• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM RUMAH (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM RUMAH (1)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

F rans Paillin Rumbi, M. Th

Abstrak

Diskriminasi dan banyaknya kaum perempuan yang menjadi korban dari perlakuan semena-mena, telah mengelitik alam bawah sadar kelompok feminis untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Walaupun demikian, perjuangan kelompok feminis untuk mendapatkan hak dan pembagian peran yang sama dengan laki-laki, tidak akan maksimal apabila mereka

tidak melibatkan kaum laki-laki. Berangkat dari pemahaman itulah, maka tulisan ini akan mengkaji salah satu masalah yang merupakan bias gender(kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga), dengan menempatkannya dari persfektif maskulin dan sekaligus upaya

memperlihatkan bahwa laki-laki pun merasakan perlunya kesetaraan gender.

A.Pendahuluan

Minat penulis untuk membahas tema kekerasan dalam rumah tangga, berangkat dari beberapa peristiwa penting pada tataran praktis. Pengalaman pertama, yakni pengalaman tinggal sekontrakan dengan sebuah rumah tangga muda „suara tangis seorang ibu sering terdengar memecah keheningan malam dan membuat para penghuni rumah lainnya menjadi

terjaga‟. Tangisan sang ibu merupakan luapan emosional sebagai bentuk ekspresi atas perlakuan kasar dan cacian yang dilakukan oleh suaminya. Hal tersebut belum termasuk wajahnya yang kerap terlihat babak belur akibat hantaman benda keras.

Pengalaman lain yakni salah satu kasus yang sempat ditangani oleh tim kecil pemerhati masalah perempuan di Makassar beberapa tahun lalu. Waktu itu team ini sempat mendampingi seorang ibu beranak tiga yang harus dirawat di rumah sakit akibat perlakuan kasar yang dilakukan oleh suaminya. Kasus yang pada akhirnya berujung pada penanganan lebih serius oleh pihak kepolisian. Dari penuturan singkat sang ibu perlakuan kasar sudah sering kali dialami. Anehnya lagi sang pelaku (suami) adalah salah seorang pejabat diperusahaan swasta, yang juga berpendidikan tinggi. Perilaku sang suami membuat saya berasumsi bahwa pendidikan dan jabatan yang tinggi tidak cukup menjamin kenyamanan sang istri untuk terbebas dari kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya dalam ranah domestik (rumah tangga). Kedua kisah yang dialami sang istri dalam rumah tangganya merupakan bagian kecil dari sekian banyak kasus kekerasan yang sering dialami oleh kaum perempuan dalam keluarga, tidak peduli apakah ia dalam posisinya sebagai seorang ibu, anak perempuan. ataukah dalam posisi sebagai pembantu.

Kaum ibu korban kekerasan tentunya merasakan perlakuan berbeda dengan masa sebelum mereka berdua (maksudnya dengan suami) memutuskan untuk hidup berumahtangga. Berbagai bentuk perlakuan, rayuan, perhatian, kasih sayang boleh mereka alami ketika masih pacaran, tetapi kemudian menjadi sirna ketika hidup berumah tangga, terganti dengan kekerasan.

Permasalahannya, mengapa kekerasan dalam rumah tangga mudah terjadi? Hal itulah yang coba penulis dalam tulisan singkat ini.

B.Sekitar Definisi Kekerasan

(2)

tamparan, pemukulan, pencekikkan, lemparan benda keras, penyiksaan menggunakan senjata, penyekapan, pengrusakan alat kelamin, penganiayaan dan pembunuhan); kekerasan psikologis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, bentakan dan ancaman yang diberikan untuk memunculkan rasa takut; kekerasan seksual yaitu setiap perbuatan pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. Sementara itu, Aina Rumiyati Aziz menambahkan dua jenis kekerasan lagi yakni kekerasan ekonomi dan sosial. Kekerasan ekonomi terjadi apabila seseorang dalam situasi terlilit oleh persoalan ekonomi. Sedangkan, kekerasan sosial lebih dipengaruhi oleh pemahaman yang berlaku dalam suatu lingkungan khususnya tentang hubungan laki-laki dan perempuan.1

Dari segi hukum kekerasan dibedakan atas kekerasan terhadap perempuan dan kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan terhadap perempuan yakni setiap perbuatan berdasarkan perbedaan kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan dan penderitaan secara fisik, seksual maupun psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum ataupun dalam kehidupan pribadi. Sedangkan kekerasan dalam rumah tangga yakni tindakan kekerasan baik fisik, psikis, ekonomi maupun seksual yang terjadi dalam lingkup rumah tangga yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan bagi perempuan dan anak.2

Arlina G. Latief lebih melihat kekerasan dari sudut pandang psikologis bahwa kekerasan merupakan salah satu bentuk perilaku agresi. Agresi dapat dibedakan ke dalam tiga kategori yaitu: ‘Hostile aggresion’, ‘Instrumental aggression’ dan ‘mass agression’. Agresi hostile, merupakan tindakan tak terkendali akibat perasaan marah yang membludak keluar.

