• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Sifat Final dan Mengika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Yuridis Sifat Final dan Mengika"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ANALISIS YURIDIS SIFAT FINAL DAN MENGIKAT

(BINDING) PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA

OLEH

AHSAN YUNUS

B 111 07 195

BAGIAN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2011

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 6

1.3.1. Tujuan Penulisan ... 6

1.3.2. Kegunaan Penulisan ... 7

1.4. Metodelogi Penelitian ... 7

1.4.1. Lokasi Penelitian ... 7

1.4.2. Teknik Pengmpulan Data ... 7

1.4.3. Jenis dan Sumber Data ... 8

1.4.4. Analisis Data ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS PERMASALAHAN PERTAMA 2.1. TINJUAN PUSTAKA ... 10

2.1.1. Negara Hukum ... 10

a. Teori Negara Hukum ... 10

b. Klasifikasi Negara Hukum ... 12

2.1.2. Konstitusi ... 18

a. Definisi Konstitusi ... 18

b. Teori Konstitusi ... 22

c. Klasifikasi Konstitusi ... 23

2.1.3. Kekuasaan Kehakiman ... 29

a. Mahkamah Agung ... 29

(2)

2.2. ANALISIS ... 42

2.2.1. Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final Dan Mengikat (Binding) ... 42

BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS ERMASALAHAN KEDUA

3.2.1. Akibat Hukum atas Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final dan Mengikat (Binding) ... 73 (Binding) Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (Dibimbing oleh Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H., selaku Pembimbing I dan Kasman Abdullah, S.H., M.H., selaku pembimbing II).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa yang menjadi makna hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding), serta bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding).

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yuridis, dengan teknik pengumpulan data yaitu penelitian kepustakaan (library research). Data dilengkapi dengan data primer dari hasil analisis UUD 1945, berbagai peraturan perundang-undangan, putusan, dan data sekunder dari referensi-referensi (buku, artikel, karya ilmiah, jurnal, media cetak, majalah dan website), serta data tersier, dalam hal ini, dengan menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan diolah dengan metode analisis kualitatif secara deduktif.

Adapun temuan yang didapatkan dari hasil penelitian. Pertama, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) mengandung beberapa makna hukum, yaitu: a.) Untuk mewujudkan kepastian hukum sesegera mungkin bagi para pihak yang bersengketa. b.) Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan konstitusional, berbeda halnya dengan pengadilan konvensional yang menerapkan ruang untuk menempuh upaya hukum. c.) bermakna sebagai perekayasa hukum. Dalam artian, Mahkamah Konstitusi melalui putusan-putusannya, diharapkan mampu merekayasa hukum sesuai yang telah digariskan oleh UUD 1945 sebagai konstitusi (gronwet). d.) Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir tunggal konstitusi. Dengan demikian, kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia diharapkan mampu menjaga stabilitas segenap elemen negara untuk tetap sejalan dengan amanat konstitusi. Kedua,putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding), melahirkan sejumlah akibat hukum dalam penerapannya. Dalam hal ini, penulis kemudian menggolongkannya ke dalam 2 (dua) garis besar, yakni putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan akibat hukum yang bermakna positif dan akibat hukum yang bermakna negatif. Adapun akibat hukum yang bermakna positif, yaitu: Mengakhiri suatu sengketa hukum; Menjaga prinsip checks and balances; dan Mendorong terjadinya proses politik. Sedangkan akibat hukum yang ditimbulkan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) dalam makna negatif, yaitu: Tertutupnya akses upaya hukum dan terjadinya kekosongan hukum.

(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Lengsernya rezim orde baru di pertengahan tahun 1998, mendorong reformasi di berbagai sektor ketatanegaraan Indonesia tak terhindarkan. Reformasi politik hingga reformasi konstitusi (constitutional reform) berbuah menjadi slogan umum yang disepakati oleh khalayak. Lebih dari itu, reformasi menjadi momentum bagi segenap penyelenggara negara untuk mewujudkan sistem ketatanegaraan Indonesia secara demokratis dan konstitusional. Akhirnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sebagai hukum dasar (gronwet) pun mengalami empat kali perubahan (amandemen) dalam satu rangkaian, sejak tahun 1999 hingga 2002.

Era reformasi yang telah bergulir mengimplikasikan berbagai perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan mendasar adalah penegasan dianutnya prinsip negara hukum (rechtstaat), sebagaimana tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum yang diidealkan adalah negara

hukum yang berdasarkan pada pengakuan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, yaitu suatu negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokrasi yang berdasarkan hukum, sebagaimana yang dijabarkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Tidak hanya itu, susunan lembaga negara pun mengalami perombakan yang sangat signifikan. Termasuk terbangunnya paradigma supremasi konstitusi (supremacy of the constitution) yang disepakati menggantikan supremasi parlemen (supremacy of parliament),1 sebagaimana yang diterapkan sebelum perubahan UUD 1945, dimana tongkat kekuasaan tertinggi hanya diemban oleh satu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Terbukti dengan lahirnya lembaga-lembaga negara yang baru, di samping ada juga yang dihilangkan. Dan salah satu dari sekian Lembaga Negara yang dibentuk sebagai hasil amandemen konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (constitutional court).

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Ketentuan tersebut merupakan bentuk pengakuan dan legitimasi terhadap keberadaan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi ditentukan berdiri sendiri, terpisah dan berada di luar Mahkamah Agung. Keduanya sama-sama merupakan lembaga pelaksana dari kekuasaan kehakiman yang memiliki fungsi dan kewenangan yang berbeda.

1

(4)

Dari rumusan tersebut, dipahami bahwa saat ini kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh dua lembaga yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Keduanya berkedudukan sederajat atau setara sebagai lembaga negara yang independen.

Ini berarti, kekuasaan kehakiman menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), dimana kekuasaan kehakiman terbagi 2 (dua) cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan constitutional review atas produk perundang-undangan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.2

Selanjutnya, berdasarkan amanat konstitusi pada Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan sebagai berikut:

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Di samping itu, secara khusus, kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut kembali diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut:

(1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

2

Nur Syamsiati, 2009, Legal Standing Pemohon Dalam Beracara di Mahkamah Konstitusi, Skripsi:FH-UI, Jakarta, hlm. 19.

a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c. Memutus pembubaran partai politik; dan

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

(2) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sejak resmi beroperasi pada 15 Oktober 2003, kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dimaksudkan untuk mengakomodir tersedianya jalan hukum dalam mengatasi perkara-perkara yang terkait erat dengan penyelenggaraan negara dan kehidupan politik. Dengan demikian konflik yang terkait dengan kedua hal tersebut tidak berkembang menjadi konflik politik-kenegaraan tanpa pola penyelesaian yang baku, melainkan dikelola secara hukum, sehingga sengketa hukum diselesaikan secara hukum pula. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi sering juga disebut sebagai lembaga pengawal dan penafsir konstitusi (the guardian and the interpreter of the constitution).

