limbah cair industri pengolahan kelapa sawit memiliki potensi sebagai pencemar lingkungan karena mengandung parameter bermakna yang cukup tinggi (Apriani, 2009). Golongan parameter yang dapat digunakan sebagai parameter penilaian kualitas air, antara lain : (1) biological oxygen demand (BOD) yang merupakan kadar senyawa organik yang dapat dibiodegradasi dalam limbah cair, (2) chemical oxygen demand (COD) yang merupakan ukuran untuk senyawa organik yang dapat dibiodegradasi atau tidak, (3) total organik carbon (TOC) dan total oxygen demand (TOD) yang merupakan ukuran untuk kandungan senyawa organik keseluruhan, (4) padatan tersuspensi dan teruapkan (suspended dan volatile solids), (5) kandungan padatan keseluruhan, (6) pH alkalinitas dan keasaman, (7) kandungan nitrogen dan fosfor, dan (8) kandungan logam berat.

Hasil penelitian komposisi limbah menyebutkan bahwa 76% BOD berasal dari padatan tersuspensi dan hanya 22,4% dari padatan terlarut. Maka banyak tidaknya padatan yang terdapat dalam limbah terutama padatan tersuspensi mempengaruhi tinggi rendahnya BOD (Apriani, 2009).

Kotoran Sapi

Kotoran ternak merupakan bahan baku potensial dalam pembuatan biogas karena mengandung pati dan lignoselulosa (Deublein et al., 200). Biasanya, kotoran

(20)

ternak dimanfaatkan sebagai pupuk dan sisanya digunakan untuk memproduksi gas metana menggunakan proses anaerob. Salah satu ternak yang kotorannya biasa dimanfaatkan sebagai pupuk dan bahan baku biogas adalah sapi. Kotoran sapi adalah biomassa yang mengandung karbohidrat, protein, dan lemak. Drapcho et al. (2008) berpendapat bahwa biomassa yang mengandung karbohidrat tinggi akan menghasilkan gas metana yang rendah dan CO2 yang tinggi, jika dibandingkan

dengan biomassa yang mengandung protein dan lemak dalam jumlah yang tinggi. Secara teori, produksi metana yang dihasilkan dari karbohidrat, protein, dan lemak berturut-turut adalah 0,37; 1,0; 0,58 m3 CH4 /kg bahan kering organik. Kotoran sapi

mengandung ketiga unsur bahan organik tersebut sehingga dinilai lebih efektif untuk dikonversi menjadi gas metana (Drapcho et al., 2008).

Kotoran sapi adalah limbah dari usaha peternakan sapi yang bersifat padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urin dan gas, seperti metana dan amoniak. Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi tergantung pada keadaan tingkat produksinya, jenis, jumlah konsumsi pakan, serta individu ternak sendiri (Abdulgani, 1988). Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi, terdiri atas nitrogen (0,29%), P2O5 (0,17%), dan K2O (0,35%) (Hardjowigeno,

2003). Kotoran sapi yang tinggi kandungan hara dan energinya berpotensi untuk dijadikan bahan baku penghasil biogas (Sucipto, 2009).

Biogas

Biogas merupakan salah satu produk hasil biokonversi dari bahan organik. Biokonversi adalah sebuah proses yang mampu mengubah bahan organik menjadi produk lain yang berguna dan memiliki nilai tambah dengan memanfaatkan proses biologis dari mikroorganisme dan enzim (Hardjo et al., 1989). Sedangkan, biogas menurut Sahidu (1983) adalah bahan bakar gas yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen. Bahan bakar ini diproses dalam kondisi anaerob sehingga menghasilkan metana (CH4) dengan kadar

dominan dan karbondioksida (CO2).

Komposisi biogas yang dihasilkan terdiri atas metana (50-70%), karbondioksida (25-45%), hidrogen, nitrogen, dan hidrogen sulfida dalam jumlah yang sedikit (Price dan Cheremisinoff, 1981). Polprasert (1980), juga mengemukakan bahwa komposisi biogas terdiri atas metana (55-65%) dan karbondioksida (45-35%) yang merupakan

(21)

komponen gas dominan, serta nitrogen 3%), hidrogen 1%), hidrogen sulfida (0-1%), dan unsur NPK serta mineral lainnya yang terakumulasi dalam sludge. Sedangkan, komposisi gas penyusun biogas yang terdiri atas campuran kotoran ternak dan sisa pertanian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Biogas

No. Jenis Gas

Komposisi Biogas (%)

Kotoran Sapi Campuran Kotoran Ternak dan Sisa Pertanian

1. Metana (CH4) 65,7 54-70 2. Karbon dioksida 27,0 45-27 3. Nitrogen 2,3 0,5-3,0 4. Karbon monoksida 0,0 0,1 5. Oksigen 0,1 6,0 6. Propana (C3H8) 0,7 -

7. Hidrogen sulfida - Sedikit

Sumber : Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2010) Proses Pembentukan Biogas

Fauziah (1998) menyebutkan bahwa proses pembentukan biogas dilakukan secara anaerob. Bakteri merombak bahan organik menjadi biogas dan pupuk organik. Proses pelapukan bahan organik ini dilakukan oleh mikroorganisme dalam proses fermentasi anaerob (Polprasert, 1980). Reaksi pembentukan biogas dapat dilihat pada Gambar 2.

Bahan organik + H2O CH4 + CO2 + H2 + NH3 + H2S + Sludge

anaerob Gambar 2. Reaksi Pembentukan Biogas

Proses pembentukan biogas ini memerlukan instalasi khusus yang disebut digester agar perombakan secara anaerob dapat berlangsung dengan baik. Barnett et al. (1978) menyatakan bahwa terdapat tiga keuntungan dari instalasi penghasil biogas, yaitu : (1) penggunaan bahan bakar lebih efisien, (2) menambah nilai pupuk, dan (3) menyehatkan lingkungan. Selain itu, teknologi biogas memiliki beberapa keuntungan, antara lain : (1) sebagai sumber energi yang aman, (2) stabilisasi limbah,

(22)

(3) meningkatkan unsur hara, dan (4) menginaktifkan bakteri patogen (Polprasert, 1980).

Proses perombakan bahan organik secara anaerob yang terjadi di dalam digester, terdiri atas empat tahapan proses yaitu hidrolisis, fermentasi (asidogenesis), asetogenesis, dan metanogenesis.

(1) Hidrolisis

Tahap hidrolisis merupakan tahapan yang paling awal terjadi pada proses anaerob, dalam tahap ini terjadi pemecahan dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana (monomer). Senyawa kompleks ini, antara lain protein, karbohidrat, dan lemak, dimana dengan bantuan eksoenzim dari bakteri anaerob, senyawa ini akan diubah menjadi monomer (Deublein et al., 2008).