Sedangkan agresi “instrumental‟ adalah tindakan agresif yang dipakai secara sengaja sebagai cara untuk mencapai suatu tujuan yang bisa saja bukan merupakan suatu agresi (misalnya

untuk mencapai tujuan politik tertentu). Lebih lanjut asgresi „massa‟ adalah tindakan agresif

yang dilakukan oleh massa sebagai akibat kehilangan individualitas dari masing-masing individu. Manakala massa tersebut telah solid, harus berjumpa dengan seseorang yang membawa kekerasan, dan mulai melakukan tindakan, maka secara otomatis semua akan ikut melakukan kekerasan bahkan dapat semakin meninggi, karena saling membangkitkan.3 Berdasarkan sudut pandang ini dapat dikatakan kekerasan berbeda dengan marah. Orang yang marah bisa saja tidak melakukan kekerasan. Kekerasan terjadi ketika emosi itu tidak lagi dapat dikendalikan sehingga orang yang bersangkutan melakukan berbagai bentuk

tekanan untuk menguasai bahkan untuk mempertahankan dan merebut “kekuasaannya” yang

hilang. Namun demikian kekerasan juga berarti usaha untuk menonjolkan diri.

C.Penyebab Kekerasan Dalam Rumah Tangga a. Budaya Patriarki

(3)

Perempuan tidak diberi kesempatan untuk mengerti dan mengenal dirinya sendiri sehingga dapat mengatur sikapnya. Mereka menjadi manusia-manusia yang kehilangan daya kritisnya karena kesempatan yang diberikan hanya sedikit belum lagi mereka dibius oleh aturan-aturan yang mengharuskan mereka tunduk kepada laki-laki tanpa memberi mereka celah untuk menanggapi situasi yang dialami.

Memang benar diantara kaum perempuan, ada yang berhasil melepaskan diri dari kendali laki-laki tetapi itu hanya sebagian kecil. Perempuan yang lepas dari tirani patriarki pada akhirnya akan menyadari bahwa segala sesuatu yang mereka lakukan ketika berada dalam bayang-bayang laki-laki bukan keadilan dan kehendak bebas seutuhnya. Keadilan dan kehendak bebas sebagai manusia yang bermartabat baru di dapatkan ketika ia mampu memahami dirinya sebagai seseorang benar-benar bebas menentukan yang baik dan buruk bagi dirinya.

Jaques Lacan, seorang filsuf Perancis mengemukakan diskriminasi terhadap kaum perempuan terjadi karena keterasingan yang mereka alami pada masa pertumbuhan, ada simbol-simbol yang ia tidak mengerti karena simbol-simbol tersebut dikomunikasikan lewat bahasa maskulin.4 Berbeda dengan Lacan, Mariane Katoppo berpendapat bahwa budaya patriarki telah memaksa perempuan yang berada dalam puncak kekuasan untuk berlaku sebagai laki-laki untuk mendatangkan ancaman bagi cita-cita perempuan itu sendiri. Lebih lanjut ia katakan laki-laki kemudian menjadi norma bagi manusia. Perempuan, karena dilihat menyimpang, mereka pun dinilai selaku yang bukan manusia.5 Penilaian terhadap perempuan sebagai yang bukan manusia telah melanggengkan hegemoni laki-laki diberbagai segi kehidupan. Namun demikian kita tidak bisa secara sepihak mengklaim kesalahan sepenuhnya ada pada pihak laki-laki sebagai pelanggeng budaya patriarki sebab secara terselubung perempuan dengan sikapnya yang pasrah ikut melanggengkan budaya ini.

