• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan didorong oleh keinginan luhur untuk berperikehidupan yang bebas, bersatu, adil dan makmur sebagaimana diisyaratkan dalam Pancasila dan UUD 1945, oleh karena itu pembangunan daerah Sulawesi Selatan diwujudkan melalui penyelenggaraan pemerintah daerah yang berkedaulatan rakyat, demokratis dan pengarusutamaan gender untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan gender.

Paradigma pembangunan yang sentralistik dan birokratis, merupakan faktor penyebab hasil-hasil pembangunan menjadi tidak merata antar-daerah, antar sektor, antar wilayah dan golongan sehingga diperlukan sebuah pendekatan baru yang mampu menjawab tantangan ke depan, oleh karena itu keberadaan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dan PERDA No. 2 Tahun 2010 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, merupakan peluang sekaligus tantangan di Sulawesi Selatan dalam penyusunan kebijakan program yang berperspektif gender.

Meskipun berbagai upaya pembangunan telah banyak dilakukan, namun masih dijumpai berbagai kesenjangan gender, utamanya peluang dan akses terhadap sumberdaya pembangunan. Permasalahan pengarusutamaan gender ditinjau dari aspek manajemen adalah :

(2)

- Kurangnya pemahaman dan komitmen para stakeholders, akan pentingnya data dan indikator gender dimulai dari penyusunan perencanaan sampai pada tahap evaluasi dan berakhir pada penentuan kebijakan. - Kurangnya penciptaan akses masyarakat ke input ketersediaan data dan

indikator serta analisis gender terhadap pemerintah.

Kebijakan pemerintah Sulawesi Selatan diarahkan untuk membangun partisipasi masyarakat dalam mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di dalam masyarakat, maka pembangunan pada prinsipnya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia tanpa membedakan suku, agama, ras dan jenis kelamin secara terencana, bertahap, komprehensif dan berkesinambungan, dengan melibatkan partisipasi stakeholder yang meliputi pemerintah, dunia usaha dan masyarakat yang menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan pembangunan dalam penyusunan statistik indikator gender baik untuk kepentingan Nasional maupun Daerah.

Selanjutnya kebijakan Pembangunan Pemberdayaan Perempuan di dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013 diarahkan untuk membangun partisipasi masyarakat dalam mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di masyarakat yang diwujudkan beberapa program aksi sebagai berikut : 1). Peningkatan kesempatan bagi kaum perempuan untuk menikmati pendidikan disemua jenjang, sehingga mereka memiliki posisi tawar yang tinggi menuju terciptanya kesetaraan dan keadilan gender; 2). Peningkatan partisipasi masyarakat dalam ikut menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan anak serta peran serta masyarakat dalam menjaga kesehatan reproduksi termasuk dalam keluarga berencana; 3). Peningkatan akses kaum perempuan untuk berusaha di

(3)

bidang ekonomi produktif, termasuk mendapatkan modal pelatihan usaha, program perluasan kesempatan kerja dan informasi pasar sehingga dapat mendorong lahirnya kemandirian kaum perempuan dalam berwirausaha; 4). Peningkatan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan, sehingga tercipta keseimbangan perempuan diberbagai sektor.; 5). Peningkatan perlindungan terhadap perempuan dan anak guna mencegah terjadinya diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan bahkan tindak perdagangan perempuan dan anak (trafikking) yang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip keterpaduan dan keseimbangan.

Dalam rangka implementasi strategi dan kebijakan pengarusutamaan gender, diperlukan ketersediaan data dan informasi gender sebagai dasar analisis dan bahan perumusan program/kegiatan prioritas yang berperspektif gender. Oleh karenanya ketersediaan data dan informasi gender ini menjadi suatu keharusan dalam perumusan program/kegiatan prioritas yang memperhatikan kebutuhan, pengalaman, dan aspirasi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, sehingga dapat mengoptimalkan akses, partisipasi, control dan manfaat penduduk laki-laki dan perempuan dalam setiap tahapan pembangunan di semua bidang.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penyusunan statistik gender sebagai berikut :

• Meningkatkan ketersediaan data dan informasi statistik gender di Sulawesi Selatan, sebagai bahan analisis gender dalam rangka perumusan program/kegiatan yang berperspektif gender.

(4)

• Meningkatkan pemahaman dan komitmen akan pentingnya data dan indikator gender bagi penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program daerah.

1.3. Sumber dan Proses Pengolahan Data

Untuk penyusunan statistik gender digunakan data sekunder yang utamanya berasal dari hasil registrasi dan pencatatan pada setiap SKPD-SKPD yang terkait dan data dasar hasil survei-survei yang dilakukan BPS seperti SUSENAS, SAKERNAS, SENSUS PENDUDUK dan SDKI. Untuk mendukung data tersebut juga digunakan data hasil penelitian yang dilakukan PSW/PSG/Lemlit di masing-masing wilayah, baik data kuantitatif maupun kualitatif dan selanjutnya melalui brain storming.

Proses pengolahan data dilaksanakan secara institusional yaitu dengan mengumpulkan data primer dan sekunder meliputi data kondisi fisik dari studi kepustakaan (berbagai laporan) dan literatur seperti berbagai kebijakan yang dilaksanakan oleh SKPD lingkup Pemeintah Provinsi Sulawesi Selatan. Skema pengolahan data digambarkan dibawah sebagai berikut :

(5)

PROSES PENGOLAHAN DATA

1.4. Landasan Hukum

Komitmen Pemerintah Indonesia terhadap upaya mewujudkan kesetaraan dan keadilan Gender dilandaskan atas pasal 27 Undang-undang Dasar 1945 yang menerapkan asas persamaan antara laki-laki dan perempuan di muka hukum. Untuk memperkuat pemerintah RI telah meratifikasi beberapa konvensi International dan menandatangai beberapa kesepakatan International, seperti Konvensi Penghapusan segala Betuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) CEDAW yang diratifikasi ke dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1984, serta landasan Aksi dan deklarasi

Inventarisasi Data Pengolahan Data/Analisa Pencapaian/Penilaian Pengembangan/Rekomendasi U M P A N B A L I K Observasi/wawancara Laporan Dokumen Indikator Program Tujuan/Sasaran Dampak

(6)

Beijing tahun 1995. Berdasarkan Human Development Index tahun 1997 dan Undang-Undang No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Perda No. 10 tahun 2008 tentang RPJPD, Perda No. 10 tahun 2008 tentang RPJMD, Provinsi Sulawesi Selatan.

1.5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup statistik gender mencakup seluruh aspek pembangunan di bidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, disusun dengan sistimatika meliputi, Bab I.Pendahuluan ; Bab II. Gambaran Umum Kondisi Wilayah ; Bab III. Demografi; Bab IV. Pendidikan; Bab V. Kesehatan ; Bab VI. Kegiatan Ekonomi ; Bab VII. Sektor Publik ; Bab VIII. Kekerasan Terhadap Perempuan; Bab IX. Masalah Anak ; Bab X. Penutup.

(7)

BAB II. GAMBARAN UMUM KONDISI WILAYAH

2.1. Geografis

Secara geografis wilayah darat Provinsi Sulawesi Selatan dilalui oleh garis khatulistiwa yang terletak antara 0012’~80 Lintang Selatan dan 1160 48’~122’ 36’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara dan Teluk Bone serta Provinsi Sulawesi Tenggara di sebelah timur, serta berbatasan dengan Selat Makassar di sebelah barat dan Laut Flores di sebelah timur. Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan khususnya wilayah daratan mempunyai luas kurang lebih 45.519,24 km2, dimana sebagian besar wilayah daratnya berada pada jazirah barat daya Pulau Sulawesi serta sebagian lainnya berada pada jazirah tenggara Pulau Sulawesi.

2.1.1. Topografi

Wilayah Sulawesi Selatan membentang mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Kondisi Kemiringan tanah 0 sampai 3 persen merupakan tanah yang relatif datar, 3 sampai 8 persen merupakan tanah relatif bergelombang, 8 sampai 45 persen merupakan tanah yang kemiringannya agar curam, lebih dari 45 persen tanahnya curam dan bergunung. Wilayah daratan terluas berada pada 100 hingga 400 meter DPL, dan sebahagian merupakan dataran yang berada pada 400 hingga 1000 meter DPL. Terdapat sekitar 65 sungai yang mengalir di provinsi ini, dengan jumlah sungai terbesar ada di bagian utara wilayah provinsi ini. Lima danau besar menjadi rona spesifik wilayah ini, yang tiga di antaranya yaitu Danau Matana, Danau Towuti dan Danau Mahalona di

(8)

Kabupaten Luwu Timur, serta dua danau lainnya yaitu Danau Tempe dan Danau Sidenreng yang berada di Kabupaten Wajo.

2.1.2. Geologi

Struktur geologi batuan di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki karakteristik geologi yang dicirikan oleh adanya berbagai jenis satuan batuan yang bervariasi. Struktur dan formasi geologi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari volkan tersier, Sebaran formasi volkan tersier ini relatif luas mulai dari Cenrana sampai perbatasan Mamuju, daerah Pegunungan Salapati (Quarles) sampai Pegunungan Molegraf, Pegunungan Perombengan sampai Palopo, dari Makale sampai utara Enrekang, di sekitar Sungai Mamasa, Sinjai sampai Tanjung Pattiro, di deretan pegunungan sebelah barat dan timur Ujung Lamuru sampai Bukit Matinggi. Batuan volkan kwarter, Formasi batuan ini ditemukan di sekitar Limbong (Luwu Utara), sekitar Gunung Karua (Tana Toraja) dan di Gunung Lompobatang (Gowa).

Kapur kerang terdapat di sebelah barat memanjang antara Enrekang sampai Rantepao, utara Parepare, di Pegunungan Bone Utara sebelah barat Watampone, bagian barat Pulau Selayar, dan di Tanjung Bira (Bulukumba).

Alluvium kwarter, dijumpai di dataran sepanjang lembah sungai antara Sungai Saddang dan Danau Tempe, Sungai Cenrana di dataran antara Takalar – Sumpang Binangae (Barru), di selatan Parepare, di dataran Palopo – Malili, di selatan Palopo sampai Umpu, di sekitar Sinjai serta di Rantepao (Tana Toraja) dan Camba (Maros).

