• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005 SKRIPSI"

Copied!
149
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

M. Rianasari Dwi Swastika NIM : 038114003

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)

i

EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

M. Rianasari Dwi Swastika NIM : 038114003

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(3)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005

Yang diajukan oleh: M. Rianasari Dwi Swastika

NIM : 038114003

telah disetujui oleh

Pembimbing

(4)

iii

Pengesahan Skripsi Berjudul

EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005

Oleh :

M. Rianasari Dwi Swastika NIM : 038114003

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma pada tanggal :

14 Mei 2007

Mengetahui

Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma

Dekan

Rita Suhadi, M.Si., Apt.

Pembimbing :

dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes. ...

Panitia Penguji :

(5)

iv

There can

be miracles when you

Believe

……….

though hope is frail, it’s hard to kill

Who knows

what

Miracles

you can

Achieve

……….

when

you

believe, somehow

you

will

you

W

ILL when you BELIEVE

……….

(When You Believe¸ OST The Prince of Egypt)

Untuk segala sesuatu ada waktunya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya.

(Pengkotbah 3 : 1, 11)

Kupersembahkan karya ini untuk :

yang tercinta

Bapak

dan

Ibu

,

mas

Ari

,

David

,

dan

Ave

,

mas

Nugroho

,

(6)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, Mei 2007 Penulis

(7)

vi

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan perlindunganNya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “EVALUASI PENGOBATAN PADA KASUS DIABETES MELITUS DENGAN KOMPLIKASI NEFROPATI DIABETIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA PERIODE TAHUN 2005” ini.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi.

Skripsi ini tidak akan selesai tanpa ada uluran tangan dari pihak-pihak yang dengan kesediaan dan kelegaan hati membantu penulis dari awal sampai akhir proses penyusunan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Direktur Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Unit Rekam Medis.

3. Bapak Siswuryanto selaku Kepala Unit Rekam Medis RS Bethesda Yogyakarta yang telah membantu peneliti selama pengambilan data.

4. Bapak Darsono dan segenap staf Unit Rekam Medis RS Bethesda Yogyakarta yang telah membantu peneliti dalam mencari data.

(8)

vii

6. Rita Suhadi, M.Si., Apt., selaku dosen penguji skripsi. Terimakasih atas masukan, saran, dan kritik yang menyempurnakan skripsi ini.

7. Yosef Wijoyo, M.Si., Apt., selaku dosen penguji skripsi. Terimakasih atas masukan, saran, dan kritik yang menyempurnakan skripsi ini.

8. Bapak Yoseph dan Ibu Marcia, atas doa, cinta, bimbingan, harapan dan kasih sayang yang selalu tercurah kepada penulis. Tanpa dukungan bapak-ibu kuliahku tak akan lancar.

9. Mas Ari, David, Ave, terimakasih untuk keceriaan yang telah dihadirkan dalam hidup penulis. Tawa kalian membuatku selalu semangat.

10.Mas Yusuf Nugroho Sukarno, untuk semuanya. Terimakasih untuk masukan, semangat, dukungan, dan bantuannya walau kadang hanya lewat doa. Penulis tidak akan bisa melewati ini semua tanpa bantuan mas.

11.Teman-teman angkatan 10 VL untuk semua ceritanya dan kenangannya.

12.Teman-teman angkatan 2003, khususnya kelas A, kelompok praktikum A, senang bisa mengenal dan bekerja sama dengan kalian.

13.Anak-anak kost Banana Home, Eta, Prita, Mekar, Deta, Vita, Dian, Mbak Cicil, Tika, Ratih, Mbak Purba, terima kasih karena kehadiran kalian membuat hidupku sedikit lebih berkembang.

14.Nugraheni Angger dan Antonia Ari, atas kebersamaannya di Unit Rekam Medis RS Bethesda Yogyakarta.

15.Semua pihak yang telah membantu dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terimakasih banyak.

(9)

viii

sedalam-dalamnya apabila ada kesalahan baik dalam tulisan yang terdapat dalam skripsi ini maupun tingkah laku dan perkataan penulis.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Selain itu besar harapan penulis, semoga karya ini dapat mengisi pembangunan bangsa ini.

(10)

ix

INTISARI

Diabetes Melitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ditandai dengan hiperglikemia. Diabetes Melitus dapat mengakibatkan komplikasi kronis yaitu pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah disertai lesi pada membran basalis. Pasien dengan komplikasi nefropati diabetik meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya prevalensi penyakit DM. Terapi pada pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik meliputi kontrol tekanan darah, pengendalian kadar gula darah, dan pembatasan asupan protein.

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengobatan pada pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005. Penelitian ini termasuk penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan evaluasi pengobatan dilakukan berdasarkan Drug Related Problem (DRP).

Hasil penelitian ini adalah kasus DM dengan komplikasi nefropati paling banyak berjenis kelamin laki-laki, paling banyak berusia 45-64 tahun (80,0%), diagnosis terbanyak DM dengan nefropati (76,7%), dan paling banyak kerusakan ginjal tingkat 4 dan 5 (40,0%) . Sebanyak 15 kelas terapi diberikan dan kelas terapi terbanyak vitamin dan mineral (96,7%) diikuti obat sistem kardiovaskuler (93,3%). Analisis DRP didapatkan 10 kasus dari 30 kasus mengalami DRP, 8 kasus aktual DRP butuh obat, 7 kasus aktual DRP tidak perlu obat, 1 kasus aktual DRP ADR, dan 2 kasus potensial DRP ADR. Hasil pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati paling banyak pulang dalam keadaan membaik (67,7%) dan paling banyak dirawat selama 1-7 hari (56,7%).

(11)

x

ABSTRACT

Diabetes Mellitus (DM) is a group of metabolic disorders of fat, carbohydrate, and protein metabolism that characterized by hyperglycaemia. Diabetes Mellitus can cause chronic complication at eye, kidney, vein and nerve accompanied lesion at basalis membrane. Patients DM with diabetic nephropathy complication mount every year in a row with the height of DM prevalence. Therapy for patients DM with diabetic nephropathy complication including blood pressure control, control of blood sugar rate, and protein restriction.

This research is done to evaluate medication DM patient with diabetic nephropathy complication in Impatience Ward of Bethesda Yogyakarta Hospital period of year 2005. This research is including non experimental research with descriptive evaluative device and intake of data done by retrospective. Data analysis done descriptively and medication evaluation done based on Drug Related Problem (DRP).

This research results are DM with diabetic nephropathy complication cases most have men genders (56,7%), most have ages 45-64 year old (80,0%), the most diagnosed is DM with nephropathy (76,7%) and most have group 4 and 5 for renal impairment (40,0%). Counted 15 therapy classes given and the most therapy class is mineral and vitamins (96,7%) followed by cardiovascular system drug (93,3%). Analysis of DRP got 10 cases experience DRP, 8 cases actual DRP need for additional drug therapy, 7 cases actual DRP unnecessary drug therapy, 1 case actual DRP ADR, and 2 cases potential DRP ADR.

(12)

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

PRAKATA... vi

INTISARI... ix

ABSTRACT... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan Masalah ... 4

2. Keaslian Penelitian... 4

3. Manfaat Penelitian ... 6

a. Manfaat Teoritis ... 6

b. Manfaat Praktis ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 7

1. Tujuan Umum ... 7

(13)

xii

BAB II PENELAAHAN PUSTAKA ... 8

A. Diabetes Melitus ... 8

1. Definisi, Gejala, dan Tanda Diabetes Melitus ... 8

2. Patofisiologi Diabetes Melitus ... 9

3. Klasifikasi Diabetes Melitus ... 9

a. Diabetes Melitus Tipe 1 ... 9

b. Diabetes Melitus Tipe 2 ... 10

c. Diabetes Tipe Lain ... 11

d. Diabetes Melitus Gestational ... 12

4. Diagnosis Diabetes Melitus... 12

B. Komplikasi Nefropati Diabetik ... 13

1. Definisi Nefropati Diabetik... 13

2. Patofisiologi dan Gejala Nefropati Diabetik ... 14

3. Diagnosis... 16

4. Tahap Nefropati Diabetik... 17

C. Terapi Nefropati Diabetik ... 18

1. Tujuan Terapi ... 18

2. Strategi Terapi... 19

a. Terapi nonfarmakologi... 19

b. Terapi farmakologi ... 20

3. Rekomendasi ADA ... 28

D. Farmasi Klinik... 29

(14)

xiii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 33

A. Jenis Rancangan Penelitian ... 33

B. Definisi Operasional ... 33

C. Subjek Penelitian... 34

D. Bahan Penelitian... 35

E. Lokasi Penelitian... 35

F. Tata Cara Penelitian ... 35

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Gambaran Profil Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik .... 39

