• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN HUK (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN HUK (1)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM

Perkembangan Hukum Islam Di Dunia dan Di Indonesia

Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu.

Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air ? Maka dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas

muslim hadir di Indonesia. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam

secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.

B. Identifikasi Masalah

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

Sejarah hukum islam dibagi menjadi beberapa priode. Pembagian priode hukum islam ini yaitu :

1. Pada masa nabi Muhammad saw (610 M – 632 M ) 2. Pada masa khulafaur rasidin ( 632 M – 662 M )

3. Pada masa pembinaan & pembukuan ( abad VII M-X M ) 4. Masa kelesuan pemikiran ( abad X M-XIX M )

5. Masa kebangkitan ( XIX M sampai sekarang )

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.

Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang tersebut diatas maka ada beberapa pengidentifikasian masalah mengenai hal itu yaitu bagaimana

(2)

Masa Prapenjajahan Belanda Masa Penjajahan Belanda Masa Pendudukan Jepang Masa Kemerdekaan (1945) Era Orde Lama dan Orde Baru Era Reformasi

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM A. Masa Nabi Muhammad (610 M – 632 M).

Agama islam sebagai “induk” hukum islam muncul semenanjung Arab. Daerah yang sangat panas, penduduknya selalu berpindah-pindah dan alam yang begitu keras memberntuk manusia-manusia yang individualistis serta hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan berdasarkan garis Patrilineal, yang saling

bertentangan. Ikatan anggota klen berdasarkan pertalian darah dan pertalian adat. Susunan klen yang demikian menuntut kesetiaan mutlak para anggotanya. Oleh karena itu Nabi Muhammad setelah pindah atau hijrah dari Mekah ke Madinah,dianggap telah memutuskan hubungan dengan klen yang asli, karena itu pula diperangi oleh anggota klen asalnya. Pada masa ini, kedudukan Nabi Muhammad sangat penting, terutama bagi ummat islam. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidaklah lengkap bagi seorang muslim tanpa pengakuan terhadap kerasulan Nabi Muhammad.[1]

Konsekuensinya ummat islam harus mengikuti firman–firman Tuhan yang

terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad yang dicatat dalam kitab-kitab hadist. Melalui wahyuNya Allah menegaskan posisi Muhammad dalam rangka agama islam, yaitu :

1. Kami mengutus Nabi Muhammad sebagai untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (Q.s.21:107).

2. Hai orang-orang yang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah RasulNya (Q.s.4:59). 3. Barang siapa yang taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah (Q.s.4:80). 4. Pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (Q.s.33:21).

Waktu Nabi Muhammad masih hidup tugas untuk mengembangkan dan menafsirkan hukum itu terletak pada diri beliau sendiri, melalui ucapan,

perbuatan, sikap diam yang disebut sunnah. Dengan mempergunakan Al Qur’an sebagai norma dasar Nabi Muhammad SAW memecahakan setiap masalah yang timbul pada masanya dengan sebaik-baiknya.

(3)

Dengan wafatnya nabi Muhammad, maka berhentilah wahyu yang turun dan demikian halnya dengan sunnah. Kedudukan Nabi Muhammad sebagi ututsan Tuhan tidak mungkin tegantikan, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin

masyarakat Islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh seorang khalifah dari kalangan sahabat Nabi.

Tugas utama seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan pertahanan Negara. Memiliki hak memaklumkan perang dan membangun tentara untuk menajaga keamanan dan batas Negara, menegakkan keadilan dan

kebenaran,berusaha agar semua lembaga Negara memisahakan antara yang

baik dan tidak baik, melarang hal-hal yang tercela menurut Al Qur’an,

mengawaasi jalannya pemerintahan, menarik pajak sebagai sumber keuangan Negara dan tugas pemerintahan lainnya.

Khalifah yang pertama dipilih yaitu Abu Bakar Siddiq. Masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin sangat penting dilihat dari perkembangan hukum Islam karena dijadikan model atau contoh digenerasi-generasi berikutnya.