(9)

Sekis hablur, formasi ini ditemukan di beberapa tempat seperti di bagian barat Sabbang (Luwu Utara), Pegunungan Latimojong, di sebelah tenggara Barru dan di Bukit Tanjung Kerambu di Kabupaten Pangkep. Batuan sedimen mesozoikum, Formasi ini ditemukan di daerah Tana Toraja (Pegunungan. Kambung dan di sebelah barat Masamba) batuan terdiri dari serpih, napal, batu tulis, batu pasir, konglomerat yang umumnya berwarna merah, ungu, biru, dan hijau.

Batuan plutonik basa, dijumpai di bagian timur Malili dan tersebar sebagai intrusi antara lain di bagian utara Palopo, di Gunung Maliowo dan Gunung Karambon. Batuan plutonik masam, ditemukan di sekitar Sungai Mamasa, sedangkan granodiorit dijumpai di barat laut Sasak. Di antara Masamba dan Leboni. Batuan sediment paleogen, Tersebar di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu di bagian timur Pangkajene sampai di timur Maros, memanjang di bagian timur lembah Walane dan di tenggara Sungai Sumpatu. Batuan sedimen neogen, penyebarannya di sekitar Lodong, sebelah timur Masamba memanjang dari utara Enrekang sampai Pompanua, dari Sengkang ke tenggara sampai Rarek dan ke selatan sampai Sinjai, di Pulau Selayar bagian timur dan di selatan Sinjai sampai Kajang.

2.1.3. Hidrologi

Pada wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, terdapat sekitar 65 sungai mengaliri berbagai kabupaten khususnya yang berada di dataran tinggi. Di wilayah Luwu terdapat 25 aliran sungai. Kabupaten Tana Toraja, Enrekang, dan Pinrang dialiri oleh sungai terpanjang yakni sungai Saddang (150 km). DAS Jeneberang meliputi wilayah 8 (delapan)

(10)

kabupaten di bagian selatan Sulawesi Selatan, termasuk kota Makassar, mencakup wilayah seluas 825,607 Ha dan kawasan hutan seluas 204,427 Ha. Sungai Walanae mengalir di kawasan Bone dan Wajo, sementara di Gowa dan Makassar mengalir sungai Jeneberang. Danau Tempe dan Sidenreng terdapat di Kabupaten Wajo dan sekitarnya, sementara di wilayah Luwu terdapat danau Matana dan Towuti. Pada wilayah bagian tengah wilayah Sulawesi Selatan, Formasi Walanae merupakan suatu formasi lapisan batuan pembawa air yang bersifat tertekan dengan debit kecil sampai sedang. Air tanah bebas dijumpai pada endapan alluvial dan endapan pantai, endapan formasi walanae serta pada lembah-lembah yang ditempati oleh endapan batuan formasi Camba.

2.1.4. Klimatologi

Provinsi Sulawesi Selatan terdapat dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau, dimana musim hujan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. November sampai Maret angin bertiup sangat banyak mengandung uap air yang berasal dari Benua Asia dan Samudera Pasifik sehingga pada bulan-bulan tersebut sering terjadi musim hujan.

Berdasarkan klasifikasi tipe iklim menurut Oldeman, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 5 jenis iklim, yaitu Tipe iklim A termasuk kategori iklim sangat basah dimana curah hujan rata-rata 3500-4000 mm/tahun. Wilayah yang termasuk ke dalam tipe ini adalah Kabupaten Enrekang, Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur.

Tipe Iklim B, termasuk iklim basah dimana Curah hujan rata-rata 3000 – 3500 mm/tahun. Wilayah tipe ini terbagi 2 tipe yaitu (B1) meliputi

(11)

Kabupaten Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur, Tipe B2 meliputi Gowa, Bulukumba, dan Bantaeng.

Tipe iklim C termasuk iklim agak basah dimana Curah hujan rata-rata 2500 – 3000 mm/tahun. Tipe iklim C terbagi 3 yaitu Iklim tipe C1 meliputi Kabupaten Wajo, Luwu, dan Tana Toraja. Iklim C2 meliputi Kabupaten Bulukumba, Bantaeng, Barru, Pangkep, Enrekang, Maros dan Jeneponto. Sedangkan tipe iklim C3 terdiri dari Makassar, Bulukumba, Jeneponto, Pangkep, Barru, Maros, Sinjai, Gowa, Enrekang, Tana Toraja, Parepare, Selayar.

Tipe iklim D dengan Curah hujan rata-rata 2000 – 2500 mm/tahun. Tipe iklim ini terbagi 3 yaitu Wilayah yang masuk ke dalam iklim D1 meliputi Kabupaten Wajo, Bone, Soppeng, Luwu, Tana Toraja, dan Enrekang. Wilayah yang termasuk ke dalam iklim D2 terdiri dari Kabupaten Wajo, Bone, Soppeng, Sinjai, Luwu, Enrekang, dan Maros. Wilayah yang termasuk iklim D3 meliputi Kabupaten Bulukumba, Gowa, Pangkep, Jeneponto, Takalar, Sinjai dan Kota Makassar

Tipe iklim E dengan Curah hujan rata-rata antara 1500 – 2000 mm/tahun dimana tipe iklim ini disebut sebagai tipe iklim kering. Tipe iklim E1 terdapat di Kabupaten Maros, Bone dan Enrekang. Tipe iklim E2 terdapat di Kabupaten Maros, Bantaeng, dan Selayar.

2.2. Sejarah

Sebelum Proklamasi RI, Sulawesi Selatan, terdiri atas sejumlah wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan didiami empat etnis yaitu ; Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja.

(12)

Ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas yaitu Luwu, Gowa dan Bone, yang pada abad ke XVI dan XVII mencapai kejayaannya dan telah melakukan hubungan dagang serta persahabatan dengan bangsa Eropa, India, Cina, Melayu dan Arab. Setelah kemerdekaan, dikeluarkan UU Nomor 21 Tahun 1950 dimana Sulawesi Selatan menjadi propinsi Administratif Sulawesi dan selanjutnya pada tahun 1960 menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960. Pemisahan Sulawesi Selatan dari daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara ditetapkan dengan UU Nomor 13 Tahun 1964, sehingga menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan.

Periode Gubernur : I. Gubernur Sulawesi 1945 – 1949 DR. G. S.S.J. Ratulangi 1950 – 1951 B. W. Lapian 1951 – 1953 R. Sudiro 1953 – A. Burhanuddin 1953 - 1956 Lanto Dg. Pasewang 1956 – 1959 A. Pangerang Pettarani II. Gubernur Sulawesi Selatan dan Tenggara :

1959 – 1960 A. Pangerang Pettarani 1960 – 1966 A. A. Rivai.

III. Gubernur Sulawesi Selatan

1966 – 1978 Ahmad Lamo (Dua periode) 1978 – 1983 Andi Oddang

(13)

1993 - 2003 H. Z. B. Palaguna (Dua periode) 2003 - 2008 H. M. Amin Syam

2008 - Ahmad Tanribali Lamo Pejabat Gubernur Sementara 2008 - Syahrul Yasin Limpo sekarang

2.3.

Sosial Ekonomi dan Budaya

Kekayaan dan keragaman budaya dalam tatanan Sulawesi Selatan sangat bervariasi sebagai satu rumpun budaya yang terdiri dari Bugis, Makassar, dan Toraja. Rumpun Makassar dominan berada pada Kabupaten di wilayah Selatan Sulawesi Selatan. Rumpun Toraja tersebar di Kabupaten Tana Toraja dan Luwu. Rumpun Bugis tersebar di wilayah utara Sulawesi Selatan. Gambaran ini menunjukkan keragaman budaya yang tersebar pada wilayah yang beragam pula. Di balik keragaman tersebut, terdapat pula keragaman sistem nilai dan norma serta adat-istiadat yang spesifik. Variasi-variasi ini terkait pula dengan potensi kearifan lokal yang bisa berkembang dalam tatanan sosial budaya. Selain itu, terkandung pula potensi berkembangnya interaksi sosial dan komunikasi lintas budaya, yang dapat mendorong dinamika perubahan secara lebih kreatif dalam menanggapi spirit zaman.

Komunitas pedesaan terdiri dari nelayan, petambak, petani, dan pengrajin. Komunitas ini merupakan suatu komunitas berskala kecil namun tetap memiliki kearifan lokal. Komunitas petani adalah komunitas yang terbesar di seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Disamping itu berapa komunitas yang berbasis pada aktivitas ekonomi sekunder, antara lain pengrajin besi di Massepe Sidrap dan pengrajin perahu di Bira Bulukumba

(14)

yang berkaitan dengan sumberdaya alam yang ada disekitarnya. Komunitas petani misalnya, memahami kapan waktu yang tepat untuk mulai menanam serta bagaimana menangani hama, demikian pula dengan komunitas nelayan yang telah menyatu dengan pantai dan laut, sehingga mereka dapat memprediksi lebih awal kondisi dan permasalahan yang akan terjadi baik di pantai maupun di laut.

Pada era globalisasi, eksistensi keberadaan beberapa komunitas yang terkait dengan sektor pertanian masih ada yang mengalami ketertinggalan akibat dari ketidakmampuan bersaing dengan berbagai produk lainnya yang beredar dipasaran. Disamping itu juga umumnya masih mengalami masalah persyaratan dalam mengakses permodalan pada kelembagaan keuangan seperti Bank Rakyat yang ditawarkan pemerintah melalui berbagai program perkreditan.

Disamping itu juga terdapat komunitas tradisional yang mampu bertahan di antaranya adalah komunitas Ammatoa di Kajang Bulukumba, Karangpuang di Sinjai, Tolotang di Sidrap, Aluk Todolo di Toraja, Pua Cerekang di Luwu. Senyatanya, komunitas ini benar-benar merupakan suatu komunitas yang memiliki karakteristik tersendiri. Komunitas ini masih tetap eksis walaupun secara sosial dikelilingi oleh berbagai informasi dan iptek namun karakteristik tetap dipertahankan.