1. Gambaran Berdasarkan Jenis Kelamin ... 40

2. Gambaran Berdasarkan Usia... 40

3. Gambaran Berdasarkan Diagnosis ... 42

4. Gambaran Berdasarkan Tingkat Kerusakan Ginjal... 42

B. Gambaran Umum Pola Pengobatan pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik ... 43

C. Analisis Drug Related Problem (DRP)... 66

D. Hasil Pengobatan Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik ... 76

E. Rangkuman Pembahasan ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 82

DAFTAR PUSTAKA ... 83

LAMPIRAN... 86

(15)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel I. Kategori Diagnosis Penyakit DM ... 13

Tabel II. Kategori Kadar Albumin dalam Urin... 16

Tabel III. Kerusakan Ginjal Berdasarkan Clcr... 17

Tabel IV. Sediaan Insulin dan Waktu Aksinya ... 27

Tabel V. Drug Related Problem dan Kemungkinan Penyebabnya ... 31

Tabel VI. Distribusi Macam-Macam Komplikasi Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RS. Bethesda Tahun 2005 ... 39

Tabel VII. Distribusi Diagnosis pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005... 42

Tabel VIII. Distribusi Kelas Terapi pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005... 44

Tabel IX. Golongan Obat Antidiabetik pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 45

Tabel X. Golongan dan Jenis Obat Antidiabetik pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 47

Tabel XI. Golongan dan Jenis Vitamin dan Mineral pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 50

Tabel XII. Golongan dan Jenis Obat Sistem Kardiovaskuler pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 53

(16)

xv

Tabel XIV. Golongan dan Jenis Obat Antianemia pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 56 Tabel XV. Golongan dan Jenis Obat Saluran Cerna pada Kasus DM

dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 59 Tabel XVI. Golongan dan Jenis Obat Antiinfeksi pada Kasus DM

dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 60 Tabel XVII. Golongan dan Jenis Obat Nutrisi pada Kasus DM dengan

Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 61 Tabel XVIII. Golongan dan Jenis Obat Saluran Urinaria pada Kasus DM

dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 62 Tabel XIX. Golongan dan Jenis Obat Otot Skelet dan Sendi pada Kasus

DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005.. 62 Tabel XX. Golongan dan Jenis Obat Analgesik pada Kasus DM

dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 63 Tabel XXI. Golongan dan Jenis Obat Sistem Pernafasan pada Kasus

DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005.. 64 Tabel XXII. Golongan dan Jenis Obat Mata pada Kasus DM dengan

Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 64 Tabel XXIII. Golongan dan Jenis Obat Hormon pada Kasus DM dengan

Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 65 Tabel XXIV. Golongan dan Jenis Obat Lain-Lain pada Kasus DM dengan

(17)

xvi

Tabel XXVI. Analisis DRP Kasus 2 ... 68

Tabel XXVII. Analisis DRP Kasus 3 ... 69

Tabel XXVIII.Analisis DRP Kasus 5 ... 70

Tabel XXIX. Analisis DRP Kasus 7 ... 71

Tabel XXX. Analisis DRP Kasus 15 ... 72

Tabel XXXI. Analisis DRP Kasus 16 ... 73

Tabel XXXII. Analisis DRP Kasus 17 ... 74

Tabel XXXIII.Analisis DRP Kasus 20 ... 75

Tabel XXXIV.Aktual DRP Efek Obat yang Tidak Diinginkan... 79

(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Grafik Distribusi Jenis Kelamin pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 ... 40 Gambar 2. Grafik Distribusi Usia pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun

2005... 41 Gambar 3. Distribusi Tingkat Kerusakan Ginjal pada Kasus DM dengan

(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Rekam Medis Kasus Diabetes Melitus dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Tahun 2005 ... 86 Lampiran 2. Daftar Nama Obat ... 100 Lampiran 3. Data Laboratorium dan Non Laboratorium... 106 Lampiran 4. Distribusi 10 Besar Penyakit, Komplikasi Penyakit Diabetes

Melitus, dan Jumlah Pasien DM dari Tahun 2002 sampai September 2006... 126 Lampiran 5. Daftar Nilai Clearance Creatinin (Clcr) pada Kasus DM

(20)

1

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Penyakit diabetes melitus (DM), yang dikenal masyarakat sebagai penyakit gula atau kencing manis terjadi pada seseorang yang mengalami peningkatan kadar gula (glukosa) dalam darah akibat kekurangan insulin atau reseptor insulin tidak berfungsi baik. Diabetes Melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolisme yang dikarakteristikan dengan hiperglikemia, disertai dengan abnormalitas karbohidrat, lemak, dan protein, serta dapat mengakibatkan komplikasi kronis termasuk mikrovaskular dan makrovaskular (Triplitt, Reasner, dan Isley, 2005). Diabetes Melitus dibagi menjadi dua kelompok besar. Diabetes yang timbul akibat kekurangan insulin disebut DM tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus

(IDDM). Diabetes oleh karena insulin tidak berfungsi dengan baik disebut DM tipe 2 atau Non- Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).

(21)

Indonesia, dengan penduduk sekitar 210 juta jiwa, yang menderita DM sekitar 10 juta jiwa. Hal tersebut membuat Indonesia menempati urutan keempat negara dengan penderita DM terbanyak setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Peningkatan jumlah penderita DM tersebut terjadi akibat pertumbuhan populasi, penuaan, urbanisasi, peningkatan prevalensi obesitas, berkurangnya aktivitas fisik, dan perubahan gaya hidup akibat dari perbaikan kemakmuran (Anonim, 2005c).

Komplikasi diabetes sangat luas, hingga mencakup hampir semua organ tubuh. Salah satu komplikasi tersebut adalah nefropati diabetik. Nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput penyaring darah (Anonim, 2003a). Kebocoran selaput penyaring darah tersebut dapat menyebabkan lolosnya protein albumin ke dalam urin. Adanya albumin dalam urin (albuminuria) merupakan

indikasi terjadinya nefropati diabetik (albuminuria persisten pada kisaran 30-299 mg/24 jam/mikroalbuminuria) (Anonim, 2005a).

Apabila kadar albumin sudah diketahui meningkat sejak dini maka dapat segera dilakukan terapi. Pengobatan sejak dini bisa menunda bahkan menghentikan laju penyakit. Pengobatan meliputi kontrol tekanan darah. Tindakan ini dianggap paling penting untuk melindungi fungsi ginjal. Selain itu dilakukan pengendalian kadar gula darah dan pembatasan asupan protein (Anonim, 2003a).

(22)

Peran farmasis di rumah sakit sangat diperlukan untuk menghindarkan dan meminimalkan bahaya atau resiko yang mungkin saja dapat muncul pada tindakan medis dan pengobatan yang diberikan kepada pasien. Hal ini sesuai dengan adanya paradigma Asuhan Kefarmasian, yaitu farmasis bertanggung jawab untuk memastikan penderita memperoleh terapi obat yang aman, tepat, dan biaya terapi yang efektif, serta memastikan terapi yang diberikan adalah yang diinginkan oleh penderita. Di samping itu, Asuhan Kefarmasian juga merupakan tanggung jawab farmasis dalam pemberian terapi obat yang bertujuan untuk mencapai hasil yang dapat meningkatkan kualitas hidup penderita. Kunci utamanya adalah pemantauan terapi obat yang bertujuan untuk mengoptimalkan terapi dan meminimalkan efek obat yang tidak diinginkan. Hal ini dapat dilakukan dengan sasaran utama mengidentifikasi problem aktual dan potensial yang berkaitan dengan obat (actual and potential DRP), penyelesaian problem aktual yang berkaitan dengan obat (actual DRP), pencegahan problem potensial yang berkaitan dengan obat (potential DRP) pada penatalaksanaan suatu penyakit (Seto, 2004).

(23)

1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, dapat dirumuskan beberapa permasalahan mengenai evaluasi pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005 seperti di bawah ini.

a. Seperti apakah gambaran profil kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005 yang meliputi jumlah kasus komplikasi nefropati, jenis kelamin, usia, diagnosis, dan tingkat kerusakan ginjal?

b. Seperti apakah pola pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005 yang meliputi golongan dan jenis obat?

c. Apakah jenis DRP yang timbul dalam pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda periode tahun 2005 yang meliputi : butuh obat (need for additional drug therapy), tidak perlu obat (unnecessary drug therapy), obat tidak tepat (wrong drug), dosis terlalu rendah (dosage too low), dosis terlalu tinggi (dosage too high), Adverse Drug Reaction (ADR), serta ketidaktaatan pasien (uncomplience)?

d. Seperti apakah hasil pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda periode tahun 2005 yang meliputi lama tinggal pasien, izin kepulangan pasien, dan keadaan pasien saat keluar dari rumah sakit?