Menurut Jimly Asshiddiqie:3

Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Karena itu, Mahkamah Konstitusi biasa disebut sebagai the guardian of the constitution seperti sebutan yang biasa dinisbatkan kepada

3

(5)

Mahkamah Agung di Amerika Serikat. Sebabnya ialah karena disana tidak ada Mahkamah Konstitusi. Fungsi Mahkamah Konstitusi yang lazim dikenal didalam sistem Eropa yang menganut tradisi civil law seperti Austria, Jerman dan Italia terintegrasikan ke dalam kewenangan Mahkamah Agung Amerika Serikat, sehingga Mahkamah Agung-lah yang disebut sebagai the Guardian of Amerika constitution.

Maka kaitannya dengan itu, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi,4 selanjutnya Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama, dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Terkait sifat putusan yang bersifat terakhir dan mengikat (binding) sebagaimana yang diamanahkan konstitusi, mengimplikasikan Mahkamah Konstitusi menjadi satu-satunya lembaga peradilan di Indonesia yang tidak mengakomodir proses peradilan berjenjang. Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final diartikan bahwa tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat ditempuh oleh para yustisiabel. Oleh karenanya, putusan tersebut telah memiliki kekuatan mengikat secara umum dimana semua pihak harus tunduk dan taat melaksanakan putusan tersebut.

Secara filosofis, putusan Mahkamah Konstitusi tidak menganut prinsip peradilan berjenjang selain dikarenakan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir tunggal konstitusi, juga disebabkan putusan Mahkamah Konstitusi yang

4

Lihat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

representatif dari nilai keadilan. Sehingga layak menjadi pengadil pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Namun bagaimana dengan realitas dinamika yang terjadi dalam penyelenggaraan kewenangan Mahkamah Konstitusi selama ini. Hal yang tentunya juga perlu mendapat perhatian lebih dalam mewujudkan kehidupan ketatanegaraan Indonesia yang mencirikan negara hukum dan nilai-nilai demokrasi.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang selanjutnya dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa makna hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding)?

2. Bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding)?

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1.3.1. Tujuan Penulisan:

a.Untuk mengetahui apa makna hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding).

b.Untuk mengetahui bagaimanakah akibat hukum yang ditimbulkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding).

(6)

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam perkembangan ilmu hukum di Indonesia, khususnya dalam bidang Hukum Tata Negara terkait analisis hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding). Selain itu, diharapkan juga hasil penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan praktisi maupun teoritisi hukum serta bagi masyarakat pada umumnya.

1.4. Metodelogi Penelitian

1.4.1. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di berbagai perpustakaan dan internet. Perpustakaan yang dimaksud adalah perpustakaan yang ada di Makassar, khususnya perpustakaan Fakultas Hukum Unhas, perpustakaan Pusat Unhas, serta perpustakaan pribadi (koleksi buku penulis).

1.4.2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu dengan menelaah data-data skunder yang diperoleh dari buku, jurnal, peraturan perundang-undangan, majalah, karya tulis, media cetak, ataupun media internet, serta media elektronik yang memiliki hubungan dengan penulisan karya ilmiah ini.

b.Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu dengan melakukan pengamatan terhadap proses acara di Mahkamah Konstitusi, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung, serta melakukan wawancara (interview) terhadap dosen atau para ahli dalam bidang ketatanegaraan, khususnya menyangkut Mahkamah Konstitusi.

1.4.3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini sebagai berikut:

a.Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan dengan melakukan pengamatan langsung atau tidak langsung (melalui media elektronik), serta beberapa wawancara terhadap dosen atau para ahli dalam bidang ketatanegaraan, khusunya menyangkut Mahkamah Konstitusi. Selain itu data primer juga digolongkan ke dalam bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, misalnya: UUD 1945, berbagai peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, traktat, dan sebagainya.

b.Data Sekunder

(7)

media cetak, majalah, dan bahan-bahan lain yang berkaitan dengan penulisan karya ilmiah ini.

c. Data Tersier

Data tersier adalah data yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap data primer dan sekunder, berupa kamus seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Blacks Law Dictionary maupun Ensiklopedia.

1.4.4. Analisis Data

Data yang diperoleh dan yang telah dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder, diolah dengan teknik kualitatif. Dimana analisis data kualitatif adalah pengelolaan data secara deduktif, yaitu dimulai dari dasar-dasar pengetahun yang umum kemudian meneliti hal yang bersifat khusus. Kemuadian dari proses tersebut, ditarik sebuah kesimpulan.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS PERMASALAHAN PERTAMA

2.1. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1. Negara Hukum

a.Teori Negara Hukum

Teori negara hukum –sebelum dikenal pada abad pertengahan hingga saat ini– sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para

filsuf dari zaman Yunani kuno. Plato dan Aristoteles, guru dan murid yang dijuluki sebagai The Philosoper. Plato, dalam bukunya Republic,5 berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan. Untuk itu, kekuasaan harus dipegang oleh orang yang mengetahui kebaikan, yaitu seorang filosof (The Philosopher King). The Philosopher King dituntut untuk mengajarkan dan mengedepankan kebijakan yang akan menjamin terselenggaranya pemerintahan yang bersih dan berkeadilan.

Juga, dalam bukunya, The Statesman dan The Law,6 Plato mengemukakan pandanganya tentang supremasi hukum. Menurutnya, pemerintahan yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum. Dalam The Law, hukum adalah logismos atau reasoned thought

5

Juniarso Ridwan & Achmad Sodiks. Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara dan Hukum;dari Zaman Yunani Kuno Sampai Abad ke-20, Bandung: Nuansa, 2010, hlm. 21-22.

(8)

(pikiran yang masuk akal) yang dirumuskan dalam putusan negara. Plato menolak pandangan dan anggapan bahwa otoritas hukum bertumpu semata-mata pada kemauan dan kehendak governing power (pihak-pihak yang memangku kekuasaan).

Senada dengan gurunya, Plato, tujuan negara menurut Aristoteles adalah untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya.7

Berangkat dari pemikiran tersebut, Aristoteles berpendapat bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah dengan konstitusi. Menurutnya, ada tiga unsur pemerintahan berkonstitusi; pertama, pemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasar ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan berupa paksaan dan tekanan. Perlawanan terhadap absolutisme yang melahirkan raja-raja yang memilki kekuasaan mutlak pada abad pertengahan, akhirnya bermuara pada munculnya gagasan negara hukum.

