• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Carpal Tunnel Syndrome 2.1.1 Definisi

Carpal Tunnel Syndrome (CTS) atau disebut juga Sindrom Terowongan Karpal (STK) adalah kumpulan gejala akibat terjadi penekanan pada nervus medianus ketika melalui terowongan karpal di pergelangan tangan. Manifestasi klinis dari sindroma ini adalah rasa nyeri dan kesemutan (paraesthesia) (Sidharta, 1996).

CTS merupakan entrapment neuropathy yang terjadi akibat adanya penekanan nervus medianus pada saat melalui terowongan karpal di pergelangan tangan tepatnya di bawah fleksor retinaculum (Rambe, 2004).

Terowongan karpal berada di bagian sentral dari pergelangan tangan di mana berbagai komponen tulang dan ligamen membentuk suatu terowongan sempit yang dilalui oleh beberapa tendon dan nervus medianus (Samuel, 1999). Tulang-tulang karpalia membentuk dasar dan sisi-sisi terowongan yang keras dan kaku sedangkan atapnya dibentuk oleh fleksor retinakulum (transverse carpal ligament dan palmar carpal ligament) yang kuat dan melengkung di atas tulang-tulang karpalia tersebut. Setiap perubahan yang mempersempit terowongan ini akan menyebabkan tekanan pada nervus medianus.

(2)

2.1.2 Anatomi dan Biomekanika

Pergelangan tangan disusun oleh 3 tulang yaitu tulang radius, ulna dan karpal. Dimana terowongan karpal terletak di pergelangan tangan yang kerangkanya di bentuk oleh 8 tulang carpal yang tersusun atas 2 bagian. Bagian proximal terdiri dari lateral dan medial yaitu tulang navicular, lunatum, triquertum, dan pisiformis. Bagian distal yaitu tulang trapezium, trapezoideum, capitatum dan hamatum. Tulang-tulang karpal tangan susunannya membusur dengan bagian konkaf menghadap ke arah telapak tangan. Ruangan ini tertutup oleh ligamentum karpi transversum sehingga terbentuk suatu terusan yang sempit yang disebut terowongan karpal (Anshar, et,al., 2011).

Gambar 2.1 Anatomi Nervus Medianus

(Sumber: Netter, Frank H. Atlas of Human Anatomy. Fourth edition. Saunders: Elsevier; 2006)

(3)

Terowongan karpal tersusun secara rapat Musculi antebrachium palmares superficial (m. pronator teres, m. flexor carpi radialis, m. palmaris longus, m. flexor carpi ulnaris, m. flexor digitorum superficialis), Musculi antebrachium palmares profunda (m. flexor digitorum profunda, m. flexor digitorum longus, m. pronator quadratus), Flexor digitorum longus dan nervus medianus (Wichaksana, dkk., 2002)

Nervus medianus terbentuk dari fasikulus lateralis asal radiks C5, C6, C7 dan fasikulus medialis C8 dan T1. Saraf medianus di atas siku tidak mempunyai cabang-cabang artikuler menuju sendi siku cabang muskuler mempersarafi pollicis longus, pronator quadratus. Setelah memberi cabang pada otot-otot lengan bawah untuk berbagai gerakan lengan dan jari-jari tangan di bawah ligamentum carpi transversal syaraf medianus bercabang dua, yang lateral (motorik) mempersyarafi otot thenaris yaitu otot abductor pollicis brevis, otot flexor pollicis brevis, otot oponen pollicis dan otot adductor pollicis. Percabangan medial (sensorik) mempersyarafi otot antara ossa metacarpalia yaitu lumbricales, interossei palmaris dan interossei dorsalis bagian polar jari-jari 1, 2, 3 dan ½ jari ke 4 (sisi lateral) serta bagian tengah sampai sisi radial juga dipersyarafi oleh n. Medianus (Sloane, 1994).

2.1.3 Klasifikasi

Menurut Katz, dkk (2002), kriteria diagnostik dibuat berdasarkan pengalaman klinis para peneliti, banyak gejala pasien ditemukan pada perbatasan dari kelas klasifikasi yang satu dengan yang lainnya. Pada derajat 0 atau disebut juga dengan derajat Asimtomatik yaitu tidak ada gejala dan tanda CTS, namun

(4)

apabila dilakukan pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik mungkin ditemukan kelainan pada sekitar 20% populasi. Pada kondisi ini tidak perlu dilakukan terapi.