Pada masa pemerintahan Abu Bakar Siddiq dibentuk panitia khusus yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat Qur’an yang telah ditulis dijaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma dan tulang-tulang unta dan menghimpunnya daam satu naskah. Khalifah kedua yaitu Umar Bin Khatab yang melanjutkan usaha Abu Bakar meluaskan daerah

Islam sampai ke Palestina, Sirya, Irak dan Persia. Contoh ijthad Umar adalah menurut (Q.s.5:38) orang yang mencuri, diancam dengan hukuman potong tangan. Dimasa pemerintahan Umar terjadi kelaparan dalam masyarakat disemenanjung Arabia, dalam keadaan itu ancaman terhadap pencuri tersebut tidak dilaksanakan oleh khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan darurat dan kemaslahatan jiwa masyarakat. Selanjutnya pada pemilihan khalifah,[2]

Usman menggantikan Umar. Pada masa pemerintahan ini terjadi nepotisme karena kelemahannya. Dimasa pemerintahanya perluasan daerah Islam diteruskan ke barat sampai ke Maroko, ke timur menuju India dan keutara bergerak keraha konstantinopel. Usman menyalin dan membuat Al Qur’an standar yang disebut modifikasi al Qur’an. Setelah Usman meninggal dunia yang mengantikan adalah Ali Bin Abi Thalib yang merupakan menantu dan keponakan Nabi Muhammad.

Semasa pemerintahanya Ali tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan hukum Islam karena keadaan Negara tidak stabil. Tumbuh bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat Islam, yang bermuara pada perang saudara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok.

(4)

Dimasa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis suci islam, muncul berbagai teori yang masih dianut dan digunakan oleh umat islam sampai sekarang. Banyak faktor yang memungkinkan pembinaan dan pengembangan pada periode ini, yaitu :

a. Wilayah islam sudah sangat luas, tinggal berbagai suku bangsa dengan asal usul, adat istiadat dan berbagai kepentingan yang berbeda. Untuk dapat menentukan itu maka ditentukanlah kaidah atau norma bagi suatu perbuatan tertentu guna memecahkan suatu masalah yang timbul dalam masyarakat. b. Telah ada karya-karya tentang hukum yang digunakan sebagai bahan untuk membangun serta mengembangkan hukum fiqih Islam.

c. Telah ada para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai masalah hukum dalam masyarakat. Selain Perkembangan pemikiran hukum pada periode ini lahir penilaian mengenai baik buruknya mengenai perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan al-ahkam al-khamsah.[3]

D. Masa Kelesuan Pemikiran (Abad X-XI-XIX M).

Pada masa ini ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqih Islam dari sumbernya yang asli tapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat yang telah ada dalam mashabnya masing-masing. Yang menjadi ciri umum pemikiran hukum dalam masa ini adalah para ahli hukum tidak lagi memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat hukum yang terdapat pada Al Qur’an dan sunah, tetapi pikirannya ditumpukan pada pemahaman

perkataan-perkataan, pikiran-pikiran hukum para imamnya saja.

Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran atau kelesuan hukum islam dimasa itu adalah ;

1. Kesatuan wilayah islam yang luas telah retak dengan munculnya beberapa Negara baru.

2. Ketidakstabilan politik.

3. Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintahan menyebabkan merosotnya kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.

4. Gejala kelesuan berfikir timbul dimana-mana dengan demikian perkembangan hukum Islam pada periode ini menjadi lesu.[4]

E. Masa Kebangkitan Kembali ( Abad XIX sampai sekarang ).

Setelah mengalami kelesuan dalam beberapa abad lamanya, pemikiran Islam telah bangkit kembali, timbul sebagai reaksi terhadap sikap taqlid tersebut yang telah membawa kemunduran hukum islam. Pada abad ke XIV telah timbul

seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru dalam perkembangan hukum Islam yang bernama Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al

(5)

gerakan-gerakan para ahli hukum yang menyarankan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Gerakan ini oleh Prof. H. Muhammad Daud Ali, SH dalam bukunya. Hukum Islam, disebutkan sebagai gerakan Salaf (Salafiah) yang ingin kembali kepada kemurnian ajaran Islam di zaman salaf (permulaan), generasi awal dahulu.