7

Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis. PT. Bhuana Ilmu Populer (Kelompok Gramedia), 2009. Jakarta. hal. 395.

b. Klasifikasi Negara Hukum

Kendatipun teori klasik tentang negara hukum versi Yunani di atas, namun istilahnya sendiri baru mengemuka pada abad ke-19. Berbicara mengenai negara hukum, terlebih dahulu harus disinggung apa yang dimaksud dengan Negara dan Hukum. Walau tak seorangpun yang sanggup memberikan definisi memuaskan tentang hukum, tetapi orang mengerti apa yang dimaksud dengan istilah tersebut (baca: Hukum). Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengutip definisi hukum oleh Hans Kelsen, bahwa “hukum

merupakan suatu perintah memaksa terhadap tingkah laku

manusia dan merupakan kaidah primer yang menetapkan

sanksi-sanksi”. 8

Demikian pula halnya dengan negara yang pengertiannya lebih kompleks daripada hukum karena negara merupakan fenomena dengan banyak segi; yuridis, historis, ekonomi, politik, dan sebagainya. Dengan mengesampingkan definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa dalam suatu negara hukum terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perseorangan. negara tidak maha kuasa dan negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang.

Oleh karenanya, hubungan antara negara dan hukum harus dilihat sebagai hubungan timbal-balik. Kekuasaan (negara) tanpa hukum tidak akan memiliki kewibawaan, sedangkan hukum tanpa

8

(9)

(dukungan) sanksi sulit ditegakkan. Jadi yang menjadi ciri khas negara hukum adalah hubungan antara negara dan hukum. Keduanya saling terkait dan saling mengisi.

Konsep Negara hukum sendiri berkembang dari teori negara hukum klasik menuju ke teori negara hukum modern. Teori negara hukum klasik setidaknya sudah terwakili oleh dua pemikir Yunani, Plato dan Aristoteles di atas. Sedangkan teori negara hukum modern merupakan terjemahan dari rechstaat (ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental) atau rule of law (ahli-ahli hukum Anglo Saxon).9

Untuk mengetahui secara lebih mendalam tentang konsep negara hukum modern, menarik menyimak penggolongan yang dilakukan Profesor Utrecht yang membedakan antara Negara hukum formil (negara hukum klasik) dan Negara hukum materil (negara hukum modern). Menurutnya, Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum dalam arti formil dan sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis, sedangkan negara hukum material yang lebih mutakhir, mencakup pula pengertian keadilan di dalamnya.

Karena itu Wolfgang Friedman dalam bukunya Law in a Changing Society membedakan antara rule of law dalam arti formil (organized public power) dan rule of law dalam arti materill (the

9

Moh. Mahfud MD. 1999. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Gama Media, hlm. 22.

rule of just law). Pembedaan ini menurut Jimly Asshidiqie, memang dimaksudkan untuk menegaskan bahwa dalam konsepsi negara hukum itu, keadilan tidak serta merta akan terwujud secara substantif, terutama karena pengertian orang mengenai hukum itu sendiri dapat dipengaruhi oleh aliran pengertian hukum formil dan dapat pula dipengaruhi oleh aliran pikiran hukum materill.10

Dalam hal ini, Jimly Asshiddiqie menjelaskan bahwa jika hukum dipahami secara kaku dan sempit dalam arti peraturan perundang-undangan semata, niscaya pengertian negara hukum yang dikembangkan juga bersifat sempit dan terbatas serta belum tentu menjamin keadilan substantif. Karena itu, di samping istilah the rule of law oleh Friedman juga dikembangkan istilah the rule of just law untuk memastikan bahwa dalam pengertian kita tentang the rule of law tercakup pengertian keadilan yang lebih esensial dari pada sekedar memfungsikan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit. Kalaupun istilah yang digunakan tetap the rule of law, pengertian yang bersifat luas itulah yang diharapkan dicakup dalam istilah the rule of law yang digunakan untuk menyebut konsepsi negara hukum di zaman sekarang (negara hukum modern).11

Lebih lanjut, Jimly mengatakan bahwa paling tidak dapat dikatakan terdapat 12 (dua belas) prinsip negara yang dapat

10

Jimly Asshidiqie., Op.cit, hlm. 396. 11

(10)

dikatakan sebagai negara hukum, yaitu; supremasi konstitusi (supremacy of law), persamaan dalam hukum (equality before the law), asas legalitas (due process of law), pembatasan kekuasaan (limitation of power), organ pemerintahan yang independent, peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary), peradilan tata negara (constitutional court), peradilan tata usaha negara (administrative court), perlindungan hak asasi manusia, bersifat demokratis ( democratische-rechsstaats), berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechsaat), serta transparansi dan kontrol sosial.12

Di dalam kajian ilmu hukum, khususnya hukum tata negara, konsep negara hukum memiliki ciri-ciri atau indikator yang dapat dijadikan parameter ada tidaknya suatu negara hukum. Freidricht Julius Stahl merumuskan tujuan pembentukan negara hukum, yaitu:

“Negara harus menjadi negara hukum. Itulah semboyan dan sebenarnya menjadi pendorong perkembangan zaman baru ini. Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas kegiatan sebagaimana lingkungan (suasana) kebebasan negara menurut itu dan harus menjamin suasana kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak dari segi negara, juga secara langsung tidak lebih jauh dari pada seharusnya menurut suasana hukum”.

Pengertian tersebut di atas menunjukan bahwa di dalam negara hukum, negara harus memberikan jaminan perlindungan hukum

12

Ibid., hlm. 397.

kepada setiap warganya. Dari konsep arah negara tersebut, dapat dipahami bahwa dalam kerangka penyelenggaraan negara, setiap aparat negara harus memberikan ruang kepada warganya, suasana penuh akhlak yang dapat diterjemahkan sebagai rasa keadilan. Oleh sebab itu, untuk mengkonkretkan ciri-ciri negara hukum dapat di identifikasi sebagaimana yang dirumuskan oleh beberapa pandangan ahli hukum tata negara seperti Freidricht Julius Sthal bahwa ciri negara hukum adalah:13

a. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia; b. Ada pembagian kekuasaan (scheilding van machten); c. Pemerintahan harus berdasarkan peraturan-peraturan

hukum (wet matigheid van bestuur);

d. Adanya peradilan administrasi negara atau disebut administratief reshtspraak.

Sedangkan konsep negara hukum di negara-negara Anglo Saxon, Albert Van Dicey mengidentifikasi 3 (tiga) prinsip fundamental dari negara hukum, yakni:

a. supremacy of law (supremasi hukum);

b. equality before the law (kesetaraan di depan hukum); c. constitution based on individual right (konstitusi yang

didasarkan pada hak-hak perorangan).