(15)

BAB III. DEMOGRAFI

3.1. Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin

Penduduk merupakan salah satu sumber daya potensial dalam menunjang aktifitas pembangunan bangsa dan negara. Kedudukannya sebagai Sumber Daya Manusia memegang peranan penting karena berfungsi menggerakkan faktor-faktor produksi dan jasa lainnya. Justru itu, penduduk termasuk kategori aset atau modal pembangungan yang sifatnya dinamis. Namun bila tidak dimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin, penduduk cenderung menjadi tidak produktif dan bahkan semakin menambah beban bagi negara atau daerah tertentu.

Keberadaan penduduk sebagai obyek dan subyek pembangunan diharapkan mampu mengembangkan kreatifitasnya dengan segala kemampuan yang dimiliki untuk pencapaian tujuan pembangunan yaitu untuk meningkatkan harkat dan martabatnya agar dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata. Perwujudan hal tersebut, tentunya hanya bisa dicapai melalui peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia serta mengarahkannya secara profesionalisme.

Dalam berbagai kegiatan pembangunan atau produksi, penduduk berfungsi sebagai penyedia tenaga kerja. Kontribusinya terhadap suatu daerah sangat ditentukan oleh tingkat partisipasi kerja. Propinsi Sulawesi Selatan sendiri tidak terlepas dari hal tersebut, dimana penduduknya yang teridi dari laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama dalam pasar tenaga kerja untuk menempatkan dirinya sebagai tenaga kerja. Populasi penduduk kadang kala menjadi dilematis karena di samping tersedianya banyak tenaga kerja, dapat pula menimbulkan pengangguran. Penduduk Sulawesi Selatan berdasarkan DAU Tahun 2009 berjumlah

(16)

7.908.519 jiwa yang tersebar di 24 kabupaten/kota, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 1.271.870 jiwa mendiami Kota Makassar. Secara keseluruhan, jumlah penduduk yang berjenis kelamin perempuan lebih banyak dari penduduk yang berjenis kelamin Laki-laki, hal ini tercermin dari angka rasio jenis kelamin yang lebih kecil dari 100. Hanya di daerah Kabupaten Luwu dan Luwu Utara yang menunjukkan angka rasio jenis kelamin lebih besar dari 100, yang berarti penduduk Laki-laki di dua daerah tersebut lebih besar dari jumlah penduduk perempuan.

3.1.

Tabel. ....Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin menurut Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan, 2008- 2009

Kabupaten/Kota Laki-Laki Perempuan Rasio Jenis Kelamin Male Female Sex Ratio (1) (2) (3) (5) 01. Selayar 58.659 63.090 92,98 02. Bulukumba 188. 057 206.689 90,99 03. Bantaeng 83.500 90.676 92,09 04. Jeneponto 161.674 172.501 93,72 05. Takalar 121.738 136.236 89,36 06. Gowa 305.202 312.110 97,78 07. Sinjai 110.225 118.079 93,35 08. Maros 147.210 159.477 92,31 09. Pangkep 143.138 155.563 92,01 10. Barru 77.891 85.094 91,53 11. Bone 326.550 385.198 84,77 12. Soppeng 108.104 122.640 88,15 13. Wajo 178.263 202.803 87,90 14. Sidrap 124.146 128.337 96,73 15. Pinrang 172 607 178.435 96,73 16. Enrekang 96.184 94.392 101,90 17. Luwu 165.895 162.285 102,22 18. Tana Toraja 236.031 233.308 101,17 22. Luwu Utara 166.109 155.870 106,57 25. Luwu Timur 119.294 118.060 101,05 26. Toraja Utara - - - 71. Makassar 617.747 654.123 94,44 72. Pare Pare 57.032 61.810 92,27 73. Palopo 71.718 74.764 95,92 Jumlah - Total 2009 3.836.971 4.071.548 94,24 2008 3.763.085 4.041.939 93,10 Sumber : BPS Provinsi Selatan (DAU 2009)

(17)

Penduduk Propinsi Sulawesi Selatan selama periode tahun 2007 – 2008 cenderung mengalami peningkatan, baik untuk jenis kelamin laki-laki maupun perempuan. Jika di tahun 2007 jumlah penduduk sebanyak 7.675.893 jiwa yang terdiri dari laki-laki 3.717.194 jiwa atau 48,43 persen dan perempuan sebesar 3.958.699 jiwa atau 51,57 persen, maka pada tahun 2009 jumlah penduduk mencapai 7.908.519 jiwa dengan rincian : laki-laki 3.836.971 jiwa dan perempuan 4.071.548 jiwa. Apabila ditinjau dari aspek ketenagakerjaan, maka gejala kependudukan tersebut akan menunjukkan relatif tingginya penyediaan tenaga kerja untuk jenis kelamin perempuan sehingga peluangnya untuk memasuki lapangan kerja yang tersedia terbuka luas. Pertambahan penduduk sekitar 232.626 jiwa (periode 2007 – 2009) ditandai dengan meningkatnya penduduk jenis kelamin laki-laki sebanyak 119.777 jiwa dan perempuan sebesar 112849 jiwa persen. Pertumbuhan penduduk di masa yang akan datang diperkirakan terus berlangsung dan membawa dampak terhadap semakin menumpuknya domisili penduduk di daerah perkotaan serta bertambahnya tingkat pengangguran. Oleh sebab itu, diperlukan langkah-langkah antisipatif dengan jalam membuka lapangan kerja secara luas dan merata ke berbagai daerah Kabupaten.

3.2. Jumlah Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis

Menyangkut aspek kependudukan, maka kita dapat memahaminya dari beberapa segi dan tergantung pada kualifikasi kebutuhan data. Kualitas dan kuantitas penduduk tidak semata-mata dinilai dari jumlahnya, tetapi dapat pula ditinjau berdasarkan komposisi umur. Pembagian klasifikasi umur tentunya disesuaikan dengan konsep-konsep ketenagakerjaan karena

(18)

sangat erat kaitannya terhadap penyajian data terpilah. Tinjauan tenaga kerja berdasarkan kelompok umur, dibedakan atas 2 (dua) yaitu umur produktif dan umur tidak produktif. Termasuk kategori umur produktif adalah tenaga kerja yang berusia 25 sampai 64 tahun, sedangkan umur tidak produktif terdiri dari kelompok usia 0-14 tahun dan di atas 65 tahun. Sehubungan penjelasan tersebut di atas, maka kondisi penduduk Propinsi Sulawesi Selatan ditunjukkan sebagai berikut :

Tabel ....Penduduk menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Sulawesi Selatan, 2008- 2009

Kelompok Laki-Laki Perempuan Jumlah Rasio Umur Male Female Sex Ratio Jenis Kelamin (1) (2) (3) (5) (6) 0 – 4 375 198 352 040 727 238 106,58 5 - 9 447 014 407 851 854 865 109,60 10 - 14 431 498 409 938 841 437 105,26 15 - 19 351 712 362 508 714 220 97,02 20 - 24 291 052 309 477 600 529 94,05 25 - 29 301 980 343 087 645 067 88,02 30 - 34 275 764 311 959 587 723 88,40 35 - 39 296 539 327 183 623 722 90,63 40 - 44 237 824 266 303 504 127 89,31 45 - 49 210 957 228 271 439 227 92,42 50 - 54 168 401 195 258 363 660 86,25 55 - 59 135 327 144 647 279 973 93,56 60 - 64 106 189 144 438 250 627 73,52 65 + 207 515 268 589 476 104 77,26 Jml - Total 2009 3.836.971 4.071.548 7.908.519 94,24 2008 3.763.085 4.041.939 7.805.024 93,10

Sumber : BPS Provinsi Selatan (DAU 2009)

(19)

Dalam hal ini penduduk diklasifikasikan menurut kelompok umur dan jenis kelamin degan tujuan agar lebih memahami spesifikasi kependudukan sesuai kepentingannya. Pengelompokan umur penduduk pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan digolongkan dalam 3 (tiga) tingkatan. Pada tahun 2008, penduduk jenis kelamin laki-laki yang jumlahnya 3.857.664 jiwa terdiri dari : penduduk usia muda di bawah 15 tahun jumlahnya 1.68.101 jiwa atau 32,87 persen, penduduk produktif (15-59 tahun) sebanyak 2.378.918 jiwa atau 61,67 persen, dan penduduk usia lanjut lanjut yaitu bersuai 60 tahun ke atas sebesar 210.645 jiwa atau 5,46 persen. Begitu pula halnya dengan penduduk perempuan yang jumlahnya 4.256.084 jiwa secara rinci terdiri atas : penduduk usia muda di bawah 15 tahun sebesar 1.201.473 jiwa atau 28,22 persen, penduduk produktif 15-59 tahun 2.672.677 jiwa atau 62,80 persen dan usia lanjut yaitu 60 tahun ke atas sebanyak 381.934 jiwa atau -8,98 persen. Lebihlanjut dijelaskan perbandingan kedua jenis kelamin berdasarkan kelompok umur, dimana penduduk laki-laki usia muda sebanyak 38,87 persen lebih besar dari perempuan yaitu 28,22 persen. Untuk kategori usia produktif, laki-laki 61,67 persen lebih kecil dari perempuan yang jumlahnya 62,80 persen. Sementara pada kelompok usia lanjut, laki-laki 5,46 persen lebih kecil dari perempuan yang besarnya 8,98 persen.

Apabila kita melihat grafik, nampak sangat jelas bahwa pada keloompok usia 0 -14 tahun jumlah penduduk laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Kenyataan ini menggambarkan pada periode selanjutnya peluang laki-laki untuk memasuki lapangan kerja

(20)

lebih potensial ketimbang perempuan. Berbeda halnya dengan kondisi kelompok usia 15 – 59 tahun dan usia 60 tahun ke atas, dimana jumlah penduduk perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki sehingga lebih memiliki potensi mengisi lapangan kerja. Namun apa yang dijabarkan disini masih sebatas konteks estimasi, sedangkan riilnya tergantung bagaimana kedua jenis kelamin bisa memanfaatkan peluang kerja yang tersedia. Selisih jumlah perempuan dengan laki-laki pada komposisi usia produktif sekitar 1,13 persen karena perempuan mencapai 62,80 persen sedang laki-laki hanya 61,67 persen.