2. Keaslian Penelitian

(24)

Bethesda Yogyakarta (Periode Januari-Desember 1998)” oleh Nadeak (1995). Penelitian ini berisi tentang pola penggunaan antidiabetika oral (ADO) yang meliputi jenis ADO yang diberikan, cara pemberiannya, golongan ADO dan dosis pemakaian ADO.

Suryawanti (1999) menulis “Pola Peresepan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dan Studi Literatur Interaksi Obat pada Pasien DM di RS Bethesda Yogyakarta periode Januari-Maret 2002”. Penelitian ini berisi tentang pola peresepan obat hipoglikemi dan interaksi obat yang potensial terjadi.

De Paullin (2000) meneliti pola peresepan pada penderita gagal ginjal kronis, yang tertulis dalam penelitian “Kajian Pola Peresepan pada Pasien Gagal Ginjal Kronis Ditinjau dari Dosis, Interaksi, Efek Samping, dan Kontraindikasi Obat”.

Retnari (2002) menulis “Evaluasi Penatalaksanaan Terapi Komplikasi Nefropati pada Kasus DM di Instalasi Rawat Inap RS Panti Rapih Yogyakarta Periode 2005”. Penelitian ini berisi tentang evaluasi terhadap penatalaksanaan terapi pada pasien DM dengan komplikasi nefropati.

(25)

subyeknya yaitu pasien DM sedangkan penelitian ini kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Retnari (2002) adalah tempat dilakukannya penelitian. Pada penelitian Retnari (2002) penelitian dilakukan di RS Panti Rapih Yogyakarta sedangkan penelitian ini dilakukan di RS Bethesda Yogyakarta. Dengan demikian penelitian mengenai Evaluasi Pengobatan pada Kasus Diabetes Melitus dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Periode Tahun 2005 belum pernah dilakukan.

3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut ini. a. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi dan wacana dalam evaluasi pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik dan juga dalam mengembangkan konsep pelayanan farmasi klinik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda.

b. Manfaat Praktis

1). Bagi RS Bethesda Yogyakarta hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran tentang pola peresepan yang dilakukan dalam pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta.

2). Hasil penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik.

(26)

B. Tujuan Penelitian 1. Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengobatan

yang diberikan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi

Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta selama tahun 2005.

2. Khusus

Tujuan khusus dari penelitian mengenai evaluasi pengobatan pada kasus

DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda

Yogyakarta periode tahun 2005 ini adalah :

a. mengetahui gambaran profil kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di

Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005 yang meliputi

jumlah kasus komplikasi nefropati, jenis kelamin, usia, diagnosis, dan tingkat

kerusakan ginjal

b. mengetahui pola pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati

diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005

yang meliputi golongan dan jenis obat

c. menggambarkan Drug Related Problem (DRP) yang timbul dalam pengobatan

pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS

Bethesda periode tahun 2005

d. mengetahui hasil pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati

(27)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus 1. Definisi, Gejala, dan Tanda Diabetes Melitus

Secara umum diabetes melitus (DM) adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2002). Diabetes Melitus merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ditandai dengan hiperglikemia serta dapat mengakibatkan komplikasi kronis termasuk mikrovaskular dan makrovaskular (Triplitt dkk, 2005). Penyakit DM merupakan penyakit degeneratif yang memerlukan upaya penanganan yang tepat dan serius. Jika tidak ditangani, penyakit tersebut akan membawa ke berbagai komplikasi penyakit serius lainnya, seperti penyakit jantung, stroke, disfungsi ereksi, gagal ginjal, dan kerusakan syaraf (Octa, 2003).

Gejala klasik dari penyakit DM adalah rasa haus yang berlebihan, sering buang air kecil, terutama pada malam hari, penurunan berat badan. Selain itu terdapat pula keluhan lain seperti rasa lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, merasa cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan menjadi kabur, gairah seks menurun, luka yang sukar sembuh (Suyono, 2002).

(28)

2. Patofisiologi Diabetes Melitus

Diabetes melitus ialah suatu keadaan yang timbul karena defisiensi insulin relatif maupun absolut. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolismenya diganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dimakan diubah menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen,

dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada DM semua proses tersebut terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga energi utama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak. Sebenarnya hiperglikemia relatif tidak berbahaya, kecuali bila kadar gula dalam darah tinggi sekali hingga darah menjadi hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Glukosuria yang timbul lebih berbahaya dibandingkan dengan hiperglikemia. Hal ini dikarenakan glukosa bersifat diuretik osmotik, dengan adanya glukosa dalam urin maka diuresis akan sangat meningkat disertai hilangnya berbagai elektrolit. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada penderita diabetes yang tidak diobati. Karena adanya dehidrasi maka badan berusaha mengatasinya dengan banyak minum (polidipsia). Badan kehilangan 4 kalori untuk setiap gram glukosa yang diekskresi. Polifagia timbul karena perangsangan pusat nafsu makan di hipotalamus oleh kurangnya pemakaian glukosa di kelenjar itu (Handoko dan Suharto, 1995).

3. Klasifikasi Diabetes Melitus

a. Diabetes Melitus Tipe 1

(29)

berguna sebagai pengatur glukosa darah. Untuk mengatasi penyakit ini, penderita membutuhkan insulin dari luar yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui suntikan atau pompa. Terhitung 5% sampai 10% dari keseluruhan kasus diabetes termasuk dalam diabetes tipe 1. Sampai saat ini belum diketahui cara mencegah diabetes tipe ini (Anonim, 2003b)

Diabetes Melitus tipe ini merupakan hasil dari kerusakan autoimun sel β

pankreas. Tanda kerusakan imun sel β ditampakkan 90% pada waktu diagnosis, termasuk antibodi sel islet, antibodi asam glutamat dekarboksilase, dan antibodi untuk insulin. Diabetes Melitus tipe ini biasanya terjadi pada anak-anak dan anak muda, tetapi bisa juga terjadi pada berbagai usia (Triplitt dkk, 2005).

b. Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes tipe 2 lebih dulu disebut Diabetes Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) atau NIDDM. Sekitar 90% sampai 95% dari seluruh penderita DM termasuk dalam diabetes tipe ini. Biasanya, tipe ini dimulai dengan resistensi insulin, suatu gangguan ketika sel tidak dapat menggunakan insulin sebagaimana mestinya. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan insulin, pankreas akan kehilangan kemampuannya dalam menghasilkan insulin secara bertahap. Diabetes tipe ini berhubungan dengan usia tua, obesitas, riwayat DM dalam keluarga, riwayat DM Gestasional, kerusakan metabolisme glukosa, dan ras atau etnik (Anonim, 2003b).

(30)

dislipidemia (level trigliserida yang tinggi dan level HDL-kolesterol yang rendah) dan kenaikan level inhibitor plasminogen activator 1 (PA1) sering muncul atau tampak pada penderita DM tipe ini (Triplitt dkk, 2005).

c. Diabetes tipe lain

1). Kerusakan genetik fungsi sel β pankreas

Kromosom 20q, HNF-4α (dulu Maturity Onset Diabetes of The Youth / MODY1); kromosom 7p, glukokinase (dulu MODY2); kromosom 12q, HNF-1β (dulu MODY3); kromosom 13q, faktor promoter insulin (dulu MODY4); kromosom 17q, HNF-1β (dulu MODY5); Kromosom 2q (dulu MODY6); mitokondria DNA.

MODY dikarakteristikan sebagai terganggunya sekresi insulin dengan resistensi insulin yang kecil atau tidak resisten sama sekali. Ketidakmampuan secara genetik untuk mengubah proinsulin menjadi insulin mengakibatkan hiperglikemia ringan pada usia dini dan hal tersebut akan diwariskan pada pola autosomal yang dominan (Triplitt dkk, 2005).

2). Kerusakan genetik dalam aksi atau kerja insulin

Resistensi insulin tipe 1, leprechaunism, sindrom Rabson-Mendenhall. 3). Penyakit pada eksokrin pankreas

Pankreatitis, pancreatectomy, neoplasia, cystic fibrosis, hemokromatosis. 4). Endokrinopati

Acromegaly, sindrom Cushing, glukagonoma, pheochromocytoma, hipertiroidism, somatostatinoma, aldosteronoma.