Derajat 1 atau disebut juga derajat Simtomatik Intermiten terdapat parastesia tangan (kesemutan) intermiten, namun tidak terdapat defisit neurologis. Apabila dilakukan tes provokasi dan pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik mungkin ditemukan kelainan. Pada derajat 1 sudah dapat dilakukan terapi konservatif.

Pada CTS derajat 2 atau disebut juga dengan Simtomatik Persisten terdapat defisit neurologis sesuai dengan distribusi saraf medianus dan bila dilakukan tes provokasi akan didapatkan hasil yang positif serta pada pemeriksaan konduksi saraf sensorik dan motorik tidak normal. Penanganan yang dapat dilakukan pada CTS derajat 2 adalah dengan terapi konservatif atau operatif. Derajat tertinggi yaitu derajat 3 disebut juga dengan derajat Berat. Kondisi CTS derajat berat adalah terdapat atrofi otot thenaris. Apabila dilakukan pemeriksaan dengan elektromiografis terdapat fibrilasi atau neuropati unit motorik. Tindakan yang dapat dilakukan pada derajat ini dengan melakukan terapi operatif.

Komplikasi yang mungkin timbul pada CTS oleh karena kompresi antara lain atrofi otot thenaris, gangguan sensorik yang mengenai bagian radial telapak tangan dan sisi palmar dari tiga jari tangan yang pertama, serta terdapat deformitas “ape hand”, tidak mampu memfleksikan jari tangan, gengggaman tangan

(5)

melemah, terutama ibu jari dan telunjuk, dan jari-jari ini cenderung mengadakan hiperekstensi dan ibu jari abduksi.

2.1.4 Patofisiologi

CTS terjadi apabila saraf medianus mengalami tekanan dalam struktur anatomis terowongan karpal. Tekanan dapat disebabkan oleh meningkatnya volume dalam terowongan karpal, pembesaran saraf medianus, atau berkurangnya area cross-sectional dalam terowongan karpal. Dari ketiga penyebab ini, yang menjadi penyebab terbanyak adalah meningkatnya volume terowongan karpal.

Meningkatnya volume terowongan karpal dipengaruhi oleh gerakan yang berulang dengan kontraksi sangat kuat, tekanan mekanis, sikap kerja kaku dan aneh, getaran setempat dan penggunaan sarung tangan sempit dingin. Hal ini akan menyebabkan peradangan tendon pada sendi dan bursa yang akan menekan N. Medianus dan menimbulkan manifestasi klinis seperti nyeri, terdapat kelemahan dan gangguan fisik (Silverstein, dkk., 1987).

Teori getaran gejala CTS bisa disebabkan oleh efek dari penggunaan jangka panjang alat yang bergetar pada saraf median di terowongan karpal. Menurut Lunborg dalam Tana (2004) mencatat edema epineural pada saraf medianus dalam beberapa hari terkena paparan alat getar genggam. Edema epineural diakibatkan adanya peningkatan tekanan intrafasikuler yang menyebabkan aliran darah vena melambat sehingga endotel menjadi rusak dan kebocoran protein. Selanjutnya, terjadi perubahan serupa mengikuti mekanik, iskemik, dan trauma kimia.

(6)

Getaran ini merangsang kontraksi tendon, mengurangi kelenturan, mencederai saraf perifer, menyebabkan mati rasa jari-jari atau mengurangi sensasi tangan sebagai akibat konstriksi vaskuler atau vasospasme mikrosirkulasi ke saraf perifer. Cedera mikroskopik, mikrosirkulasi, arteriosklerosis lokal yang menyebabkan pembengkakan lokal berisi cairan dan fibrin yang menekan nervus medianus.