Sikap pasrah kaum perempuan membuat mereka menutup-nutupi berbagai bentuk diskriminasi. Kebiasaan tersebut bahkan terbawa ketika mereka memasuki jenjang rumah tangga. Sikap pasrah menuntut konsekuensi yang harus mereka terima. Di satu sisi dapat berdampak positif dalam memudahkan ia menjalin suatu komunikasi yang baik dengan sang suami sehingga mereka mampu membangun rumah tangga yang rukun. Tetapi itu pun dengan syarat yakni dibarengi kesadaran dari sang suami bahwa kehidupannya tidak lagi sebagai individu yang bebas berbuat sesukanya, hidupnya harus berjalan dalam saling pengertian dengan sang istri. Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata terhadap kemungkinan terburuk yang dapat timbul dimana sang suami melakukan tindak kekerasan kepadanya.

b. Pendidikan Keluarga

(4)

Sementara itu, jika tingkat pendidikan suami dan istri rendah dapat juga memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga apalagi kalau salah satu pihak mudah terprovokasi oleh orang lain yang mendengar perlakuan negatif pasangannya. Demikian halnya ketika keluarga mereka dilanda oleh masalah ekonomi. Karena kurangnya pendidikan, dapat saja sang suami melakukan tindak kekerasan untuk memaksa istrinya bekerja, sementara dia sendiri enak-enakan di rumah sambil menunggu upah yang diterima istrinya.

Di samping persoalan pendidikan formal, pendidikan informal yang berlangsung dalam keluarga juga sangat penting dalam membina watak seseorang khususnya dalam menanamkan pengetahuan yang benar tentang relasi laki-laki dan perempuan. Sejak masa kanak-kanak pembagian peran yang adil antara perempuan dan laki-laki (gender) dalam rumah tangga perlu untuk segera diajarkan kepada mereka, sebab akan sangat menentukan pembentukan karakter anak. Sejalan dengan itu, bila dalam keluarga ayah terlalu sering melakukan tindak kekerasan terhadap ibu dan membeda-bedakan kasih sayang terhadap anak-anaknya, dimana anak laki-laki lebih di sayang daripada anak perempuan, maka apa yang dirasakan oleh sang anak laki-laki dapat terbawa ketika ia berkeluarga nantinya kemudian dengan semaunya memperaktekkan tindak kekerasan terhadap istrinya.

c. Kurangnya Dialog

Dialog atau komunikasi dalam keluarga menjadi hal yang penting baik dalam hubungan suami istri maupun dalam hubungan orang tua dan anak. Kurangnya dialog akan berdampak pada pembagian peran atau kekuasaan dalam rumah tangga. Dapat saja terjadi sharing of power yang adil antara suami dan istri, antara orang tua dengan anak, atau sebaliknya berupa pembagian peran yang tidak adil. Jika perkiraan kedua yang terjadi, biasanya suami yang mendominasi kekuasaan.7

Ketika sesama anggota keluarga jarang berkomunikasi apalagi jika disibukkan oleh pekerjaan, maka mereka akan mudah disusupi unsur saling curiga, saling tidak percaya dan salah paham. Apabila masalah tersebut tidak mampu diselesaikan, maka akan membuat masing-masing orang berada dalam tingkat emosi yang cukup tinggi sehingga akan mudah menyulut terjadinya tindak kekerasan.

d. Pribadi Korban Sendiri

Usaha-usaha yang dilakukan dalam rangka mengungkap kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga ataupun kekerasan di luar rumah terhadap perempuan mulai membuahkan hasil. Masyarakat mulai menyadari berbagai perlakuan yang berujung pada tindak kekerasan terhadap kaum perempuan, merupakan produk dari budaya patriarki yang salah. Bahkan para korban mulai memiliki keberanian untuk melaporkan kasus-kasus yang terjadi pada dirinya kepada LSM maupun kepada pihak yang berwajib.

Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa sampai saat ini masih banyak juga korban kekerasan yang enggan melaporkan kasusnya kepada pihak yang berwajib. Berbagai alasan mempengaruhi keputusan tersebut. Misalnya, adanya rasa malu untuk mengungkap masalahnya, adanya rasa takut, tidak yakin ada yang dapat membantu, takut pada petugas, proses hukum yang melelahkan, tidak punya biaya, kesulitan membuktikan, tidak ada jaminan keamanan jika melapor, takut dikucilkan keluarga dan masyarakat.8

(5)

hanya orang di dalam rumah atau kalau perlu hanya suami istri yang mengetahui. Apabila sampai terdengar orang lain maka itu merupakan aib bagi keluarga. Orang-orang akan menjadikan keluarganya sebagai bahan cerita, gosip atau sebagainya. Ketidaksiapan untuk menanggung malu dan ditunjang sifat perempuan yang banyak mengandalkan pertimbangan perasaan, mengkibatkan mereka mendiamkan masalahnya.