13

(11)

Dengan hal ini, negara hukum (rechstaat-civil law) merupakan lawan dari negara kekuasaan (machstaat), sebagaimana yang dipraktekan selama rezim Orde Baru berkuasa. Namun saat Orde Baru tumbang oleh reformasi di tahun 1998, Indonesia masuk pada era negara hukum yang lebih demokratis. Didahului dengan empat tahap amandemen UUD 1945 dalam kurun waktu empat tahun (1999-2002), Indonesia perlahan-lahan beralih dari negara kekuasaan (machstaat) ke negara hukum (rechstaat) yang berlandaskan konstitusi. Setidaknya, konsep negara hukum telah dijabarkan dalam konstitusi negara, dalam hal ini UUD 1945 hasil perubahan. Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa “Indonesia adalah negara hukum”.

Konsep negara hukum dalam konteks Indonesia, tidak hanya secara tekstual, namun juga dijabarkan dalam kehidupan ketatanegaraan. Konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) dilakukan dengan merevitalisasi konsep kelembagaan negara dengan membentuk berbagai lembaga negara baru. Dalam bidang legislatif misalnya, MPR yang sebelum UUD 1945 diamandemen memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi, kedudukannya menjadi setara dengan lembaga tinggi negara lainnya pasca amandemen UUD 1945. Selain itu, hadirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam amandemen ketiga UUD 1945

semakin memperkuat konsep negara kesatuan dengan menempatkan wakil-wakil daerah dalam DPD.

Selain itu, reformasi dan revitalisasi fungsi kelembagaan juga berlangsung dalam konsep kekuasaan kehakiman (judicial power) dengan hadirnya dua lembaga baru; Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C UUD 1945) dan Komisi Yudisial (Pasal 24B UUD 1945), selain Mahkamah Agung (Pasal 24A) sebagai satu-satunya pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman sebelum amandemen UUD 1945.

Oleh karena itu, konsep negara hukum di Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan konstitusi, dalam hal ini UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi. UUD 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat Indonesia. Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan pada legitimasi kedaulatan rakyat sehingga UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2.1.2. Konstitusi

a.Definisi Konstitusi

Kata “konstitusi”, berasal dari bahasa Perancis “constituer”

yaitu sebagai suatu ungkapan yang berarti membentuk.14 Oleh karena itu, pemakaian kata konstitusi lebih dikenal untuk maksud

14

(12)

sebagai pembentukan, penyusunan atau menyatakan suatu negara. Dengan kata lain, secara sederhana, konstitusi dapat diartikan sebagai suatu pernyataan tentang bentuk dan susunan suatu negara, yang dipersiapkan sebelum maupun sesudah berdirinya negara yang bersangkutan.15

Namun secara terminologi, konstitusi tidak hanya dipahami dengan arti yang sesederhana itu. Konstitusi dipahami secara lebih luas, selain dikarenakan oleh kompleksitasnya permasalahan mendasar yang harus diatur oleh negara, juga dikarenakan oleh perkembangan pemikiran terhadap keilmuan dalam memahami konstitusi sebagai hukum dasar (gronwet) dalam suatu negara.

Terlepas dari pendefinisian tentang konstitusi di atas, terdapat juga keanekaragaman dari para ahli dalam memandang konstitusi. Leon Duguit misalnya, seorang pakar hukum kenamaan dari Perancis. Dalam bukunya traite de droit constututionnel, dia memandang negara dari fungsi sosialnya.16 Pemikiran Duguit banyak dipengaruhi oleh aliran sosiologi yang diprakarsai oleh Auguste Comte, menurutnya hukum itu adalah penjelmaan de facto dari ikatan solidaritas sosial yang nyata. Dia juga berpendapat bahwa yang berdaulat itu bukanlah hukum yang tercantum dalam bunyi teks undang-undang, melainkan yang terjelma di dalam sociale solidariteit (solidaritas sosial). Oleh karena itu, yang harus

15 Ibid. 16

Ibid.

diataati adalah sosiale recht itu. Bukan undang-undang yang hanya mencerminkan sekelompok orang yang kuat dan berkuasa.17

Di samping itu, Ferdinand Lasalle, dalam bukunya uber verfassungwesseng, membagi konstitusi dalam dua pengerian, yaitu sebagai berikut:18

a. Pengertian Sosiologis dan Politis

Konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuatan politik yang nyata dalam masyarakat. Dinamika hubungan kekuatan-kekuatan politik yang nyata itu dipahami sebagai konstitusi.

b. Pengertian Yuridis

Konstitusi dilihat sebagi naskah hukum yang memuat ketentuan dasar menegenai bangunan dasar negara dan sendi-sendi pemerintahan. Menurutnya konstitusi pada dasarnya adalah apa yang tetulis di atas kertas undang-undang dasar menegenai lembaga-lembaga negara, prinsip-prinsip, sendi-sendi dasar pemerintahan.

Lain halnya dengan Wheare, salah seorang pakar konstitusi modern, dikutip dalam buku Jazim Hamidi yang berjudul Hukum Perbandingan Konstitusi, berujar, “…it use to describe the whole

17

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta; PT Raja Grafindo Persada. 2009, hlm. 97.

18

(13)

system of government of a country, the collection of rules which

establish and regulate or govern the governmonet”.19

Konstitusi dalam pandangan Wheare tersebut di atas, selain dipahami sebagai istilah untuk menggambarkan keseluruhan sistem pemerintahan suatu negara, juga sebagai kumpulan aturan yang membentuk dan mengatur atau menentukan pemerintahan negara yang bersangkutan.

Sementara itu, Jimly Asshiddiqie,20 mendefinisikan konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara. Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Hal tersebut tidak terlepas karena tidak semua negara memiliki konstitusi tertulis atau Undang-undang Dasar. Kerajaan Inggris misalnya, tidak memiliki satu naskah Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis, namun biasa disebut sebagai negara konstitusional.

Berangkat dari pendapat beberapa ahli tentang pengertian konstitusi di atas, menurut hemat penulis dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai batasan-batasan pengertian konstitusi yang dirumuskan sebagai berikut:

Pertama, konstitusi merupakan suatu kaidah hukum yang memberikan batasan-batasan terhadap kekuasaan dalam

19

Jazim Hamidi & Malik, Op. cit, hlm. 89. 20

Jimly Asshiddiqie, Op. cit, hlm. 158.

penyeleggaraan suatu negara; Kedua, mendeskripsikan tentang penegakan hak-hak asasi manusia; dan ketiga, konstitusi berisikan materi mengenai susunan ketatanegaraan suatu negara yang bersifat fundamental.

b. Teori Konstitusi

Teori konstitusi menghendaki negara terbentuk atas dasar hukum dasar (basic norm) yang demokrasi yang merupakan naluri masyarakat suatu bangsa, sehingga konstitusi yang dibentuk adalah konstitusi demokrasi yang menghendaki the rule of law.21