5). Infeksi

(31)

6). Sindrom genetik lainnya yang kadang-kadang menyertai diabetes

Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram,

Friedreich’s ataxia, Huntington’s chorea, sindrom Laurence-Moon-Bieldel, distropi miotonik (Triplitt dkk, 2005).

d. Diabetes Melitus Gestasional

Diabetes Melitus Gestasional (DMG) merupakan intoleransi glukosa yang pertama kali diketahui selama kehamilan. Komplikasi DMG terjadi sekitar 7% dari semua kehamilan. Deteksi klinis penting agar terapi dapat dilakukan sehingga cacat dan kematian perinatal dapat diturunkan (Triplitt dkk, 2005). Selama kehamilan, diabetes gestasional memerlukan terapi untuk menormalkan kadar gula darah ibu untuk mencegah komplikasi pada janin. Setelah melahirkan, 5% sampai 10% wanita dengan DMG mengalami diabetes tipe 2 (Anonim, 2003b).

4. Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis dari penyakit ini dapat menggunakan 3 kriteria yaitu : a. kadar gula darah puasa ≥ 126 mg/dl

b. tes toleransi kadar gula dalam darah setelah 2 jam ingesti glukosa secara oral ≥ 200 mg/dl atau

c. kadar glukosa dalam plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl dengan gejala-gejala diabetes (Triplitt dkk, 2005).

World Health Organization (WHO) dan American Diabetes Association

(32)

Tabel I. Kategori Diagnosis Penyakit DM (Triplitt dkk, 2005)

Kategori Gula Darah Puasa

a

(mg/dL)

Gula Darah 2h ppgb (mg/dL)

Gula Darah Sewaktu (mg/dL) Normal <100 <140 -

Impaired Fasting

Glucose (IFG)

atau Prediabetes

100-125 140-199 -

Diabetes Melitus ≥126 ≥200 ≥200 Keterangan :

a

Puasa didefinisikan tidak ada masukan makanan sedikitnya dalam waktu 8 jam terakhir

b

2h ppg=2 hour postload glucose (pengukuran gula darah setelah 2 jam pemberian glukosa) dengan Oral Glucose Tolerance Test (OGTT).

B. Komplikasi Nefropati Diabetik 1. Definisi Nefropati Diabetik

Nefropati diabetik adalah gangguan fungsi ginjal akibat kebocoran selaput penyaring darah. Sebagaimana diketahui, ginjal terdiri dari jutaan unit penyaring (glomerulus). Setiap unit penyaring memiliki membran atau selaput penyaring. Kadar gula darah tinggi secara perlahan akan merusak selaput penyaring ini. Gula yang tinggi dalam darah akan bereaksi dengan protein sehingga mengubah struktur dan fungsi sel, termasuk membran basal glomerulus. Akibatnya, penghalang protein rusak dan terjadi kebocoran protein ke urin (albuminuria). Hal ini berpengaruh buruk pada ginjal (Anonim, 2003a).

(33)

kematian paling tinggi (Genuth, 2003). Sekitar 30% pasien DM tipe 1 dan kira-kira 20% pada pasien DM tipe 2 mengalami nefropati diabetik. Akan tetapi, kebanyakan pasien DM dengan end-stage renal disease (ESRD) merupakan pasien DM tipe 2 karena prevalensi penyakit DM tipe 2 lebih besar daripada penyakit DM tipe 1 di dunia (90% dari seluruh pasien DM) (O’Meara, Brady, dan Brenner, 2001).

2. Patofisiologi dan Gejala Nefropati Diabetik

Diabetik nefropati timbul utamanya karena kerusakan fungsi glomerulus. Perubahan histologi glomerulus pada DM tipe 1 dan tipe 2 tidak dapat dibedakan dan terjadi pada mayoritas pasien (McPhee,Lingappa, Ganong, danLange, 1995).

(34)

terjadi. Hipertensi ini akan memperburuk nefropati diabetik dan merupakan komponen penting dalam perkembangan gagal ginjal (Genuth, 2003).

Di saat pembuluh darah halus ginjal mengalami kerusakan akibat keracunan gula, akan terjadi kebocoran protein dari dalam darah ke dalam urin. Dengan kehilangan protein cukup banyak (melampaui 3500 mg sehari) maka kadar protein dalam darah menjadi rendah. Cairan dalam pembuluh darah tidak dapat dipertahankan dan akan merembes ke jaringan. Penimbunan cairan di dalam jaringan akan mengakibatkan terjadinya pembengkakan di wajah, tangan, perut, dan tungkai bawah (Astuti, 2000).

Gangguan ginjal menyebabkan fungsi ekskresi, filtrasi dan hormonal ginjal terganggu. Akibat terganggunya pengeluaran zat-zat racun lewat urin, zat racun tertimbun di tubuh. Tubuh membengkak dan timbul resiko kematian (Anonim, 2003a).

(35)

jumlah besar atau dikarenakan gagal ginjal. Gejala tersebut berupa pembengkakan (biasanya di sekitar mata pada pagi hari dan kemudian tubuh akan membengkak juga), urin yang berbuih, berat badan bertambah dengan tidak sengaja (karena akumulasi cairan), pembengkakan pada kaki, nafsu makan yang berkurang, mual dan muntah, merasa sakit, capai atau lelah, sakit kepala, sering cegukan (Anonim, 2004a).

3. Diagnosis

Pasien DM dinyatakan mengalami tahap awal nefropati diabetik jika pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam waktu 3-6 bulan ditemukan albumin di dalam urin 24 jam ≥ 30 mg, dengan catatan tidak ditemukan penyebab albuminuria lain.

Tabel II. Kategori Kadar Albumin dalam Urin (Anonim, 2002b). Kategori Urin 24 jam

(mg/24 jam)

Urin dalam waktu tertentu (mg/menit)

Urin sewaktu (mg/mg kreatinin)

Normal < 30 <20 <30

Mikroalbuminuria 30-299 20-199 30-299

Makroalbuminuria ≥ 300 ≥ 200 ≥ 300

Mikroalbuminuria berarti ditemukan sejumlah kecil protein albumin di dalam urin sesuai dengan kategori di atas. Mikroalbuminuria merupakan indikasi adanya gangguan glomerulus pada stadium dini, dimana gangguan dapat diperbaiki atau diobati sementara. Bila telah terjadi gagal ginjal maka pengobatan sulit dilakukan (Anonim, 2002b).

Mikroalbuminuria dapat dilihat dengan 3 metode, yaitu : a. pengukuran rasio albumin-kreatinin pada pengumpulan urin acak b. pengumpulan urin 24 jam dengan kreatinin

(36)

4. Tahap Nefropati Diabetik

Perkembangan nefropati diabetik dapat digambarkan dengan prediksi 5 tahap berikut :

a. Tahap 1, kerusakan ginjal diindikasikan dengan GFR di atas normal.

b. Tahap 2, GFR tetap meningkat atau telah kembali ke angka normal tetapi kerusakan glomerulus telah berkembang menjadi mikroalbuminuria. Pasien pada tahap 2 mengekskresi lebih dari 30 mg albumin dalam urinnya.

c. Tahap 3 (overt nephropathy), kerusakan glomerulus telah berkembang menjadi albuminuria klinik dimana di dalam urin terdapat lebih dari 300 mg albumin.

d. Tahap 4, kerusakan glomerulus berlanjut dengan peningkatan jumlah albumin dalam urin. Kemampuan menyaring dari ginjal mulai menurun, dan blood urea nitrogen (BUN) dan creatinin (Cr) mulai meningkat.

e. Tahap 5 (end stage renal disease, ESRD), GFR turun kira-kira 10 mL/menit. Pada tahap ini diperlukan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis, peritoneal dialisis, transplantasi ginjal (Anonim, 2002a).

Gambaran pasien dengan berbagai tingkat kerusakan ginjal berdasarkan

clearance creatinin (Clcr) dapat dilihat pada tabel III.

Tabel III. Kerusakan Ginjal Berdasarkan Clcr (Shargel, Wu-Pong, dan Yu, 2005).

Tingkat Gambaran Perkiraan Clcr (mL/menit)

1 Fungsi ginjal normal >80

2 Kerusakan ginjal ringan 50-80

3 Kerusakan ginjal sedang 30-50

4 Kerusakan ginjal berat 10-30

5 ESRD <10

(37)

C. Terapi Nefropati Diabetik 1. Tujuan Terapi

Tujuan terapi adalah untuk memperlambat laju kerusakan ginjal dan mengontrol komplikasi terkait (Anonim, 2004a). Di samping itu, untuk mencegah berkembangnya mikroalbuminuria menjadi makroalbuminuria, menghambat turunnya fungsi ginjal pada pasien makroalbuminuria (Gross dkk, 2005). Terapi untuk DM tipe 1 dan tipe 2 mengarah pada normoglikemia, mengurangi atau menghambat laju komplikasi (retinopati diabetik, nefropati diabetik, dan neuropati diabetik). Semakin awal terapi dimulai akan semakin besar manfaatnya (Genuth, 2003).