Protein asam amino Selulosa glukosa

Lemak asam lemak rantai panjang

Proses hidrolisis karbohidrat membutuhkan waktu beberapa jam, sedangkan hidrolisis pada protein dan lemak memerlukan waktu beberapa hari.

(2) Fermentasi (Asidogenesis)

Monomer yang dihasilkan dari tahap hidrolisis akan didegradasi pada tahap ini. Fermentasi merupakan tahap yang akan mengubah monomer menjadi asam organik rantai pendek, asam butirat, asam propionat, asam asetat, asam asetic, alkhohol, hidrogen, dan karbon dioksida (Deublein et al., 2008). Selain itu, terjadi pula pertumbuhan dan perkembangan sel bakteri. Pembentukan asam-asam organik tersebut terjadi dengan bantuan bakteri, seperti Pseudomonas, Eschericia, Flavobacterium, dan Alcaligenes (Hambali et al., 2007)

(3) Asetogenesis

Asam organik rantai pendek yang dihasilkan dari tahap fermentasi dan asam lemak yang berasal dari hidrolisis lemak akan difermentasi menjadi asam asetat, H2, dan CO2 oleh bakteri asetogenik (Drapcho et al., 2008). Pada fase ini,

mikroorganisme homoasetogenik akan mengurangi H2 dan CO2 untuk diubah

menjadi asam asetat (Deublein et al., 2008). Enzim lipase

Enzim selulase Enzim protease

(23)

(4) Metanogenesis

Tahap dominasi perkembangan sel mikroorganisme dengan spesies tertentu yang menghasilkan gas metana sebagai komponen utama biogas. Bakteri yang berperan dalam proses ini, antara lain Methanococcus, Methanobacillus, Methanobacterium, dan Methanosarcina. Terbentuknya gas metana terjadi karena adanya reaksi dekarboksilasi asetat dan reduksi CO2, seperti yang terlihat

pada Gambar 3 (Hambali, 2007; dan Deublin et al., 2008). CH3COOH CH4 + CO2 (dekarboksilasi asetat)

4CO2 + H2 CH4 + CO2 (reduksi CO2)

Gambar 3. Reaksi Pembentukan Metana (CH4)

Biogas terbentuk dari perombakan bahan organik kompleks. Bahan ini akan mengalami perombakan secara anaerob melalui empat tahap. Tahapan tersebut dapat dilihat secara lengkap pada Gambar 4.

Gambar 4. Skema Proses Perombakan secara Anaerob (Grady et al., 1999) Asam Asetat

Protein

Bahan Organik Kompleks

Karbohidrat

Asam Amino Gula Sederhana Asam Lemak

Asam Volatil, Alkohol H2 CO2

Lemak

Karbon dioksida (CO2) Metana (CH

4) Hidrolisis Fermentasi (Asidogenesis) Asetogenesis Metanogenesis H2 CO2

(24)

Keuntungan utama yang diperoleh dari fermentasi anaerob bahan organik buangan adalah konservasi. Kurang lebih 99% nitrogen masih terdapat di dalam lumpur (sludge), sedangkan sisanya hilang sebagai gas ammonia selama proses berlangsung. Kelebihan fermentasi anaerob dibandingkan fermentasi aerob kotoran ternak atau bahan buangan yaitu ammonia yang terbentuk mudah menguap sekitar 84,1% (Fauziah, 1998).

Suhu

Suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan keberlangsungan hidup mikroorganisme anaerobik. Suhu tidak terlalu berpengaruh pada terjadinya proses hidrolisis. Hal ini karena bakteri pada proses hidrolisis tidak terlalu peka terhadap perubahan suhu (Gerardi, 2003). Suhu optimal untuk bakteri pembentuk asam yaitu 32-42 oC (mesophilik) dan 48-55 oC (thermophilik), sedangkan bakteri metanogenik kebanyakan hidup pada suhu mesofil dan sebagian kecil lainnya hidup pada suhu thermofil. Selain itu, terdapat beberapa bakteri yang mampu memproduksi metana pada suhu rendah (0,6-1,2 oC). Bakteri metanogenik sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Bakteri metanogenik yang hidup pada suhu thermofil lebih sensitif terhadap perubahan suhu jika dibandingkan dengan bakteri metanogenik mesofil. Oleh karena itu, suhu harus dijaga tidak lebih dari ± 2 oC (Deublein et al., 2008). Penjagaan suhu digester agar tetap konstan ini didukung oleh pernyataan Price dan Cheremisinoff (1981) yang menyebutkan bahwa produksi gas pada proses perombakan secara anaerobik dapat berlangsung pada kisaran suhu 4-60 oC jika suhu konstan dan apabila terjadi fluktuasi suhu maka proses akan terganggu. Selanjutnya Price dan Cheremisinoff (1981) berpendapat bahwa, walaupun digester yang memiliki suhu yang rendah (20-25 oC) membutuhkan waktu retensi dua kali lebih

lama dari digester dengan suhu mesofil, namun produksi gas, kualitas, dan parameter lain dari kestabilan proses dinilai menguntungkan. Selain itu, digester dengan suhu rendah ini dapat dijadikan alternatif pembuatan biogas di daerah beriklim dingin.

Suhu tidak hanya mempengaruhi aktivitas bakteri pembentuk metana, tetapi juga mempengaruhi aktivitas bakteri pembentuk asam volatil. Fluktuasi suhu dapat menguntungkan salah satu kelompok bakteri, namun merugikan bakteri kelompok lain. Contohnya, peningkatan suhu sebesar 10 oC dapat menghentikan produksi metana atau aktivitas bakteri pembentuk metana selama 12 jam, sedangkan pada

(25)

kondisi yang sama terjadi peningkatan asam volatil. Perubahan aktivitas pada bakteri pembentuk asam volatil akan berpengaruh pada jumlah asam organik dan alkhohol yang dihasilkan dari proses fermentasi. Asam organik dan alkhohol ini digunakan sebagai substrat bagi bakteri pembentuk metana, sehingga akan mempengaruhi keseluruhan performa digester (Gerardi, 2003).