Sebetulnya kalau kita lihat dalam catatan sejarah perkembangan hukum Islam, sesungguhnya pada masa kemunduran itu sendiri telah telah muncul beberapa ahli yang ingin tetap melakukan ijtihad, untuk menampung dan mengatasi persoalan-persoalan dan perkembangan masyarakat. Sebagai contoh pada abad ke 14 telah lahir seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara segar dan baru dalam dunia pemikiran agama dan hukum. Mujtahid besar tersebut adalah Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan muridnya Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah (1292-1356). Pola pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke 17 oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab (1703-1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang mempunyai pengaruh pada gerakan Padri di Minangkabau (Indonesia).

Hanya saja barangkali pemikiran-pemikiran hukum Islam yang mereka ijtihadkan khususnya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim, tidak menyebar luas kepada dunia Islam sebagai akibat dari kondisi dan situasi dunia Islam yang berada dalam kebekuan, kemunduran dan bahkan berada dalam cengkeraman orang lain, ditambah lagi dengan sarana dan prasarana penyebaran ide-ide seperti

percetakan, media massa dan elektronik serta yang lain sebagainya tidak ada, padahal sesungguhnya ijtihad-ijtihad yang mereka hasilkan sangat berilian, menggelitik dan sangat berpengaruh bagi orang yang mendalaminya secara serius.

Ijtihad-ijtihad besar yang dilakukan oleh kedua dan bahkan ketiga orang tersebut di atas, dilanjutkan kemudian oleh Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897) terutama di lapangan politik. Jamaluddin Afgani inilah yang memasyhurkan ayat

Al-Qur’an : Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu bangsa kalau bangsa itu sendiri tidak (terlebih dahulu) berusaha mengubah nasibnya sendiri (Q.S. Ar-Ra’du (13) : 11). Ayat ini dipakainya untuk menggerakan kebangkitan ummat Islam yang pada umumnya dijajah oleh bangsa Barat pada waktu itu. Al-Afgani menilai bahwa kemunduran ummat Islam itu pada dasarnya adalah disebabkan penjajahan Barat.

Oleh karena penyebab utama dari kemunduran itu adalah penjajahan Barat terhadap dunia Islam, maka Al-Afgani berpendapat bahwa agar ummat Islam dapat maju kembali, maka penyebab utamanya itu yang dalam hal ini adalah penjajahan Barat harus dilenyapkan terlebih dahulu. Untuk itulah maka Al-Afgani menelorkan ide monumentalnya yang sangat terkenal sampai dengan saat ini, yaitu Pan Islamisme, artinya persatuan seluruh ummat Islam.

Persoalannya sekarang adalah apakah pemikiran Al-Afgani tentang Pan Islamisme ini masih relevan sampai dengan saat ini ataukah tidak. Artinya apakah pemikiran Al-Afgani ini masih cocok untuk diterapkan dalam dunia Islam yang nota bene nasionalisme masing-masing negara sudah menguat dan

(6)

berdasarkan Islam. Penulis menilai bahwa ide yang dilontarkan oleh Al-Afgani ini adalah relevan pada masanya, namun demikian masih perlu diterjemahkan ulang (diperbaharui substansinya) pada masa kini. Sebab menurut penulis persatuan dunia Islam sebagaimana layaknya sebuah negara Islam Internasional tidak memungkinkan untuk dilaksanakan lagi, tetapi persatuan ummat Islam dalam arti bersatu untuk memberantas pengaruh negatif dari negara-negara Barat dan adanya kesepakatan bersama untuk saling bantu membantu dalam memberantas kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan adalah sesuatu hal yang mutlak dan sangat diperlukan oleh dunia Islam saat ini.