Tujuan untuk perlindungan ginjal dan jantung pada terapi DM dengan komplikasi nefropati mencakup :

a. kadar albumin

Tujuan terapi pada pasien dengan mikroalbuminuria adalah menurunkan kadar albumin menjadi normoalbuminuria sedangkan tujuan terapi pasien yang mengalami makroalbuminuria adalah menurunkan kadar protein sekecil mungkin.

b. glomerular filtration rate (GFR)

GFR pasien dengan mikroalbuminuria harus dijaga agar tetap stabil sedangkan pasien dengan keadaan makroalbuminuria penurunan GFR harus dijaga <2ml/menit pertahun.

c. tekanan darah

(38)

d. kadar glycated hemoglobin (Hb A1c)

Uji klinis menunjukkan menjaga kadar Hb A1c <7% akan membantu mencegah perkembangan mikroalbuminuria menjadi makroalbuminuria karena kadar Hb A1c <7% berhubungan dengan penurunan resiko manifestasi nefropati secara struktural dan klinis.

e. kadar LDL

Pada pasien DM umum kadar LDL kolesterol dijaga <100 mg/dl dan <70 mg/dl untuk pasien dengan CVD

(Gross dkk, 2005). Terapi pengganti ginjal berupa dialisis akan dilakukan bila Clcr mengalami penurunan <30mL/menit/1,73m2. kriteria untuk memulai dialisis adalah status klinis pasien yang berupa anorexia, mual, dan muntah, yang utamanya bila disertai dengan penurunan berat badan, fatigue, dan penurunan albumin dalam serum, hipertensi yang tidak terkontrol dan congestive heart failure (Elwell dan Foote, 2005).

2. Strategi Terapi

a. Terapi nonfarmakologi 1). Diet

(39)

2). Olahraga

Olahraga aerobik dapat memperbaiki resistensi insulin dan mengontrol kadar gula darah pada kebanyakan individu, menurunkan faktor resiko kardiovaskular, berperan dalam menurunkan atau menjaga berat badan, dan meningkatkan kesehatan (Triplitt dkk, 2005).

b. Terapi farmakologi

Pengobatan meliputi kontrol tekanan darah. Tindakan ini dianggap paling penting untuk melindungi fungsi ginjal. Biasanya menggunakan penghambat enzim pengonversi angiotensin (ACEI atau Angiotensin Converting Enzym Inhibitor) dan atau penghambat reseptor angiotensin (ARBs) (Anonim, 2003a). Penghambat ACE menurunkan level protein dalam urin dan memperlambat laju nefropati diabetik. Banyak studi menunjukan Angiotensin Receptor Blockers (ARBs) memiliki keuntungan yang sama dengan penghambat ACE. Faktanya, kombinasi keduanya mungkin yang terbaik (Anonim, 2004b). Selain itu dilakukan pengendalian kadar gula darah dan pembatasan asupan protein (0,6-0,8 gram per kilogram berat badan per hari) (Anonim, 2003a).

(40)

berkembang, transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti yang lebih ditawarkan (Genuth, 2003). Tindakan pencegahan yaitu dengan mengontrol kadar gula darah (HbA1c <7%), mengontrol tekanan darah (tekanan darah <120/70 mmHg), menghindari zat-zat yang potensial memperparah kerusakan ginjal seperti antiinflamasi nonsteroid dan aminoglikosida (Soman, 2006).

1). Obat-obat untuk mengontrol tekanan darah dan untuk albuminuria a). Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor bekerja dengan cara menghambat kerja ACE sehingga perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II dapat diblok. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat dan juga menstimulasi sekresi aldosteron. Degradasi bradikinin juga diblok oleh ACEI. Selain itu ACEI menstimulasi sintesis vasodilator lainnya seperti prostaglandin E2 dan prostasiklin (Saseen dan Carter, 2005).

Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitor dapat menyebabkan penurunan tekanan darah yang cepat terutama pada pasien dengan gagal ginjal atau pasien yang mendapat terapi diuretik. ACEI harus diberikan dalam dosis awal yang rendah dan bila mungkin terapi diuretik dihentikan selama beberapa hari sebelum terapi dengan ACEI dimulai (Anonim, 2000).

(41)

otot, batuk kering yang persisten, gangguan kerongkongan. Captopril, enalapril, lisinopril, perindropil, dan ramipril termasuk dalam ACEI (Anonim, 2000). b). Angiotensin Receptor Blokers (ARBs)

Angiotensin Receptor Blokers bekerja dengan memblok secara langsung reseptor angiotensin II tipe 1 (AT1) yang memperantarai efek angiotensin II pada

manusia seperti vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriola eferen glomerulus. ARBs tidak memblok reseptor angiotensin tipe 2 (AT2). Oleh karena itu, efek menguntungkan dari

stimulasi AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan

pertumbuhan sel) tidak terganggu ketika ARBs digunakan (Saseen dan Carter, 2005).

Losartan, valsartan, kandesartan, dan irbesartan termasuk ARBs yang spesifik, sifatnya mirip dengan ACEI. Berbeda dengan ACEI, obat-obat golongan ini tidak menghambat pemecahan bradikinin dan kinin-kinin lainnya, sehingga tampaknya tidak menimbulkan batuk kering persisten yang biasanya mengganggu terapi dengan ACEI. Karena itu, obat-obat golongan ini merupakan alternatif yang berguna untuk pasien yang harus menghentikan ACEI akibat batuk yang persisten. Efek samping ARBs biasanya ringan. Hipotensi simtomatik dapat terjadi, terutama pada pasien dengan deplesi cairan (misal yang mendapat diuretik dosis tinggi). Hiperkalemia kadang-kadang terjadi; angiodema juga dapat terjadi (Anonim, 2000).

2). Obat-obat untuk mengontrol kadar gula darah

(42)

a). Sulfonilurea

Sulfonilurea merupakan terapi farmakologi garis pertama untuk pasien DM tipe 2 yang kadar gula darahnya gagal dikendalikan dengan diet dan olahraga, sampai metformin dan antidiabetik lainnya tersedia di Amerika Serikat (Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005). Beberapa derivat sulfonilurea telah dipakai dalam terapi, semua pada dasarnya mempunyai mekanisme kerja yang sama. Obat ini hanya berbeda dalam hal potensi serta farmakokinetik yang mendasari perbedaan masa kerja (Handoko dan Suharto, 1995).

Sulfonilurea menstimulasi pelepasan insulin dan sel-sel β pankreas. Sulfonilurea dipercaya menghambat gerbang ion kalium dan menurunkan potensial membran yang menyebabkan depolarisasi. Kemudian gerbang kalsium akan terbuka, meningkatkan konsentrasi Ca2+ intraselular. Kenaikan konsentrasi Ca2+ intraselular akhirnya akan menstimulasi sekresi insulin (Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005). Obat ini membebaskan insulin yang dapat dimobilisasi dari sel beta pankreas dan pada saat yang sama memperbaiki tanggapan terhadap rangsang glukosa fisiologik. Ini berarti bahwa obat ini hanya berkhasiat jika produksi insulin tubuh sendiri paling kurang sebagian masih bertahan, atau dengan kata lain obat ini tidak berkhasiat jika tidak ada produksi insulin (Mutschler, 1991).

(43)

Penggunaan sulfonilurea menunjukkan penurunan komplikasi mikrovaskular pada pasien DM tipe 2 dalam UK Prospective Diabetes Study Group (UKPDS) (Triplitt dkk, 2005).

b). Metformin (Biguanida)

Turunan biguanida telah digunakan sebagai antidiabetika oral. Dari senyawa ini hanya metformin yang masih tersedia. Senyawa-senyawa lain dari golongan ini harus ditarik dari perdagangan karena cukup sering menimbulkan laktasidosis dengan sebagian menyebabkan kematian setelah pemberian sediaan-sediaan ini, khususnya pada penderita insufisiensi ginjal. Metformin pun masih boleh ditulis hanya dengan tindakan yang sangat hati-hati (Mutschler, 1991). Metformin bekerja menghambat glukoneogenesis dan meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan. Jadi, obat ini hanya efektif bila terdapat insulin endogen. Karena kerjanya yang berbeda dengan sulfonilurea, keduanya tidak dapat dipertukarkan. Biguanida dapat digunakan sendiri atau bersama dengan golongan sulfonilurea (Anonim, 2000). Metformin menurunkan gula darah plasma puasa dan kadar insulin, memperbaiki profil lipid, dan tidak menaikan berat badan (Powers, 2001).