Pertimbangan lain yakni ketakutan akan perlakuan lebih keji dari suami yang dapat mereka alami apabila sang suami mengetahui bahwa ia telah melaporkan masalah tersebut kepada orang lain atau bahkan kepada pihak kepolisian. Pertimbangan semakin mengarah usaha untuk mendiamkan setelah mengetahui bahwa tidak ada jaminan keamanan atau perlindungan dari pihak kepolisian setelah melapor dan selama proses pemeriksaan atau proses hukum berjalan.

Masalah kekerasan tidak hanya sampai di situ sebab menurut Zohra Andi Baso koordinator umum Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) di Makassar bahwa para perempuan yang melaporkan masalahnya kepada pihak kepolisian atau aparat hukum lainnya cenderung di diskreditkan dan mereka (aparat) kurang berpihak pada kaum perempuan. Lebih lanjut dalam proses interogasi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada para korban cenderung bermakna memojokkan dan malah mempersalahkan perempuan.9

D.Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Berbagai bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga telah mendorong pemerintah mengambil suatu langkah tegas untuk meminimalisir berbagai bentuk tindak kekerasan. Adapun upaya yang ditempuh sebagaimana tertuang dalam Pasal 43 Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Selanjutnya, menindak lanjuti undang-undang tersebut dikeluarkan lagi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yang dimaksud dengan pemulihan korban adalah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis. Sementara penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang meliputi pelayanan pendampingan kepada korban kekersan dalam rumah tangga.10

Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, sebenarnya usaha-usaha untuk menentang kekerasan terhadap perempuan sudah sering kali dibahas dalam sebuah forum. Misalnya yang dilakukan oleh Gerakan Anti-Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia (GATKPI) tahun 1995. Dari pertemuan itu selanjutnya disepakati tiga hal penting dan sekaligus menjadi tujuan mereka selanjutnya yakni untuk menanggapi permasalahan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di berbagai aspek kehidupan: keluarga, tempat kerja, masyarakat, dan negara; mensosialisasikan bentuk-benuk kekerasan terhadap perempuan supaya makin banyak orang mengetahui dan menyadarinya; memperkuat kerja sama antara LSM dan perseorangan yang peduli terhadap masalah kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.11

Berdasarkan hasil-hasil keputusan tersebut, usaha ke arah pencegahan harus mulai dilakukan dalam keluarga. Keluarga menjadi fokus utama perhatian sebab berbagai hal yang memicu dan terus memelihara kelanggengan kekerasan berawal dari dalam keluarga. Usaha yang harus dilakukan berupa sosialisasi terhadap keluarga-keluarga baik dengan sistem door to door maupun seminar-seminar berisi pembinaan tentang gender.

(6)

menerapkan dalam konteks masyarakat. Faktor ini didukung oleh kesadaran bahwa pada masing-masing keluarga terjadi hal yang sama. Oleh karena itu, mereka mengambil nilai umum yang berlaku untuk diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan mewariskannya turun temurun sehingga menjadi suatu budaya.

Terhadap kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga maupun korban kekerasan yang terjadi di lingkungan masyarakat, perlu pendampingan untuk memulihkan perasaan-perasaan mereka yang terluka. Empati merupakan modal penting dalam pendampingan. Dengan empati konselor (pendamping) akan dimudahkan untuk menangkap dan mendengarkan suara-suara hati mereka dan menemukan pokok permasalahan serta apa keinginan mereka.

Pendampingan hendaknya diarahkan pada usaha membangkitkan kesadaran setiap kaum perempuan bahwa mereka memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Kesadaran akan membuat mereka menjadi berdayaguna sehingga memiliki keinginan untuk membebaskan diri dari kungkungan perasaan-perasaan minder dan ketergantungan pada laki-laki. Dalam ruang lingkup aspek kehidupan, diperlukan pemberian kesempatan yang sama besar. Juga diperlukan pengakuan dan penghargaan yang sama terhadap usaha-usaha yang mereka lakukan.