Cita-cita ataupun ide besar Al-Afgani tersebut mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh (1849-1905) yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935). Pikiran-pikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha mempengaruhi pemikiran ummat Islam di seluruh dunia. Di Indonesia, pikiran-pikiran Abduh ini sangat kental diikuti oleh antara lain Gerakan Sosial dan Pendidikan Muhammadiyah yang didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta tahun 1912. Hanya saja pikiran-pikiran Al-Afgani yanag diikuti oleh Gerakan Sosial dan Pendidikan Muhammadiyah itu lebih banyak pada substansi daripada konsep Pan Islamisme, bukan pada pendirian negara islam internasionalnya.

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA A. Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda

Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan

kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya

kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.

Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.

(7)

tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

B. Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda

Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat

dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai

perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping

menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.

Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk

menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.

Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:

Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.

Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.

Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone

Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga

menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras

(8)

menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja. Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :

Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.

Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama,

lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.

Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.

Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

C. Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang

Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.

Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah: Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.

(9)

Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.

Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.

Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.

Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan

kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka

Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda

menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.

D. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)

Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini,

(10)

Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan

menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.

Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.

Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah proklamasi

kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran,

Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.

Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.

Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan

batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.

(11)

Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk

menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam

ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.

Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam

Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956.

Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.

Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.

Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat.

Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI

(12)

pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan

Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang

mereka sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya. E. Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru

Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit

merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam

sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.

Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan

menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.

Lalu bagaimana dengan hukum Islam?

Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk

(13)

sendirinya menurut Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.

Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan

menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama. F. Hukum Islam di Era Reformasi

Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.

Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit

merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era

ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.

Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.

-->

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1971.

(14)

[3] Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 1977.

[4] Ali, Muhammad Daud, Prof. H. SH., Hukum Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 42.

[5] http://kopikejuenak.blogspot.com/2008/07/sejarah-pertumbuhan-dan-perkembangan-hukum isla

——————–http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum islam/perkembangan-hukum-islam/

——————–http://www.slideworld.com/slideshows.aspx/SEJARAH PERTUMBUHAN-DAN-PERKEMBANGAN-HUKUM-ISLAM-ppt-906543

——————-http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/hukum-islam/perkembangan-hukum-islam-pada-era-reformasi-di-indonesia.

——————-http://wawasanhukum.blogspot.com/2008/04/periodisasi-perkembangan-hukum-islam.html

TUGAS

TARIKH TASYRI’

Diajukan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Tarikh Tasyri’

Oleh :

HANDAYANI

310.006

Dosen Pembimbing :

Drs. ADITIAWARMAN M.Ag

(15)

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

IAIN IMAM BONJOL PADANG

1432 H / 2011 M

SEJARAH PERTUMBUHAN

DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

1.PERTUMBUHAN HUKUM ISLAM DI MASA RASUL

1.Situasi masyarakat arab pra islam

Sebelum nabi SAW diutus, orang-orang rab adalah umat yang tidak memiliki aturan

dan mereka di kendalikan oleh kebiadaban, dianungi oleh kegelapan dan kejahilan, serta tidak

ada agama yang mengikat dan undang-undang yang harus mereka patuhi. Akibat dari ini

penuhnya jiwa mereka dengan akidah yang batil. Setiap kelompok dari mereka melihat

kebenaran dari apa yang tumbuh dan di wariskan baak-bapak mereka, dan melihat keagungan

dari apa yang tersebar dan dikenal diantara kabilahnya. Hanya sedikit dari mereka yang

berjalan dengan aturan yang dapat mengelesaikan perselisihan mereka, adap yang dianggap

baik serta langkah yang mulia.