Secara umum metformin dapat ditoleransi oleh pasien DM. Namun, pada beberapa individu mengalami efek samping di gastrointestinal seperti diare, anoreksia, dan mual. Efek samping ini dapat diminimalkan dengan menaikkan dosis perlahan-lahan (Powers, 2001).

(44)

c). Penghambat α-Glukosidase

Penghambat α-Glukosidase menurunkan hiperglikemia setelah makan dengan menunda absorpsi glukosa. Golongan ini tidak tergantung penggunaan glukosa atau sekresi insulin (Powers, 2001). Penghambat α-Glukosidase bekerja dengan menghambat glukosidase di mukosa usus halus. Enzim glukosidase bertanggungjawab dalam pemecahan polisakarida dan disakarida menjadi glukosa yang dapat diabsorbsi dan monosakarida lainnya. Hasil yang didapat dari penghambatan enzim glukosidase adalah penundaan absorbsi glukosa sehingga konsentrasi gula darah setelah makan dapat diturunkan (Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005).

Efek samping penggunaan penghambat α-glukosidase yang paling sering dilaporkan adalah produksi gas dalam perut, diare, dan nyeri abdominal. Efek samping ini terjadi karena fermentasi dari karbohidrat yang tidak diabsorbsi dalam usus halus (Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005).

d). Tiazolidindion

Senyawa golongan tiazolidindion bekerja meningkatkan kepekaan tubuh terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferator activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Senyawa-senyawa tiazolidindion juga menurunkan kecepatan glikoneogenesis (Anonim, 2005b).

(45)

Rosiglitazone bekerja dengan cara yang sama dengan pioglitazone. Obat ini diekskresi melalui urin dan feses (Anonim, 2005b).

Tiazolidindion dikontraindikasikan untuk penderita DM tipe 1 karena insulin dibutuhkan untuk kerja obat ini. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien gagal jantung karena dapat memperberat edema (Carlisle, Kroon, dan Koda-Kimble, 2005).

e). Meglitinida dan turunan fenilalanin

Obat-obat hipoglikemik oral golongan glinida ini merupakan obat hipoglikemik generasi baru yang cara kerjanya mirip dengan golongan sulfonilurea. Kedua golongan senyawa hipoglikemik oral ini bekerja meningkatkan sintesis dan sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Umumnya senyawa obat hipoglikemik golongan meglitinida dan turunan fenilalanin ini dipakai dalam bentuk kombinasi dengan obat-obat antidiabetik oral lainnya (Anonim, 2005b).

Repaglinida merupakan turunan asam benzoat dan mempunyai efek hipoglikemik ringan sampai sedang. Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian per oral dan diekskresi secara cepat melalui ginjal. Efek samping yang mungkin terjadi adalah keluhan saluran cerna (Anonim, 2005b).

Nateglinida merupakan turunan fenilalanin dan memiliki cara kerja yang mirip dengan repaglinida. Obat ini diabsorpsi cepat setelah pemberian per oral dan diekskresi terutama melalui ginjal. Efek samping yang dapat terjadi pada penggunaan obat ini adalah keluhan infeksi saluran nafas atas (Anonim, 2005b). f). Insulin

(46)

rekombinan DNA menggunakan E. coli (Anonim, 2000). Insulin merupakan hormon yang penting untuk kehidupan. Hormon ini mempengaruhi baik metabolisme karbohidrat maupun metabolisme protein dan lemak. Insulin menaikkan pengambilan glukosa ke dalam sel-sel sebagian besar jaringan, menaikkan penguraian glukosa secara oksidatif, menaikkan pembentukan glikogen dalam hati dan juga dalam otot dan mencegah penguraian glikogen, menstimulasi pembentukan protein dan lemak dari glukosa (Mutschler, 1991).

Ada beberapa bentuk insulin yang tersedia atau tengah dalam penelitian yang ditunjukan pada tabel IV berikut.

Tabel IV. Sediaan Insulin dan Waktu Aksinya (Powers, 2001). Waktu Aksi

No. Sediaan Insulin Onset (jam)

1. Short-acting

Lispro

2. Intermediate-acting

NPH

3. Long-acting

Ultralente Keterangan : * Glargine memiliki aktifitas puncak minimal.

(47)

berlebihan, dapat mengimbangi kelebihan dosis insulin dengan mengkonsumsi makanan yang kaya akan karbohidrat. Pada kasus yang parah dilakukan pengobatan dengan pemberian glukosa secara parenteral (Mutschler, 1991).

Efek samping dari insulin adalah reaksi alergi. Reaksi ini dapat terjadi secara sistemik atau lokal. Reaksi lokal terjadi 10 kali lebih sering daripada reaksi sistemik terutama pada penggunaan yang kurang murni. Reaksi lokal berupa eritem dan indurasi di tempat suntikan yang terjadi dalam beberapa menit atau jam dan berlangsung selama beberapa hari. Reaksi ini biasanya terjadi beberapa minggu sesudah pengobatan insulin dimulai. Inflamasi lokal atau infeksi mudah terjadi bila pembersihan kulit kurang baik, penggunaan antiseptik yang menimbulkan sensitisasi atau terjadinya suntikan intrakutan, reaksi ini akan hilang secara spontan. Reaksi umum dapat berupa urtikaria, erupsi kulit, angioudem, gangguan gastrointestinal (mual, muntah, diare), dan gangguan pernafasan (sesak nafas, asma) (Handoko dan Suharto, 1995).

3. Rekomendasi ADA

Rekomendasi perawatan nefropati diabetes menurut ADA : a. Level A

1) Dalam terapi albuminuria atau nefropati ACEI dan ARBs dapat digunakan : pada pasien DM tipe 1 dengan mikroalbuminuria, ACEI merupakan pilihan pertama. Pada pasien DM tipe 2 dengan mikroalbuminuria, ARBs merupakan pilihan pertama.

(48)

b. Level B

1) Pembatasan protein menjadi ≤0,8 g kg-1 perhari (~10% kalori harian) pada pasien nefropati. Pembatasan lebih lanjut mungkin berguna dalam memperlambat laju penurunan GFR pada pasien tertentu.

2) Kombinasi ACEI dan ARBs akan lebih banyak menurunkan albuminuria daripada hanya menggunakan satu golongan obat saja.

c. Konsensus Ahli

1) Jika ACEI dan ARBs digunakan kadar kalium dalam serum dimonitor untuk mencegah terjadinya hiperkalemia

(Molitch, 2004).

D. Farmasi Klinik

Farmasi klinik didefinisikan sebagai segala aktivitas yang dilakukan oleh seorang farmasis dalam usahanya untuk mencapai terapi obat rasional yang aman, tepat, dan cost effective. Kunci utamanya adalah pemantauan terapi obat yang bertujuan untuk mengoptimalkan terapi dan meminimalkan efek obat yang tidak diinginkan (Seto, Nita, dan Triana, 2004).

(49)

Praktek farmasi klinik yang dilakukan oleh farmasis rumah sakit dapat berbeda dengan yang dilakukan oleh farmasis komunitas tetapi perlu diingat bahwa tujuannya selalu sama. Tujuan praktek farmasi klinik yaitu menyelesaikan problem yang berkaitan dengan obat (Drug Related Problem atau DRP), serta menjamin penggunaan obat yang aman dan tepat bagi tiap penderita (Seto dkk, 2004).

Fungsi utama dari seorang farmasis klinik adalah pengumpulan data penderita, identifikasi problem, menyusun outcome yang diinginkan, mengevaluasi pilihan terapi, individualisasi terapi obat, dan pemantauan outcome (Seto dkk, 2004).

E. Drug Related Problem (DRP)

Permasalahan dalam farmasi klinis terutama muncul karena pemakaian obat.

Drug Related Problem (DRP) atau sering diistilahkan dengan Drug Therapy Problem (DTP) adalah kejadian atau efek tidak diharapkan yang dialami pasien dalam proses terapi dengan obat dan secara aktual atau potensial bersamaan dengan

outcome yang diharapkan (Cipolle, Strand, dan Morley, 1998). Menurut Seto dkk (2004) DRP adalah sebuah kejadian atau problem yang melibatkan terapi obat penderita yang mempengaruhi pencapaian outcome. Drug Related Problem terdiri dari aktual DRP dan potensial DRP. Aktual DRP adalah problem yang sedang terjadi berkaitan dengan terapi obat yang sedang diberikan pada penderita. Sedangkan potensial DRP adalah problem yang diperkirakan akan terjadi yang berkaitan dengan terapi obat yang sedang digunakan oleh penderita (Seto dkk, 2004).