Nilai pH

Bakteri pembentuk metana hidup pada pH optimum 6,7-7,5 (Deublein et al., 2008), dan 6,8-7,2 (Gerardi, 2003). Nilai pH pada proses anaerobik akan mengalami penurunan dengan diproduksinya asam volatil dan akan meningkat dengan dikonsumsinya asam volatil oleh bakteri pembentuk metana (Gerardi, 2003). Apabila nilai pH turun hingga di bawah 6,5 maka asam organik mulai terbentuk dengan bantuan bakteri hidrolitik dan tahap fermentasi mulai berhenti. Tetapi pada kenyataannya, nilai pH pada tahap ini berada pada kisaran netral karena adanya sistem penyangga (buffering system). Proses fermentasi yang terlalu kuat akan dihindarkan oleh karbon dioksida, hidrogen karbonat, atau sistem penyangga karbonat. Bahan kimia yang sering digunakan sebagai sistem penyangga dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Bahan Kimia yang Biasa Digunakan sebagai Penyangga

Bahan Kimia Formula Kation Penyangga

Sodium bikarbonat NaHCO3 Na+

Potassium bikarbonat KHCO3 K+

Sodium karbonat Na2CO3 Na+

Potassium karbonat K2CO3 K+

Kalsium karbonat CaCO3 Ca2+

Kalsium hidroksida Ca(OH)2 Ca2+

Anhydrous ammonia (gas) NH3 NH4+

Sodium nitrat NaNO3 Na+

Sumber : Gerardi (2003)

Selama proses fermentasi terjadi, karbon dioksida disusun secara terus-menerus dan dibebaskan ke udara. Penurunan nilai pH membuat karbon dioksida larut pada substrat, sedangkan peningkatan pH membuat karbon dioksida terlarut

(26)

diubah menjadi asam karbonat yang terionisasi, sehingga ion hidrogen dibebaskan (Deublein et al., 2008).

CO2 H2CO3 H+ + HCO3- 2H+ + 2CO32-

Seluruh karbon dioksida berupa molekul bebas pada pH = 4, sedangkan pada pH = 13 seluruh karbon dioksida terlarut dalam bentuk karbonat pada substrat. Nilai tengah pH pada sistem ini adalah 6,5. Hidrogen karbonat memberikan penyangga yang kuat pada konsentrasi 2,5-5 g/l.

Proses fermentasi yang terlalu lemah akan dihindarkan oleh sistem penyangga amonia-amonium. Penurunan nilai pH menyebabkan ion ammonium terbentuk dengan melepaskan ion hidroksil, sedangkan peningkatan nilai pH akan membentuk lebih banyak molekul ammonia bebas. Nilai tengah pH pada sistem ini adalah 10 (Deublein et al., 2008).

NH3 + H2O NH4+ + OH-

NH3 + H+ NH4+

Peningkatan pH paling tinggi akan terjadi pada tahap metanogenesis, dimana bakteri akan tumbuh optimal pada kondisi pH tersebut. Akan tetapi, terdapat satu jenis bakteri pembentuk metana yang dapat hidup pada pH rendah yaitu >6,5, bakteri tersebut adalah Methanosarcina (Deublein et al., 2008).

Total Volatile Solids (TVS)

Total Volatile Solids atau total padatan yang teruapkan merupakan kandungan bahan kering organik yang berpotensi untuk dikonversi menjadi biogas. Jumlah TVS pada bahan baku pembuatan biogas akan mempengaruhi produksi biogas yang dihasilkan. Sebanyak 0,7 m3 metana dihasilkan dari perombakan 1 kg

volatile solids (VS) (Drapcho et al., 2008). Gerardi (2003) menyatakan bahwa, dari 100 kg lumpur digester, sebanyak 70% berupa VS. Semakin banyak bahan organik yang terkandung di dalam substrat,maka semakin tinggi pula VFA yang diproduksi. Volatile fatty acids (VFA) yang terlalu tinggi akan menyebabkan gangguan pada nilai pH. Penurunan nilai pH yang terlalu tinggi dapat menghambat aktivitas bakteri pembentuk metana (Gerardi, 2003). Penurunan kandungan VS pada lumpur digester yang dirombak secara anaerob dapat dilihat pada Gambar 5.

(27)

Gambar 5. Penurunan Kandungan VS pada Lumpur Digester (Gerardi, 2003) Rasio C/N

Populasi mikroba pada proses perombakan bahan organik secara anaerob memerlukan nutrisi untuk tumbuh dan berkembang biak. Nutrisi tersebut berupa (Stafford et al., 1980). Rasio C/N merupakan nilai perbandingan antara karbon dan nitrogen yang terdapat pada substrat. Kisaran rasio C/N yang optimal menurut Deublein et al. (2008) adalah 16:1 – 25:1 dan 20:1 - 30:1 menurut Stafford et al. (1980). Tetapi, hal ini hanya indikasi karena Nitrogen dapat juga terikat pada struktur lignin.

Substrat dengan rasio C/N yang terlalu rendah akan mengakibatkan peningkatan kadar ammonia yang dapat menghambat produksi metana. Sebaliknya, jika rasio C/N terlalu tinggi mengindikasikan terjadinya kekurangan nitrogen pada substrat, dimana hal ini membawa dampak buruk pada pembentukan protein yang diperlukan mikroba untuk tumbuh. Maka, diperlukan keseimbangan rasio C/N agar produksi gas lebih optimal (Deublein et al., 2008).

(28)

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Februari-April 2011. Penelitian diawali dengan pengambilan bahan baku berupa POME di Pabrik Kelapa Sawit Kertajaya PTPN VIII Banten, Jawa Barat, dilanjutkan dengan pengambilan kotoran sapi potong setiap hari selama penelitian di Laboratorium Lapang Kandang A, Fakultas Peternakan, proses produksi biogas di Laboratorium Pengelolaan Limbah Ternak dan Hasil Ikutan Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, dan analisis kimia di Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Materi

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini, antara lain POME yang didapat dari Pabrik Kelapa Sawit Kertajaya PTPN VIII Banten, Jawa Barat, aktivator yang berasal dari sludge biogas dan kotoran sapi potong dengan perbandingan 20%:80%, larutan H2SO4 pekat, selen, NaOH 40%, larutan H3BO3 4%, BCG-MR,

dan HCl 0,01N.

Peralatan yang digunakan meliputi digester, gelas ukur, selang, stopwatch, termometer, gas flowmeter, lakmus, toples plastik, cawan porselen, neraca analitik, tanur, steam-bath, desikator, oven suhu 103-105 oC, stirrer magnet, pipet, labu Kjehdahl, erlemeyer, destilator, labu destilasi, dan pembakar Bunsen.

Prosedur Persiapan Bahan Baku

Prosedur persiapan bahan baku diawali dengan pengambilan POME di Pabrik Kelapa Sawit Kertajaya PTPN VIII Banten, Jawa Barat. POME yang diambil sebanyak 800 liter dan disimpan dalam drum air. Selanjutnya dilakukan serangkaian pengujian untuk mengetahui kondisi awal POME sebagai bahan baku pembuatan biogas. Serangkaian pengujian tersebut, antara lain pengujian pH, Total Volatile Solid (TVS), C organik, N total, dan rasio C/N. Persiapan lain yang dilakukan sebelum penelitian utama berlangsung adalah pembuatan digester. Peralatan dasar pembuatan digester berupa jerigen air kapasitas 20 liter yang dihubungkan dengan pipa seperti terlihat pada Gambar 6 dan 7.