2.1.5 Diagnosis

Diagnosis CTS ditegakkan selain berdasarkan gejala-klinis seperti di atas dan perkuat dengan pemeriksaan yaitu:

1) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan harus dilakukan pemeriksaan menyeluruh pada penderita dengan perhatian khusus pada fungsi, motorik, sensorik dan otonom tangan. Menurut Katz, dkk (2002) beberapa pemeriksaan dan tes provokasi yang dapat membantu menegakkan diagnosis CTS adalah:

a) Phalen test : Penderita diminta melakukan fleksi tangan secara maksimal. Bila dalam waktu 60 detik timbul nyeri, tes positif CTS. Sensitivitas dan spesifisitas tes Phalen dalam mendiagnosis CTS secara berurutan adalah 82% dan 100% (Widodo, 2014).

(7)

Gambar 2.2 Phalen Test

(Sumber: Sawaya, Raja A. Journal of Clinical Neurophysiology. 2009) b) Torniquet test : Pada pemeriksaan ini dilakukan pemasangan torniquet

dengan menggunakan tensimeter di atas siku dengan tekanan sedikit di atas tekanan sistolik. Bila dalam 1 menit timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosis.

c) Tinel sign : Tes ini mendukung diagnosis bila timbul parestesia atau nyeri pada daerah distribusi nervus medianus jika dilakukan perkusi pada terowongan karpal dengan posisi tangan sedikit dorsofleksi.

Gambar 2.3 Tinel’s Sign

(8)

d) Flick's sign : Penderita diminta mengibas-ibaskan tangan atau menggerak-gerakkan jari-jarinya. Bila keluhan berkurang atau menghilang akan menyokong diagnosis CTS. Harus diingat bahwa tanda ini juga dapat dijumpai pada penyakit Raynaud.

e) Thenar wasting : Pada inspeksi dan palpasi dapat ditemukan adanya atrofi otot-otot thenar.

f) Menilai kekuatan dan keterampilan serta kekuatan otot secara manual maupun dengan alat dynamometer.

g) Wrist extension test : Penderita diminta melakukan ekstensi tangan secara maksimal, sebaiknya dilakukan serentak pada kedua tangan sehingga dapat dibandingkan. Bila dalam 60 detik timbul gejala-gejala seperti CTS, maka tes ini menyokong diagnosis CTS.

h) Pressure test : Nervus medianus ditekan di terowongan karpal dengan menggunakan ibu jari. Bila dalam waktu kurang dari 120 detik timbul gejala seperti CTS, tes ini menyokong diagnosis.

i) Luthy's sign (bottle's sign) : Penderita diminta melingkarkan ibu jari dan jari telunjuknya pada botol atau gelas. Bila kulit tangan penderita tidak dapat menyentuh dindingnya dengan rapat, tes dinyatakan positif dan mendukung diagnosis CTS.

j) Pemeriksaan sensibilitas : Bila penderita tidak dapat membedakan dua titik

(two-point discrimination) pada jarak lebih dari 6 mm di daerah nervus medianus, tes dianggap positif dan menyokong diagnosis.

(9)

k) Pemeriksaan fungsi otonom : Pada penderita diperhatikan apakah ada perbedaan keringat, kulit yang kering atau licin yang terbatas pada daerah inervasi nervus medianus. Bila ada akan mendukung diagnosis CTS. Dari pemeriksaan provokasi diatas Phalen test dan Tinel sign adalah tes yang tepat untuk CTS (Tana, dkk., 2004).

2) Pemeriksaan neurofisiologi (elektrodiagnostik)

Pemeriksaan elektromiografi (EMG) dapat menunjukkan adanya fibrilasi, polifasik, gelombang positif dan berkurangnya jumlah motor unit pada otot-otot thenar. Pada beberapa kasus tidak dijumpai kelainan pada otot-otot lumbrikal. EMG bisa normal pada 31% kasus CTS.

Kecepatan Hantar Saraf (KHS) pada 15-25% kasus, bisa normal. Pada yang lainnya KHS akan menurun dan masa laten distal (distal latency)

memanjang, menunjukkan adanya gangguan pada konduksi saraf di pergelangan tangan. Masa laten sensorik lebih sensitif dari masa laten motorik (Latov, 2007).

3) Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan sinar-X terhadap pergelangan tangan dapat membantu melihat apakah ada penyebab lain seperti fraktur atau artritis. Foto polos leher berguna untuk menyingkirkan adanya penyakit lain pada vertebra. USG, CT-scan dan MRI dilakukan pada kasus yang selektif terutama yang akan dioperasi. USG dilakukan untuk mengukur luas penampang dari saraf median di carpal tunnel

proksimal yang sensitif dan spesifik untuk carpal tunnel syndrome (Wilkinson, 2001).