(21)

BAB IV. PENDIDIKAN

Pendidikan, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 merupakan tugas pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan sistim pendidikan nasional guna meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Disamping itu, sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin mutu, pemerataan, relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah dan berkesinambungan.

Untuk itu, salah satu kebijakan dalam bidang pendidikan saat ini adalah Pendidikan Untuk Semua (PUS) atau yang lebih dikenal dengan EFA (Education For All), sesuai kesepakatan internasional yang lebih dikenal dengan Deklarasi DAKAR, yang menargetkan bahwa ; (1) menjelang tahun 2015, semua anak khususnya anak perempuan, anak-anak yang dalam keadaan sulit dan mereka yang termasuk etnik minoritas, mempunyai akses dan menyelesaikan Pendidikan Dasar yang bebas dan wajib dengan kualitas yang baik; (2) mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa, menjelang tahun 2015, terutama bagi kaum perempuan, dan akses yang adil pada pendidikan dasar dan pendidikan berkelanjutan bagi semua orang dewasa; (3) penghapusan kesenjangan gender pada pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai kesetaraan gender dalam pendidikan pada tahun 2015, dengan fokus pada kapasitas

(22)

sepenuhnya bagi anak perempuan terhadap akses dalam memperoleh pendidikan dasar yang bermutu.

Menyimak kesepakatan Dakar tersebut, maka kita dapat memahami pentingnya pendidikan yang responsif gender, oleh karena salah satu indikator pembangunan manusia atau yang lebih dikenal dengan HDI/IPM adalah pendidikan. 4.1.Buta Aksara (Keaksaraan Fungsional/KF) Tabel 4.1 Jumlah Buta Aksara di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008 - 2009

No. Kabupaten/ Kota Tahun 2008 Keaksaran Fungsional (KF)

Jumlah Tahun 2009 Jumlah

LK PR LK PR 1 Selayar 1.037 1.813 2.850 382 668 1.050 2 Bulukumba 2.031 3.549 5.580 989 1.731 2.720 3 Bantaeng 2.419 4.226 6.645 3.329 5.821 9.150 4 Jeneponto 3.225 5.635 8.860 1.239 2.156 3.395 5 Takalar 1.474 2.576 4.050 846 1.479 2.325 6 Gowa 5.231 9.139 14.370 3.305 5.775 9.080 7 Sinjai 819 1.431 2.250 684 1.196 1.880 8 Maros 2.311 4.039 6.350 2.420 4.230 6.650 9 Pangkep 601 1.049 1.650 1.074 1.876 2.950 10 Barru 1.423 2.487 3.910 1.359 2.376 3.735 11 Bone 648 1.132 1.780 246 429 675 12 Soppeng 189 1.981 2.170 513 896 1.409 13 Wajo 1.955 3.415 5.370 1.765 3.085 4.850 14 Sidrap 997 1.743 2.740 393 687 1.080 15 Pinrang 1.197 2.093 3.290 1.073 1.877 2.950 16 Enrekang 819 1.431 2.250 403 697 1.100 17 Luwu 571 33.967 34.538 428 747 1.175 18 Tana Toraja 823 39.737 40.560 619 1081 1.700 19 Luwu Utara 321 41.835 42.156 - - - 20 Luwu Timur 2.389 23.810 26.199 425 750 1.175 21 Makassar 2.022 109.407 111.429 517 907 1.424 22 Pare-pare 441 12.740 13.181 109 191 300 23 Palopo 473 14.195 14.668 167 293 460 Jumlah (Prov. Sul-Sel) 33.416 323.430 356.846 22.285 38.948 61.233 Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sulawsi Selatan, 2010

(23)

Berdasarkan data Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan seperti terlihat pada Tabel 4.1, jumlah buta huruf (aksara) di Provinsi Sulawesi Selatan untuk tahun 2008 sebanyak 356.846 orang, diantaranya laki-laki sebanyak 33.430 orang atau 9% dan perempuan sebanyak 323.430 orang atau 91%.

Sementara untuk tahun 2009 mengalami penurunan sehingga yang buta aksara tersisa 61.233 orang, laki-laki sebanyak 22.285 orang atau 36% dan perempuan sebanyak 38.948 orang atau 64%.

Dari 23 kabupaten yang ada di Provinsi Sulawesi Selatan nampaknya Kota Makassar yang terbanyak dengan jumlah penduduk yang buta aksara sebanyak 111.429 orang pada tahun 2008 diantaranya laki-laki 2.022 orang atau 2% dan perempuan 109.407 orang atau 98%. Sementara untuk tahun 2009 Kota Makassar berhasil mengurangi, sehingga jumlah penduduk buta aksara tinggal 1.424 orang, diantaranya laki-laki 517 orang atau 36% dan perempuan sebanyak 907 orang atau 64%.

Prov. Sul-Sel 9% 91% % LK % PR Prov. Sul-Sel 36% 64% % LK % PR

(24)

Sementara dari 23 kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan yang paling sedikit jumlah penduduk buta aksara pada tahun 2008 adalah Kabupaten Pangkep yaitu 1.650 orang, diantaranya laki-laki sebanyak 601 orang atau 36% dan perempuan sebanyak 1.049 orang atau 64%. Untuk tahun 2009 kabupaten yang paling sedikit buta aksaranya adalah Kota Pare-Pare yaitu 300 orang, diantaranya laki-laki sebanyak 109 orang atau 36% dan perempuan sebanyak 191 orang atau 64%. Sementara itu informasi data di Kabupaten Luwu Utara belum ada di tahun 2009.

Informasi tersebut diatas menunjukkan bahwa Kabupaten Pangkep perlu memperhatikan bagaimana kebijakan di bidang pendidikan agar jumlah penduduk yang buta aksara tidak bertambah tetapi seharusnya berkurang. Hal ini juga berlaku bagi kabupaten lain yang sama kondisinya dengan Kabupaten Pangkep, sehingga apa yang diharapkan sesuai kesepakatan Dakar yaitu mencapai perbaikan 50% pada tingkat keniraksaraan orang dewasa, menjelang tahun 2015, terutama perempuan. 4.2. Partisipasi Sekolah

Umumnya, terdapat dua ukuran partisipasi sekolah yang utama, yaitu Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Keduanya mengukur penyerapan penduduk usia sekolah oleh sektor pendidikan. Perbedaan diantara keduanya adalah penggunaan kelompok usia "standar" di setiap jenjang pendidikan. Usia standar yang dimaksud adalah rentang usia yang dianjurkan pemerintah dan umum dipakai untuk setiap jenjang pendidikan, yang ditampilkan pada tabel berikut:

(25)

Tabel 1: Usia standar di setiap jenjang pendidikan

Jenjang Kelompok usia

SD 7 - 12 tahun

SMP 13 - 15 tahun

SMA 16 - 18 tahun

Perguruan tinggi 19 tahun keatas

Angka partisipasi sekolah sangat erat kaitannya dengan ketersediaan fasilitas pendidikan dan tenaga pengajar serta kesadaran masyarakat untuk aktif dalam bidang pendidikan. Untuk dapat melihat keadaan partisipasi sekolah, maka hal penting yang perlu dikaji sebelumnya adalah ketersediaan fasilitas dan tenaga pengajar sekolah sebagai bagian dari faktor yang menentukan keberhasilan dalam proses belajar mengajar. Keaktifan masyarakat sangat menentukan tingkat partisipasi sekolah sehingga kesadaran, motivasi dan semangat masyarakat memanfaatkan fasilitas untuk bersekolah sangat penting.

Pemerataan pendidikan bagi masyarakat sebagai wujud pemerataan pendidikan nasional memerlukan dukungan yang besar bagi semua kalangan baik dari pemerintah pusat terlebih lagi dari masyarakat, wujud dari partisipasi ini adalah tersedianya fasilitas pendidikan berupa sarana dan prasarana sekolah.

Ketersediaan sarana dan prasarana sekolah akan mempermudah para siswa untuk mengakses pendidikan, sarana dan prasarana yang memadai akan menciptakan lingkungan pendidikan yang berkualitas, suasana belajar akan lebih hidup dan minat mencari ilmu pengetahuan bagi siswa akan tinggi.

(26)

Tabel 4.2 Jumlah Sarana dan Prasarana Sekolah Menurut Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan

Kabupaten/ Kota Sekolah Total TK SD SLTP SD LB SLB RA MI MTs SLTA MA SMK Selayar 15 159 34 1 - 20 13 10 7 1 4 264 Bulukumba 63 351 62 1 2 29 36 42 14 13 7 620 Bantaeng 16 138 21 1 - 2 12 24 4 14 5 237 Jeneponto 86 253 54 1 1 5 15 35 12 12 8 482 Takalar 19 233 38 1 1 1 9 18 11 9 7 347 Gowa 60 381 81 1 3 22 76 60 18 18 13 733 Sinjai 41 248 39 1 1 11 26 27 8 15 4 421 Maros 130 672 103 1 2 11 77 54 22 13 5 1.090 Pangkep 38 253 51 1 - 8 23 30 20 15 6 445 Barru 53 340 55 1 1 7 11 21 14 12 7 522 Bone 52 231 31 1 - 10 27 16 9 10 3 390 Soppeng 134 433 42 1 2 14 21 26 12 6 8 699 Wajo 61 259 55 1 1 13 33 19 9 8 6 465 Sidrap 64 252 46 1 - 9 11 17 12 8 6 426 Pinrang 33 336 49 1 - 34 23 19 13 5 8 521 Enrekang 23 212 37 - 1 6 20 20 10 10 5 344 Luwu 54 227 64 - - 3 44 34 15 13 4 458 Tana Toraja 42 351 46 - 0 3 22 37 10 11 2 524 Luwu Utara 83 150 34 - - - 15 23 15 7 2 329 Luwu Timur 51 376 112 1 3 6 10 5 24 2 36 626 Makassar 202 479 179 - 11 22 56 40 104 22 87 1.202 Pare-pare 43 100 24 1 3 12 8 10 7 8 11 227 Palopo 28 70 22 1 - - 2 3 14 1 26 167 Jumlah (Prov. Sul-Sel) 1.391 6.504 1.279 18 32 248 590 590 384 233 270 11.539

Sumber: Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan Tahun 2010

Tabel 4.2 diatas menunjukkan ketersediaan sarana sekolah di Sulawesi Selatan sebanyak 11.539 unit, sarana sekolah terbanyak di Kota Makassar yang merupakan ibukota provinsi dengan jumlah 1.202 buah diantaranya sarana sekolah TK sebanyak 202 unit jenjang pendidikan tingkat SD sebanyak 479 unit, jenjang pendidikan SLTP sebanyak 179 unit, SLB 11 unit, RA 22 unit, MI 56 unit, MTs 40 unit, SLTA 104 unit, MA 22 unit dan jenjang pendidikan SMK sebanyak 87 unit. Sedangkan kabupaten

yang memiliki jumlah sarana sekolah paling sedikit adalah Kota Palopo dengan jumlah 167 unit diantaranya sarana sekolah TK sebanyak 28 unit

(27)

jenjang pendidikan SD sebanyak 70 buah, jenjang pendidikan SLTP sebanyak 22 unit, MI 2 unit, MTs 3 unit, SLTA 14, MA I unit dan jenjang pendidikan SMK sebanyak 26 unit. Untuk lebih jelasnya mengenai perbandingan jumlah sarana sekolah berdasarkan jenjang pendidikan pada setiap kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Diagram 4.3.