(29)

Gambar 6. Digester (Tampak Depan)

Gambar 7. Digester (Tampak Atas)

Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan dengan melakukan pencampuran antara POME dan kotoran sapi potongdengan perbandingan 90%:10%, 80%:20%, dan 70%:30%.

Kotoran sapi potong terlebih dahulu dicampur dengan limbah cair biogas untuk menghasilkan aktivator. Proses pembuatan aktivator dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Aktivator

Bahan baku masukan biogas didapat dengan mencampurkan POME, aktivator, dan CaCO3 yang digunakan untuk meningkatkan pH, kemudian campuran

dimasukkan ke dalam digester. Jumlah komposisi bahan masukan biogas setiap harinya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Jumlah Komposisi Bahan Masukan Biogas

P90S10 P80S20 P70S30

POME (liter)

Aktivator (liter) POME (liter)

Aktivator (liter) POME (liter)

Aktivator (liter)

Sludge Feses Sludge Feses Sludge Feses

13,5 0,3 1,2 12 0,6 2,4 10,5 0,9 3,6 Limbah cair biogas

(Sludge) 20% Kotoran sapi potong (Feses) 80%

(30)

Bahan yang digunakan sebagai bahan masukan biogas dapat dilihat pada Gambar 9. Bahan-bahan tersebut dimasukkan ke dalam digester setiap hari. Proses pengisian digester setiap hari selama penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 9. Campuran Bahan Masukan

Gambar 10. Proses Pengisian Bahan Masukan

Setelah kedua bahan baku tersebut dihomogenkan, dilakukan analisis awal yang meliputi rasio C/N dan TVS untuk mengetahui potensi campuran untuk dapat dikonversi menjadi biogas. Proses pembuatan biogas secara lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Diagram Alir Pembuatan Biogas Analisis akhir (TVS)

Pengamatan harian (pencatatan suhu, pH, produksi biogas, dan pengisian digester)

Campuran dimasukkan ke dalam digester Campuran media untuk

produksi biogas

CaCO3

Limbah Cair POME + Aktivator dengan perbandingan

90:10, 80:20, 70:30

Analisis awal (TVS dan rasio C/N)

(31)

Pengisian digester dilakukan setiap hari selama 40 hari. Banyaknya masukan yang harus diisikan ke dalam digester dihitung menggunakan perhitungan sebagai berikut :

Volume yang harus diisikan tiap hari =

Volume daya tampung digester dapat dihitung menggunakan rumus : 70% x volume total digester

Penelitian utama ini dilakukan dengan melakukan pengukuran beberapa peubah yang dinilai memiliki pengaruh penting bagi produksi biogas. Pengukuran peubah tersebut, antara lain :

1. Pengukuran Suhu

Pengukuran suhu dilakukan setiap hari, yaitu dengan terlebih dahulu dilakukan pengadukan pada digester agar substrat merata, kemudian dimasukkan termometer, ditunggu beberapa menit setelah itu dilihat dan dicatat suhunya. 2. Pengukuran pH

Pengukuran pH dilakukan setiap hari. Sebelum dilakukan pengukuran pH, terlebih dahulu dilakukan pengadukan agar homogen. Hal ini karena pada proses anaerob, setiap lapisan yang terbentuk memiliki pH yang berbeda.

3. Nilai Volatile Solid (APHA ed 21th 2540E, 2005) Alat-alat :

Cawan porselen, neraca analitik, tanur, steam bath, desikator, oven suhu 103-105o C, stirrer magnet, dan pipet.

Bahan-bahan :

Sampel campuran POME dan aktivator sebanyak 25-30 ml. Prosedur :

a. Disiapkan cawan porselen yang telah dibersihkan kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu 103-105 oC selama 1 jam. Porselen tersebut lalu

dimasukkan ke dalam desikator. Setelah beberapa saat, porselen ditimbang dan didapatkan bobot porselen yang dilambangkan dengan (B).

Waktu tinggal

(32)

b. Sampel sebanyak 25-30 ml dimasukkan ke dalam oven bersuhu 103-105 oC selama satu jam, lalu didinginkan menggunakan desikator hingga mencapai suhu dan bobot seimbang. Bobot setelah desikator dilambangkan dengan (A). c. Sampel (A) diambil dan dipanaskan dalam tanur dengan suhu 550 oC selama

satu jam hingga seluruh bahan organik terabukan. Setelah itu, sampel didinginkan menggunakan desikator hingga mencapai suhu dan bobot seimbang. Bobot ini dilambangkan dengan (C).

Perhitungan : % Volume solid =

Keterangan :

A = Bobot sampel setelah didinginkan + cawan (mg) ditimbang + bobot cawan (mg)

B = Bobot cawan tanpa sampel (mg)

C = Bobot sampel + cawan setelah dibakar dalam tanur

4. Kandungan Nitrogen dengan Metode Kjedahl (APHA ed. 21th 4500-Norg C, 2005)

Bahan-bahan :

Larutan H2SO4 pekat, Selen, NaOH 40%, larutan H3BO3 4%, BCG-MR, HCl

0,01 N. Alat-alat :

Labu Kjedahl, erlemeyer, destilator, dan labu destilasi. Prosedur :

a. Sebanyak 0,25 gram sampel dimasukkan ke dalam labu Kjedahl lalu ditambahkan 2,5 ml H2SO4 pekat dan 0,25 gram Selen. Larutan tersebut

kemudian didestruksi hingga jernih.

b. Ditambahkan 15 ml NaOH 40% ke dalam larutan destruksi yang telah didinginkan.

c. Disiapkan larutan penampung dalam erlemeyer 125 ml, yang terdiri atas : 19 ml H3BO3 4% dan BCG-MR sebanyak 2-3 tetes.

(A-B)

(33)

d. Larutan sampel dimasukkan ke dalam labu destilasi, kemudian didestilasi. Destilasi dihentikan apabila sudah tidak ada gelembung yang keluar pada larutan penampung.

e. Hasil destilasi kemudian dititrasi dengan HCl 0,01 N.

%N =

5. Kandungan Karbon (JICA, 1978) Bahan-bahan :

Sampel sebanyak 2 gram. Alat-alat :

Oven, cawan porselin, desikator, Bunsen, tanur, dan neraca analitik. Prosedur :

a. Kadar karbon dihitung berdasarkan kadar abu. Penentuan kadar abu didasarkan dengan menimbang sisa mineral sebagai hasil pembakaran bahan organik pada temperatur sekitar 550 oC.

b. Cawan porselin dikeringkan menggunakan oven pada temperatur 105 oC selama satu jam, lalu didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga didapatkan berat tetap (A).

c. Sebanyak 2 gram sampel ditimbang (B) dan dimasukkan ke dalam cawan porselin, kemudian dipijarkan di atas pembakar Bunsen hingga tidak berasap. Setelah dipanaskan, sampel dimasukkan ke dalam tanur listrik (furnace) dengan temperatur 650 oC selama ± 12 jam.

d. Cawan didinginkan dengan desikator selama 30 menit, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat tetap (C).