(10)

Bila etiologi CTS belum jelas, misalnya pada penderita usia muda tanpa adanya gerakan tangan yang repetitif, dapat dilakukan beberapa pemeriksaan seperti kadar gula darah , kadar hormon tiroid ataupun darah lengkap (Rambe, 2004).

2.1.6 Pencegahan

Berbagai pekerjaan yang banyak menggunakan tangan dalam jangka waktu lama, sering dihubungkan dengan terjadinya CTS. Pekerjaan yang dimaksud umumnya menggunakan kombinasi antara kekuatan dan pengulangan gerakan yang sama pada jari-jari dan tangan, selama periode waktu yang lama. Sindroma terowongan karpal dapat pula tercetus akibat paparan terhadap getaran atau vibration (misalnya pekerjaan pengeboran), atau akibat kesalahan posisi tangan yang tidak ergonomis (misalnya pekerjaan dengan komputer), yang terjadi dalam jangka waktu lama (Astaqaulia, 2010).

Panduan yang telah dibuat Silverstein, dkk (2000) mengenai pencegahan untuk mengendalikan risiko penyebab CTS akibat gerakan berulang (repetitive)

adalah dengan mengurangi penggunaan gerakan tangan berulang dengan bantuan mesin otomatis dan lakukan rotasi pekerjaan dengan gerakan yang berbeda. Gerakan yang sangat kuat (forceful) dapat dicegah dengan pengurangan berat atau ukuran perkakas yang digunakan disesuaikan dengan kekuatan normal tangan.

Pada sikap tubuh yang kaku atau tidak ergonomis dapat dicegah dengan menyesuaikan jenis pekerjaan dengan pekerja dan usahakan posisi pergelangan tangan harus selalu netral dengan membuat pekerjaan lebih mudah dijangkau.

(11)

Tekanan mekanis dapat dicegah dengan memberi bantalan pada pegangan perkakas yang digunakan atau dengan penggunaan sarung tangan. Untuk mengendalikan efek getaran dapat menggunakan isolator (alat peredam) vibrator

dan hindari penggunaan perkakas pemutar yang kuat (Silverstein, dkk., 1987). Menurut NIOSH (1997), pencegahan ergonomi yang terpenting untuk mengindari CTS adalah dengan pengendalian sikap tubuh dengan memelihara posisi alamiah pergelangan tangan saat bekerja, mengurangi gerakan berulang, meredam getaran dan melakukan rotasi pekerja untuk meningkatkan kewaspadaan pekerja.

2.2 Getaran

2.2.1 Definisi Getaran

Getaran adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah bolak balik dari kedudukan keseimbangan. Getaran terjadi saat mesin atau alat dijalankan oleh penggerak, sehingga pengaruhnya bersifat mekanis (Budiono, 2003). Hal ini dapat disebabkan oleh getaran udara atau getaran mekanis, misalnya mesin atau alat-alat mekanis lainnya (Gabriel, 1996). Getaran adalah suatu faktor fisik yang menjalar ke tubuh manusia, mulai dari tangan sampai keseluruh tubuh turut bergetar (osilasi pada satu titik) akibat getaran peralatan mekanis yang di pergunakan dalam tempat kerja (Salim, 2002).

(12)

2.2.2 Jenis Getaran 2.2.2.1 Getaran Udara

Menurut Gierke dan Nixon dalam Gabriel (1996), getaran udara juga disebabkan oleh benda bergetar dan diteruskan melalui udara sehingga akan mencapai telinga. Pengaruhnya terutama pada akustik. Getaran dengan frekuensi 1-20 Hz tidak akan menyebabkan gangguan vestibular seperti gangguan orientasi, kehilangan keseimbangan, dan mual-mual. Akan tetapi dapat menimbulkan nyeri pada telinga, nyeri dada, dan bisa terjadi getaran seluruh tubuh.