Sekalipun usaha-usaha pemulihan dan penghapusan kekerasan perempuan dalam rumah tangga giat dilaksanakan, tetapi tidak berarti kita melupakan pembinaan terhadap kaum laki-laki. Kepada mereka perlu diarahkan untuk mengubah pola pandang dan tingkah lakunya terhadap perempuan. Hal ini dimaksudkan agar laki-laki menjadi terbuka dan menyadari bahwa perempuan merupakan sesamanya yang harus diberikan kesempatan sama seperti dirinya.

Apabila kesadaran telah dimiliki baik laki-laki maupun perempuan, maka dengan sendirinya akan terjalin upaya untuk merekonstruksi ulang wilayah-wilayah personal yang telah membuat laki-laki bertindak sesukanya terhadap perempuan (termasuk dalam hal kekerasan dalam rumah tangga).

Kepada pelaku kekerasan, perlu dijatuhi sangksi hukum yang seberat-beratnya dengan tujuan membuat jera serta menyadarkan mereka bahwa tindakannya salah. Hukum yang ringan dapat membuat mereka mengulangi tindak kekerasan setelah masa hukuman selesai bahkan bisa lebih sadis.

E.Kesimpulan

Perempuan merupakan salah satu aspek yang paling menentukan kemajuan generasi selanjutnya. Bagaimana mungkin generasi muda akan maju kalau kaum perempuan atau kaum ibu selalu mendapatkan tekanan dari lak-laki atau suaminya. Tekanan akan menyebabkan mereka tidak memiliki kebebasan untuk membimbing dan membina anak-anaknya dengan baik.

(7)

1 Aina Rumiyati Aziz (Jurnalis Majalah Forum Keadilan), “Perempuan Korban di Ranah Domestik”

dalam Gigih Nusantara mailto:[email protected]. Bnd. A. Nunuk Prasetyo Murniati, Gerakan

Anti- Kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: Kanisius, 1998hlm: 24

2

AKP. Wijayanti, SH. Bahan Pembinaan Ruang Pelayanan Khusus POLDA SULTRA Tentang

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (sumber tidak diterbitkan). hlm.1

3 Arlina G. Latief, “Budaya Kekerasan di Indonesia Tantangan Bagi Teologi dan Praksis Pembebasan

-

Suatu Pendekatan Sosial Psikologik”, di muat dalam JurnalINTIM, Jurnal STT INTIM Makassar, homepage http://www.geocities.com/jurnalintim

4 Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati, Jakarta: Kompas 2006, hlm.203

5 Mariane Katoppo, Perempuan Sebagai Yang Lain, dalam Jurnal Proklamasi No.2 edisi Mendengar

Suara-suara yang lain, Jakarta: STT Jakarta, 2002. hlm. 11

6

Bnd. Najlah Naqiyah, Otonomi Perempuan, Malang: Bayumedia, hlm 29

7 Bnd. Muhadjir M. Darwin, Negara dan Perempuan; Reorientasi Kebijakan Publik, Yogyakarta: Grha

Guru & Media Wacana, 2005. hlm. 58

8

_________, Permasalahan dan Penanganan Korban Tindak Kekerasan, Arsip Dinas Departement

Sosial Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.

9 _________., Budaya BerperanTingkatkan Kasus-kasus Kekerasan, Senin 4 Maret 2002;

http://www.kompas.com

10

_________, Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaran dan Kerjasama

Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ditetapkan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 13 Pebruari 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Misalnya saja penelitian yang dilakukan oleh Hapsari (2004) dengan judul Hubungan Antara Persepsi Tentang Kesetaraan Gender Dengan Kecenderungan Kekerasan Suami Terhadap Istri,

Alasan-alasan itulah yang mendasari sang istri untuk bercerai, jika pun sang istri hendak bercerai maka dia tidak dapat melanjutkan proses pidana perkara kekerasan dalam

kekerasaan terhadap perempuan selalu dianggap suatu hal yang wajar terjadi dan merupakan masalah intern suatu rumah tangga, khususnya dalam hubungan suami istri

Kekerasan terjadi karena ketidakseimbangan antara suami dan istri baik secara fisik, dan ekonomi kepada yang lemah, antara yang dominan kepada yang

KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan ekonomi, termasuk

Perilaku individu dalam keluarga termasuk kekerasan suami terhadap istri masa hamil-nifas tidak dapat terlepas dari adanya norma sosial dan agama yang membolehkan perilaku

Dengan adanya kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami terhadap istri dalam Putusan pengadilan Bojonegoro Nomor

KDRT terhadap istri adalah segalah bentuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual, dan