Kadar Abu (%) =

Kadar C =

B C

X 100%

100% - Kadar Abu (%) – Kadar Nitrogen (%) 1,82

(ml titrasi sampel – ml titrasi blanko) x N HCl x 14 x 10 ml sampel

(34)

β = 

α =

R = 6. Produksi Gas

Produksi gas diketahui dengan mengukur laju alir gas menggunakan gas flowmeter.

Analisis Data

Analisis dilakukan secara diskriptif. Produksi gas dianalisis dengan Analisis Regresi Linier, yang terdiri atas dua peubah, yaitu peubah bebas (X) dan peubah tak bebas (Y). Waktu perombakan bahan organik termasuk dalam peubah bebas (X), sedangkan produksi gas termasuk dalam peubah tak bebas (Y). Analisis regresi ini dilakukan dengan bantuan software Minitab 14 Data Analysis. Persamaan umum Regresi adalah :

Y = αX + β

Keterangan :

Y = peubah tak bebas (produksi gas dan nilai pH)

α = koefisien regresi X terhadap Y

β = konstanta

X = peubah bebas (waktu)

Penghitungan nilai α dan β dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut : ∑ Y ∑ ∑Y

∑ ∑

∑Y ∑ ∑ ∑ Y

∑ ∑  

Analisis Regresi Linear memiliki nilai Koefisien Korelasi (R) yang menunjukkan keeratan hubungan linear antara peubah bebas (X) dan peubah tak bebas (Y). Selain itu, analisis ini juga memiliki nilai Koefisien Determinan (R2) yang menunjukkan ukuran proporsi keragaman total pada nilai peubah tak bebas (Y) yang dapat dijelaskan oleh nilai peubah bebas (X) melalui hubungan linear. Persamaan umum untuk mengetahui nilai R adalah :

∑ Y ∑ ∑Y

∑ ∑ ∑Y ∑Y

(35)

a. Pengaruh waktu perombakan bahan organik (X) terhadap produksi gas (Y) pada setiap perlakuan:

H0 = Waktu perombakan bahan organik (X) tidak berpengaruh nyata terhadap

produksi gas (Y)

H1 = Waktu perombakan bahan organik (X) berpengaruh nyata terhadap

produksi gas (Y)

Uji statistik yang digunakan untuk menganalisis nilai TVS pada hari ke-40 adalah Analisis Ragam (ANOVA) menggunakan bantuan software Minitab 14 Data Analysis. Apabila terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan maka dilakukan Uji Tukey.

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas

Sebelum dilakukan pencampuran lebih lanjut dengan aktivator dari feses sapi potong, Palm Oil Mill Effluent (POME) terlebih dahulu dianalisis untuk mengetahui kandungan yang ada di dalamnya. Hasil analisis POME sebagai bahan baku pembuatan biogas dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisis Bahan Baku POME

Parameter Hasil Pemeriksaan

pH 5,12

Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

C organik 21.335 mg/l

N total 489 mg/l

C/N 43,63

Asetat 55,78 ppm

Laktat 39,43 ppm

Hasil analisis menunjukkan bahwa POME memiliki kandungan TVS sebesar 0,425% atau 4.250 mg/l, dimana nilai ini lebih rendah dari nilai TVS yang dikemukakan oleh Lang (2007) yaitu sebesar 34.000 mg/l. Selain itu, rasio C/N pada POME dinilai cukup tinggi yaitu sebesar 43,63. Rasio C/N yang tinggi mengindikasikan terjadinya kekurangan nitrogen pada substrat, dimana hal ini membawa dampak buruk pada pembentukan protein yang diperlukan mikroba untuk tumbuh (Deublein et al., 2008). Oleh karena itu diperlukan bahan organik lain yang mampu menurunkan rasio C/N pada POME, seperti kotoran sapi.

Kotoran sapi potong merupakan bahan organik yang mengandung tiga komponen penting yaitu karbohidrat, protein, dan lemak. Ketiganya merupakan unsur penting dalam produksi biogas, karena dapat dikonversi menjadi volatile fatty acids (VFA) untuk dijadikan gas metana (CH4). Selain itu, kotoran sapi memiliki

mikroba pembentuk metan yang secara alami telah ada di rumen yang merupakan salah satu bagian dari organ pencernaan hewan ruminansia. Kotoran sapi juga memiliki rasio C/N yang lebih rendah dari POME, sehingga dapat menurunkan rasio

(37)

C/N pada POME yang terlalu tinggi. Kondisi inilah yang membuat kotoran sapi berpotensi dijadikan sebagai aktivator dalam pembuatan biogas.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa POME mengandung asam lemak berupa asetat dan laktat. Keduanya merupakan senyawa yang dapat dikonversi menjadi CH4 (metana). Namun, lemak merupakan senyawa organik kompleks yang

terhidrolisis dengan sangat lambat dan lemak menjadi pembatas laju keseluruhan hidrolisis. Lemak juga dapat menghambat proses perombakan anaerob. Senyawa ini memiliki asam lemak rantai panjang dalam jumlah berlebihan dan dapat menghambat kerja mikroba pembentuk biogas (Adrianto, et al., 2001).

Analisis Bahan Masukan Biogas

Bahan masukan biogas merupakan campuran yang terdiri atas POME dan aktivator dari kotoran sapi potong. Bahan ini kemudian dianalisis untuk mengetahui nilai pH, TVS, C Organik, Nitrogen, dan rasio C/N. Hasil analisis campuran antara POME dan aktivator dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Analisis Campuran antara POME dan Aktivator

Parameter Satuan Hasil Pemeriksaan

P90S10 P80S20 P70S30

pH - 5 6 5,67

Total Volatile Solids (TVS) % 2,56 3,77 3,62

C Organik mg/l 14.400 20.500 19.600

Nitogen mg/l 646,80 672,41 660,60

C/N - 22,26 30,48 29,67

Terlihat bahwa rasio C/N pada POME yang telah dicampur dengan aktivator mengalami penurunan, apabila dibandingkan dengan rasio C/N pada POME murni. Hal ini karena kotoran sapi potong memiliki C/N sebesar 18 (Stafford et al., 1980), sehingga mampu menurunkan kandungan C/N pada POME. Limbah peternakan umumnya memililiki kandungan nitrogen (N) lebih tinggi dibandingkan kadar karbon (C), sedangkan limbah pertanian memiliki kadar C lebih tinggi dari kadar N. Apabila kedua limbah tersebut dicampurkan maka dapat menghasilkan rasio C/N yang lebih baik untuk produksi biogas (Wellinger, 1999).