Namun demikian, ketetapan itu bukan merupakan undang-undang yang tertulis yang

di jiadikan rujukan dalam mengelesaikan perselisihan dan menjaga hak-hak mereka, tapi

hanya merupakan ketetapan yang sedikit sekali pemmfaatanya. tidak cukup merealisasikan

aturan dan mencegah sipembuat kerusakan.[1]

2. Kondisi Hukum Islam Pada Masa Kenabian

Islam datang untuk seluruh umat manusia, akan tetapi di mulai dengan perbaikan

orang arab yang Allah pilih sebagai penolong agama dan pengerunya. keadaan

orang-orang arab pada masa itu, sebagaimana telah kita ketahui dua perkara: Behalaisme dalam

agama kekacauan dalam tatahanan masyarakat. keaadaan seperti ini mengharuskan adanya

pengelamatan dari kebiadaban dan pembebasan mereka untuk ,mengokong agama Allah,

dengan menanamkan kaidah tauhid pada hati mereka, mengarahkan mereka untuk

mengiklasakn ibadah kepada dzat yang maha tinggi dan melepaskandari jiwa mereka akhlak

yang tercela, menghapuskan adat yang buruk serta mencetak mereka berahklak mulia,

berperangai terpuji, serta meletakan aturan yang jitu yang mencakup seluruh permasalahan

mereka, agar mereka berjalan di atas petunjuk Allah dalam segala aspek kehidupan.[2]

A.

PEMBENTUKAN HUKUM DI MEKKAH

Pada awal mulanya, islam berorientasi memperbaiki akidah yang merupakan fondasi tempat

berdiri hal-hal yang lain. Setelah selesai tujuan pertama ini , ia melanjutkan oreantasi

berikutnya yaitu meletakkan aturan kehidupan.

(16)

B.

PEMBENTUKAN HUKUM DI MADINAH

Mulai setelah hijrah, tasyri islam beroreantasi pada tujuan kedua, maka disyariatkan hokum

hokum yang meliputi segala aspek kehidupan individu dan kelompok, baik dalam ibadat,

jihad, pidana, kewarisan, wasiat, pernikahan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang

mencakup ilmu fiqih.

Jadi, pada masa Rasul pertumbuhan hukum Islam dapat disimpulkan, bahwa:

1.

Kekuasaan pembentukan hukum pada masa ini dipegang oleh Nabi sendiri, tanpa campur

tangan orang lain. Sumbernya adalah Alqur’an dan Sunnah, karena itu tidak ada tempat untuk

berselisih dalam hukum.

2.

Bahwasanya ayat-ayat hukum itu turun berkenaan dengan suatu peristiwa atau jawaban dari

suatu pertanyaan.

3.

Bahwasanya hukum islam tidak ditetapkan sekaligus, akan tetapi ditetapkan

sebagian-sebagian dan berturut-turut didasari ayat atau hadis.[4]

2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN IJTIHAD

Ijtihad bukanlah sumber hukum pada masa nabi, sumber hukum pada masa nabi

hanyalah Al qur’an dan Sunnah, tetapi Rasulullah pernah melakukan ijtihad dalam sebagian

hukum dan mengakui ijtihad sahabat dalam sebagian yang lainnya. Seperti izin beliau pada

perang tabuk bagi orang-orang yang punya udzur berjihad dari kalangan orang-orang

munafik untuk tidak ikut perang dan persetujuan beliau tehadap pendapat Abu Bakar yakni

menerima tebusan tawanan perang badar. Pada masa Rasul ini, ijtihad dianggap sebagai salah

satu sumber hukum disamping Alqur’an dan sunnah.

Nabi berijtihad ketika kebutuhan mendesak dan terlambat datangnya wahyu, kemudian

setelah itu turun wahyu yang menguatkan ijtihadnya atau mengingatkan bila ada kesalahan,

karenanya wahyu merupakan rujukan dalam ijtihadnya. Adapun ijtihad sahabat, juga

dilakukan ketika terjadi kesulitan Nabi atau ketika khawatir hilangnya suatu kesempatan.