2.2.2.2 Getaran Mekanis

Menurut Wignjosoebroto (2000) dalam Budiono (2005), getaran mekanis dapat diartikan sebagai getaran-getaran yang ditimbulkan oleh alat-alat mekanis yang sebagian dari getaran ini sampai ke tubuh dan mengakibatkan resonansi atau turut bergetarnya tubuh.

2.2.3 Sumber Getaran

Perkakas yang bergetar secara luas dipergunakan dalam industri logam, perakitan kapal, dan otomotif, juga dipertambangan, kehutanan, dan pekerjaan konstruksi. Perkakas yang paling banyak digunakan adalah bor pneumatik. Alat ini menghasilkan getaran mekanis dengan ciri fisik dan efeknya merugikan yang berbeda (Wijaya, 1995).

(13)

2.2.4 Efek Getaran

2.2.4.1 Getaran Seluruh Tubuh (whole body vibration)

Getaran pada seluruh tubuh atau umum (whole body vibration) yaitu terjadi getaran pada tubuh pekerja yang bekerja dengan posisi duduk atau berdiri dimana landasannya yang menimbulkan getaran. Biasanya frekuensi getaran ini adalah 5 – 20 Hz (Salim, 2002). Getaran seperti ini biasanya dialami oleh pengendara traktor, bus, helikopter, atau bahkan kapal.

Gangguan kesehatan yang ditimbulkan Whole Body Vibration yaitu gangguan aliran darah, gangguan syaraf pusat menyebabkan kelemahan degeneratif syaraf, gangguan metabolisme atau pertukaran oksigen dalam paru-paru, gangguan pada otot atau persendian (Rohmansyah, dkk., 2013).

2.2.4.2 Getaran lengan tangan (hand arm vibration)

Getaran lengan tangan atau hand arm vibration adalah getaran yang merambat melalui tangan akibat pemakaian peralatan yang bergetar, frekuensi berkisar 20 – 500 Hz (Salim, 2002). Frekuensi dapat dikatakan berbahaya apabila sudah mencapai 128 Hz, karena tubuh manusia sangat peka pada frekuensi ini. Getaran ini berbahaya pada pekerjaan seperti supir bajaj, operator gergaji rantai, tukang potong rumput, pekerja gerinda dan penempa palu.

(14)

2.3 Pekerja

2.3.1 Definisi Pekerja

Pekerja adalah penduduk yang melakukan kegiatan bekerja. Penduduk dibagi menjadi 3 yaitu penduduk usia kerja, penduduk yang termasuk angkatan kerja dan penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran.

Bekerja adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Kegiatan tersebut termasuk pola kegiatan pekerja tak dibayar yang membantu dalam suatu usaha atau kegiatan ekonomi (BPS, 2000).

2.3.2 Jenis Pekerjaan

Menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia 1990 (BPS, 2009), lapangan usaha dibagi menjadi 9 yaitu pertanian (termasuk didalamnya perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan), pertambangan dan penggalian, industri, listrik (termasuk didalamnya gas dan air minum), konstruksi, perdagangan (termasuk didalamnya rumah makan dan jasa akomodasi), transportasi (termasuk pergudangan dan telekomunikasi), lembaga keuangan (termasuk didalamnya real estate, usaha penyewaan dan jasa perusahaan), jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan. Data statistik yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (2014) menyatakan bahwa jumlah penduduk yang bekerja pada

(15)

lapangan usaha konstruksi menempati urutan ke empat tertinggi di seluruh Indonesia.

2.3.3 Pekerja Las

Pekerja las merupakan pekerja yang bekerja di lapangan usaha bidang konstruksi. Pekerjaan yang dilakukan berupa mengelas, memotong, meratakan dan membelah benda kerja (Riko, 2013). Ketika melakukan pekerjaan las, pekerja melakukan pekerjaan dengan posisi tidak ergonomis, seperti mengelas dengan membungkuk, berjongkok, dan posisi kepala mendongak ke atas. Keadaan seperti itu dapat mempengaruhi posisi kerja tangan saat melakukan pekerjaan menggerinda. Menggerinda adalah bagian dari pekerjaan pengelasan yang menggunakan mesin gerinda (Fatmawati, dkk., 2009).