(38)

Rasio C/N dari bahan organik menentukan aktivitas mikroorganisme dalam memproduksi biogas. Hal ini karena rasio C/N terkait pada kebutuhan nutrisi mikroba. Rasio C/N yang optimal adalah antara 20:1 dan 30:1 (Stafford et al., 1980). Apabila rasio C/N lebih besar dari 30, maka unsur C berlebih, sedangkan unsur N sedikit, maka saat fermentasi berlangsung N telah habis untuk memenuhi kebutuhan mikroba dan akan diikuti dengan menurunnya produksi biogas. Rasio C/N dari yang paling optimal ke kurang optimal, yaitu P90S10 (22,26), P70S30 (29,67), dan P80S20

(30,48). Hasil tersebut mengindikasi bahwa P90S10 memiliki potensi paling besar

untuk menghasilkan biogas dengan volume terbanyak bila dibandingkan dengan perlakuan P80S10 dan P70S30.

Analisis kandungan TVS awal pada bahan masukan biogas menunjukkan bahwa kandungan TVS mengalami peningkatan. Kandungan TVS pada bahan baku POME sebesar 0,425%, sedangkan setelah dilakukan pencampuran dengan kotoran sapi potong maka kandungan TVS meningkat. P80S20 memiliki kandungan TVS

tertinggi yaitu sebesar 3,77%, diikuti dengan P70S30 sebesar 3,62% dan P90S10 sebesar

2,56%. Lumpur kotoran sapi memiliki kandungan volatile solids (VS) sebesar 75-85% (Harikishan, 2008). Hal inilah yang membuat kandungan TVS mengalami peningkatan. Kandungan TVS dipengaruhi oleh jumlah bahan organik yang terkandung di dalam bahan masukan. Semakin banyak bahan organik yang terkandung di dalamnya, maka semakin tinggi pula VFA yang diproduksi. VFA yang terlalu tinggi akan mempengaruhi nilai pH. Apabila pH terganggu, maka dapat menghambat aktivitas bakteri pembentuk metana (Gerardi, 2003).

Ketercapaian Suhu di Dalam Digester

Suhu memiliki pengaruh penting terhadap laju perombakan bahan organik menjadi biogas. Pengaruh ini terutama berkaitan dengan aktivitas dan laju pertumbuhan mikroba di dalam digester. Pengukuran suhu penting dilakukan setiap hari untuk mengetahui kondisi di dalam digester. Suhu yang berhasil dicatat selama 40 hari penelitian ditampilkan pada Gambar 12.

(39)

Gambar 12. Grafik Suhu di dalam Digester Selama Penelitian

Kisaran suhu di dalam digester yang dicapai digester dengan komposisi P90S10

berada di antara 25,83-27,5 oC. Digester dengan perlakuan P80S20 memiliki suhu

berkisar antara 26-27,5 oC, seperti halnya pada P70S30. Besarnya kisaran suhu yang

dicapai dipengaruhi oleh suhu ruang, dimana selama penelitian berlangsung tercatat suhu maksimal adalah 27,5 oC. Suhu yang dicapai selama penelitian berada di bawah suhu mesophilik (30-40 oC), hal ini tidak berpengaruh pada terjadinya proses

meta-nogenesis karena proses metameta-nogenesis masih dapat terjadi bahkan pada suhu ≤ 4 oC (Price et al., 1981).

Nilai pH

Hubungan antara waktu perombakan bahan organik dan nilai pH pada setiap perlakuan memiliki persamaan regresi linear yang berbeda-beda. Grafik nilai pH pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 13, 14, dan 15.

Gambar 13. Grafik Nilai pH pada P90S10

24 24,5 25 25,5 26 26,5 27 27,5 28 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 P90S10 P80S20 P70S30 Hari Ke-Suhu (oC) 5,00 5,50 6,00 6,50 7,00 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 pH Hari

(40)

Ke-Gambar 13 memperlihatkan bahwa kisaran nilai pH pada perlakuan ini adalah 5,0-7,0. Nilai pH yang mencapai optimal ini sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh bakteri pembentuk metana. Selama penelitian terlihat bahwa pH mengalami penurunan dari hari ke hari. Penurunan pH ini menunjukkan tingginya konsentrasi asetat yang dapat menghambat perombakan (Mahajoeno, 2008).

Gambar 14. Grafik Nilai pH pada P80S20

Kisaran nilai pH pada P80S20 adalah 5,0-6,7. Kisaran pH yang rendah

menunjukkan bahwa pada perlakuan ini proses pembentukan asam masih terjadi. Selama penelitian berlangsung terlihat bahwa terjadi penurunan nilai pH yang drastis pada hari ke-25. Penurunan pH secara tiba-tiba menandakan terjadinya gangguan pada proses fermentasi (Deublein et al., 2008).

Gambar 15. Grafik Nilai pH pada P70S30

5,00 5,50 6,00 6,50 7,00 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 pH Hari Ke-5,00 5,50 6,00 6,50 7,00 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 pH Hari

(41)

Ke-Gambar 15 memperlihatkan bahwa kisaran nilai pH pada perlakuan ini selama penelitian berlangsung yaitu 5,0-6,7. Seperti halnya P80S20, perlakuan ini juga

mengalami penurunan pH yang drastis. Hal ini menandakan bahwa jumlah bahan masukan yang diumpankan ke dalam digester terlalu banyak, sehingga produksi asam akan berlimpah. Kondisi ini menyebabkan mikroba tidak mampu mendegradasi asam yang terlalu banyak menjadi metana. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengatasinya, antara lain menghentikan pengumpanan bahan masukan, sehingga bakteri metanogenik dapat mendegradasi asam, menambahkan substansi penetral (buffer), menambah waktu tinggal, melakukan penambahan air, dan mengosongkan serta mengulangi proses dari awal (Deublein et al., 2008).

Kandungan Total Volatile Solids (TVS) Akhir

Total Volatile Solids (TVS) dapat diartikan sebagai jumlah padatan organik yang berpotensi untuk dikonversi menjadi biogas. Semakin banyak jumlah TVS yang tereduksi maka semakin banyak pula biogas yang dihasilkan. Oleh karena itu, dilakukan analisis kembali untuk mengetahui kandungan TVS pada ke-40, sehingga dapat diketahui perubahan kandungan yang terjadi. Hasil analisis kandungan TVS pada hari ke-40 dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil Analisis Kandungan TVS pada Hari Ke-40

Perlakuan Nilai TVS

P90S10 3,89 ± 0,49

P80S20 4,46 ± 0,38

P70S30 5,18 ± 0,29

Kandungan TVS pada hari ke-40 ini ternyata berpengaruh nyata (P<0,05). Perbedaan kandungan TVS ini disebabkan oleh perbedaan komposisi campuran pada setiap perlakuan, sehingga jumlah bahan organik yang di dalamnya akan berbeda juga. Selain itu, terdapat perubahan kandungan TVS pada awal dan akhir penelitian. Perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.