Ketika mereka kembali kepada Rasulullah, mereka menjelaskan hukum yang mereka

ijtihadkan, benar atau salah. Bila demikian rujukan mereka adalah sunnah.[5]

Sebagian sahabat pernah berijtihad pada masa Rasulullah, ketika memvonis suatu

masalah persengketaan yang terjadi dan ketika menetapkan suatu hukum terhadap suatu

permasalahan. Seperti:

“Ali Bin Abi Thalib ketika diutus Rasulullah ke Yaman dalam rangka sebagai seorang qadhi

atau hakim. Rasulullah menitipkan sabda kepadanya: Sesungguhnya Allah menunjuki hatimu

dan mengokohkan lidahmu. Kalau ada 2 orang bersengketa dihadapanmu, janganlah engkau

memvonis atau menetapkan suatu hukum untuk keduanya sebelum engkau mendengar

penjelasan dari pihak kedua sebagaimana engkau mendengar penjelasan dari pihak pertama,

karena hal ini akan lebih memperjelas bagimu dalam memutuskan hukum”.[6]

(17)

mampu menjelaskan nash-nash dan berijtihad tentang permasalahan dari peristiwa yang tidak

ada ketetapannya menurut konteks nash.[7]

Pada masa sighar sahabat dan tabi’in, awalnya para mufti kebanyakan bertempat

tinggal di Madinah. Setelah kekuasaan islam bertambah luas, mereka tinggal berpencar di

berbagai kota dan tempat. Oleh karena itu, pembentukan hukum pada awal masa ini dengan

ijma’, kemudian mereka mengadakan ijtihad perorangan. Masing-masing sahabat

menghadapi persoalan yang berbeda-beda, sesuai dengan keadan masyarakat setempat,

sehingga muncullah hasil ijtihad yang berbeda pula.[8]

Periode kesempurnaan fiqh, periode ini disebut juga dengan periode pembukuan dan

munculnya para Imam Mujtahid. Dinamakan demikian karena, pada masa ini timbul gerakan

penulisan dan usaha-usaha pembukuan terhadap tafsir Alqur’an, Sunnah Nabi, Fatwa-fatwa

sahabat, Tabi’in, Tabi’tabi’in, fiqh para Imam Mujtahid, dan Ilmu ushul Fiqh. Dalam periode

ini, muncul tokoh-tokoh besar yang berpengaruh besar terhadap pembentukan

undang-undang dan meng-istinbat-kan hukum-hukum bagi peristiwa yang terjadi dan yang akan

terjadi.[9]

SUMBER HUKUM MASA: RASUL, SAHABAT, TABI’IN DAN KEEMASAN

Masa Rasul

Pada periode Rasulullah SAW hanya ada dua sumber yaitu: wahyu ilahi(Al qur’an) dan

ijtihad Rasulullah sendiri. Al qur’an merupakan sumber pokok agama dan asasnya. Di

dalamnya Allah menerangkan ilmu segala sesuatu dan menjelaskan hal-hal kebenaran dan

kebatilan. Kalau terjadi suatu peristiwa yang memerlukan adanya ketetapan hukum, karena

terjadi perselisihan, ada pertanyaan, atau permintaan fatwa maka Allah menurunkan wahyu

kepada Rasulullah satu atau beberapa ayat yang menerangkan tentang hukum-hukumnya.

Kemudian Rasulullah menyampaikan wahyu tersebut kepada umat islam. Dan wahyu inilah

yang menjadi hukum yang wajib diikuti.

Kalau terjadi masalah yang memerlukan ketetapan hukum sedangkan Allah tidak

menurunkan wahyu tentang hal tersebut, maka Rasulullah berijtihad untuk menetapkan

hukum suatu masalah, atau menjawab suatu pertanyaan atau memenuhi permintaan fatwa

hukum. Hasil ijtihad Rasulullah inilah yang menjadi hukum atau undang-undang yang wajib

diikuti.[10]

Masa Sahabat

(18)

wilayah islam keluar jazirah Arab. Karena hal inilah orang-orang muslim mendapatkan

dirinya dihadapkan kepada peristiwa yang belum pernah dialami dalam sepanjang hidupnya.