Posisi tangan saat menggunakan mesin gerinda yang tidak sesuai juga akan berisiko menyebabkan terjadinya Penyakit Akibat Kerja (PAK) yaitu Carpal Tunnel Syndrome. Berdasarkan penelitian Pangestusi, dkk (2014), posisi kerja tangan responden saat menggunakan mesin gerinda sebagian besar dengan lateral pinch. Sedangkan menurut Vienza (2011), posisi lateral pinch merupakan posisi yang tidak normal dan tidak ergonomis karena jari – jari tangan tidak menggenggam sempurna sehingga berpotensi menyebabkan cedera pada tangan.

2.4 Mesin Gerinda

Mesin gerinda merupakan alat yang digunakan dalam proses menghaluskan atau meratakan permukaan dan memotong benda kerja yang

(16)

digunakan pada tahap finishing dengan daerah toleransi yang sangat kecil sehingga mesin ini harus memiliki konstruksi yang sangat kokoh (Riko, 2013).

Bekerja dengan mesin gerinda prinsipnya sama dengan proses pemotongan benda kerja. Pisau atau alat potong gerinda adalah ribuan keping berbentuk pasir gerinda yang melekat menjadi keping roda gerinda. Proses penggerindaan dilakukan oleh keping roda gerinda yang berputar menggesek permukaan benda kerja (Paryanto, 2004). Berdasarkan penelitian Pangestuti, dkk (2014), pengukuran intensitas getaran dengan menggunakan vibration meter pada mesin gerinda adalah sebesar 8 – 12 m/s2.

Gambar 2.4 Mesin Gerinda (sumber: www.makitatools.com)

Keuntungan dari proses menggerinda adalah sebagai berikut (Paryanto, 2004) : 1. Merupakan metode yang umum dari pemotongan bahan seperti baja yang

dikeraskan. Besarnya kelegaan tergantung pada ukuran, bentuk, dan kecenderungan suku cadang untuk melengkung selama operasi perlakuan panas.

(17)

2. Disebabkan banyaknya mata potong kecil pada roda, maka menimbulkan penyelesaian yang sangat halus dan memuaskan pada permukaan singgung dan permukaan bantalan. Kekasaran permukaan yang dicapai adalah 0,4 sampai 2200 µm.

3. Penggerindaan dapat menyelesaikan pekerjaan sampai ukuran teliti dalam waktu singkat. Mesin gerinda perlu pengaturan roda halus, sebab hanya jumlah kecil bahan yang dilepas, sampai ± 0,005 mm. Tekanan pelepasan logam dalam proses ini kecil, sehingga memperbolehkan untuk menggerinda benda kerja yang mudah pecah dan benda kerja yang cenderung untuk melenting menjauhi perkakas. Sifat ini memungkinkan memakai pencekam magnetis untuk memegang benda kerja dalam operasi penggerindaan.

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi Nervus Medianus
Gambar 2.3 Tinel’s Sign
Gambar 2.4 Mesin Gerinda  (sumber: www.makitatools.com)

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Menteri Agama Nomor 17 Tahun 2014 tentang Statuta Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakafta;. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 421KMK.0512008 tentang

Dari namanya juga sudah bisa tebak karena menggunakan kata "text" memang benar sistem operasi ini hanya berubah tampilan hitam yang isinya hqnya sebuah text yang berwarna

Alhamdulillah, puji syukur senantiasa peneliti panjatkankehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya,sehingga peneliti dapat

Sokrates dari sudut pandang sejarah filsafat Yunani Klasik. Dalam tulisan

Hal ini dimaksudkan untuk menampung dinamika pemanfaatan ruang mikro dan sebagai dasar antara lain transfer of development rights (TDR) dan air right

return on asset Bank Sumsel Babel periode 2008-2015 adalah tinggi tapi jika dibandingkan dengan return on asset perbankan secara nasional adalah rendah, (2)inflasi

Jl. Prof Soedarto, Tembalang, Semarang. Sebagian besar jalur yang tidak beroperasi berada pada daerah operasional IV. Penelitian ini bertujuan untuk membuat skala

Taksonomi dapat diartikan sebagai pengelompokan suatu hal berdasarkan hierarki (tingkatan) tertentu. Di mana taksonomi yang lebih tinggi bersifat lebih umum dan