(42)

Gambar 16. Diagram Batang Peningkatan Kandungan TVS

Li et al. (2009) menyatakan bahwa biogas diproduksi dari hasil konversi bahan organik dengan bantuan mikroorganisme anaerobik, dengan adanya konversi ini maka jumlah bahan organik akan mengalami penurunan. Akan tetapi apabila dilihat berdasarkan analisis laboratorium, kandungan TVS pada penelitian ini justru mengalami peningkatan.

Perlakuan P90S10 mengalami peningkatan TVS sebesar 51,95%, P80S20

mengalami peningkatan sebesar 18,21%, dan P70S30 mengalami peningkatan TVS

sebesar 43,18%. Peningkatan ini terjadi karena selama penelitian dilakukan pengisian bahan masukan secara kontinu, sehingga kadar bahan organik selalu bertambah setiap harinya.

Produksi Biogas

Produksi biogas merupakan hasil dari proses perombakan bahan organik secara anaerob. Produksi gas dari POME dengan penambahan kotoran sapi potong sebagai aktivator dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Hasil Pengukuran Produksi Biogas pada Setiap Perlakuan Perlakuan

(POME : Aktivator) Waktu Produksi (Hari) Volume Gas (Liter)

90 : 10 40 3,99 ± 3,52 80 : 20 40 1,08 ± 0,55 70 : 30 40 1,77 ± 2,02 0 10 20 30 40 50 60 Ken aik an TVS (% ) P90S10 P80S20 P70S30

(43)

Produksi gas diukur menggunakan alat gas flowmeter dan stopwatch. Gas flowmeter merupakan alat untuk mengetahui laju alir gas dengan satuan liter/menit, sedangkan untuk mengetahui produksi gas per hari dilakukan pengalian antara hasil pengukuran gas flowmeter dan waktu yang tercatat oleh stopwatch. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 17 dan 18.

Korelasi antara waktu perombakan bahan organik (X) dan produksi biogas pada masing-masing perlakuan dapat dijelaskan menggunakan grafik produksi biogas dan analisis data menggunakan ANOVA. Grafik produksi biogas pada substrat yang terbuat dari 90% POME dan 10% aktivator dapat dilihat pada Gambar 19.

Gambar 19. Grafik Hubungan antara Waktu Perombakan Bahan Organik dan Produksi Biogas pada P90S10

Gambar 17. Proses Pengukuran

Produksi Biogas Gambar 18. Uji Bakar Biogas

Gas Menyala ‐0,05 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 Produks i Ga s (Li te r) Hari Ke-Y = 0,005X ‐0,018 R = 0,696

(44)

Seperti yang tampak pada Gambar 19, pada 10 hari pertama belum tampak adanya produksi gas. Adanya gas mulai terlihat pada hari ke-11 yang secara perlahan jumlahnya meningkat hingga hari ke-23. Namun, setelah dilakukan uji bakar pada gas yang dihasilkan, api yang diujikan mengalami pemadaman, kecuali pada hari ke-15. Hal ini membuktikan bahwa gas yang dihasilkan hingga hari ke-23 belum memiliki cukup metana untuk melakukan pembakaran. Jumlah gas yang diproduksi ini mengalami penurunan pada hari ke-23 hingga hari ke-30 dan belum menunjukkan adanya biogas yang diproduksi. Penelitian hari ke-31 menunjukkan penurunan jumlah gas yang dihasilkan kemudian pada hari ke-32, volume gas kembali mengalami peningkatan. Setelah dilakukan uji bakar, terlihat bahwa pada pengamatan hari ke-32, salah satu ulangan dari digester dengan perlakuan P90S10

telah menghasilkan nyala api berwarna biru. Adanya nyala api ini menunjukkan adanya biogas yang terbentuk di dalam digester. Biogas setidaknya mengandung 45% metana agar dapat menghasilkan nyala api (Deublein et al., 2008).

Nilai pH pada P90S10 berkisar antar 5,0-7,0. Total produksi biogas pada

perlakuan ini sebesar 3,99 liter, dimana produksi ini adalah yang paling besar dibanding kedua perlakuan lain. Hal ini dapat dimengerti, karena P90S10 dapat

men-capai pH netral. Mahajoeno (2008), menyatakan bahwa pH netral dapat mempercepat proses perombakan bahan organik, sehingga dapat mempercepat terjadinya perombakan yang secara tidak langsung dapat meningkatkan produksi biogas.

Selain pH, rasio C/N juga mempengaruhi produksi biogas. Rasio C/N dari bahan organik menentukan aktivitas mikroorganisme dalam memproduksi biogas. Rasio C/N yang optimal adalah antara 20:1 dan 30:1 (Stafford et al., 1980). Nilai rasio C/N pada P90S10 yaitu 22,26 dan ini merupakan nilai yang paling optimal di

antara ketiganya.

Grafik hubungan antara waktu perombakan bahan organik (X) dan produksi gas (Y) menunjukkan persamaan regresi linear Y = 0,005X – 0,018 dan berkorelasi positif dengan koefisien korelasi sebesar 0,696. Analisis ragam menunjukkan bahwa Hubungan keduanya berpengaruh nyata (P<0,05). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa waktu perombakan bahan organik berpengaruh pada produksi gas sebesar 48,4%, sedangkan sisanya yaitu 51,6% dipengaruhi oleh faktor lain.

(45)

Selain pada perlakuan P90S10, pengukuran produksi biogas juga dilakukan

pada perlakuan P80S20. Grafik produksi gas pada substrat yang terbuat dari 80%

POME dan 20% aktivator dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20. Grafik Hubungan Antara Waktu Perombakan Bahan Organik dan Produksi Biogas pada P80S20

Gambar 20 memperlihatkan bahwa digester dengan perlakuan P80S20 mulai

menghasilkan gas pada hari ke-3. Namun, setelah dilakukan uji bakar, belum tampak keberadaan gas metana pada hari tersebut. Ketiadaan gas metana pada perlakuan ini berlangsung hingga hari ke-22. Saat dilakukan uji bakar pada hari ke-23, api yang diujikan tidak padam, namun juga tidak mengalami pembakaran. Hal ini menunjukkan bahwa telah terbentuk gas metana namun jumlahnya belum mencukupi untuk melakukan pembakaran. Setelah hari ke-23, aktivitas metana kembali tidak terlihat hingga hari ke-26. Hari ke-27 dan ke-28 metana mulai ada meskipun belum terjadi pembakaran. Proses pembakaran mulai terlihat pada hari ke-35 hingga hari ke-40. Apabila dibandingkan dengan perlakuan P90S10, P80S20 lebih lambat dalam

memproduksi gas.Selain itu, P80S20 menghasilkan total biogas dalam jumlah yang

lebih sedikit jika dibandingkan P90S10 dan P70S30, yaitu sebesar 1,08 liter. Hal ini

karena rasio C/N pada P80S20 merupakan yang paling tinggi yaitu 30,34. Apabila

rasio C/N lebih besar dari 30, maka unsur C berlebih, sedangkan unsur N sedikit, maka saat fermentasi berlangsung N telah habis untuk memenuhi kebutuhan mikroba dan akan diikuti dengan menurunnya produksi biogas.