Konstitusi juga disebut sebagai ground wet atau dalam Oxford dictionary of law, perkataan Constituion diartikan sebagai: ”the rule and practices that determine the composition and functions of

the organ s of the central and local government in a state and

regulate the relationship bet-ween individual and the state”.22 Artinya : yang diatur itu tidak saja berkenaan dengan organ negara beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat pemerintah daerah (local government), tetapi juga mekanisme hubungan antara negara atau organ negara itu dengan warga negara.23

Kemudian Karl Loewenstein dalam bukunya “Reflection on the

Value of Constitutions”, membedakan 3 macam nilai yang ada

21

Jimly Assiddiqie, 2007. Konstitusi Dan Ketatanegaraan, Jakarta: The Biografy Institute. hlm.87 22

Mariyadi Faqih., Op.cit., hlm. 99. 23

(14)

pada konstitusi (the Values of the Constitution), yaitu (i) Nilai Normatif (Normative Value), (ii) Nilai Nominal (Nominal Value), dan (iii) Nilai Semantik (Sementical Value).24

Jadi menurut pendapat Karl Loewenstein, dalam setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai praktek. Artinya sebagai hukum tertinggi di dalam konstitusi itu selalu terkandung nilai-nilai ideal sebagai das sollen yang tidak selalu identik dengan das sein atau keadaan nyatanya dalam penerapannya di lapangan.

c. Klasifikasi Konstitusi

Perkembangan pemikiran mengenai konstitusi membawa kemajuan bagi para pakar hukum dalam mengklasifikasikan konstitusi. Jauh sebelum Hans Kelsen memperkenalkan Verfassungsgerichtshoft atau Contitutional Court secara teoritis (1881-1973), Aristoteles, seperti dikutip oleh C.F. Strong,25 konstitusi diklasifikasikan dalam 2 (dua) kelas besar, yaitu konstitusi yang bagus dan konstitusi yang jelek. Adapun dalam klasifikasi konstitusi yang baik, dimana dalam bentuk pemerintahan oleh satu orang disebut Monarki, dalam bentuk pemerintahan oleh beberapa orang disebut Aristokrasi, dan dalam bentuk pemerintah oleh banyak orang disebut Polity.

24

Ibid, hlm. 100. 25

Jazim Hamidi & Malik, Op. cit., hlm. 94.

Sedangkan dalam klasifikasi konstitusi yang jelek, apabila dalam bentuk pemerintah oleh satu orang disebut Tyranni atau Despotisme, dalam bentuk pemerintahan oleh beberapa orang disebut Oligarki, dan dalam bentuk pemerintahan oleh banyak orang disebut Demokrasi.

Namun dalam perkembangan berikutnya, klasifikasi tersebut tidak dapat sepenuhnya dipertahankan lagi. hal tersebut dikarenakan, di samping konstitusi telah dilihat dari berbagai aspek, juga dikarenakan sulitnya menetapkan suatu pemerintahan negara sesuai dengan bentuk-bentuk yang disebutkan oleh Aristoteles.

Hingga akhirnya, konstitusi kini telah diklasifikasikan berdasarkan berbagai aspek. Seperti halnya yang dikemukakan oleh K.C. Wheare. Seorang ahli konstitusi dari Inggris, yang berpendapat tentang macam-macam klasifikasi suatu konstitusi atau Undang-Undang Dasar, sebagai berikut:26

a. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis (written constitution and no written constitution)

Konstitusi tertulis merupakan konstitusi (UUD) yang dituangkan dalam sebuah dokumen atau beberapa dokumen formal. Sedangkan konstitusi tidak tertulis ialah suatu konstitusi yang tidak dituangkan dalam suatu dokumen formal.

26

(15)

Adapun negara-negara yang memberlakukan konstitusi semacam ini, seperti Inggris, Israel, dan New Zealand.

b. Konstitusi fleksibel dan konstitusi rijid (flexible constitution and rigid constitution)

Pembagian konstitusi dalam fleksibel dan rijid disebabkan atas kriteria atau berkaitan dengan cara dan prosedur perubahannya. Jika suatu konstitusi itu mudah dalam mengubahnya, maka ia digolongkan ke dalam konstitusi yang fleksibel. Sebaliknya, jika suatu konstitusi membutuhkan prosedur serta mekanisme perubahan (amandemen), maka ia termasuk jenis konstitusi yang rijid.

Mengacu pada klasifikasi di atas, konstitusi Indonesia, dalam hal ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tergolong dalam jenis konstitusi yang rijid.

c. Konstitusi derajat-tinggi dan konstitusi tidak derajat-tinggi (supreme constitution and not supreme constitution)

Konstitusi derajat tinggi ialah suatu konstitusi yang memiliki kedudukan tertinggi dalam suatu negara. Di samping itu, jika ditinjau dari segi bentuknya, konstitusi jenis ini berada di atas peraturan perundang-undangan yang lain. Demikian juga syarat untuk mengubahnya lebih berat dibandingkan

dengan yang lain. Sementara konstitusi tidak derajat tinggi ialah suatu konstitusi yang tidak memiliki kedudukan serta derajat seperti konstitusi derajat tinggi. Persyaratan yang diperlukan untuk mengubah konstitusi jenis ini pun sama dengan persyaratan yang digunakan dalam mengubah peraturan-peraturan yang lain, semisal Undang-Undang.

d. Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan (federal constitution and unitary constitution)

Klasifikasi konstitusi jenis ini sangat berkaitan erat terhadap bentuk suatu negara. Artinya, jika bentuk suatu negara itu serikat, maka akan didapatkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian. Pembagian kekuasaan tersebut diatur dalam konstitusi. Lain halnya dengan negara kesatuan, dimana pembagian kekuasaan tersebut tidak dijumpai, karena seluruh kekuasaannya tersentralkan di pemerintah pusat, walaupun dikenal juga sistem desentralisasi. Hal inilah yang diatur dalam konstitusi negara kesatuan.

(16)

Klasifikasi konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem pemerintahan parlementer, menurut C.F. Strong,27 mengemukakan bahwa di negara-negara dunia ini, ada dua macam sistem pemerintahan. Pertama, sistem pemerintahan presidensial yang memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:

1. Selain memiliki kekuasaan “nominal” sebagai Kepala Negara, presiden juga berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan.

2. Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislatif, akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat, atau dewan pemilih seperti yang diterapkan di Amerika Serikat. 3. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif. 4. Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan

legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan.

Konstitusi yang mengatur beberapa ciri di atas, diklasifikasikan sebagai konstitusi sistem pemerintahan presidensial.

27

Ibid, hlm. 27.

Kedua, sistem pemerintahan parlementer. Adapun ciri-ciri pokok dari sistem parlementer sebagai berikut:

1. Kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk berdasarkan kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen.

2. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya, atau sebagian merupakan anggota parlemen.