(28)

Diagram 4.3 menujukkan ketersediaan sarana sekolah di Provinsi Sulawesi Selatan yang terlihat bahwa persentase ketersediaan sarana sekolah terbanyak berturut-turut yaitu pada jenjang pendidikan SD sebanyak 57%, kemudian TK sebanyak 12 %, jenjang pendidikan SLTP sebanyak 11 % dan SLTA sebanyak 3 %.

Peningkatan mutu pendidikan bagi murid sekolah selain dengan tersedianya sarana dan prasarana pendidikan juga harus ditunjang oleh tenaga pengajar yang profesional agar program pendidikan berjalan dengan baik.

Berdasarkan Tabel 4.3 diatas yang bersumber dari Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan 2010 menunjukkan bahwa jumlah guru di Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 21.399 orang diantaranya guru pada jenjang pendidikan TK sebanyak 7.227 orang, yang terdiri dari laki-laki hanya 1 orang dan perempuan 7.226 orang. Adanya perbedaan yang mencolok antara jumlah guru laki-laki dan perempuan pada jenjang

Diagram 4.3.

Persentase Ketersediaan Sarana Sekolah Menurut Pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan

(29)

pendidikan TK ini kemungkinan dipengaruhi oleh minat dari laki-laki untuk menjadi guru TK yang rendah dibanding perempuan, dan ini tidak lepas pula dari asumsi dasar masyarakat tentang peran gender. Selanjutnya pada jenjang pendidikan SD/MI sebanyak 54.629 orang yang terdiri dari laki-laki 22.232 orang dan perempuan 32.397 orang, dan pada jenjang pendidikan SLTP/MTs sebanyak 12.850 yaitu laki-laki 54.629 orang dan perempuan 8.549 orang. Untuk jenjang pendidikan SLTA/MA tidak diperoleh data tentang jumlah guru yang ada. Untuk melihat perbandingan jumlah guru menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Diagram 4.4. berikut:

Pada Diagram 4.4 tersebut, nampak bahwa persentase guru perempuan yang mengajar mulai dari jenjang pendidikan TK sampai SLTP jauh lebih banyak yaitu mencapai 63 % dibanding laki-laki yaitu dengan persentase 37 %. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa peran perempuan

Diagram 4.4.

Jumlah Guru Menurut Jenis Kelamin pada Jenjang Pendidikan TK - SLTP di Provinsi Sulawesi Selatan

(30)

dalam memajukan pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan sudah cukup baik.

Selanjutnya untuk itu dapat melihat keadaan partisipasi sekolah di Provinsi Sulawesi Selatan yang terdiri dari Angka Partisipasi Sekolah (APS), Angka Partisipasi Murni (APM), dan Angka Partisipasi Kasar (APK) berdasarkan kelompok umur.

4.2.1. Angka Partisipasi Sekolah

Angka partisipasi sekolah merupakan ukuran daya serap sistem pendidikan terhadap penduduk usia sekolah. Angka tersebut memperhitungkan adanya perubahan penduduk terutama usia muda. Ukuran yang banyak digunakan di sektor pendidikan seperti pertumbuhan jumlah murid lebih menunjukkan perubahan jumlah murid yang mampu ditampung di setiap jenjang sekolah. Sehingga, naiknya persentase jumlah murid tidak dapat diartikan sebagai semakin meningkatnya partisipasi sekolah. Kenaikan tersebut dapat pula dipengaruhi oleh semakin besarnya jumlah penduduk usia sekolah yang tidak diimbangi dengan ditambahnya infrastruktur sekolah serta peningkatan akses masuk sekolah sehingga partisipasi sekolah seharusnya tidak berubah atau malah semakin rendah.

Data nasional tahun 2006 sampai tahun 2008 menunjukkan bahwa APS berkecenderungan meningkat pada semua kelompok umur baik anak laki-laki maupun anak perempuan. Tidak ada perbedaan pencapaian yang nyata antara laki-laki dan perempuan disemua jenjang pendidikan, bahkan pada kelompok usia 7-12

thn dan 13-15 tahun anak perempuan lebih tinggi dibandingkan anak laki-laki. Sementara apabila kita mencermati perbedaan antar wilayah perdesaan

(31)

dan perkotaan, wilayah perkotaan cenderung lebih tinggi pencapaiannya apabila dibanding perdesaan, hal ini terjadi disemua jenjang pendidikan. Artinya didalam rangka meningkatkan angka pencapaian APS nasional, wilayah perdesaan perlu mendapatkan perhatian yang lebih baik.

Berdasarkan data Susenas 2008 menunjukkan bahwa APS Sulsel untuk usia 16-18 tahun masih dibawah 50% (tabel 4.4).

Tabel 4.4. Angka Partisipasi Sekolah (APS) menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008

(32)

Data diatas menunjukkan bahwa untuk usia sekolah 7 -12 tahun, akses laki-laki maupun perempuan sudah cukup tinggi, sehingga arah kebijakan pendidikan kedepan hendaknya lebih ditujukan pada peningkatan kualitas. Untuk usia 13-15 tahun relative lebih rendah dibandingkan usia 7 -12 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan pendidikan anak-anak usia 7 – 12 tahun ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi perlu mendapatkan perhatian, sehingga ketersediaan sarana prasarana pendidikan di jenjang SLTP diperlukan untuk meningkatkan akses pendidikan lanjutan bagi anak-anak. Selanjutnya, dari tabel diatas dapat pula dilihat bahwa partisipasi usia sekolah di jenjang pendidikan yang semakin tinggi, cenderung menurun. Tabel 4.5. APS menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009

(33)

4.2.2. Angka Partisipasi Murni

Angka Partisipasi Murni (APM) adalah persentase siswa dengan usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikannya dari jumlah penduduk di usia yang sama.

Indikator APM merupakan indikator yang lebih baik dibanding dengan indikator APK, sebab APK biasanya digunakan ketika APM-nya masih jauh dari 100 persen. APK dapat mencapai lebih dari 100 persen, sedangkan APM semestinya maksimal 100 persen.

Tabel 4.6. APM menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008

(34)

Berdasarkan tabel 4.6 dan 4.7 nampak bahwa Angka Partisipasi Murni untuk golongan usia semakin tinggi, APMnya semakin rendah. Kecenderungan ini terjadi baik di kelompok laki-laki maupun perempuan, meskipun jika dilihat persentasenya, perempuan sedikit lebih tinggi APMnya dibandingkan laki-laki. Suatu hal yang sangat memprihatinkan bahwa APM usia 16-18 tahun masih dibawah 50%, artinya kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi laki-laki dan perempuan di jenjang pendidikan menengah atas, masih sangat rendah. Untuk tahun 2009, terdapat penurunan APM perempuan di kelompok usia ini.

Tabel 4.7. APM menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009

(35)

Hal ini sejalan dengan data Dinas Pendidikan yang menunjukkan bahwa jumlah anak sekolah untuk tahun 2008/2009 kelompok umur 07 – 12 tahun di Provinsi Sulawesi Selatan, anak perempuan lebih banyak yaitu 883.257 orang (53,78 %) sementara laki-laki sebanyak 758.996 orang atau 46,22 % dari total 1.642.253 orang.

Untuk kelompok umur 13 – 15 tahun ada 930.666 orang diantaranya laki-laki sebanyak 452.355 orang (48,61 %) dan perempuan sebanyak 478.311 orang (51,39 %) yang lebih banyak dari pada laki-laki. Tabel 4.8 Jumlah Peserta Didik Menurut Kelompok Umur Tahun 2008/2009 Kabupaten / Kota Kelompok Umur 07 - 12 Thn Jml 13 - 15 Thn Jml 16 - 18 Thn Jml LK PR LK PR LK PR Selayar 13.169 17.191 30.360 5.953 5.418 11.371 6.094 5.289 11.383 Bulukumba 34.992 44.646 79.638 19.902 21.841 41.743 23.879 19.386 43.265 Bantaeng 14.622 17.990 32.612 8.194 7.783 15.977 6.832 5.784 12.616 Jeneponto 32.038 38.120 70.158 16.760 19.937 36.697 17.550 15.222 32.772 Takalar 22.853 29.031 51.884 15.188 13.455 28.643 12.808 12.222 25.030 Gowa 58.107 63.976 122.083 29.072 34.568 63.640 32.966 30.715 63.681 Sinjai 24.256 28.951 53.207 12.394 12.081 24.475 7.127 8.792 15.919 Maros 25.377 29.710 55.087 18.046 17.202 35.248 21.707 18.219 39.926 Pangkep 30.494 40.252 70.746 14.749 12.473 27.222 17.998 12.830 30.828 Barru 19.395 21.659 41.054 8.143 8.588 16.731 6.810 8.827 15.637 Bone 83.162 96.112 179.274 29.992 40.609 70.601 29.266 27.234 56.500 Soppeng 27.274 32.379 59.653 13.441 16.148 29.589 10.807 10.723 21.530 Wajo 42.766 55.780 98.546 16.576 20.697 37.273 14.842 12.860 27.702 Sidrap 30.502 32.121 62.623 16.620 16.278 32.898 13.804 11.697 25.501 Pinrang 38.136 43.616 81.752 21.978 24.248 46.226 17.017 16.756 33.773 Ebrekang 16.159 16.032 32.191 12.596 13.986 26.582 12.877 11.540 24.417 Luwu 31.455 33.967 65.422 23.851 24.156 48.007 21.663 17.971 39.634 Tana Toraja 39.735 39.737 79.472 36.745 33.632 70.377 23.860 20.254 44.114 Luwu Utara 40.808 41.835 82.643 18.807 16.529 35.336 13.340 9.970 23.310 Luwu Timur 23.350 23.810 47.160 15.095 13.830 28.925 18.645 12.549 31.194 Makassar 87.986 109.407 197.393 77.155 86.185 163.340 162.954 164.613 327.567 Pare-pare 10.687 12.740 23.427 9.357 8.950 18.307 12.135 11.694 23.829 Palopo 11.673 14.195 25.868 11.741 9.717 21.458 14.262 14.560 28.822 Jumlah (Prov. Sul-Sel) 758.996 883.257 1.642.253 452.355 478.311 930.666 519.243 479.707 998.950 Sumber : Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan 2010