(50)

Tabel V. Drug Related Problem dan Kemungkinan Penyebabnya (Cipolle dkk, 1998).

Drug Related Problem Kemungkinan Penyebab DRP

1. Butuh obat (Need for additional drug therapy)

a. Pasien dengan kondisi baru yang membutuhkan obat b. Pasien kronis yang membutuhkan kelanjutan terapi obat c. Pasien dengan kondisi yang membutuhkan kombinasi

obat

d. Pasien dengan kondisi yang beresiko dan membutuhkan obat untuk mencegahnya

2. Tidak perlu obat (Unnecersary drug Therapy)

a. Tidak ada indikasi pada saat itu

b. Pasien mendapat obat dalam dosis toksik c. Kondisi pasien akibat drug abuse

d. Pasien lebih baik disembuhkan dengan non drug terapi e. Pemakaian multiple drug yang seharusnya cukup hanya

dengan single drug terapi saja

f. Pasien minum obat untuk mencegah efek samping obat lain yang seharusnya dapat dihindarkan

3. Obat tidak tepat (Wrong drug)

a. Kondisi pasien yang menyebabkan obat bekerja tidak efektif (kurang sesuai dengan indikasinya)

b. Pasien mempunyai alergi terhadap obat-obat tertentu c. Obat yang diberikan memiliki faktor resiko

kontraindikasi dengan obat lain yang juga dibutuhkan d. Efektif namun bukan yang paling murah

e. Efektif namun bukan yang paling aman

f. Penggunaan antibiotika yang sudah resisten terhadap infeksi pasien

g. Adanya kombinasi obat yang tidak perlu 4. Dosis kurang (Dosage

too low)

a. Dosis yang digunakan terlalu rendah untuk memberikan respon

b. Konsentrasi obat di bawah therapeutic range

c. Obat, dosis, rute, atau, konversi formula obat tidak cukup d. Dosis dan interval obat tidak cukup

e. Pemberian obat terlalu awal 5. Dosis berlebih (Dosage

too high)

a. Dosis yang digunakan pasien terlalu tinggi untuk memberikan respon

b. Konsentrasi obat di atas therapeutic range

c. Dosis obat terlalu cepat dinaikkan d. Akumulasi obat karena penyakit kronis

e. Obat, dosis, rute, atau, konversi formula obat tidak sesuai 6. Efek obat yang tidak

diinginkan (Adverse Drug reaction / ADR)

a. Obat yang diberikan kepada pasien terlalu cepat b. Adanya reaksi alergi terhadap obat-obat tertentu c. Ada faktor resiko yang membahayakan bagi pasien d. Interaksi dengan obat-obatan atau makanan e. Hasil laboratorium pasien berubah akibat obat 7. Ketidaktaatan pasien

(Uncomplience)

a. Pasien tidak menerima obat sesuai regimen karena

medication error

b. Pasien tidak taat instruksi

(51)

Ketika sebuah DRP terdeteksi, maka sangat penting untuk merencanakan bagaimana cara mengatasinya. Kita harus memberikan skala prioritas untuk DRP tersebut, yang manakah yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Prioritas problem tersebut didasarkan pada resiko yang mungkin timbul pada penderita (Seto dkk, 2004).

Sebagai farmasis diharapkan dapat mengidentifikasi DRP kemudian membuat solusi terhadap DRP tersebut sehingga tercapai terapi obat yang diharapkan yaitu : tepat indikasi, efektif, aman, dan nyaman (Cipolle dkk, 1998).

KETERANGAN EMPIRIS

(52)

33

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Rancangan Penelitian

Penelitian mengenai evaluasi pengobatan pada kasus diabetes melitus (DM) dengan komplikasi nefropati diabetik merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif dan pengambilan data dilakukan secara retrospektif.

B. Definisi Operasional

1. Kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik adalah seluruh kasus dengan diagnosis masuk DM dan komplikasi gangguan pada ginjal yang terdapat di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005. Bila seorang pasien dirawat di Instalasi Rawat Inap sebanyak dua kali maka dihitung sebanyak 2 kasus.

2. Pasien rawat inap adalah pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda periode tahun 2005. 3. Nefropati diabetik adalah salah satu komplikasi dari penyakit DM yang tercatat

dalam diagnosis masuk setiap kasus dengan kode rekam medis E 14.2.

4. Pengobatan adalah salah satu pelayanan kesehatan yang dilakukan untuk menangani suatu penyakit dengan menggunakan obat.

(53)

komplikasi nefropati diabetik, misalnya golongan insulin, golongan Antidiabetik Oral (ADO), golongan antihipertensi.

6. Jenis obat adalah nama obat yang diresepkan kepada pasien DM dengan komplikasi nefropati dalam bentuk generik, misalnya glibenklamid, metformin, kaptopril.

7. Drug Related Problem (DRP) adalah permasalahan yang muncul dalam farmasi klinis yang meliputi: indikasi tidak mendapat obat, pilihan obat tidak tepat, dosis terlalu rendah, dosis terlalu tinggi, obat tanpa indikasi, efek obat yang tidak diinginkan.

8. Evaluasi DRP adalah melihat kembali serta mengumpulkan tindakan pengobatan dengan obat (drug therapy) kemudian menyesuaikan dengan prosedur yang ada. 9. Rekam medis adalah catatan yang berisi data klinis pasien di RS yang meliputi

nomor rekam medis, nomor pendaftaran, nama pasien, umur pasien, jenis kelamin pasien, diagnosis, pengobatan yang diterima,dan sebagainya.

10.Hasil pengobatan adalah hasil dari pengobatan yang telah diberikan dilihat dari keadaan pasien saat keluar dari RS, terbagi menjadi lama tinggal pasien, alasan kepulangan pasien, dan keadaan pasien saat keluar dari rumah sakit.

C. Subjek Penelitian

(54)

kasus yang diteliti hanya sebanyak 30 kasus karena dokumen 18 kasus lainnya telah disimpan dalam tempat penyimpanan. Hal ini dikarenakan pasien sudah meninggal sehingga dokumennya tidak dikeluarkan lagi.

D. Bahan Penelitian

Bahan penelitian berupa data dari rekam medis pasien DM dengan komplikasi nefropati diabetik rawat inap di RS Bethesda Yogyakarta pada periode tahun 2005.

E. Lokasi Penelitian

Penelitian mengenai Evaluasi Pengobatan pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik dilakukan di unit rekam medis RS Bethesda Yogyakarta Jalan Jendral Sudirman no.70 Yogyakarta.

F. Tata Cara Penelitian

Tata cara atau jalannya penelitian dilakukan secara bertahap dengan alur sebagai berikut ini.

1. Perencanaan

(55)

DM di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda sebesar 400 kasus dan dari 400 kasus tersebut sebanyak 48 kasus merupakan DM dengan komplikasi nefropati diabetik. Laporan tersebut digunakan sebagai acuan penentuan masalah.

2. Pengambilan data

Tahap pengambilan data meliputi proses-proses berikut ini. a. Proses penelusuran data

Proses penelusuran data dilakukan dengan melihat data dari unit rekam medis RS Bethesda. Dari data tersebut diketahui jumlah kasus dan nomor rekam medis kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik. Selanjutnya nomor rekam medis digunakan untuk menelusuri lembar catatan rekam medis secara keseluruhan. Dari 48 kasus DM dengan komplikasi nefropati yang terdapat di RS Bethesda, sebanyak 18 kasus tidak terdapat dokumen rekam medisnya karena pasien sudah meninggal dan dokumen tersebut tidak dikeluarkan lagi. Dengan demikian total kasus pada penelitian ini menjadi 30 kasus.

b. Proses pengambilan data

Proses pengambilan data ini dilakukan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik melalui dokumen rekam medisnya. Kemudian dokumen rekam medis tiap kasus ditelusuri dengan menggunakan nomor rekam medis yang sudah didapat pada proses penelusuran data dan data-data tiap kasus tersebut dicatat.

c. Proses pencatatan data

(56)

kelamin, tanggal masuk dan keluar rumah sakit, diagnosis masuk dan diagnosis keluar, keluhan, tindakan yang telah dilakukan, riwayat penyakit, jenis obat, jumlah obat, dosis, cara pemberian, waktu pemberian, bentuk sediaan, serta data laboratorium.

3. Pengolahan data

Data disajikan dalam bentuk tabel dan atau grafik dengan beberapa keterangan. Data identifikasi kasus DRP juga disajikan dalam bentuk tabel.