3. Perdana menteri bersama kabinet bertanggung jawab kepada parlemen.

4. Kepala negara dengan saran atau nasihat perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum. Begitupun dengan konstitusi yang di dalamnya mengatur beberapa ciri sistem pemerintahan di atas, diklasifikasikan sebagai konstitusi sistem pemerintahan parlementer.

(17)

2.1.3. Kekuasaan Kehakiman

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mendefinisikan Kekuasaan Kehakiman sebagai “kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik

Indonesia”.

Sedangkan yang menjadi landasan konstitusional penyelenggaraan kekuasan kehakiman diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan sebagai berikut:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

a. Mahkamah Agung 1.Sejarah Pembentukan

Mahkamah Agung dibentuk berdasarkan ketetapan Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional. Keberadaan Mahkamah Agung di Indonesia merupakan kelanjutan dari “Her Hooggerechts Hof Vor Indonesia” (Mahkamah Agung

Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia).28 Setelah Indonesia

28 Ma’shum Ahmad. Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Yogyakarta: Total Media. 2009, hlm. 1.

merdeka, keberadaan lembaga ini dipertahankan dan diberlakukan sebagai lembaga negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa: “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, sebelum diadakan yang baru menurut

Undang-Undang Dasar 1945”.

(18)

2. Kewenangan

Kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Pasal 28 ayat (1) Menyatakan:

“Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: Permohonan kasasi, Sengketa tentang kewenangan mengadili, Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”

Pasal 31 ayat (1), menyatakan:

“Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang”

3. Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung

Berikut badan-badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, sebagaimana yang tegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman:29

i. Peradilan Umum

Peradilan umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Pengadilan Negeri berkedudukan di Kota Madya atau di ibukota Kabupaten dan

29

Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, berbunyi, “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara”.

daerah hukumnya meliputi wilayah Kota Madya atau Kabupaten. Sedangkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibu kota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi. Pengadilan Negeri merupakan pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding. Kekuasaan dan kewenangan mengadili pengadilan negeri adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya, kecuali undang-undang menentukan lain.

Sedangkan Pengadilan Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh pengadilan negeri dan merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.

ii.Peradilan Agama

(19)

kepada umat Islam dengan lingkup kewenangan yang khusus pula, baik mengenai perkaranya ataupun para pencari keadilan (justiceable).

Kewenangan Peradilan Agama hanya melingkupi masalah hukum keperdataan yang dialami oleh orang Islam seperti bidang perkawinan dan kewarisan, sedangkan untuk urusan keperdataan yang terkait dengan hak milik dan urusan publik masih menjadi kompetensi absolut dari peradilan umum atau peradilan negeri. Kompetensi absolut dari peradilan agama dituangkan dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang Perkawinan; Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; serta Wakaf dan Shadaqah.

Bidang perkawinan yang dimaksud dalam undang-undang ini ialah hal-hal yang diatur dalam undang-undang perkawinan yang berlaku yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan di bidang kewarisan adalah penentuan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian

masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Dikarenakan oleh kompetensi dari peradilan agama yang hanya melingkupi masalah di bidang hukum yang dialami oleh orang Islam, sehingga tepat jika Peradilan Agama disebut Peradilan Agama Islam karena keberadannya sebenarnya hanya ditujukan untuk orang Islam saja, sementara untuk pemeluk agama lain berlaku ketentuan yang ada di peradilan negeri.

iii.Peradilan Militer

Peradilan militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam undang-undang ini diatur tentang ketentuan-ketentuan umum, susunan pengadilan, kekuasaan oditurat, hukum acara pidana militer, hukum acara tata usaha militer, dan ketentuan-ketentuan lain.

(20)

Pengadilan di lingkungan peradilan militer sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia meliputi: a) Peradilan Militer

b) Pengadilan Militer Tinggi c) Pengadilan Militer Utama d) Pengadilan Militer Pertempuran

Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan bersenjata yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi.

iv. Peradilan Tata Usaha Negara

Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang kini telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam undang-undang ini diatur mengenai susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan Hakim serta tata kerja administrasinya.

Kekuasaan Hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh:

a) Pengadilan Tata Usaha Negara; dan b) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat pertama dan pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara merupakan pengadilan tingkat banding. pengadilan Tata usaha Negara berkedudukan di kotamadya atau di ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnva meliputi wilayah propinsi.

b. Mahkamah Konstitusi 1.Sejarah Pembentukan

Keberadaan Mahkamah Konstitusi secara teoritis baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973).30 Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain legislatif diberikan tugas untuk menguji, apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau inkonstitusional, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini, produk badan legislatif tersebut inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi.

Di Austria, pemikiran Kelsen itu mendorong dibentuknya suatu lembaga Verfassungsgerichtshoft atau Contitutional Court

30

(21)

(Mahkamah Konstitusi) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Gagasan ini diajukan Kelsen ketika diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria pada tahun 1919-1920 dan gagasannya tersebut diterima dalam Konstitusi 1919-1920 Austria. Inilah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia.

Meski keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi secara umum merupakan fenomena baru di dalam dunia ketatanegaraan, namun bila ditelusuri lebih jauh dalam sejarah penyusunan UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia, ide Hans Kelsen mengenai pengujian undang-undang juga sejalan dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh Mohammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).31 Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (saat itu, kini Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk “membanding

undang-undang” yang maksudnya tak lain adalah kewenangan judicial

review.

Namun usulan Mohammad Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa:

i.Konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power);

31

Ibid, hlm. 3.

ii.Tugas Hakim adalah menerapkan undang-undang bukan menguji undang-undang;

iii.Kewenangan Hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Sehingga ide akan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang diusulkan oleh Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945. Meski gagal memperoleh persetujuan, ide Yamin tersebut menunjukkan betapa sudah majunya pemikiran para penyusun Undang-Undang Dasar kita saat itu.

Di samping itu, dinamika lahirnya lembaga pengawal konstitusi (the guardian constitution), seperti yang dikemukakan sebelumnya, tidak terlepas dari reformasi yang mencuat yang berujung pada lengsernya rezim Orde Baru di pertengahan tahun 1998. Hal tersebut mendorong reformasi di berbagai sektor tak terhindarkan. Reformasi politik hingga reformasi konstitusi berbuah menjadi slogan umum yang tersepakati oleh khalayak ramai. Tak ayal perubahan (amandemen) konstitusi pun terjadi sebanyak empat kali perubahan dalam satu rangkaian amandemen, sejak tahun 1999 sampai 2002.

(22)

constitution) yang disepakati menggantikan Supremasi Parlemen (Supremacy of parliament), sebagaimana yang diterapkan sebelumnya sebelum reformasi, dimana tongkat kekuasaan tertinggi di pegang oleh satu Lembaga Tertinggi Negara, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Susunan Lembaga Negara pun mengalami perombakan yang sangat signifikan. Terbukti dengan lahirnya lembaga-lembaga negara yang baru, disamping ada juga yang dihilangkan. Salah satu dari sekian Lembaga Negara yang dibentuk sebagai hasil amandemen konstitusi adalah Mahkamah Konstitusi.

Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-2002), ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan Mahkamah Konstitusi diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 hasil perubahan ketiga.

Selanjutnya untuk merinci dan menindaklanjuti amanat konstitusi tersebut, Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh Pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003,

pada hari itu juga, Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam lembaran negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran negara Nomor 4316).

Dibentuk pada tahun 2003, Mahkamah Konstitusi di desain sebagai satu-satunya lembaga yang menjadi pengawal dan penafsir Undang-Undang Dasar. Sebagaimana konsekuensi logis dengan dianutnya paradigma Supremasi Konstitusi. Kehadiran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, membuat Indonesia tercatat sebagai Negara ke-78 yang di dalam konstitusinya mengakomodir dibentuknya Mahkamah Konstitusi secara tersendiri, di luar Mahkamah Agung.

(23)

2. Kewenangan

Sesuai amanat konstitusi pada Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban. Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat (1), sedangkan kewajiban yang diembannya diatur pada ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan konstitusional. Lebih lanjut kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dengan rincian sebagai berikut:

(1)Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a.Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b.Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

c.Memutus pembubaran partai politik; dan

d.Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. (2)Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas

pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.2. ANALISIS

2.2.1. Makna Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Yang Bersifat

Final Dan Mengikat (Binding)

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, frase “final” dan “mengikat” dalam kalimat “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat” memiliki makna tersendiri. Frase “final” berarti

tahapan (babak) terakhir dari rangkaian pemeriksaan (pekerjaan, pertandingan), sedangkan frase “mengikat” berarti menguatkan (mencengkam). Bertolak dari arti harfiah ini, maka frase “final” dan frase “mengikat” memiliki arti yang saling terkait, artinya akhir dari

suatu proses pemeriksaan, telah memiliki kekuatan mengeratkan atau menyatukan semua kehendak dan tidak dapat dibantah lagi.

Makna harfiah di atas, bila dikaitkan dengan sifat final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi, artinya telah tertutup lagi bagi segala kemungkinan untuk menempuh upaya hukum setelahnya. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno, maka ketika itu lahir kekuatan mengikat secara hukum (binding). Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan:

(24)

Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi telah memiliki kekuatan hukum tetap sejak dibacakan oleh Hakim Konstitusi dalam persidangan. Sedangkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, memiliki kekuatan hukum mengikat untuk dilaksanakan. Hal tersebut juga berarti tidak ada lahi upaya hukum lain yang dapat ditempuh oleh para pencari keadilan (justiciable).

Mengacu pada makna final dan mengikat (binding) dari putusan Mahkamah Konstitusi secara harfiah di atas, penulis mencoba mengidentifikasi makna hukum yang terkandung dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) ini ke dalam beberapa bagian sebagai berikut:

a.Mewujudkan Kepastian Hukum

Sifat final terhadap putusan Mahkamah Konstitusi mengacu pada keinginan untuk segera mewujudkan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final…”

Dengan demikian, sejak diucapkannya putusan oleh Hakim Konstitusi maka putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap (in kracht), sehingga tidak ada lagi akses bagi para pihak untuk

menempuh upaya hukum lainnya. Artinya, sejak putusan tersebut keluar, maka sudah berlaku dan segera untuk dieksekusi.

Sifat putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak lain juga merupakan upaya dalam menjaga wibawa peradilan konstutusional (constitutional court). Sebab, jika peradilan konstitusi mengakomodasi adanya upaya hukum, maka tak ubahnya sebuah peradilan umum. Pada peradilan umum biasanya perkara yang telah diputuskan akan kembali diajukan upaya hukum tingkat lanjut, maka akan memakan waktu yang panjang sampai dengan kasus tersebut selesai. Konsekuensinya, para pihak akan tersandera, baik waktu, tenaga, maupun biaya. Tentunya hal tersebut bertentangan dengan asas hukum peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, sebagaimana yang berlaku dalam Mahkamah Konstitusi.

Olehnya itu, kepastian hukum merupakan perlindungan bagi para pencari keadilan (justiciable) terhadap tindakan yang sewenang-wenang. Sehingga dengan adanya kepastian hukum, maka masyarakat akan lebih tertib, karena hukum bertugas menciptakan kepastian hukum yang bertujuan untuk ketertiban masyarakat. Khususnya dalam menyangkut pengontrolan terhadap produk politik, yaitu undang‑undang terhadap Undang-Undang

(25)

Dengan demikian, tidak adanya ruang upaya hukum, dimaksudkan agar Mahkamah konstitusi melalui putusannya dapat menyelesaikan persoalan dan memberikan kepastian hukum sesegera mungkin.

b.Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengadilan Konstitusional

Peraturan perundang-undangan, baik yang menjadi landasan konstitusional maupun landasan operasional Mahkamah Konstitusi, dengan tegas mensyaratkan untuk tidak memberi ruang bagi upaya hukum terhadap putusan yang telah dihasilkan. Di samping itu, dalam konstitusi pun, Mahkamah Konstitusi didesain khusus sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang bersifat tunggal. Tidak memiliki peradilan di bawahnya dan tidak pula merupakan bawahan dari lembaga lain. Hal inilah yang membedakan putusan Mahkamah Konstitusi dengan putusan peradilan lainnya.

Hal tersebut tidak terlepas dari kewenangan yang menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah pengadilan konstitusional yang difokuskan kepada sengketa ketatanegaraan dan berdasarkan konstitusi. Tak ayal, sifat putusan Mahkamah Konstitusi pun berbeda dengan peradilan konvensional lainnya yang memberi akses bagi para pihak untuk melakukan upaya hukum lebih lanjut.

Jika saja upaya hukum juga dibebankan oleh Mahkamah Konstitusi, maka bisa jadi putusan Mahkamah Konstitusi pun akan terus dipersoalkan, hingga akhirnya berlarut-larut. Sedangkan Mahkamah Konstitusi menangani persoalan-persoalan ketatanegaraan dan bermuatan konstitusi, yang butuh kepastian hukum, serta terikat oleh limitasi waktu.

c.Pengendalian Sosial

Terkait hal ini, penulis mengutip pendapat Prof. Achmad Ali, mengenai konsep hukum sebagai alat pengendalian sosial (a tool of social control):32

“Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat diterangkan sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap sebagai penyimpangan terhadap aturan hukum”.

Terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding), juga dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk nyata dari esensi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi dalam mengendalikan kondisi sosial masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, putusan Mahkamah Konstitusi pun mengonstruksikan sebuah kaidah hukum yang dapat diterapkan dan yang sesuai dengan amanat konstitusi.