(36)

Sementara untuk kelompok umur 16–18 tahun jumlahnya sebanyak 998.950 orang diantaranya laki-laki sebanyak 519.243 orang (51,98 %) dan perempuan sebanyak 479.707 orang (51,39 %). Dengan mencermati tingkat APS pada kelompok umur 07 – 12 tahun sederajat SD dan kelompok umur 13– 15 tahun yang sederajat SMP, nampaknya APS perempuan lebih tinggi dari APS anak laki-laki. Tetapi APS pada kelompok umur 16– 8 tahun yang sederajat SMU nampaknya APS laki-laki lebih tinggi dari pada APS perempuan. Hal ini mencerminkan bahwa makin tinggi tingkat pendidikan partisipasi perempuan makin menurun.

4.2.3 Angka Partisipasi Kasar (APK)

Indikator ini digunakan untuk mengukur proporsi anak sekolah pada

suatu jenjang pendidikan tertentu dalam kelompok umur yang sesuai dengan jenjang pendidikan tersebut. Angka partisipasi kasar dapat memberikan gambaran tentang banyaknya anak yang menerima pendidikan pada jenjang tertentu. Untuk mendapatkan gambaran Angka Partisipasi Kasar (APK) di Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 4.9 dan 4.10.

Berdasarkan tabel tersebut, nampak bahwa secara umum terjadi kenaikan angka partisipasi kasar dari tahun 2008 ke tahun 2009, khususnya untuk usia 13-15, 16-18, dan 19-24 tahun. Namun, untuk usia 7-12 tahun justru mengalami pnurunan. Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, nampak bahwa APK perempuan pada jenjang sekolah SMP sampai PT lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi laki-laki justru menurun di usia sekolah yang semakin tinggi. Untuk usia 7-12 tahun terdapat kecendungan penurunan baik laki-laki maupun perempuan, dan

(37)

pada tahun 2009, keadaannya menjadi berbanding terbalik dengan tahun 2008,

dimana perempuan menjadi lebih tinggi APKnya dibandingkan laki-laki. Fenomena ini cukup memprihatinkan, ditegah-tengah gencarnya upaya pemberdayaan perempuan dan keseteraan gender, namun justru ada kecenderungan menurunnya partisipasi laki-laki dalam pendidikan.

Tabel 4.9. APK menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2008

(38)

Tabel 4.10. APK menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009

Sumber data : BPS, Susenas 2009

4.3. Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan

Pendidikan yang lebih baik berpengaruh terhadap peningkatan potensi dasar penduduk dalam menerima perubahan-perubahan sosial dan ekonomi, berinovasi, dan menyerap teknologi baru untuk mendukung kehidupannya ke arah yang lebih baik. Selain Tingkat Partisipasi Sekolah (TPS), Pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk dapat dijadikan sebagai salah satu alat kontrol untuk melihat sejauh mana peningkatan pembangunan bidang pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang

(39)

ditamatkan maka kualitas sumberdaya manusia secara umum akan semakin tinggi. Salah satu ukuran keberhasilan pembangunan pendidikan dapat dilihat dari kualitas tingkat pendidikan yang ditamatkan. Banyaknya penduduk yang berpendidikan tinggi menunjukkan semakin baik kualitas penduduknya. Tabel berikut menunjukkan penduduk Sulawesi Selatan yang berumur 10 tahun ke atas menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan.

Tabel tersebut memperlihatkan bahwa masih adanya kesenjangan tingkat pendidikan antara penduduk laki-laki dan perempuan. Persentase perempuan tamat SD masih cukup tinggi dibandingkan laki-laki. dan semakin tinggi jenjang pendidikan, persentase perempuan semakin menurun. Namun disisi lain, untuk D1/2/3 dan sarjana muda, justru laki-laki lebih rendah . Meskipun demikian, secara umum, semakin tinggi jenjang pendidikan, persentasenya semakin menurun, sehingga partisipasi dan kesempatan laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas manusia Sulawesi Selatan masih harus ditingkatkan.

(40)

Tabel 4.11. Persentase Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan yang Ditamatkan dan Kabupaten/Kota Tahun 2008

Kab/Kota SD SLTP SMU Kejuruan SMA D I/II D III/ Sarmud D IV/S 1/S 2/S 3 Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp 01 Selayar 30,33 34,61 13,71 10,91 12,76 8,93 1,28 1,72 1,62 2,02 0,47 1,01 4,01 4,40 02 Bulukumba 23,95 27,39 13,62 13,40 14,28 10,69 2,06 1,20 0,83 1,66 0,21 0,65 4,89 3,91 03 Bantaeng 22,70 24,18 12,72 10,46 9,44 6,60 1,17 1,18 1,28 2,74 0,86 0,93 4,12 4,35 04 Jeneponto 25,13 27,51 13,14 14,39 13,01 10,20 0,76 0,79 1,15 1,06 0,29 0,44 3,48 2,48 05 Takalar 23,64 26,99 15,71 12,51 10,77 9,81 2,48 1,55 0,86 1,45 0,47 0,43 3,36 2,85 06 Gowa 25,13 25,78 12,57 13,93 11,28 11,04 2,97 1,34 0,36 0,85 1,09 0,84 4,92 4,00 07 Sinjai 28,75 31,03 14,69 12,95 7,42 8,13 1,02 1,29 0,92 1,85 0,74 0,57 4,76 3,86 08 Maros 22,40 24,03 15,93 13,91 17,24 13,75 1,92 0,98 0,76 1,57 0,58 0,80 4,65 3,57 09 Pangkep 27,75 32,43 13,42 10,05 11,80 8,55 4,58 1,78 0,87 1,87 0,78 1,54 4,75 4,80 10 Barru 32,14 30,46 13,50 12,08 9,20 11,21 2,08 1,21 0,66 2,07 0,44 0,75 4,29 3,75 11 Bone 32,83 30,62 11,84 12,94 10,41 8,21 1,15 0,46 0,57 1,47 0,48 0,39 3,86 2,80 12 Soppeng 31,56 31,31 15,55 15,62 11,78 9,84 0,73 0,52 0,42 0,61 0,52 0,78 3,25 2,90 13 Wajo 30,88 32,95 11,97 12,22 10,08 6,91 0,64 0,69 0,42 1,13 0,21 0,52 4,12 2,77 14 Sidrap 31,59 30,35 17,21 15,38 11,56 9,74 2,73 1,31 0,19 0,94 1,05 0,61 4,09 3,99 15 Pinrang 30,03 30,52 17,30 16,97 11,70 10,94 1,70 0,79 0,60 0,80 0,70 0,53 4,58 4,33 16 Enrekang 23,96 21,82 18,68 19,04 16,72 14,00 2,38 1,71 1,35 2,59 1,04 1,53 7,89 5,36 17 Luwu 26,98 27,54 20,45 19,59 15,31 12,90 3,27 1,68 0,74 1,41 0,47 1,15 3,56 3,98 18 TanaToraja 23,16 23,63 21,42 20,00 9,79 9,75 4,11 2,29 0,38 0,10 0,38 1,26 5,52 3,96 22 LuwuUtara 34,46 36,46 15,88 14,41 9,14 8,12 2,12 0,57 0,56 0,68 0,75 0,29 2,60 2,20 25 LuwuTimur 25,84 28,33 16,70 16,45 17,89 13,50 2,74 1,43 0,66 1,72 0,77 0,93 4,73 3,87 71 Makassar 18,37 20,09 16,11 15,82 29,65 27,73 4,37 2,49 0,26 1,21 1,89 2,26 14,05 11,68 72 Parepare 22,82 25,68 19,98 18,04 20,45 20,04 5,46 3,53 0,67 1,72 1,14 1,72 10,91 8,40 73 Palopo 21,12 25,12 21,25 17,19 22,15 23,24 3,66 2,52 0,62 1,04 1,88 1,84 11,67 7,78 Jumlah 25,95 27,23 15,47 14,75 15,15 13,35 2,60 1,44 0,61 1,29 0,85 1,04 6,19 5,09

(41)

Tabel 2.8. Persentase Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Pendidikan yang Ditamatkan dan Kab/Kota Tahun 2009