Peristiwa dan kejadian itu semua sibuk mencari penyelesain hukum-hukumnya dalam

Alqur’an dan Sunnah. Tampak jelas bahwa kedua sumber tersebut belum menetapkan hukum

masalah-masalah yang menlanda kaum muslimin itu, sehingga menjadi tali kekang bagi

mereka untuk berijtihad dan menerapkan kaidah-kaidah umum yang ditetapkan dalm

Alqur’an dan Sunnah terhadap peristiwa tersebut. Untungnya Rasulullah telah menyiapkan

bagi mereka jalan berijtihad, melatih dan meridhai mereka serta menetapkan pahala bagi

ijtihad mereka, benar atau salah. Karenanya, mereka semangat mencurahkan kemampuannya

mengeluarkan hukum-hukum masalah yang mereka hadapi.[11]

Jadi, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi sumber hukum pada masa ini adalah:

1.

Alqur’anul Karim

2.

Sunnah Rasulullah

3.

Ijtihad Sahabat.

Masa Tabi’in

Sumber tasyri’ pada masa ini adalah Alqur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Mereka

sependapat bahwa semua sumber atau dasar syari’at adalah Al qur’an dan Sunnah. Senua

hukum yang berlawanan dengan kedua sumber hukum tersebut ditolak. Pada masa ini

muncul

Madrasah Al Hadis dan Madrasah Ra’yu,

kedua aliran tersebut berbeda dalam

metode ijtihad. Madrasah hadis yang bermukim di Madinah dikenal sangat kuat berpegang

pada hadis karena mereka banyak mengetahui hadis Rasulullah. Sedangkan, madrasah ra’yu

yang bermukim di Iraq dalm menjawab permasalahan hukum lebih banyak menggunakan

logika dalm berijtihad, karena hadis-hadis Rasulullah yang sampai kepada mereka terbatas,

sedangkan kasus yang mereka hadapi sangat berat dan beragam.[12]

Masa Keemasan

Sumber hukum pada masa keemasan ini, diantaranya:

1.

Al qur’an

2.

Sunnah

3.

Ijma’

4.

Ijtihad dengan metode qiyas atau ijtihad dengan salah satu metode istinbat yaitu:

istihsan,

istishab, fatwa sahabat, Al’urf, Maslahah Mursalah, Sadduz Zar’iyyah, Syar’u man qoblana.

(19)

PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM MASA KEEMASAN

Periode ini juga dikenal sebagai orde kodifikasi ilmu pengetahuan dan secara lebih

spesifik, kodifikasi fiqh, dan kaidah-kaidahnya (ushul fiqh dan sumber-sumber fiqh),

penulisan sunnah, metode penulisan fiqh, ushul fiqh, dan tafsir Qur’an.[14]

Faktor yang melatarbelakangi berkembangnya hukum islam dan gerakan ijtihad pada

periode ini cukup banyak, diantaranya:

1.

Wilayah kekuasaan pemerintahan Islam pada periode ini sudah sangat luas.

2.

Fiqh islam mencapai puncak kematangan dan kesempurnaan, mencakup semua lini

kehidupan, prinsip-prinsip dasarnya menyentuh semua aspek humanity, religi, dan duniawi.

3.

pada periode ini, para ulama dalam menetapkan hukum dan perundang-undangan dan

memberi fatwa telah menguasai metode tasyri’ secara luas dan mudah.

4.

Pada periode ini umat islam sangat bersemangat dalam seluruh aktivitasnya, baik dalam hal

ibadah, muamalah agar penerapannya sesuai dengan hukum islam.

5.