4. Analisis hasil

Analisis hasil dilakukan dengan menganalisis data yang telah dikumpulkan dan dicatat yaitu dengan memberikan gambaran profil kasus dan gambaran umum pola pengobatan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik serta identifikasi DRP. Hasilnya disajikan dalam bentuk tabel beserta uraian penjelasan. Analisis hasil tersebut diuraikan dalam penjelasan di bawah ini.

a. Gambaran profil kasus

Gambaran profil kasus meliputi jenis kelamin dan usia dalam kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik. Presentase jenis kelamin dihitung berdasarkan banyaknya kasus dengan jenis kelamin tertentu dibagi jumlah total kasus dikali 100%.

(57)

termasuk ke dalam kelompok umur tertentu dibagi dengan jumlah total kasus dikalikan 100%.

b. Gambaran pola pengobatan

Gambaran pola pengobatan dilakukan dengan menghitung kelas terapi obat, golongan obat, dan jenis obat yang diberikan dalam kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik. Kemudian dihitung presentasenya. Presentase kelas terapi obat dihitung berdasarkan banyaknya kasus yang menerima kelas terapi tertentu dibagi dengan jumlah total kasus dikali dengan 100%. Presentase golongan obat dihitung berdasarkan banyaknya kasus yang menerima golongan obat dari kelas terapi tertentu dibagi dengan jumlah total kasus dikali dengan 100%. Sedangkan presentase jenis obat dihitung berdasarkan banyaknya kasus yang menerima jenis obat dari golongan obat tertentu dibagi dengan jumlah total kasus dikali dengan 100%.

c. Evaluasi per kasus DRP

(58)

39

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Profil Kasus Diabetes Melitus (DM) dengan Komplikasi Nefropati Diabetik

Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit yang bisa diderita oleh siapa saja tanpa memandang usia, jenis kelamin bahkan status sosial. Hasil yang diperoleh dari data rekam medis jumlah kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik dan menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda sebanyak 48 kasus.

Berikut daftar distribusi macam-macam komplikasi penyakit DM di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda pada tahun 2005.

Tabel VI. Distribusi Macam-Macam Komplikasi Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RS. Bethesda Tahun 2005

No. Diagnosa Jumlah

1. DM unspecified 203

2. DM dengan Ulcer 89 3. DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik 48 4. DM dengan Koma 36 5. DM dengan Ketoasidosis 7 6. DM dengan Arthropathy 6 7. DM dengan Komplikasi Mata 2

(59)

jenis kelamin, usia, dan diagnosis. Pengelompokan tersebut akan lebih dijelaskan pada uraian di bawah ini.

1. Gambaran Berdasarkan Jenis Kelamin

Pengelompokan kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik berdasarkan jenis kelaminnya dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.

Laki-laki, 56.7% Perempuan

43.3%

Gambar 1. Distribusi Jenis Kelamin pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap di RS Bethesda Yogyakarta periode tahun 2005 lebih banyak berjenis kelamin laki-laki dengan presentase 56,7% dari jumlah kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik yang ditemukan dalam penelitian ini. Namun, hal ini tidak dapat dijadikan ukuran bahwa prevalensi DM lebih banyak terjadi pada laki-laki. Diabetes Melitus dapat diderita oleh siapa saja baik laki-laki maupun perempuan.

2. Gambaran Berdasarkan Usia

(60)

dan lebih dari 65 tahun (usia lanjut). Gambaran distribusi usia pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik dapat dilihat pada gambar 2.

16.7%

80.0%

3.3%

25-44 tahun 45-64 tahun

≥ 65 tahun

Gambar 2. Distribusi Usia pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005

(61)

gula di dalam darah segera mengembangkan penyakit DM ke arah komplikasi. Kesadaran seseorang dalam memeriksakan kesehatannya diperlukan untuk mengetahui adanya penyakit DM sehingga perkembangannya ke arah komplikasi dapat segera dicegah dan dihambat.

3. Gambaran Berdasarkan Diagnosis

Diagnosis yang ditulis dalam rekam medis pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda tidak hanya nefropati saja melainkan ada beberapa penyakit lain yang juga menyertai saat pasien datang ke RS Bethesda. Gambaran diagnosis pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik dapat dilihat pada tabel VII.

Tabel VII. Distribusi Diagnosis pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005 No. Diagnosis Jumlah Kasus

(n=30)

Presentase (%) 1. DM + Nefropati (tanpa penyakit lain) 23 76,7 2. DM + Nefropati + Ulkus 2 6,7 3. DM + Nefropati + CRF 2 6,7 4. DM + Nefropati + Udem 1 3,3 5. DM + Nefropati + Retinopati + Hipertermi 1 3,3 6. DM + Nefropati + Jantung Iskemi 1 3,3

4. Gambaran Berdasarkan Tingkat Kerusakan Ginjal

(62)

diabetik ini terus berkembang maka penderita akan sampai pada tingkat akhir yaitu ESRD. Pada tingkat 5 diperlukan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis.

0.0% 0.0%

40.0% 40.0%

3.3% 16.7%

0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0%

Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4 Tingkat 5 #

Tingkat Kerusakan Ginjal

P

res

en

tas

e K

asu

s

Keterangan # : tidak dilakukan pemeriksaan kreatinin

Gambar 3. Distribusi Tingkat Kerusakan Ginjal pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik di Instalasi Rawat Inap RS Bethesda Yogyakarta Periode Tahun 2005

B. Gambaran Umum Pola Pengobatan pada Kasus Diabetes Melitus dengan Komplikasi Nefropati Diabetik

(63)

Inap RS Bethesda tidak hanya 1 atau 2 kelas terapi saja tetapi terdiri dari beberapa kelas terapi. Distribusi kelas terapi yang diberikan pada kasus DM dengan komplikasi nefropati diabetik dapat dilihat pada tabel VIII.

Tabel VIII. Distribusi Kelas Terapi pada Kasus DM dengan Komplikasi Nefropati Diabetik

No. Kelas Terapi Jumlah Kasus (n=30)

Presentase (%) 1. Vitamin dan Mineral 29 96,7 2. Obat Sistem Kardiovaskuler 28 93,3 3. Obat Antidiabetik 22 73,3 4. Obat Sistem Saraf Pusat 22 73,3 5. Antianemia 22 73,3 6. Obat Saluran Cerna (Gastrointestinal) 19 63,3 7. Antiinfeksi 16 53,3

8. Nutrisi 11 36,7

9. Obat Sistem Genital - Urinaria 10 33,3 10. Obat Penyakit Otot Skelet dan Sendi 8 26,7

11. Analgesik 7 23,3

12. Obat Sistem Saluran Pernafasan 5 16,7 13. Obat lain-lain 3 10,0

14. Obat Mata 2 6,7

15. Obat Hormon 1 3,3

Dari tabel VIII dapat dilihat bahwa obat yang paling banyak diberikan dalam kasus DM dengan komplikasi nefropati adalah kelas terapi vitamin dan mineral dengan presentase 96,7% dan diikuti kelas terapi obat sistem kardiovaskuler dan dengan presentase sebesar 93,3%.

1. Obat Antidiabetik

Gambar

Gambar 2. Grafik Distribusi Usia pada Kasus DM dengan Komplikasi
tabel I.
Tabel I. Kategori Diagnosis Penyakit DM (Triplitt dkk, 2005)a
Tabel II. Kategori Kadar Albumin dalam Urin (Anonim, 2002b).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan Berita Acara Penetapan Pemenang Nomor : 08/PPBJ-LP/P-1/IV.30/IX/2012 tanggal 14 September 2012 perihal Penetapan Pemenang Pekerjaan Pengadaan Alat Listrik dan

[r]

68/MPP/Kep/2/2003 Penjualan local produk tissue yang dilakukan antar pulau tidak termasuk dalam kelompok produk yang wajib PKAPT. Tidak

Segala syukur dan puji hanya untuk Allah Rabb semesta raya yang dengan nikmat kesempatan dan kehendak-Nya penulisan skripsi dengan judul Analisis Pengaruh Pendapatan Asli

Sejalan dengan hal di atas, Arikunto (1993) menyatakan bahwa “tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa, sehingga

Dalam desain kontrol pergerakan dan keseimbangan UAV helikopter ini dibutuhkan beberapa sensor sebagai umpan balik data yang akan diolah. Metode kontrol yang digunakan adalah

Pembuatan permen soba dengan penambahan rumput laut Eucheuma cottonii merupakan penelitian utama dengan perlakuan penambahan rumput laut Eucheuma cottonii 30%, 40%

Philips, TBK Surabaya Berdasarkan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya dengan Analisis Profil Multivariate , sedangkan pada penelitian ini membahas tentang kepuasan kerja