Kab/Kota SD SLTP SMU SMA Kejuruan D I/II D III/ Sarmud D IV/S 1/S 2/S 3 Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp Lk Prp -1 -4 -4 -5 -5 -6 -6 -7 -7 -8 -8 -9 -9 -10 -10 01 Selayar 30,38 28,21 14,25 13,74 10,31 7,62 3,49 2,44 0,98 2,07 0,86 0,85 3,15 4,25 02 Bulukumba 26,69 30,41 17,43 14,39 12,24 10,55 4,15 2,47 0,72 1,21 0,55 1,04 2,27 3,22 03 Bantaeng 24,02 25,39 12,07 12,47 10,03 6,05 2,46 2,15 0,65 1,93 0,57 0,64 3,66 2,36 04 Jeneponto 23,21 26,23 14,79 14,02 10,85 7,14 2,54 2,02 0,87 1,31 0,63 1,45 2,15 2,26 05 Takalar 21,97 25,24 15,32 14,78 15,29 10,96 2,07 1,67 0,40 0,41 0,78 1,33 2,14 1,90 06 Gowa 23,04 24,28 14,77 17,08 14,55 12,13 5,48 4,21 0,64 1,40 1,27 1,58 4,26 3,88 07 Sinjai 31,19 30,46 13,26 12,15 10,99 9,82 2,80 2,80 0,83 2,15 1,04 1,87 3,11 3,27 08 Maros 26,22 28,85 14,31 14,10 17,47 10,71 2,12 0,84 0,19 0,58 0,49 0,58 2,73 1,51 09 Pangkep 31,91 33,24 11,65 11,09 11,40 8,50 5,05 2,63 0,40 0,72 0,60 0,81 3,45 2,87 10 Barru 29,87 33,53 15,84 16,19 12,57 10,89 3,24 2,23 0,53 0,72 1,02 1,43 4,24 3,98 11 Bone 31,70 32,32 12,64 12,26 11,64 8,73 1,31 1,34 0,37 1,19 0,55 0,60 3,65 3,94 12 Soppeng 31,89 29,25 15,10 16,73 12,70 11,60 3,47 2,11 0,67 1,58 0,88 2,12 3,67 2,88 13 Wajo 36,44 36,14 12,45 11,79 10,20 8,10 1,42 1,07 0,42 0,80 0,22 0,98 4,35 2,90 14 Sidrap 28,52 28,32 16,60 16,97 12,93 10,12 4,16 2,96 0,38 0,44 0,66 0,80 3,03 2,43 15 Pinrang 33,51 31,48 17,05 16,18 12,84 12,00 4,03 2,18 0,19 0,81 0,48 1,18 3,08 2,63 16 Enrekang 26,43 24,40 17,60 18,03 15,47 12,70 4,30 1,95 0,60 2,12 0,89 1,59 4,96 3,74 17 Luwu 30,35 29,65 19,10 19,13 15,52 16,81 3,19 1,40 0,46 0,75 0,56 0,93 2,05 1,76 18 TanaToraja 24,74 25,91 17,49 18,30 11,70 11,23 5,77 2,89 0,82 0,75 0,83 0,93 2,83 1,74 22 LuwuUtara 34,72 34,02 16,85 15,33 10,68 8,98 2,07 0,68 0,47 1,07 0,66 0,95 3,36 3,19 25 LuwuTimur 27,67 29,69 17,19 18,19 15,33 12,59 6,21 2,00 0,85 1,72 0,37 1,24 4,81 3,63 71 Makassar 17,40 19,37 15,65 18,24 32,08 27,40 6,57 3,75 0,61 0,95 2,25 3,41 11,45 9,62 72 Parepare 18,84 21,96 21,95 20,49 22,97 21,48 7,68 4,59 0,36 1,76 1,49 2,62 7,13 6,20 73 Palopo 21,56 22,11 21,87 19,79 23,20 24,31 6,38 5,13 1,00 1,11 0,90 2,76 7,83 7,47 Jumlah 26,55 27,64 15,54 15,70 16,24 13,54 4,10 2,48 0,57 1,10 0,96 1,53 4,79 4,15

(42)

Secara umum di Sulawesi Selatan, Persentase penduduk yang berpendidikan rendah masih relatif tinggi. Hal ini terlihat dari persentase penduduk yang menamatkan pendidikan pada tingkat sekolah dasar masih lebih tinggi dibanding pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Persentase tertinggi adalah penduduk yang menamatkan pendidikan SD yaitu 46 %, selanjutnya penduduk yang menamatkan pendidikan SLTP/MTs/Paket B sebesar 23 %, penduduk yang menamatkan pada jenjang pendidikan SLTA sebesar 28 %. Tentunya diharapkan kedepan penduduk Sulawesi Selatan dapat lebih ditingkatkan lagi pendidikan yang ditamatkannya yang akan berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi masyarakat akan semakin baik. 4.4. Putus Sekolah

Partisipasi Sekolah dapat dikaitkan dengan keadaan putus sekolah. Di Sulawesi Selatan masih cukup banyak dijumpai anak putus sekolah, sebagaimana digambarkan dalam Tabel 2.4. berikut.

Kemiskinan seringkali menjadi alasan bagi siswa sekolah untuk tidak melanjutkan sekolah, karena mereka diharapkan membantu mencari nafkah untuk keluarganya, dan anggapan lebih baik bekerja dengan mendapatkan uang, disamping anggapan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin besar biaya yang diperlukan, sementara masyarakat miskin dan rumah tangga miskin tidak memiliki penghasilan yang cukup untuk biaya pendidikan.

Kondisi geografis juga berpengaruh terhadap tingginya angka putus sekolah. Aksesibiltas yang rendah untuk menjangkau sekolah dengan sarana dan prasarana transportasi yang terbatas dan masih sulit dijangkau

(43)

oleh masyarakat di pelosok pedesaan dan wilayah kepulauan, merupakan salah satu alasan bagi siswa untuk tidak melanjutkan sekolah, meskipun guru telah memberikan dorongan dan motivasi kepada siswa agar tidak putus sekolah.

Angka putus sekolah menurut kelas dan jenjang sekolah, tampak mulai terjadi sejak SD, dan menunjukkan persentase yang meningkat seiring dengan jenjang sekolah. Hal ini mengindikasikan masih adanya hambatan bagi anak untuk bertahan belajar di sekolah sejak memasuki sekolah dasar.

Tabel 4.11. Persentase Penduduk Berdasarkan Status Putus Sekolah Menurut Jenis Kelamin, Usia dan Kabupaten/KotaTahun 2008

(44)

Tabel 4.12. Persentase Penduduk Berdasarkan Status Putus Sekolah Menurut Jenis Kelamin, Usia dan Kabupaten/KotaTahun 2009

Kabupaten/ Tidak bersekolah lagi

Kota Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan 7-12 13-15 16-18 19-24 7-12 13-15 16-18 19-24 01 Selayar 3,15 15,75 44,75 85,32 1,32 5,45 39,26 93,80 02 Bulukumba 2,12 15,91 32,90 92,05 0,70 20,04 59,19 81,37 03 Bantaeng 6,12 15,88 58,00 81,82 3,56 33,07 52,97 88,66 04 Jeneponto 3,41 24,84 51,15 77,39 3,99 22,28 64,84 91,91 05 Takalar 3,80 25,25 55,61 87,49 3,51 20,13 49,30 88,19 06 Gowa 1,81 14,10 38,88 83,70 - 17,64 47,39 80,16 07 Sinjai 2,02 10,50 35,12 87,22 0,60 16,10 37,68 76,17 08 Maros 3,48 19,38 45,83 91,97 1,93 20,37 61,11 89,64 09 Pangkep 4,31 32,93 54,92 91,93 3,84 32,55 60,72 86,22 10 Barru 5,88 20,39 42,48 86,50 3,38 15,73 54,15 82,27 11 Bone 2,74 29,75 59,66 85,81 0,96 28,39 46,08 86,34 12 Soppeng 2,59 12,53 53,51 90,74 1,45 14,78 35,41 89,23 13 Wajo 2,22 31,45 63,31 91,23 3,57 30,34 60,61 90,83 14 Sidrap 3,28 26,76 40,12 92,43 3,29 17,86 44,72 84,78 15 Pinrang 4,11 23,82 58,31 95,42 2,82 12,81 54,33 89,02 16 Enrekang 1,25 11,65 40,28 86,48 0,45 4,01 21,30 84,51 17 Luwu 1,33 8,71 52,77 94,76 1,63 11,32 49,18 89,96 18 TanaToraja 1,65 9,79 33,18 93,22 1,76 8,94 28,85 83,21 22 LuwuUtara 2,24 22,67 50,79 95,49 2,68 7,53 37,43 91,79 25 LuwuTimur 3,20 12,45 37,27 94,26 1,56 7,85 27,29 88,47 71 Makassar 2,94 13,33 45,61 66,22 0,81 12,05 40,27 58,30 72 Parepare 2,92 12,72 49,93 91,61 2,01 9,22 37,47 78,08 73 Palopo 0,56 5,22 33,48 79,44 0,57 5,20 32,06 68,24 Jumlah 2,74 18,61 46,86 83,97 1,74 16,88 46,39 79,78

(45)

Berdasar table 4.11 dan 4.12, angka putus sekolah di Sulawesi Selatan menunjukkan persentase laki-laki lebih besar daripada perempuan, di semua jenjang usia pendidikan. Banyaknya laki-laki yang putus sekolah dimungkinkan karena beberapa hal meliputi pergi merantau mencari pekerjaan di daerah lain, membantu orangtua mencari nafkah, dan juga disebabkan oleh factor internal siswa laki-laki. Tabel tersebut juga menunjukkan bahwa keadaan putus sekolah pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi cenderung semakin meningkat persentasenya.

4.5. Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenj yang ditujukan bagi dilakukan melalui pemberi pertumbuhan dan perkem kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertum kasar), spiritual), komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

(46)

Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:

• Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.

• Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.

Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun. Gambaran PAUD di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 4.8 berikut:

Tabel 4.13 Jumlah Siswa PAUD di Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009

(47)

Berdasarkan Tabel 4.13 diatas yang bersumber dari Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010, nampak bahwa jumlah murid yang mengikuti PAUD sebanyak 433.284 orang yang terdiri dari umur 0 – 4 bulan sebanyak 101.787 orang yang terdiri dari laki-laki 48.520 orang (47,67%) dan perempuan 53.267 orang ((52,33%), selanjutnya umur 24 – 48 bulan sebanyak 130.048 orang yang terdiri dari laki-laki 62.273 orang (47,88%) dan perempuan 67.775 orang (52,11 %) dan kelompok umur 49 – 72 bulan sebanyak 201.449 orang yang terdiri dari laki-laki 89.874 orang (44,61 %)dan perempuan 111.575 orang (55,38 %). Jika dilihat secara cermat nampak bahwa jumlah murid PAUD perempuan pada setiap kelompok umur lebih banyak dibanding laki-laki.