Periode ini muncul tokoh-tokoh yang mempunyai bakat dan kemampuan yang didukung oleh

faktor situasi dan kondisi yang ada, sehingga hukum islam semakin berkembang, seperti, Abu

Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal.[15]

6.

Terjadinya perbedaan yang tajam di antara para ulama terhadap sebagian sumber tasyri’,

seperti berhujjah dengan perbuatan penduduk madinah dan ucapan sahabat selain itu mereka

juga berselisih tentang cara memakai dalil sunnah, ijma’ dan qiyas.

7.

Ilmu pengetahuan dengan berbagai macam jenisnya sudah dibukukan, terutama Al qur’an

dan As sunnah serta Ushul Fiqh.

8.

Munculnya beberapa istilah fiqh untuk memberikan identitas terhadap dalil-dalil tertentu

untuk lebih mudah dipahami, seperti nama, rukun, syarat, sah, batal, dan beberapa istilah lain

yang tidak familiar sebelumnya.

9.

Ruang perbedaan pendapat diantara fuqaha’ semakin meluas sehingga berdampak pada

banyaknya masalah-masalah fiqh yang muncul disebabkan jumlah mujtahid yang memadai di

setiap negeri. Dan setiap negeri mempunyai masalah tersendiri sehingga sulit bagi fuqaha

untuk bertemu di satu tempat untuk membahasnya. Akan tetapi, perbedaan yang terjadi di

antara mereka tidak menimbulkan rasa benci, bahkan setiap orang meyakini pendapatnya

benar, tetapi ada kemungkinan salah dan pendapat orang lain salah tetapi ada kemungkinan

benar.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf,

Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam

, (Jakarta, PT

RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002)

Dedi Supriyadi,

Sejarah Hukum Islam

, (Bandung, Pustaka Setia, 2007)

(20)

[1]Muhammad Ali As Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta,

AKADEMIKA PRESSINDO, 1996), hlm., 13-14

[2] Ibid., hlm. 14

[3]Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, (Jakarta, PT RAJA

GRAFINDO PERSADA, 2002), hlm. 9

[4] Muhammad Ali As Sayis, Op. Cit., hlm. 16-17

[5] Ibid., hlm. 17-18

[6] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 11

[7] Ibid., hlm. 46

[8] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (Bandung, Pustaka Setia, 2007), hlm. 70

[9] Ibid. hlm. 105

[10] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 13

[11] Muhammad Ali Sayis, Op. Cit., hlm. 58-59

[12] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 87

[13] Abdul Wahhab Khallaf, Op. Cit., hlm. 81-82

[14] Dedi Supriyadi, Op. Cit., hlm. 110

Referensi

Dokumen terkait

Dalam pengadaan bahan baku kedelai Industri Tahu Mitra Cemangi sebaiknya melakukan pembelian kedelai dalam jmlah yang besar dan dengan frekuensi yang rendah per

Keberhasilan organisasi dapat dicapai apabila karyawan dapat berprilaku positif terhadap diri mereka sendiri dan organisasi, melalui kejelasan tujuan, menentukan

Analisis Pengaruh Kepercayaan pada Merek dan Sikap pada Iklan terhadap Sikap pada Merek dan Purchase Intention. Studi Kasus : Iklan Activia 30’ with price tag. Judul

Berdasarkan paparan latar belakang, maka permasalahan yang diusulkan melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat adalah bertujuan untuk memberikan keterampilan yang

Penelitian bertujuan untuk mengetahui sejauhmana responsivitas masyarakat dalam implementasi dan pengembangan program Magelang Kota Layak Anak yang telah dilaksanakan

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui penggunaan variasi latihan quickness yaitu Three cone drill dan kombinasi sprint dan teknik berpengaruh terhadap

 Anemia Gizi  adalah suatu penyakit dimana kadar  Haemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari ukuran normal yang disebabkan karena kekurangan zat besi. Di Indonesia sebagian

[r]