Gas Menyala 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 Produks i Ga s (Li te r) Hari Ke-Y = ‐0,0003X + 0,0329 R = ‐0,088

(46)

Selama penelitian berlangsung tercatat bahwa P80S20 memiliki kisaran pH

5,0-6,7. Rendahnya nilai pHpada perlakuan P80S20 karena fase asidogenesis yang masih

berlangsung. Fase asidogenesis menghasilkan asam lemak terbang yang dapat menurunkan nilai pH (Gerardi, 2003). Nilai pH pada fase asidogenesis dapat mengalami penurunan hingga hanya bernilai 3,2, sedangkan pH pada fase metanogenesis berada di kondisi stabil yaitu antara 7,2-7,4, dimana hal ini normal terjadi pada proses anaerobik (Li et al., 2009).

Persamaan regresi linear pada hubungan antara waktu perombakan bahan organik (X) dan produksi biogas (Y) pada P80S20 yaitu Y = -0,0003X + 0,0329.

Hubungan ini berkorelasi negatif dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,088. Analisis keragaman menunjukkan bahwa hubungan kedua faktor ini tidak berpengaruh nyata (P>0,05).

Pengukuran produksi gas menggunakan alat gas flowmeter juga dilakukan untuk mengetahui jumlah produksi biogas pada perlakuan P70S30. Grafik produksi

biogas pada substrat yang terbuat dari 70% POME dan 30% aktivator dapat dilihat pada Gambar 21.

Gambar 21. Grafik Hubungan Antara Waktu Perombakan Bahan Organik dan Produksi Biogas pada P70S30

Gambar 21 memperlihatkan bahwa gas pada P70S30 mulai diproduksi pada

hari ke-3, namun pada saat dilakukan uji bakar maka api padam. Hal ini menunjukkan masih tingginya kadar CO2 pada digester. Pengamatan hari ke-5 terjadi

letupan kecil pada saat dilakukan uji bakar, mungkin telah terdapat kandungan Gas Menyala 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 Pr oduks i Gas (Li te r) Hari Ke-Y = ‐0,0004X + 0,0525 R = ‐0,100

(47)

metana pada digester ini walaupun dalam jumlah kecil. Sedangkan produksi gas pada hari tersebut sebesar 0,06 liter. Adanya letupan kecil membuktikan bahwa perlakuan dengan jumlah aktivator paling banyak dapat memproduksi gas metan lebih awal dibandingkan kedua perlakuan lain. Setelah itu, tercatat tidak ada aktivitas gas metana, hingga pada hari ke-23 api yang diujikan tidak padam dan ada sedikit pergerakan. Hal ini menunjukkan adanya metana walaupun jumlahnya belum cukup untuk melakukan pembakaran. Aktivitas metana pada biogas mulai terlihat kembali pada hari ke-33, dimana salah satu ulangan menghasilkan api yang menyala dan berwarna biru. Meskipun tidak berlangsung setiap hari, namun tercatat pada hari ke-33 hingga 40 apabila terdapat gas pada pengukuran maka gas tersebut jika dibakar akan menghasilkan nyala api berwarna biru.

Meskipun P70S30 tercatat lebih awal dalam menghasilkan metana, namun total

produksi biogas yang dihasilkan oleh perlakuan ini menempati kedudukan kedua setelah P90S10 yaitu sebesar 1,77 liter. pH yang maksimal dicapai oleh perlakuan ini

sebesar 6,7, seperti halnya dengan P80S20, nilai pH yang rendah pada perlakuan ini

disebabkan oleh masih terjadinya proses asidogenesis. Proses ini masih berlangsung karena digester yang digunakan bersifat kontinyu, dimana dilakukan pengisian setiap hari selama pengamatan berlangsung. Selain itu, rasio C/N pada P70S30 berada di

urutan kedua setelah P90S10.

Persamaan regresi linear pada hubungan antara waktu perombakan bahan organik (X) dan produksi gas (Y) pada P70S30 yaitu Y = -0,0004X + 0,0525.

Hubungan ini berkorelasi negatif dengan nilai koefisien korelasi sebesar -0,100. Analisis keragaman menunjukkan bahwa hubungan kedua faktor ini tidak berpengaruh nyata (P>0,05).

Produksi biogas pada penelitian ini dinilai masih sedikit. Produksi yang belum optimal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan yang terjadi pada proses anaerobik. Ketidakseimbangan tersebut disebabkan oleh beban hidraulik yang berlebihan. Kondisi ini terjadi jika waktu tinggal dalam perombak anaerob lebih singkat dibandingkan laju pertumbuhan bakteri. Selain itu, pada kondisi ini terjadi penumpukan bahan organik berlebihan yang menyebabkan bakteri tidak mampu memecah senyawa organik, sehingga proses perombakan anaerob akan terganggu (Mahajoeno, 2008). Hal ini terjadi pada proses pengumpanan bahan masukan biogas

Gambar

Gambar 1. Diagram Proses Produksi Minyak Kelapa Sawit (Lang, 2007)
Tabel 1. Karakteristik Palm Oil Mill Effluent (POME) Tanpa Perlakuan
Tabel 2. Komposisi Biogas
Gambar 3. Reaksi Pembentukan Metana (CH4)
+7

Referensi

Dokumen terkait

formal serta pendidikan dasar dan menengah mengelola lebih dari 1 (satu) satuan pendidikan, BHP tersebut memiliki 1 (satu) organ penentu kebijakan umum tertinggi untuk sejumlah

procedural dengan contoh kasus bahasa pascal dan C. Bahasa pemrograman procedural merupakan bahasa pemerograman yang melibatkan fungsi-fungsi atau proseedure- prosedur

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok.. Pertimbangan untuk nasihat lain •

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

SUPERMAX milik Penggugat maka Penggugat mengajukan banding kepada Komisi Banding Merek tanggal 15 Desember 1995 No. Bahwa mengingat pada susunar1 anggota Komisi

14 Berdirinya Perguruan Tinggi Negeri Tahap Pembentukan Tim Penyusun Proposal/ Tim Pendirian AKNL, Pengajuan MoU antara AKNL dengan DU/DI, Penyusunan + Pengajuan Proposal

Marketing Accounting Manager Start Bukti Transfer DP dan Pelunasan Data Pembayaran DP dan pelunasan Membuat Laporan penerimaan kas Laporan Penerimaan Kas Laporan Penerimaan

Oleh karena itu, dalam implementasi kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di