Jika perbandingan murid PAUD dianalisis menurut kabupaten, maka dapat dilihat bahwa pada kelompok umur 0 – 4 bulan jumlah murid PAUD yang paling banyak adalah di Kabupaten Luwu Utara yaitu sebanyak 20.474 yang terdiri dari laki-laki 10.252 murid (50,07 %) dan perempuan 10.222 murid (49,93 %) sedangkan kabupaten yang memiliki jumlah murid PAUD yang paling sedikit pada kelompok umur tersebut adalah di Kabupaten Wajo dengan jumlah 35 murid yaitu laki-laki 14 murid (40,00 %) dan perempuan 21 murid (60,00 %). Selanjutnya pada kelompok umur 24 – 48 bulan, kabupaten yang memiliki jumlah murid PAUD yang lebih banyak dibanding kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Pinrang yaitu sebanyak 18.890 murid yang terdiri dari laki-laki 9.420 murid (49,87 %) dan perempuan sebanyak 9.470 murid (50,13 %) sedangkan kabupaten yang memiliki jumlah murid PAUD yang paling sedikit pada kelompok umur ini sama pada kelompok umur 0 -4 bulan yaitu Kabupaten Wajo yaitu hanya berjumlah 543 murid yang terdiri dari laki-laki 237 murid (43,65 %) dan

(48)

perempuan 306 murid (56,35 %). Sementara pada kelompok umur 49 – 72 bulan yang memiliki jumlah murid PAUD yang lebih banyak dibanding kabupaten lainnya yaitu Kota Makassar sebanyak 26.943 murid yang terdiri dari laki-laki sebanyak 10.814 murid (40,14 %) dan perempuan 16.129 murid (59,86 %) sedangkan kabupaten yang memiliki jumlah murid PAUD yang paling sedikit pada kelompok umur tersebut adalah di Kabupaten Gowa yaitu 1.109 murid yang terdiri dari laki-laki sebanyak 519 murid (46,80 %) dan perempuan 590 murid (53,20 %). Secara umum kabupaten/kota yang memiliki partisipasi yang paling tinggi dalam melaksanakan PAUD adalah Kabupaten Pinrang dengan jumlah murid PAUD sebanyak 54.803 murid.

(49)

BAB V. KESEHATAN

Gambaran perkembangan derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari kejadian kematian dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Di samping itu kejadian kematian juga dapat digunakan sebagai indikator dalam penilaian keberhasilan pelayanan kesehatan dan program pembangunan kesehatan lainnya. Angka kematian pada umumnya dapat dihitung dengan melakukan berbagai survey dan penelitian.

Peristiwa kematian pada dasarnya merupakan proses akumulasi akhir dari berbagai penyebab kematian langsung maupun tidak langsung. Secara umum kejadian kematian pada manusia berhubungan erat dengan permasalahan kesehatan sebagai akibat dari gangguan penyakit atau akibat dari proses interaksi berbagai faktor yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama mengakibatkan kematian dalam masyarakat.

Pada Bab ini akan dicoba dilihat atau diungkap kemungkinan adanya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di bidang kesehatan. Adapun rincian permasalahan yang akan dilihat adalah angka kematian bayi (AKB), AKABA, AKI, Kesehatan Reproduksi, Partisipasi dalam ber KB, Penolong Persalinan, cakupan imunisasi dan status gizi balita, dan gerakan sayang ibu.

5.1.1. Angka Kematian Bayi (AKB).

Derajat kesehatan masyarakat di Sulawesi Selatan semakin meningkat, hal tersebut ditandai dengan menurunnya angka kematian bayi (AKB). Angka kematian bayi menunjukkan banyaknya kematian bayi per seribu kelahiran hidup. Menurut hasil Surkesnas/Susenas, AKB di Indonesia

(50)

pada tahun 2001 sebesar 50 per 1.000 kelahiran hidup, pada tahun 2002 sebesar 45 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKB menurut hasil SDKI 2002-2003 terjadi penurunan yang cukup besar, yaitu menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup sementara hasil SDKI 2007 hasilnya menurun lagi menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup, angka ini berada jauh dari yang diproyeksikan oleh Depkes RI yakni sebesar 26,89 per 1.000 kelahiran hidup.

Selama tiga puluh tahun terakhir, AKB Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan yang sangat tajam seperti Tabel 5.1. Di Sulawesi Selatan, Angka Kematian Bayi menunjukkan penurunan yang sangat tajam, yaitu dari 161 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1971 menjadi 55 pada tahun 1996, lalu turun lagi menjadi 52 pada tahun 1998 kemudian pada tahun 2003 menjadi 48 (Susenas 2003). Ini berarti rata-rata penurunan AKB selama kurun waktu 1998-2003 sekitar 4 poin. Namun, menurut hasil Surkesnas/Susenas 2002-2003, AKB di Sulawesi Selatan sebesar 47 per 1.000 kelahiran hidup sedangkan hasil Susenas 2006 menunjukkan AKB di Sulsel pada tahun 2005 sebesar 36 per 1.000 kelahiran hidup, dan hasil SDKI 2007 menunjukkan angka 41 per 1.000 kelahiran hidup. Fluktuasi ini bisa terjadi oleh karena perbedaan besar sampel yang diteliti, sementara itu data proyeksi yang dikeluarkan oleh Depkes RI bahwa AKB di Sulsel pada tahun 2007 sebesar 27,52 per kelahiran hidup.

(51)

Tabel 5.1. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan Hidup (AHH) Di Sulawesi Selatan Tahun 1971-2009

Tahun AKB AHH

(1) (2) (3) 1971 1996 1998 2000 2001 2003 2004 2005 2007 2008 2009 161 55 52 48 47 48 44 36 41 4,39*) 3,31*) - 63 64 68 68 68 69 69 69,4 69,6 69,8 Sumber : Susenas dan SDKI,

Tanda *) adalah AKB menurut laporan Dinkes Sulawesi Selatan Sementara laporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bahwa jumlah kematian bayi pada tahun 2006 sebanyak 566 bayi, atau 4,32 per 1.000 kelahiran hidup, mengalami peningkatan pada tahun 2007 menjadi 709 kematian bayi atau 4,61 per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 2008 ini jumlah kematian bayi turun menjadi 638 atau 4,39 per 1.000 kelahiran hidup, sementara tahun 2009, jumlah kematian bayi turun menjadi 495 atau 3,31 per 1.000 kelahiran hidup.

Penurunan angka kematian bayi merupakan indikasi terjadinya peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagai salah satu wujud keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan dan semakin meningkatnya pendidikan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan. Hal tersebut merupakan respon positif dari upaya pemerintah untuk mendekatkan fasilitas kesehatan pada masyarakat. Adapun nilai normatif AKB yang kurang dari 40 sangat sulit diupayakan penurunannya (hard rock),

(52)

antara 40-70 tergolong sedang, namun sulit untuk diturunkan, dan lebih besar dari 70 tergolong mudah untuk diturunkan.

Sejalan dengan menurunnya AKB, Angka Harapan Hidup (AHH) juga diharapkan terjadi peningkatan. Rata-rata usia harapan hidup penduduk Sulawesi Selatan terus meningkat dari 63 pada tahun 1996 menjadi 64 pada tahun 1998. Sejak tahun 2000 hingga tahun 2003 AHH relatif stabil pada usia 68 tahun, sedangkan dari tahun 2004 – 2005 AHH mencapai angka 69 dan pada tahun 2009, AHH nya mencapai 69,8 (Tabel 5.1).

Ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat AKB tetapi tidak mudah untuk menentukan faktor yang paling dominan dan faktor yang kurang dominan. Tersedianya berbagai fasilitas atau faktor aksesibilitas dan pelayanan kesehatan dari tenaga medis yang terampil, serta kesediaan masyarakat untuk merubah kehidupan tradisional ke norma kehidupan modern dalam bidang kesehatan merupakan faktor-faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat AKB. Menurunnya AKB dalam beberapa waktu terakhir memberi gambaran adanya peningkatan dalam kualitas hidup dan pelayanan kesehatan masyarakat. Tabel 5.2 menunjukkan bahwa penyakit Diarre dan Pneumonia adalah penyebab utama terjadinya kematian pada bayi yaitu masing-masing 31,4 persen dan 23,8 persen.

Gambar

Tabel 4.2 Jumlah Sarana dan Prasarana Sekolah Menurut Kabupaten di  Provinsi Sulawesi Selatan
Tabel 4.6. APM menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi Sulawesi  Selatan Tahun 2008
Tabel 4.7. APM menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi  Sulawesi Selatan Tahun 2009
Tabel 4.9. APK  menurut Usia Sekolah,dan Jenis Kelamin, Provinsi  Sulawesi Selatan Tahun 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari dan mengakui bahwa banyak sekali kesulitan-kesulitan yang penulis temui, namun berkat ketekunan, kesabaran, serta atas

Total marjin pemasaran pemasaran wortel dari pusat produksi ke konsumen sebesarRp. Dari hasil tersebut tampak bahwa.. marjin keuntungan pemasaran yang lebih besar diterima

Ngadirejo Kediri pada tahun 2013-2015 yang terdiri dari biaya pemesanan, biaya penyimpanan, total biaya pemesanan dan penyimpanan bahan baku pembantu, dan fokus

Berdasarkan pengertian-pengertian bimbingan yang dikemukakan beberapa tokoh diatas Prayitno & Erman Amti (1994:99) menyimpulkan bahwa “bimbingan adalah proses pemberian bantuan

Bahwa berdasarkan jaringan organisasi dan asset meterial dan non-material yang telah dimiliki Koprasi Nelayan Garut Selatan serta berbagai peluang usaha yang tersedia di

ßò Ö»²·- л²»´·¬·¿²

Dalam madrasah yang memiliki mutu yang tinggi terdapat kepala madrasah yang bermutu, yang menjalankan kepemimpinan tranformasional dengan baik, tugas serta fungsinya

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan, Pejabat Pengadaan Kelompok III.D Kegiatan APBD pada Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya dan Pengairan Kabupaten Musi Banyuasin Tahun