Maka, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) juga sebagai sebuah instrumen pengendalian

32

(26)

sosial yang diwujudkan dalam bentuk norma hukum yang sifatnya membolehkan dan/atau membatalkan sebuah ketentuan undang-undang.

Dengan demikian, nilai mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi yang final adalah sama dengan nilai mengikat sebuah undang-undang hasil produk politik, yang dimana berfungsi sebagai alat rekayasa hukum guna memberi perlindungan hukum terhadap seluruh lapisan masyarakat.

Sejalan dengan itu, maka terlebih dahulu hukum harus dikonstruksi dan disesuaikan dengan konsep-konsep yang telah dijabarkan ke dalam konstitusi (gronwet). Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) merupakan salah satu bentuk pendendalian sosial masyarakat menuju hukum yang dicita-citakan.

d.Penjaga Dan Penafsir Tunggal Konstitusi

Mahkamah Konstitusi sebagai hasil dari perubahan (amandemen) konstitusi pasca orde baru, didesain khusus sebagai lembaga penjaga dan penafsir tunggal konstitusi. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam penjelasan resmi UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai

dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.33 Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga diharapkan mampu mengoreksi pengalaman suram ketatanegaraan Indonesia di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

Maka dari itu, keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata dalam sistem ketatanegaraan yang tidak lain berperan sebagai pengawal serta penafsir tunggal konstitusi (The Guardian and The Interpreter of Constitution) yang direfleksikan melalui putusan-putusan sesuai dengan kewenangannya. Sehingga konstitusi selalu dijadikan landasan dan dijalankan secara konsisten oleh setiap komponen negara dan masyarakat.

Dalam kaitan dengan hal di atas, A. Mukthie Fadjar, mantan Hakim Konstitusi, menyatakan bahwa Penjelasan UU No. 24 Tahun 2003 dalam penjelasan umumnya menegaskan beberapa butir arahan ikhwal Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi, yakni:34

i.agar konstitusi dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. ii.menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang

stabil.

33

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.

34

(27)

iii.merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

Dalam konteks ini, putusan-putusan yang final dan mengikat ditafsirkan sesuai dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi (gronwet), dimana pelaksanaannya harus bertanggungjawab. Artinya Mahkamah Konstitusi tidak hanya sebagai penafsir melalui putusan-putusannya, melainkan juga sebagai korektor yang aplikasinya tercermin dalam undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dengan batu uji konstitusi melalui interprestasinya dengan kritis dan dinamis.35

Maka dari itu, putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat secara hukum (binding) merupakan refleksi dari fungsinya sebagai penjaga serta penafsir konstitusi, dan memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan sebagai produk DPR beserta Pemerintah, tetap sejalan dengan amanat konstitusi.

35

Ibid.

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS PERMASALAHAN KEDUA

3.1. TINJAUAN PUSTAKA

3.1.1. Akibat Hukum

Menurut Prof. Achmad Ali, akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum, atas suatu tindakan subjek hukum.36 Lebih lanjut, beliau mengidentifikasi akibat hukum dalam 3 (tiga) golongan: 37

1. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu kaidah hukum tertentu;

2. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum tertentu; dan

3. Akibat hukum berupa sanksi.

Dengan demikian, akibat hukum dapat diartikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum. Dan dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan suatu peristiwa hukum dimana terjadi proses persidangan karena, adanya sengketa yang dimohonkan untuk diputus. Tatkala putusan tersebut diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum, sejak saat itu tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh dan pada saat itu pulalah awal mula adanya akibat hukum.

36

Achmad Ali, Op. cit, hlm. 251. 37

(28)

3.1.2.Asas Hukum

a. Definisi Asas Hukum

Asas hukum merupakan dasar dari peraturan-peraturan hukum. Olehnya itu, asas-asas hukum yang berlaku dapat menjadi cerminan suatu penegakan hukum (law enforchment). Berikut adalah definisi tentang asas hukum dari beberapa pakar hukum, diantaranya sebagai berikut:38

1. Satjipto Rahardjo

Menurut Satjipto Rahardjo, asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena itu merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, asas hukum adalah ratio legisnya peraturan hukum.

2. J.J.H. Bruggink

Menurut J.J.H. Bruggink, asas hukum adalah kaidah yang berpengaruh terhadap kaidah perilaku, karena asas hukum memainkan peranan pada interpretasi terhadap aturan hukum dan dengan itu menentukan wilayah penerpan kaidah hukum. 3. E. Utrecht

Menurut E. Utrecht, asas hukum adalah dasar dari peraturan-peraturan hukum yang mengkualifikasikan beberapa peraturan hukum sehingga peraturan-peraturan hukum itu bersama-sama merupakan suatu lembaga hukum.

38

Muhtang, Skripsi: Analisis Asas-Asas Hukum Yang Berlaku Dalam Proses Beracara Di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, 16 Mei 2011, hlm. 36.

4. Eikema Hommes

Menurut Eikema Hommes, asas hukum tidak boleh dianggap sebagi norma-norma hukum yang konkret, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorentasi pada asas hukum tersebut.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, menurut hemat penulis, asas hukum merupakan pijakan dasar bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Hal tersebut dikarenakan, asas hukum merupakan landasan yang paling luas lahirnya suatu peraturan hukum. Asas hukum tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum melainkan akan terus ada dan akan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya.39

Menarik apa yang dikemukakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo mengenai urgensi sebuah asas hukum. Beliau berpendapat bahwa asas hukum bukanlah sebuah peraturan hukum, namun tidak ada peraturan hukum yang dapat dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang ada di dalamnya. Untuk itu, jika ingin memahami hukum suatu bangsa dengan sebaik-baiknya, tidak bisa hanya melihat pada peraturan-peraturan hukumnya saja, melainkan harus menggalinya sampai pada asas-asas hukumnya.40

39

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm, 45. 40

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan 1).Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam kekuasaan kehakiman dalam pengujian Undang-Undang setelah diamandemenkannya UUD 1945 telah

Sebelum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, hendaknya ketiga lembaga kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi

Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2), yang berbunyi sebagai

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merupakan penyelenggara peradilan memiliki seorang hakim yang dapat memutus dan mengadili

Kekuasaan Kehakiman] , pernah mengemukakan pandangan hukumnya sebagai berikut: Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir undang-undang dasar ( the sole

Selanjutnya, peluang yuridis dalam ajudikasi sebagai konsekuensi kewenangan judicial review oleh kekuasaan yudikatif melalui Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung

Penelitian ini menganalisi terkait dasar pertimbangan hakim dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 97/PUU-XIV/2016 yakni wewenang Mahkamah Konstitusi salah

Satu hal yang penulis jumpai mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi kaitannya dengan peradilan agama adalah ketika Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian atas